Disusun Oleh:
dr. Chairunisa
Pembimbing:
2018
1
LEMBAR PENGESAHAN
Diajukan sebagai salah satu syarat kegiatan program dokter internship di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi
Disusun oleh:
dr. Chairunisa
Tanggal :
02 Agustus 2018
------------------------------------------ ------------------------------------------
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan presentasi kasus ini dengan judul
Gagal Napas Tipe II dengan Acute Lung Oedem dan Old Myocard Infark dalam waktu yang
telah ditetapkan. Kasus ini disusun sebagai salah satu syarat kegiatan program dokter
internship di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.
Dengan disusunnya presentasi kasus ini, besar harapan penulis agar dapat
memberikan tambahan wawasan dan pemahaman kepada pembaca mengenai keadaan
kegawatdaruratan pada penyakit paru yang masih banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-
hari, sehingga dapat dilakukan tetelaksana yang tepat dan segera.
Terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu
dalam pengerjaan tugas ini sehingga dapat selesai dan dipresentasikan didepan pembimbing.
Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan yang
terdapat dalam penulisan tugas ini. Oleh karena itu kritik dan saran diharapkan oleh penulis
untuk perbaikan penulisan selanjutnya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB 1
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : Tn. W
Pendidikan :
Agama : Islam
Pekerjaan :
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari SMRS. Saat ini sesak napas
dirasakan semakin memberat. Selain sesak, os mengeluh batuk-batuk sejak 2 minggu ini.
Batuk berdahak, dengan dahak kental berwarna kuning kehijauan. Os riwayat merokok
lama. Kaki bengkak disangkal, nyeri dada disangkal, nafsu makan baik. BAB dan BAK
tidak ada keluhan. Sebelumnya os datang ke IGD RS Resti Mulya pukul 08.00 pagi dan
5
datang ke IGD RS Islam Pondok Kopi membawa surat rujukan karena ruang rawat di RS
Resti Mulya penuh. Dari surat rujukan tertulis diagnosa pasien PPOK dan diberikan
penanganan O2 NK 4 lpm, nebulizer ventolin dan dilanjutkan dengan nebulizer
combivent.
Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok. Menurut istri pasien. Pasien tidak rutin
memeriksa dan mengontrol kesehatannya, selama ini pasien sesekali berobat ke klinik
dan lebih sering hanya membeli obat saja di warung.
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital
6
- Suhu : 37 C per axilla
- Spo2 : 94 %
Status Generalis
1. Kulit
3. Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil bulat isokor
3mm/3mm
5. Hidung
6. Mulut
7. Leher
7
Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan, simetris
Trakea : ditengah
8. Thorax
Paru – paru
Jantung
Perkusi
Auskultasi : bunyi jantung I/II reguler, tidak terdengar murmur maupun gallop
9. Abdomen
Inspeksi : perut buncit, tidak terdapat jaringan parut, striae dan kelainan kulit,
tidak terdapat pelebaran vena
Palpasi : teraba supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan
maupun nyeri lepas, tidak teraba massa, turgor kulit baik
Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen, nyeri ketok CVA sulit
dinilai
8
10. Extremitas : akral dingin pada keempat ekstremitas, CRT < 2 dtk, tidak terdapat
edema pada keempat ekstremitas
- Spo2 : 92 %
- Spo2 : 92 %
Tanda Vital
- Spo2 : 98 %
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
9
Hemoglobin 16,7 13,5-17,5 mg/dL
Hematokrit 51 H 40-50 %
Elektrolit
10
O2 Saturation 87,9 L 94,0 – 98,0 %
EKG
RS RESTI MULYA
11
EKG IGD RS ISLAM PONDOK KOPI
12
EKG ICU RS ISLAM PONDOK KOPI
13
Diff Count
LED 22 H 0 – 10 mm
Urea 34 10 – 50 mg/dL
Pemeriksaan Hasil
14
O2 Saturation 98,5 H 94 – 98 %
Elektrolit
15
PCO2 35,2 35,0 – 45,0 mmHg
O2 Saturation 99,4H 94 – 98 %
Elektrolit
Hematokrit 47 40-50 %
O2 Saturation 94,2 94 – 98 %
Elektrolit
16
Kalium 2,94 L 3,50 - 5,50 mmol/L
Darah lengkap
MCV 89 82 – 98 fL
MCH 29 27 – 33 pg
MCHC 33 31 – 37 g/dL
Hematokrit 48 40 – 50%
LED 30 H 0 – 10 mm
Diff Count
17
Glucose 12.00 am 162,0 mg/dL
Elektrolit
Pemeriksaan Hasil
18
O2 Saturation 98,5 H 94,0 – 98,0 %
Pemeriksaan Hasil
Glucose Curve
Pemeriksaan Hasil
RESUME
Tn. W 44 tahun datang diantar keluarga dengan sesak napas berat dan gelisah. Pasien
selama ini tidak pernah memeriksakan dan mengontrol penyakitnya. Pasien riwayat merokok
lama.
