Anda di halaman 1dari 4

LGD dan FGD: Tampak Sama Nyata

Beda

Serangkaian proses seleksi karyawan cukup beragam. Yang


ini mungkin sering kamu dengar, Leaderless Group
Discussion (LGD) dan Focus Group Discussion(FGD). Apa
beda kedua tes tersebut? Berikut penjelasannya!
Proses rekrumen melalui LGD maupun FGD merupakan proses penyeleksian
untuk menemukan potensi yang dimiliki pelamar. Seperti yang diungkapkan
oleh Sri Muliati Abdullah, MA, Psi., selaku staf ahli psikologi di ECC UGM
bahwa tidak semua perusahaan menggunakan proses LGD maupun FGD.
Namun masih ada beberapa perusahaan yang menggunakan penyeleksian
tersebut.

“Tergantung kebutuhan perusahaan. Biasanya yang dicari dalam FGD maupun


LGD adalah orang yang bisa menjalankan perannya dalam suatu kasus,” jelas
Lia, begitu Ia kerap dipanggil.

Serupa tapi tak sama

Serupa tetapi tak sama, mungkin itulah yang bisa menggambarkan Leaderless
Group Discussion (LGD) dan Focus Group Discussion (FGD). Keduanya sama-
sama digunakan dengan tujuan untuk mengekplorasi kemampuan pelamar
dalam sebuah diskusi. Dalam diskusi tersebut, dipaparkan sebuah kasus yang
nantinya akan dibahas. Para pelamar dibagi jadi beberapa kelompok. Lalu apa
bedanya?
Perbedaan jelas terlihat pada penggunaan kata ‘leaderless’ dan ‘focus’. Secara
lebih detail, perbedaan tampak pada proses diskusi. LGD, jika diartikan dalam
bahasa Indonesia berarti diskusi yang dilakukan tanpa adanya fasilitator atau
pemandu. Sedangkan FGD dipimpin oleh seorang fasilitator. “Leaderless,
tanpa pemimpin diskusi. Diskusi yang tidak ada pemimpinnya. Tugasnya
diserahkan ke forum,” kata Lia.
Galuh Setia Winahyu, M.Psi, Psikolog selaku Talent Solutions Manager ECC
UGM mengungkapkan, ditinjau dari tujuan FGD dan LGD, memang ada
perbedaan. “FGD tujuannya untuk mencari pemahaman baru dari isu yang
beredar saat ini. Fasilitatornya butuh data. Sedangkan LGD lebih pada
penyelesaian masalah secara kelompok,” jelas Galuh.

Selain itu, LGD lebih ditekankan pada kebebasan forum. Fasilitator hanya
menjadi pengawas diskusi yang dilakukan kelompok. Berbeda dengan FGD di
mana terdapat fasilitator yang mengatur jalannya diskusi, memberikan
kesempatan pada setiap anggota untuk mengungkapkan pikiran. Selain itu,
fasilitator juga mengarahkan agar diskusi tetap pada koridornya.

FGD maupun LGD sama-sama berangkat dari pemahaman masing-masing


terhadap isu. Sama-sama anggota tim harus mengemukakan pendapat.
Namun, dalam FGD tujuannya untuk menyamakan persepsi terhadap suatu
isu dan akhirnya muncul adanya kesepakatan baru dan pemahaman baru.
Proses FGD lebih dikendalikan oleh seorang fasilitator.

“Fasilitator menanyakan suatu hal kepada setiap anggota, kemudian akan


muncul sebuah kesimpulan baru dari pemahaman tiap anggota,” terang
Galuh.

Galuh memaparkan perbedaan lain antara FGD dan LGD. Dalam FGD tidak
ada penilaian karena pemahaman bersama yang dicari. Lain halnya dengan
LGD yang ditujukan untuk mencari data terkait anggota diskusi. “Setiap
peserta ada penilaiannya, mulai dari cara berkomunikasi, ketika bekerja
kelompok seperti apa, ketika Ia menjadi pemimpin seperti apa, bagaimana
cara berpikirnya, bagaimana memosisikan diri dalam kelompok, pengelolaan
emosi seperti apa,” ungkap Galuh. Ketika seseorang mengajukan pendapat
tentulah dilandasi dengan pola berpikir seseorang. Dari situ dapat diketahui
bahwa sejauh mana pengetahuan orang itu.

