Anda di halaman 1dari 42

Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Maros, 8 Oktober 2018

RSUD Salewangan Maros

REFARAT

SKIZOFRENIA YANG TAK TERGOLONG

PENYUSUN :
Siti Ramdhani Yugie Prajamukti

111 2017 2022

PEMBIMBING :
dr. Nur Isra, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

1
2018

2
3
LEMBAR PENGESAHAN

Refarat yang berjudul “Skizofrenia Yang Tak Tergolong” yang dipersiapkan dan
disusun oleh :

Nama : Siti Ramdhani Yugie Prajamukti

NIM : 111 2017 2022

Judul : Skizofrenia Yang Tak Tergolong

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Maros, 8 Oktober 2018

Pembimbing

dr. Nur Isra, Sp.KJ

4
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................... i
Lembar pengesahan ................................................................................................ ii
Daftar Isi ............................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
2.1 Definisi .................................................................................................. 3
3.2 Epidemiologi ......................................................................................... 4
3.3 Etiologi .................................................................................................. 6
3.4 Patofisiologi .......................................................................................... 9
3.5 Gejala Klinis.......................................................................................... 13
3.6 Diagnosis ............................................................................................... 17
3.7 Diagnosis Banding ................................................................................ 22
3.8 Penatalaksanaan .................................................................................... 25
2.9 Prognosis ............................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 37

5
BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan jiwa merupakan gangguan pada pikiran, perasaan, atau perilaku

yang mengakibatkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Salah satu

gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di seluruh dunia adalah

skizofrenia. Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis dari berbagai

keadaan psikopatologis yang sangat mengganggu yang melibatkan proses pikir,

emosi, persepsi dan tingkah laku. Skizofrenia merupakan golongan psikosa yang

ditandai dengan tidak adanya pemahaman diri (insight) dan ketidakmampuan

menilai realitas (RTA).

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di

berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar

hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi

dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.

Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25

tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden

skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di

daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan.

Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat,

terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan

nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku

6
menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang

terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri.

Penderita skizofrenia memerlukan penatalaksanaan secara integrasi, baik

dari aspek psikofarmakologis, dan aspek psikososial. Hal ini berkaitan dengan

kondisi setiap penderita yang merupakan seseorang dengan sifat individual,

memiliki keluarga dan sosial psikologis yang berbeda-beda, sehingga menim-

bulkan gangguan bersifat kompleks. Oleh sebab itu memerlukan penanganan dari

beberapa modalitas terapi.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “shizein” yang berarti “terpisah”

atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya

atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku. Secara umum, gejala

skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif,

dan gangguan dalam hubungan interpersonal.

Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan

mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai

realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan komunikasi sosial yang

nyata. Sering terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien

dan dilakukan observasi tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan

laboratorium.

Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom

dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak

selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang

tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada

umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari

pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul

(blunted), kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual

8
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat

berkembang kemudian.

Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering

mereda, namun hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya.

Menurut Eugen Bleuler, skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah

belah, adanya keretakan atau disharmoni atara proses pikir, perasaan, dan

perbuatan.

2.2. EPIDEMIOLOGI

Skizofrenia terjadi dengan frekuensi yang sangat mirip di seluruh

dunia. Skizofrenia terjadi pada pria dan wanita dengan frekuensi yang sama.

Gejala-gejala awal biasanya terjadi pada masa remaja atau awal dua puluhan. Pria

sering mengalami awitan yang lebih awal daripada wanita.

Penelitian insiden pada gangguan yang relatif jarang terjadi, seperti

skizofrenia, sulit dilakukan. Survei telah dilakukan di berbagai negara, namun dan

hampir semua hasil menunjukkan tingkat insiden per tahun skizofrenia pada orang

dewasa dalam rentang yangsempit berkisar antara 0,1 dan 0,4 per 1000 penduduk.

Ini merupakan temuan utama dari penelitian di 10-negara yang dilakukan oleh

WHO. Untuk prevalensi atau insiden skizofreniadi Indonesia belum ditentukan

sampai sekarang, begitu juga untuk tiap-tiap subtipeskizofrenia.

9
Prevalensinya antara laki-laki dan perempuan sama, namun menunjukkan

perbedaandalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset yang

lebih awal daripada perempuan. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15

sampai 25 tahun, sedangkan perempuan 25 sampai 35 tahun. Beberapa penelitian

telah menyatakan bahwa laki-laki adalah lebih mungkin daripada wanita untuk

terganggu oleh gejala negatif dan wanita lebih mungkin memiliki fungsi sosial

yang lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya, hasil akhir untuk pasien

skizofrenik wanita adalah lebih baik daripada hasil akhir untuk pasien

skizofrenia laki-laki.Skizofrenia tidak terdistribusi rata secara geografis di seluruh

dunia. Secara historis, prevalensi skizofrenia di Timur Laut dan Barat Amerika

Serikat adalah lebih tinggi daridaerah lainnya.

a. Mortalitas dan morbiditas:

Bunuh diri (10%), penyakit-penyakit lain akibat pola hidup yang buruk,

efek samping obat, dan penurunan preawatan kesehatan.

b. ♂ = ♀:

Onset lebih awal dan gejala lebih buruk pada ♂, disebabkan karena

respon pengobatan antipsychotic yang lebih baik pada ♀ disebabkan

pengaruh estrogen.

c. Rasio schizophrenia kembar pada ♀>♂.

d. Usia:

o Puncak onset: ♂ (18-25 tahun), ♀ (26-45 tahun)

o Onset sebelum pubertas dan >45 tahun jarang.