DIAGNOSA KERJA
19
- Dypsneu ec acute lung oedem
- DM tipe II
PENATALAKSANAAN
Pukul 09.49
- Terpasang monitor
- EKG
- Terpasang IS
- Cek Lab
- Lasix 2 ampul
- O2 NRM 10 lpm
Pukul 10.30
Pukul 12.00
Pukul 13.45
PROGNOSIS
20
- Ad Vitam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
10 November 2018
S :-
O:
KU : TSB
TD : 178/120
HR : 109x/menit
RR : 16x on venti
S : 37C
SpO2 : 98%
Abdomen : Bu+
Pukul 15.30
Pukul 16.00
Pukul 19.00
21
Kesadaran Somnolen, TD : 154/95 mmHg, HR : 120x/menit, S : 38.7C
Pukul 20.00
A:
CAP susp TBR Gagal Napas Tipe II dengan PPOK eksaserbasi, DM Tipe II
P:
Terpasang ETT
Pasien terpasang DC
EKG ulang
Dobutamin 5 mic
Start MO 1 ½ mg/jam
Pukul 16.45
Suction
dr. Indra, Sp.An Belum perlu konsul jantung dan konsul internis (RABER)
11November 2018
22
S:-
O:
Ku : TSB
GCS : E4M6Vett
TD : 149/73 mmHg
RR : 16x/menit on venti
S : 37,7 C
SpO2 100%
Abdomen : Bu+
A:
P:
MO 1,5 mg/jam
Dobutamin 5 mic/kgBB/menit
Humulin 3 IU/jam
KSR 3x1
Levofloxacin 1x750 mg iv
Resfar
- 3 x 9 cc pagi
- 3 x 8 cc siang
23
- 3 x 8 cc malam
Dalam Nacl 0,9% 100 cc diberikan dalam 30 menit
Paracetamol 3 x 1 gr drip
Diet 6x100cc
Urine +
NGT residu –
12 November 2018
S : Haus, batuk
O:
KU : TSS, lemah
Kesadaran : CM
GCS : E4M6Vett
TD : 144/82 mmHg
HR : 132x/menit
RR : 16x/menit on venti
S : 38,4 C
SpO2 : 98%
Abdomen : Bu+
A:
24
Gagal Napas Tipe II dengan PPOK eksaserbasi, DM Tipe II
P:
Dobutamin 5 mic/kgBB/menit
Humulin 3 IU/jam
KSR 3x1
Levofloxacin 1x750 mg iv
Resfar
- 3 x 9 cc pagi
- 3 x 8 cc siang
- 3 x 8 cc malam
Dalam Nacl 0,9% 100 cc diberikan dalam 30 menit
Paracetamol 3 x 1 gr drip
Pukul 11.30 Ekstubasi Terapi O2 dengan Face Mask 10 LPM Sat O2 97%
Diet 6x200cc
urin +
13 November 2018
25
S : Badan terasa lemas, sesak berkurang, batuk +
O:
KU : TSS
Kesadaran : CM
GCS : E4M6V5
TD : 127/79 mmHg
HR : 100x/menit
RR : 19x/menit
S : 37 C
SpO2 : 99%
Abdomen : Bu+
A:
P:
Dobutamin 5 mic/kgBB/menit
KSR 3x1
Levofloxacin 1x750 mg iv
Resfar
- 3 x 9 cc pagi
- 3 x 8 cc siang
- 3 x 8 cc malam
Dalam Nacl 0,9% 100 cc diberikan dalam 30 menit
26
Methylprednisolon 3 x 62,5 inj iv
PCT 3 x 1 gr K/P
Diet oral
Dr Indra, sp.A 14.20 Acc pindah ruangan Dobutamin, humulin stop Konsul IPD
di ruangan
S : Batuk
O:
KU : TSS
Kesadaran : CM
GCS : E4M6V5
TD : 133/77 mmHg
HR : 114x/menit
RR : 20x /menit
S : 37C
SpO2 : 98%
A : PPOK + DM
P:
Konsul interna
14 November 2018
27
O:
Ku : TSS
Kes : CM
Thorax : Wh-/-
A:
P:
Humulin 3x 5 IU
15 November 2018
O:
RR 24x
Rh+/- , wh -/-
A:
P:
O23 lpm
16 November 2018
O:
A:
P:
28
BAB 2
29
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. 1 Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Sedangkan gagal jantung
akut menurut European Sociery of cardiology (ESC) adalah kondisi kegagalan fungsi
jantung dengan awitan yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda dari gagal
