Anda di halaman 1dari 61

PRESENTASI KASUS

GAGAL NAPAS TIPE II

ACUTE LUNG OEDEM

OLD MYOCARD INFARK

Disusun Oleh:

dr. Chairunisa

Pembimbing:

dr. Fachri Sp.P

dr. Fitri Yanti

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RS ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi kasus dengan Judul:

Gagal Napas Tipe II

Acute Lung Oedem (ALO)

Old Myocard Infark (OMI)

Diajukan sebagai salah satu syarat kegiatan program dokter internship di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi

Disusun oleh:

dr. Chairunisa

Tanggal :

02 Agustus 2018

Telah Disetujui Oleh Pembimbing Telah Disetujui Oleh Pembimbing

------------------------------------------ ------------------------------------------
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan presentasi kasus ini dengan judul
Gagal Napas Tipe II dengan Acute Lung Oedem dan Old Myocard Infark dalam waktu yang
telah ditetapkan. Kasus ini disusun sebagai salah satu syarat kegiatan program dokter
internship di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.

Dengan disusunnya presentasi kasus ini, besar harapan penulis agar dapat
memberikan tambahan wawasan dan pemahaman kepada pembaca mengenai keadaan
kegawatdaruratan pada penyakit paru yang masih banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-
hari, sehingga dapat dilakukan tetelaksana yang tepat dan segera.

Terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu
dalam pengerjaan tugas ini sehingga dapat selesai dan dipresentasikan didepan pembimbing.

Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan yang
terdapat dalam penulisan tugas ini. Oleh karena itu kritik dan saran diharapkan oleh penulis
untuk perbaikan penulisan selanjutnya.

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... 1

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... 2

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 3

DAFTAR ISI ................................................................................................................. 4

BAB I STATUS PASIEN ............................................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 36

4
BAB 1

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : Tn. W

Jenis Kelamin : Laki-laki

No Rekam Medik : 00-87-09-14

Tanggal Lahir : 29-11-1973 (44 tahun)

Alamat : Jl. Ujung krawang RT 2 RW 5, Kelurahan Pulo Gebang,


Kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur

Status Pernikahan : Sudah menikah

Pendidikan :

Agama : Islam

Pekerjaan :

Tanggal Masuk RS : 10 November 2018 pkl 09.49 WIB

ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien dan alloanamnesis kepada


istri pasien pada tanggal 10 November 2018 di IGD RS Islam Jakarta Pondok Kopi

Keluhan Utama

Sesak napas sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari SMRS. Saat ini sesak napas
dirasakan semakin memberat. Selain sesak, os mengeluh batuk-batuk sejak 2 minggu ini.
Batuk berdahak, dengan dahak kental berwarna kuning kehijauan. Os riwayat merokok
lama. Kaki bengkak disangkal, nyeri dada disangkal, nafsu makan baik. BAB dan BAK
tidak ada keluhan. Sebelumnya os datang ke IGD RS Resti Mulya pukul 08.00 pagi dan

5
datang ke IGD RS Islam Pondok Kopi membawa surat rujukan karena ruang rawat di RS
Resti Mulya penuh. Dari surat rujukan tertulis diagnosa pasien PPOK dan diberikan
penanganan O2 NK 4 lpm, nebulizer ventolin dan dilanjutkan dengan nebulizer
combivent.

Riwayat Penyakit Dahulu

1. riwayat tekanan darah tinggi dan penyakit jantung disangkal

2. riwayat kencing manis disangkal

3. riwayat asma disangkal

4. riwayat alergi pada obat-obat tertentu disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

1. riwayat tekanan darah tinggi disangkal

2. riwayat penyakit jantung disangkal

3. riwayat kencing manis disangkal

4. riwayat asma atau alergi disangkal

Riwayat Kebiasaan Pribadi

Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok. Menurut istri pasien. Pasien tidak rutin
memeriksa dan mengontrol kesehatannya, selama ini pasien sesekali berobat ke klinik
dan lebih sering hanya membeli obat saja di warung.

PEMERIKSAAN FISIK

IGD pukul 09.49

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos mentis GCS E4M6V5

Tanda Vital

- Tekanan Darah : 147/90 mmHg

- Nadi : 126 x/menit, regular, kuat angkat

6
- Suhu : 37 C per axilla

- Pernapasan : 30 x/menit, regular, tipe torakoabdominal

- Spo2 : 94 %

Status Generalis

1. Kulit

Warna : sawo matang, tidak ikterik dan tidak tampak pucat

2. Kepala : normocephali, rambut hitam, distribusi merata

3. Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil bulat isokor
3mm/3mm

4. Telinga : normotia, simetris, liang telinga lapang, tidak tampak serumen

5. Hidung

Bagian luar : tidak terdapat deformitas

Septum : tidak tampak deviasi

Mukosa hidung : tidak hiperemis, konka nasalis eutrofi

Cavum nasi : tidak ada perdarahan, tidak ada sekret

6. Mulut

Bibir : tampak sianosis, mukosa bibir lembab

Lidah : sulit dinilai

Tonsil : sulit dinilai

Faring : sulit dinilai

7. Leher

Bendungan vena : terdapat bendungan vena ( JVP meningkat 5+3 cmH2O

7
Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan, simetris

KGB : tidak terdapat pembesaran

Trakea : ditengah

8. Thorax

Paru – paru

Inspeksi : normochest, pergerakan dinding dada simetris saat statis dan


dinamis, tampak retraksi suprasternal

Palpasi : ekspansi dinding dada simetris, vocal fremitus sulit dinilai

Perkusi : sonor dikedua lapang paru

Auskultasi : bunyi nafas dasar vesikuler, ronki +/+, wheezing +/+

Jantung

Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis

Palpasi : iktus cordis teraba di ICS V linea aksilaris anterior sinistra

Perkusi

Batas jantung kanan : ICS III-V, linea sternalis dextra

Batas jantung kiri : ICS V, linea aksilaris anterior sinistra

Batas atas jantung : ICS II linea sternalis sinistra

Auskultasi : bunyi jantung I/II reguler, tidak terdengar murmur maupun gallop

9. Abdomen

Inspeksi : perut buncit, tidak terdapat jaringan parut, striae dan kelainan kulit,
tidak terdapat pelebaran vena

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : teraba supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan
maupun nyeri lepas, tidak teraba massa, turgor kulit baik

Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen, nyeri ketok CVA sulit
dinilai

8
10. Extremitas : akral dingin pada keempat ekstremitas, CRT < 2 dtk, tidak terdapat
edema pada keempat ekstremitas

IGD pukul 10.30

Keadaan umum : Tampak Sakit Berat

Kesadaran : Somnolen GCS E3M4V2

- Pernapasan : 24 x/menit, regular, tipe torakoabdominal

- Spo2 : 92 %

IGD pukul 12.00

Keadaan umum : Tampak Sakit Berat

Kesadaran : Coma GCS E1M1V1

- Pernapasan : 32 x/menit, regular, tipe torakoabdominal

- Spo2 : 92 %

IGD pukul 13.30

Keadaan umum : Tampak Sakit Berat

Kesadaran : Coma GCS E1M1V1

Tanda Vital

- Tekanan Darah : 178/120 mmHg

- Nadi : 109 x/menit, regular, kuat angkat

- Suhu : 37 C per axilla

- Pernapasan : 16 x/menit on venti

- Spo2 : 98 %

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 10 November 2018 pukul 10 : 36

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

9
Hemoglobin 16,7 13,5-17,5 mg/dL

Leukosit 9,3 5,0-10,0 10rb/uL

Hematokrit 51 H 40-50 %

Trombosit 160 150-400 10rb/uL

Elektrolit

Natrium 135 132-145 mmol/L

Kalium 5,08 3,50-5,50 mmol/L

Chloride 108 98-110 mmol/L

Glucose random 259 H 70 – 200 mg/dL

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 10 November 2018 pukul 10 : 55

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Correct Temp 36,5 C

PH 7,142 L 7,350 – 7,450

PCO2 101,6 H 35,0 – 45,0 mmHg

PO2 156,8 H 75,0 – 100,0 mmHg

HCO3 25,7 H 22,0 – 24,0 mmol/L

Base Excess 5,1 H -2,5 – 2,5 mmol/L

O2 Saturation 98,3 H 94,0 – 98,0 %

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 10 November 2018 pukul 14 : 08

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Correct Temp 36,8 C

PH 6,933 L 7,350 – 7,450

PCO2 239,7 H 35,0 – 45,0 mmHg

PO2 91,4 75,0 – 100,0 mmHg

HCO3 32,4 H 22,0 – 24,00 mmol/L

Base Excess 17,3 H -2,5 – 2,5 mmol/L

10
O2 Saturation 87,9 L 94,0 – 98,0 %

EKG

RS RESTI MULYA

11
EKG IGD RS ISLAM PONDOK KOPI

Hasil Foto Rontgen Thorax 10 November 2018

Cor CTR >50% ; aorta elongation

Mediastinum superior kanan / v.anonima melebar

Pulmo : Corakan vaskuler kedua paru meningkat

Parenkim tidak terlihat infiltrate

Hilus bilateral prominent

Reaksi pleura (-)

