Anda di halaman 1dari 18

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fitosom merupakan salah satu bahan aktif yang dapat dijadikan model obat
adalah ekstrak bawang putih (Allium sativum L). Karena bawang putih (Allium
sativum L) memiliki khasiat antidiabetes. Alasan ekstrak bawang putih (Allium
sativum L) dibuat dalam bentuk fitosom adalah karena penetrasi yang baik
karena fitosom merupakan suatu kompleks yang terbentuk antara fitokonstituen
dengan fosfolipid yang memiliki sifat mirip dengan membran sel dimana
fosfolipid memiliki kepala yang bersifat polar dan bagian ekor yang bersifat
nonpolar. Fosfolipid yang sering digunakan dalam pembuatan fitosom adalah
fosfatidilkolin. Nano-fitosom dibuat dengan mencampurkan fitokonstituen
dengan fosfatidilkolin pada perbandingan molar tertentu (biasanya 1:1 hingga
1:3), sehingga akan menghasilkan suatu kompleks yang ikatannya lebih kuat
karena 1 molekul fitokonstituen akan diikat oleh 1 molekul fosfatidilkolin.
Metode yang dapat digunakan dalam pembuatan nano-fitosom antara lain
metode solvent evaporation, refluks, salting out, dan liofilisasi. (Freag MS, et
al.). Tujuan dibuatnya fitosom untuk memperkecil ukuran pertikel sehingga
meningkatkan penetrasi obat meningkat.
The World Health Organization Expert Committe on Diabetes telah
merekomendasikan bahwa ramuan obat tradisional dapat diteliti lebih lanjut
untuk pengobatan diabetes seperti di Asia, Eropa, dan Timur Tengah. Beberapa
senyawa bioaktif utama bawang putih kelompok allil sulfida, allil sistein, serta
senyawa alliin dan allisin yang dipercaya sebagai anti diabetes. Penggunaan
bawang putih secara langsung menimbulkan rasa kurang menyenangkan
sehingga perlu diformulasikan dalam bentuk sediaan. Permasalahan
penggunaan bahan alam sebagai bahan aktif dalam suatu bentuk sediaan adalah
rendahnya bioavailabilitas. Hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan
rancangan penghantaran yang sesuai sehingga bahan alam tersebut dapat
dihantarkan pada dosis yang tepat untuk bisa menghasilkan efek yang
diinginkan.
Salah satu faktor penting dalam formulasi gel adalah gelling agent. Gelling
agent bermacam-macam jenisnya, misalnya turunan dari selulosa seperti metil
selulosa, carboxy metil selulosa (CMC), hidroxy propil methyl celulosa
(HPMC), dan ada juga yang berasal dari polimer sintetik seperti carbopol.
Masing-masing gelling agent memiliki karakterisik tersendiri. Pada penelitian
kali ini menggunakan natruium carboxy metal selulosa (Na-CMC). Menurut
Fardiaz et al. (1987), CMC Na memiliki sift fungsional pengental, stabilisator,
pembentuk gel dan dalam beberapa kasus sebagai pengemulsi. Di dalam sistem
emulsi hidrokoloid Na-CMC tidak berfungsi sebagai pengemulsi tapi lebih
berfungsi sebagai stabilisator. Dibuat dalam sediaan gel tujuannya untuk
meningkatkan viskositas agar penetrasi lebih optimal.
2

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka pada penelitian ini akan


dilakukan formulasi gel dengan basis Na-CMC pada fitosom ekstrak bawang
putih (Allium sativum L.). Serta dilakukan juga pegujian penetrasi ekstrak
bawang putih yang dibawa fitosome secara in vitro menggunakan Sel difusi
Franz.

1.2 Permasalahan
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah formulasi dan
profil difusi fitosome ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) dalam sediaan
gel yang menggunakan Na CMC sebagai gelling agent?