jantung.1 Gagal jantung akut memiliki klasifikasi berdasarkan presentasi klinis, sebagai
berikut:
6. Edema paru akut : terdapat distress prenapasan, takipneu dan ortopneu, ronki
basah halus pada seluruh lapang paru
7. Gagal jantung akut hipertensif : gejala dari gagal jantung akut yang disertai
dengan peningkatan tekanan darah dan masih memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri
yang masih baik. Terdapat peningkatan tonus simpatis dan vasokonstriksi,
kondisi euvolemik atau hanya sedikit hipervolemik dan tanda-tanda kogestif paru
tanpa disertai kongesti sistemik
10. Gagal jantung akut pada sindroma coroner akut : adanya gejala klinis gagal
jantung akut yang disertai dengan bukti laboratorium sindrom coroner akut.2
2. 1. 2 Etiologi
30
Penyebab gagal jantung akut adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi
kerusakan atau hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan
vaskuler dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).
Penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi penyebab
gagal jantung sebanyak 70%. Kardiomiopati merupakan gangguan miokard dimana otot
jantung secara struktur dan fungsional menjadi abnormal dapat menjadi gagal jantung
sebanyak 10%, dan lainnya penyakit katup jantung sekitar 10%..1
2. 1. 3. Patofisiologi
31
fibrilasi atau penyebab non kardiak lainnya (seperti insufisiensi ginjal) atau sebagai akibat
efek obat-obat. Beberapa mekanisme pathogenesis ADHF diantaranya adalah
11. Kongesti
Peningkatan tekanan diastolic ventrikel kiri akan berakibat kongesti pulmonal dan
sistemik dengan atau tanpa curah jantung yang menurun merupakan presentasi utama pada
pasien ADHF. Kongesti paru dapat didefinisikan sebagai hipertensi vena pulmonalis (PCWP)
dan akan berakibat edema interstitial dan alveolar paru. Kongesti sistemik bermanifestasi
secara klinis dengan distensi vena jugularis dengan atau tanpa edema perifer dan peningkatan
berat badan secara gradual sering ditemukan. Kongesti paru seriing terjadi secara mendadak
yang di presipitasi oleh peningkatan tekanan darah (afterload), terutama pada pasien dengan
disfungsi diastolic. Gangguan ginjal, abnormalitas berat dari neurohormonal dan endothelial,
gangguan diet dan beberapa obat-obatan seperti OAINS juga berkontribusi terhadapt
kelebihan cairan.4
Pelepasan troponin sering terjadi pada ADHF, terutama pada pasien dengan penyakit
jantung coroner. Hal ini berhubungan dengan adanya cedera miokard, yang berhubungan
dengan abnormalitas hemodinamik dan/atau neurohormonal atau sebagai akibat dari kejadian
iskemia. Cedera juga bisa terjadi sebagai akibat tingginya tekanan diastolic ventrikel kiri,
kemudian akan mengaktivasi stimulasi neurohormonal dan inotropic sehingga berakibat
kepada ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.1
32
Gambar 1. Stimulasi neurohormonal
Pada ADHF, abnormalitas ginjal akan menyebabkan retensi natrium dan air.