Sinus dan diafragma normal

Tulang-tulang iga baik

Kesan : Cardiomegali configurasi aorta

Pulmo dengan tanda congestif vaskuler

Tip ETT di atas carina setinggi VT 2

12
EKG ICU RS ISLAM PONDOK KOPI

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 10 November 2018 pukul 14 : 55

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

13
Diff Count

Basofil 0,7 0,0 - 1,0

Eosinofil 0,3 L 1,0 – 3,0

Neutrofil 75,2 H 37,0 – 72,0

Limfosit 15,4 L 20,0 – 40,0

Monosit 8,4 H 2,0 – 8,0

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 10 November 2018 pukul 15 : 12

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

LED 22 H 0 – 10 mm

SGOT 69,00 H 10,00 – 35,00 U/L

SGPT 91,40 H 10,00 – 45,00 U/L

Urea 34 10 – 50 mg/dL

Creatinin 1,3 H 0,67 – 1,17 mg/dL

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 10 November 2018 pukul 18 : 03

Pemeriksaan Hasil

Glucose 18.00 am 215,0 mg/dL

Glucose 24.00 am 267,0 mg/dL

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 10 November 2018 pukul 20 : 09

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Correct Temp 38,6 C

PH 7,280 L 7,350 – 7,450

PCO2 61,6 H 35,0 – 45,0 mmHg

PO2 150,5 H 75,0 – 100,0 mmHg

HCO3 24,6 H 22,0 – 24,00 mmol/L

Base Excess 1,4 -2,5 – 2,5 mmol/L

14
O2 Saturation 98,5 H 94 – 98 %

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 11 November 2018 pukul 07 : 45

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Correct Temp 38,6 C

PH 7,348L 7,350 – 7,450

PCO2 53,6 H 35,0 – 45,0 mmHg

PO2 148,0 H 75,0 – 100,0 mmHg

HCO3 26,4 H 22,0 – 24,0 mmol/L

Base Excess 3,1 H -2,5 – 2,5 mmol/L

O2 Saturation 98,6 H 94,0 – 98,0 %

Elektrolit

Natrium 136 132-145 mmol/L

Kalium 3,54 3,50-5,50 mmol/L

Chloride 99 98-110 mmol/L

Glucose 12.00 am 294,0 mg/dL

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 11 November 2018 pukul 18 : 04

Glucose 18.00 am 386,0 mg/dL

Glucose 24,00 am 368,0 mg/dL

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 12 November 2018 pukul 00 : 49

Glucose 06.00 am 302,0 mg/dL

Glucose 12,00 am 244,0 mg/dL

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 12 November 2018 pukul 06 : 52

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Correct Temp 37,4 C

PH 7,502 H 7,350 – 7,450

15
PCO2 35,2 35,0 – 45,0 mmHg

PO2 194,1 H 75,0 – 100,0 mmHg

HCO3 28,2 H 22,0 – 24,0 mmol/L

Base Excess 3,8 H -2,5 – 2,5 mmol/L

O2 Saturation 99,4H 94 – 98 %

Elektrolit

Natrium 140 132-145 mmol/L

Kalium 3,03 L 3,50-5,50 mmol/L

Chloride 96 L 98-110 mmol/L

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 12 November 2018 pukul 10 : 15

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 15,8 13,5-17,5 mg/dL

Leukosit 14,7 H 5,0-10,0 10rb/uL

Hematokrit 47 40-50 %

Trombosit 199 150-400 10rb/uL

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 12 November 2018 pukul 11 : 04

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Correct Temp 38,4 C

PH 7,347 L 7,350 – 7,450

PCO2 62,4 H 35,0 – 45,0 mmHg

PO2 81,5 75,0 – 100,0 mmHg

HCO3 29,5 H 22,0 – 24,0 mmol/L

Base Excess 7,6 H -2,5 – 2,5 mmol/L

O2 Saturation 94,2 94 – 98 %

Elektrolit

Natrium 141 132 - 145 mmol/L

16
Kalium 2,94 L 3,50 - 5,50 mmol/L

Chloride 97 L 98 - 110 mmol/L

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 12 November 2018 pukul 17 : 59

Glucose 18.00 am 210,0 mg/dL

Glucose 24.00 am 231,0 mg/dL

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 12 November 2018 pukul 22 : 31

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Darah lengkap

Hemoglobin 15,6 13,5 – 17,5 mg/dL

MCV 89 82 – 98 fL

MCH 29 27 – 33 pg

MCHC 33 31 – 37 g/dL

Eritrosit 5,4 4,5 – 5,8 10juta/uL

Hematokrit 48 40 – 50%

Leukosit 13,3 H 5,0 – 10,0 10rb/uL

Trombosit 197 150 – 400 10rb/uL

LED 30 H 0 – 10 mm

Diff Count

Basofil 0,1 0,0 - 1,0

Eosinofil 0,0 L 1,0 – 3,0

Neutrofil 89,9 H 37,0 – 72,0

Limfosit 5,7 L 20,0 – 40,0

Monosit 4,3 2,0 – 8,0

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 13 November 2018 pukul 00 : 42

Glucose 06.00 am 182,0 mg/dL

17
Glucose 12.00 am 162,0 mg/dL

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 13 November 2018 pukul 06 : 24

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Correct Temp 37,0 C

PH 7,307 L 7,350 – 7,450

PCO2 72,2 H 35,0 – 45,0 mmHg

PO2 64,0 L 75,0 – 100,0 mmHg

HCO3 29,8 H 22,0 – 24,0 mmol/L

Base Excess 9,0 H -2,5 – 2,5 mmol/L

O2 Saturation 89,6 L 94,0 – 98,0 %

Elektrolit

Natrium 145 132-145 mmol/L

Kalium 3,88 3,50-5,50 mmol/L

Chloride 94 L 98-110 mmol/L

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 13 November 2018 pukul 08 : 10

Pemeriksaan Hasil

PCR TB MTB not detected

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 13 November 2018 pukul 14 : 06

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Correct Temp 36,9 C

PH 7,308 L 7,350 – 7,450

PCO2 79,3 H 35,0 – 45,0 mmHg

PO2 141,2 H 75,0 – 100,0 mmHg

HCO3 32,8 H 22,0 – 24,0 mmol/L

Base Excess 12,6 H -2,5 – 2,5 mmol/L

18
O2 Saturation 98,5 H 94,0 – 98,0 %

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 13 November 2018 pukul 20 : 14

Pemeriksaan Hasil

Glucose 18.00 am 204,0 mg/dL

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 15 November 2018 pukul 00 : 23

Glucose Curve

Pemeriksaan Hasil

Glucose 06.00 am 143,0 mg/dL

Glucose 11.00 am 167,0 mg/dL

Glucose 16.00 am 132,0 mg/dL

RESUME

Tn. W 44 tahun datang diantar keluarga dengan sesak napas berat dan gelisah. Pasien
selama ini tidak pernah memeriksakan dan mengontrol penyakitnya. Pasien riwayat merokok
lama.

Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat,


kesadaran composmentis (E4M6V5), TD: 147/90 mmHg, Nadi: 120x/menit, reguler, kuat
angkat, RR: 42x/menit, SaO2: 94%. Status generalis, mulut : bibir tampak sianosis, leher :
JVP distended, thorax paru: tampak retraksi supresternal, ronki dan wheezing di lapang paru,
jantung: batas jantung kanan ICS III-V linea sternalis dextra, batas jantung kiri ICS V linea
aksilaris anterior sinistra, batas atas jantung ICS II linea sternalis sinistra, bunyi jantung I/II
reguler, akral dingin.

Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hematokrit meningkat, hiperglikemik,


asidosis respiratorik dengan alkalosis metabolik. EKG: old myocard infark. Foto Rontgen :
Cardiomegali configurasi aorta, pulmo dengan tanda congestif vaskuler.

