Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas UAS Mata Kuliah Perbandingan
Sistem Pendidikan

Dosen :

Prof. Dr. H. Yus Rusyana

Dr. Ujang Cepy Berlian, M.Pd.

Disusun Oleh :

Nizar Zulfriansyah Bahari, S.Pd

NIM. 4103810317094

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN


SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas membuat makalah dari Mata
Kuliah Perbandingan Sistem Pendidikan.
Makalah ini membahas tentang Makalah Reformasi Sistem Pendidikan Di
Indonesia

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih banyak


kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan sumbang saran yang sifatnya
membangun, sangat penulis perlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan
motivasi kami dalam mata kuliah ini.

Semoga Makalah ini dapat bermanfaat serta dapat menambah wawasan


pengetahuan keilmuan yang berguna untuk kemajuan dunia pendidikan.

Bandung, November 2018

Penulis,

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia saat ini masih sangat
rendah jika dibandingkan dengan negara lain bahkan dengan sesama anggota
ASEAN. Pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan
martabat bangsa. Tak salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam
pembangunan bangsa. Tinggi-rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu
pendidikan yang diterapkannya.

Pendidikan yang tepat dan efektif akan melahirkan anak-anak bangsa


yang cerdas, bermoral, memiliki etos kerja dan inovasi yang tinggi. Negara-negara
yang telah berhasil mencapai kemajuan dan menguasai teknologi-peradaban
mengawali kesuksesannya dengan memberi perhatian yang besar terhadap sektor
pendidikan nasionalnya. Sektor pendidikan mendapat dukungan penuh dan secara
terus menerus sistemnya diperbaiki agar sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan
daya akses seluruh lapis masyarakat mereka.

Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia diatur dalam Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sebagaimana diketahui, Undang-Undang adalah wujud dari harapan rakyat yang
dimanifestasikan oleh DPR. Dalam hal ini harapan dan tantangan di masa depan,
pendidikan merupakan sesuatu yang sangat berharga dan dibutuhkan. Pendidikan
di masa depan diharapkan memainkan peranan yang sangat fundamental di mana
cita-cita suatu bangsa dan negara dapat diraih. Bagi masyarakat suatu bangsa,
pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang akan menentukan masa depannya.
Menghadapi masa depan yang sudah pasti diisi dengan arus globalisasi dan
keterbukaan serta kemajuan dunia informasi dan komunikasi, pendidikan akan
semakin dihadapkan terhadap berbagai tantangan dan permasalahan yang lebih
rumit dari pada masa sekarang atau sebelumnya. Untuk itu, pembangunan di
sektor pendidikan di masa depan perlu dirancang sedini mungkin agar berbagai

1
tantangan dan permasalahan tersebut dapat diatasi. Dunia pendidikan nasional
perlu dirancang agar mampu melahirkan generasi atau sumber daya manusia yang
memiliki keunggulan pada era globalisasi dan keterbukaan arus informasi dan
kemajuan alat komunikasi yang luar biasa.
Harus kita diakui, pelaksanaan pendidikan di Indoensia masih jauh dari
yang diharapankan. Begitu juga dengan mutu yang dihasilkannya. Padahal,
amanat Undang-Undang Dasar 1945 mematok tujuan pendidikan nasional begitu
tinggi: bisa mencerdaskan bangsa Indonesia. Cerdas dalam artian mayoritas rakyat
Indonesia memiliki budaya belajar dan mengajar dalam aktivitas kesehariannya
Program pendidikan nasional yang dirancang diyakini belum berhasil menjawab
harapan dan tantangan masa kini maupun di masa depan. Globalisasi seharusnya
menghadirkan peluang ‘positif’ untuk hidup nyaman, murah, indah dan maju,
bukan menghadirkan peluang ‘negatif’ yang menimbulkan keresahan, penderitaan
dan penyesatan. Dalam situasi ini, tugas sivitas akademika mengembangkan dan
menciptakan sistem pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang ‘mampu
memilih’ tanpa kehilangan peluang serta jati diri.
Dalam membangun pendidikan di masa depan perlu dirancang sistem
pendidikan yang dapat menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi. Sistem pendidikan yang dibangun tersebut perlu
berkesinambungan dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. Prof. Dr. Mastuhu, M. Ed., dalam bukunya
Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 mengatakan
bahwa pendidikan nasional yang dibutuhkan dalam abad mendatang adalah sistem
pendidikan yang tidak hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal semata,
tetapi juga mampu mengembangkan kecerdasan emosi, spiritual, dan agama
sekaligus sebagai satu kesatuan utuh.