Gangguan structural ginjal akibat hipertensi, diabetes dan arteriosclerosis merupakan
penyebab yang sering ditemukan, dan perburukan fungsi ginjal terjadi pada sekitar 20-30%
pasien yang dirawat dengan gagal jantung akut. 4
Loop diuretic intravena merupakan agen lini pertama untuk meringankan gejala
kongestif, dengan memberikan keuntungan diuretic berhubungan dengan abnormalitas
elektrolik, aktivasi neurohormonal yang lebih lanjut dan perburukan ginjal. Pemberian loop
diuretic intravena dengan dosis besar berhubungan dengan perburukan pasien dengan gagal
jantung. Dobutamin, milrinon dan levosimendan akan meningkatkan profil hemodinamik,
namun akan meningkatkan konsumsi oksigen miokard (takikardia dan peningkatan
kontraktilitas) dan hipotensi yang berhubungan dengan efek vasodilatasi. Penurunan perfusi
coroner yang berhubungan dengan hipotensi dalam kondisi peningkatan kebutuhan yang
33
mengakibatkan cedera miokard, terutama pada pasien dengan penyakit jantung coroner (PJK)
dimana miokardium yang mengalami hibernasi atau iskemia. Hipotensi yang berhubungan
dengan penggunaan vasodilator mungkin juga mengakibatkan hipoperfusi miokardium dan
ginjal yang dapat mengakibatkan cedera.4
2. 1. 4 Gejala Klinis
Banyak tanda-tanda gagal jantung yang terjadi akibat retensi air dan natrium yang
biasanya akan membaik dengan pemberian terapi diuretic. Riwayat medis pasien juga
penting dalam penegakan diagnose, dan gagal jantung tidak lazim terjadi pada pasien tanpa
adanya riwayat medis yang relevan, misalnya riwayat infark miokard yang akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya gagal jantung pada pasien dengan tanda dan gejala
yang khas.
Edema pulmonal Sesak napas yang berat saat Crackles atau rales pada paru-
istirahat paru bagian atas, efusi paru,
takikardia, takipnea
Syok kardiogenik (low output Kelemahan, confusion, akral Perfusi perifer yang buruk,
syndrome) dingin tekanan darah sistolik (SBP)
<90 mmHg, anuria atau
oliguria
34
Volume overload Hipoperfusi
21. Hepatosplenomegali,
hepatomegaly atau splenomegaly
24. Asites
35
:wet” bergantung pada adanya edema, dimana nilai PCWP >18 mmHg. Gejala overload
cairan meliputi batuk, sesak, paroxysmal nocturnal dyspnea, elevasi vena jugularis, edema
perifer, asites, hepatomegaly dan splenomegaly..5
2. 1. 5 Diagnosis
Uji diagnostic
Peptide Natriuretik darah merupakan hormone yang disekresikan berlebih bila terjadi
jejas pada jantung atau peningkatan beban pada salah satu ruang jantung (seperti atrium
fibrilasi, emboli paru dan beberapa keadaan non-kardiak termasuk gagal ginjal). Kadar
peptide natriuretic umumnya akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, namun
dapat menurun pada pasien dengan obesitas. Terdapat dua macam peptide natriuretic yang
biasa digunakan, B-type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro B-type natriuretic
peptide (NT-proBNP). Batasan eksklusi berbeda pada pasien yang datang dengan awitan
36
akut atau perburukan gejala dan pada pasien dengan awitan yang lebih gradial. Untuk
pasien dengan awitan akut atau perburukan gejala, nilai optimal untuk mengeksklusi adalah
300 pg/ml untuk NT-proBND dan 100 pg/ml untuk BNP. Untuk pasien non akut, nilai
optimal untuk mengeksklusi adalah 125 pg/ml pada NT-proBNP dan 35 pg.ml pada BNP.
