TINJAUAN PUSTAKA
Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas
hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2
normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg.
Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas
kronik. 1,2
Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Gagal
napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan penangan yang
cepat dan tepat. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat
oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan
underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut. 1,2
1
2.1.1 FISIOLOGI PERNAPASAN
Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan Oksigen (O2) bagi
jaringan dan membuang karbondioksida (CO2). Untuk mencapai tujuan ini, pernapasan
dapat dibagi menjadi empat peristiwa fungsional pertama, yaitu:3,4
(1) ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli paru
(3) transport O2 dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel dan
Inspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal (intra alveolar) lebih rendah dari tekanan udara
luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan dapat berkisar antara -1mmHg sampai
dengan -3mmHg. Pada saat inspirasi dalam tekanan intra alveolar dapat mencapai -
30mmHg. Menurunnya tekanan intra pulmonar pada waktu inspirasi disebabkan
oleh mengembangnya rongga thorax karena berkontraksinya otot-otot inspirasi.3,4
Proses inspirasi:
Kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna Volume thorax
membesar Tekanan Intra pleura menurun Paru mengembang
Tekanan intra alveolar menurun Udara masuk ke dalam paru.3,4
Ekspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi daripada tekanan udara luar sehingga
udara bergerak keluar paru. Tekanan intrapulmonar meningkat bila volume rongga
paru mengecil yang terjadi saat otot-otot inspirasi berelaksasi. Pada proses ekspirasi
biasa tekanan intraalveolar berkisar antara +1mmHg sampai +3mmHg.3,4
Proses ekspirasi:
Otot inspirasi relaksasi volume thorax mengecil tekanan intrapleura
meningkat volume paru mengecil tekanan intra alveolar meningkat
udara bergerak keluar paru. 3,4
2
Tekanan Intrapleura
Adalah tekanan di dalam rongga pleura (antara pleura parietalis dan pleura
viseralis). Dalam keadaan normal ruang ini hampa udara dan mempunyai tekanan
negatif kurang lebih -4mmHg dibandingkan dengan tekanan intraalveolar. 3,4
Volume Pernapasan semenit
Adalah jumlah total udara baru yang masuk ke dalam saluran pernapasan tiap menit,
dan ini sesuai dengan volume alun napas (volume Tidal/VT) dikalikan dengan
frekuensi pernapasan. VT normal kira-kira 500ml dan frekuensi pernapasan normal
kira-kira 12 kali permenit. Oleh karena itu, volume pernapasan semenit rata-rata
sekitar 6 liter/menit. 3,4
Pada orang sehat tekanan CO2 (PaCO2) normal dipertahankan kurang lebih
40mmHg dengan mengatur VA melalui proses regulasi ventilasi. Hiperventilasi
alveolar adalah VA yang diperlukan untuk kebutuhan metabolisme tubuh dan
direfleksikan dengan PaCO2 kurang dari 40mmHg, sedangkan hipoventilasi alveolar
adalah VA yang diperlukan untuk metabolism tubuh dengan PaCO2 lebih dari
40mmHg.5
3
PCO2 > 45 mmHg yang berarti gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan
asidosis metabolic. Tubuh pasien yang asidosis metabolic secara fisiologis akan
menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi terhadap PH darah yang rendah. Tetapi jika
ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak normal, meskipun masih dibawah 45 mmHg pada
keadaan asidosis metabolic, hal ini dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia.1,2
Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal napas
hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas
kronik. Gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai jam, PH darah kurang
dari 7,3. Gagal napas kronik berkembang dalam beberapa hari atau lebih lama, terdapat
waktu untuk ginjal mengkompensasi dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena
itu biasanya PH hanya menurun sedikit.3
4
Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau
berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin.3
Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari
penurunan penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksemia berat akan menyebabkan
hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena
faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septic atau keracunan karbon
monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau normal.3
Gambaran Klinis
Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran
hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan
ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea,
hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung
kemampuan mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk
merespon. Pada pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada
respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di
ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane
mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan
keadaan perfusi pasien.3,5
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan yang
tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme ke
arah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di
darah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat
menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir
abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental
yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik
permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan
terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi.
Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan
hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung.
5
Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan hantaran
oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang
berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diramalkan akan mengalami
hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya
pada pasien syok hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada
hipoksemia arterial ringan. 3,5
6
Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA menggambarkan
hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 dan VA berhubungan terbalik. Jadi hiperkapnia
selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim dengan
hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar tidak dapat diukur, perkiraan
ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan menggunakan PaCO2 rumus diatas. 3,5
Gambaran Klinis
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan PaCO2
merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui turunnya
PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2
berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara
cepat dan hebat karena hiperkapnia akut. 3,5
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat
serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis
respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan
status mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO2 mutlak. 3,5
Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia
menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin
memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit
dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea,
dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea. 3,5
7
2. Susunan Neuro-muskular - Infeksi paru
- Miastenia Gravis - Benda asing
- Polyneuritis, demyelinisasi - Pneumothoraks, hemathoraks
- Analgesia spinal tinggi - Edema Paru
- Pelumpuh otot - ARDS
3. Dinding Thoraks dan Diafragma - Aspiras
- Luka tusuk Thoraks 5. Kardiovaskuler
- Ruptur diafragma - Renjatan, Gagal jantung
- Emboli paru
4. Paru 6. Pasca Bedah Thoraks
- Asma
8
adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut. 7,8
Dasar-dasar fisiologis terapi
Gagal napas hiperkapnea
Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana suportif bertujuan
memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga diketahui dan diterapi penyakit
yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat ditingkatkan dengan
mengusahakan tetap terbukanya jalan napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret,
stimulasi batuk, drainase postural. Atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan
selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk
mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal sampai masalah primer
diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi
sesuai yang diinginkan, namun pada pasien dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati
dalam menurunkan hiperkapnia, karena koreksi PaCO2 hingga batas normal pada kasus
tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa karena sudah
terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum. 7,8
Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia, terutama yang didasari oleh
penyakit paru, dan pemberian oksigen tambahan seringkali dibutuhkan. Tetapi pada
beberapa pasien dengan hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak
dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati. 7,8
Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif atau botulisme, dan
kebanyakan pasien dengan trauma dada akan membaik seiring dengan berjalannya waktu,
dan penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer yang membutuhkan terapi khusus
ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru obstruktif, obstructive sleep
apnea, dan miksedema. 7,8
9
kelelahan otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk diperhatikan, jika ada
anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat harus dipertahankan.
Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik harus diatasi. 7,8
Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua bagian paru
(tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi dimana area paru yang
tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat meningkatkan
oksigenasi, hal ini karena adanya gaya gravitasi. Pasien dengan hemoptisis berat atau
sekretnya banyak tidak boleh diposisikan seperti ini karena dapat terjadi aspirasi darah
atau sekret ke area yang belum terlibat. Pada pasien ARDS dengan edema paru
nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi (tengkurap), paru akan jarang
mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu lebih sedikit area paru yang
mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen. 7,8
Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan nonspesifik dan yang spesifik.
Umumnya diperlukan kombinasi keduanya. Pengobatan nonspesifik adalah tindakan
secara langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan
pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya. 7,8
Pengobatan nonspesifik
Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala yang
timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk. Sambil menunggu
dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya. 7,8
Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut:
1. Atasi hipoksemia: terapi oksigen
2. Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi
a. Perbaiki jalan napas
b. Ventilasi bantuan: memompa dengan sungkup muka berkantung (bag and mask),
IPPB
3. Ventilasi kendali
4. Fisioterapi dada
10
Terapi Oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2
sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari penyakit kronik yang menjadi
akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat
pernapasan tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic drive.
Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea. 7,8
Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO2), menurunkan
konsumsi oksigen dengan hipotermi sampai 34°C atau pemberian obat pelumpuh otot.
