Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA LAPORAN KASUS, REFERAT

BADAN KOORDINASI PENDIDIKAN AGUSTUS 2018


RS.BHAYANGKARA MAKASSAR

REFERAT : OBAT ANTI DEMENSIA


LAPORAN KASUS : GANGGUAN DEPRESI BERAT TANPA
GEJALA PSIKOTIK (F32.2)

Oleh :
Nuari Aqriana Darwis, S.Ked
111 2017 2031

Supervisor Pembimbing :
Kompol dr. R. Joko Maharto, Sp. KJ, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................................................................... 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ 3
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 4
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien.......................................................................................... 5
II. Laporan Psikiatri....................................................................................... 5
III. Pemeriksaan Fisik dan Neurologi............................................................. 9
IV. Pemeriksaan Status Mental....................................................................... 10
V. Ikhtisar Penemuan Bermakna................................................................... 11
VI. Evaluasi Multi Aksial (Sesuai PPDGJ-III)............................................... 12
VII. Daftar Masalah.......................................................................................... 13
VIII. Rencana Terapi......................................................................................... 14
IX. Prognosis.................................................................................................. 14
X. Diskusi...................................................................................................... 15
REFERAT
I. Pendahuluan.............................................................................................. 18
II. Tinjauan Pustaka........................................................................................19
III. Kesimpulan ............................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 27

2
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Nuari Aqriana Darwis, S.Ked
Stambuk : 111 2017 2031
Judul Referat : Obat Anti Demensia
Laporan Kasus : Gangguan Depresi Berat tanpa Gejala Psikotik

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, 28 Agustus 2018

Mengetahui,
Pembimbing

Kompol dr. R. Joko Maharto, Sp. KJ, M.Kes

3
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.Wr.Wb.
Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Laporan Kasus “Gangguan Depresi Berat tanpa
Gejala Psikotik” dan Referat “Obat Anti Demensia” dapat diselesaikan. Pada
kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
segala bantuan dan bimbingan dari dokter pembimbing bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
di RS Bhayangkara Makassar sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Terima kasih yang sebesar – besarnya kami ucapkan kepada berbagai pihak
yang telah membantu kami dalam penyusunan tugas ini sehingga dapat selesai tepat
pada waktunya. Permohonan maaf juga kami sampaikan apabila dalam tugas ini
terdapat kesalahan. Semoga laporan kasus dan referat ini dapat menjadi acuan untuk
menjadi bahan belajar berikutnya.
Tidak lupa ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya untuk kedua orang tua
tercinta, yang selalu memberikan motivasi, dukungan do’a, dan selalu sabar dalam
memberikan nasehat serta arahan kepada penyusun. Semoga apa yang telah kita
lakukan bernilai ibadah disisi Allah SWT dan kita senantiasa mendapatkan Ridho-
Nya.

Makassar , 28 Agustus 2018


PENULIS

4
LAPORAN KASUS

GANGGUAN DEPRESI BERAT TANPA GEJALA PSIKOTIK


(F32.2)

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. AW
No. RM : 297611
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 38 tahun
Alamat : Jl. Mesjid Raya No.12A
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Pendidikan Terakhir : Magister
Pekerjaan : PNS
Tanggal Pemeriksaan : 14 Agustus 2018
Tempat Pemeriksaan : RS.Bhayangkara

II. LAPORAN PSIKIATRI


Diperoleh dari catatan medis, autoanamnesis, dan alloanamnesis dari :
Nama : Ny. S
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Mesjid Raya No.12A
Hubungan dengan pasien : Tante Pasien
dan
Nama : Ny. A
Umur : 58 tahun

5
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Gowa
Hubungan dengan pasien : Ibu Pasien

A. Keluhan Utama:
Lemas dan tidak mau minum obat
B. Riwayat Gangguan Sekarang
1. Keluhan dan Gejala
Seorang pasien perempuan berusia 38 tahun dikonsul dari bagian
Penyakit Dalam ke bagian Jiwa RS.Bhayangkara dengan keluhan
lemas. Pasien rawat inap sejak 2 minggu yang lalu. Pasien mengaku
sulit tidur, nafsu makan menurun, badan terasa lesu dan merasa patah
semangat sehingga tidak mau minum obat. Hal ini dialami sejak pasien
didiagnosis TB Paru oleh dokter Penyakit Dalam.
Pada awalnya pasien masuk rumah sakit dengan keluhan batuk
yang dialami >2 minggu, kemudian setelah menjalani serangkaian
pemeriksaan pasien didiagnosis menderita TB Paru oleh dokter
Penyakit Dalam. Diketahui pula pasien telah rutin menjalani
pengobatan DM tipe 2 dengan insulin sejak 2 tahun yang lalu. Sejak
saat itu pasien merasa putus asa dan tidak berguna karena menderita
penyakit kronis. Pasien menganggap penyakit yang dialaminya tidak
akan sembuh sehingga minum obat pun tidak ada gunanya. Pasien juga
tidak percaya di usia yang menurutnya masih sangat muda ia bisa
menderita penyakit seperti ini.
Sejak awal didiagnosis DM dua tahun lalu, menurut tante yang
tinggal bersama pasien mengaku bahwa pasien jadi kurang
bersemangat, lebih banyak murung, jarang makan dan bicara, mudah
tersinggung dan sering mengalami sulit tidur. Namun masih dapat
menjalani aktivitas sehari-harinya sebagai dosen di salah satu
universitas negeri di makassar. Pasien juga rutin melakukan suntikan