2
BAB II

A. REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


a. Latarbelakang Reformasi Sistem Pendidikan Nasional

Dalam proses perjalanan UU No.2/l989 tentang Sisdiknas sekitar l3 tahun


Sisdiknas dirasakan menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:

a) Sisdiknas telah menjadi alat politik pemerintah untuk memperkuat


kekuasaannya.
b) Pendidikan terlalu diatur secara sentralistik oleh pemerintah, dan
masyarakat kurang diberi peran dalam penyelenggaraan pendidikan;
inisiatif, kreativitas dan inovasi masyarakat kurang mendapat
kesempatan berkembang.

c) Pendidikan tidak dapat menjadi pranata sosial untuk pembudayaan dan


transformasi masyarakat

d) Pendidikan tidak mampu menjawab tantangan lingkungan strategis,


yaitu perkembangan politik-ekonomi-sosial-budaya, baik di daerah,
nasional, maupun internasional yang berubah secara cepat.

e) Sisdiknas belum menerapkan prinsip-prinsip pendidikan: Pendidikan


Untuk Semua, Pendidikan Seumur Hidup, dan Pendidikan Terbuka.

Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar


ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan
perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa
Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah
mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru yaitu
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, sebagai pengganti Undang-
undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.

3
Adapun perbedaan dan Persamaan dari Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989
dengan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, antara lain:
a. Persamaan
Keduanya masih menempatkan Pendidikan sebagai kerja “non
akademik”,dan pendidikan diselenggarakan dibawah otorita kekuasaan
administratif-birokratis, dan belum menempatkan pendidikan sebagai
kerja “akademik”, dan penyelenggaraannya dibawah otorita keilmuan
(Gambar 1 dan Gambar 2 di lampiran)
Kerja Non Akademik: Loyalitas, “Yudical Hierarchy” , Esselonisasi,
dan Senioritas didasarkan masa kerja dan kepatuhan.
Kerja Akademik: Reputasi Akademik, bersaing dalam Kreativitas &
Inovasi, tidak mengenal “Yudical Hierarchy”, hanya mengenal
perbedaan bobot Mutu Akademik, dan tidak mengenal esselonisasi.
b. Perbedaan

1. Sentralisasi – Desentralisasi

2. Pemerintah Pusat / Daerah: BertanggungJawab pada pelayanan, Dana,


Rambu-rambu Nasional dan Standard Mutu Nasional.

3. Masyarakat: Bertanggungjawab pada Unit Pendidikan [Sekolah-


Madrasah] dan Mutu Pendidikan.

4. Sisiknas (No.20/2003) lebih demokratis, terbuka,memberikan


otonomitas & tanggungjawab pada masyarakat dalam
menyelenggarakan pendidikan bermutu.

a. Paradigma Keberagaman

Pendidikan memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang (pendidikan


keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program
diploma, sekolah tinggi, institusi, universitas, dsb). Namun hakikatnya satu,
yaitu memanusiakan manusia. Hakikatnya pendidikan mengembangkan:

1. Human Dignity = harkat dan martabat manusia

4
2. Manizing Human = memanusiakan manusia benar-benar mampu
menjadi khalifah.
Manusia mampu memilih, menetapkan dan membangun model
kehidupannya dalam hidup bersama; bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dalam hal ini ada 3 jenis manusia:
1. Sepenuhnya pasrah apa kata Hukum Alam dan Sosial.
2. Sepenuhnya berontak mematahkan belenggu Hukum Alam dan Sosial.
3. Kombinasi keduanya, memiliki kecerdasan, kata hati dan keahlian serta
kesadaran bahwa tidak akan mampu melampaui Hukum Alam.

b. Paradigma Pemikiran Keilmuan

Ilmu merupakan bagian essensial isi ajaran agama (Islam). Ilmu terus
mengalir & bergulir, tanpa dapat dicegah. Tidak ada monopoli dlm mengasuh
dan mengklaim kebenaran ilmu.Tidak ada lagi pohon ilmu, telah berubah
menjadi jaringan ilmu.

Hubungan antara agama dan ilmu adalah sebagai berikut:

1. Agama adalah Puncak Pencapaian, sedangkan Ilmu adalah Alat


Pencapaian.
2. Agama adalah Kebenarannya Mutlak, sedangkan Ilmu Kebenarannya
Relatif.
3. Ketika agama bertemu ilmu terjadi 4 model: Konflik, Inter Independensi,
Dialog, Integrasi.

c. Paradigma Baru Pendidikan Nasional

Paradigma Pendidikan Nasional dapat dilihat dari visi, misi, tujuan,


orientasi dan strategi sistem pendidikan.

Visi: Menjadi Sistem Pendidikan yang unik/khas Indonesia dalam rangka


mengembangkan kecerdasan kehidupan nasional berdasarkan nilai-nilai
Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh, agar bangsa ini menjadi bangsa
yang bermartabat dan terhormat dalam tata kehidupan internal modern
“Menjadi modern dengan tetap pada jati dirinya”.

