Anda di halaman 1dari 30

Journal Reading

ANXIETY AND DEPRESSION

Oleh :
Vinda Meydina Bestari P 2565 B
Mona Indah Putriani P 2566 B
Satrya Aji Pamungkas P 2570 B

Preseptor :
dr. Heryezi Tahir, Sp. KJ

BAGIAN ILMU JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2018
Ringkasan
Tujuan Penelitian
DSM-5 mengklasifikasikan gangguan depresi dan ansietas berdasarkan
gejala klinis dan menilai kemungkinan adanya korelasi atau keterkaitan dengan
kondisi medis, penggunaan zat psikoaktif, penggunaan obat-obatan farmakologi,
atau penyalahgunaan zat. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk menggambarkan
gangguan depresi dan ansietas berdasarkan klasifikasi DSM-5 dan untuk
memperkenalkan pengobatan farmakologi dan non-farmakologi utama pada
gangguan depresi dan ansietas, dengan penekanan khusus pada masalah kepatuhan
pengobatan.
Metode Penelitian
Tinjauan literatur dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir mengenai
gangguan depresi dan ansietas setelah publikasi DSM-5
Hasil Penelitian
Dalam DSM-5, gangguan depresi termasuk suasana perasaan yang tidak
sesuai, gangguan depresi mayor, gangguan depresi menetap, gangguan disforik pre
menstruasi, gangguan depresi di induksi oleh zat atau obat-obatan, dan gangguan
depresi disebabkan oleh kondisi medis lainnya. Karakteristik yang umum muncul
pada kondisi kondisi tersebut diatas adalah, kesedihan, merasa hampa, dan suasana
hati yang mudah tersinggung yang muncul bersamaan dengan gejala kognitif dan
gejala somatik yang mengakibatkan stress yang berkepanjangan dan gangguan pada
fungsi kehidupan. Gangguan ansietas yang diakui dalam DSM-5 termasuk
gangguan ansietas perpisahan, mutisme selektif, fobia spesifik, gangguan ansietas
sosial, gangguan panik, agorafobia, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan
ansietas yang diinduksi zat/obat dan gangguan ansietas karna kondisi medis
lainnya.
Seluruh gangguan tersebut diatas, menunjukkan karakteristik ketakutan
yang berlebihan, kecemasan yang berhubungan dengan perubahan perilaku. Pada
gangguan ansietas, stimulus baik dari dalam maupun dari luar menghasilkan reaksi
cemas yang tidak seimbang yang merupakan penyebab terjadinya stress
berkepanjangan atau gangguan pada fungsi kehidupan. Pengobatan farmakologi,
pengobatan psikoterapi, atau kombinasi pengobatan farmakologi dan psikoterapi,

16
terbukti efektif dalam pengobatan depresi, gangguan kecemasan menyeluruh,
serangan panik dan insomnia. Sangat penting melibatkan pasien dalam pengobatan,
meliputi komunikasi yang adekuat dan memberikan informasi mengenai waktu
yang dibutuhkan untuk respon pengobatan dan kemungkinan adanya efek samping.
SSRIs (selective serotonin reuptake inhibitors) dan SNRIs(serotonin
norepinephrine reuptake inhibitors) adalah agen terapi pilihan pertama dalam
pengobatan depresi, dari segi efektifitas dan keamanan. Golongan obat
benzodiazepin dapat digunakan pada 4 minggu pertama pengobatan depresi yang
menunjukkan gejala ansietas yang signifikan, pada gangguan panik dan insomnia
dapat digunakan untuk mendapatkan kemajuan perbaikan gejala yang cepat. Pada
pengobatan gangguan depresi, kepatuhan berobat pasien merupakan hal yang
penting untuk mencapai tujuan terapi antidepresan. Dalam beberapa tahun
terakhir, kemajuan yang signifikan dicapai dalam mengidentifikasi faktor resiko
kepatuhan pengobatan yang buruk, dan pengembangan berbagai strategi yang
ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan terapi, terutama dalam meningkatkan
komunikasi dokter-pasien, edukasi pasien, optimalisasi dosis dan follow-up
pengobatan yang dijadwalkan
Kesimpulan
Pada pengobatan gangguan depresi dan ansietas, pilihan pengobatan harus
mempertimbangkan pilihan pasien dan harus diputuskan bersama dengan pasien.
Kepatuhan merupakan aspek penting yang menentukan keberhasilan pengobatan
Kata Kunci :
Depresi, Ansietas, Kepatuhan, DSM-5

DSM-5 dan Kepentingan Klinis


Pengenalan : DSM-5 pada praktik klinik
DSM-5 ( The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders )
adalah sumber referensi diagnostik dalam psikiatri yang umum dan lazim
digunakan. DSM-5 bersifat deskriptif sehingga mudah digunakan dan tidak
diperlukan pelatihan teori secara khusus untuk menggunakan nya. Dalam DSM-5,
gangguan kejiwaan dikelompokkan dalam kategori yang luas (seperti gangguan
psikotik, gangguan depresi, gangguan ansietas, dll) dimana gangguan individu

17
dijelaskan. Masing-masing gangguan di diagnosa berdasarkan pengelompokan
gejala. Untuk menegakkan diagnosis gangguan kejiwaan, gejala-gejala tertentu
harus ada, dimana gejala tersebut berhubungan dengan gangguan fungsi dan atau
ketidak nyamanan yang signifikan. Untuk berbagai macam gangguan, seperti
gangguan depresi dan gangguan ansietas, penting untuk membedakan gejala klinis
yang disebabkan oleh kondisi medis lain atau disebabkan oleh obat / zat psikoaktif.
Cara menegakkan diagnosis dalam praktik klinis :
Ketika DSM-5 diterapkan pada gangguan depresi dan gangguan ansietas, dua fokus
utama yang digunakan untuk menegakkan diagnosis pada DSM-5 adalah :
1. Mengklasifikasikan gangguan berdasarkan pemeriksaan psikologis secara
objektif, serta keluhan gejala dan tanda yang dilaporkan oleh pasien
2. Mengevaluasi apakah gejala yang timbul mungkin disebabkan oleh kondisi
media lain, penggunaan zat psikoaktif / farmakologi atau penyalahgunaan
zat.
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mendengarkan keluhan subjektif
pasien bersamaan dengan pemeriksaan psikologis. Dengan mengelompokkan
gejala, diagnosis gangguan dapat di tegakkan. Hal kedua yang dapat dilakukan
adalah, menilai potensi penyebab somatik atau penyebab luar dari gangguan psikis.
Berbagai macam penyakit fisik dapat menimbulkan depresi dan ansietas. Dalam
beberapa kasus, gejala depresi dan ansietas merupakan gejala yang muncul pada
penyakit medis yang mendasari dan merupakan manifestasi pertama yang muncul
pada penyakit somatik. Sebagai contohnya, kehilangan nafsu makan, penurunan
berat badan, kelelahan dan depresi pada pasien berusia tua dapat merupakan gejala
pada kanker pankreas.
Pada kasus lain, ansietas dan gelisah yang berhubungan dengan gejala
vegetatif dapat disebabkan oleh onset penyakit hipertiroid. Dalam beberapa kasus,
depresi atau ansietas dapat berhubungan dengan penyakit yang telah di diagnosis
sebelumnya, contohnya pada penyakit neurologis dan penyakit endokrin tertentu.
Terakhir, depresi dan ansietas dapat disebabkan oleh pengobatan farmakologi, obat
psikoaktif, atau oleh penghentian pengobatan. Interaksi antara kerentanan dan
peristiwa yang menimbulkan stress dapat menimbulkan berbagai macam gejala
yang diklasifikasikan secara akurat dalam DSM-5. Gambaran klinis yang utama