6
insulin 3x sehari. Pasien telah beberapa kali rawat inap di
RS.Bhayangkara, salah satunya karena mengalami ulkus diabetik.
Setelah terdiagnosis TB Paru, pengobatan OAT segera diberikan
tepatnya dua hari sebelum pasien dikonsul ke bagian Jiwa. Namun
pasien tidak mau meminum obat karena merasa tidak percaya bahwa
dirinya menderita TB Paru, merasa tidak akan sembuh, merasa tidak
dapat melanjutkan pekerjaannya lagi dan putus asa.
2. Hendaya Fungsi
 Hendaya sosial (+)
 Hendaya pekerjaan (+)
 Hendaya gangguan waktu senggang (+)
3. Faktor stress psikososial
Pasien didiagnosis menderita TB Paru, setelah sebelumnya (2 tahun
yang lalu) juga menderita DM tipe 2
4. Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat fisik sebelumnya :
 Riwayat infeksi (+) TB Paru
 Riwayat trauma (-)
 Riwayat kejang (-)
 Riwayat penyakit sistemik (+) DM tipe 2
 Riwayat NAPZA (-)
C. Riwayat Gangguan Psikiatri Sebelumnya
Tidak ada
D. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat Prenatal dan Perinatal (Usia 0-1 tahun)
Pasien lahir pada 22 April 1980, lahir normal dirumah dibantu
oleh dukun beranak. Lahir cukup bulan dan tidak ditemukan adanya
cacat lahir ataupun kelainan bawaan, berat badan lahir tidak diketahui.
Selama masa kehamilan, ibu pasien dalam keadaan sehat. Pasien
tumbuh dan berkembang dengan baik.
2. Riwayat Masa Kanak Awal (Usia 1-3 tahun)

7
Tumbuh kembang pasien normal seperti anak lain seusianya.
Pasien tidak mengalami keterlambatan dalam perkembangan.
3. Riwayat Masa Kanak Awal dan Tengah (Usia 4-11 tahun)
Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya dan cukup
mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Pada usia 6 tahun pasien
masuk SD. Selama sekolah pasien termasuk anak yang pintar dan rajin
walaupun agak pendiam.
4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja (Usia 12-18 tahun)
Pasien mengikuti Sekolah Menengah Pertama. Pertumbuhan dan
perkembangan pasien baik. Prestasi pasien cukup menonjol
khususnya di bidang matematika.
5. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pendidikan
Pasien besekolah hingga tamat SMA, kemudian melanjutkan kuliah
hingga Magister di ITB pada jurusan Matematika.
b. Riwayat Pekerjaan
PNS (Dosen)
c. Riwayat Pernikahan
Pasien belum menikah
E. Riwayat Kehidupan Keluarga

Anak ke 1 dari 3 bersaudara. (♀,♂,♂). Hubungan dengan keluarga baik,

riwayat keluhan yang sama tidak ada.


Genogram

8
F. Situasi Sekarang
Saat ini pasien tinggal bersama tante dan omnya (suami tantenya)
G. Persepsi Pasien tentang diri dan kehidupannya
Pasien mengalami kemurungan, kurang bersemangat, hilang minat untuk
beraktivitas seperti kebiasaannya karena merasa sudah tidak berguna
akibat penyakit berat yang dideritanya.

III. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI


a. Status Internus
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36,5 °C
Pernapasan : 20x/menit
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, rhonki +/- wheezing -/-
pada pemeriksaan thorax, abdomen, ekstremitas atas dan bawah tidak ada
kelainan.
5. Pemeriksaan Penunjang
Sputum BTA : +3
Foto Thorax : KP Duplex Aktif
GDS : 272 mg/dL
b. Status Neurologi
1. GCS : E4M6V5
2. Rangsang meningeal : tidak dilakukan pemeriksaan
3. Tanda ekstrapiramidal
Tremor tangan : tidak ada
Cara berjalan : normal
Keseimbangan : baik

9
4. Sistem saraf motorik dan sensorik dalam batas normal
Kesan : normal

IV. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


a. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Seorang perempuan, wajah sesuai usia, rambut berwarna hitam,
perawakan tubuh tampak kurus, kulit putih, perawatan diri kesan cukup.
2. Kesadaran
Kuantitatif : GCS 15 (compos mentis), Kualitatif: baik
3. Perilaku dan aktifitas psikomotor
Tenang dan tidak banyak bergerak
4. Pembicaraan
Spontan, lambat dan intonasi kecil
5. Sikap terhadap pemeriksa
Kooperatif
b. Keadaan Afektif
1. Mood : disforik (mood yang tidak menyenangkan)
2. Afek : depresif
3. Empati : dapat dirabarasakan
c. Fungsi Intelektual (Kognitif)
1. Taraf pendidikan : sesuai
2. Daya Konsentrasi : cukup
3. Orientasi
a. Waktu : baik
b. Tempat : baik
c. Orang : baik
4. Daya ingat
a. Jangka panjang : baik
b. Jangka pendek : baik