10
o Gejala-gejala dapat membaik perlahan pada usia pertengahan dan

lebih tua.

o Sembuh spontan jarang terjadi pada beberapa tahun penyakit

kronis.

2.3. ETIOLOGI

Penyebab skizofrenia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti,

walaupun begitu banyak ahli yang mencoba mengemukakan beberapa

teorinya. Menurut Fortinash, penyebab skizofrenia sebagai berikut:

1. Faktor biologi (teori – teori somatogenesis)

a. Faktor – faktor genetic (keturunan)

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi

seseorang sangat kuat mempengaruhi resiko seseorang mengalami

skizofrenia.

b. Biochemistry (ketidakseimbangan kimiawi otak)

Beberapa bukti memunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal

dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut

neurotransmitter yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron

– neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli

mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari neurotransmitter

dopamine yang berlebihan di bagian – bagian tertentu otak atau

dikarenakan sensivitas yang abnormal terhadap dopamine.

11
c. Neuroanatomy (abnormalitas struktur otak)

Berbagai teknik imaging, seperti MRI telah membantu para

ilmuwan untuk menemukan abnormalitas structural spesifik pada

otak pasien.

2. Teori model keluarga

Beberapa pasien skizofrenia-sebagaimana orang yang mengalami

nonpsikiatrik-berasal dari keluarga dengan disfungsi, yaitu perilaku

keluarga yang patologis, yang secara signifikan meningkatkan stress

emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia. Antara lain:

 Double Bind

Konsep yang dikembangkan oleh Gregory Bateson untuk

menjelaskan keadaan keluarga dimana anak menerima pesan

yang bertolak belakang dari orangtua berkaitn dengan perilaku,

sikap maupun perasaannya. Akibatnya anak menjadi bingung

menentukan mana pesan yang benar, sehingga kemudian ia

menarik diri kedalam keadaan psikotik untuk melarikan diri

dari rasa konfliknya itu.

 Schims and Skewed Families

Menurut Theodore Lidz, pada pola pertama, dimana terdapat

perpecahan yang jelas antara orangtua, salah satu orang tua

akan menjadi sangat dekat dengan anak yang berbeda jenis

kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga skewed, terjadi

hubungan yang tidak seimbang antara anak dengan salah satu

12
orangtua yang melibatkan perebutan kekuasaan antara kedua

orangtua, dan menghasilkan dominasi dari salah satu orang

tua.

 Pseudomutual and Pseudohostile Families

Dijelaskan oleh Lyman Wynne, beberapa keluarga men-

suppress ekspresi emosi dengan menggunakan komunikasi

verbal yang pseudomutual atau pseudohostile secara konsisten.

Pada keluarga tersebut terdapat pola komunikasi yang unik,

yang mungkin tidak sesuai dan menimbulkan masalah jika

anak berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

 Ekspresi Emosi

Orang tua atau pengasuh mungkin memperlihatkan sikap

kritis, kejam dan sangat ingin ikut campur urusan pasien

skizofrenia. Banyak penelitian menunjukkan keluarga dengan

ekspresi emosi yang tinggi (dalam hal apa yang dikatakan

maupun maksud perkataan) meningkatkan tingkat relapse pada

pasien skizofrenia

3. Teori budaya dan lingkungan.

Skizofrenia dapat terjadi pada semua status soasial ekonomi tetap

seringkali lebih banyak ditemukan pada kelompok dengan social

ekonomi rendah.

13
4. Teori belajar

Menurut teori ini, orang menjadi skizofrenia karena pada masa kanak-

kanak ia belajar pada model yang buruk. Ia mempelajari reaksi dan

cara pikir yang tidak rasional dengan meniru dari orangtuanya, yang

sebenarnya juga memiliki masalah emosional.

2.4. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi schizophrenia dihubungkan dengan genetic dan

lingkungan. Faktor genetic dan lingkungan saling berhubungan dalam

patofisiologi terjadinya schizophrenia. Neurotransmitter yang berperan

dalam patofisiologinya adalah DA, 5HT, Glutamat, peptide, norepinefrin.

Pada pasien skizoprenia terjadi hiperreaktivitas system dopaminergik

(hiperdopaminergia pada sistem mesolimbik → berkaitan dengan gejala

positif, dan hipodopaminergia pada sistem mesocortis dan nigrostriatal →

bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal)

Reseptor dopamine yang terlibat adalah reseptor dopamine-2 (D2) yang

akan dijumpai peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien

skizoprenia. Peningkatan aktivitas sistem dopaminergik pada sistem

mesolimbik yang bertanggungjawab terhadap gejala positif. Sedangkan

peningkatan aktivitas serotonergik akan menurunkan aktivitas

dopaminergik pada sistem mesocortis yang bertanggung-jawab terhadap

gejala negatif.

