Anda di halaman 1dari 23

TUGAS STABILITAS BAHAN DAN SEDIAAN FARMASI

“SEDIAAN STERIL CAIR”

Dosen :

1. Prof. Dr. Teti Indrawati, Msi.Apt


2. Yayah Siti Juariah, S.Si, Msi,.Apt

Disusun Oleh :

1. Hana Farida 16334040


2. Rizky Windyastuti 16334047

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita pajatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang senang tiasa
melimpahkan rahmat dan hidayahNyalah sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan makalah
ini sebagaiman mestinya.
Pada kesempatan ini, penyusun mengharapkan agar nantinya makalah ini dapat
bermanfaat untuk teman-teman serta dapat dijadikan bahan pembelajaran. Penyusun
mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan waktu yang telah ditentukan.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kesalahan-kesalahan dan kekurangan oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Jakarta, 01 December 2018


Penyusun,

1
DAFTAR ISI

BAB 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 4
1.2 Tujuan............................................................................................................................... 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................. 5
2.1 Definisi sediaan steril ....................................................................................................... 5
2.2 Cara pembuatan dan cara penggunaan sediaan steril ....................................................... 5
2.2.1 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk Sediaan Steril............................... 5
2.3 Evaluasi sediaan steril ...................................................................................................... 6
2.4 Keuntungan dan kerugian sediaan steril........................................................................... 7
2.4.1 Keuntungan : ............................................................................................................. 7
2.4.2 Kerugian :.................................................................................................................. 7
2.5 Alasan formulasi / tujuan sediaan steril ........................................................................... 8
BAB III
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 9
3.1. Definisi ............................................................................................................................. 9
3.1. Keuntungan injeksi ......................................................................................................... 10
3.2. Kerugian Injeksi ............................................................................................................. 11
3.3. Komposisi Injeksi ........................................................................................................... 12
3.3.1 Bahan aktif .............................................................................................................. 12
3.3.2 Bahan tambahan ...................................................................................................... 13
3.3.3 Bahan Pembawa ...................................................................................................... 14
3.4. Syarat-syarat Injeksi ....................................................................................................... 15
3.5. Wadah Injeksi ................................................................................................................. 16
3.8.1 Gelas ....................................................................................................................... 17
3.8.2 Container / wadah ................................................................................................... 17
3.6. Cara Penyegelan Ampul ................................................................................................. 18
3.7. Cara Pengisian Ampul. ................................................................................................... 18
3.8. Evaluasi .......................................................................................................................... 18
3.8.1 Evaluasi Fisika ........................................................................................................ 18

2
3.8.2 Evaluasi Biologi ...................................................................................................... 19
3.8.3 Evaluasi Kimia ........................................................................................................ 19
3.9. Penandaaan ..................................................................................................................... 19
3.10. Pengemasan dan Penyimpanan ................................................................................... 20
BAB IV
PENUTUP..................................................................................................................................... 21
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................................... 21
3.2 Saran ................................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 22

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sediaan parental yang diberikan secara penyuntikan intravena, subkutan, dan
intramuscular merupakan rute pemberian obat yang kritis jika dibandingkan dengan
pemberian obat-obatan secara oral. Semakin meningkatnya perkembangan ilmu bioteknologi
telah meningkat pula jumlah yang diproduksi secara bioteknologi seperti obat peptide dan
atau produk gen. pada abad mendatang (sekarang sudah mulai) beberapa obat peptide dan
obat lainnya akan dihasilkan menurut prinsip bioteknologi.
Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas dari
mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan yang unik diantara bentuk
obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa
kebagian dalam tubuh. Karena sediaan mengelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh
yang paling efisien, yakni membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari
kontaminasi mikroba dan dari komponen toksik dan harus mempunyai tingkat kemurnian
tinggi dan luar biasa. Semua komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk ini
harus dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi secara fisik, kimia
atau mikrobiologi.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi sediaan steril
2. Untuk mengetahui cara pembuatan dan cara penggunaan sediaan steril
3. Untuk mengetahui evaluasi sediaan steril
4. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian sediaan steril
5. Untuk mengetahui alas an formulasi / tujuan sediaan steril

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi sediaan steril


Sediaan steril adalah sedian yang selain memenuhi persyaratan fisika-kimia juga
persyaratan steril. Steril berarti bebas mikroba. Sterilisasi adalah proses untuk mendapatkan
kondisi steril. Sediaan steril secara umum adalah sediaan farmasi yang mempunyai
kekhususan sterilitas dan bebas dari mikroorganisme.

2.2 Cara pembuatan dan cara penggunaan sediaan steril


2.2.1 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk Sediaan Steril
1) Prinsip dari CPOB adalah memperkecil pencemaran mikroba, partikulat, dan
pirogen. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
Keberadaan ruang penyangga untuk personil dan /atau peralatan dan bahan
Pembuatan produk dan proses pengisian dilakukan pada ruangan terpisah
Kondisi “operasional dan non operasional” hendaklah ditetapkan untuk
tiap ruang bersih.