10
c. Jangka segera : baik
5. Pikiran abstrak : tidak terganggu
6. Bakat Kreatif : tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri : baik
d. Gangguan Persepsi dan Pengalaman Diri
1. Halusinasi
a) Visual : tidak ada
b) Auditorik : tidak ada
2. Ilusi : tidak ada
3. Depersonalisasi : tidak ada
4. Derealisasi : tidak ada
e. Proses Berpikir
1. Arus Pikiran
Produktivitas : cukup
Kontinuitas : relevan, koheren
Hendaya berbahasa : tidak ada
2. Isi Pikiran
Preokupasi : tidak ada
Gangguan isi pikiran : tidak ada
f. Pengendalian Impuls : baik
g. Daya Nilai
1. Norma sosial : tidak terganggu
2. Uji daya nilai : tidak terganggu
3. Penilaian realitas : tidak terganggu
h. Tilikan (Insight)
Derajat 5 (menyadari dirinya sakit tetapi tidak ada usaha mengobati)
i. Taraf Dapat Dipercaya : dapat dipercaya

11
V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA
1) Seorang perempuan berusia 38 tahun yang dirawat inap oleh bagian
Penyakit Dalam dengan diagnosis TB Paru kemudian dikonsul ke bagian
Jiwa RS.Bhayangkara dengan keluhan lemas dan tidak mau minum obat
yang dialami ± 2 minggu
2) Keluhan disertai sulit tidur, nafsu makan menurun, badan terasa lesu dan
kurang bersemangat
3) Pasien merasa putus asa dan tidak berguna karena menderita penyakit
kronis. Pasien menganggap penyakit yang dialaminya tidak akan sembuh
sehingga minum obat pun tidak ada gunanya. Pasien juga tidak percaya
di usia yang menurutnya masih sangat muda ia bisa menderita penyakit
seperti ini.
4) Pasien juga menderita Diabetes Mellitus tipe 2 sejak 2 tahun yang lalu
dengan pengobatan insulin yang teratur
5) Menurut tante yang tinggal bersama pasien, keluhan-keluhan ini telah
nampak sejak awal pasien didiagnosis DM tipe 2 oleh dokter dan saat ini
semakin memberat karena pasien didiagnosis menderita penyakit TB
Paru.
6) Pembicaraan pasien spontan, lambat dan intonasi/nada kecil
7) Mood disforik dengan afek depresif
8) Insight pasien adalah derajat 5 dimana pasien menyadari dirinya sakit
tetapi tidak mau berobat.

VI. EVALUASI MULTIAKSIAL (SESUAI PPDGJ III)

Aksis I:

Dari autoanamnesis dan alloanamnesis ditemukan adanya gejala klinis


bermakna yaitu afek depresif, anhedonia, anergi (kurang semangat, rasa putus
asa), merasa tidak berguna, pesimis akan kesembuhannya, sulit tidur dan
nafsu makan berkurang. Keadaan ini menimbulkan penderitaan (distress)
pada dirinya dan keluarga serta terdapat hendaya (dissability) pada fungsi

12
psikososial, pekerjaan dan penggunaan waktu senggang sehingga dapat
disimpulkan bahwa pasien menderita Gangguan Jiwa.

Pada pemeriksaan status mental pasien tidak didapatkan hendaya berat


dalam menilai realita sehingga dimasukkan dalam Gangguan Jiwa tanpa
Gejala Psikotik.
Pada pemeriksaan status internus dan neurologis tidak ditemukan
adanya kelainan yang mengindikasikan gangguan medis umum yang dapat
menimbulkan gangguan otak, sehingga penyebab organik dapat disingkirkan
dan pasien dapat didiagnosis berdasarkan PPDGJ-III sebagai Gangguan
Jiwa Non Organik.
Berdasarkan gejala yang dialami dan waktu terjadinya yakni ± 2
minggu menurut PPDGJ-III pasien didiagnosis sebagai Gangguan Depresi
Berat tanpa Gejala Psikotik (F32.2).
Aksis II
Tidak ditemukan gangguan
Aksis III
Penyakit Infeksi : TB Paru (A15.0)
Penyakit Endokrin : Diabetes Mellitus tipe 2 (E11)
Aksis IV
Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial : pasien merasa akan
terkucilkan karena menderita penyakit menular
Aksis V
GAF Scale saat ini : 60-51 (gejala sedang, disabilitas sedang)

VII. DAFTAR MASALAH

1. Organobiologik
Tidak ditemukan adanya kelainan fisik yang bermakna, tetapi diduga
terdapat ketidakseimbangan neurotransmitter sehingga memerlukan
farmakoterapi.