1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi dan profil difusi
sediaan gel fitosome ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) yang
menggunakan Na CMC sebagai gelling agent.

1.4 Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai
formulasi dan profil difusi sediaan gel fitosome ektrak bawang putih yang
menggunakan Na CMC sebagai gelling agent.

1.5 Luaran
Publikasi jurnal nasional

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bawang Putih


Bawang putih termasuk dalam familia Liliaceae (Becker dan
Bakhuizen van den Brink, 1963). Tanaman ini memiliki beberapa nama lokal,
yaitu, dason putih (Minangkabau), bawang bodas (Sunda), bawang (Jawa
Tengah), bhabang poote (Madura), kasuna (Bali), lasuna mawura (Minahasa),
bawa badudo (Ternate), dan bawa fiufer (Irian Jaya) (Santoso, 2000; Heyne,
1987).
Bawang putih umumnya tumbuh di dataran tinggi, tetapi varietas tertentu
mampu tumbuh di dataran rendah. Tanah yang bertekstur lempung berpasir
atau lempung berdebu dengan pH netral menjadi media tumbuh yang baik.
Lahan tanaman ini tidak boleh tergenang air. Suhu yang cocok untuk budidaya
3

di dataran tinggi berkisar antara 20–25OC dengan curah hujan sekitar 1.200–
2.400 mm pertahun, sedangkan suhu untuk dataran rendah berkisar antara 27–
30OC (Santoso, 2000).
Metabolit sekunder yang terkandung di dalam umbi bawang putih
membentuk suatu sistem kimiawi yang kompleks serta merupakan mekanisme
pertahanan diri dari kerusakan akibat mikroorganisme dan faktor eksternal
lainnya. Sistem tersebut juga ikut berperan dalam proses perkembangbiakan
tanaman melalui pembentukan tunas (Amagase et al., 2001).
Sebagaimana kebanyakan tumbuhan lain, bawang putih mengandung lebih
dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi sangat berguna (Challem,
1995). Senyawa ini kebanyakan mengandung belerang yang bertanggung
jawab atas rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang putih (Ellmore dan
Fekldberg, 1994).
Mekanisme penurunan kadar glukosa darah oleh ekstrak bawang putih
masih belum diketahui secara jelas. Senyawa yang berperan telah diketahui
yakni allisin dan alliin (Augusti, 1975; Sheela et al., 1995). Kemungkinan
masih terdapat senyawa lain yang juga mampu menurunkan kadar glukosa
darah pada diabetes mellitus. Allisin dan alliin mampu menjadi agen anti-
diabetes dengan mekanisme perangsangan pankreas untuk mengeluarkan
sekret insulinnya lebih banyak (Banerjee dan Maulik, 2002).

Gambar 1. Struktur Alliin

Para pakar kesehatan secara konsisten melakukan penggalian informasi


khasiat bawang putih melalui penelitian farmakologi laboratoris yang
sistematis (Rukmana, 1995). Tahapan pengujian, penelitian, dan
pengembangan secara sistematis perlu dilakukan agar pemanfaatan dan khasiat
bawang putih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Budhi, 1994),
bukan sekedar pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun. Pembuatan
catatan atau dokumentasi ilmiah atas hasil penelitian tersebut dilakukan agar
dapat terus dimanfaatkan dan dikembangkan oleh generasi di masa depan.
Penelitian farmakologi tentang bawang putih telah banyak dilakukan, tidak
hanya secara in vivo (dengan hewan percobaan) tetapi juga in vitro (dalam
tabung kultur).
4