Sensitifitas dan spesifisitas dari BNP dan NT-proBNP untuk mendiagnosa gagal jantung
lebih rendak pada pasien non akut.6
37
Pada pemeriksaan laboratorium, hematologi dasar (hemoglobin, hematocrit, ferritin,
leukosit dan platelet), kimiawi (natrium, kalium, kreatinin dan laju filtrasi glomerulus) dan
kadar gula darah merupakan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan etiologi
ADHF. Pemeriksaan kadar hormone tiroid cukup berguna dikarenakan penyakit tiroid dapat
menyerupai atau bahkan memperburuk gagal jantung. Enzim hati sering ditemukan tidak
normal pada pasien dengan gagal jantung, hal ini penting untuk penggunakan terapi
amiodaron dan warfarin.2
2. 1. 6 Tatalaksana
Pasien dengan tanda gagal napas atau hemodinamik tidak stabil harus diberikan
bantuan ventilasi (oksigen, non-invasive positive pressure ventilation, ataupun ventilasi
mekanik) maupun penunjang sirkulasi (baik secara farmakodinamik maupun mekanik).
Pemberian terapi oksigen direkomendasikan pada pasien ADHF dengan saturasi oksigen
<90%, sedangkan intubasi diberikan apabila terjadi gagal napas yang menyebabkan
hipoksemia (PaO2 <60 mmmHg), hiperkapnia (PaCO2 >50 mmHg) dan asidosis (pH
<7,35) tidak dapat ditanganin secara non-invasif.6
38
Gambar 3. Algoritma untuk stabilisasi awal pada ADHF di IGD
39
Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan pada Acute decompensated heart failure.
Diuretic
41. Loop Diuretic IV atau diuretic kuat secara intravena direkomendasikan untuk
semua pasien ADHF dengan gejala kelebihan cairan.
42. Pasien dengan AHF onset baru atau dengan HF kronis atau decompensated HF
yang belum pernah menerima diuretic oral maka dosis inisial yang
direkomendasikan 20-40 IV furosemide, bagi yang sudah dalam terapi oral
diuretic sebelumnya maka dosis minimal hrus ekuivalen dengan dosis
sebelumnya ( penggunaan high dose yaitu dosis 2,5 kali lipat dari dosis oral
sebelumnya)
43. Pemberian diuretic intravena dapat dilakukan secara continuous infusion atau
bolus infusion dan dilakukan titrasi sesuai gejala dan tanda klinis
40
44. Kombinasi loop diuretic atau thiazide atau spironolakton dapat dipertimbangan
pada edema yang resisten.7
Vasodilator
45. vasodilator intravena adalah agen farmakoterapi kedua yang pada umumnya
digunakan pada ADHF untuk gejala simtomatik
46. Cara kerjanya adalah mengurangi tonus vena (ptimisasi preload) dan tonus arteri
(menurunkan afterload).
47. Vasodilator sangat berguna pada kondisi hypertensive ADHF dan harus dihindari
penggunaannya pada tekanan darah sistolik <90 mmHG (atau symptomatic
hypotension)8
Agen inotropic
48. Penggunaan agen inotropic hanya diberikan pada kondisi cardiac output yang
sangat rendah dan menyebabkan gejala hipoperfusi organ vital, yang terutama
terjadi pada hypotensive ADHF
49. Agen inotropic tidak direkomendasikan pada kasus hypotensive ADHF dengan
penyebab hipotensi seperti hypovolemia atau kondisi lainnya yang dapat
dikoreksi sebelumnya. Agen ini dapat diberikan setelah semua penyebab tersebut
dikoreksi dan masih terjadi hypotensive ADHF
41
51. Vasopressor
2. Beberapa obat seperti norepinephrine dan dopamine dosis lebih tinggi memiliki efek
vasokontriksi arteri yang kuat.
1. Digoksin diberikan pada pasien atrial fibrilasi (AF) dengan rapic ventricular response
(HR >110 kali/menit). Dosis bolus IV 0,25 – 0,5 mg, apabila tidak diberikan
sebelumnya. Diberikan dosis lebih rendah apabila ada gangguan ginjal sedang-berat.8
2. 2 ATRIUM FIBRILASI
2. 2. 1 Definisi
Atrium Fibrilasi (AF) adalah takiaritmia supraventrikuler yang khas dengan aktivasi
atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium.
42
Ciri – ciri AF pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
54. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Terkadang
dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling
sering pada sadapan V1.
55. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450 x/menit.9
Secara klinis AF dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi dan
durasinya, yaitu:9
Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis AF,
tanpa memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.
2. AF paroksismal
AF yang mengalami terminasi spontan dalam 24 jam, namun dapat berlanjut hingga 7
hari.