13
2. Psikologi
Ditemukan adanya masalah psikologi sehingga memerlukan psikoterapi
3. Sosiologik
Ditemukan adanya hendaya dalam sosial sehingga memerlukan
sosioterapi.

VIII. RENCANA TERAPI


1. Farmakoterapi
Fluoxetine 20 mg 1-0-0
Alprazolam 0,5 mg 1/2-1/2-1
2. Psikoterapi
a) Ventilasi : memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan
keluhan dan isi hati serta perasaan sehingga pasien merasa lega.
b) Konseling : memberikan penjelasan dan pengertian kepada pasien agar
memahami penyakitnya, bagaimana cara menghadapinya, manfaat
pengobatan, cara pengobatan, efek samping yang mungkin timbul
selama pengobatan. memberikan dukungan kepada pasien serta
memotivasi agar minum obat secara teratur.
3. Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada pasien, keluarga pasien dan orang-orang di
sekitarnya mengenai bagaimana keadaan pasien saat ini. Sehingga dapat
menerima dan menciptakan suasana lingkungan yang mendukung.

IX. PROGNOSIS
Dari hasil pemeriksaan, didapatkan keadaan-keadaan berikut ini
Prognosis : Dubia ad bonam
Faktor yang mendukung:
- Adanya dukungan dari keluarga dan lingkungan sosialnya
- Tidak ada kelainan organik

14
Faktor yang menghambat:
- Ketidakpatuhan pasien menjalani pengobatan

X. DISKUSI
Depresi termasuk dalam kelompok gangguan mood yang umum,
ditandai dengan suasana hati yang rendah secara persisten yang disertai
dengan anhedonia, kelelahan dan rasa percaya diri yang rendah. Hal ini telah
dikaitkan dengan berkurangnya kualitas hidup, morbiditas medis dan
kematian. Individu yang mengalami gangguan depresi dapat memperlihatkan
kehilangan energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi,
mengalami hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri.
Penurunan aktivitas dopamin. Jalur dopamin mesolimbik mungkin
mengalami disfungsi pada pasien depresi dan reseptor dopamin D1 mungkin
hipoaktif pada depresi. Ini merupakan dua teori terbaru tentang hubungan
dopamin dan depresi. Depresi dapat terjadi jika aktivitas serotonin yang
menurun. Hal ini karena serotonin mengontrol regulasi afek, agresi, tidur dan
nafsu makan. Faktor kehidupan dan stres lingkungan dapat berperan dalam
terjadinya depresi, antara lain adalah kehilangan orang tua, pasangan, atau
pekerjaan.
Menurut PPDGJ III, gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan
berat) berupa afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah bekerja sedikit) dan menurunnya aktivitas.
Sementara gejala lainnya adalah konsentrasi dan perhatian berkurang, harga
diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak
berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau
perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu
makan berkurang. Penegakan diagnosis diperlukan masa sekurang-kurangnya
2 minggu, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar
biasa beratnya dan berlangsung cepat.

15
Dalam penegakan diagnosa episode depresif berat tanpa gejala
psikotik (F32.2), semua gejala utama depresi harus ada, ditambah sekurang-
kurangnya 4 gejala lainnya dan beberapa diantaranya berintensitas berat,
apabila amat berat dan beronset sangat cepat masih dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis kurun waktu <2minggu serta sangat tidak mungkin
pasien mampu melakukan kegiatannya kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
Berdasarkan autoanamnesis, alloanamnesis, dan pemeriksaan status
mental ditemukan adanya gejala klinis yang bermakna berupa afek depresif,
anhedonia, anergi, rasa tidak berguna, pesimistik, nafsu makan berkurang,
dan tidur terganggu. Berdasarkan gejala-gejala klinis ini dapat ditegakkan
diagnosis Gangguan Depresi Berat tanpa Gejala Psikotik (F32.2).
Keadaan ini menimbulkan penderitaan (distress) pada dirinya, sulit
melakukan tugas dalam kehidupan harian, dan sulit mengisi waktu luangnya
dengan hal yang bermanfaat (disability). Didapatkan juga hendaya dalam
pekerjaan akibat dari depresi.
Tuberkulosis (TB) paru dan Diabetes Mellitus (DM) merupakan dua
masalah kesehatan yang cukup besar secara epidemiologi dan berdampak
besar secara global karena keduanya merupakan penyakit kronik dan saling
berkaitan. TB paru tidak akan sembuh dengan baik pada DM yang tidak
terkontrol. Penderita DM mempunyai risiko 2-3 kali lebih tinggi untuk
mengidap penyakit TB paru dibandingkan penderita tanpa DM serta risiko
penularan yang lebih besar.
Penyebab infeksi TB paru pada penderita DM adalah karena defek
fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan tubuh, termasuk gangguan
fungsi dari epitel pernapasan serta motilitas silia. Makrofag alveolar pada
penderita TB paru dengan komplikasi DM menjadi kurang teraktivasi.
Penurunan kadar respon Th-1, produksi TNF-α, IFN-γ, serta produksi IL-1 β
dan IL-6 juga ditemukan pada penderita TB paru disertai DM dibandingkan
pada penderita TB tanpa DM. Selain itu, terjadi perubahan vaskuler pulmonal
dan tekanan oksigen alveolar yang memperberat kondisi pasien. Hal