2.2 Fitosom
Fitosom merupakan suatu teknologi yang dikembangkan dari pembuatan
obat dan nutraceutical, untuk menggabungkan ekstrak dari tanaman yang larut
didalam fitokonstituen ke dalam fosfolipid untuk membentuk kompleks
molekul lipid (Jain et al., 2010).
Keuntungan dari phytosome antara lain dapat meningkatkan kelarutan dari
senyawa fitokonstituen dalam lemak baik secara oral maupun secara topikal,
dan secara signifikan dapat meningkatkan manfaat terapeutiknya. Selain itu
juga dapat meningkatkan absorbsi senyawa aktif dan dimana ikatan kimia
antara fosfatidilkolin dan fitokonstituen menunjukkan stabilitas yang baik
(Sharma and Roy, 2010).
Perbedaan antara fitosom dan liposom, liposom dibentuk dengan
mencampurkan senyawa polar dengan fosfatidilkolin secara pasti dalam rasio
dan kondisi tertentu. Pada proses ini tidak ada ikatan kimia yang terbentuk,
molekul fosfatidilkolin hanya mengelilingi senyawa polar. Mungkin ada
ratusan atau bahkan ribuan molekul fosfatidilkolin di sekitar senyawa polar.
Sebaliknya, fitosom membentuk kompleks molekul saat mencampurkan
fosfatidilkolin dengan komponen tanaman dengan perbandingan 1: 1 atau 2: 1
tergantung pada kompleks zat yang melibatkan ikatan kimia. Perbedaan ini
menjadikan fitosom menjadi jauh lebih baik daripada liposom karena
menunjukkan bioavailabilitas yang lebih baik.

Gambar 2. Struktur Fitosom

2.3 Komponen Pembentuk Fitosom


2.3.1 Fosfolipid
Fosfolipid merupakan kompleksitas gliserida dengan modifikasi hidroksil
termasuk dengan gugus kepala polar membentuk fosfolipid. Fosfolipid
diturunkan namanya dari gugus fosfat terikat pada salah satu hidroksil terminal
akhir dari gliserol. Gugus fosfat yang bermuatan juga selaku jembatan antara
5

kerangka gliserol dan gugus kepala selanjutnya. Karena sifat amfifatiknya,


fosfolipid digunakan sebagai agen pengemulsi dan pendispersi.
Fosfolipid yang utama dalam lesitin kedelai adalah fosfatidilkolin,
fosfatidiletanol amin, dan fosfatidilinositol (Szuhaj, 2005). Lesitin berbentuk
setengah dan bubuk, tergantung pada kandungan asam lemak bebas. Berwarna
dari coklat untuk menyalakan kuning, tergantung pada derajat kemurnian
lesitin, praktis tidak berbau, memiliki rasa hambar atau seperti minyak
kedelai.(Rowe et al., 2009)

Gambar 3. Struktur lecithin (Rowe,et al.,2009)

2.3.2 Etanol
Pelarut etanol dan larutan etanol – air dengan berbagai konsentrasi
yang banyak digunakan dalam sediaan farmasi dan kosmetik. Meskipun
etanol sering digunakan sebagai pelarut, etanol juga digunakan sebagai
disinfektan, dan bahan pengawet. Secara topical larutan etanol digunakan
dalam pengembangan pengiriman obat transdermal sistem sebagai peningkat
penetrasi. Etanol juga telah digunakan dalam pengembangan persiapan
transdermal sebagai co-surfaktan.

Gambar 4. Struktur etanol (Rowe, et al.,2009)


6

2.4 Gel
Gel merupakan sistem semi padat yang terdiri dari suspensi yang dibuat
dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi
oleh suatu cairan (Anonim, 1995). Sediaan dalam bentuk gel lebih banyak
digunakan karena memberikan rasa dingin di kulit, mudah mengering
membentuk lapisan film yang mudah dicuci. Berdasarkan komposisinya, dasar
gel dapat dibedakan menjadi dasar gel hidrofobik dan dasar gel hidrofilik
(Ansel, 1989). Dasar gel hidrofobik antara lain petrolatum, plastibase,
alumunium stearat, carbowax sedangkan dasar gel hidrofilik antara lain
bentonit, veegum, silika, pektin, tragakan, metil selulosa, carbomer (Allen,
2002).