18
muncul pada gangguan depresi dan kecemasan sesuai klasifikasi DSM-5 dijelaskan
lebih rinci dibawah ini.
Gangguan Depresi pada DSM-5
Gangguan depresi pada DSM-5 termasuk suasana perasaan yang tidak
sesuai, gangguan depresi mayor, gangguan depresi menetap, gangguan disforik
premenstruasi, gangguan depresi yang di induksi zat/obat dan gangguan depresi
karena kondisi medis lain. Karakteristik utama yang muncul pada kondisi diatas
adalah kesedihan, merasa hampa, dan suasana hati yang mudah tersinggung yang
muncul bersamaan dengan gejala kognitif dan gejala somatik yang mengakibatkan
stress yang berkepanjangan dan gangguan pada fungsi kehidupan.
Gangguan suasana perasaan yang tidak sesuai, didiagnosis pada anak-anak
yang memperlihatkan gejala ledakan kemarahan yang berat dan sering secara
frekuensi, disertai dengan ketidaksesuaian antara tingkat kemarahan dengan
peristiwa pemicu, dan berhubungan dengan suasana perasaan yang terus menerus
mudah tersinggung atau mudah sedih, terjadia dalam konteks yang berbeda, misal
nya di rumah dan disekolah. Diagnosis mengharuskan onset gejala terjadi sebelum
usia 10 tahun. Diyakini bahwa segala gejala dapat merupakan ekspresi pada
gangguan depresi mayor pada anak usia dini, dan dapat dipertimbangkan
keterkaitan yang kuat dengan perkembangan lanjutan dari gangguan ini pada masa
dewasa.
Gangguan depresi mayor ditandai oleh adanya episode suasana perasaan
depresi yang menetap dan atau kemampuan yang berkurang untuk menikmati
pengalaman yang menyenangkan disertai sekurang-kurangnya 5 gejala berikut :
perubahan nafsu makan atau berat badan, insomnia atau hipersomnia, agitasi
psikomotor atau retardasi, kelemahan dan mudah lelah, perasaan tidak berharga
atau rasa bersalah, penurunan konsentrasi dan gangguan memori, pikiran-pikiran
akan kematian. Gejala harus muncul setiap hari selama minimal 2 minggu, dan
suasana perasaan depresi harus ada pada sebagian besar waktu tersebut. Gangguan
depresi mayor, sering berulang dan ditandai dengan episode sepanjang hidup. Onset
biasanya terjadi antara usia 20 dan 30 tahun, dan 3 kali lebih sering terjadi pada
wanita. Di Italia, sekitar 8-10% dari populasi umum terkena gangguan depresi
mayor.

19
Gangguan depresi menetap, didefenisikan sebagai perjalanan kronik yang
ditandai dengan munculan gejala menetap suasana perasaan yang tidak bergairah
sekurang-kurangnya 2 tahun dan diikuti oleh dua atau lebih gejala berikut :
peningkatan atau penurunan nafsu makan, insomnia atau hipersomnia, kelemahan
dan kelelahan, merasa rendah diri, kesulitan berkonsentrasi, dan perasaan putus asa.
Gangguan depresi menetap memiliki prevalensi 2-3%, lebih sering pada remaja
akhir atau dewasa awal dan sering memiliki keterkaitan dengan gangguan
kepribadian dan penyalahgunaan zat.
Gangguan disforik premenstruasi memiliki fase fluktuasi dan muncul dalam
waktu seminggu sebelum siklus menstruasi. Dan cenderung berakhir pada hari-hari
pertama siklus menstruasi tersebut. Gangguan ini ditandai dengan afek yang labil,
terkait dengan suasana perasaan yang terganggu dan mudah tersinggung,
peningkatan sensitifitas terhdap rasa penolakan, dan kecendrungan konflik
interpersonal. Hal ini terkait dengan perubahan nafsu makan dan waktu tidur, lelah
dan lesu, dan adanya gejala fisik seperti kembung atau ketegangan otot dan nyeri
sendi. Prevalensi nya sekitar 1,3-1,8%.
Gangguan depresif karena zat/obat ditandai dengan adanya suasana
perasaan yang tidak bergairah dan kehilangan minat yang muncul selama atau
segera setelah paparan atau penghentian agen penyebab, atau selama terpapar obat.
Hal ini tidak dapat di diagnosis pada kasus gejala depresi yang berlangsung lebih
dari satu bulan setelah penghentin zat/obat. Berbagai penyalahgunaan zat seperti
alkohol, opioid, obat sedasi, kokain atau stimulan lainnya, dan halusinogen dapat
menginduksi gejala depresi. Mengenai hubungan antara obat-obatan dan depresi,
gejala depresi berhubungan dengan penggunaan pengobatan dengan interferon-α,
kortikosteroid, interleukin-2, GnRH, mefloquine, kontrasepsi implant yang
melepaskan progesteron dan obat-obatan kardiovaskular seperti methyldopa,
clonidine, propranolol dan sotalol. Sebuah penelitian terbaru tentang pelaporan efek
samping terkait obat di Inggris dari 1998-2011 menemukan hubungan antara
depresi dan penggunaan isotretinoin, rimonabant dan varenicline. Di Italia, tidak
ada data tentang prevalensi gangguan depresi yang disebabkan oleh zat / obat-
obatan, sementara di AS telah diperkirakan bahwa prevalensinya 0,26%.

20
Terakhir, gangguan depresi karena kondisi medis lainnya, dapat
didiagnosis ketika gejala depresi muncul sebagai konsekuensi langsung dari
patofisiologi penyakit dasar. Pada beberapa kasus, hubungan antara penyakit dasar
dan depresi sangat berkaitan erat, dan hubungan patofisiologi nya dapat
tergambarkan dalam dua kondisi. Contoh kasusnya, kondisi neurologis seperti
stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Huntington, trauma kranial dan multiple
sclerosis serta penyakit endokrinopati seperti penyakit Cushing dan hipotiroidisme.
Dalam kasus lain, jika onset depresi adalah respon terhadap stress yang berkaitan
dengan penyakit dasar, hal ini lebih tepat di diagnosa sebagai gangguan
penyesuaian dengan suasana perasaan depresi.
Gangguan Ansietas pada DSM-5
Gangguan ansietas dimaksudkan sebagai ketakutan berlebihan dan
berpengaruh kepada perubahan perilaku. Pada gangguan ansietas, stimulasi, baik
eksternal maupun internal menghasilkan kecemasan yang tidak seimbang sehingga
menjadi cikal bakal dari kerusakan fungsi tubuh. Bentuk lain dari penyakit ansietas
adalah antisipasi ansietas, atau peningkatan kepekaan terhadap ketakutan, dan
menghindari situasi yang memicu ansietas, dengan keterbatasan fungsi tubuh
lanjutan. Gangguan ansietas terdapat pada DSM-5 termasuk gangguan ansietas
perpisahan, mutisme (bisu mendadak) selektif, fobia pada hal-hal khusus, gangguan
ansietas sosial, gangguan panik, agorafobia, gangguan ansietas menyeluruh,
gangguan ansietas karena pengaruh obat-obatan dan gangguan ansietas akibat
pengaruh kondisi medis.
Gangguan ansietas perpisahan terdiagnosa pada anak dengan
ketidakseimbangan reaksi ansietas pada perpisahan, bahkan hanya sesaat, sebagai
figur panutan, khususnya orangtua. Gangguan dapat bertahan hingga usia dewasa.
Anak dengan ansietas perpisahan digambarkan dengan ketakutan mereka akan
kehilangan orangtua, menolak tinggal sendirian, tidak ingin pergi keluar rumah
karena takut apabila ada kemungkinan kejadian yang membuat mereka terpisah dari
orangtuanya, atau tidur selain dirumah sendiri. Anak-anak ini juga dilaporkan
mengalami mimpi buruk dan keluhan somatik. Gangguan ansietas terdiagnosa
apabila terdapat tiga atau lebih gejala diatas yang bertahan lebih dari empat minggu,