Ventilasi dilakukan secara bantuan atau terkendali. Cara pemberian oksigen dapat
dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka tipe venture dapat
mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi kembali dengan ventilator
maka konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100%.7,8
Tabel Cara Pemberian O2, hubungan antara besarnya aliran udara dengan
konsentrasi O2 Inspirasi7,8
Alat Aliran O2 (L/men) Konsentrasi O2 (%)
11
tidak banyak berubah karena sudah terkompensasi oleh ginjal atau dikenal sebagai
asidosis respiratorik terkompensasi sebagian atau penuh.7,8
Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat menyebabkan PH darah meningkat
menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan, dapat menimbulkan
gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi hipokalemia, gangguan pada jantung
seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan CO2 harus secara
bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam. 7,8
12
obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak
berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator. 7,8
Fisioterapi Dada
Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan sputum. Tindakan ini selain
untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas
dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan kedua
telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang baik dan efisien.
Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada dan punggung, kemudian perkusi, vibrasi dan
drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik,
bronchodilator, atau pernapasan bantuan dengan ventilator.7,8
Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan untuk
masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-kadang memerlukan persiapan yang
membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau bronkhoskopi. Macam-macam
pengobatan spesifik dapat dilihat pada tabel. 7,8
Tabel Macam-macam pengobatan spesifik penyebab gagal napas akut7,8
Etiologi Pengobatan Spesifik
1. Otak
- Neoplasma - Rawat Operasi
- Epilepsi - Antikonvulsi
- Hematoma Subdural - Operasi
- Keracunan Morfin - Nalokson
- CVA - Rawat Intensif
2. Susunan Neuro-muskular
- Miastenia Gravis - Prostigmin, Piridostigmin
- Polyneuritis, - Rawat dan bantuan napas
demyelinisasi ventilasi terkendali
13
- Analgesia spinal tinggi
- Pelumpuh otot
3. Dinding Thoraks dan
Diafragma - Operasi
- Luka tusuk Thoraks - Operasi
- Ruptur diafragma
4. Paru
- Asma - Steroid, Bronkodilator
- Infeksi paru - Antibiotik
- Benda asing - Bronkhoskopi
- Pneumothoraks, - Drainase paru
hemathoraks
- Edema Paru - Diuretika, Ventilasi kendali
- ARDS
- Aspirasi
5. Kardiovaskuler
- Renjatan, Gagal jantung - Obat-obatan
- Emboli paru - Terapi cairan
14
2.2 PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab utama kesakitan
dan kematian di seluruh dunia. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat 1 (PPOK ringan), derajat 2 (PPOK
sedang), derajat 3 (PPOK berat), derajat 4 (PPOK sangat berat).10
Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-batuk
kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan
atau gejala. Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : Edukasi, berhenti merokok, obat –
obatan , rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis, Nutrisi. Komplikasi PPOK gagal nafas,
infeksi berulang, dan cor polmunale.11
2.2.1 DEFINISI
Penyakit paru obstruksi kronik adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan
hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara
ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas
yang beracun/berbahaya. 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan rokok.12
15
2.2.2 FAKTOR RISIKO 9
1. Asap rokok
2. Polusi udara
Polusi di dalam ruangan
o Asap rokok
o Asap kompor
Polusi di luar ruangan
o Gas buang kendaraan bermotor
o Debu jalanan
Polusi tempat kerja (bahan kimia,zat iritasi,gas beracun)
3. Gen
Faktor resiko genetik yang paling sering terjadi adalah α-1 antitrypsin sebagai inhibitor
dari protease serin.
2.2.3 PATOGENESIS
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap rokok
atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk melepaskan faktor
kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan
neutrofil ini melepaskan protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease
sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease
terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap
perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide,
radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang
berkontribusi terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran
antiprotease.11
16
kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-
kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan
timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK.10,11
Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau kurang
terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan hypoxemia (PaO2 rendah)
oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli
yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan
pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk
mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk
mengatasi resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan
terjadilah retensi CO2 (hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.10,11
2.2.4 KLASIFIKASI 10
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, dibagi
atas 4 derajat :
1. Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara
ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut
mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2. Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1 <
80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien
biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
3. Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP1 /
KVP < 70%; 30% < VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat,
penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas
hidup pasien.