3. AF persisten
AF dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau AF yang memerlukan
kardiovensi dengan obat atau listrik.
AF yang bertahan hingga > 1tahun dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. AF permanen
AF yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter (dan pasien) sehingga strategi
kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih
digunakan maka AF masuk ke dalam kategori AF persisten lama.
Selain dari 5 kategori diatas, yang terutama ditentukan oleh awitan dan durasi
episodenya, terdapat beberapa kategori AF tambahan menurt ciri-ciri dari pasien:9
1. AF sorangan (lone)
43
AF tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya, termasuk hipertensi,
penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri
dan usia dibawah 60 tahun
2. AF non-valvular
AF yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup jantung protese atau
operasi perbaikan katup mitral.
3. AF sekunder
AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu AF seperti infark miokard
akut, bedah jantung, pericarditis, miokarditis, hipertiroidism, emboli paru, pneumonia
atau penyakit paru akut lainnya, sedangkan AF sekunder yang berkaitan dengan
penyakit katup disebut AF valvular.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka AF dapat dibedakan
menjadi
44
B
Gambar 7. Rekaman EKG AF. A. AF dengan respon ventrikel normal, B. AF dengan respon
ventrikel cepat, C. AF dengan respon ventrikel lambat
2. 2. 2 Patofisiologi
45
sekaligus factor yang melanggengkan terjadinya AF. System saraf simpatis maupun
parasimpatis didalam patofisiologi AF, yaitu peningkatan Ca intraselular oleh system saraf
simpatis dan pemendekan periode refrakter efektif atrium oleh system saraf parasimpatis
(vagal). Stimulasi pleksus ganglionic akan memudahkan terangsangnya AF melalui vena
pulmoner, sehingga pleksus ganglionic dapat dipertimbangkan sebagai salah satu target
ablasi. 10
2. Mekanisme elektrofisiologis
46
Gambar 8. Mekanisme elektrofisiologi Atrium Fibrilasi
3. Predisposisi genetic
2. 2. 3 Penegakkan Diagnosa
Anamnesis
47
Presentasi klinis AF dapat berupa asimptomatik hingga syok kardiogenik atau kejadian
serebrovaskular berat. Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara
lain:12
58. Palpitasi, yang umumnya diekspresikan oleh pasien seperti pukulan gendering,
gemuruh Guntur atau kecipak ikan di dalam dada
Pertanyaan – pertanyaan yang relevan untuk anamnesis pasien yang dicurigain AF,
meliputi:12
67. Riwayat prosedur ablasi AF secara pembedahan (operasi Maze) arau perkutan
(dengan kateter).
Pemeriksaan Fisik
48
110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/ menit. Pasien dengan hipotermia atau
toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikardi.
Adanya asites, hepatomegaly atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat
mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsic. Nyeri kuadran kiri atas
mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer. Pada pemeriksaan ekstremitas
bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau edema. Ekstremitas yang dingin atau tanpa
nadi mungkin mengindikasikan embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat
mengindikasikan penyakit arterial perifer atau curah jantung yang menurun. 12
Pemeriksaan Laboratorium
71. Encim jantung seperti CKMB dan atau Troponin (infark miokard sebagai
pencetus AF)