DIAGNOSA KERJA

19
- Dypsneu ec acute lung oedem

- Old myocard infark

- DM tipe II

PENATALAKSANAAN

Pukul 09.49

- Terpasang monitor
- EKG
- Terpasang IS
- Cek Lab
- Lasix 2 ampul
- O2 NRM 10 lpm

Pukul 10.30

- Os bradikardi  Bagging 15 menit


- IVFD RL

Pukul 12.00

- Os bradikardi  Apnea  Terpasang ETT tersambung ventilator


- Terpasang NGT (warna hijau)
- Terpasang dower catheter

KONSUL dr Fachri, Sp.P

Pukul 13.45

- Intubasi lanjut mode ventilator sesuai anestesi


- Pro ICU
- Levofloxacin 1x750 mg
- Resfar 1. 3 x 9 cc pagi
2. 3 x 8 cc siang
3. 3 x 8 cc malam
Dalam 100cc Nacl 0,9% diberikan dalam 30 menit
- Nebulizer 4x1 , ventolin + pulmicort dipisah
- Methylprednisolon 3x62,5 mg inj iv
- Infus : aminofilin 1 ½ amp dalam RL 500 cc/ 10 jam
- Periksa : TCM, LED, Diff Count, Ur-Cr, OT-PT
- Raber Penyakit dalam dan Jantung

PROGNOSIS

20
- Ad Vitam : dubia ad bonam

- Ad Sanationam : dubia ad bonam

- Ad Functionam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

10 November 2018

Hari perawatan 1 di ICU

S :-

O:

KU : TSB

Kesadaran : E1VettM1 (DPO)

TD : 178/120

HR : 109x/menit

RR : 16x on venti

S : 37C

SpO2 : 98%

Mata : CA -/-, SI-/-

Leher : JVP meningkat 5+3 cmH2O

Thorax : Rh +/+, Wh +/+

BJ I dan II regular, murmur -, gallop –

Abdomen : Bu+

Ekstremitas : Akral hangat, edema ekstremitas atas -, edema ekstremitas bawah -

Pukul 15.30

Kesadaran DPO, TD : 79/55 mmHg, HR : 131x/menit, S : 36.7C

Pukul 16.00

Kesadaran Soporokoma, TD : 53/46 mmHg, HR : 109x/menit, S : 36.5

Pukul 19.00

21
Kesadaran Somnolen, TD : 154/95 mmHg, HR : 120x/menit, S : 38.7C

Pukul 20.00

Kesadaran Apatis, TD : 152/95 mmHg, HR : 120x/menit, S : 37,5C

A:

Gagal Napas Tipe II dengan PPOK eksaserbasi, DM Tipe II

CAP susp TBR Gagal Napas Tipe II dengan PPOK eksaserbasi, DM Tipe II

P:

Terpasang ETT

Pasien terpasang DC

Pasien terpasang NGT dengan residu + warna hitam (pasien dipuasakan)

Terpasang IVFD Asering 500cc + 1 ½ ampul aminofilin dalam 10 jam

Nexium 1x1 ampul

EKG ulang

Dobutamin 5 mic

Start MO 1 ½ mg/jam

Star vascon 0,1 mic

SC / 6 jam standar 200  Humulin 10 IU

GDS per 6 jam

Pukul 16.45

Suction

Intubasi ulang karena ETT bocor

Ventilor Abn + mode APC 20 RR 16 PEEP 10 FiO2 60% Sat 100%

Cek ulang AGD (2 jam post intubasi)

Paracetamol drip 3x1 gr

dr. Indra, Sp.An  Belum perlu konsul jantung dan konsul internis (RABER)

11November 2018

Hari perawatan 2 di ICU

22
S:-

O:

Ku : TSB

Kes : CM DPO dengan MO

GCS : E4M6Vett

TD : 149/73 mmHg

HR : 120x/menit, pulse kuat

RR : 16x/menit on venti

S : 37,7 C

SpO2 100%

Mata : CA -/-, SI-/-

Thorax : Rh +/+, Wh -/-

BJ I dan II regular, murmur -, gallop –

Abdomen : Bu+

Ekstremitas : Akral hangat, edema ekstremitas atas -, edema ekstremitas bawah -

A:

Gagal Napas Tipe II dengan PPOK eksaserbasi, DM Tipe II

P:

Ventilor Abn mode APC 20 RR 16 PEEP 10 FiO2 60% Sat 100%

Wheezing -/-  Infus asering 500 mg tanpa aminofilin  2 kolf/24 jam

Vascon 0,05 mic/kgBB/menit

MO 1,5 mg/jam

Dobutamin 5 mic/kgBB/menit

Humulin 3 IU/jam

KSR 3x1

Levofloxacin 1x750 mg iv

Resfar

- 3 x 9 cc pagi
- 3 x 8 cc siang

23
- 3 x 8 cc malam
Dalam Nacl 0,9% 100 cc diberikan dalam 30 menit

Methylprednisolon 3 x 62,5 inj iv

Nexium 1x1 ampul

Paracetamol 3 x 1 gr drip

Diet 6x100cc

Urine +

NGT residu –

Suction  Slime banyak cair

Cek AGD, elektrolit

12 November 2018

Hari perawatan 3 di ICU

S : Haus, batuk

O:

KU : TSS, lemah

Kesadaran : CM

GCS : E4M6Vett

TD : 144/82 mmHg

HR : 132x/menit

RR : 16x/menit on venti

S : 38,4 C

SpO2 : 98%

Mata : CA -/-, SI-/-

Thorax : Rh +/+, Wh -/-

BJ I dan II regular, murmur -, gallop –

Abdomen : Bu+

Ekstremitas : Akral hangat, edema ekstremitas atas -, edema ekstremitas bawah -

A:

24
Gagal Napas Tipe II dengan PPOK eksaserbasi, DM Tipe II

P:

Infus asering 500 mg  2 kolf/24 jam

MO stop  pukul 07.55

Dobutamin 5 mic/kgBB/menit

Humulin 3 IU/jam

KSR 3x1

Levofloxacin 1x750 mg iv

Resfar

- 3 x 9 cc pagi
- 3 x 8 cc siang
- 3 x 8 cc malam
Dalam Nacl 0,9% 100 cc diberikan dalam 30 menit

Methylprednisolon 3 x 62,5 inj iv

Nexium 1x1 ampul

Paracetamol 3 x 1 gr drip

Pukul 11.30  Ekstubasi  Terapi O2 dengan Face Mask 10 LPM Sat O2 97%

Vascon Tapp off  pukul 20.00 Vascon stop (TD : 139/80mmHg)

NGT +  pukul 20.00 dicoba minum oral

Diet 6x200cc

urin +

KUNJUNGAN dr. Gizi

BB 80,8kg TB 170cm  IMT 27,9 , Status Gizi Obesitas II

Parenteral Asering II/24 jam

Enteral C6 x 200cc (10.00 – 14.00 – 18.00) , residu (-)

13 November 2018

Hari perawatan 4 di ICU

25
S : Badan terasa lemas, sesak berkurang, batuk +

O:

KU : TSS

Kesadaran : CM

GCS : E4M6V5

TD : 127/79 mmHg

HR : 100x/menit

RR : 19x/menit

S : 37 C

SpO2 : 99%

Mata : CA -/-, SI-/-

Thorax : Rh +/-, Wh -/-

BJ I dan II regular, murmur -, gallop –

Abdomen : Bu+

Ekstremitas : Akral hangat, edema ekstremitas atas -, edema ekstremitas bawah -

A:

Gagal Napas Tipe II dengan PPOK eksaserbasi, DM Tipe II

P:

Ventilasi dengan Face Mask 8 LPM Sat 99%

Infus asering 500 mg  2 kolf/24 jam

Humulin 3 IU/jam  turun pukul 06.45 2 IU/jam  co dr wasis,sp.pd 21.30 Humulin


3x5 IU

Dobutamin 5 mic/kgBB/menit

KSR 3x1

Levofloxacin 1x750 mg iv

Resfar

- 3 x 9 cc pagi
- 3 x 8 cc siang
- 3 x 8 cc malam
Dalam Nacl 0,9% 100 cc diberikan dalam 30 menit

26
Methylprednisolon 3 x 62,5 inj iv

Nexium 1x1 ampul

PCT 3 x 1 gr K/P

Extra Lasix 1 amp

Diet oral

Rencana pindah ruang biasa  ulang AGD

Dr Indra, sp.A 14.20 Acc pindah ruangan  Dobutamin, humulin stop  Konsul IPD
di ruangan

Pukul 16.00  Turun Nasal kanul 3 lpm

TRANSFER INTERNAL  An nas 2 DPJP dr. Fachry

S : Batuk

O:

KU : TSS

Kesadaran : CM

GCS : E4M6V5

TD : 133/77 mmHg

HR : 114x/menit

RR : 20x /menit

S : 37C

SpO2 : 98%

A : PPOK + DM

P:

Terpasang : NGT – Folley Catheter – IVFD Asering

Konsul interna

14 November 2018

Perawatan hari ke I ruang biasa

S : Batuk berkurang, sesak berkurang

27
O:

Ku : TSS

Kes : CM

Thorax : Wh-/-

A:

P:

Humulin 3x 5 IU

15 November 2018

S : Batuk berkurang, sesak berkurang

O:

RR 24x

Rh+/- , wh -/-

A:

P:

O23 lpm

Posisi semi fowler

16 November 2018

S : Batuk, sesak berkurang

O:

A:

P:

28
BAB 2

29
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF)

2. 1. 1 Definisi

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Sedangkan gagal jantung
akut menurut European Sociery of cardiology (ESC) adalah kondisi kegagalan fungsi
jantung dengan awitan yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda dari gagal
jantung.1 Gagal jantung akut memiliki klasifikasi berdasarkan presentasi klinis, sebagai
berikut:

5. Perburukan atau dekompensasi dari gagal jantung kronis (ADHF) : terdapat


riwayat perburukan dari gagal jantung kronis dalam pengobatan, dan bukti dari
kongesti sistemik dan pulmoner.