5
Misi:
1. Menemukan, Mengamalkan dan Mengembangkan IPTEK dalam bingkai
nilai-nilai / ajaran agama.
2. Menjadi IPTEK sebagai alat untuk mencapai puncak kebenaran agama.
3. Memberantas “kebodohan bangsa”.
4. Kebodohan:Sumber Segala Malapetaka,meskipun Kebodohan bukan Dosa
5. Mengembangkan Pendidikan Multikultural.

Tujuan:

1. Mengembangkan Potensi kemampuan peserta didik dalam menguasai


IPTEK untuk kemaslahatan kehidupan bersama dan memelihara
lingkungan kehidupan.
2. Mengembangkan budaya belajar: “Sekolah boleh selesai, belajar tidak
kenal berhenti”

Orientasi Pendidikan:

 Pendidikan untuk semua, secara merata dan adil


 Kebutuhan, kenyataan dan “life skill” dalam tata kehidupan bersama.

 Kebutuhan “duniawiyah” tanpa melepaskan diri dari bayang-bayang


kehidupan surgawi-ukrowiyah.

d. Strategi penyelenggaraan pendidikan nasional (sekolah):

Berfokus pada mutu, untuk itu diperlukan: otonomi, akreditasi, evaluasi


dan akuntabilitas. Bersaing mutu, kemandirian, keterbukaan, disiplin dan
profesional, serta dalam meningkatkan pelayanan terhadap peserta didik
melalui peningkatan SDM dan Manajemen atau Pengelolaan Sekolah.

e. Pendidikan adalah kerja akademik

6
Dosen, Guru, Pustakawan, Laboran, Peneliti, adalah Tenaga Akademik, &
bukan Tenaga Administrasi Birokrasi. Para pakar akademisi berdiri paling
depan dalam pemberdayaan mutu akademik unit pendidikan (sekolah); Tenaga
Non Akademik “mem-Back Up” & menfasilitasi kerja akademik. Diperlukan
“Academic Bill of Right” dalam dunia pendidikan.

1) Materi Ajar/Kurikulum

Kurikulum bertolak dari kebutuhan, IPTEK, pasar, nilai luhut


budaya/tradisi/agama.

2) Metodologi Pembelajaran

1. Learning to Know

2. Learning to Do

3. Learning to Be

4. Learning to Live Together

5. Learning throughout Life

6. Learn How to Learn

Belajar “Menjadi” bukan sekedar “Memiliki”. Menguasai


“Metodologi” bukan sekedar “Materi”. Tidak ada
“Keterpisahan”antara ilmuan dan ilmunya atau keahliannya.

f. Dana dan Sistem Pendanaan

Dana pendidikan harus memperhatikan jumlah dan sumber dana supaya


dana tersebut benar-benar menjadi penopang dalam dunia pendidikan. Dalam
hal ini ada istilah “Funding System” dalam system pendanaan. “Funding
System” adalah sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan peluang.
Konsepnya adalah sebagai berikut:

7
Kucuran Dana terlalu Kecil :< a= Tidak Berguna

Kucuran Dana terlalu Besar :> a= Manja & Mubazir

Kucuran Dana = a = sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan


menggunakan;makin tinggi kemajuan, makin tinggi kebutuhan,makin tinggi
kemampuan, makin besar a (dana) yang dapat dikucurkan.

g. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003

Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab


dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu
tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang
dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain
adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat,
tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan
peserta didik.

h. Demokratisasi dan Desentralisasi (Otonomi Daerah)

Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang


mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan
pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi
dan memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga perana pemerintah
pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun
lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada
pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini
harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang
menggantikan paradigma lama yang sentralistis.

Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan


dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan
(pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi

8
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1).
Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta
dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan


kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga
negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah
(pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya Dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15
tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah
daerahmenjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung
jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah
daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2). Dengan adanya desentralisai
penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan
pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah (pusat),
pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan, pemerintah
(pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran
pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar
Negara RI tahun 1945 - (”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”) - (pasal 46 ayat 2). Itulah
sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus
gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam
APBN (pasal 49 ayat 2).

9
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan,
kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutan-
tuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat
mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan
dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2). Meskipun terjadi desentralisasi
pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem
pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh
presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini
pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standard nasional
pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2).
Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas
penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota
diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma


baru pendidikan, untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah
berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini
pewilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan
basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang
memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih
memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di
lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut.

Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah


teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis. Selain itu pemerintah
(pusat) dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan sekurangkurangnya
satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikanm yang bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal

10
ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal melalui
penyediaan tenaga-tenaga terdidik, juga menyikapi perlunya tersedia satuan
pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan kaliber dunia di Indonesia.

Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, maka


pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan
pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal
42 ayat 2). Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan
pendidik dan/atau guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik
dan/atau guru untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta
didik (pasa 12 ayat 1 huruf a dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat
bekerja secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan
penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan
kebutuhan satuan pendidikan formal (pasal 41 ayat 1 dan 2)). Selain itu
pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki kewenangan
mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal
maupun non formal (pasal 62 ayat 1), sesuai dengan lingkup tugas masing-
masing. Dengan adanya desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan
pelayanan klepada rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.

i. Peran Serta Masyarakat

Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong


pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam
pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga,
organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat
tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil
pendidikan (pasal 54 ayat 2). Oleh karena itu masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta
manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan
(pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat

11
bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah
daerah dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga
pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis,
subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah
(pusat) dan pemerintah daerah.

Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk


dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah
lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli
terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga
mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas
sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1 butir 24 dan
25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga,
sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal
56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan
pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite
sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3).

j. Tantangan Globalisasi

Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia,


maka sebagaimana dijelaskan di muka, harus ada minimal satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi
satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik oleh pemerintah (pusat)
maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3). Untuk itu perlu dibentuk suatu
badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan/atau
satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun
masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat 1).
Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan
pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Badan hukum pendidikan
yang akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) itu, harus

12
berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3).

Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat
dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan
dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum
pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada
penyelenggaraan pendidikan dan/atau satuan pendidikan nasional yang
bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global. Selain itu
diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi dilakukan untuk
menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan
formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal 60 ayat
1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri yang
berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi
dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua
pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya
secara transparan.

Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan


ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi, yang
diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau
lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus
setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Dalam
mengantisipasi perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi,
maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam sisdiknas, sebagai
paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat
diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang
berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat
yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal
31 ayat 1 dan 2).

k. Kesetaraan dan Keseimbangan

13
Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru
adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan “plat merah” atau “plat kuning”;
semuanya berhak memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang
terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang
dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan
yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri khas tertentu. Itulah
sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama
pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst.).
Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu
kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).

Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan
keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan
tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab (pasal 3). Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru
telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu
selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam
penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) , dimana peningkatan iman dan
takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan
sebagainya dipadukan menjadi satu.

l. Jalur Pendidikan

Perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi
3 jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan

14
perubahan mendasar dalam Sisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan
informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun
termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan
penyelenggaraannyapun tidak konkrit. Jalur formal terdiri dari pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14), dengan jenis
pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan
khusus (pasal 15). Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah
dan masyarakat (pasal 16).

Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi


jenjang pendidikan menengah berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah
ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah
pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang
sederajad (pasal 17 ayat 1 dan 2). Dengan demikian istilah SLTP harus
berganti kembali menjadi SMP. Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar,
bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi
bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (pasal 28 dan
penjelasannya). Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur
formal (TK, raudatul athfal, dan bentuk lain yang sejenis), nonformal
(kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal
(pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan).

Pendidikan menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri


atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, serta berbentuk sekolah
menengah atas (SMA) , madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan
(SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad
(pasal 18). Sebagaimana istilah SLTP, maka sebutan SLTA berganti lagi
menjadi SMA. Pendidikan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah, mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, dan doktor, yang diselenggarakan dengan sistem terbuka (pasal 19
ayat 1-3). Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah
tinggi, institut atau universitas, yang berkewajiban menyelenggarakan

15
pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dan dapat
menyelenggarakan program akademik, profesi dan/atau vokasi (pasal 20 ayat
1- 3).

Perguruan tinggi juga dapat memberikan gelar akademik, profesi atau


vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan (pasal 21 ayat
1). Bagi perguruan tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan
gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak
memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan,
kebudayaan, atau seni (pasal 22). Selain itu masalah yang cukup aktual dan
meresahkan masyarakat, seperti pemberian gelar-gelar instan, pembuatan
skripsi atau tesis palsu, ijazah palsu dan lain-lain, telah diatur dan diancam
sebagai tindak pidana dengan sanksi yang juga telah ditetapkan dalam UU
Sisdiknas yang baru (Bab XX Ketentuan Pidana, pasal 67-71).

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang


memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah,
dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat, dan berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26 ayat 1 dan 2).
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak
usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 ayat 3). Satuan
pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok
belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta
satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai
setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses
penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan
pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan (pasal

16
26 ayat 6). Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal
setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan
(pasal 27).

m. Potret Pendidikan pada Era Reformasi

UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah


berusia lima tahun. Di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan pemilihan kepala
daerah (pilkada) di berbagai penjuru nusantara, tidak banyak kalangan yang
mengingatkan publik bahwa UU Sisdiknas telah berusia lima tahun. Padahal,
lebih dari lima tahun lalu, proses pembahasan (rancangan) UU itu sempat
diwarnai perdebatan cukup sengit dan menguras emosi massa.