21
atau enam bulan pada orang dewasa. Di Italia, 2% anak menderita akibat gangguan
ansietas perpisahan, dengan onset paling sering saat masa pra-sekolah.
Mutisme selektif didiagnosa pada anak dengan ketidakmampuan bicara
pada kondisi sosial tertentu, contohnya saat sekolah, dimana berhubungan dengan
kemungkinan tinggi terjadinya ansietas sosial atau kehilangan kepercayaan diri,
namun tidak menurunkan tingkat intelektual. Mutisme selektif jarang terjadi,
dengan prevalensi 0,03 – 1 %
Fobia spesifik adalah jenis dari takut tanpa alasan yang berlebihan terhadap
objek atau situasi, tidak seimbang dalam menanggapi bahaya yang sesungguhnya,
sehingga menambah tingkat ansietasnya. Objek atau situasi yang ditakuti pasti
selalu dihindari pasien. Diagnosa terhadap fobia spesifik dapat diketahui apabila
durasinya lebih dari enam bulan. Fobia yang paling sering adalah objek binatang
(laba-laba, serangga, anjing, dll), objek alam (ketinggian, badai, dll), jarum/darah
dan situasi tertentu (naik pesawat, eskalator, dll). Di Italia, 6% dari populasinya
mengalami fobia selektif selama masa hidupnya, dengan onset pada usia 10 tahun.
Ansietas sosial dijelaskan sebagai ketakutan terhadap situasi sosial tertentu
pada saat tersebut. Contohnya ketika berbicara di depan umum, makan atau minum
di tempat umum, atau mengerjakan tugas tertentu. Seseorang dengan ansietas sosial
takut apabila gagal atau melakukan kesalahan di depan umum sehingga mereka di
cemooh, atau dikritik oleh orang lain. Pada keadaan ini, pasien biasanya
menghindari kontak terhadap situasi sosial yang mereka takuti. Diagnosa diketahui
apabila gejala berlangsung setidaknya 6 bulan. Di Italia, 2% populasi mereka
mengalami ansietas sosial, dengan onset pada remaja usia 13 tahun.
Ganguan depresi Gangguan ansietas
Gangguan perasaan yang kacau Gangguan ansietas perpisahan
(disruptif) Mutisme selektif
Gangguan depresif mayor Fobia spesifik
Gangguan depresif persisten Gangguan ansietas sosial
Gangguan disforik premenstruasi Gangguan panik
Gangguan depresif akibat obat-obatan Agorafobia
Gangguan depresif akibat kondisi Gangguan ansietas umum
medis Gangguan ansietas akibat obat-obatan
Gangguan ansietas akibat kondisi
medis
Tabel 1. Gangguan depresif dan ansietas pada DSM-5

22
Gangguan panik masuk dalam kategori manik yang tidak diharapkan atau
rekuren. Serangan panik adalah episode tiba-tiba dengan ansietas serta perasaan
tidak nyaman, yang datang dalam hitungan menit dan mempengaruhi gejala
somatik seperti palpitasi, berkeringat, gemetaran, sesak nafas, perasaan tercekik,
nyeri dada, mual, pusing, mati rasa, perasaan gila, atau sekarat. Pada serangan
panik, biasanya diikuti dengan gejala takut terhadap konsekueni pada perbuatan
mereka. Pasien juga seringkali menghindari situasi yang membuat mereka
mengalami serangan panik, contohnya mengemudi atau berada di keramaian. Panik
seringkali dipengaruhi oleh agorafobia (ketakutan pada situasi yang sulit atau
memalukan untuk lari pada saat serangan) ditandai dengan ketakukan berada di
keramaian (transportasi publik, bioskop, supermarket), ruang terbuka, berada di
antrian mobil atau orang, atau diluar rumah. Pasien dengan situasi takut biasanya
memicu serangan panik, dengan alasan situasi tersebut dengan agorafobia.
Gangguan panik biasanya terjadi pada dewasa usia muda, lebih sering pada dewasa
wanita (perbandingan PR:LK adalah 2:1). Di Italia, prevalensi gangguan panik
adalah 1,6% dan 1,2% untuk agorafobia.
Gangguan depresif Gangguan ansietas
Interferon α-β Corticosteroids
Corticosteroids Salbutamol
Interleukin-2 Sympathomimetics
GnRH Insulin
Contraceptive implants that release progesterone Thyroid hormones
Cardiovascular (methyldopa, clonidine, propranolol, L-Dopa
sotalol)
Mefloquine
Isotretinoin
Rimonabant
Varenicline
Tabel 2. Obat-obatan yang memicu depresi dan gangguan ansietas

23
Gangguan depresif Gangguan ansietas
Stroke Parkinson’s disease Hyperthyroidism
Huntington’s disease Hypoglycaemia
Head injuries Pheochromocytoma
Multiple sclerosis Cushing’s disease
Cushing’s disease Vitamin B12 deficiency
Hypothyroidism Porphyria
Cardiovascular disease (heart failure, atrial
fibrillation)
Pulmonary diseases (pulmonary embolism,
asthma)
Tabel 3. Kondisi medis yang dapat menimbulkan depresi
dan gangguan ansietas
Gangguan ansietas menyeluruh dijelaskan sebagai ansietas berlebihan
terhadap sebagaian besar aktifitas hidup. Kecemasan ini memiliki setidaknya 3
gejala berikut: keresahan yang konstan, mudah lelah, sulit konsentrasi, kaku otot,
gangguan atau sulit tidur. Rata-rata, gangguan pada usia 30 tahun, walaupun onset
tersering pada remaja atau dewasa awal. Di Italia, prevalensi kasus ini adalah 1,9%.
Gangguan ansietas berhubungan dengan serangan panik yang terjadi saat
atau setelah pemakaian obat-obatan. Gejala ini tidak bisa didiagnosa apabila
gejalanya berlangsung lebih dari satu bulan setelah penggunaan obat/zat secara
tidak teratur. Beberapa zat yang mampu memicu ansietas yaitu: kafein, ganja,
kokain, amfetamin, dan simultan lainnya. Penggunaan obat-obatan seperti
salbutamol, simpatomimetik, insulin, hormon tiroid, L-Dopa, dan kortikosteroid-
pun dapat memicu gejala ansietas. Sebagai tambahan, keadaan puasa dari alkohol,
opioid, ansiolitik, dan khususnya benzodiazepin seringkali memicu gejala ansietas.
Gangguan depresif akibat kondisi medis didiagnosa saat gejala depresif
berhubungan langsung dengan keadaan patofisiologis. Keadaan patologis pada
sistem endokrin dan metabolik dapat menyebabkan ansietas dan serangan panik,
contohnya hipertiroid, hipokalsemia, fiokromositoma, penyakit Cushing, defisiensi
vitamin B12 dan porfiria. Penyakit KDV seperti gagal jantung, udem pulmoner,
asma, dan beberapa aritmia dapat memicu gangguan disorder.
Kesimpulan
Penggunaan diagnostik manual untuk menetukan gangguan mental pada
beberapa kategori memiliki banyak keuntungan, seperti pembagian sederhana pada
pengalaman pasien dalam pandangan medis serta kemudahan komunikasi dengan

24
teman sejawat. Akhirnya, pengobatan pada gangguan mental dapat dilakukan tidak
hanya bagi spesialis kejiwaan namun spesialis dan paramedis lainnya.
Tatalaksana farmakologi dan non farmakologi

Berdasarkan data yang di dapatkan dari kepustakaan internasional


memperlihatkan mayoritas pasien dengan depresi mayor ditatalaksana oleh dokter
umum. Dokter lebih sering meresepkan SSRI dan SNRI dari pada anti depresan
trsiklik dan monoamin oksidase inhibitor. Telah terbukti bahwa antidepresan efektif
dalam memperbaiki gejala pada layanan primer. National Observatory on the Use
of Medicines (OsMed) melaporkan dari 2013 tercatat bahwa golongan SSRI
merupakan pilihan pertama dengan pertimbangan biaya diantara obat obat yang
berfungsi pada sistem saraf pusat pada regimen terapi yang di tanggung pemerintah,
dan paling sering di resepkan. Data yang didapatkan dari HealthSearch 2011
melaporkan hanya terdapat 35,4% dari pasien yang memiliki keluhan depresi yang
di resepkan dengan antidepresan.

Penggunaan beberapa pengobatan akan lebih tepat pada kondisi patologis


perbatasan dan pada patologis dengan komorbiditas yang luas. Dengan demikian,
dengan adanya kemanjuran dari beberapa obat yang temasuk dalam klasifikasi
“antidepresan” pada gejala ansietas, pada keadaan ansietas-depresi, obat -obat ini
akan berguna sebagai tatalaksana farmakologi “anti-depresi”. Pengalaman di klinik
telah memperlihatkan banyaknya pasien depresi tidak merespon atau hanya
memperlihatkan sebagian dari respon terhadap obat anti depresan yang telah di
berikan, dengan remisi komplit atas gejala terlihat 30%- 65% kasus. Dengan kata
lain, seluruh populasi yang dirawat dengan depresi mayor, didapatkan :

 20-30 % mecapai remisi


 20-%-30% memperlihatkan reduksi dari 50 % pada gejala depresi tanpa
mencapai remisi komplit.
 10%-15% terdapat respon parsial, dengan 25-50% terdapat gejala reduksi.
 20%-30% ridak respon terhadap pengobatan, dengan < 25% terdapat
reduksi gejala.