6. Edema paru akut : terdapat distress prenapasan, takipneu dan ortopneu, ronki
basah halus pada seluruh lapang paru

7. Gagal jantung akut hipertensif : gejala dari gagal jantung akut yang disertai
dengan peningkatan tekanan darah dan masih memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri
yang masih baik. Terdapat peningkatan tonus simpatis dan vasokonstriksi,
kondisi euvolemik atau hanya sedikit hipervolemik dan tanda-tanda kogestif paru
tanpa disertai kongesti sistemik

8. Syok kardiogenik : adanya hipoperfusi jaringan yang diinduksi oleh gagal


jantung setelah dilakukan koreksi adekuat dari preload dan aritmia mayor. Syok
kardiogenik ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik ≤90 mmHg atau
penurunan cepat dari rerata tekanan arteri >30 mmHg) disertai dengan oliguria
atau anuria (<0,5 ml/kg/jam)

9. Gagal jantung kanan terisolasi: ditandai dengan sindroma penurunan curah


jantung tanpa adanya kongesti paru dengan peningkatan tekanan jugular, dengan
atau tanpa hepatomegaly dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang rendah

10. Gagal jantung akut pada sindroma coroner akut : adanya gejala klinis gagal
jantung akut yang disertai dengan bukti laboratorium sindrom coroner akut.2

2. 1. 2 Etiologi

30
Penyebab gagal jantung akut adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi
kerusakan atau hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan
vaskuler dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).
Penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi penyebab
gagal jantung sebanyak 70%. Kardiomiopati merupakan gangguan miokard dimana otot
jantung secara struktur dan fungsional menjadi abnormal dapat menjadi gagal jantung
sebanyak 10%, dan lainnya penyakit katup jantung sekitar 10%..1

Penyakit jantung koroner Banyak manifestasi

Hipertensi Sering dikaitkan dengan hipertrofi ventrikel kanan


dan fraksi ejeksi

Kardiomiopati Factor genetic dan non genetic (termasuk yang


didapat seperti myocarditis), Hypertrophic (HCM),
dilated (DCM), restrictive (RCM), arrhythmogenic
right ventricular (ARVC)

Obat – obatan Calcium antagonist, 𝛽 − blocker, antiarrhymics,


cytotoxic agent

Toksin Alcohol, cocaine, trace elements (mercury, cobalt,


arsenic)

Endokrin Diabetes mellitus, hypo/hyperthyroidism, cushing


syndrome, adrenal insufficiency excessive growth
hormone, phaeochromocytoma

Nutrisional Defisiensi thiamine, selenium, carnitine, obesitas,


kaheksia

Infiltrative Sarcoidosis, amyloidosis, haemochromatosis,


penyakit jaringan ikat

Lainnya Penyakit Chagas, iinfeksi HIV, peripartum


cardiomyopathy, gagal ginjal tahap akhir

Tabel 1. Etiologi umum gagal jantung akut

2. 1. 3. Patofisiologi

Gagal jantung akut ditandai dengan abnormalitas hemodinamik dan neurohormonal


yang buruk dan mungkin diakibatkan atau sebagai akibat dari jejas padamiokard dan atau
ginjal. Abnormalitas tersebut mungkin dapat disebabkan karena iskemia, hipertensi, atrial

31
fibrilasi atau penyebab non kardiak lainnya (seperti insufisiensi ginjal) atau sebagai akibat
efek obat-obat. Beberapa mekanisme pathogenesis ADHF diantaranya adalah

11. Kongesti

Peningkatan tekanan diastolic ventrikel kiri akan berakibat kongesti pulmonal dan
sistemik dengan atau tanpa curah jantung yang menurun merupakan presentasi utama pada
pasien ADHF. Kongesti paru dapat didefinisikan sebagai hipertensi vena pulmonalis (PCWP)
dan akan berakibat edema interstitial dan alveolar paru. Kongesti sistemik bermanifestasi
secara klinis dengan distensi vena jugularis dengan atau tanpa edema perifer dan peningkatan
berat badan secara gradual sering ditemukan. Kongesti paru seriing terjadi secara mendadak
yang di presipitasi oleh peningkatan tekanan darah (afterload), terutama pada pasien dengan
disfungsi diastolic. Gangguan ginjal, abnormalitas berat dari neurohormonal dan endothelial,
gangguan diet dan beberapa obat-obatan seperti OAINS juga berkontribusi terhadapt
kelebihan cairan.4

Peningkatan tekanan diastolic ventrikel kiri yang tinggi berkontribusi terhadap


progresifitas dari gagal jantung dengan aktivitas neurohornomal, iskemia subendokardial
dan/atau perubahan ukuran dan bentuk dari ventrikel kiri yang pada akhirnya berakibat pada
insufisiensi katup mitral.4

12. Cedera miokard

Pelepasan troponin sering terjadi pada ADHF, terutama pada pasien dengan penyakit
jantung coroner. Hal ini berhubungan dengan adanya cedera miokard, yang berhubungan
dengan abnormalitas hemodinamik dan/atau neurohormonal atau sebagai akibat dari kejadian
iskemia. Cedera juga bisa terjadi sebagai akibat tingginya tekanan diastolic ventrikel kiri,
kemudian akan mengaktivasi stimulasi neurohormonal dan inotropic sehingga berakibat
kepada ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.1

Aktivasi neurohormonal (sistem saraf simpatik, renin-angiotensin-aldosteron system,


arginine vasopressin dan endotel-1) dapat mempertahankan euvolemia yang menyebabkan
retensi cairan, vasokonstriksi atau keduanya. Aktivasi neurohormonal juga menstimulasi
aktivasi sitokin proinflamaasi dan mediator-mediator apoptosis miosit. 3

32
Gambar 1. Stimulasi neurohormonal

Aktivasi system saraf simpatik mencegah terjadinya arterial underfilling yang


meningkatkan cardiac output sampai toleransi berkembang dengan dua mekanisme. Pertama,
myocardial 1-receptor terpisah dari second messenger protein, yang mengurangi jumlah
cyclic adenosine 5-monophospate (cAMP) yang dibentuk untuk sejumlah interaksi reseptor
ligan tertentu. Kedua, mekanisme dephosphorylation menginternalisasi 1-receptor dalam
vesikula sitoplasma di miosit tersebut. Dalam tingkat toleransi tersebut, peningkatan marker
akut pada katekolamin pasien ADHF masih mengangkat cAMP miokard, meningkatkan
konsentrasi kalsium intraseluler dan tingkat metabolism anaerob. Hal tersebut dapat
meningkatkan risiko tachyarrhytmias ventrikel dan kematian sel, meningkatkan derajat
vasokonstriksi sistemik, meningkatkan stress dinding miokard, mengurangi tingkat filtrasi
glomerulus sehingga memberikan kontribusi bagi aktivasi system renin angiotensin
aldosterone.3

13. Gangguan ginjal

Pada ADHF, abnormalitas ginjal akan menyebabkan retensi natrium dan air.
Gangguan structural ginjal akibat hipertensi, diabetes dan arteriosclerosis merupakan
penyebab yang sering ditemukan, dan perburukan fungsi ginjal terjadi pada sekitar 20-30%
pasien yang dirawat dengan gagal jantung akut. 4

14. Efek tidak langsung obat

Loop diuretic intravena merupakan agen lini pertama untuk meringankan gejala
kongestif, dengan memberikan keuntungan diuretic berhubungan dengan abnormalitas
elektrolik, aktivasi neurohormonal yang lebih lanjut dan perburukan ginjal. Pemberian loop
diuretic intravena dengan dosis besar berhubungan dengan perburukan pasien dengan gagal
jantung. Dobutamin, milrinon dan levosimendan akan meningkatkan profil hemodinamik,
namun akan meningkatkan konsumsi oksigen miokard (takikardia dan peningkatan
kontraktilitas) dan hipotensi yang berhubungan dengan efek vasodilatasi. Penurunan perfusi
coroner yang berhubungan dengan hipotensi dalam kondisi peningkatan kebutuhan yang

33
mengakibatkan cedera miokard, terutama pada pasien dengan penyakit jantung coroner (PJK)
dimana miokardium yang mengalami hibernasi atau iskemia. Hipotensi yang berhubungan
dengan penggunaan vasodilator mungkin juga mengakibatkan hipoperfusi miokardium dan
ginjal yang dapat mengakibatkan cedera.4

2. 1. 4 Gejala Klinis

Banyak tanda-tanda gagal jantung yang terjadi akibat retensi air dan natrium yang
biasanya akan membaik dengan pemberian terapi diuretic. Riwayat medis pasien juga
penting dalam penegakan diagnose, dan gagal jantung tidak lazim terjadi pada pasien tanpa
adanya riwayat medis yang relevan, misalnya riwayat infark miokard yang akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya gagal jantung pada pasien dengan tanda dan gejala
yang khas.