Di tengah polemik dan kontroversi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


-minus Fraksi PDIP- akhirnya menyetujui (rancangan) UU ini pada 11 Juni
2003. Tidak sampai sebulan kemudian, Presiden Megawati pun
menandatanganinya pada 8 Juli 2003.

Ironisnya, perdebatan sengit yang mewarnai pembahasan UU tersebut


tidak sebanding dengan kesadaran masyarakat untuk mengontrol
implementasinya. Akibatnya, tidak jarang implementasi UU Sisdiknas justru
melenceng jauh dari semangat reformasi pendidikan nasional.

Kini, setelah lima tahun usia UU Sisdiknas, pemerintah ternyata baru


berhasil menambahkan pengesahan satu UU dan tiga PP lagi. Yaitu, UU No
14/2005 tentang Guru dan Dosen (30 Desember 2005), PP No 55/2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (5 Oktober 2007), PP No
47/2008 tentang Wajib Belajar dan PP No 48/2008 tentang Pendanaan
Pendidikan (4 Juli 2008).

Kelemahan paling menonjol dari implementasi UU Sisdiknas adalah


kelambanan pemerintah menyiapkan peraturan pelaksanaannya. Dalam catatan

17
JPIP, pada pertengahan Juli 2003, pemerintah melalui A. Malik Fadjar yang
waktu itu menjabat Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) menyatakan
telah menyiapkan 13 rancangan peraturan pemerintah (RPP) turunan UU
Sidiknas.

Ke-13 RPP tersebut merupakan rangkuman dari 37 pasal UU Sidiknas


yang harus dijabarkan ke dalam peraturan pemerintah (PP). Malik
menambahkan, tujuh di antara 13 RPP tersebut terkait pendidikan dasar dan
menengah. Waktu itu Malik juga menjanjikan hasil penyusunan PP tersebut
diumumkan kepada masyarakat pada semester kedua 2004.

Faktanya, hingga dua tahun pasca berlakunya UU Sisdiknas, pemerintah


baru menerbitkan satu PP. Yaitu, PP No 19/2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP). Ironisnya, sejarah juga mencatat bahwa PP “kejar tayang”
itu pun terbit setelah DPR mengancam akan membatalkan kebijakan ujian
nasional jika tidak ada payung hukum dalam bentuk PP.

Padahal, pasal 75 UU Sisdiknas mengamanatkan dengan tegas, semua


peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan UU ini
harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya UU ini
(baca: sejak 8 Juli 2003).

Keprihatinan akan semakin terasa tatkala kita membandingkan UU


Sisdiknas dengan UU No 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
(SKN). Pasalnya, hanya dalam tempo 15 bulan setelah terbitnya UU SKN (23
September 2005), pemerintah telah menerbitkan tiga PP sekaligus. Yaitu, PP
No 16/2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, PP No 17/2007 tentang
Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga, dan PP No 18/2007 tentang
Pendanaan Keolahragaan (5 Februari 2007).

Di sisi lain, Mendiknas justru sangat produktif menerbitkan peraturan


menteri (permen) turunan PP SNP yang mengatur “hal-hal parsial”. Misalnya,
Permendiknas No 12/2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah,
Permendiknas No 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, atau

18
Permendiknas No 14/2007 tentang Standar Isi untuk Program Paket A, B, dan
C. Atau, Permendiknas No 27/2007 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran
yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses
Pembelajaran.

Permendiknas No 27/2007 bahkan tidak hanya menyebut spesifikasi buku,


tapi juga nama dan alamat penerbit. Mendiknas banyak mengurusi persoalan
seperti itu, sehingga pada saat mandat besar menyiapkan PP turunan Sisdiknas
pun terbengkalai. Merujuk pernyataan Malik Fadjar, berarti pemerintah kini
masih punya tanggungan sembilan PP yang belum diterbitkan.

Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang


terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok
penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat
berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana
psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut
hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi.

Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem


pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga
kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun
di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya,
output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun
kemudian. SDM kita yang tidak kompetetif hari ini adalah juga produkdari
sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah sistem
pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru yang kita
miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam
konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa
mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang
sulit diputus.

Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh


untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya
bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook

19
dibanding melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja
hanya tenaga pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam
filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya Doktor dan Profesor
bidang pendidikan tetap mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan
sistem pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa
dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk
kemudian mengatur pendidikan dari balik meja berpedoman kepada teori-teori
Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit
mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.

Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan


di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas
Depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan
pendidikan.

Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa


terikat aturan birokrasi, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai
banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.

Sekolah international diperlukan sebagai respon terhadap globalisasi,


tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi
budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda.