2) Empat kelas kebersihan pada pembuatan produk steril:

1. Kelas A. Untuk kegiatan yang berisiko tinggi, misalnya pengisian wadah


tutup karet, ampul, dan vial terbuka, penyambungan secara aseptik.
Umumnya kondisi ini dicapai dengan memasang unit aliran udara
laminar (laminar air flow) dengan kecpatan 0,36-0,54 m/detik. Contoh
kegiatan: pembuatan dan pengisian aseptik
2. Kelas B. Untuk pembuatan dan pengisian secara aseptik, kelas ini adalah
lingkungan latar belakang untuk zona kelas A
3. Kelas C .Untuk melakukan tahap pembuatan produk steril dengan tingkat
risiko lebih rendah.Contoh kegiatan: Pembuatan larutan

5
4. Kelas D. Untuk melakukan tahap pembuatan produk steril dengan tingkat
risiko lebih rendah. Contoh kegiatan: penanganan komponen setelah
pencucian

3) Pembuatan Sediaan Steril


Gambaran umum pembuatan sediaan steril ada 2 macam, yaitu :
1. Aseptic processing: Pada pembuatannya, setiap proses dari awal persiapan hingga
sudah dikemas selalu dilakukan secara aseptik, sehingga hasil yang diperoleh
steril
2. Terminal sterilization: pada pembuatannya tidak terlalu aseptik seperti aseptic
processing, tapi di akhir proses, dilakukan sterilisasi secara menyeluruh.

2.3 Evaluasi sediaan steril


1.Uji pH
Cek pH larutan dengan menggunakan pH meter atau kertas indikator universal.
Dengan pH meter : Sebelum digunakan, periksa elektroda dan jembatan garam.
Kalibrasi pH meter. Pembakuan pH meter : Bilas elektroda dan sel beberapa kali
dengan larutan uji dan isi sel dengan sedikit larutan uji. Baca harga pH. Gunakan air
bebas CO2 untuk pelarutan dengan pengenceran larutan uji.
2. Uji kejernihan
Pemeriksaan dilakukan secara visual biasanya dilakukan oleh seseorang yang
memeriksa wadah bersih dari luar di bawah penerangan cahaya yang baik, terhalang
terhadap refleksi ke dalam matanya, dan berlatar belakang hitam dan putih, dengan
rangkaian isi dijalankan dengan suatu aksi memutar, harus benar-benar bebas dari
partikel kecil yang dapat dilihat dengan mata.
3. Uji keseragaman volume
Diletakkan pada permukaan yang rata secara sejajar lalu dilihat keseragaman
volume secara visual.
4. Uji kebocoran
Tidak dilakukan untuk vial dan botol karena tutup karetnya tidak kaku
5. Uji kebocoran (2)

6
Letakkan ampul di dalam zat warna ( biru metilen 0,5 – 1% ) dalam ruangan
vakum. Tekanan atmosfer berikutnya kemudian menyebabkan zat warna berpenetrasi
ke dalam lubang, dapt dilihat setelah bagian luar ampul dicuci untuk membersihkan
zat warnanya.
Catatan penting : jangan ditulis di proposal ujian, uji kebocoran hanya untuk ampul
6. Uji sterilitas
Asas : larutan uji + media perbenihan, inkubasi pada 20o – 25Oc. Kekeruhan /
pertumbuhan mikroorganisme ( tidak steril )
7. Uji pirogenitas
Secara biologik (Metode Seibert 1920: USP XII 1942)
Asas : Berdasarkan peningkatan suhu badan kelinci yang telah disuntikkan dengan
larutan ≤ 10 mg/Kg BB dalam vena auricularis.
Cara :- Setiap penurunan suhu dianggap nol
- Memenuhi syarat : tak seekor kelinci pun menunjukkan kenaikan suhu 0,5ºC
atau lebih
- Jika ada kelinci dengan kenaikkan suhu 0,5ºC atau lebih, lanjutkan dengan
kelinci tambahan
- Memenuhi syarat : tidak lebih dari 3 ekor kelinci dari 8 kelinci masing-
masing menunjukkan kenaikkan suhu 0,5ºC atau lebih dan jumlah kenaikkan
suhu maksimal 8 ekor kelinci tidak lebih dari 3,3ºC.

2.4 Keuntungan dan kerugian sediaan steril


2.4.1 Keuntungan :
1. aksi obat lebih cepat
2. cocok untuk obat inaktif jika diberikan oral
3. obat yang mengiritasi bila diberikan secara oral
4. kondisi pasien (pingsan, dehidrasi) sehingga tidak memungkinkan obat diberikan
secara oral.
2.4.2 Kerugian :
1. tidak praktis
2. butuh alat khusus (untuk injeksi)

7
3. sakit
4. risiko, kalau alergi atau salah obat maka tidak bisa langsung dihilangkan
5. butuh personil khusus, misal di rumah sakit oleh dokter atau perawat.