Gambaran klinis yang Gejala Tanda


dominan

Kongesti Sesak napas, kelelahan, Edema perifer, peningkatan


anoreksia vena jugularis, edema
pulmonal, hepatomegaly,
asites, overload cairan,
kaheksia

Edema pulmonal Sesak napas yang berat saat Crackles atau rales pada paru-
istirahat paru bagian atas, efusi paru,
takikardia, takipnea

Syok kardiogenik (low output Kelemahan, confusion, akral Perfusi perifer yang buruk,
syndrome) dingin tekanan darah sistolik (SBP)
<90 mmHg, anuria atau
oliguria

Tekanan darah tinggi (gagal Sesak napas Terjadi peningkatan tekanan


jantung hipertensif) darah, hipertrofi ventrikel kiri

Gagal jantung kanan Sesak napas, kelelahan Bukti disfungsi ventrikel


kanan, peningkatan JVP,
edema perifer, hepatomegaly,
kongesti usus.

Tabel 2. Manifestasi klinis pada gagal jantung akut

Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute Decompensated


Heart Failure, manifestasi klinis ADHF antara lain

34
Volume overload Hipoperfusi

15. Dipsneu saat melakukan aktivitas 26. Kelelahan

16. Orthopneu 27. Perubahan status mental

17. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea 28. Penyempitan tekanan nadi


(PND)
29. Hipotensi
18. Ronkhi
30. Ekstremitas diingin
19. Cepat kenyang
31. Perburukan fungsi ginjal
20. Mual dan muntah

21. Hepatosplenomegali,
hepatomegaly atau splenomegaly

22. Distensi vena jugular

23. Reflex hepatojugular

24. Asites

25. Edema perifer

Tabel 3. Gejala dan tanda Acute Decompensated Heart failure

Gambar 2. Kategori ADHF menurut derajat hemodinamik

ADHF dapat dikategorikan menurut derajat hemodinamik sesuai dengan Cardiac


Index (CI) dan Pulmonary Capillary Wedge Pressure (PCWP). Cardiac Index (CI)
mengindikasikan derajat perfusi, pasien akan dikarakteristiknya menjadi “warm” atau
“cold”, hal ini bergantung pada keadaan hipoperfusi. Keadaan “cold” bila CI < 2,2
L/min/m2 dan tanda – tanda hipoperfusi seperti kelemahan, hipotensi, ekstremitas dingin,
penurunan fungsi ginjal, dan perubahan status mental. Pulmonary Capillary Wedge
Pressure (PCWP) mengindikasikan status cairan, pasien akan dibedakan menjadi “dry” atau

35
:wet” bergantung pada adanya edema, dimana nilai PCWP >18 mmHg. Gejala overload
cairan meliputi batuk, sesak, paroxysmal nocturnal dyspnea, elevasi vena jugularis, edema
perifer, asites, hepatomegaly dan splenomegaly..5

2. 1. 5 Diagnosis

Pasien dengan gagal jantung umumnya datang ke fasilitas kesehatan dengan


manifestasi volume overload atau hipoperfusi atau keduanya. Pasien yang datang dengan
keluhan volume overload relative mudah untuk di diagnose. Pasien umumnya memiliki
tanda dan gejala kongesti paru (dyspnea saat beraktifitas, ortopneu, paroxysmal nocturnal
dyspnea, dan ronki). Sedangkan manifestasi seperti cepat kenyang, mual dan muntah
merupakan akibat dari edema pada traktus gastrointestinal (GI). Kongesti pada hepar dan
spleen atau keduanya menyebabkan hepatosplenomegali, hepatomegaly adatu
splenomegaly. Pasien juga menunjukkan adanya peningkatan tekanan ve ajugularis dengan
atau tanpa peningkatan reflex hepatojugular. Asites dan edema perifer juga muncul akibat
akumulasi cairan pada kavitas peritoneum dan perifer. Gagal jantung dengan hipoperfusi
sulit untuk didiagnosis karena kebanyakan gejala dan tanda tidak spesifik. Hipotensi dan
perburukan fungsi ginnjal merupakan tolak ukur objektif terhadap hipoperfusi. 4

Uji diagnostic

Elektrokardiogram dan Ekhokardiogram merupakan pemeriksaan penting untuk


menegakkan diagnosis gagal jantung. Elektrokardiogram (EKG) berguna untuk melihat
irama jantung dan konduksi elektrik, seperti adanya penyakit sinoatrial, blok
atrioventrikuler atau konduksi interventrikuler yang abnormal. Temuan ini penting untuk
menentukan penatalaksanaan (seperti control irama pada pasien dengan atrium fibrilasi,
pemacuan untuk bradikardia dan terapi resinkronisasi jantung untuk pasien left bundle
branch block (LBBB). EKG juga dapat menunjukkan bukti adanya hipertrofi ventrikel kiri
atau gelombang Q yang mengindikasikan adanya kehilangan miokardium yang viable, yang
membantu memberikan bukti tentang kemungkinan etiologi dari gagal jantung.1

Ekhokardiogram menyajikan informasi mengenai volume ruang jantung, fungsi


sistolok dan diastolic ventrikel, ketebalan otot dan fungsi katup, hal ini berguna dalam
menentukan terapi yang sesuai untuk pasien (seperti ACE-inhibitor dan 𝛽-blocker untuk
disfungsi sistolik atau operasi untuk stenosis aorta).1

Peptide Natriuretik darah merupakan hormone yang disekresikan berlebih bila terjadi
jejas pada jantung atau peningkatan beban pada salah satu ruang jantung (seperti atrium
fibrilasi, emboli paru dan beberapa keadaan non-kardiak termasuk gagal ginjal). Kadar
peptide natriuretic umumnya akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, namun
dapat menurun pada pasien dengan obesitas. Terdapat dua macam peptide natriuretic yang
biasa digunakan, B-type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro B-type natriuretic
peptide (NT-proBNP). Batasan eksklusi berbeda pada pasien yang datang dengan awitan

36
akut atau perburukan gejala dan pada pasien dengan awitan yang lebih gradial. Untuk
pasien dengan awitan akut atau perburukan gejala, nilai optimal untuk mengeksklusi adalah
300 pg/ml untuk NT-proBND dan 100 pg/ml untuk BNP. Untuk pasien non akut, nilai
optimal untuk mengeksklusi adalah 125 pg/ml pada NT-proBNP dan 35 pg.ml pada BNP.
Sensitifitas dan spesifisitas dari BNP dan NT-proBNP untuk mendiagnosa gagal jantung
lebih rendak pada pasien non akut.6

Serum BNP <100

32. Normal atau gagal jantung terkompensasi baik

Serum BNP 100 – 200

33. Gagal jantung terkompensasi baik

34. Normal (usia lanjut, wanita, penggunaan 𝛽-blocker)

35. Cor pulmonal (gagal jantung kanan)

36. Hipertensi, disfungsi diastolic

37. Penyakit jantung iskemik

Serum BNP 200 – 400

38. Gagal jantung dekompensasi ringan sedang

39. Gagal jantung kronik terkompensasi

Serum BNP >400

40. Gagal jantung kongestif yang berat (hypervolemia)

Tabel 4. Kegunaan klinis terhadap level BNP serum

Foto thorax memiliki keterbatasan dalam penegakan diagnose ADHF, pemeriksaan


ini berguna dalam mengidentifikasi alternative keterlibatan paru untuk tanda dan gejala
pasien. Foto thorax akan menunjukkan kongesti vena pulmonalis atau edema, serta
disfungsi sistolik ventrikel kiri yang signifikan akan memberikan gambaran kardiomegali.2

37
Pada pemeriksaan laboratorium, hematologi dasar (hemoglobin, hematocrit, ferritin,
leukosit dan platelet), kimiawi (natrium, kalium, kreatinin dan laju filtrasi glomerulus) dan
kadar gula darah merupakan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan etiologi
ADHF. Pemeriksaan kadar hormone tiroid cukup berguna dikarenakan penyakit tiroid dapat
menyerupai atau bahkan memperburuk gagal jantung. Enzim hati sering ditemukan tidak
normal pada pasien dengan gagal jantung, hal ini penting untuk penggunakan terapi
amiodaron dan warfarin.2

2. 1. 6 Tatalaksana

ADHF merupakan kondisi medis yang mengancam nyawa, sehingga pemeriksaan


diagnostic serta tatalaksana pasien dengan kecurigaan harus dilakukan secepatnya dan
berjalan secara paralel. Evaluasi awal dan monitoring non-invasif berkelanjutan dilakukan
untuk tanda vital jantung-paru, seperti penggunaan pulse oximetry, tekanan darah, laju
nafas dan ekg berkelanjutan, sangat penting untuk melihat apakah ventilasi, perfusi perifer,
oksigenasi jaringan, nadi, dan tekanan darah adekuat. Urine output penting dimonitor
untuk melihat kondisi syok.6

Pasien dengan tanda gagal napas atau hemodinamik tidak stabil harus diberikan
bantuan ventilasi (oksigen, non-invasive positive pressure ventilation, ataupun ventilasi
mekanik) maupun penunjang sirkulasi (baik secara farmakodinamik maupun mekanik).
Pemberian terapi oksigen direkomendasikan pada pasien ADHF dengan saturasi oksigen
<90%, sedangkan intubasi diberikan apabila terjadi gagal napas yang menyebabkan
hipoksemia (PaO2 <60 mmmHg), hiperkapnia (PaCO2 >50 mmHg) dan asidosis (pH
<7,35) tidak dapat ditanganin secara non-invasif.6

38
Gambar 3. Algoritma untuk stabilisasi awal pada ADHF di IGD

39
Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan pada Acute decompensated heart failure.