25
 Tambahannya, terdapat 10%-30% dari seluruh populasi yang tidak respon
pada banyak farmakoterapi dan psikoterapi, dan dianggap memiliki resiko
morbiditas dan morbilitas yang tinggi.

Bukti ilmiah menunjukkan bahwa depresi jauh lebih melumpuhkan dan resisten
terhadap pengobatan semakin lama depresi berlangsung, dan merupakan penyakit
kronis dengan gangguan yang berulang dikaitkan dengan peningkatan risiko
penyalahgunaan zat, penyakit fisik, risiko bunuh diri, dan kesulitan sosial. Terlepas
dari pertimbangan tersebut, hingga saat ini kriteria definitif masih belum di
temukan untuk mengidentifikasi terapi inisial yang optimal atau untuk
menggantikan terapi yang tidak efektif atau separuh efektif. Penelitian terhalang
pada variabilitas presentasi klinis yang luas pada kejadian depresi, yang antaranya
juga terpengaruh terhadap salah diagnosis dan diagnosis yang terlambat terhadap
penyakitnya.
Tujuan utama terhadap terapi yang dilakukan diantaranya:
 Mengeliminasi gejala gejala depresi;
 Menekan dan mengeliminasi gejala terkait;
 Meningkatkan kualitas hidup dan fungsi sosial;
 Mencegah gejala kambuh dan berulang.
Tujuan pengobatan awal pada gejala depresi mayor adalah pengurangan gejala
dan peningkatan kualitas hidup serta fungsi sosial. Terdapat beberapa strategi terapi
tatalaksana awal pada pasien dengan depresi ringan sampai sedang yang
menggunakan antidepressant saja, psikoterapi saja atau kombinasi dari antidepresi
dan psikoterapi. Uji coba secara acak memperlihatkan kombinasi antidepresan dan
psikoterapi lebih efektif dibanding dengan pemberian obat secara satuan. Meskipun
demikian, pada penelitian lain pemberian psikoterapi saja juga merupakan pilihan
yang dapat diterima; Selain itu, kemanjuran antara dua terapi ini juga sebanding.
Pemilihan terapi untuk pasien sebaiknya dilakukan bersama dengan pasien, hak
pasien dalam memilih obat dapat mempengaruhi pemilihan terapi untuk pasien.
Sebagai tambahannya, pemeriksaan menyeluruh pada pasien harus dilakukan
termasuk pada aspek yang dapat mempengaruhi pengobatan utama yang diberikan
(riwayat pengobatan, komorbiditas dan stresor psikososial). Pada pasien dengan

26
depresi sedang sampai berat, pemberian golongan SSRI di rekomendasikan sebagai
obat pilihan pertama; rekomendasi ini berdasarkan pada keberhasilan pengobatan
dan toleransi golongan SSRI yang lebih baik. Golongan SNRI (venlafaxine,
duloxetine), antidepresan atipikal (bupropion, mirtazapin) dan serotonin modulator
(trazodone) dapat digunakan sebagai pengganti dari golongan SSRI.
Trisiklik dan MAO tidak di rekomendasikan sebagai obat pilihan pertama
karena memiliki profil keamanan yang buruk dan peningkatan kejadian efek
samping pemakaian. Meta analisis yang dilakukan pada tahun 2011
memperlihatkan tidak ada bukti perbaikan gejala pada penggunaan generasi kedua
SSRI (tabel I dan II).
Obat Dosis Inisial (mg) Dosis pengobatan (mg)
SSRI
Citolopram 20 20-40
Escitalopram 10 10-20
Fluoxetine 20 20-60
Fluvoxamine 50 50-200
Paroxetine 20 20-40
Setraline 50 50-200
SNRI
Duloxetine 30-60 30-120
Venlafaxine 37,5-75 75-375
Antidepresan Atipikal
Buproprion 150 300
Mirtazepin 15 15-45
Modulator serotonin
Trazodone 100 200-500
Tabel 1. Obat Antidepresan, dosis inisial, dan dosis pengobatan.

27
Susah Kenaikan
Mempengaruhi Hipotensi Toksisitas Disfungsi
Obat Mengantuk tidur/ QTC berat
fungsi saraf ortostatik gastrointestinal seksual
agitasi badan
SSRI

Citolopram 0 0 1+ 1+ 1+ 1+ 1+ 3+

Escitalopram 0 0 1+ 1+ 1+ 1+ 1+ 3+

Fluoxetine 0 0 2+ 1+ 1+ 1+ 1+ 3+

Fluvoxamine 0 1+ 1+ 1+ 0-1+ 1+ 1+ 3+

Paroxetine 1+ 1+ 1+ 2+ 0-1+ 1+ 2+ 4+

Setraline 0 0 2+ 1+ 0-1+ 2+ 1+ 3+

SNRI

Duloxetine 0 0 2+ 0 0 2+ 0 3+

Venlafaxine 0 1+ 2+ 0 1+ 2+ 0 3+

Antidepresan Atipikal

Buproprion 0 0 2+ 0 1+ 1+ 0 0

Mirtazepin 1+ 4+ 0 0 1+ 0 4+ 1+

Modulator serotonin

Trazodone 0 4+ 0 3+ 2+ 3+ 1+ 1+

Strategi lain yang dapat diberikan sebagai pengobatan depresi, terutama pada kasus depresi dengan resisten obat,
diantaranya electroconvulsive theraphy (ECT), transcranial magnetic stimulation (TMS), vagal nerve stimulation
(VNS) , deep brain stimulation (DBS)
Tabel 2. Efek Samping Antidepresan

Pengobatan farmakologi terhadap depresi harus mempertimbangkan


beberapa aspek. Pertama, beratnya gejala depresi, dimana antidepresan yang
menunjukkan manfaat yang signifikan dibandingkan dengan plasebo, belum dapat
didefinisikan secara jelas. Secara umum, semakin berat gejala penyakit semakin

28
besar manfaat pengobatan yang di berikan. Antidepresan direkomendasikan
sebagai obat pilihan pertama pada pasien dengan gejala yang berat. Kedua, luasnya
variabilitas toleransi pada setiap individu dapat membantu untuk menemukan obat
terbaik pada dosis yang tepat, dikombinasikan dengan respon klinik yang adekuat
dengan efek samping yang paling jarang terjadi. Untuk pemilihan antidepresan,
perlu mempertimbangkan faktor yang berhubungan dengan pengobatan
(keberhasilan, tolerabilitas, keamanan, formulasi, biaya, dan ketersediaan) dan
pasien (gejala klinis, komorbiditas somatik, respon individu, dan tolerabilitas, serta
respon pengobatan sebelumnya.
Untuk terapi awal, pemilihan obat harus yang bisa ditoleransi oleh pasien
dan memungkinkan untuk mendapatkan dosis terapeutik dengan kepatuhan terapi.
Peran dokter sangat penting dalam hal pemberian infromasi kepada pasien
mengenai efek samping yang mungkin terjadi dan komunikasi harus terjadin secara
adekuat dengan pasien sehingga terapi tidak terputus. Hal tersebut juga dapat
meminimalisir keraguan pasien terhadap pengobatan yang diberikan. Perbaikan
gejala awal dapat di observasi kembali setelah pemberian selama 2-4 minggu
setelah terapi awal; Pasien harus paham bahwa efek dari pengobatan tidak dapat
muncul secara langsung. Sebelum menganggap pengobatan tidak efisien,
pengobatan harus telah dilakukan selama 6-12 minggu pemakaian terlebih dahulu.