17
4. Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 < 30%
prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan
gagal jantung kanan.
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu
perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan
VEP1:
2.2.4 DIAGNOSIS 13
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga
berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang jelas
dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti
pada tabel berikut :
Gejala Keterangan
18
Riwayat terpajan factor resiko Asap rokok
Debu
Asap dapur
19
Gejala bronchitis (Blue Bloater)
1. Sesak nafas pada saat istirahat, yang memburuk dengan aktivitas ringan
2. Batuk berdahak terutama pada pagi hari
3. Mengi ketika saat bernafas
4. Kelihatan lelah
5. Obesitas
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
20
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
1. Suara napas vesikuler normal, atau melemah
2. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
3. Ekspirasi memanjang
4. Bunyi jantung terdengar jauh
21
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular shadow berupa
bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan
paru yang bertambah. 12
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan
gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal,
dan penambahan cortakan ke distal.12
Normal Hyperinflation
22
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
d. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan
VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
e. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang
tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
h. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
i. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin
23
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia. riwayat penyakit yang
ditandai dengan gejala-gejala diatas. 12
PPOK harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan batuk dengan dahak atau
sesak napas dan atau riwayat terpapar faktor resiko. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan
obyektif adanya hambatan aliran udara (dengan spirometri).
2.2.6 PENATALAKSANAAN12
Tujuan dari manajemen PPOK adalah untuk meningkatkan status fungsional pasien dan
kualitas hidup dengan menjaga fungsi paru-paru yang optimal, menurunkan gejala, menurunkan
kematian,mencegah dan menangani komplikasi dan mencegah kekambuhan eksaserbasi. Setelah
diagnosis PPOK ditegakkan, penting untuk memberitahu pasien tentang penyakit dan untuk
mendorong partisipasi aktif dalam terapi.12
1. Edukasi
2. Berhenti merokok
3. Obat – obatan
4. Rehabilitasi
24
5. Terapi oksigen
6. Ventilasi mekanis
7. Nutrisi
Edukasi12
Berhenti merokok12
Obat – obatan12
Bronkodilator
Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping bronkodilator juga mengurangi
sekresi mucus.
Golongan agonis β-2
Bentuk inhaler digunakan untuk menatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebaai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
tablet yang berefek panjang. Bentuk nebulizer dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis β-2
25
Kombinasi kedua obat golongan ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mudah digunakan.
Golongan xantin
Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak, bentuk suntikan bolus atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.
Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan untuk lini pertama
adalah amoksisilin dan makrolid. Dan untuk lini kedua diberikan amoksisilin
dikombinasikan dengan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon dan makrolid baru.
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Digunakan N-
asetilsistein, dan dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
Mukolitik (pengencer dahak)
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang kental. Tetapi obat ini
tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka panjang.
Antitusif
Diberikan dengan hati-hati
Rehabilitasi PPOK12
26
Simptom pernapasan berat
Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
Kualitas hidup yang menurun
Terapi oksigen12
Manfaat Oksigen :
1. Mengurangi sesak
2. Memperbaiki aktivitas
3. Mengurangi hipertensi pulmoner
4. Mengurangi vasokontriksi
5. Mengurangi hematokrit
6. Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
7. Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi :
1. Pa02 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90 %
2. PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai korpulmonale, perubahan P
pumonal, Ht > 55 % dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, dan penyakit
paru.
Macam terapi oksigen :
1. Pemberian oksigen jangka panjang
2. Pemberian oksigen pada waktu aktivitas
3. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
4. Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
27
Ventilasi Mekanik12
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, atau
pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu dengan intubasi atau tanpa intubasi..
Nutrisi12
Gizi penting sebagai penentu gejala, cacat, dan prognosis dalam PPOK, baik kelebihan dan
kekurangan berat badan bisa menjadi masalah. Kira – kira 25% dari pasien PPOK derajat II
sampai IV menunjukkan penurunan baik indeks massa tubuh dan massa lemak bebas.