16
terpenting dan utama dalam keberhasilan pengobatan TB paru pada penderita
DM adalah kontrol gula darah yang baik dan keteraturan minum OAT.
Selain terapi insulin dan OAT, pasien juga diberikan Fluoxetin 10 mg,
sesuai dengan terapi depresi. Fluoxetin adalah golongan SSRI, kerja dari
golongan obat ini adalah menghambat transpor norepinefrin yang relatif
selektif serta menghambat inaktivasi reuptake serotonin. Sedangkan
Alprazolam dari golongan benzodiazepine diberikan sebagai antiansietas
untuk mengurangi kecemasan pasien dan memperbaiki kualitas tidur pasien.
Benzodiazepine meningkatkan respons terhadap GABA dengan memfasilitasi
pembukaan pintu klorida. Benzodiazepine dapat menurunkan waktu
persiapan pasien untuk tidur, dan meningkatkan durasi tidur.
Pasien diberikan psikoterapi berupa terapi interpersonal dan
sosioterapi yang bertujuan untuk mengurangi gejala depresi dan mencegah
rekurensi, dengan cara mengajarkan pasien untuk mengidentifikasi masalah
dan mengubah pola pikir pasien menjadi positif khusunya mengenai penyakit
yang diderita serta prognosis kedepannya.

17
REFERAT

OBAT ANTI DEMENSIA

I. PENDAHULUAN

Demensia adalah berkurangnya kemampuan intelektual seseorang.


Penurunan kemampuan intelektual tersebut meliputi penurunan kemampuan
berfikir, mengingat, memahami, berhitung, berkonsentrasi sampai pada
berkurangnya kemampuan untuk menemukan suatu kata yang dimaksud. Selain
itu demensia juga mempengaruhi mental. Biasanya pasien akan mengalami
gangguan neuropsikiatri seperti halusinasi penglihatan, paranoid delusion,
agitasi, dan berdampak pada perubahan mood. Penyebab dari demensia sangat
beragam. Beberapa diantaranya antara lain: Alzheimer’s, demensia vaskular atau
alkohol.
Di Asia Tenggara jumlah orang dengan demensia diperkirakan
2
meningkat dari 2,48 juta di tahun 2010 menjadi 5,3 juta pada tahun 2030.
Prevalensi demensia akan meningkat seiring bertambahnya lebih banyak wanita
pada usia tua dibandingkan dengan laki-laki. Namun pada beberapa kasus
ditemukan pada umur kurang dari 60 tahun.
Cholinesterase inhibitors merupakan salah satu terapi yang digunakan
untuk mengatasi gejala penurunan fungsi kognitif dan mengurangi gejala
gangguan neuropsikiatri pada pasien demensia. Beberapa penelitian telah
dilakukan untuk membuktikan bagaimana efek beberapa kelas cholinesterase
inhibitors sebagai terapi demensia tipe Alzheimer’s. Dosis efektif, sediaan dan
efek samping yang dapat ditimbulkan dari pemberian beberapa kelas
cholinesterase inhibitors penting diketahui sebelumnya memutuskan untuk
menggunakan salah satu kelas dari cholinesterase inhibitors sebagai terapi
demensia.

18
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Demensia Menurut PPDGJ – III, Demensia merupakan suatu
sindrom akibat penyakit / gangguan otak yang biasanya bersifat kronik –
progresif, dimana terdapat gangguan fungsi luhur kortikal yang multiple
(multiple higher cortical function), termasuk di dalamnya : daya ingat,
daya pikir, orientasi, daya tangkap (comprehension), berhitung,
kemampuan belajar, berbahasa, dan daya nilai (judgement). Umumnya
disertai dan ada kalanya diawali dengan kemrosotan (deterioration) dalam
pengendalian emosi, perilaku sosial, atau motivasi hidup.

2.2. Neuropatologi Demensia


Defisit dari cholinergic neurons dilaporkan terjadi pada pasien
demensia tipe Alzheimer’s. Hal ini ditandai dengan berkurangnya neurons
pada basal forebrain nuclei. Degenerasi dari cholinergic neurons memicu
berkurangnya choline acetyltransferase sekitar 80%-90% di hippocampus
dan temporal cortex. Sedangkan pada parietal cortex dan frontal convexity
berkurang sekitar 40%-75%. Choline acetyltransferase merupakan suatu
enzim kunci untuk mensintesis acetylcholine.
Penurunan produksi choline acetyltransferase pada pasien
demensia tipe Alzheimer’s menyebabkan berkurangnya produksi
acetylcholine. Acetylcholine juga akan berkurang karena adanya dua
cholinesterase. Kedua cholinesterase tersebut yaitu acetylcholinesterase
dan butyrylcholinesterase. Achetylcholinesterase dan
butyrylcholinesterase juga ternyata berhubungan dengan adanya amyloid
plaques.
Pada perkembangan demensia tipe Alzheimer’s terjadi peningkatan
konsentrasi dari acetylcholinesterase di atas normal dan peningkatan
aktifitas butyrylcholinesterase yang menyebabkan berkurangnya
kemampuan intelektual atau kognitif pasien dengan cepat. Perubahan-
perubahan juga akan ditemukan pada reseptor-reseptor cholinergic.