Diuretic

41. Loop Diuretic IV atau diuretic kuat secara intravena direkomendasikan untuk
semua pasien ADHF dengan gejala kelebihan cairan.

42. Pasien dengan AHF onset baru atau dengan HF kronis atau decompensated HF
yang belum pernah menerima diuretic oral maka dosis inisial yang
direkomendasikan 20-40 IV furosemide, bagi yang sudah dalam terapi oral
diuretic sebelumnya maka dosis minimal hrus ekuivalen dengan dosis
sebelumnya ( penggunaan high dose yaitu dosis 2,5 kali lipat dari dosis oral
sebelumnya)

43. Pemberian diuretic intravena dapat dilakukan secara continuous infusion atau
bolus infusion dan dilakukan titrasi sesuai gejala dan tanda klinis

40
44. Kombinasi loop diuretic atau thiazide atau spironolakton dapat dipertimbangan
pada edema yang resisten.7

Vasodilator

45. vasodilator intravena adalah agen farmakoterapi kedua yang pada umumnya
digunakan pada ADHF untuk gejala simtomatik

46. Cara kerjanya adalah mengurangi tonus vena (ptimisasi preload) dan tonus arteri
(menurunkan afterload).

47. Vasodilator sangat berguna pada kondisi hypertensive ADHF dan harus dihindari
penggunaannya pada tekanan darah sistolik <90 mmHG (atau symptomatic
hypotension)8

Gambar 5. Dosis vasodilator Intravena

Agen inotropic

48. Penggunaan agen inotropic hanya diberikan pada kondisi cardiac output yang
sangat rendah dan menyebabkan gejala hipoperfusi organ vital, yang terutama
terjadi pada hypotensive ADHF

49. Agen inotropic tidak direkomendasikan pada kasus hypotensive ADHF dengan
penyebab hipotensi seperti hypovolemia atau kondisi lainnya yang dapat
dikoreksi sebelumnya. Agen ini dapat diberikan setelah semua penyebab tersebut
dikoreksi dan masih terjadi hypotensive ADHF

50. Beberapa agen inotropic yang digunakan:

1. Dobutamin : 2-20 mcg/kg/min

2. Dopamine : 3-5 mcg/kg/min

3. Nonepinephrine : 0,2 – 1,0 mcg/kg/min

4. Epinephrine : 0,05 – 0,5 mcg/kg/min

41
51. Vasopressor

1. Obat vasopressor diberikan pada keadaan hipotensi yang prominen untuk


meningkatkan tekanan darah dan menunjang perfusi ke organ –organ vital

2. Beberapa obat seperti norepinephrine dan dopamine dosis lebih tinggi memiliki efek
vasokontriksi arteri yang kuat.

52. Obat lainnya

1. Digoksin diberikan pada pasien atrial fibrilasi (AF) dengan rapic ventricular response
(HR >110 kali/menit). Dosis bolus IV 0,25 – 0,5 mg, apabila tidak diberikan
sebelumnya. Diberikan dosis lebih rendah apabila ada gangguan ginjal sedang-berat.8

2. 2 ATRIUM FIBRILASI

2. 2. 1 Definisi

Atrium Fibrilasi (AF) adalah takiaritmia supraventrikuler yang khas dengan aktivasi
atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium.

Gambar 6. Atrial fibrilasi

42
Ciri – ciri AF pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:

53. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler.

54. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Terkadang
dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling
sering pada sadapan V1.

55. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450 x/menit.9

Secara klinis AF dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi dan
durasinya, yaitu:9

1. AF yang pertama kali terdiagnosis

Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis AF,
tanpa memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.

2. AF paroksismal

AF yang mengalami terminasi spontan dalam 24 jam, namun dapat berlanjut hingga 7
hari.

3. AF persisten

AF dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau AF yang memerlukan
kardiovensi dengan obat atau listrik.

4. AF persisten lama (long standing persistent)

AF yang bertahan hingga > 1tahun dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.

5. AF permanen

AF yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter (dan pasien) sehingga strategi
kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih
digunakan maka AF masuk ke dalam kategori AF persisten lama.

Selain dari 5 kategori diatas, yang terutama ditentukan oleh awitan dan durasi
episodenya, terdapat beberapa kategori AF tambahan menurt ciri-ciri dari pasien:9

1. AF sorangan (lone)

43
AF tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya, termasuk hipertensi,
penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri
dan usia dibawah 60 tahun

2. AF non-valvular

AF yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup jantung protese atau
operasi perbaikan katup mitral.

3. AF sekunder

AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu AF seperti infark miokard
akut, bedah jantung, pericarditis, miokarditis, hipertiroidism, emboli paru, pneumonia
atau penyakit paru akut lainnya, sedangkan AF sekunder yang berkaitan dengan
penyakit katup disebut AF valvular.

Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka AF dapat dibedakan
menjadi

1. AF dengan respon ventrikel cepat : laju ventrikel >100x/menit

2. AF dengan respon ventrikel normal : laju ventrikel 60 - 100 x/menit

3. AF dengan respon ventrikel lambat : laju ventrikel <60 x/menit

44
B

Gambar 7. Rekaman EKG AF. A. AF dengan respon ventrikel normal, B. AF dengan respon
ventrikel cepat, C. AF dengan respon ventrikel lambat

2. 2. 2 Patofisiologi

Mekanisme terjadinya AF dipengaruhi oleh adanya factor pemicu (trigger) dan


factor yang melanggengkan.

1. Perubahan patofisiologis yang mendahului terjadinya AF

Proses remodeling akibat penyakit jantung structural terjadi di atrium ditandai


dengan proliferasi dan diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas yang meningkatkan
deposisi jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses remodeling ini menyebabkan gangguan
elektris antara serabut otot dan serabut konduksi di atrium, serta menjadi factor pemicu

45
sekaligus factor yang melanggengkan terjadinya AF. System saraf simpatis maupun
parasimpatis didalam patofisiologi AF, yaitu peningkatan Ca intraselular oleh system saraf
simpatis dan pemendekan periode refrakter efektif atrium oleh system saraf parasimpatis
(vagal). Stimulasi pleksus ganglionic akan memudahkan terangsangnya AF melalui vena
pulmoner, sehingga pleksus ganglionic dapat dipertimbangkan sebagai salah satu target
ablasi. 10

Perubahan sifat elektrofisiologis atrium terjadi setelah AF muncul, dengan


pemendekan periode refrakter efektif atrium pada beberapa hari pertama terjadinya AF.
Mekanisme selular utama yang mendasarkan pemendekan periode refrakter adalah
penurunan (down regulation) arus masuk kalsium (melalui kanal tipe-L) dan peningkatan
(up-regulation) arus masuk kalium. Beberapa hari setelah kembali ke irama sinus, maka
periode refrakter atrium akan kembali normal.

2. Mekanisme elektrofisiologis

56. Mekanisme fokal

Mekanisme seluler dari aktivitas fokal mungkin melibatkan mekanisme triggered


activity dan reentri. Vena pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan
melanggengkan takiaritmia atrium, karena VP memiliki periode refrakter yang lebih pendek
serta adanya perubahan drastic orientasi serta miosit. Pasien dengan AF paroksismal,
intervensi ablasi di daerah pemicu yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan (umumnya
berada pada atau dekat edngan batas antara VP dan atrium kiri) akan menghasilkan
perlambatan frekuensi AF secara progresif dan selanjutnya terjadi konversi menjadi irama
sinus. Sedangkan paa pasien dengan AF persisten, daerah yang memiliki frekuensi tinggi dan
dominan tersebar diseluruh atrium, sehingga lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi atau
konversi ke irama sinus.10

57. Mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis)

Pada mekanisme ini, AF dilanggengkan dengan adanya konduksi beberapa wavelet


independen yang secara kontinu tersebar acak dan saling bertabrakan satu sama lain dan
kemudian padam, atau terbagi menjadi banyak wavelet lain yang terus menerus merangsang
atrium.11

46
Gambar 8. Mekanisme elektrofisiologi Atrium Fibrilasi

3. Predisposisi genetic

Sindrom jantung bawaan, sindrom QT pendek dan QT panjang, serta sindrom


Brugada berhubungan dengan supraventricular aritmia, termasuk AF. AF sering terjadi pada
berbagai kondisi yang diturunkan seperti kardiomiopati hipertrofi dan hipertrofi ventrikel kiri
abnormal yang terkait dengan mutasi pada gen PRKAG. Selain itu, beberapa lokus genetic
yang dekat dengan gen PITX2 dan ZFHX3 berhubungan dengan AF dan stroke
kardioembolik.9

2. 2. 3 Penegakkan Diagnosa

Anamnesis

47
Presentasi klinis AF dapat berupa asimptomatik hingga syok kardiogenik atau kejadian
serebrovaskular berat. Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara
lain:12

58. Palpitasi, yang umumnya diekspresikan oleh pasien seperti pukulan gendering,
gemuruh Guntur atau kecipak ikan di dalam dada

59. Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik

60. Presinkop atau sinkop

61. Kelemahan umum, pusing

AF juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik, kardiomiopati yang diinduksi


oleh takikardia dan tromboembolisme sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan AF yang
baru pertama kali terdiagnosis harus terfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.