2.5 Alasan formulasi / tujuan sediaan steril


1. Kadar obat sampai ke target
Jumlah obat yang sampai ke jaringan target sesuai dengan jumlah yang diinginkan untuk
terapi.
2. Parameter farmakologi
Meliputi waktu paruh, C maks., onset.
3. Jaminan dosis dan kepatuhan
Terutama untuk pasien-pasien rawat jalan
4. Efek biologis
Efek biologis tidak dapat dicapai karena obat tidak bisa dipakai secara oral. Contoh:
amphoterin B (absorbsi jelek) dan insulin (rusak oleh asam lambung).
6. Altrnatif rute, jika tidak bisa lewat oral.
Dikehendaki efek lokal dengan menghindari efek atau reaksi toksik sistemik.
Contoh: methotreksat, penggunaan secara intratekal untuk pengobatan leukimia.
7. Kondisi pasien
Untuk pasien-pasien yang tidak sadar, tidak kooperatif, atau tidak bisa dikontrol
8. Inbalance (cairan badan dan elektrolit)
Contoh: muntahber serius, sehingga kekurangan elektrolit yang penting dan segera harus
dikembalikan efek lokal yang diinginkan. Contoh: anestesi lokal

8
BAB III
PEMBAHASAN

3.1.Definisi
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril berupa
larutan,emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih
dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau melalui selaput lendir.(FI.III.1979)
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah injeksi yang dikemas
dalam wadah 100 mL atau kurang. Umumnya hanya larutan obat dalam air yang bisa
diberikan secara intravena. Suspensi tidak bisa diberikan karena berbahaya yang dapat
menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kapiler.(FI.IV.1995)
Sediaan steril injeksi dapat berupa ampul, ataupun berupa vial. Injeksi vial adalah salah
satu bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada dosis ganda dan memiliki
kapasitas atau volume 0,5 mL – 100 mL. Injeksi vial pun dapat berupa takaran tunggal atau
ganda dimana digunakan untuk mewadahi serbuk bahan obat, larutan atau suspensi dengan
volume sebanyak 5 mL atau pun lebih. (Anonim.Penuntun Praktikum Farmasetika I.2011)
Berdasarkan R.VOIGHT(hal 464) menyatakan bahwa, botol injeksi vial ditutup
dengan sejenis logam yang dapat dirobek atau ditembus oleh jarum injeksi untuk menghisap
cairan injeksi. Injeksi intravena memberikan beberapa keuntungan :
1. Efek terapi lebih cepat .
2. Dapat memastikan obat sampai pada tempat yang diinginkan.
3. Cocok untuk keadaan darurat.
4. Untuk obat-obat yang rusak oleh cairan lambung.
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril. Secara
tradisional keaadan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat penghancuran dan
penghilangan semua mikroorganisme hidup. Konsep ini menyatakan bahwa steril adalah istilah
yang mempunyai konotasi relative, dan kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari
mikroorganisme hanya dapat diduga atas dapat proyeksi kinetis angka kematian
mikroba.(Lachman hal.1254)

9
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sediaan injeksi adalah
sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disusupensikan terlebih dahulu sebelum digunakan secara perenteral, suntikan dengan cara
menembus, atau merobek jaringan kedalam atau melalui kulit atau selaput lendir.
Sediaan steril untuk sedian perenteral digolongkan menjadi lima jenis yang berbeda yaitu :
 Obat larutan, atau emulsi yang digunakan untuk injeksi ditandai dengan nama injeksi,
contohnya adalah injeksi insulin.
 Sediaan padat kering atau cairan pekat yang tidak mengandung dapar, pengencer atau bahan
tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang memenuhi
persyaratan injeksi. Sediaan ini dapat membedakannya dari nama bentuknya yaitu steril,
contohnya Ampicilin Sodium steril.
 Sediaan seperti tertera pada no 2, tetapi mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau
bahan tambahan lain dan dapat dibedakan dari nama bentuknya.yaitu untuk injeksi,
contohnya Methicillin Sodium untuk injeksi.
 Sediaan berupa susupensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikkansacara intravena atau di dalam saluran spinal, dan dapat dibedakan dari nama
bentuknya yaitu susupensi steril. Contoh Cortisao Suspensi steril.
 Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang
memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan pembawanya yang
sesuai. Dan dapat membedakannya dari nama bentuknya yaitu steril untuk suspensi.
Contohnya Ampicilin steril untuk suspensi.

3.1. Keuntungan injeksi


 Respon fisiologis yang cepat dapat dicapai segera bila diperlukan, yang menjadi
pertimbangan utama dalam kondisi klinik seperti gagal jantung, asma, shok.
 Terapi parenteral diperlukan untuk obat-obat yang tidak efektif secara oral atau yang
dapat dirusak oleh saluran pencernaan, seperti insulin, hormon dan antibiotik.
 Obat-obat untuk pasien yang tidak kooperatif, mual atau tidak sadar harus diberikan
secara injeksi.