19
Dimana fungsi normal dari reseptor-reseptor ini diperlukan dalam sistem
cholinergic. Reseptor M1 dan presynaptic M2 autoreseptor akan
berkurang. Reseptor nicotinic juga akan berkurang pada demensia tipe
Alzheimer’s, namun level dari M3 reseptor akan tetap normal. Perubahan-
perubahan tersebut merupakan penyebab adanya penurunan kemampuan
intelektual atau kognitif dan gejala gangguan neuropsikiatri pada pasien
demensia tipe Alzheimer’s.

2.3. Cholinesterase Inhibitors


Cholinesterase inhibitors merupakan suatu kelas obat yang
digunakan untuk mengatasi gejala penurunan kognitif pada pasien
demensia tipe Alzheimer’s ringan hingga sedang. Selain itu, cholinesterase
inhibitors juga bisa mengatasi beberapa gangguan neuropsikiatri,
walaupun efeknya kecil.
Cholinesterase inhibitors berfungsi meingkatkan level dari
acetylcholine, dimana fungsi dari acetylcholine adalah sebagai chemical
messenger yang penting dalam kaitannya dengan fungsi kognitif
seseorang. Aktifitas dari acetylcholinesterase yang berfungsi untuk
memecah acetycholine, dihambat setelah pesan sampai pada sel yang
dituju. dari acetycholinesterase, diharapkan terjadi peningkatan level dari
achetylcholine. Cholinesterase inhibitors tidak menghentikan proses
degenerasi yang terjadi pada sel saraf, namun hanya mengatasi gejala-
gejala yang berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif.
Cholinesterase inhibitors dibedakan menjadi beberapa kelas
berdasarkan tipe ikatan yang dibentuk dengan acetylcholinesterase.
1. Kelas pertama yaitu kelas carbamate.
Contoh dari kelas carbamate yaitu physostigmine, rivastigmine, dan
eptastigmine. Physostigmine merupakan salah satu dari contoh kelas
carbamate yang lebih selektif terhadap butyrylcholinesterase
dibandingkan dengan eengan penurunan acetylcholinesterase dan
bersifat reversible. Rivastigmine selektif terhadap acetylcholinesterase

20
dan butyrylcholinesterase dan bersifat pseudo irreversible.
Eptastigmine juga bersifat lebih selektif terhadap butyrylcholinesterase
daripada acetylcholinesterase dan bersifat reversible.
2. Kelas yang kedua yaitu kelas acridine.
Contoh dari kelas tersebut adalah tacrine dan velnacrine. Bersifat
reversible dan lebih selektif terhadap butyrylcholinesterase
dibandingkan dengan acetylcholinesterase. Tacrine dan velnacrine
mempunyai afinitas yang lebih tinggi dan merupakan noncovalent
inhibitor.
3. Kelas ketiga yaitu kelas piperidine.
Salah satu contoh dari piperidine yaitu donepezil. Donepezil juga lebih
selektif terhadap butyrylcholinesterase dan bersifat reversible.
Donepezil mempunyai komponen kompetitif dan komponen non
kompetitif.
4. Kelas keempat yaitu kelas organophosphate.
Contoh dari kelas ini yaitu metrifonate. Metrifonate membentuk ikatan
kovalen yang bersifat irreversible dengan substrat. Pada awalnya
metrifonate akan bersifat kompetitif inhibitor, namun pada tahap
selanjutnya akan bersifat sebagai non kompetitif inhibitor. Metrifonate
lebih selektif terhadap butyrylcholinesterase daripada
acetylcholinesterase.
5. Kelas yang kelima yaitu kelas phenanthrene alkaloid.
Salah satu contoh yaitu galantamine. Galantamine merupakan salah
satu contoh dari phenanthrene alkaloid yang bersifat reversible dan
lebih selektif terhadap acetylcholinesterase. Galantamine merupakan
salah suatu kompetitif inhibitor.
Penurunan kemampuan intelektual atau penurunan fungsi kognitif
pada pasien demensia tipe Alzheimer’s disebabkan oleh hilangnya
cholinergic neurons yang bersifat progresif dan berkurangnya
acetylcholine pada otak. Sepertinya telah dibahas sebelumnya,
berkurangnya acetylcholine dikarenakan oleh adanya dua cholinesterase.