Saat ini fokus kerja Pemerintah masih bertumpu pada sektor pendidikan
formal. Untuk kinerja itupun Pemerintah Indonesia oleh UNDP (United
Nations Development Programs) –dalam “Human Development Report 2006”
untuk kualitas pembangunan manusia– diganjar peringkat 108 dari 177 negara
di dunia. Potret UNDP itu sebangun dengan data BPS (Biro Pusat Statistik)
tahun 2005 tentang angka pengangguran menurut pendidikan dan wilayah
desa-kota: persentase pengangguran tamatan SMA ke atas lebih besar
dibanding tamatan SMP ke bawah. Artinya, sistem Pendidikan Nasional belum
berhasil mengantarkan anak bangsa untuk survive mandiri dan terampil
berwirausaha untuk kelangsungan hidupnya sendiri. Untuk mempercepat dan
memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan negara bukan

20
hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal
dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi
melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa
dikermbangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik nanti,
gelar-gelar akademik juga tidak lagi relefan.

Sekolah adalah tempat menumbuhkansuburkan nilai-nilai luhur dalam diri


anak bangsa yang menjadi peserta didik. Tentu saja aspek moral tidak boleh
dilupakan. Tawuran dan perilaku asusila sebagian oknum pelajar/mahasiswa
adalah cermin belum terimplementasikannya amanat UUD 1945 dan UU
Sistem Pendidikan Nasional tentang nilai-nilai agama. Kegiatan sekolah lebih
besar porsinya untuk pengajaran. Padahal pengajaran tanpa bingkai
pendidikan moral hanya menciptakan orang pintar yang kehilangan arah dari
hakikat kemuliaan eksistensinya sebagai makhluk mulia yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003, pasal 17 menyiratkan


bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI) merupakan jenjang pendidikan yang setara
dengan sekolah dasar (SD), madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan
sekolah menengah pertama (SMP). Pasal 18 mengungkapkan bahwa madrasah
aliyah (MA) setara dengan sekolah menengah atas (SMA) serta madrasah
aliyah kejuruan (MAK) setara dengan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Namun legal formal kesetaraan belum mampu mengangkat kualitas
pendidikan sains madrasah untuk menyejajarakan diri dengan sekolah umum.
Permasalahan yang ada sebetulnya adalah masalah klise, seperti sarana dan
prasarana, guru, dan kurikulum. Kenyataan, banyak murid madrasah belajar di
bawah ancaman runtuhnya bangunan. Banyak madrasah tidak memiliki sarana
dan prasarana yang memenuhi standar minimal.

Masalah klise lain adalah pendidik. Minimnya tenaga pendidik, tidak


memiliki kualifikasi edukasi, dan salah kamar (mismatch) dari pendidik,
paling banyak ditemui di madrasah. Kurikulum madrasah sebagai hasil adopsi
dari kurikulum sekolah umum, terlalu padat dan berat, karena sarat dengan

21
muatan kognitif. Selain itu juga, kurikulum tidak mengembangkan potensi
anak secara maksimal. Dalam keadaan kurikulum sulit "dicerna" anak,
pembebanan makin bertambah dengan muatan lokal madrasah yang juga
membutuhkan kemampuan pemahaman yang baik.

Kenyataan-kenyataan yang menjadi faktor penghambat dalam


meningkatkan kualitas madrasah harus segera ditata ulang. Harus ada usaha
dan keinginan yang kuat untuk merevitalisasi madrasah, sehingga tidak ada
kesan seolah madrasah menjadi sekolah kelas dua.

Dewasa ini hampir setiap individu telah menempatkan materi dan


kekuasan menjadi tujuan hidup. Suatu fakta yang sulit ditepis, bahwa dengan
kekayaan materi dan atau kekuasaan, membuat orang menjadi terhormat.
Untuk memberikan perlawanan terhadap hal ini, dibutuhkan pendidikan yang
memberikan keseimbangan dalam mengembangkan kecerdasan akal dan
kecerdasan spiritual.

Prof. Dr. Mastuhu, M. Ed., dalam bukunya Menata Ulang Pemikiran


Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 mengatakan bahwa pendidikan nasional
yang dibutuhkan dalam abad mendatang adalah sistem pendidikan yang tidak
hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal semata, tetapi juga mampu
mengembangkan kecerdasan emosi, spiritual, dan agama sekaligus sebagai
satu kesatuan utuh.

Model pendidikan yang sesuai dengan harapan itu adalah madrasah.


Madrasah telah memiliki landasan dalam mengembangkan potensi manusia
secara utuh di mana pendidikan yang mengembangkan kecerdasan akal dan
kecerdasan ilmu agama yang di dalamnya sudah tercakup kecerdasan emosi
dan moral sudah diterapkan.