Pintar menempatkan diri

Seperti yang telah dijelaskan di atas, LGD maupun FGD merupakan proses
untuk mengeksplorasi kemampuan pelamar. Eksplorasi yang dimaksud ialah
menganalisis dan mempelajari seperti apa seseorang dalam bertindak ketika
menghadapi suatu masalah. Lia menjelaskan proses seleksi FGD maupun LGD
memang jarang digunakan untuk rekrutmen. Namun demikian, beberapa
perusahaan tetap menggunakannya.

PT Brantas Abipraya pun menggunakan penyeleksian melalui LGD maupun


FGD. Safriyadi selaku Human Resources di PT Brantas Abipraya
mengungkapkan pihaknya (PT Brantas Abipraya-red) melibatkan beberapa
psikolog untuk membantu prosesnya. “Kita melakukan proses rekrutmen
secara profesional dengan melibatkan psikolog maupun tim medis yang
berpengalaman,” ungkap Safriyadi. Keterlibatan psikolog dimaksudkan untuk
membantu proses LGD maupun FGD dan serangkaian tes lainnya, seperti
psiko tes dan wawancara.
Situasi FGD maupun LGD selayaknya disikapi seperti kerja kelompok. Galuh
menjelaskan dalam diskusi khususnya LGD kita harus menyelesaikan tugas,
jangan sampai tidak selesai. “Kerja kelompok harus aktif, tidak memaksakan
kehendak dalam kelompok,” tambahnya. Tak perlu persiapan khusus untuk
menghadapi LGD dan FGD. “Sama seperti akan interview ya, kita harus
mempersiapkan diri. Baca informasi, siap dengan beberapa tugas,” kata
Galuh.
Ia pun menjelaskan pertanyaan LGD tidak akan sulit, karena LGD lebih
menekankan pada proses. “Persiapan dirimu untuk siap menyampaikan
pendapat, siapkan diri bekerja kelompok, cara bicara, gesture,
penampilannya. Baca artikel isu terkini juga penting, tak hanya untuk
persiapan LGD melainkan juga untuk diri sendiri,” tambah Galuh.
Dalam sebuah diskusi, sering muncul anggapan bahwa yang menonjol atau
aktif adalah orang yang berpeluang besar untuk lolos dalam tes LGD maupun
FGD. Akan tetapi, anggapan itu tak selalu benar. “Perusahaan menilai aktif itu
tidak hanya sekadar cara bertanya, tidak hanya setiap ada ini komentar,
setiap ada itu komentar,” jabar Lia.

Perusahaan mencari seorang yang aktif bukan secara kuantitas melainkan


kualitas. “Aktif yang berkualitas, bukan dari seberapa banyak dan lama Ia
berbicara tapi juga ide yang disampaikan,” pungkas Lia. Tidak ada jaminan
seorang yang aktif dalam diskusi akan lolos dalam tes. Tak ada patokan
penilaian FGD maupun LGD yang baik, karena penilaian disesuaikan dengan
apa yang diinginkan perusahaan. Cermatlah menempatkan diri dalam sebuah
diskusi
 Jurus kalimat yang saya gunakan waktu akan berpedapat adalah dengan pola :
appreciate – state your opinion – give others chance, atau kurang lebihnya sebagai berikut :
“Terimakasih atas pendapat saudara A, menurut saya …………………, dari teman teman
lain apakah ada yang ingin menambahkan/ berpendapat lain?”
 Bagaimana apabila anda ingin menyanggah bagaimana? Sampaikan dengan cara yang
baik, jangan mengkonfrontasi. Mungkin contohnya begini : “Baik, kalau tadi mungkin
saudara A menyampaikan dari sudut pandang X, tetapi ada baiknya pula apabila kita melihat
dari sudut pandang Y yaitu …………
 Lalu, bagaimana kalau mau add on, atau cuma memberi opini tambahan? Sampaikan
begini : “ Saya sependapat dengan pendapat saudara, saya ingin menambahkan bahwa……..
juga sama pentingnya”

Anda mungkin juga menyukai