14
Gambar 1. Mekanisme terjadinya gejala positif dan negative pada

gangguan psikotik

Adapun jalur dopaminergik saraf yang terdiri dari beberapa jalur,

yaitu :

a. Jalur nigrostriatal: dari substantia nigra ke basal ganglia → fungsi

gerakan, EPS

b. jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik →

memori, sikap, kesadaran, proses stimulus

c. jalur mesocortical : dari tegmental area menuju ke frontal cortex →

kognisi, fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap stress

d. jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary →

pelepasan prolaktin.9

15
Gambar 2. Jalur-jalur dopaminergik9

Dalam anatomi manusia, sistem ekstrapiramidal adalah jaringan

saraf yang terletak di otak yang merupakan bagian dari sistem motor yang

terlibat dalam koordinasi gerakan. Sistem ini disebut "ekstrapiramidal"

untuk membedakannya dari saluran dari korteks motor yang mencapai

target mereka dengan melakukan perjalanan melalui "piramida" dari

medula. Para piramidal jalur (kortikospinalis dan beberapa saluran

corticobulbar) langsung dapat innervasi motor neuron dari sumsum tulang

belakang atau batang otak (sel tanduk anterior atau inti saraf kranial

tertentu), sedangkan ekstrapiramidal sistem pusat sekitar modulasi dan

peraturan (tidak langsung kontrol) sel tanduk anterior.

Saluran ekstrapiramidal yang terutama ditemukan dalam formasi

reticular pons dan medula, dan neuron sasaran di sumsum tulang belakang

16
yang terlibat dalam refleks, penggerak, gerakan kompleks, dan kontrol

postural. Ini adalah saluran pada gilirannya dimodulasi oleh berbagai

bagian dari sistem saraf pusat, termasuk nigrostriatal jalur, ganglia basal,

otak kecil, inti vestibular, dan daerah sensorik yang berbeda dari korteks

serebral. Semua peraturan komponen dapat dianggap sebagai bagian dari

sistem ekstrapiramidal, karena mereka memodulasi aktivitas motorik tanpa

langsung innervating motor neuron.

Pemeriksaan CT scan dan MRI pada penderita schizophrenia

menunjukkan atropi lobus frontalis yang menimbulkan gejala negatif dan

kelainan pada hippocampus yang menyebabkan gangguan memori.

Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak. Pada

otak terjadi proses penyampaian pesan secara kimiawi (neurotransmitter)

yang akan meneruskan pesan sekitar otak. Pada penderita skizofrenia,

produksi neurotransmitter-dopamin- berlebihan, sedangkan kadar dopamin

tersebut berperan penting pada perasaan senang dan pengalaman mood

yang berbeda. Bila kadar dopamin tidak seimban;berlebihan atau kurang;

penderita dapat mengalami gejala positif dan negatif seperti yang

disebutkan di atas. Penyebab ketidakseimbangan dopamin ini masih belum

diketahui atau dimengerti sepenuhnya. Pada kenyataannya, awal terjadinya

skizofrenia kemungkinan disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor

tersebut. Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya

skizofrenia, antara lain: sejarah keluarga, tumbuh kembang ditengah-

17
tengah kota, penyalahgunaan obat seperti amphetamine, stres yang

berlebihan, dan komplikasi kehamilan.

2.5. GEJALA KLINIS

Ada dua gejala yang menyertai schizophrenia yakni gejala negatif

dan gejala positif. Gejala negatif berupa tindakan yang tidak membawa

dampak merugikan bagi lingkungannya, seperti mengurung diri di kamar,

melamun, menarik diri dari pergaulan, dan sebagainya. Sementara gejala

positif adalah tindakan yang mulai membawa dampak bagi lingkungannya,

seperti mengamuk dan berteriak-teriak.

a. Gejala negatif (pendataran afektif, alogia (miskin bicara, kemiskinan

isi bicara, afek yang tidak sesuai), tidak ada kemauan-apati,

anhedonia-asosialitas, tidak memiliki atensi social, tidak ada perhatian

selama wawancara.

b. Gejala positif ( halusinasi, waham, perilaku aneh (cara berpakaian,

perilaku social, agresif, perilaku berulang), ganggun pikiran formal

positif (penyimpangan, tangensialitas, inkoherensi, dll).

Selain itu, ada juga pengelompokan gejala-gejala menjadi gejala

primer dan sekunder (oleh Bleuler). Gejala primer adalah gejala pokok,

sedangkan gejala sekunder merupakan gejala tambahan.