72. Peptide natriuetik (BNP, NT pro-BNP, dan ANP) memiliki asosiasi dengan AF.
Level plasma dari peptide netriuretik tersebut meningkat pada pasien dengan AF
paroksismal maupun persisten dan menurun kembali dengan cepat setelah
restorasi irama sinus
49
Elektrokardiogram (EKG)
Fibrilasi atrium ditandai dengan aktivitas atrium yang tidak terorganisasi oleh
adanya reentri dari beberapa focus di atrium. Laju kontraksiatrium bervariasi dari 400-
700x/menit, menghasilkan gambaran EKG yang flat atau sangat tidak teratur. Seperti
flutter, tidak semua kontraksi atrium diteruskan ke ventrikel. Irama ventrikel yang tidak
teratur disebabkan oleh adanya waktu recovery dari nodus AV setelah depolarisasi dan
adanya konduksi parsial oleh nodus AV. Kompleks QRS yang dihasilkan biasanya sempit
kecuali terdapat aberansi atau buncle branch block (BBB). Konduksi aberans pada fibrilasi
atrium biasa ditemukan oleh karena lebarnya fluktuasi R-R interval. Masa refrakter
ventrikel ditentukan oleh interval R-R yang sangat pendek setelah interval R-R yang
panjang, ventrikel mungkin masih dalam masa refrakter sehingga kompleks QRS yang
dihasilkan menjadi lebar.13
Pemeriksaan lainnya
Pada foto thorax biasanya tampak normal, tetapi kadang dapat ditemukan bukti
gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vascular paru (missal emboli paru,
pneumonia). Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah
dalam mendeteksi thrombus di atrium kiri dan ekokardiografi transesofageal adalah
modalitas terpilih untuk tujuan ini. Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat
untuk:
Uji latih atau uji berjalan enam menit dapat membantu menilai apakah strategi
kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x/menit setelah berjalan 6 menit.
Uji latih dapat menyingkirkan iskemia sebelum memberikan obat antiaritmia kelas 1C dan
dapat digunakan juga untuk mereproduksi AF yang dicetuskan oleh aktivitas fisik.
50
2. 2. 4 Tatalaksana
1. Fase akut
Pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat mengontrol
respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal kalsium non dihitropiridin
oral dapat digunakan pada pasien yang stabil.digoksin atau amiodaron direkomendasikan
untuk mengontrol laj u ventrikel pada pasien dengan AF dan gagal jantung atau adanya
hipotensi. Pada fase akut, target laju jantung adalah 80-100 kpm. Diharapkan laju jantung
akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian antagonis kanal kalsium (diltiazem 30
mg atau verapamil 80 mg), penyekat beta (propranolol 5 mg atau metoprolol 50 mg). AF
dengan respon irama ventrikel yang lambat biasanya membaik dengan pemberian atropine
(mulai 0,5 mg IV). Bila dengan pemberian atropine pasien masih simptomatik, dapat
dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu jantung sementara.14
51
Respom irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien AF. Pasien yang mengalami heodinamik tidak stabil akibat AF
harus segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus. Pasien yang
masih simptomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun strategi kendali laju telah
optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan obat antiaritmia intraven atau
kardioversi elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia intravena, pasien harus dimonitor untuk
kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat, disfungsi nodus sinoatrial (henti sinus atau
jeda sinus) atau blok atrioventrikuler.14
Propafenon oral (450-600 mg) dapat mengkonversi irama AF menjadi irama sinus.
Efektivitas propafenon oral terseut mencapai 45% dalam 3 jam. Strategi terapi ini dapat
dipilih pada pasien dengan symptom yang berat dan AF jaranf (sekali dalam sebulan). Oleh
karena itu, propafenon (450-600mg) dapat dibawa dalam saku untuk dipergunakan sewaktu-
waktu pasien memerlukan.
52
Gambar 10. Indikasi kendali laju dan kendali irama
Pilihan pertama untuk terapi dengan kendali irama adalah memakain antiaritmia.
Pengubahan irama F ke irama sinus (kardioversi) dengan menggunakan obat paling efektif
dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya AF. Kardioversi farmakologis kurang efektif pada
AF persisten.
53
atrium. Beberapa antiaritmia memiliki efek samping, seperti amiodaron yang dalam jangka
panjang memiliki efek toksin. Efektivitas antiaritmia untuk mengembalikan irama sinus
hanyalah untuk mengurangi namun tidak menghilangkan kekambuhan AF.14,15
Kardioversi elektrik dengan arus bifasik lebih dipilih dibandingkan arus monofasik
karena membutuhkan energy yang lebih rendah dan keberhasilan lebih tinggi. Posisi
anteroposterior mempunyai keberhasilan lebih tinggi dibandingkan posisi anterolateral.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah tromboemboli (1-2 %) dan aritmia pascakardioversi.