10
 Bila memungkinkan, terapi parenteral memberikan kontrol obat dari ahli karena pasien
harus kembali untuk pengobatan selanjutnya. Juga dalam beberapa kasus, pasien tidak
dapat menerima obat secara oral.
 Penggunaan parenteral dapat menghasilkan efek lokal untuk obat bila diinginkan seperti
pada gigi dan anestesi.
 Dalam kasus simana dinginkan aksi obat yang diperpanjang, bentuk parenteral tersedia,
termasuk injeksi steroid periode panjang secara intra-artikular dan penggunaan penisilin
periode panjang secara i.m.
 Terapi parenteral dapat memperbaiki kerusakan serius pada keseimbangan cairan dan
elektrolit.
 Bila makanan tidak dapat diberikan melalui mulut, nutrisi total diharapkan dapat dipenuhi
melalui rute parenteral.
 Aksi obat biasanya lebih cepat.
 Seluruh dosis obat digunakan.
 Beberapa obat, seperti insulin dan heparin, secara lengkap tidak aktif ketika diberikan
secara oral, dan harus diberikan secara parenteral.
 Beberapa obat mengiritasi ketika diberikan secara oral, tetapi dapat ditoleransi ketika
diberikan secara intravena, misalnya larutan kuat dektrosa.
 Jika pasien dalam keadaan hidrasi atau shok, pemberian intravena dapat menyelamatkan
hidupnya.

3.2. Kerugian Injeksi


 Bentuk sediaan harus diberikan oleh orang yang terlatih dan membutuhkan waktu yang
lebih lama dibandingkan dengan pemberian rute lain
 Pada pemberian parenteral dibutuhkan ketelitian yang cukup untuk pengerjaan secara
aseptik dari beberapa rasa sakit tidak dapat dihindari
 Obat yang diberikan secara parenteral menjadi sulit untuk mengembalikan efek
fisiologisnya.
 Yang terakhir, karena pada pemberian dan pengemasan, bentuk sediaan parenteral lebih
mahal dibandingkan metode rute yang lain.

11
 Beberapa rasa sakit dapat terjadi seringkali tidak disukai oleh pasien, terutama bila sulit
untuk mendapatkan vena yang cocok untuk pemakaian i.v.
 Dalam beberapa kasus, dokter dan perawat dibutuhkan untuk mengatur dosis.
 Sekali digunakan, obat dengan segera menuju ke organ targetnya. Jika pasien
hipersensitivitas terhadap obat atau overdosis setelah penggunaan, efeknya sulit untuk
dikembalikan lagi.
 Pemberian beberapa bahan melalui kulit membutuhkan perhatian sebab udara atau
mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuh. Efek sampingnya dapat berupa reaksi
phlebitis, pada bagian yang diinjeksikan.

3.3. Komposisi Injeksi


3.3.1 Bahan aktif
Data zat aktif yang diperlukan (Preformulasi)
 Kelarutan
terutama data kelarutan dalam air dari zat aktif sangat diperlukan, karena bentuk
larutan air paling dipilih pada pembuaan sediaan steril. Data kelarutan ini diperlukan untuk
menentukan bentuk sediaan. Zat aktif yang larut air membentuk sediaan larutan dalam air,
zat aktif yang larut minyak dibuat larutan dalam pembawa minyak. Sedangkan zat yang tidak
larut dalam kedua pembawa tersebut dibuat sediaan suspensi. Jika zat aktif tidak larut dalam
air ada beberapa alternatif yang dapat diambil sebelum memutuskan untuk membuat sediaan
suspensi atau larutan minyak yaitu dengan mencari bentuk garam dari zat aktif, melakukan
reaksi penggaraman, atau dicari bentuk kompleksnya
 pH stabilita
pH stabilita adalah pH dimana penguraian zat aktif paling minimal, sehingga
diharapkan kerja farmakologinya optimal. pH stabilita dicapai dengan menambahkan asam
encer, basa lemah atau dapar.
 Stabilitas zat aktif
Data ini membantu menentukan jenis sediaan, jenis bahan pembawa, metoda sterilisasi
atau cara pembuatan. Beberapa factor yang mempengaruhi penguraian zat aktif adalah:
a) Oksigen (Oksidasi) Pada kasus ini, setelah air dididihkan maka perlu dialiri gas
nitrogen dan ditambahkan antioksidan.