29
Diagnosis yang
tepat
Komorbiditas psikiatrik Kondisi medis yang
menyertai

Pasien dengan
Terapi farmakologi resistensi Dosis yang adekuat
yang sesuai pengobatan

Durasi pemberian terapi


Beratnya penyakit yang adekuat
Kepatuhan
pengobatan

Gambar 1. Pertimbangan yang perlu diperhatikan pada pasien yang tidak


respon dengan terapi antidepresan

Sementara itu perilaku terhadap penggunaan obat dapat diukur, karena data
tersedia (jumlah resep, konsumsi, biaya), lebih sulit untuk menganalisis perilaku
"peresepan" dari terapi psikoterapi. Sebagaimana diuraikan dalam paragraf berikut,
pedoman menekankan penggunaan psikoterapi dalam pengobatan pasien dengan
gangguan depresi dan kecemasan; baik spesialis dan dokter perlu memperhatikan
beberapa hal:
 Akses ke psikoterapi dalam sistem perawatan kesehatan terbatas dan oleh
karena itu kesediaan pasien untuk menanggung biaya akan mempengaruhi
penggunaannya;
 "psikoterapi" tidak ada, melainkan serangkaian pendekatan psikoterapi
yang spesifik untuk pengobatan berbagai gangguan; kisaran luas yang
tersedia menciptakan kebingungan bagi dokter tentang pendekatan yang
benar;
 Dari pertimbangan diatas beberapa pendekatan kurang di manfaatkan dan
dilakukan tidak benar, membuat pasien gagal untuk mencapai tujuan
terapeutik dan juga untuk mempertahankan biaya ekonomi.

30
Oleh karena itu diharapkan bahwa di masa depan model perawatan yang
lebih dikodifikasi dan kolaboratif dapat diadopsi di mana dokter umum,
spesialis psikiatri dan psikoterapis berbagi informasi yang diperlukan untuk
menetapkan pengobatan yang benar untuk mengurangi 'perawatan terpisah',
yang mengurangi keberhasilan pengobatan.
Psikoterapi yang dapat digunakan untuk pengobatan depresi diantaranya
adalah:
 Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
 Psikoterapi interpersonal
 Terapi pasangan dan keluarga
 Psikoterapi psikodinamik
 Psikoterapi suportif
Walaupun sudah banyak penelitian yang memperlihatkan hanya sedikit perbedaan
pada keberhasilan pencapaian pengobatan untuk depresi unipolar, CBT dan
psikoterapi interpersonal adalah terapi awal yang paling sering diberikan pada
depresi sedang hingga berat, karena sudah banyak dilakukan penelitian dan terbukti
berhasil. Dibandingkan dengan terapi farmakologi, psikoterapi telah terbukti lebih
baik dalam menurunkan gejala depresi.
CBT bertujuan untuk membantu pasien mengidentifikasi fikiran yang berulang dan
pola yang tidak berfungsi terhadap pemberian alasan dan interpretasi terhadap
realita yang bertujuan untuk menukar atau melengkapi mereka dengan kepercayaan
yang seharusnya.

31
Keuntungan Kerugian
Antidepresan Trisiklik Keberhasilan tinggi Peningkatan kejadian efek
(pengambilan kembali samping (interaksi dengan
serotonin dan norepinefrin) reseptor β-adrenergik,
muskarinik dan histamin
H1)

SSRI Sangat efektif pada gejala Kurang efektif pada gejala


psikis; mengurangi gejala somatik; variabilitas dalam
depresi yang menyertai; respon pasien; penundaan
potensi rendah untuk onset aksi; disfungsi
penyalahgunaan seksual; penambahan berat
badan; gejala penarikan;
interaksi obat (CYP 2D6)
SNRI Spektrum luas dari Terkait dengan aktivitas
aktivitas terapeutik reseptor serotonin:
Keselamatan: mengurangi • gangguan gastrointestinal
risiko toksisitas dalam (mual, muntah, berat badan
toleransi berlebihan: kerugian)
kurang insiden penghentian • sakit kepala
untuk efek samping • disfungsi seksual
(anorgasmia, penurunan
libido)
• kecemasan, tremor,
kegelisahan, agitasi
• ketergantungan fisik
"sindrom penghentian"
Terkait dengan aktivitas
reseptor noradrenergik:
• hipertensi (pada dosis
tinggi

Trazodone Khasiat anxiolytic dan Hipotensi ortostatik; sedasi


antidepresan dengan efek (kantuk); masalah
sedatif (peningkatan tidur); kardiovaskular: interaksi
beberapa efek dengan antihipertensi
antikolinergik; efek (mungkin memfasilitasi
samping seksual minimal onset hipotensi dan efek
depresan SSP, misalnya
klonidin); aritmia ventrikel
dan torsades de pointes
Bupropion Efektif pada kelesuan, Peningkatan awal tingkat
kelelahan, apatis, kecemasan; menurunkan
mengantuk, pengurangan ambang kejang
minat dan anhedonia Efek

32
minimal pada berat badan
dan fungsi seksual
Mirtazapine tidur lebih baik; tidak ada Meningkatkan berat badan
agitasi, tidak ada efek
samping seksual, tidak ada
rasa mual, tidak ada sakit
kepala
Agomelatine Meningkatkan pelepasan Kemungkinan
dopamin dan norepinefrin memperburuk tes fungsi
tetapi tidak 5-HT di hati
korteks frontal, dengan
efek menguntungkan pada
pemulihan ritme sirkadian
yang benar
Benzodiazepin Sangat efektif untuk gejala Kurang efektif dalam gejala
somatik; onset aksi cepat; psikologis; kecanduan
respon yang dapat mungkin dengan
direproduksi dan penggunaan dosis jangka
tolerabilitas yang baik panjang yang tinggi;
gangguan kognitif dan
psikomotor; interaksi obat
(CYP3A4)
Tabel 3. Keuntungan dan kerugian dari obat utama dalam penggunaan klinis.

Pada kasus depresi berat dengan resiko bunuh diri, mencelakai diri sendiri, atau
pengabaian diri, perlu dilakukan rujukan dari dokter umum kepada spesialis
psikiatri; beberapa kasus memerlukan perawatan di rumah sakit. Pada pengobatan
jangka panjang, beberapa hal berikut perlu dipertimbangkan :
 Satu episode depresi harus di obati setidaknya 6-9 bulan setelah perbaikan;
 Resiko depresi berulang meningkat setelah bebebrapa episode;
 Pasien yang telah mengalami beberapa episode membutuhkan pengobatan
selama bertahun tahun.
Pasien depresi yang datang dengan gejala gejala ansietas yang lebih terlihat akan
banyak ditemukan dalam praktek klinis; beberapa penelitian telah melaporkan
adanya ansietas dan depresi pada >50% pasien. Pengobatan pada pasien dengan
komorbid ansietas dan depresi termasuk penggunaan anxiolitik untuk mengontrol
gejala; pada fase depresi akut dengan gejala ansietas yang lebih terlihat, telah
terbukti pengobatan menggunakan antidepresan lebih berhasil, dan pada beberapa
kasus gejala ansietas dapat lebih buruk dalam beberapa minggu pengobatan dengan
antidepresan. Pemberian bersamaan anxiolitik dan antidpresan tidak boleh

33
dilanjutkan lebih dari 4 minggu; setelah masa pengobatan inisial, dosis obat
anxiolotik harus diturunkan secara bertahap dan perlahan sekurang-kurangnya 2-4
minggu sebelum pengentian.
Penggunaan terapi kombinasi dengan BDZ dapat memperbaiki dengan cepat gejala
ansietas dan juga menurunkan efek yang mungkin muncul untuk menginisiasi terapi
antidepresan. Namun, perlu diingat penggunaan BDZ berhubungan dengan resiko
yang mungkin muncul seperti keberhasilan dari waktu ke waktu (toleransi), sedasi,
gangguan psikomotor, dan resiko jatuh yang meningkat (terutama pada pasien
lansia). BDZ juga harus digunakan dengan penyebab ekstrim pada pasien dengan
riwayat adiksi (alkohol dan obat obatan terlarang) dan riwayat kepatuhan yang
buruk untuk terapi antidepresan: keadaan tersebut merupakan suatu resiko bagi
pasien untuk melanjutkan antidepresan dan hanya melanjutkan pengobatan dengan
BDZ, karena respon pengobatan yang cepat terlihat. Penggunaan obat BDZ yang
hanya berdasarkan kebutuhan pasien tidak dianjurkan: pendekatan yang dilakukan
tidak efektif dari segi medis; pengulangan penggunaan pengobatan ke dosis awal
akan meningkatkan ketergantungan psikososial terhadap obat. Beberapa aspek
harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan panik:
 Dosis awal penggunaan SSRI dimulai dari setengah dosis awal penggunaan
untuk depresi mayor dan pemberian terapi bertahan sangat dianjurkan untuk
menurunkan kemungkinan gejala eksaserbasi dari gejala pada terapi hari
pertama, dengan pertimbangan sensitifitas yang lebih baik pada pasien
dengan stimulasi efek golongan SSRI
 Penggunaan BDZ harus dipertimbangkan pada minggu pertama pengobatan
untuk mencapai perbaikan gejala yang cepat (manfaat klinis pada SSRI
sendiri dapat dicapai pada 4-6 minggu pemakain) dan untuk meminimalisir
efek samping penggunaan awal dengan SSRI