18
a. Gejala primer

- Gangguan proses pikiran (yang terutama terganggu adalah

asosiasi. Gangguannya berupa terdapatnya inkoherensi, pasien

cenderung menyamakan hal, seakan-akan pikiran berhenti,

stereotipi pikiran (ide yang sama berulang-ulang timbul dan

diutarakan olehnya)

- Gangguan afek dan emosi (afek dan emosi dangkal, acuh tak

acuh terjadap dirinya), parathimi (yang seharusnya

menimbulkan rasa senang, malah menimbulkan rasa sedih pada

pasien), paramimi (penderita senang tapi menangis), terkadang

afek dan emosinya tidak mempunyai satu kesatuan, emosi yang

berlebihan, hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan

emosi yang baik, dua hal yang berlwanan mungkin terjadi

bersama-sama

- Gangguan kemauan (kelemahan kemauan dengan alasan yang

tidak jelas, ngativisme (sikap yang negative atau berlawanan

terhadap suatu permintaan), ambivalensi kemauan

(menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu bersamaan),

otomatisme (penderita merasa kemauannya dipengaruhi orang

lain atau tenaga dari luar, sehingga ia melakukan sesuatu secara

otomatis)

- Gejala psikomotor( gejala katatonik (gerakan kurang luwes),

bias sampai stupor (tidak bergerak sama sekali), mutisme,

19
berulang-ulang melakukan satu gerakan atau sikap, verbigerasi

(mengulang-ngulang kata), manerisme (keanehan cara berjala

dan gaya), gejala katalepsi (bila dalam jangka waktu lama),

flexibilitas cerea (bila anggota gerak dibengkokan terasa ada

tahanan seperti pada lilin, negativism (melakukan hal

berlawanan dengan yang diperintahkan), echolalia (meniru kata-

kata yang diucapkan orang lain), ekhopraxia (meniru perbuatan

orang lain)

b. Gejala sekunder

- Waham (waham primer (timbul secara tidak logis sama sekali,

tanpa penyebab apa-apa dari luar( hamper patognomonis pada

skizofrenia), waham sekunder (biasanya terdengar logis, seperti

waham kebesaran, waham nihilistic, dll)

- Halusinasi (pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan

kesadaran (pada kelainan lain tidak ditemukan yang seperti ini).

Paling sering halusinasi auditorik. Halusinasi penglihatan

jarang, namun bila ada, biasanya pada stadium permulaan

Skizofrenia dapat dilihat sebagai suatu gangguan yang berkembang

melalui fase – fase :

1. Fase premorbid

Pada fase ini, fungsi – fungsi individu masih dalam keadaan

normative.

20
2. Fase prodromal

Adanya perubahan dari fungsi – fungsi pada fase premorbid menuju

saat uncul simtom psikotik yang nyata. Fase ini dapat berlangsung

dalam beberapa minggu atau bulan, akan tetapi lamanya fase

prodromal ini rerata antara 2 sampai 5 tahun.

Pada fase ini, individu mengalami kemunduran dalam fungsi – fungsi

yang mendasar (pekerjaan social dan rekreasi) dan muncul simtom

yang nonspesifik, misalnya gangguan tidur, ansietas, iritabilitas, mood

depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah, dan adanya deficit

perilaku misalnya kemunduran fungsi peran dan penarikan social.

Simptom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase

prodromal dan berarti sudah mendekati mulai menjadi psikosis.

3. Fase psikotik

Berlangsung mulai dengan fase akut, lalu adanya perbaikan memasuki

fase stabilisasi dan kemudian fase stabil.

 Pada fase akut dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya

dijumpai adanya waham, halusinasi, gangguan proses pikir, dan

pikiran yang kacau. Simptom negative sering menjadi lebih parah

dan individu biasanya tidak mampu untuk mengurus dirinya

sendiri secara pantas.

 Fase stabilisasi berlangsung selama 6 – 18 bulan, setelah

dilakukan acute treatment.

21
 Pada fase stabil terlihat simptom negative dan residual dari

simptom positif, dimana simptom positif masih ada dan biasanya

sudah kurang parah dinbandingkan pada fase akut. Pada beberapa

individu bisa dijumpai asimtomatis, sedangakan individu lain

mengalami simtom nonpsikotik misalnya merasa tegang

(tension), ansietas, depresi, atau insomnia.

2.6. DIAGNOSIS

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di

Indonesia edisi ketiga (PPDGJ III) mengkelompokkan simptom:

 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas(dan biasanya

dua gejala atau lebih bila gejala – gejala kurang tajam atau kurang jelas)

a) Thought

- Thought of echo : isi pikiran diri sendiri yang bergema

- Thought of insertion : isi pikiran yang asing dari luar masuk ke

dalam pikirannya

- Thought of withdrawl : isi pikiran diambil keluar oleh sesuatu

dari luar dirinya

- Thought of broadcasting : isi pikiran tersiar keluar sehingga orang

lain mengetahui.

22
b) Delution

- Delusi of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan

- Delusi of influence : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh

sesuatu kekuatan tertentu dari luar

- Delusi of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan

pasrah terhadap sesuatu kekuatan dari luar ( tentang dirinya

merujuk pada gerak tubuh, pikiran, pengindreaan khusus ).

- Delusi of preception : pengalaman indrawi yang tak wajar, yang

bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau

mukjizat.

c) Halusinasi auditorik

- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus – menerus

terhadap perilakunya atau

- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara

berbagai suara yang berbicara) atau

- Jenissuara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian

tubuh

d) Waham – waham memnetap jenis lain yang menurut budayanya

dianggap tidak wajar seta sama sekali mustahil, seperti misalnya

mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan

kemampuan manusia super (misalnya mampu mengendalikan cuaca,

atau berkomunikasi dengan mahkluk asing dari dunia lain).