54
Pemberian obat antiaritmia (amiodaron) sebelum kardioversi, meningkatkan keberhasilan
konversi irama AF ke irama sinus.16
Ablasi frekuensi radio (AFR) mempunyai keberhasilan 85% dalam 1 tahun pertama
dan 52% dalam 5 tahun. AFR direkomendasikan pada pasien AF yang masih simptomatik
meskipun telah dilakukan terapi medikamentosa optimal atau pasien memilih strategi kendali
irama karena menolak mengkonsumsi obat antiaritmia seumur hidup. Strategi AFR adalah
isolasi elektrik pada antrum VP dan AFR focus ektopik. Beberapa efek samping seperti
tromboemboli, stenosis VP, fistula atrioesofageal, tamponade dan cedera saraf frenicus dapat
terjadi. Ablasi frekuensi radio direkomendasikan pada pasien dengan AF simptomatik yang
refrakter atau intoleran dengan > 1 obat antiaitmia golongan 3 (amiodaron).16
Ablasi ini dilanjutkan dengan pemasangan pacu jantung permanen merupakan terapi
efektif untuk mengontrol respon ventrikel pada pasien AF. Ablasi NAV adalah prosedur yang
irreversible sehingga hanya dilakukan pada pasien dimana kombinasi terapi gagal
mengontrol denyut atau strategi kendali irama dengan obat atau ablasi atrium kiri tidak
berhasil dilakukan.
55
1. 3 VENTRIKEL EXTRASYSTOLE (VES)
2. 3. 1 Definisi
89. Beat PVC/VES selalu premature, yaitu muncul sebelum gelombang QRS dari
SA node.
91. Setelah terjadi PVC/VES, akan tampak full compensatory pause (pause setelah
PVC/VES sama dengan 2x interval R-R sebelumnya)
93. Mempunyai bentuk gambaran seperti RBBB bila focus berada pada ventrikel kiri
56
94. Mempunyai bentuk gambaran seperti LBBB bila focus berada pada ventrikel
kanan
1. 3. 2 Klasifikasi VES
Berdasarkan bentuk :
96. VES multifocal/multiform : lebih dari atau sama dengan dua morfologi VES
Berdasarkan pola :
57
100. VES couplet : dua VES yang terjadi berturut-turut secara konsekutif
101. VES triplet : tiga VES yang terjadi berturut-turut secara konsekutif )>3x
berturut-turut disebut Ventrikel Tachycardia)
1.
2.
3.
58
4.
Gambar 16. Klasifikasi pola VES
Berdasarkan frekuensi :
102. Frequent VES : VES yang terjadi >5 kali dalam semenit
103. Infrequent VES : VES yang terjadi <5 kali dalam semenit
DAFTAR PUSTAKA
1. McMurray JJ, Adamopoulus S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M, Dickstein K,et all.
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure:
The task force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012
of the European Society of Cardiology. European Heart Journal. 33. Pp:1787-847
59
2. Pfister R, Schneider CA. ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008: application of natriuretic peptides. European Heart
Journal. Vol, 30. Issue 3. 2009. Pp:382-83.
4. Pinto DS, Lewis S. pathophysiology of acute decompensated heart failure. In: Basow
DS, ed. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate: 2012.
7. Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, et al. Focused update incorporated into the
ACC/AHA 2005 Guidelines for the diagnosis and management of heart failure in
adults: a report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Pratice Guideline. Circulation. 2009; 119; e391-479.
8. Abraham WT, Adams KF, Fonarow GC, et al. In-hospital mortality in patients with
acute decompensated heart failure requiring intravenous vasoactive medications: an
analysis from the Acute Decompensated Heart Failure National Registry
(ADHERE). J am Coll Cardiol. 2005; 46:57-64.
60
10. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S, Camm AJ,
et al. guidelines for the management of atial fibrillation: the Task Force for the
management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC).
European heart journal 2010;31:2369-429.
11. Moe GK, Rheinboldt WC, Abildskov JA. A Computer Model of Atrial Fibrillation.
American heart journal. 1964;67:200-20.
13. Pakpahan HA, Juwana YB, Tobing DP, et. al. Elektrokardiografi dalam
kegawatdaruratan. PERKI JAYA. 2017.hal: 46-48.
14. Camm AJ, Lip GY, et. al 2012. Focused update of the ESC. Guideline for the
management of atrial fibrillation: an update of the 2010 ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation. Development with the special contribution of the
European Heart Rhythm Association. European heart journal. 2012;33;2719-47
15. Practical rate and Rhythm Management of atrial Fibrillation. heart Rhythm Society.
2010
61