34
Aktivasi psikomotor
psikosis
Sedasi/somnolen
Penurunan berat Penghambat
badan pengambilan
kembali DA
Mual
5-HT3 reseptor
Pandangan kabur
Mulut kering antagonis
Konstipasi ACH antagonis Antidepresan
Takikardi tradisional
Gangguan
Retensi urin
gastrointestinal
Penurunan fungsi
dan efek aktivasi
memori
Alfa 1 antagonis
Alfa 2 antagonis

Hipotensi postural
Pusing
priapisme
takikardi

Gambar 2. Efek samping

Untuk pasien yang mengeluhkan insomnia, penggunaan obat sangat efektif dan
ekonomis untuk mengobati pasien dalam julmlah yang besar. BDZ telah
menunjukkan keampuhan pada insomnia, memperpendek masa pengobatan dan
meningkatkan waktu tidur total. Tidak semua BDZ sama karena mereka memiliki
afinitas yang berbeda untuk setiap subpopulasi yang berbeda terhadap reseptor dan
perbedaan waktu paruh; semuanya memiliki efek yang sesuai dengan dosis yang
diberikan (kekuatan ansiolotik, penenang hipnotik, relaksan otot, antikonvulsan).
Pilihan pada BDZ yang berbeda terutama berdasakan bentuk dari insomnia yang
akan diobati(awal,pertengahan, atau akhir). Ketika diindikasikan, lebih baik
menggunakan BDZ dengan waktu paruh yang singkat atau menengahuntuk
mengurangi kemungkinan efek sampingdan komplikasi, seperti fungsi psikomotor
dan rasa mengantuk disiang hari.
Keadaan dimana adanya keluhan campuran antara insomnia dan depresi, mungkin
dibutuhkan pengobatan antidepresan bersamaan dengan pemberian obat hipnotik,
dengan keberhasilan yang beragam tergantung pada beratnya depresi dan tipe dari

35
insomnia. Antidepresan dapat memiliki efek yang baik terhadap insomnia selama
masa depresi atau mungkin memiliki efek “aktifasi” yang akan mengganggu waktu
tidur; untuk meminimalisir efek pada tidur dosis perlu diberikan pada pagi hari dan
saat pemberian dosis antidepresan.

Edukasi rawatan
 Terapi farmakologi dengan antidepresan saja, atau kombinasi keduanya
dapat diberikan untuk pengobatan depresi, rasa cemas menyeluruh,
serangan panik dan insomnia.
 Pilihan perawatan harus mempertimbangkan preferensi pasien dan harus
diputuskan bersama pasien.
 Penting untuk melibatkan pasien dalam proses terapi melalui komunikasi
yang memadai yang menginformasikan pasien, terutama mengenai waktu
untuk respon terapeutik setelah dimulainya pengobatan (farmakologis dan /
atau psikoterapi) dan kemungkinan timbulnya efek merugikan umum ketika
antidepres- sant digunakan.
 SSRI dan SNRI adalah pilihan pertama untuk pengobatan depresi dan telah
menunjukkan efikasi dan keamanan bahkan ketika digunakan dalam
pengaturan pengobatan umum.
 Dianjurkan untuk menggunakan dosis terapeutik terendah yang paling
efektif dari SSRI atau SNRI pada awal terapi untuk depresi. Perbaikan awal
dimulai pada 4 minggu setelah inisiasi terapi.
 Pada gangguan serangan panik, dosis awal SSRI atau SNRI adalah setengah
yang biasanya digunakan dalam pengobatan depresi, dan harus dititrasi
secara bertahap selama 2-4 minggu.
 BDZ dapat digunakan dalam 4 minggu pertama terapi untuk depresi dengan
adanya gejala kecemasan yang signifikan, dalam gangguan serangan panik
dan insomnia untuk mencapai perbaikan gejala yang cepat.
Antidepresan dan kepatuhan
Compliance (Kepatuhan) didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku seseorang,
dalam hal mengambil pengobatan atau mengubah gaya hidup, sesuai dengan resep
medis. Oleh karena itu, kepatuhan tidak harus dalam konteks “hanya karena kurang

36
minum obat", karena melibatkan berbagai perubahan perilaku dan gaya hidup, yang
masing-masing memainkan peran penting dalam keberhasilan pengobatan secara
keseluruhan. Akibatnya, kepatuhan yang tidak memadai dapat dikaitkan dengan
kegagalan untuk memenuhi kunjungan rawat jalan, tidak melakukan tes untuk
pemantauan, penghentian pengobatan dini, atau penolakan atau mengubah
pengobatan yang telah ditentukan. Untuk pendekatan yang lebih interaktif,
kolaboratif dan proaktif, banyak peneliti dan dokter telah menyarankan penggunaan
istilah 'adherence' atau ‘alliance’, daripada 'Compliance'. Namun, saat ini, istilah
adherence dan compliance digunakan secara bergantian. Secara tradisional,
penghentian selama pengobatan dianggap sebagai indeks ketidaktaatan terbaik. Di
bidang psikiatri, Cramer dan Rosenheck melaporkan bahwa kepatuhan terhadap
terapi farmakologis pada pasien dengan gangguan kejiwaan kurang dari pasien
dengan penyakit fisik, dengan tingkat ketidakpatuhan pada pasien gangguan
kejiwaan yang bervariasi dari 24 hingga 90% dengan tingkat rata-rata tidak patuh
sekitar 60%. Secara khusus, dalam pengobatan gangguan depresi, kepatuhan adalah
hal penting untuk mencapai semua tujuan dari terapi antidepresan, yang termasuk
resolusi gejala, mengembalikan fungsi normal dan mencegah kekambuhan dan
episode berulang. Jika terapi dipatuhi, sekitar 70% pasien dengan depresi dapat
berhasil diobati dengan farmakoterapi, terlepas dari ketersediaan antidepresan yang
berkhasiat, tingkat kekambuhan untuk depresi mencapai 80%, dan kegagalan terapi
mencapai 40% hingga 60%.
Selain itu, pedoman untuk pengobatan depresi tidak selalu diikuti dengan tingkat
ketidakpatuhan yang tinggi, dengan 28% pasien menghentikan pengobatan
antidepresan dalam bulan pertama dan 44% menghentikan dalam waktu tiga bulan
setelah memulai terapi. Bull dkk. telah melaporkan bahwa hingga 68% pasien
dengan depresi berhenti minum antidepresan setelah hanya tiga bulan pengobatan.
Dalam uji klinis acak, tingkat penghentian antara 20 dan 40%, dengan alasan paling
sering untuk penghentian diwakili oleh "efek samping", sementara dalam studi
naturalistik tingkatnya lebih tinggi, biasanya 50-60% dalam 10 minggu, dengan
kategori ' merasa lebih baik ' sebagai alasan paling sering . Selain itu, tingkat
kepatuhan keseluruhan menurun sebesar 2,5% untuk setiap bulan pengobatan
dengan antidepresan, seperti yang dilaporkan Demyttenaere et al. (2008). Dalam