23
 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara

jelas:

a) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apakah disetai

baik oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang

setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun

oleh ide-ide berlebihan yang menetap atau apabila terjadi setiap

hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-

menerus.

b) arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang

berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau

neologisme.

c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah, sikap tubuh

tertentu, atau fleksibilitas cerea, negativism, mutisme dan stupor.

d) gejala negatif seperti sikap apatis, pembicaraan terhenti, dan

respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan

menurunnya kinerja social, tetapi harus jelas bahwa semua hal

tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

 Adanya gejala – gejala khas tersebut diatas telah selama kurun waktu satu

bulan atau lebih.

 Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan

dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya

24
minat, tak bertujuan, sikap malas, tak bertujuan, sikap berdiam diri, dan

penarikan diri secara social.

Subtipe skizofrenia yang umum pada ICD-10 dan DSM-IV:

 Paranoid

 Katatonik

 Hebefrenik(disorganized)

 Tak terinci(undifferentiated)

 Yang Tak Tergolong

 Residual

SKIZOFRENIA YANG TAK TERGOLONG

Suatu tipe yang seringkali dijumpai pada skizofrenia. Pasien yang

jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam salah

satu tipe dimasukkan dalam tipe ini.

PPDGJ III mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci.

Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,

hebefrenik, atau katatonik.

 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi

pasca skizofrenia

25
Kriteria diagnostic menurut DSM-IV yaitu:

Suatu tipe skizofrenia di mana ditemukan gejala yang memenuhi

kriteria A tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid,

terdisorganisasi atau katatonik.

Kriteria Diagnostik A:

Gejala karakteristik: dua atau lebih berikut, masing – masing ditemukan

untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang

jika diobati dengan berhasil):

1) Waham

2) Halusinasi

3) Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau

inkoheren)

4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas

5) Gejala negative yaitu, pendataran afektif, alogia atau tidak ada

kemauan(avolition)

Catatan: hanya satu gejala criteria A yang diperlukan jika waham adalah

kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus

mengkomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara

yang saling bercakap satu sama lainnya.

26
2.7. DIAGNOSIS BANDING

Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat

Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam

keadaan medis psikiatrik dan dapat diakibatkan oleh berbagai macam

zat. Jika psikosis atau katatonia disebabkan oleh kondisi medis

nonpsikiatrik atau diakibatkan oleh suatu zat, diagnosis yang paling

sesuai adalah gangguan psikotik akibat kondisi medis umum, atau

gangguan katatonia akibat zat. Manifestasi psikiatrik dari banyak

kondisi medis nonpsikiatrik dapat terjadi awal dalam perjalanan

penyakit, seringkali sebelum perkembangan gejala lain. Dengan

demikian klinisi harus mempertimbangkan berbagai macam kondisi

medis nonpsikiatrik dii dalam diagnosis banding psikosis, bahkan

tanpa adanya gejala fisik yang jelas. Pada umumnya, pasien dengan

gangguan neurologist mempunyai lebih banyak tilikan pada

penyakitnya dan lebih menderita akibat gejala psikiatriknya daripada

pasien skizofrenik, suatu kenyataan yang dapat membantu klinisi

untuk membedakan kedua kelompok tersebut.

Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus mengikuti tiga

pedoman umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik. Pertama,

klinisi harus cukup agresif dalam mengejar kondisi medis

nonpsikiatrik jika pasien menunjukkan adanya gejala yang tidak lazim

atau jarang atau adanya variasi dalam tingkat kesadara. Kedua, klinisi

harus berusaha untuk mendapatkan riwayat keluarga yang lemgkap,

27
termasuk riwayat gangguan medis, neurologist, dan psikiatrik. Ketiga,

klinisi harus mempertimbangkan kemungkinan suatu kondisi medis

nonpsikiatrik, bahkan pada pasien dengan diagnosis skizofrenia

sebelumnya. Seorang pasien skizofrenia mempunyai kemungkinan

yang sama untuk menderita tumor otak yang menyebabkan gejala

psikotik dibandingkan dengan seorang pasien skizofrenik.

Berpura-pura dan Gangguan buatan

Baik berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan suatu

diagnosis yang sesuai pada pasien yang meniru gejala skizofrenia

tetapi sebenarnya tidak menderita skizofrenia. Orang telah menipu

menderita skizofrenia dan dirawat dan diobati di rumah sakit

psikiatrik. Orang yang secara lengkap mengendalikan produksi

gejalanya mungkin memenuhi diagnosis berpura-pura (malingering);

pasien tersebut biasanya memilki alasan financial dan hokum yang

jelas untuk dianggap gila. Pasien yang kurang mengendalikan

pemalsuan gejala psikotiknya mungkin memenuhi diagnosis suatu

gangguan buatan (factitious disorder). Tetapi, beberapa pasien dengan

skizofrenia seringkali secara palsu mengeluh suatu eksaserbasi gejala

psikotik untuk mendapatkan bantuan lebih banyak atau untuk dapat

dirawat di rumah sakit.