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan dengan kondisi sebelunya. Eksaserbasi dapat
disebabkan infeksi atau factor lainnya seperti polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
28
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen)
1. Gagal napas
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan
:
a. Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
b. Bronkodilator adekuat
c. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
d. Antioksidan
e. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
29
d. Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
3. Kor polmunale
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.
2.2.9 PROGNOSIS12,13
Makin cepat diagnosis bisa ditegakkan, maka prognosis penderita baik, dengan catatan
etiologinya bisa di hilangkan. Bila etiologi tidak dapat disinggirkan, maka penderita bukan hanya
mendapatkan kekambuhan, tetapi juga perjalanan penyakitnya akan melaju terus menerus
dengan pesat. Semakin lambat diagnosis ditegakkan, maka makin jelek prognosis penderita. Hal
ini di akibatkan sudah semakin berkurangnya elastisitas paru, semakin luasnya kerusakan silia
secara irreversible dan semakin tebalnya mukosa saluran pernapasan. Kalau penderita tidak
meninggal karena kegagalan pernapasan, maka sebab kematian yang lain adalah karena salah
satu atau lebih komplikasi yang dapat timbul setiap saat.
30
2.3 DIABETES MELLITUS
2.3.1 DEFINISI
Diabetes Melitus berasal dari istilah kata Yunani, Diabetes yang berarti pancuran dan
Melitus yang berarti madu atau gula. Kurang lebih istilah Diabetes Melitus menggambarkan
gejala diabetes yang tidak terkontrol, yakni banyak keluar air seni yang manis karena
mengandung gula. Oleh karena demikian, dalam istilah lain penyakit ini disebut juga “Kencing
Manis”.14
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.14
Kelainan pada sekresi/kerja insulin tersebut menyebabkan abnormalitas dalam
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.14
31
- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA Mitochondria, dan lainnya
B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom
Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya
C. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma,
fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya
D. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma, hipertiroidisme
somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormone tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya
F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
G. Imunologi (jarang) : sindrom “Stiff-man”, antibody anti reseptor insulin lainnya
H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, sindrom Turner,
sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea Hutington, sindrom Laurence-
Moon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya
4. Diabetes kehamilan/ Gestasional
2.3.3 PATOFISIOLOGI
DM Tipe 1
Pada DM tipe 1 atau yang disebut IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) terjadi ketiadaan
insulin yang mutlak, sehingga penderita membutuhkan pasokan insulin dari luar. Kondisi ini disebabkan
karena adanya lesi pada sel beta pankreas. Pembentukan lesi ini disebabkan karena mekanisme gangguan
autoimun dan infeksi virus yang terlibat dalam kerusakan sel-sel beta. Adanya antibodi atau
autoimun yang menyerang sel beta biasanya dideteksi beberapa tahun sebelum timbulnya penyakit. DM
tipe 1 dapat berkembang secara tiba-tiba, dengan tiga gejala pokok: (1) meningkatnya glukosa
darah, (2) peningkatan penggunaan lemak untuk energi dan pembentukan kolesterol oleh hati, dan (3)
penipisan protein tubuh. Bagan patofisiologi dapat dilihat pada gambar dibawah ini.17,18
32
DM Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang progresif, dimulai dengan
resistensi insulin yang mengarah ke peningkatan produksi glukosa hepatik dan berakhir dengan
kerusakan sel beta. Resistensi insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan jaringan target
seperti otot dan jaringan adiposa untuk merespon sekresi insulin endogen dalam tubuh .
Lipotoxicity dapat berkontribusi terhadap resistensi insulin. Lipotoxicity mengacu kepada
tingginya konsentrasi asam lemak bebas yang terjadi sebagai akibat tekanan hambatan hormone
sensitive lipase (HSL). Normalnya insulin menghambat lipolisis dengan menghambat HSL,
namun pada resistensi insulin tidak terjadi secara efisien. Hasil dari peningkatan lipolisis adalah
peningkatan asam lemak bebas, dan inilah yang menyebabkan obesitas dan peningkatan adiposa.