Pertanyaan – pertanyaan yang relevan untuk anamnesis pasien yang dicurigain AF,
meliputi:12

62. Penilaian klasifikasi AF berdasarkan waktu presentasi, durasi dan frekuensi


gejala

63. Penilaian factor – factor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alcohol).

64. Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal)

65. Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya

66. Penilaian adakah penyakit jantung structural yang mendasarinya.

67. Riwayat prosedur ablasi AF secara pembedahan (operasi Maze) arau perkutan
(dengan kateter).

68. Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk


berkontribusi terhadap inisiasi AF (misalnya hipertensi, penyakit jantung
coroner, diabetes mellitus, hipertiroid, penyakit jantung valvular dan PPOK)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan napas (airway),


pernapasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) dan tanda-tanda vital untuk mengarahkan
tindak lanjut terhadap AF. Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan napas dan
saturasi oksigen sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju
yang adekuat pada AF. Pada pemeriksaan denyut nadi umumnya irregular dan cepat sekitar

48
110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/ menit. Pasien dengan hipotermia atau
toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikardi.

Pada kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran tiroid,


peningkatan tekanan vena jugularis atau sianosis. Bruit pada arteri karotis mengindikasikan
penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya komorbiditas penyakit jantung coroner.
Pemeriksaan paru dapat mengungkapkan tanda – tanda gagal jantung (misalnya ronki, efusi
pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya penyakit paru kronik
yang mungkin mendasari terjadinta AF (misalnya PPOK dan asma). Pada pemeriksaan
jantung, palpasi dan auskultasi sangat penting untuk mengevaluasi penyakit jantung katup
atau kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau adanya bunyi jantung
tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan ventrikel
kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal. Pulsus
deficit atau terdapatnya selisih jumlah nadi yang teraba dengan auskltasi laju jantung dapat
ditemukan pada pasien AF.

Adanya asites, hepatomegaly atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat
mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsic. Nyeri kuadran kiri atas
mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer. Pada pemeriksaan ekstremitas
bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau edema. Ekstremitas yang dingin atau tanpa
nadi mungkin mengindikasikan embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat
mengindikasikan penyakit arterial perifer atau curah jantung yang menurun. 12

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari gangguan/penyakit yang


tersembunyi, terutama bila laju ventrikel sulit dikontrol, pemeriksaan yang dapat dilakukan
meliputi :12

69. Darah lengkap (anemia, infeksi)

70. Elektrolit, ureum, kreatinin (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)

71. Encim jantung seperti CKMB dan atau Troponin (infark miokard sebagai
pencetus AF)

72. Peptide natriuetik (BNP, NT pro-BNP, dan ANP) memiliki asosiasi dengan AF.
Level plasma dari peptide netriuretik tersebut meningkat pada pasien dengan AF
paroksismal maupun persisten dan menurun kembali dengan cepat setelah
restorasi irama sinus

73. D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)

74. Fungsi tiroid (tirotoksikosis)

75. Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)

49
Elektrokardiogram (EKG)

Fibrilasi atrium ditandai dengan aktivitas atrium yang tidak terorganisasi oleh
adanya reentri dari beberapa focus di atrium. Laju kontraksiatrium bervariasi dari 400-
700x/menit, menghasilkan gambaran EKG yang flat atau sangat tidak teratur. Seperti
flutter, tidak semua kontraksi atrium diteruskan ke ventrikel. Irama ventrikel yang tidak
teratur disebabkan oleh adanya waktu recovery dari nodus AV setelah depolarisasi dan
adanya konduksi parsial oleh nodus AV. Kompleks QRS yang dihasilkan biasanya sempit
kecuali terdapat aberansi atau buncle branch block (BBB). Konduksi aberans pada fibrilasi
atrium biasa ditemukan oleh karena lebarnya fluktuasi R-R interval. Masa refrakter
ventrikel ditentukan oleh interval R-R yang sangat pendek setelah interval R-R yang
panjang, ventrikel mungkin masih dalam masa refrakter sehingga kompleks QRS yang
dihasilkan menjadi lebar.13

Pemeriksaan lainnya

Pada foto thorax biasanya tampak normal, tetapi kadang dapat ditemukan bukti
gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vascular paru (missal emboli paru,
pneumonia). Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah
dalam mendeteksi thrombus di atrium kiri dan ekokardiografi transesofageal adalah
modalitas terpilih untuk tujuan ini. Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat
untuk:

76. Evaluasi penyakit jantung katup

77. Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding

78. Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi thrombus ventrikel

79. Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)

80. Evaluasi penyakit pericardial

Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk thrombus atrium


kiri (terutama AAK) dan memandu kardioversi (bila terlihat thrombus, kardioversi harus
ditunda).

Uji latih atau uji berjalan enam menit dapat membantu menilai apakah strategi
kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x/menit setelah berjalan 6 menit.
Uji latih dapat menyingkirkan iskemia sebelum memberikan obat antiaritmia kelas 1C dan
dapat digunakan juga untuk mereproduksi AF yang dicetuskan oleh aktivitas fisik.

50
2. 2. 4 Tatalaksana

1. Fase akut

81. Kendali laju fase akut

Pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat mengontrol
respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal kalsium non dihitropiridin
oral dapat digunakan pada pasien yang stabil.digoksin atau amiodaron direkomendasikan
untuk mengontrol laj u ventrikel pada pasien dengan AF dan gagal jantung atau adanya
hipotensi. Pada fase akut, target laju jantung adalah 80-100 kpm. Diharapkan laju jantung
akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian antagonis kanal kalsium (diltiazem 30
mg atau verapamil 80 mg), penyekat beta (propranolol 5 mg atau metoprolol 50 mg). AF
dengan respon irama ventrikel yang lambat biasanya membaik dengan pemberian atropine
(mulai 0,5 mg IV). Bila dengan pemberian atropine pasien masih simptomatik, dapat
dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu jantung sementara.14

Gambar 9. Kendali laju fase akut

82. Kendali irama fase akut

51
Respom irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien AF. Pasien yang mengalami heodinamik tidak stabil akibat AF
harus segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus. Pasien yang
masih simptomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun strategi kendali laju telah
optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan obat antiaritmia intraven atau
kardioversi elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia intravena, pasien harus dimonitor untuk
kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat, disfungsi nodus sinoatrial (henti sinus atau
jeda sinus) atau blok atrioventrikuler.14

83. Terapi pil dalam saku (pildaku)

Propafenon oral (450-600 mg) dapat mengkonversi irama AF menjadi irama sinus.
Efektivitas propafenon oral terseut mencapai 45% dalam 3 jam. Strategi terapi ini dapat
dipilih pada pasien dengan symptom yang berat dan AF jaranf (sekali dalam sebulan). Oleh
karena itu, propafenon (450-600mg) dapat dibawa dalam saku untuk dipergunakan sewaktu-
waktu pasien memerlukan.

2. Tatalaksana jangka panjang

Strategi terapi AF yaitu terapi optima penyakit kardiovaskuler yang menyertai,


pemilihan strategi kendali irama atau kendali laju, pencegahan tromboemboli dan terapi
upstream.

84. Kendali laju jangka panjang

52
Gambar 10. Indikasi kendali laju dan kendali irama

Penyekat beta direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama pada pasien AF


dengan gagal jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark
miokard. Apabila monoterapi tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk kendali laju.
Digoksin tidak dianjurkan untuk terapi awal pada pasien AF yang aktif dan sebaiknya hanya
diberikan pada pasien gagal jantung sistolik yang tidak memiliki aktivitas tinggi. Hal ini
dikarenakan digoksin hanya bekerja pada parasimpatis. Amiodaron untuk kendaju laju hanya
diberikan apabila obat lain tidak optimal pada pasien. 15

Gambar 11. Terapi kendali laju jangka panjang

85. Kendali irama jangka panjang

Pilihan pertama untuk terapi dengan kendali irama adalah memakain antiaritmia.
Pengubahan irama F ke irama sinus (kardioversi) dengan menggunakan obat paling efektif
dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya AF. Kardioversi farmakologis kurang efektif pada
AF persisten.