Gangguan Psikotik Lain

Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik dengan

yang terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik

28
singkat, dan gangguan skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda

dari skizofrenia karena memiliki lama (durasi) gejala yang

sekurangnya satu bulan tetapi kurang daripada enam bulan. Gangguan

psikotik berlangsung singkat adalah diagnosis yang tepat jika gejala

berlangsung sekurangnya satu hari tetapi kurang dari satu bulan dan

jika pasien tidak kembali ke tingkat fungsi pramorbidnya. Gangguan

skizoafektif adalah diagnosis yang tepat jika sindroma manik atau

depresif berkembang bersama-sama dengan gejala utama skizofrenia.

Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang

tidak aneh (nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan

tanpa adanya gejala skizofrenia lainnya atau suatu gangguan mood.

Gangguan Mood

Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit, tetapi

penting karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif untuk

mania dan depresi. Gejala afektif atau mood pada skizofrenia harus

relative singkat terhadap lama gejala primer. Tanpa adanya informasi

selain dari pemeriksaan status mental, klinisi harus menunda diagnosis

akhir atau harus menganggap adanya gangguan mood, bukannya

membuat diagnosis skizofrenia secara prematur.

Gangguan Kepribadian

Berbagai gangguan kepribadian dapat ditemukan dengan suatu cirri

skizofrenia; gangguan kepribadian skizotipal, schizoid, dan ambang

adalah gangguan kepribadian dengan gejala yang paling mirip.

29
Gangguan kepribadian, tidak seperti skizofrenia, mempunyai gejala

yang ringan, suatu riwayat ditemukannya gangguan selama hidup

pasien, dan tidak adanya onset tanggal yang dapat diidentifikasi.

2.8. TATALAKSANA

A. Terapi Farmakologi

Secara umum antipsikotik sebaiknya dimulai pada dosis

rendah. Dosis tersebut dipertahankan selama 4 - 6 minggu, kecuali

terdapat gejala psikotik atau agresif atau sulit tidur yang parah.

Peningkatan dosis yang terlalu cepat akan meningkatkan risiko

terjadinya gejala ekstrapiramidal dan gejala negative sekunder

tanpa adanya kegunaan dari antipsikotik itu sendiri. Penggunaan

obat parenteral short-acting untuk pasien baru sebaiknya dihindari.

Namun terapi dengan obat long-acting tidak boleh diberikan

kecuali pada pasien dengan riwayat tidak responsive dengan

bentuk pengobatan lain. Penggunaan dosis tinggi untuk pengobatan

skizofren akut tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding

dengan penggunaan dosis rata-rata. Beberapa studi mengatakan

bahwa penundaan pemberian antipsikotik akan memberikan

outcome yang lebih buruk, diperkirakan karena beberapa aspek

pada psikosis secara biologis toksik terhadap struktur otak.

Beberapa pasien memberikan respon terhadap antipsikotik

dalam minggu pertama pengobatan atau bahkan pada hari pertama.

Kebanyakan akan tidak memberikan respon dalam 2 – 6 minggu.

30
Namun tidak disarankan untuk memutuskan obat dan mengganti

dengan jenis yang lain sebelum pengobatan mencapai 4 – 6

minggu, kecuali terdapat efek samping atau gejala ekstrapiramidal

yang tidak sesuai dengan pengobatan.

Penggunaan beberapa antipsikotik pada waktu bersamaan

harus dihindari, khususnya penggunaan antipsikotik tipikal yang

diberikan secara oral dan parenteral, kecuali pengobatannya

memang sedang dialihkan dari intramuscular menjadi oral terapi.

Pada beberapa kasus bila antipsikotik tidak dapat mengontrol rasa

cemas dan agitasi yang berlebihan, penggunaan benzodiazepine

dapat diberikan.

1. Anti Psikotik Tipikal

Mekanisme kerja obat anti psikosis tipikal adalah

memblokade dopamin pada reseptor pasca – sinaptik

neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem

ekstrapiramidal ( dopamin D2 receptor antagonist )

sehingga efektif untuk gejala positif.

Golongan obat antipsikotik tipikal :

- Phenothiazine

 Rantai aliphatic : chlorpromazine

 Rantai piperazine : Perphenazine,

Trifluoperazine , Fluphenazine

 Rantai piperidine : Thioridazine

31
- Butyrophenone : Haloperidol

- Diphenyl – butyl piperidine : Pimozide

2. Anti Psikotik Atipikal

Mekanisme kerja obat anti psikosis atipikal disamping

berafinitas terhadap dopamine D2 receptors juga terhadap

serotonin 5 HT2 receptors ( serotonin – dopamine

antagonist ).

Golongan obat anti psikosis atipikal :

- Benzamide : Supiride

- Dibenzodiazepine : Clozapine, Olanzapine,

Qeutiapine, Zotepine

- Benzisoxazole : Risperidone, Aripiprazole

No Nama Generik Sediaan Dosis

1 Chlopromazine Tablet 25 dan 100 mg 300 - 1000


mg/hari
Injeksi 50 mg/ 2 cc

2 Haloperidol Tablet 0,5 mg, 1,5 mg, 5 – 20 mg/hari


5mg

Injeksi 5mg/ml

3 Perfenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12-24 mg/hari

4 Fluphenazine Tablet 2,5 mg, 5 mg 10-15 mg/hari

5 Flufenazin Dekanoat Injeksi 25 mg/ml 25 mg/2-4 minggu

32
6 Aripiprazole Tablet 5 - 10 mg 10 – 30 mg/hari

7 Trifluperazine Tablet 1 mg, 5 mg 15 -50 mg/hari

8 Tioridazine Tablet 50 mg, 100 mg 150-600 mg/hari

9 Sulpiride Tablet 200 mg 300-600 mg/hari

Injeksi 100 mg/2cc

10 Clozapine Tablet 25 – 100 mg 150 –600 mg/hari

11 Risperidone Tablet 1 mg, 2 mg, 3 2-8 mg/hari


mg

Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa:

 Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk,


kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun,
kemampuan kognitif menurun).
 Gangguan otonomik (hipotensi,
antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering, kesulitan
miksi&defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan
intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut,akathisia, sindrom
parkinson: tremor, bradikinesia, rigiditas).
 Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik
(jaundice), hematologik (agranulocytosis), biasanya pada
pemakaian panjang.

Efek samping ini ada yang dapat di tolerir pasien, ada yang
lambat, ada yang sampai membutuhkan obat simptomatik untuk
meringankan penderitaan pasien.

33
Efek samping dapat juga irreversible : Tardive dyskinesia
(gerakan berulang involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan
anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala tersebut
menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang
(terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini
tidak berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis.

Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara


periodik harus dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin,
urin lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, untuk deteksi dini
perubahan akibat efek samping obat.

Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan


kematian sebagai akibat overdosis atau untuk bunuh diri. Namun
demikian untuk menghindari akibat yang kurang menguntungkan
sebaiknya dilakukan “lacage lambung” bila obat belum lama
dimakan.

Interaksi Obat

 Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping


antikolinergik meningkat (hati-hati pada pasien dengan
hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit jantung).
 Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat,
bermanfaat untuk kasus dengan gejala dan gaduh gelisah yang
sangat hebat.
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun,
kemungkinan serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis
antikonvulsan harus lebih besar. Yang paling minimal
menurunkan ambang kejang adalah antipsikosis Haloperidol.
 Antipsikosis + antasida = efektivitas obat antipsikosis menurn
disebabkan gangguan absorpsi.

34
B. Terapi psikososial

 Pelatihan keterampilan sosial

Peatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut

sebagai terapi keterampilan perilaku. Terapi ini secara

langsung dapat mendukung dan berguna untuk pasien bersama

dengan terapi farmakologis. Selain gejala yang biasa tampak

pada pasien skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas

terlihat melibatkan hubungan orang tersebut dengan orang lain,

termasuk kontak mata yang buruk, keterlambatan respons yang

tidak lazim, ekspresi wajah yang aneh, kurangnya spontanitas

dalam situasi sosial, serta persepsi yang tidak akurat atau

kurangnya persepsi emosi pada orang lain. Pelatihan

keterampilan perilaku diarahkan ke perilaku ini melalui

penggunaan video tape berisi orang lain dan si pasien, bermain

drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah untuk

keterampilan khusus yang dipraktekkan.

 Terapi kelompok

Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya

berfokus pada rencana, masalah, dan hubungan dalam

kehidupan nyata. Kelompok dapat berorientasi perilaku,

psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau suportif.

 Terapi perilaku kognitif

35
Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien

skizofrenia untuk memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi

distraktibilitas, serta mengoreksi kesalahan daya nilai.

Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi yang membaik

pada sejumlah pasien yang menggunakan metode ini. Pasien

yang mungkin memperoleh manfaat dari terapi ini umumnya

adalah yang memiliki tilikan terhadap penyakitnya.

 Psikoterapi individual

Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting

untuk membangun hubungan terapeutik sehingga pasien

merasa aman. Reliabilitas terapis, jarak emosional

antaraterapis dengan pasien, serta ketulusan terapis

sebagaimana yang diartikan oleh pasien, semuanya

mempengaruhi pengalaman terapeutik. Psikoterapi untuk

pasien skizofrenia sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan

dalamm jangka waktu dekade, dan bukannya beberapa sesi,

bulan, atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan peneliti

menekankan bahwa kemampuan pasien skizofrenia utnuk

membentuk aliansi terapeutik dengan terapis dapat

meramalkan hasil akhir. Pasien skizofrenia yang mampu

membentuk aliansi terapeutik yang baik cenderung bertahan

dalam psikoterapi, terapi patuh pada pengobatan, serta

memiliki hasil akhir yang baik pada evaluasi tindak lanjut 2

36
tahun. Tipe psikoterapi fleksibel yang disebut terapi personal

merupakan bentuk penanganan individual untuk pasien

skizofrenia yang baru-baru ini terbentuk. Tujuannya adalah

meningkatkan penyesuaian personal dan sosial serta mencegah

terjadinya relaps. Terapi ini merupakan metode pilihan

menggunakan keterampilan sosial dan latihan relaksasi,

psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran diri, serta eksplorasi

kerentanan individu terhadap stress.

2.9. PROGNOSIS

Prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang begitu

menggembirakan. Sekitar 25% pasien dapat kembali pulih dari episode

awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat prodromal (sebelum

munculnya gangguan tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan

perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada

diantaranya, ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan

berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis skizofrenia :

a. Keluarga

Skizofrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi individu

penderitanya, tapi juga bagi orang-orang terdekat kepadanya.