37
beberapa tahun terakhir, banyak kemajuan telah dibuat dalam identifikasi faktor
risiko ketidakpatuhan terhadap terapi dengan antidepresan dan dalam
mengembangkan strategi untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan, yang dapat
mengarah pada hasil terapi yang lebih baik dan menurunkan morbiditas gangguan
depresi
Bagaimana menilai kepatuhan
Kepatuhan terhadap terapi farmakologis biasanya diklasifikasikan sebagai "baik"
(75-100% dari dosis), "rata-rata" (25-75% dari dosis), "buruk" (0-25% dosis).
"Hyper-compliance" didefinisikan sebagai asupan> 100% dari dosis. Perilaku
seperti ini sering kali ditetapkan oleh pasien dengan keyakinan bahwa hal ini akan
mempercepat onset aksi atau meningkatkan efektivitas dari obat. Leite et al.
menyatakan bahwa kepatuhan terhadap pengobatan harus didefinisikan sebagai
penggunaan obat yang diresepkan untuk setidaknya 80% dari waktu pengobatan,
dengan mempertimbangkan waktu hari, dosis dan total durasi pengobatan.
Mengukur ketidakpatuhan dan konsekuensinya dilakukan secara tidak langsung.
Demyttenaere mengidentifikasi dua masalah metodologis: yang pertama melekat
pada keandalan hasil studi, sedangkan yang kedua melibatkan instrumen yang
digunakan. Penulis berpendapat bahwa kepatuhan lebih besar dalam studi klinis
daripada praktik klinis, dan bahkan lebih besar dalam studi klinis yang menyelidiki
mengenai kepatuhan terhadap terapi. Juga dinyatakan bahwa, di bidang kepatuhan
terhadap terapi, alat pengukuran sederhana tidak akurat, dan yang akurat tidak
mudah digunakan. Menurut Farmer, alat untuk mengukur kepatuhan terhadap terapi
farmakologis dapat dibagi menjadi langsung dan tidak langsung Yang pertama
memberikan bukti bahwa pasien telah mengambil obat dan termasuk: deteksi obat
atau metabolitnya dalam cairan biologis (biasanya darah atau urin ), deteksi
penanda biologis yang digunakan bersama dengan obat (atau plasebo) dan
pengamatan pasien langsung. Kehadiran obat atau metabolitnya dalam cairan
biologis memberikan konfirmasi bahwa pasien telah menerima dosis obat dalam
periode tertentu sebelum pengujian. Kehadiran obat dalam tes, bagaimanapun,
belum bisa memastikan kepatuhan yang baik, dan ketiadaannya tidak selalu sesuai
dengan ketidakpatuhan. Kebanyakan pasien mungkin memiliki serum level obat
target yang serupa, tetapi mungkin telah menggunakan obat dengan cara yang

38
berbeda; kadar serum atau urin tidak dapat mengukur bagaimana pasien telah
menggunakan obat atau mendeteksi fluktuasi kepatuhan dari waktu ke waktu.
Akhirnya, variasi antar-individu dalam metabolisme dan dalam volume distribusi
mempengaruhi tingkat pengobatan terlepas dari kepatuhan, sehingga sulit untuk
diukur. Penanda biologis tidak beracun, dan senyawa stabil yang mudah
diidentifikasi, dapat ditambahkan ke obat untuk dipantau; mereka memberikan
bukti kualitatif bahwa pasien baru-baru ini menerima dosis obat. Terakhir, dalam
uji klinis yang dipantau secara ketat pasien dapat diamati secara langsung saat
mengambil obat. Metode ini tidak selalu berlaku atau sempurna karena pasien dapat
dengan sengaja berpura-pura menelan obat. Sebagian besar metode penilaian yang
digunakan adalah secara tidak langsung dan termasuk pelaporan diri oleh pasien,
menghitung tablet, revisi register resep dan perangkat pemantauan elektronik. data
yang diberikan oleh pasien tentang bagaimana mereka minum obat adalah cara
termudah untuk mengevaluasi kepatuhan. Wawancara pasien umumnya dianggap
sebagai metode yang dapat diandalkan, namun metode laporan diri yang digunakan
dan cara penggunaannya harus dipertimbangkan, mengingat bahwa tanggapan
pasien dapat dipengaruhi oleh komunikasi dengan dokter dan kata-kata spesifik dari
pertanyaan. Beberapa peneliti telah mencoba untuk memperbaiki kekurangan
tersebut dengan mengembangkan kuesioner standar self-report untuk mengukur
kepatuhan terhadap rejimen pengobatan, termasuk tes Morisky-Green (MGT) dan
Brief Medication Questionnaire (BMQ) . Untuk pasien dengan gangguan depresi,
Demyttenaere et Al. mengembangkan Antidepressant Compliance Questionnaire
(ADCQ), yang mengevaluasi sikap dan keyakinan pasien tentang depresi dan
pengobatan dengan antidepresan. Akhirnya, Gabriel dan Violato mengembangkan
Skala Kepatuhan Antidepresan (AAS), yang mempertanyakan pengetahuan dan
sikap pasien terhadap gangguan depresi sebagai penentu kepatuhan. Menghitung
tablet melibatkan penghitungan sederhana dari jumlah dosis yang pasien belum
diambil, dan membandingkan dosis yang diberikan kepada mereka yang
ditentukan. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan catatan resep
terkomputerisasi telah meningkatkan penggunaan penyesuaian resep, yang
memungkinkan peneliti untuk menyelidiki penghentian pemakaian obat dan
pengambilan obat yang tidak sesuai resep.

39
Akhirnya, perangkat pemantauan elektronik, termasuk Medication Event
Monitoring System (MEMS), mengandung mikroprosesor yang mencatat waktu
dan tanggal di mana pasien menerima dosis obat. Mereka berguna karena
memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi penyimpangan dari rejimen
yang ditentukan dan efek distribusi dosis harian. George dkk. membandingkan
empat metode berbeda untuk evaluasi kepatuhan untuk menentukan kelebihan dan
kekurangan. Berikut ini digunakan: laporan diri pasien, menghitung tablet, MEMS
dan tes plasma dothiepin dan nordothiepin. Teknik ini dievaluasi pada 88 pasien
yang memulai pengobatan dengan antidepresan trisiklik dalam pengaturan GP.
MEMS adalah teknik yang paling informatif dan dianggap sebagai 'standar emas'.
Kuesioner Morisky ditemukan menjadi teknik skrining yang berguna dengan
sensitivitas antara 72 dan 84% untuk identifikasi kepatuhan rendah dan spesifisitas
74,1% untuk kepatuhan yang baik (> 80%). Seperti dalam penelitian sebelumnya,
jumlah pil sulit dan validitasnya dipertanyakan. Dari keempat metode tersebut,
yang paling tidak memuaskan adalah pengukuran konsentrasi darah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Kepatuhan terhadap pengobatan antidepresan dipengaruhi oleh faktor
multidimensi. Sesuai dengan sebagian besar data literatur, oleh Demyttenaere et al.
menunjukkan bahwa alasan yang paling sering dilaporkan untuk penghentian terapi
oleh pasien adalah "merasa lebih baik" (55%, rata-rata waktu penghentian 11
minggu) dan munculnya efek samping (23%, waktu rata-rata 6,5 minggu). Namun,
beberapa alasan bertanggung jawab atas penghentian pada waktu yang berbeda
selama penelitian. Faktor utama yang mempengaruhi kepatuhan terkait dengan
karakteristik penyakit, pasien, pengobatan dan hubungan dokter-pasien. Penyakit
asimtomatik kronis yang memerlukan pengobatan jangka panjang, seperti
gangguan depresi, berhubungan dengan kepatuhan yang lebih rendah: semakin
lama fase remisi, semakin rendah kepatuhan terhadap terapi. Selain itu, penyakit di
mana hubungan antara ketidakpatuhan dan kambuh yangg jelas (misalnya diabetes)
dikaitkan dengan kepatuhan yang lebih baik daripada penyakit yang di mana
hubungan kurang jelas (misalnya gangguan depresi). Demyttenaere menyoroti
bahwa depresi itu sendiri dapat secara pasif mengurangi kepatuhan. Bahkan, pasien
sering memiliki masalah ingatan, dan mungkin merasa putus asa dan memiliki