21
Kedua cholinesterase tersebut adalah acetylcholinesterase dan
butyrylcholinesterase.
Untuk mengatasi gejala-gejala penurunan fungsi kognitif pada
pasien demensia tipe Alzheimer’s, maka dapat dilakukan penanganan
dengan menghambat acetylcholinesterase dan butyrylcholinesterase.
Pemberian cholinesterase inhibitors menunda penurunan fungsi kognitif
sekitar 6 sampai 12 bulan, dimana pada pasien demensia selain terjadi
penurunan fungsi kognitif, pasien juga akan mengalami gangguan
neuropsikiatri seperti halusinasi penglihatan, paranoid delusion, agitasi,
dan berdampak pada perubahan mood.
Cholinesterase inhibitors yang biasa digunakan pada awal terapi
pasien demensia tipe Alzheimer’s untuk mengatasi gejala-gejala penurunan
fungsi kognitif meskipun dalam mengatasi gangguan neuropsikiatri
efeknya kecil. Kemajuan dapat dinilai dengan melakukan penilaian
berulang kemampuan kognitif sekitar selama 3 bulan. Penilaian ini tidak
dapat menggambarkan bagaimana perkembangan penyakit tanpa terapi,
namun dapat memberikan panduan yang baik terhadap respon.
1) Rivastigmine
Beberapa penelitian menunjukkan perbaikan fungsi kognitif dan
gejala psikosis dari pasien demensia tipe Alzheimer’s ringan hingga
sedang dengan pemberian rivastigmine. Rivastigmine sangat signifikan
berhubungan dengan inhibisi sentral dari acetylcholinesterase dan
butyrylcholinesterase.
Rivastigmine dapat menghambat acetylcholinesterase dan
butyrylcholinesterase, sehingga konsentrasi dari acetylcholine dapat
ditingkatkan. Rivastigmine dapat berupa kapsul dengan dosis 1,5 mg, 3
mg, 4,5 mg, dan 6 mg. Selain itu tersedia juga oral solution 2 mg/ml.
Pemberian dua kali pada pagi dan sore dengan terlebih dahulu makan.
Pemberian awal 1,5 mg/hari, setelah 4 minggu ditingkatkan menjadi 3
mg yang masing-masing diberikan dua kali sehari. Setelah 4 minggu

22
berikutnya dapat ditingkatkan hingga 4,5 mg sampai 6 mg yang juga
masing-masing diberikan dua kali sehari.
Rivastigmine sangat cepat dan secara sempurna dapat diabsorbsi.
Rivastigmine dimetabolisme secara luas oleh acetylcholinesterase.
Paruh waktunya adalah sekitar 1,5 jam dengan sebagian besar
eliminasinya berupa ekskresi metabolik dari ginjal.
Pada pasien yang hipersensitif terhadap turunan carbamate,
sebaiknya rivastigmine tidak diberikan. Sedangkan pada pasien yang
mempunyai riwayat asma atau obstructive pulmonary disease,
rivastigmine bisa digunakan. Rivastigmine juga biasanya digunakan
pada pasien demensia tipe Alzheimer’s yang tidak sensitif terhadap
acetylcholinesterase specific inhibitor. Efek samping dari pemberian
rivastigmine antara lain adalah mual, muntah, anorexia,dan penurunan
berat badan.
2) Donepezil
Penelitian yang dilakukan kurang lebih 12 sampai 24 minggu
menyimpulkan bahwa pemberian donepezil dengan dosis 5mg/hari
hingga 10 mg/hari menunjukkan efek yang signifikan secara statistik
untuk mengatasi gejala-gejala yang berkaitan dengan kognitif namun
kurang efektif sebagai terapi agitasi.
Donepezil membantu memperbaiki memori dan meningkatkan
kemampuan untuk mengurus diri sendiri pada pasien demensia tipe
Alzheimer’s. Donepezil berupa tablet tersedia dalam dosis 5 mg dan 10
mg. Pemberian dilakukan satu 9 kali setiap malam, dapat disertai atau
tanpa didahului dengan makan. Dosis awal yaitu 5 mg/hari selama
kurang lebih 4 minggu sampai 6 minggu, setelah itu meningkat hingga
10 mg/hari. Efek samping dari donepezil antara lain adalah diare,
anorexia, fatigue, insomnia, mual, muntah, penurunan berat badan dan
muscle cramps.
3) Galantamine