Biasanya, keluarganyalah yang paling terkena dampak dari hadirnya

skizofrenia. Pasien membutuhkan perhatian dari masyarakat, terutama

37
dari keluarganya. jangan membeda-bedakan antara orang yang

mengalami Skizofrenia dengan orang yang normal, karena orang yang

mengalami gangguan Skizofrenia mudah tersinggung.

b. Inteligensi

Pada umumnya pasien Skizofrenia yang mempunyai Inteligensi

yang tinggi akan lebih mudah sembuh dibandingkan dengan orang

yang inteligensinya rendah. Karena orang yang mempunyai inteligensi

tinggi biasanya mudah diberi pemahaman, mudah mengerti akan

pentingnya pengobatan.

c. Pengobatan

Obat memiliki dua kekurangan utama. Pertama hanya sebagian

kecil pasien (kemungkinan 25%) cukup tertolong untuk mendapatkan

kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal. Kedua antagonis

reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan yang mengganggu

dan serius. Namun pasien skkizofrenia perlu di beri obat Risperidone

serta Clozapine.

d. Reaksi Pengobatan

Dalam proses penyembuhan skizofrenia, orang yang bereaksi

terhadap obat lebih bagus perkembangan kesembuhan daripada orang

yang tidak bereaksi terhadap pemberian obat.

e. Stressor Psikososial

38
Dengan semakin bertambah meningkatnya perkembangan

teknologi, akan mempengaruhi juga pada proses penyembuhan

penyakit skizofrenia. Biasanya negara berkembang, penderita

skizofrenia bisa lebih cepat disembuhkan karena adanya dukungan

dari masyarakat sekitar. Sedangkan pada Negara-negara maju,

prognosis lebih susah dikarenakan, biasanya pada Negara-negara maju

masyarakatnya cenderung individual, tidak mengenal tetangga, dan

ttidak perduli dengan lingkungan sekitar.Apabila stressor dari

skizofrenia ini berasal dari luar, maka akan mempunayi dampak yang

positif, karena tekanan dari luar diri individu dapat diminimalisir atau

dihilangkan. Begitu pula sebaliknya apabila stressor datangnya dari

luar individu dan bertubi-tubi atau tidak dapat diminimalisir maka

prosgnosisnya adalah negatif atau akan bertambah parah.

f. Kekambuhan

Penderita skizofrenia yang sering kambuh prognosisnya lebih

buruk. Dengan seringnya penderita skizofrenia kambuh maka akan

semakin lemah pula system yang ada pada dirinya.

g. Gangguan Kepribadian

Pada gangguan kepribadian ini, orang yang mempunyai tipe

introvert lebih susah dideteksi apakah ia mempunyai gejala

skizofrenia karena orang tersebut cenderung menutup diri. Prognosis

untuk orang yang mempunyai gangguan kepribadian akan sulit

39
disembuhkan. Besar kecilnya pengalaman akan memiliki peran yang

sangat besar terhadap kesembuhan.

h. Onset

Jenis onset yang mengarah ke prognosis yang baik berupa onset

yang lambat dan akut, sedangkan onset yang tidak jelas memiliki

prognosis yang lebih baik.

i. Proporsi

Orang yang mempunyai bentuk tubuh normal (proporsional)

mempunyai prognosis yang lebih baik dari pada penderita yang bentuk

tubuhnya tidak proporsional.

j. Perjalanan penyakit

Pada penderita skizofrenia yang masih dalam fase prodromal

prognosisnya lebih baik dari pada orang yang sudah pada fase aktif

dan fase residual.

k. Kesadaran

Kesadaran orang yang mengalami gangguan skizofrenia adalah

jernih. Hal inilah yang menunjukkan prognosisnya baik nantinya.

40
Prognosis Baik Prognosis Buruk

 Onset lambat  Onset muda


 Faktor pencetus yang  Tidak ada factor pencetus
jelas  Onset tidak jelas
 Onset akut  Riwayat social dan pekerjaan
 Riwayat sosial, seksual premorbid yang buruk
dan pekerjaan premorbid  Prilaku menarik diri atau autistic
yang baik  Tidak menikah, bercerai atau janda/
 Gejala gangguan mood duda
(terutama gangguan  Sistem pendukung yang buruk
depresif)  Gejala negatif
 Menikah  Tanda dan gejala neurologist
 Riwayat keluarga  Riwayat trauma perinatal
gangguan mood  Tidak ada remisi dalam 3 tahun
 Sistem pendukung yang  Banyak relaps
baik  Riwayat penyerangan
 Gejala positif

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan and Saddock.Comprehensive Textbook Of Psychiatry.7th Ed.Lippincott

Wiliams And Wilkins. Philadelphia, 2010.

2. Amir N. Skizofrenia. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku ajar

psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

2010.

3. Maslim,Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan

DSM- 5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2013

4. Hawari, Dadang: Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Balai

Penerbit FKUI. Jakarta, 2006.

5. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 5th ed. DSM - V

Washington DC: American Psychiatry Association, 2013.

6. Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC

7. Amir N. Dalam Buku ajar psikiatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2013

8. Maslim, Rusdi. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta : Bagian Ilmu

Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2014

42

Anda mungkin juga menyukai