12
b) Air (Hidrolisis) Jika zat aktif terurai oleh air dapat dipilih alternatif :
 Dibuat pH stabilitanya dengan penambahan asam/basa atau buffe
 Memilih jenis pelarut dengan polaritas lebih rendah daripada air, seperti campuran
pelarut air-gliserin-propilenglikol atau pelarut campur lainnya.
 Dibuat dalam bentuk kering dan steril yang dilarutkan saat disuntikkan.
c) Suhu Jika zat aktif tidak tahan panas dipilih metode sterilisasi tahan panas, seperti filtrasi.
d) Cahaya Pengaruh cahaya matahari dihindari dengan penggunaan wadah berwarna cokelat.
 Tak tersatukannya (homogenitas) zat aktif ,
Baik ditinjau dari segi kimia, fisika, atau farmakologI
 Dosis
Data ini menentukan tonisitas larutan dan cara pemberian.
 Rute pemberian
a) Rute pemberian yang akan digunakan akan berpengaruh pada formulasi, dalam hal:
Volume maksimal sediaan yang dapat diberikan pada rute tersebut (Lihat datanya pada
bagian rute pemberian).
b) Pemilihan pelarut disesuaikan dengan rute pemberian
c) Isotonisitas dari sediaan juga dipengaruhi oleh rute pemberian. Pada larutan intravena
isotonisitas menjadi kurang penting selama pemberian dilakukan dengan perlahan
untuk memberikan waktu pengenceran dan ’adjust’ oleh darah. Injeksi intraspinal
mutlak harus isotonis.
3.3.2 Bahan tambahan
 Antioksidan : Garam-garam sulfurdioksida, termasuk bisulfit, metasulfit dan sulfit
adalah yang paling umum digunakan sebagai antioksidan. Selain itu digunakan :Asam
askorbat, Sistein, Monotiogliseril, Tokoferol.
 Bahan antimikroba atau pengawet : Benzalkonium klorida, Benzil alcohol,
Klorobutanol, Metakreosol, Timerosol, Butil p-hidroksibenzoat, Metil p-
hidroksibenzoat, Propil p-hidroksibenzoat, Fenol.
 Buffer : Asetat, Sitrat, Fosfat.
 Bahan pengkhelat : Garam etilendiamintetraasetat (EDTA).
 Gas inert : Nitrogen dan Argon.

13
 Bahan penambah kelarutan (Kosolven) : Etil alcohol, Gliserin, Polietilen glikol,
Propilen glikol, Lecithin
 Surfaktan : Polioksietilen dan Sorbitan monooleat.
 Bahan pengisotonis : Dekstrosa dan NaCl
 Bahan pelindung : Dekstrosa, Laktosa, Maltosa dan Albumin serum manusia.
 Bahan penyerbuk : Laktosa, Manitol, Sorbitol, Gliserin.
3.3.3 Bahan Pembawa
Bahan pembawa injeksi dapat berupa air maupun non air. Sebagian besar produk
parenteral menggunakan pembawa air. Hal tersebut dikarenakan kompatibilitas air dengan
jaringan tubuh, dapat digunakan untuk berbagai rute pemberian, air mempunyai konstanta
dielektrik tinggi sehingga lebih mudah untuk melarutkan elektrolit yang terionisasi dan
ikatan hydrogen yang terjadi akan memfasilitasi pelarutan dari alkohol, aldehid, keton, dan
amin.
Syarat air untuk injeksi menurut USP :
 Harus dibuat segar dan bebas pirogen
 Tidak mengndung lebih dari 10 ppm dari total zat padat.
 pH antara 5-7
 Tidak mengandung ion-ion klorida, sulfat, kalsium dan amonium, karbondioksida, dan
kandungan logam berat serta material organik (tanin, lignin), partikel berada pada batas
yang diperbolehkan.
a) Air Pro Injeksi
Aqua bidest dengan pH tertentu, tidak mengandung logam berat (timbal, Besi,
Tembaga), juga tidak boleh mengandung ion Ca, Cl, NO3, SO4, amonium, NO2, CO3.
Harus steril dan penggunaan diatas 10 ml harus bebas pirogen. Aqua steril Pro Injeksi
adalah air untuk injeksi yang disterilisasi dan dikemas dengan cara yang sesuai, tidak
mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya
Cara pembuatan : didihkan air selama 30 menit dihitung dari setelah air mendidih di atas
api lalu didinginkan. Cara : Aqua p.i + karbon aktif 0,1% dari volume, dipanaskan 60-
70oC selama 15 menit. Tidak boleh menggunakan Aqua DM karena ada zat-zat organik
yang tidak bermuatan dapat lolos, ditanggulangi dengan filtrasi karbon adsorben dan
filtrasi bakteri.