Pendidikan yang bernuansa Islam yang semakin kondusif berhasil diadopsi


oleh sekolah-sekolah swasta Islam. Sekolah-sekolah itu telah menyinergikan
secara apik antara pendididikan sains dan pendidikan agama. Kecermatan

22
pengelolaan telah membuahkan output yang mampu bersaing, sehingga
mendapat tempat di masyarakat.

Model pendidikan Madrasah jika dianalisis (SWOT) memiliki:

Strength (Kekuatan): > 80 % Swasta, percaya dan hormat pada Kiai/Ulama


dan percaya bahwa Kiyai atau Guru Mengajarkan sesuatu yang benar,
panggilan Agama, Murah dan Merakyat.

Weakness (Kelemahan): Lemah dan tidak Profesional hampir disemua


komponennya, STRESS: Terombang-ambing antara “Jati Diri”dan “Ikut
Model Sekolah Umum”. Antara ikut “DIKNAS dan DEPAG”, belum ada
sistem yang mantap dalam pengembangan model “Pendidikan Agama” dan
“Pendidikan Keagamaan”.

Opportunity (Peluang): UU No.20 Th 2003 memberi kesempatan atau


momentum pengembangan madrasah (Pendidikan Agama dan Keagamaan),
Lembaga Pendidikan Tinggi berkesempatan membuat RPP untuk UU no. 20
Th 2003, dan menawarkan konsep pemberdayaan madrasah secara sistemik
dan menyeluruh atau utuh.

Threatment (Ancaman): Madrasah akan kehilangan jati dirinya, kalau


demikian halnya Madrasah akan selalu menjadi “Warga Kelas Dua” dan
tercabut dari akar budaya komunitas muslimnya.

Menata ulang sistem pendidikan madrasah akan lebih efisien dibandingkan


dengan menggabungkan diri ke sekolah umum. Semoga madrasah menjadi
sekolah unggulan pada masa yang akan datang.

Karena itu, seluruh komponen bangsa harus bersatu-padu dan


meningkatkan komitmen untuk merumuskan dan merealisasikan kebijakan
peningkatan mutu pendidikan. Sebab, pembangunan dan penyelenggaraan
Pendidikan Nasional yang benar dan efektif merupakan amanat konstitusi
sekaligus tuntutan zaman yang tak bisa dielakan. Tanpa itu, bangsa besar ini
akan masuk dalam daftar sejarah sebagai bangsa yang kalah dan musnah.

23
B. Evaluasi Sistem Pendidikan Nasional

Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia Indonesia,


sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:

1. Faktor hereditas, faktor keturunan.


Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia
Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912.
Menurut bapak sosiologi Ibnu Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa
ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua
generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu
sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik
menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu satu
tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran.
Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun
berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita
dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak
masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun masih belum
selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak
generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar,
tetapi justru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar.

2. Faktor pendidikan.
Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Sekurang-
kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini,
meliputi:

[1] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan


penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi
lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split
personality, kepribadian yang pecah.

[2] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang


hanya bisa memandang Jakarta (Ibu Kota) sebagai satu-satunya

24
tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar
yang tersedia di daerah masing-masing.

[3] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan


masyarakat yang berdisiplin.

[4] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia


global

[5] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan


hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru
negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14
siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000
siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU
negeri mencapai Rp.400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk
Madrasah Aliah hanya Rp.4.000,-/anak/tahun.

[6] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan


SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik.
Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi
tidak tumbuh.

[7] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-


gagasan otonomi daerah.

[8] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya,


bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.

[9] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –


yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.

Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang


telah mengakibatkan:

25
 Generasi muda yang tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
 Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar
global.

 Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.

 Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair

 Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis

 Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah

 Cendekiawan yang hipokrit,

 Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan

 Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.

 Pemimpin-pemimpin daerah yang kurang bijak dalam peggunaan dana


daerah.

C. Agenda Reformasi Sistem Pendidikan Nasional

1. Melakukan pembangunan Sistem Pendidikan Nasional yang konprehensif,


integratif, dan aplikatif. Makna konprehensif adalah menjamin perbaikan
yang berkelanjutan, integratif tak memisahkan aspek moral dan nilai-nilai
luhur dari pembelajaran dan pengajaran, dan aplikatif menunjuk pada
mutu dan meningkatnya daya saing bangsa.

2. Meningkatkan wajib belajar dari Sembilan tahun menjadi dua belas tahun.

3. Meningkatkan kopetensi, kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan


terhadap profesi guru tanpa membeda-bedakan status kepegawaian, PNS
atau swasta.

26
4. Mengawal realisasi anggaran pendidikan yang besarnya 20% dari total
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebagaimana amanah
Pasal 31 ayat 4 Amandemen IV UUD 1945.

5. Melakukan monitoring dan evaluasi sistematis terhadap berbagai aspek


konsep dan operasional Sistem Pendidikan Nasional di semua jenis,
jenjang, dan jalur pendidikan.