Salah satu faktor penting dalam formulasi gel adalah gelling agent.
Gelling agent bermacam-macam jenisnya, biasanya berupa turunan dari
selulosa seperti carboxy metil selulosa (CMC). CMC-Na merupakan pengikat
hidrogel yang dapat menyerap air dan Karbomer merupakan pengikat sistem
satu fase yang tidak menyerap air tetapi mengembang dalam air. Bahan pengikat
memiliki sifat karakteristik dan daya kekentalan yang berbeda. Oleh karena itu
CMC-Na dilakukan dengan berbagai variasi konsentrasi untuk melihat gel yang
baik terhadap bahan pengikat tersebut. (Menurut Fardiaz et al. 1987).

Na-CMC merupakan zat dengan warna putih atau sedikit kekuningan,


tidak berbau dan tidak berasa, berbentuk granula yang halus atau bubuk yang
bersifat higroskopis (Inchem, 2002). Na - CMC ini mudah larut dalam air panas
maupun air dingin. Pada pemanasan dapat terjadi pengurangan viskositas yang
bersifat dapat balik (reversible). Viskositas larutan CMC dipengaruhi oleh pH
larutan, kisaran pH Na-CMC adalah 5-11 sedangkan pH optimum adalah 5, dan
jika pH terlalu rendah (<3), Na-CMC akan mengendap (Anonymous.2004).

Na-CMC akan terdispersi dalam air, kemudian butir-butir Na-CMC


yang bersifat hidrofilik akan menyerap air dan terjadi pembengkakan. Air yang
sebelumnya ada di luar granula dan bebas bergerak, tidak dapat bergerak
lagidengan bebas sehingga keadaan larutan lebih mantap dan terjadi
peningkatan viskositas (Fennema, Karen andLund, 1996). Ada empat sifat
7

fungsional yang penting dari Na-CMC yaitu untuk pengental, stabilisator,


pembentuk gel dan beberapa hal sebagai pengemulsi (Fardiaz, dkk 1987).

2.4.1 Sifat Fisika Dan Sifat Kimia Na-CMC


a. Sifat Fisika
Nama Lokal
BP : Carmllose sodium
JP : Carmllose sodium
USPNF : Carmllosum natricum
PhEur : Carboxymethylcellulose sodium
Sinonim : Akuacell; Aquasorb;Blanose; cellulose gum; CMC
sodium; E466; Finnfix; nymcel;SCMC; sodium.

Nama Kimia dan Nomer Registrasi CAS :

Cellulose, carboxymethyl ether, sodium salt [9004-32-4]

Rumus Empiris dan Berat Molekul


USP mendeskripsikan sodium karboksimetilselulosa merupakan garam
sodium yang berasal dari sebuah polikarboksimetil eter selulosa. Berat
molekulnya adalah 90000-700000.

Kategori Fungsional: Sebagai agen penyalut, agen stabilitas, suspending


agen, tablet dan kapsul disintegran tablet pengikat, agen pengabsorbsi air.

Ketebalan : 0.52 g/cm3


Konstanta Disosiasi : pKa = 4.30
Titik Cair : kecoklatan pada kira – kira 227o C
Muatan Cairan : Dapat dianggap sebagai cirinya berisi air kurang dari 10 %.
Tetapi Sodium CMC meupakan higroskopik dan artinya menyerap air
sebanyak temperatur diatas 37o C yang relatif basah sekitar 80 %.
Viskositas : Tingkatan atau Sodium CMC yang tersedia dalam perdagangan
memiliki perbedaan kekentalan cairan, solut cairan 1 % b/v dengan
kekentalan 5 – 13000 mPas (5 – 13000 cP) kemungkinan mampu tercapai.
Sebuah peningkatan konsentrasi menghasilkan peningkatan pada kekentalan
8