23
Galantamine bekerja selain utntuk menghambat
acetylcholinesterase, juga berperan sebagai allosterically potentiating
ligand pada nicotinic acetylcholine reseptor. Galantamine dapat
memperbaiki nicotinic cholinergic neurotransmitter yang akan
berdampak baik dalam perbaikan fungsi kognitif.
Sediaan dari galantamine berupa tablet dengan dosis 4 mg, 8 mg,
dan 12 mg. Dapat juga berupa oral solution 4 mg/ml. Pemberian
dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore setelah makan. Dosis
pemberian awal yaitu 4 mg yang masing-masing diberikan dua kali
sehari. Setelah 4 minggu, dosis dapat ditingkatkan menjadi 8 mg hingga
12 mg yang juga masing-masing diberikan 2 kali sehari. Efek samping
dari pemberian galantamine adalah diare, anorexia, mual, muntah, dan
penurunan berat badan.
4) Physostigmine
Awalnya physostigmine hanya diteliti untuk diketahui efeknya
terhadap fungsi kognitif. Namun seiring berjalannya waktu, beberapa
peneliti juga meneliti efek physostigmine terhadap gangguan
neuropsikiatri.
Suatu penelitian menyebutkan bahwa physostigmine memiliki
efek yang baik dalam perbaikan aspek perilaku dibandingkan dengan
placebo. Peneliti lain juga melaporkan bahwa pemberian intramuscular
physostigmine berpengaruh terhadap aspek perilaku secara dramatis
dalam waktu 3 hari. Physostigmine dapat menurunkan restlessness,
depresi, dan memperbaiki kemampuan bersosialisasi dari pasien.
Efek samping dari penggunaan physostigmine juga dapat
ditemukan dari beberapa penelitian yang dilakukan. Efek samping
tersebut dapat berupa “physostigmine syndrome”. Pasien akan
merasakan extreme fatigue, cemas, uncooperative. Namun pada
penelitian yang menimbulkan efek samping ini digunakan dosis yang
lebih besar dibandingkan dosis yang dipakai pada penelitian yang
dilakukan oleh Shcwarz dan Konlstaedt.

24
5) Eptastigmine
Eptastigmine dilaporkan dapat memperbaiki aspek perilaku dari
pasien demensia tipe Alzheimer’s. Namun masih sedikit penelitian yang
membahas eptastigmine secara lebih lengkap melalui efeknya terhadap
perbaikan aspek perilaku dan gangguan neuropsikiatri.
6) Tacrine
Beberapa penelitian bahwa pemberian tacrine dapat memperbaiki
keadaan uncooperative dan paranoid delusion yang dialami oleh pasien
demensia tipe Alzheimer’s. Hal ini didasarkan oleh penilaian yang telah
dilakukan menggunakan Noncognitive Portion of the Alzheimer’s
Disease Assessment scale.
7) Velnacrine
Penelitian yang dilakukan selama kurang lebih 24 minggu pada
pasien demensia tipe Alzheimer’s menyebutkan bahwa velnacrine dapat
mengurangi apati, anxiety, dan disinhibition. Sedangkan apabila
dibandingkan dengan placebo, velnacrine terbukti tidak menyebabkan
terjadinya perubahan pada aspek perilaku. Penilaian tersebut dilakukan
dengan menggunakan Relatives Assessment of Global Symptomatology.
8) Metrifonate
Penelitian yang didasarkan oleh penggunaan Neuropsychiatric
Inventory menyimpulkan bahwa metrifonate dapat menurunkan
halusinasi penglihatan, apati, depresi, anxiety, dan memperbaiki
aberrant motoric behavior. Dosis yang dilaporkan aman adalah 0,20
mg/kg/hari.

25
III. KESIMPULAN

Demensia tipe Alzheimer’s merupakan suatu penurunan fungsi kognitif


dan adanya gangguan neuropsikiatri yang disebabkan oleh Alzheimer’s. Hal
tersebut dikarenakan adanya perubahan- perubahan secara histologi pada otak
dan berkurangnya konsentrasi acetylcholine.
Cholinesterase inhibitors merupakan salah satu obat yang digunakan
pada pasien demensia tipe Alzheimer’s ringan hingga sedang. Beberapa kelas
cholinesterase inhibitors secara signifikan dapat memperbaiki gejala-gejala
penurunan fungsi kognitif. Cholinesterase inhibitors juga mempunyai efek
dalam mengatasi gangguan neuropsikiatri, walaupun dilaporkan efeknya kecil
namun signifikan secara statistik. Dosis dan cara pemberian yang tepat harus
diperhatikan dalam penggunaan cholinesterase inhibitors agar dapat dicapai
hasil yang maksimal.

26
DAFTAR PUSTAKA

Laporan Kasus
1. Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. 2013. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.
2. Maslim, R. Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik. Edisi 3. 2014.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
3. Wijaya, Indra. Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus. Tangerang :
Ikatan Dokter Indonesia, 2015, Vol. 42.

Referat
1. Primaniar, Prameidya S. Cholinesterase Inhibitors sebagai Terapi Demensia
tipe Alzheimer’s. 2016. Bagian Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana RSUP Sanglah. Tersedia di http://download.portalgaruda.org/
article.php?article=14474&val=970. Diakses tanggal 24 Agustus 2018.
2. PERDOSSI. Panduan Praktik Klinik: Diagnosis dan Penatalaksanaan
Demensia. 2015. Tersedia di http://www.neurona.web.id/paper/PPK%
20demensia.pdf . Diakses tanggal 24 Agustus 2018.
3. Kamajaya, Danu. Demensia. 2015. Fakultas Kedokteran Universitas Dipanegara.
http://eprints.undip.ac.id/44525/3/Danu_Kamajaya_22010110110028_BAB_II.p
df. Diakses tanggal 24 Agustus 2018.

27

Anda mungkin juga menyukai