Terapi pengembalian irama ke sinus mempunyai kelebihan mengurangi risiko tromboemboli,


memperbaiki hemodianmik dengan mengembalian ‘atrial kick’, mencegah terjadinya respon
ventrikel cepat yang dapat menginduksi kardiomiopati akibat takikardia, serta mencegah
remodeling atrium yang dapat meningkatkan ukuran atrium dan menyebabkan kardiomiopati

53
atrium. Beberapa antiaritmia memiliki efek samping, seperti amiodaron yang dalam jangka
panjang memiliki efek toksin. Efektivitas antiaritmia untuk mengembalikan irama sinus
hanyalah untuk mengurangi namun tidak menghilangkan kekambuhan AF.14,15

Gambar 12. Terapi kendali irama jangka panjang

86. Kardioversi elektrik (direct current cardioversion)

Kardioversi adalah strategi kendali irama, dengan keberhasilan 80-96 % dan


sebanyak 23% pasien tetap sinus dalam setahun dan 16% dalam waktu dua tahun. Amiodaron
adalah antiaritmia yang paling kuat mencegah terjadinya rekurensi AF setelah dilakukan
kardioversi. Kegagalan yang terjadi pasca kardioversi disebabkan oleh berat badan, durasi
AF yang lebih lama (1-2 tahun), gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, peningkatan
dimensi atrium kiri, penyakit jantung rematik dan tidak adanya pengobatan dengan
antiaritmia.16

Ekokardiografi transtorakal haru dilakukan untuk identifikasi adanya thrombus di


ruang – ruang jantung. Bila thrombus tidak terlihat dengan ekokardiografi transtorakal, maka
ekokardiografi transesofagus harus dikerjakan apabila AF diperkirakan berlangsung >48 jam
sebelum dilakukan tindakan kardioversi. Apabila tidak memungkinkan , dapat diberikan
terapi antikoagulan selama 3 minggu sebelumnya. Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4
minggu pascakardioversi (target INR 2-3 apabila menggunakan AVK)

Kardioversi elektrik dengan arus bifasik lebih dipilih dibandingkan arus monofasik
karena membutuhkan energy yang lebih rendah dan keberhasilan lebih tinggi. Posisi
anteroposterior mempunyai keberhasilan lebih tinggi dibandingkan posisi anterolateral.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah tromboemboli (1-2 %) dan aritmia pascakardioversi.

54
Pemberian obat antiaritmia (amiodaron) sebelum kardioversi, meningkatkan keberhasilan
konversi irama AF ke irama sinus.16

87. Ablasi atrium kiri

Ablasi frekuensi radio (AFR) mempunyai keberhasilan 85% dalam 1 tahun pertama
dan 52% dalam 5 tahun. AFR direkomendasikan pada pasien AF yang masih simptomatik
meskipun telah dilakukan terapi medikamentosa optimal atau pasien memilih strategi kendali
irama karena menolak mengkonsumsi obat antiaritmia seumur hidup. Strategi AFR adalah
isolasi elektrik pada antrum VP dan AFR focus ektopik. Beberapa efek samping seperti
tromboemboli, stenosis VP, fistula atrioesofageal, tamponade dan cedera saraf frenicus dapat
terjadi. Ablasi frekuensi radio direkomendasikan pada pasien dengan AF simptomatik yang
refrakter atau intoleran dengan > 1 obat antiaitmia golongan 3 (amiodaron).16

Gambar 13. Indikasi Ablasi

88. Ablasi dan modifikasi nodus atrioventrikular (NAV)

Ablasi ini dilanjutkan dengan pemasangan pacu jantung permanen merupakan terapi
efektif untuk mengontrol respon ventrikel pada pasien AF. Ablasi NAV adalah prosedur yang
irreversible sehingga hanya dilakukan pada pasien dimana kombinasi terapi gagal
mengontrol denyut atau strategi kendali irama dengan obat atau ablasi atrium kiri tidak
berhasil dilakukan.

55
1. 3 VENTRIKEL EXTRASYSTOLE (VES)

2. 3. 1 Definisi

Gambar 14. Rekaman EKG Ventrikel Extrasistole

Premature Ventrikel Contraction atau Ventrikel Extrasistol merupakan suatu beat


premature yang fokusnya berasal dari ventrikel. Focus yang berasal dari ventrikel,
mengakibatkan beat PVC tidak diawali oeh gelombang P dan memiliki gelombang QRS
yang lebar. Ciri khas beat premature adalah focus ektopik muncul sebelum SA node
mengeluarkan impuls. PVC/VES disebabkan oleh keadaan anxietas, penggunaan obat
perangsang simpatis, kelebihan kafein, gangguan elektrolit, dan iskemia miokardium.13

Karakteristik EKG PVC/VES :

89. Beat PVC/VES selalu premature, yaitu muncul sebelum gelombang QRS dari
SA node.

90. Beat PVC/VES mempunyai gelombang QRS yang lebar

91. Setelah terjadi PVC/VES, akan tampak full compensatory pause (pause setelah
PVC/VES sama dengan 2x interval R-R sebelumnya)

92. Gelombang P retrograde kadang-kadang dapat terlihat akibat AV conduction.

Lokalisasi asal focus PVC/VES:

93. Mempunyai bentuk gambaran seperti RBBB bila focus berada pada ventrikel kiri

56
94. Mempunyai bentuk gambaran seperti LBBB bila focus berada pada ventrikel
kanan

1. 3. 2 Klasifikasi VES

Berdasarkan bentuk :

95. VES unifokal /uniform : hanya satu morfologi VES

96. VES multifocal/multiform : lebih dari atau sama dengan dua morfologi VES

Gambar 15. Klasifikasi bentuk VES

Berdasarkan pola :

97. VES bigemini : tiap beat berikutnya merupakan VES

98. VES trigemini : tiap dua beat berikutnya merupakan VES

99. VES quadrigemini : tiap tiga beat berikutnya merupakan VES

57
100. VES couplet : dua VES yang terjadi berturut-turut secara konsekutif

101. VES triplet : tiga VES yang terjadi berturut-turut secara konsekutif )>3x
berturut-turut disebut Ventrikel Tachycardia)

1.

2.

3.

58
4.
Gambar 16. Klasifikasi pola VES

Berdasarkan frekuensi :

102. Frequent VES : VES yang terjadi >5 kali dalam semenit

103. Infrequent VES : VES yang terjadi <5 kali dalam semenit

DAFTAR PUSTAKA

1. McMurray JJ, Adamopoulus S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M, Dickstein K,et all.
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure:
The task force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012
of the European Society of Cardiology. European Heart Journal. 33. Pp:1787-847

59
2. Pfister R, Schneider CA. ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008: application of natriuretic peptides. European Heart
Journal. Vol, 30. Issue 3. 2009. Pp:382-83.

3. McBride BF, White M. acute Decompensated Heart Failure: Pathophysiology.


Journal of Medicine. 2010. http://www.medscape.com/viewarticle/459179_3

4. Pinto DS, Lewis S. pathophysiology of acute decompensated heart failure. In: Basow
DS, ed. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate: 2012.

5. Forrester JS, Diamond G, Chatterjee K, et al. Medical therapy of acute myocardial


indaction by application of hemodynamic subsets. N Engl J Med. 1976;295:1356-62.

6. Michael M, Givertz, John R, et al. acuted Decompensated Heart Failure: Update on


New and Emerging Evidence and Directions for Future Research. Journal of Cardiac
Failure. Vol, 19 no. 6. 2013. Pp: 378-79.

7. Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, et al. Focused update incorporated into the
ACC/AHA 2005 Guidelines for the diagnosis and management of heart failure in
adults: a report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Pratice Guideline. Circulation. 2009; 119; e391-479.

8. Abraham WT, Adams KF, Fonarow GC, et al. In-hospital mortality in patients with
acute decompensated heart failure requiring intravenous vasoactive medications: an
analysis from the Acute Decompensated Heart Failure National Registry
(ADHERE). J am Coll Cardiol. 2005; 46:57-64.

9. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-thoracic S, Camm AJ,


et al. guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the
Management of Atrial Fibrillation of the European Societ of Cardiology (ESC).
Europace : European pacing, arrhythmias, and cardiac electrophysiology : journal of
the working groups on cardiac pacing, arrhythmias, and cardiac cellular
electrophysiology of the European Society of Cardiology 2010;12:1360-420

60
10. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S, Camm AJ,
et al. guidelines for the management of atial fibrillation: the Task Force for the
management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC).
European heart journal 2010;31:2369-429.

11. Moe GK, Rheinboldt WC, Abildskov JA. A Computer Model of Atrial Fibrillation.
American heart journal. 1964;67:200-20.

12. Atrial Fibrillation Clinical Presentation. 2013. (Accessed July 2018, at


http;//emedicine.medscape.com/article/151066-clinical)

13. Pakpahan HA, Juwana YB, Tobing DP, et. al. Elektrokardiografi dalam
kegawatdaruratan. PERKI JAYA. 2017.hal: 46-48.

14. Camm AJ, Lip GY, et. al 2012. Focused update of the ESC. Guideline for the
management of atrial fibrillation: an update of the 2010 ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation. Development with the special contribution of the
European Heart Rhythm Association. European heart journal. 2012;33;2719-47

15. Practical rate and Rhythm Management of atrial Fibrillation. heart Rhythm Society.
2010

16. Frick M, Frykman V, Jensen-Urstad M. Factors predicting success rate and


recurrence of atrial fibrillation after first electrical cardioversion in patients with
persistent atrial fibrillation. Clinical Cardiology. 2001:24:238-44.

61

Anda mungkin juga menyukai