14
 Air Pro Injeksi Bebas CO2
CO2 mampu menguraikan garam natrium dari senyawa organic seperti barbiturate
dan sulfonamide kembali membentuk asam lemahnya yang mengendap.
Cara pembuatan : Mendidihkan air p.i selama 20-30 menit lalu dialiri gas nitrogen sambil
didinginkan. (Rep. Tek Fa. Steril hal 4)
 Air Pro Injeksi bebas O2
Dibuat dengan mendidihkan air p.i selama 20-30 menit dan pada saat
pendinginannya dialiri gas nitrogen. Dipakai untuk melarutkan zat aktif yang mudah
teroksidasi, seperti apomorfin, klorfeniramin, klorpromazin, ergometrin, ergotamine,
metilergotamin, proklorperazin, promazin, promesatin HCl, sulfamidin, turbokurarin.
b) Pembawa Non Air
Pembawa non air digunakan jika:
 Zat aktif tidak larut dalam air
 Zat aktif terurai dalam air
 Diinginkan kerja depo dalam sediaan Syarat umum pembawa non air .
 Tidak toksik, tidak mengiritasi dan menyebabkan sensitisasi
 Dapat tersatukan dengan zat aktif
 Inert secara farmakologi
 Stabil dalam kondisi di mana sediaan tersebut biasa digunakan
 Viskositasnya harus sedemikian rupa sehingga dapat disuntikan dengan mudah
 Harus tetap cair pada rentang suhu yang cukup lebar
 Mempunyai titik didih yang tinggi sehingga dapat dilakukan sterilisasi dengan panas
 Dapat bercampur dengan air atau cairan tubuh

3.4. Syarat-syarat Injeksi


a) Bebas dari mikroorganisme, steril atau dibuat dari bahan-bahan steril di bawah kondisi
yang kurang akan adanya kombinasi mikroorganisme (proses aseptik).
b) Bahan-bahan bebas dari endotoksin bakteri dan bahan pirogenik lainnya.
c) Bahan-bahan yang bebas dari bahan asing dari luar yang tidak larut.
d) Sterilitas
e) Bebas dari bahan partikula

15
f) Bebas dari Pirogen
g) Kestabilan
h) Injeksi sedapat mungkin isotonis dengan darah.

3.5. Wadah Injeksi


Wadah untuk injeksi termasuk penutup tidak boleh berinteraksi melalui berbagai
cara baik secara fisik maupun kimiawi dengan sediaan, yang dapat mengubah kekuatan,
mutu atau kemurnian di luar persyaratan resmi dalam kondisi biasa pada waktu
penanganan, pengangkutan, penyimpanan, penjualan, dan penggunaan. Wadah terbuat
dari bahan yang dapat mempermudah pengamatan terhadap isi. Tipe kaca yang
dianjurkan untuk tiap sediaan umumnya tertera dalam masing-masing monografi. (FI Ed.
IV, hal 10).
Wadah dan sumbatnya tidak boleh mempengaruhi bahan yang disimpan di
dalamnya baik secara kimia maupun secara fisika, yang dapat mengakibatkan perubahan
khasiat, mutu dan kemurniannya. (FI ed. III, hal XXXIV)
Bagaimanapun bentuk dan komposisi wadah, wadah pengemas merupakan
sumber dari masalah stabilitas sediaan, bahan partikulat, dan sumber pirogen. (Diktat
Steril, hal 82)
Ada dua tipe utama wadah untuk injeksi yaitu dosis tunggal dan dosis ganda.
Wadah dosis tunggal yang paling sering digunakan adalah ampul dimana kisaran
ukurannya dari 1-100 ml. pada kasus tertentu, wadah dosis ganda dan sebagainya berupa
vial serum atau botol serum. Kapasitas vial serum 1-50 ml, bentuknya mirip ampul tetapi
disegel dengan pemanasan. Ditutup dengan penutup karet spiral. Botol serum juga dapat
sebagai botol tipe army dengan kisaran ukuran dari 75-100 ml dan memiliki mulut yang
lebar dimana ditutup dengan penutup karet spiral. Labu atau tutup yang lebih besar
mengandung 250-2000 ml, digunakan untuk cairan parenteral yang besar seperti NaCl
isotonis.

16
3.8.1 Gelas
Gelas digunakan untuk sediaan parenteral dikelompokkan dalam tipe I, Tipe II,
dan Tipe III (tabel 8). Tipe I adalah mempunyai derajat yang paling tinggi, disusun
hampir ekslusif dan barosilikat (silikon dioksida), membuatnya resisten secara kimia
terhadap kondisi asam dan basa yang ekstrim. Gelas tipe I, meskipun paling mahal, ini
lebih disukai untuk produk terbanyak yang digunakan untuk pengemasan beberapa
parenteral. Gelas tipe II adalah gelas soda-lime (dibuat dengan natrium sulfit atau sulfida
untuk menetralisasi permukaan alkalinoksida), sebaliknya gelas tipe III tidak dibuat dari
gelas soda lime. Gelas tipe II dan III digunakan untuk serbuk kering dan sediaan
parenteral larutan berminyak. Tipe II dapat digunakan untuk produk dengan pH di bawah
7,0 sebaik sediaan asam dan netral. USP XXII memberikan uji untuk tipe-tipe gelas
berbeda.
Formulator harus mengetahuidan sadar bahwa masing-masing tipe gelas adalah
berbeda dan level bahan tambahannya (boron, sodium, potassium, kalsium, besi, dan
magnesium) yang berefek terhadap sifat kimia dan fisika. Oleh karena itu, formulator
sebaiknya mempunyai semua informasi yang diperlukan dari pembuatan gelas untuk
memastikan bahwa formulasi gelas adalah konsisten dan dari batch dan spesifikasi bahan
tambahan adalah konsisten ditemukan.