Asam lemak bebas menyebabkan resistensi insulin dengan mempromosikan fosforilasi serin
pada reseptor insulin yang dapat mengurangi aktivitas insulin signalling pathway. Fosforilasi
reseptor insulin pada asam amino tirosin penting untuk mengaktifkan insulin signalling pathway,
jika tidak, maka GLUT-4 akan gagal untuk translocate, dan penyerapan glukosa ke jaringan akan
berkurang, menyebabkan hiperglikemia.17,18
Pada individu non-diabetik sel beta mampu menangkal resistensi insulin dengan
meningkatkan produksi dan sekresi insulin. Pada penderita DM apabila keadaan resistensi insulin
bertambah berat disertai tingginya glukosa yang terus terjadi, sel beta pankreas dalam jangka
33
waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin dalam jumlah cukup untuk
menurunkan kadar gula darah, disertai dengan peningkatan glukosa hepatik dan penurunan
penggunaan glukosa oleh otot dan lemak akan mempengaruhi kadar gula dara puasa dan
postpandrial. Akhirnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan terjadi
hiperglikemia berat.17,18
34
2.3.4 FAKTOR RISIKO
1. Diabetes Melitus tipe 1/IDDM (Insulin-dependant diabetes melitus)
DM Tipe 1 ini ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pancreas; faktor
genetic;imunologi; dan mungkin pula lingkungan (virus) diperkirakan turut menimbulkan
distruksi sel beta.19
a) Faktor genetik
Penderita DM tipe 1 mewarisi kecenderungan genetic kearah DM Tipe 1,
kecenderungan ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe HLA (Human
Leucocyt Antigen) tertentu. Resiko meningkat 20x pada individu yang memiliki
tipe HLA DR3 atau DR4
b) Faktor Imunologi
Respon abnormal di mana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan
cara bereaksi jaringan tersebut sebagai jaringan asing
c) Faktor Lingkungan
Virus/toksin tentu dapat memacu proses yang dapat menimbulkan destruksi sel
beta
35
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi : 19
Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
Kurangnya aktivitas fisik.
Hipertensi (> 140/90 mmHg).
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes/ intoleransi glukosa dan DM tipe 2.
Gejala Akut
Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi, bahkan mungkin
tidak menunjukkan gejala apapun sampai saat tertentu. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan
meliputi serba banyak (tripoli) yaitu: banyak makan (poliphagia), banyak minum (polidipsia),
banyak kencing (poliuria). Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala nafsu
makan mulai berkurang, berat badan turun dengan cepat (turun 5 – 10 kg dalam waktu 2 – 4
minggu), dan mudah lelah. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita
akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik.14
Gejala Kronik
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah kesemutan, kulit terasa
panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram, capai, mudah mengantuk, mata
kabur, gatal di sekitar kemaluan terutama wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan impotensi. 14
2.3.6 DIAGNOSIS
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasaradanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaanglukosa secara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena.Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria
36
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan olehWHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer.15,16
37
Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada table ini15,16
*Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu
criteria diagnostik DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandarisasi dengan baik
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada
hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). 15,16
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma
2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2
jam < 140 mg/dL.
Cara pelaksanaan TTGO15,16
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/ kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
38
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
Pemeriksaan Penyaring15,16
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM, namun tidak
menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien
dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien
dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara
menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan
penyakit kardiovaskular dikemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana
tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan
dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.
Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (MG/dL) 15,16
Catatan: Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun
39
2.3.7 PENATALAKSANAAN20,21
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang
diabetes.
Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas da mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.20,21
EDUKASI
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku
sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif
dan upaya peningkatan motivasi. 20,21
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia
serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus. 20,21
40
TERAPI NUTRISI MEDIS
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,
ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). 20,21
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna
mencapai sasaran terapi. 20,21
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hamper sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. 20,21
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya
25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. 20,21
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
41
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa tubuh dapat
dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT
BB Kurang < 18,5 Dengan resiko 23,0-24,9
BB Normal 18,5-22,9 Obes I 25,0-29,9
BB Lebih ≥ 23,0 Obes II >30
42
o Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3
porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan
ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin
perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap
penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. 20,21
Pilihan Makanan
Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui piramida makanan untuk
penyandang diabetes. 20,21
LATIHAN JASMANI
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan
sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan .
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur
43
dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan. 20,21
TERAPI FARMAKOLOGIS
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. 20,21
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. 20,21
44
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada
pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala. 20,21
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes
gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut. 20,21
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan oleh
sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang
45
masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan
sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah
oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak
aktif. 20,21
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja
enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog
incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk
aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon. 20,21
46
Tabel Perbandingan Golongan OHO20,21
2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetic
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO20,21
47
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi lima jenis, yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).20,21
48
Efek samping terapi insulin
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin. 20,21
Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini
antara lain rasa sebah dan muntah. 20,21
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan
pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara
terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat
dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin
tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam
hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di
49
atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan
diberikan terapi kombinasi insulin. 20,21
50
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang
baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah
mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian
DM dapat dilihat pada Tabel. 20,21
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-180
mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria
pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga
untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat. 20,21
Tabel Target Pengendalian DM20,21
51
2.3.8 PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok
intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat badan, diet sehat,
latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini
tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini, pentingnya menyediakan
fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer.20,21
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada
pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan
yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan
ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang
pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya
kelainan kardiovaskular pada penyandang Diabetes. 20,21
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut. Pada pencegahan tersier
tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi
yang dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada
pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian aspirin dosis
rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar
para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,
rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan
pencegahan tersier. 20,21
52
2.3.9 KOMPLIKASI
Komplikasi Akut
1. Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma
keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL) dan terjadi peningkatan anion
gap. 20,21
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah
habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam
atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan
terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal
yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran
mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih
lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama. 20,21
53
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebardebar, banyak keringat,
gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma). 20,21
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi pasien dengan
kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau
minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui intra vena.
Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa.
Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat. 20,21
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran. 20,21
Komplikasi kronis
1. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
Pembuluh darah otak20,21
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya
retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati
Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko
terjadinya nefropati20,21
3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
54
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa
sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk
mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan
monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan
menurunkan risiko amputasi.
Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau
gabapentin.
Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi
perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit ini
seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain. 20,21
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 25 Juni 2010 dari
http://www.faqs.org/health/topics
2. Anonim. (2002). Respiratory Failure Fact Book. Diakses pada tanggal 24 Juni 2010 dari
http://www.healthnewsflash.com
3. Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes. (2006). Gagal Napas Akut. Sudoyo, A.W., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi Keempat. Jilid 1. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
4. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9,
Jakarta: EGC.
5. Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 23
Juni 2010 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview
6. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
7. Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intesif, Jakarta: FK UI.
8. Rahardjo, Sri. (2002). Gagal Napas. Modul Anestesi HSC UGM. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada
9. Medscape and reference drugs deseases & produceres, 2012. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease.di akses pada tanggal 5 oktober 2012.
http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2011.Penyakit Paru Obstruksif Kronik.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta.
11. Danusantoso Halim,2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Hipokrates.Jakarta
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2003. Penyakit Paru Obstruksif Kronik
(PPOK) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Diindonesia. Jakarta.
13. http://www.daynightclinic.com/COPD.aspx
14. Suyono, Slamet. 2009. Diabetes Melitus di Indonesia. In: Sudoyo, Aru W., Bambang
Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
56
15. John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru. Cermin Dunia Kedokteran. 2006; 127:37-40.
16. Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Sudoyo, Aru
W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
17. Sibernagl,S. Atlas berwarna & teks; Fisiologi. ed 4. Hipokrates: Jakarta. 2000
18. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah: Irawati,
Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
21. Fang ZY, Prins JB, Marwick TH: Diabetic cardiomyopathy: evidence, mechanisms, and
therapeutic implications. Endocr , 2004
22. Dunning T., 2005, Medication Knowledge And Self Management By People With 2
Diabetes, Department of Endocrinology and Diabetes, The University of Melbourne,
Australia.
57