40
motivasi yang kurang. Ayalon dkk. , dalam studi pasien lanjut usia, mencatat bahwa
gangguan pengobatan, dan khususnya gangguan yang tidak disengaja, terutama
terkait
dengan adanya defisit kognitif yang lebih nyata. Selain itu, gangguan kognitif juga
dapat mempengaruhi insight pasien. Lee et al. meneliti peran insight dan kepatuhan
dan menunjukkan bahwa pasien dengan depresi yang lebih berat cenderung
memiliki insight yang lebih besar, tetapi tidak terkait dengan kepatuhan yang lebih
baik. Banyak penelitian telah menyelidiki korelasi antara demografi pasien dan
kepatuhan. Terlepas dari anggapan umum bahwa pasien yang lebih tua kurang
patuh dibandingkan dengan individu yang lebih muda, hubungan ini belum
ditetapkan secara mantap, dan tampaknya fitur terkait lainnya, seperti usia lanjut,
isolasi sosial dan polifarmasi, adalah prediksi kepatuhan yang lebih rendah.
Gagasan bahwa pasien yang lebih tua kurang patuh didukung oleh penelitian oleh
van Geffen et al. di mana gangguan pengobatan dua kali lebih tinggi pada pasien
60 tahun dan lebih tua. Sebaliknya, Brown et al. melaporkan bahwa pasien yang
lebih tua lebih patuh terhadap terapi dibandingkan pasien yang lebih muda. Melihat
secara detail pada hasil van Geffen et al. dan Brown et al. , tampaknya,
bagaimanapun, bahwa pasien yang lebih tua lebih mungkin mempertanyakan
penggunaan terapi obat sebelum mencobanya, sedangkan mereka mungkin lebih
termotivasi untuk tetap pada terapi begitu diinisiasi. Demyttenaere menemukan
bahwa ketidakpatuhan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria dan, sama,
Brown et al. mengamati bahwa pria lebih patuh. Kessing dkk. menyelidiki sikap
dan keyakinan pasien bipolar depresi dan terhadap antidepresan. Mereka
melaporkan bahwa sejumlah besar pasien, terutama yang berusia di atas 40 tahun,
umumnya memiliki pandangan negatif terhadap antidepresan, gagasan yang tidak
jelas mengenai pengaruh mereka dan visi kritis dari hubungan dokter-pasien.
Bahkan aspek yang berhubungan dengan kepribadian adalah prediktor kepatuhan
yang penting, dan identifikasi mereka dapat membantu dalam mengembangkan
regimen pengobatan individual. Pada tahun 2004, Cohen dkk. menyelidiki
hubungan antara karakteristik kepribadian, menurut model 5-faktor, dan kepatuhan
terhadap pengobatan antidepresan pada 65 pasien rawat jalan dengan gangguan
depresi mayor. Mereka melaporkan bahwa ekstroversi adalah prediktor negatif

41
signifikan dari kepatuhan, sementara kesederhanaan adalah prediktor positif.
Dalam penelitian yang sama, penulis menunjukkan bahwa tidak ada karakteristik
sosio-demografi atau penyakit yang terkait seperti usia, jenis kelamin, atau jumlah
episode depresi sebelumnya, yang berkorelasi dengan kepatuhan. Aspek lain yang
menarik adalah jenis perawatan farmakologi yang diterima dan dosisnya.
Shigemura dkk., dalam penelitian pada 1151 subjek dengan gangguan depresi
mayor, mengamati bahwa pasien dengan monoterapi harian memiliki kepatuhan
yang lebih besar dibandingkan dengan bid and tid dosis, menunjukkan bahwa
pengurangan frekuensi pemberian membaik.
Bahkan formulasi dapat mempengaruhi kepatuhan. Antidepresan yang tersedia saat
ini biasanya diformulasikan sebagai tablet atau kapsul untuk pemberian oral; dalam
beberapa kasus mereka juga tersedia sebagai suspensi oral dan formulasi intravena.
Namun, formulasi dengan rilis diperpanjang dari fluoxetine, venlafaxine,
bupropion dan paroxetine sedang dalam pengembangan, yang menawarkan
kemudahan penggunaan yang lebih besar dan meningkatkan kepatuhan. Mengenai
karakteristik visual obat (misalnya bentuk, ukuran dan warna), de Craen et al.
menemukan bahwa tablet merah, oranye dan kuning yang paling tepat untuk obat
stimulan, dan biru dan hijau lebih cocok untuk obat penenang. Buckalew et al.
melaporkan bahwa kapsul dianggap lebih kuat daripada tablet dan ukuran kapsul
sesuai dengan persepsi kemanjuran. Dalam banyak penelitian, munculnya efek
samping adalah penyebab utama penghentian pengobatan. Dalam investigasi oleh
Bull et al., 43% pasien yang menghentikan pengobatan dalam 3 bulan
melakukannya karena efek samping. Proporsi ini menurun hingga 27% pada kuartal
kedua pengobatan, menunjukkan bahwa pasien yang terganggu oleh efek samping
lebih mungkin menghentikan pengobatannya pada tahap awal terapi. Ashton dkk. ,
bahkan jika mereka menemukan bahwa kurangnya kemanjuran adalah alasan
paling umum untuk penghentian, juga menekankan peran sentral dari efek samping,
termasuk hilangnya minat seksual, kelelahan dan kelesuan, dan peningkatan berat
badan yang signifikan. Mengenai pengaruh kelas obat pada kepatuhan, data dalam
literatur telah memberikan banyak pertimbangan untuk efektivitas sebagai efek
samping dari dua kelas utama antidepresan yang digunakan saat ini (SSRI dan
TCA). Sebuah meta-analisis dari 102 uji klinis terkontrol acak dari SSRI dan TCA

42
tidak menemukan perbedaan signifikan dalam kemanjuran antara kedua kelas.
Namun, meskipun perbedaan signifikan terlihat pada tingkat penghentian, relevansi
klinis dari perbedaan tersebut tidak jelas. Tingkat penghentian antara kedua kelas
serupa, meskipun SSRI memiliki profil tolerabilitas yang lebih baik. Bull dkk.
mempelajari komunikasi dokter-pasien. Mempertimbangkan ketersediaan banyak
antidepresan yang ditoleransi dengan baik, para penulis menemukan bahwa tingkat
penghentian pengobatan tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh munculnya efek
samping. Baik dokter dan pasien mengumpulkan kuesioner tentang informasi yang
telah diberikan kepada pasien tentang antidepresan dan durasi pengobatan.
Menariknya, 72% dokter menyebutkan bahwa mereka telah menyarankan pasien
untuk melanjutkan perawatan setidaknya selama 6 bulan. Sebaliknya, hanya 34%
pasien yang ingat menerima saran tersebut. Persentase ketidakpatuhan tiga kali
lebih besar untuk pasien yang berpikir
Bagaimana meningkatkan kepatuhan
Edukasi yang memadai dan partisipasi aktif merupakan dasar untuk meningkatkan
kepatuhan selama pengobatan pada pasien dengan gangguan depresi. Intervensi
yang menargetkan pasien, dokter dan aspek struktural perawatan dapat berpotensi
meningkatkan kepatuhan dan hasil pengobatan. Jika pasien mendapat informasi
tentang perjalanan penyakit, gejala dan prognosis, kepatuhan lebih baik. Beberapa
strategi telah dikembangkan untuk meningkatkan kepatuhan, termasuk:
meningkatkan komunikasi, pendidikan pasien, optimalisasi dosis dan penjadwalan
kunjungan tindak lanjut. Untuk meningkatkan komunikasi dokter-pasien, Cramer
mengusulkan bahwa dokter harus mendiskusikan diagnosis dan pengobatan dengan
pasien, serta rencana terapeutik yang dipilih dan waktu tindak lanjut. Pendidikan
harus mencakup informasi tentang perawatan dan penyedia layanan kesehatan
harus menawarkan intervensi suportif kepada pasien dan anggota keluarga,
sedangkan rejimen pengobatan harus mencakup pengurangan jumlah dosis harian
dan jumlah obat yang diambil. Bahkan masalah dalam peresapan yang dapat
mengganggu adhesi dan harus didiskusikan dengan pasien. Pada awal 1997,
Demyttenaere menyoroti pentingnya hubungan dokter-pasien dalam hal ini,
menyatakan bahwa pasien yang menganggap dokter memiliki empati dapat
membuang kekhawatiran mereka. Dalam studi yang disebutkan sebelumnya oleh

43
Ashton dkk. , penulis menyimpulkan bahwa kepatuhan dapat dipromosikan melalui
pemahaman yang lebih baik dari harapan dan keinginan pasien untuk terapi dan
dengan resep antidepresan yang terkait dengan insiden efek samping yang rendah.
Akhirnya, dalam tinjauan sistematis menilai efektivitas intervensi untuk
meningkatkan kepatuhan, Vergouwen et al. mencatat bahwa intervensi perawatan
kolaboratif, yang diuji dalam pengaturan perawatan primer, telah menunjukkan
peningkatan yang signifikan
ketaatan dalam kepatuhan selama fase akut dan pemeliharaan pengobatan, dan
dikaitkan dengan manfaat klinis, terutama pada pasien dengan depresi berat yang
diresepkan dosis obat yang kurang optimal. Dalam meta-analisis yang sama,
bagaimanapun, bukti tidak mengkonfirmasi kegunaan intervensi pendidikan.

44

Anda mungkin juga menyukai