6. Memastikan terlaksananya proses pendidikan yang menanamkan jiwa


kebebasan, kemandirian, kewirausahaan, dan meningkatkan keterampilan
hidup dan daya juang kepada anak-anak bangsa yang menjadi peserta
didik.

7. Menerapkan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan meningkatkan


partisipasi masyarakat baik dalam penyelenggaraan pendidikan formal,
nonformal, dan informal.

8. Meningkatkan kualitas pengelolaan manajemen sekolah dan metode


pembelajaran serta menjadikan sekolah tidak lagi sebagai menara gading
yang steril dari analisis kebutuhan lingkungan sekitarnya. Sekolah bukan
hanya tempat penyelenggaraan pendidikan, tapi juga bisa menjadi pusat
latihan, seminar, workshop, dan studi banding. Sekolah adalah pusat
belajar masyarakat di wilayahnya berada.

9. Terselenggaranya pendidikan yang murah, bermutu, dan berwawasan


global yang memiliki daya saing nasional di percaturan global.

10. Memberi perhatian serius pada pendidikan khusus bagi anak bangsa yang
disebabkan oleh cacat atau kecerdasan luar biasa peserta didik.

11. Menjadikan sekolah sebagai tempat kaderisasi kepemimpinan nasional dan


memasukkan program wajib militer untuk menumbuhkan rasa
nasionalisme.

27
12. Menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan. Kesadaran
masyarakat untuk ambil bagian dalam pendidikan adalah bentuk dari
ketahanan sosial atas perubahan tantangan lingkungan yang terjadi.
Pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua secara individu
per individu, tetapi itu tanggung jawab komunitas secara bersama.

13. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan


mutu pendidikan.

Itulah tiga belas agenda reformasi Pendidikan yang urgen dilaksanakan untuk
mewujudkan kesejahteraan dan ketinggian martabat bangsa yang kita harapkan.

Pelaksanaan proses pendidikan harus efektif untuk menanamkan jiwa


kebebasan, kemandirian, dan kewirausahaan. Dengan begitu anak-anak bangsa
yang menjadi peserta didik bisa eksis dalam persaingan di masa datang berbekal
keterampilan hidup (life skill) dan daya juang (adversity quotient) yang mumpuni.
Kurikulum diarahkan untuk memberi pengalaman belajar yang seimbang yang
meliputi aspek intektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Dan titik
tekannya adalah membentuk karakter pembelajar agar anak bangsa yang menjadi
peserta didik memiliki keinginan untuk belajar di sepanjang hayatnya. Tipe
bangsa pembelajarlah yang bisa survive menghadapi persaingan global yang
rivalitasnya bukan lagi di tataran negara vs negara atau kota vs kota. Tetapi, sudah
di level individu vs individu.

28
\

BAB III

KESIMPULAN

Upaya memperbaiki Pendidikan Nasional tidak hanya menyangkut


masalah fisik dan dana saja. Tapi, harus lebih mendasar dan strategis. Sistem
Pendidikan Nasional perlu direformasi dengan memadukan wahyu Tuhan dan
ilmu pengetahuan sebagai arena utama aktivitas pendidikan. Sekolah bukan hanya
menjadi tempat pembekalan pengetahuan kepada anak bangsa, tapi juga lembaga
penanaman nilai dan pembentuk sikap dan karakter. Anak-anak bangsa
dikembangkan bakatnya, dilatih kemampuan dan keterampilannya. Sekolah
tempat menumbuhkembangkan potensi akal, jasmani, dan rohani secara
maksimal, seimbang, dan sesuai tuntutan zaman. Output keseluruhan proses
pendidikan adalah menyiapkan peserta didik untuk bisa merealisasikan fungsi

29
penciptaannya sebagai hamba Tuhan dan kemampuan mengemban amanah
mengelola bumi untuk dihuni secara aman, nyaman, damai, dan sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

http:///erik12127.wordpress.com. PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL


DALAM UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NO 20 TAHUN 2003.

http:///fkip-unpas.com Latar Belakang Terbitnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang


Sistem Pendidikan Nasional

http:///imamsamroni.wordpress.com[2008/12/01] . Bedah buku msi uii : Menata


Ulang Pemikiran Sisdiknas Abad XXI.

http:///pnfi.depdiknas.go.id/test/uu_20_2003.pdf UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.

http:///sanaky.com . [ 29 Juli 2005] MENATA ULANG PEMIKIRAN SISTEM


PENDIDIKAN NASIONAL DALAM ABAD 21

http://www.mirifica.net. MENYONGSONG HADIRNYA UNDANG-UNDANG


SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL 2003.

30
www.unindra.ac.id [5Maret 2008]. Problem Pendidikan di Era Reformasi

31

Anda mungkin juga menyukai