3.8.2 Container / wadah


Tipe wadah yang paling umum digunakan untuk sediaan parenteral volume kecil
adalah gelas atau vial polietilen dengan penutup karet dan besi. Gelas ampul digunakan
paling banyak untuk sistem pengemasan parenteral volume kecil, tetapi jarang digunakan
sekarang karena masalah aprtikel gelas ketika leher ampul dibuka. Masing-masing
pembedahan dan wadah catridge mempunyai peningkatan popularitas dan penggunaan
karena kenyamanan mereka dibandingkan vial dan ampul. Vial dan ampul menginginkan
kemunduran produk dari kemasan. Injeksi, sebaliknya produk-produk dalam pembedahan
dan catridge adalah siap untuk diberikan. Keduanya digunakan untuk parenteral volume
besar (LVP).
Wadah plastik digunakan untuk penggunaan produk mata. Salep dengan tube
logam digunakan untuk kemasan salep mata steril.

17
3.6. Cara Penyegelan Ampul
Ampul dapat ditutup dengan melelehkan bagian gelas dari leher ampul sehingga
membentuk segel penutup atau segel tarik. Segel penutup dibuat dengan melelehkan
sebagian gelas pada bagian atas leher ampul bulatan gelas dan menutup bagian yang
terbuka. Segel tarik dibuat dengan memanaskan leher dari suatu ampul yang berputar di
daerah ujungnya kemudian menarik ujungnya hingga membentuk kapiler kecil yang
dapat diputar sebelum bagian yang meleleh tersebut ditutup.

3.7. Cara Pengisian Ampul.


Untuk pengisian ampul, jarum hipodermik panjang adalah penting karena
lubangnya kecil. Jarum harus dimasukkan ke dalam ampul sampai di bawah. Leher
ampul, tetapi tidak cukup jauh untuk masuk ke dalam larutan yang dimasukkan ke dalam
ampul. Jarum harus dikeluarkan dari ampul tanpa menggunakan tetes larutan pada
dinding primer dari leher ampul. Metode ini digunakan untuk mencegah pengurangan dan
pengotoran jika ampul disegel.

3.8. Evaluasi
Dilakukan setelah sediaan disterilkan dan sebelum wadah dipasang etiket dan dikemas
3.8.1 Evaluasi Fisika
 Penetapan pH . (FI ed. IV, hal 1039-1040)
 Bahan Partikulat dalam Injeksi <751> ( FI> ed IV, hal. 981-984).
 Penetapan Volume Injeksi Dlam Wadah <1131> (FI ed. IV Hal 1044).
 Uji Keseragaman Bobot dan Keseragaman Volume (FI ed III hal. 19)
 Uji Kejernihan Larutan (FI ED. IV, hal 998)
 Uji Kebocoran (Goeswin Agus, Larutan Parenteral)
Pada pembuatan kecil-kecilan hal ini dapat dilakukan dengan mata tetapi untuk
produksi skala besar hal ini tidak mungkin dikerjakan.
Wadah-wadah takaran tunggal yang masih panas setelah selesai disterilkan
dimasukkan kedalam larutan biru metilen 0,1%. Jika ada wadah-wadah yang bocor maka
larutan biru metilen akan dimasukkan kedalamnya karena perbedaan tekanan di luar dan di

18
dalam wadah tersebut. Cara ini tidak dapat dilakukan untuk larutan-larutan yang sudah
berwarna.
Wadah-wadah takaran tunggal disterilkan terbalik, jika ada kebocoran maka larutan
ini akan keluar dari dalam wadah. Wadah-wadah yang tidak dapat disterilkan, kebocorannya
harus diperiksa dengan memasukkan wadah-wadah tersebut ke dalam eksikator yang
divakumkan. Jika ada kebocoran akan diserap keluar.

 Uji Kejernihan dan Warna ( Goeswin Agus, Larutan Parenteral, HAL 201)
Umumnya setiap larutan suntik harus jernih dan bebas dari kotoran-kotoran. Uji ini
sangat sulit dipenuhi bila dilakukan pemeriksaan yang sangat teliti karena hampir tidak ada
larutan jernih. Oleh sebab itu untuk uji ini kriterianya cukup jika dilihat dengan mata biasa saja
yaitu menyinari wadah dari samping dengan latar belakang berwarna hitam dan putih. Latar
belakang warna hitam dipakai untuk menyelidiki kotoran-kotoran berwarna muda, sedangkan
latar belakang putih untuk menyelidiki kotoran-kotoran berwarna gelap.

