Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas UAS Mata Kuliah Perbandingan
Sistem Pendidikan
Dosen :
Disusun Oleh :
NIM. 4103810317094
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas membuat makalah dari Mata
Kuliah Perbandingan Sistem Pendidikan.
Makalah ini membahas tentang Makalah Reformasi Sistem Pendidikan Di
Indonesia
Penulis,
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia saat ini masih sangat
rendah jika dibandingkan dengan negara lain bahkan dengan sesama anggota
ASEAN. Pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan
martabat bangsa. Tak salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam
pembangunan bangsa. Tinggi-rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu
pendidikan yang diterapkannya.
1
tantangan dan permasalahan tersebut dapat diatasi. Dunia pendidikan nasional
perlu dirancang agar mampu melahirkan generasi atau sumber daya manusia yang
memiliki keunggulan pada era globalisasi dan keterbukaan arus informasi dan
kemajuan alat komunikasi yang luar biasa.
Harus kita diakui, pelaksanaan pendidikan di Indoensia masih jauh dari
yang diharapankan. Begitu juga dengan mutu yang dihasilkannya. Padahal,
amanat Undang-Undang Dasar 1945 mematok tujuan pendidikan nasional begitu
tinggi: bisa mencerdaskan bangsa Indonesia. Cerdas dalam artian mayoritas rakyat
Indonesia memiliki budaya belajar dan mengajar dalam aktivitas kesehariannya
Program pendidikan nasional yang dirancang diyakini belum berhasil menjawab
harapan dan tantangan masa kini maupun di masa depan. Globalisasi seharusnya
menghadirkan peluang ‘positif’ untuk hidup nyaman, murah, indah dan maju,
bukan menghadirkan peluang ‘negatif’ yang menimbulkan keresahan, penderitaan
dan penyesatan. Dalam situasi ini, tugas sivitas akademika mengembangkan dan
menciptakan sistem pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang ‘mampu
memilih’ tanpa kehilangan peluang serta jati diri.
Dalam membangun pendidikan di masa depan perlu dirancang sistem
pendidikan yang dapat menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi. Sistem pendidikan yang dibangun tersebut perlu
berkesinambungan dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. Prof. Dr. Mastuhu, M. Ed., dalam bukunya
Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 mengatakan
bahwa pendidikan nasional yang dibutuhkan dalam abad mendatang adalah sistem
pendidikan yang tidak hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal semata,
tetapi juga mampu mengembangkan kecerdasan emosi, spiritual, dan agama
sekaligus sebagai satu kesatuan utuh.
2
BAB II
3
Adapun perbedaan dan Persamaan dari Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989
dengan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, antara lain:
a. Persamaan
Keduanya masih menempatkan Pendidikan sebagai kerja “non
akademik”,dan pendidikan diselenggarakan dibawah otorita kekuasaan
administratif-birokratis, dan belum menempatkan pendidikan sebagai
kerja “akademik”, dan penyelenggaraannya dibawah otorita keilmuan
(Gambar 1 dan Gambar 2 di lampiran)
Kerja Non Akademik: Loyalitas, “Yudical Hierarchy” , Esselonisasi,
dan Senioritas didasarkan masa kerja dan kepatuhan.
Kerja Akademik: Reputasi Akademik, bersaing dalam Kreativitas &
Inovasi, tidak mengenal “Yudical Hierarchy”, hanya mengenal
perbedaan bobot Mutu Akademik, dan tidak mengenal esselonisasi.
b. Perbedaan
1. Sentralisasi – Desentralisasi
a. Paradigma Keberagaman
4
2. Manizing Human = memanusiakan manusia benar-benar mampu
menjadi khalifah.
Manusia mampu memilih, menetapkan dan membangun model
kehidupannya dalam hidup bersama; bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dalam hal ini ada 3 jenis manusia:
1. Sepenuhnya pasrah apa kata Hukum Alam dan Sosial.
2. Sepenuhnya berontak mematahkan belenggu Hukum Alam dan Sosial.
3. Kombinasi keduanya, memiliki kecerdasan, kata hati dan keahlian serta
kesadaran bahwa tidak akan mampu melampaui Hukum Alam.
Ilmu merupakan bagian essensial isi ajaran agama (Islam). Ilmu terus
mengalir & bergulir, tanpa dapat dicegah. Tidak ada monopoli dlm mengasuh
dan mengklaim kebenaran ilmu.Tidak ada lagi pohon ilmu, telah berubah
menjadi jaringan ilmu.
5
Misi:
1. Menemukan, Mengamalkan dan Mengembangkan IPTEK dalam bingkai
nilai-nilai / ajaran agama.
2. Menjadi IPTEK sebagai alat untuk mencapai puncak kebenaran agama.
3. Memberantas “kebodohan bangsa”.
4. Kebodohan:Sumber Segala Malapetaka,meskipun Kebodohan bukan Dosa
5. Mengembangkan Pendidikan Multikultural.
Tujuan:
Orientasi Pendidikan:
6
Dosen, Guru, Pustakawan, Laboran, Peneliti, adalah Tenaga Akademik, &
bukan Tenaga Administrasi Birokrasi. Para pakar akademisi berdiri paling
depan dalam pemberdayaan mutu akademik unit pendidikan (sekolah); Tenaga
Non Akademik “mem-Back Up” & menfasilitasi kerja akademik. Diperlukan
“Academic Bill of Right” dalam dunia pendidikan.
1) Materi Ajar/Kurikulum
2) Metodologi Pembelajaran
1. Learning to Know
2. Learning to Do
3. Learning to Be
7
Kucuran Dana terlalu Kecil :< a= Tidak Berguna
8
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1).
Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta
dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
9
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan,
kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutan-
tuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat
mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan
dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2). Meskipun terjadi desentralisasi
pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem
pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh
presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini
pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standard nasional
pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2).
Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas
penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota
diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
10
ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal melalui
penyediaan tenaga-tenaga terdidik, juga menyikapi perlunya tersedia satuan
pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan kaliber dunia di Indonesia.
11
bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah
daerah dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga
pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis,
subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah
(pusat) dan pemerintah daerah.
j. Tantangan Globalisasi
12
berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3).
Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat
dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan
dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum
pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada
penyelenggaraan pendidikan dan/atau satuan pendidikan nasional yang
bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global. Selain itu
diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi dilakukan untuk
menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan
formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal 60 ayat
1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri yang
berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi
dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua
pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya
secara transparan.
13
Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru
adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan “plat merah” atau “plat kuning”;
semuanya berhak memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang
terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang
dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan
yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri khas tertentu. Itulah
sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama
pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst.).
Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu
kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).
Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan
keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan
tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab (pasal 3). Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru
telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu
selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam
penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) , dimana peningkatan iman dan
takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan
sebagainya dipadukan menjadi satu.
l. Jalur Pendidikan
Perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi
3 jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan
14
perubahan mendasar dalam Sisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan
informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun
termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan
penyelenggaraannyapun tidak konkrit. Jalur formal terdiri dari pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14), dengan jenis
pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan
khusus (pasal 15). Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah
dan masyarakat (pasal 16).
15
pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dan dapat
menyelenggarakan program akademik, profesi dan/atau vokasi (pasal 20 ayat
1- 3).
16
26 ayat 6). Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal
setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan
(pasal 27).
17
JPIP, pada pertengahan Juli 2003, pemerintah melalui A. Malik Fadjar yang
waktu itu menjabat Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) menyatakan
telah menyiapkan 13 rancangan peraturan pemerintah (RPP) turunan UU
Sidiknas.
18
Permendiknas No 14/2007 tentang Standar Isi untuk Program Paket A, B, dan
C. Atau, Permendiknas No 27/2007 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran
yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses
Pembelajaran.
19
dibanding melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja
hanya tenaga pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam
filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya Doktor dan Profesor
bidang pendidikan tetap mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan
sistem pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa
dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk
kemudian mengatur pendidikan dari balik meja berpedoman kepada teori-teori
Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit
mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.
Saat ini fokus kerja Pemerintah masih bertumpu pada sektor pendidikan
formal. Untuk kinerja itupun Pemerintah Indonesia oleh UNDP (United
Nations Development Programs) –dalam “Human Development Report 2006”
untuk kualitas pembangunan manusia– diganjar peringkat 108 dari 177 negara
di dunia. Potret UNDP itu sebangun dengan data BPS (Biro Pusat Statistik)
tahun 2005 tentang angka pengangguran menurut pendidikan dan wilayah
desa-kota: persentase pengangguran tamatan SMA ke atas lebih besar
dibanding tamatan SMP ke bawah. Artinya, sistem Pendidikan Nasional belum
berhasil mengantarkan anak bangsa untuk survive mandiri dan terampil
berwirausaha untuk kelangsungan hidupnya sendiri. Untuk mempercepat dan
memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan negara bukan
20
hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal
dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi
melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa
dikermbangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik nanti,
gelar-gelar akademik juga tidak lagi relefan.
21
muatan kognitif. Selain itu juga, kurikulum tidak mengembangkan potensi
anak secara maksimal. Dalam keadaan kurikulum sulit "dicerna" anak,
pembebanan makin bertambah dengan muatan lokal madrasah yang juga
membutuhkan kemampuan pemahaman yang baik.
22
pengelolaan telah membuahkan output yang mampu bersaing, sehingga
mendapat tempat di masyarakat.
23
B. Evaluasi Sistem Pendidikan Nasional
2. Faktor pendidikan.
Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Sekurang-
kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini,
meliputi:
24
tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar
yang tersedia di daerah masing-masing.
25
Generasi muda yang tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar
global.
2. Meningkatkan wajib belajar dari Sembilan tahun menjadi dua belas tahun.
26
4. Mengawal realisasi anggaran pendidikan yang besarnya 20% dari total
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebagaimana amanah
Pasal 31 ayat 4 Amandemen IV UUD 1945.
10. Memberi perhatian serius pada pendidikan khusus bagi anak bangsa yang
disebabkan oleh cacat atau kecerdasan luar biasa peserta didik.
27
12. Menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan. Kesadaran
masyarakat untuk ambil bagian dalam pendidikan adalah bentuk dari
ketahanan sosial atas perubahan tantangan lingkungan yang terjadi.
Pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua secara individu
per individu, tetapi itu tanggung jawab komunitas secara bersama.
Itulah tiga belas agenda reformasi Pendidikan yang urgen dilaksanakan untuk
mewujudkan kesejahteraan dan ketinggian martabat bangsa yang kita harapkan.
28
\
BAB III
KESIMPULAN
29
penciptaannya sebagai hamba Tuhan dan kemampuan mengemban amanah
mengelola bumi untuk dihuni secara aman, nyaman, damai, dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
http:///pnfi.depdiknas.go.id/test/uu_20_2003.pdf UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.
30
www.unindra.ac.id [5Maret 2008]. Problem Pendidikan di Era Reformasi
31