3.8.2 Evaluasi Biologi


 Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba <61> (FI ed IV, HAL 854-855)
 Uji Sterilitas <71> (FI ed. IV, HAL 855-863)
 Uji Endotoksin Bakteri <201> (FI ed. IV, HAL 905-907)
 Uji Pirogen <231> (FI ed. IV, HAL. 908-909)
 Uji Kandungan Zat Antimikroba <441> (FI ed. IV, HAL. 939-942)

3.8.3 Evaluasi Kimia

 Uji Identifikasi (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing)


 Penetapan Kadar (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing

3.9. Penandaaan
Pada etiket tertera nama sediaan, untuk sediaan cair tertera persentase atau jumlah
zat aktif dalam volume tertentu, cara pemberian, kondisi penyimpanan dan tanggal
kadaluarsa, nama pabrik pembuat dan atau pengimpor serta nomor lot atau bets yang

19
menunjukkan identitas. Nomor lot dan nomor bets dapat memberikan informasi tentang
riwayat pembuatan lengkap meliputi seluruh proses pengolahan, sterilisasi, pengisian,
pengemasan, dan penandaan.
Bila dalam monografi tertera berbagai kadar zat aktif dalam sediaan
parenteral volume besar, maka kadar masing-masing komponen disebut dengan nama
umum misalnya injeksi Dekstrosa 5% atau Injeksi Dekstrosa (5%).
Bila formula lengkap tidak tertera dalam masing-masing monografi, Penandaan
mencakup informasi berikut :

1. Untuk sediaan cair, persentase isi atau jumlah tiap komponen dalam volume tertentu,
kecuali bahan yang ditambahkan untuk penyesuaian pH atau untuk membuat larutan
isotonik, dapat dinyatakan nama dan efek bahan tersebut
2. Sediaan kering atau sediaan yang memerlukan pengenceran sebelum digunakan, jumlah
tiap komponen, komposisi pengencer yang dianjurkan, jumlah yang diperlukan untuk
mendapat konsentrasi tertentu zat aktif dan volume akhir larutan yang diperoleh , uraian
singkat pemerian larutan terkonstitusi, cara penyimpanan dan tanggal kadualarsa.

Pemberian etiket pada wadah sedemikian rupa sehingga sebagian wadah tidak tertutup
oleh etiket, untuk mempermudah pemeriksaan isi secara visual.

3.10. Pengemasan dan Penyimpanan


Volume injeksi wadah dosis tunggal dapat memberikan jumlah tertentu untuk
pemakaian parenteral sekali pakai dan tidak ada yang memungkinkan pengambilan isi
dan pemberian 1 liter. (FI Ed. IV, Hal 11)
Untuk penyimpanan obat harus disimpan sehingga tercegah cemaran dan
penguraian, terhindar pengaruh udara, kelembaban, panas dan cahaya.
Kondisi penyimpanan tergantung pada sediaannya, misalnya kondisi harus
disimpan terlindung cahaya, disimpan pada suhu kamar, disimpan di tempat sejuk,
disimpan di temapat dingin (FI Ed. III, Hal XXXIV)

20
BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sediaan steril adalah sedian yang selain memenuhi persyaratan fisika-kimia juga
persyaratan steril. Steril berarti bebas mikroba. Sterilisasi adalah proses untuk mendapatkan
kondisi steril. Sediaan steril secara umum adalah sediaan farmasi yang mempunyai
kekhususan sterilitas dan bebas dari mikroorganisme.
3.2 Saran
Sebaiknya dalam pembuatan makalah selanjunya, materi yang ada lebih di perbanyak. Agar
dapat memperluas pembahasan tentang sediaan steril yang beredar di masyarakat.

21
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

Kibbe, AH. 2000. Handbook of pharmaceutical Excipients. Third Edition. Washington D.C:
American Pharmaceutical AssociatioN.

Connors, KA. 1992. Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Edisi Kedua. Semarang: IKIP
Semarang Press.

Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Indrustri. Edisi Ketiga.
Vol III. Diterjemahkan oleh Siti Suyatmi. Jakarta: UI Press.

Ansel HC. 1998 . Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Diterjemahkan oleh Farida
Ibrahim. Jakarta: UI-Press.

BNF 37, 1999. Royal Pharmaceutical Society of Great Britain/British Medical Association;
Maret.

Trissels, LA. Handbook of Steril Injection. 11th Edition.

Turco S, King RE. 1979. Sterile Dosage Forms. Second edition. Philadelphia: Lea & Febiger.

Drug Information, 2003. American Society of Healthy System Pharmacists.

Reynold, James EF, 1982. Martindale the extra pharmacopeia, Twenty-eight edition. The
pharmaceutical press : London.

Sulistia G. Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan terapi. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia.Jakarta

22

Anda mungkin juga menyukai