solut cairan, memperpanjang pemanasan pada temperatur tinggi mampu


mempermanen penurunan kekentalan. Viskositas solut Sodium CMC dapat
stabil dengan baik pada rentang pH 4 – 10. Jauhnya pH optimum adalah
netral.
Inkompatibilitas
Sodium CMC inkompatibilitas dengan kuat pada larutan asam dengan
beberapa garam besi dan beberapa logam atau baja, beberapa aluminium,
merkuri dan besi. Namun dapat terjadi pada pH kurang dari 2 dan juga ketika
dikocok dengan etanol 95%. Sodium CMC berbentuk kompleks dengan
gelatin dan pektin. Sodium CMC juga dapat kompleks dengan kolagen dan
mengandung beberapa protein.
Kelarutan : praktis larut dalam aseton, etanol 95%, eter dan toluen. Air
mudah didispersi pada semua suhu, pada bentuk yang murni, pada solut
koloid. Kelarutan caiaran bermacam – macam tergantung derajat substitusi
(DS)

b. Sifat Kimia
Bersifat Irittan atau dapat menimbulkan gejala iritasi. Dapat
menyebabkan reaksi alergi pada kulit , menyebabkan gangguan mata berat,
berbahaya jika terhirup, dapat menyebabkan iritasi pernafasan, dan
berbahaya terhadap kehidupan air dengan dampak jangka panjang

2.5 Difusi
Difusi bebas atau transpor pasif suatu zat melalui cairan, zat padat,atau
melalui membran adalah salah satu proses yang sangat penting dalam ilmu
farmasi (Martin,1983). Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan
massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekuler secara acak dan
berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu
batas, misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk
menyelidiki proses difusi (Martin, 1983).
9

2.5.1 Sel Difusi Franz

Studi penetrasi kulit secara in vitro dilakukan dengan mengukur kecepatan


dan jumlah komponen yang menembus kulit dan jumlah komponen yang tertahan
pada kulit. Sel difusi Franz adalah suatu sel difusi tipe vertikal untuk mengetahui
penetrasi zat secara in vitro.(Martin, 1983).

2.5.2 KOMPONEN SEL DIFUSI FRANZ


Sel difusi Franz mempunyai komponen berupa:
a. Kompartemen Donor.
Berisi zat yang akan diuji penetrasinya.
b. Kompartemen Reseptor.
Kompartemen reseptor diisi dengan larutan penerima. Berisi cairan
berupa air atau dapar fosfat pH 7,4 yang mengandung albumin. Fungsi
albumin yaitu untuk meningkatkan kelarutan zat yang sukar larut dalam
cairan kompartemen reseptor yang digunakan.

Cairan di kompartemen reseptor perlu diaduk secara optimal dan efisien


untuk menjamin cairan dalam kompartemen reseptor homogen.
Volume kompartemen reseptor 2-10 ml dan luas yang terpapar
membran sebesar 0,2-2 cm2. Dimensi sel difusi harus diukur secara
akurat karena berkaitan dengan perhitungan kadar zat.

Kondisi di kompertemen reseptor yang ideal harus bisa untuk


memfasilitasi penetrasi zat seperti pada keadaan in vivo. Konsentrasi
zat di kompartemen reseptor seharusnya tidak boleh melebihi 10%
konsentrasi zat untuk mencapai kejenuhan. Konsentrasi zat di
kompartemen reseptor yang tinggi dapat menyebabkan penurunan laju
penetrasi. Suhu pada sel dijaga dengan sirkulasi air menggunakan water
jacket disekeliling kompartemen reseptor.
c. Tempat Pengambilan Sampel.
Tempat pada sel difusi Franz untuk mengambil cairan dari
kompartemen reseptor dengan volume tertentu.
10

d. Cincin O.
Diantara kompartemen donor dan kompartemen reseptor diletakkan
membran yang digunakan untuk sel difusi Franz. Cincin O menjaga
posisi membran supaya tidak berubah. Membran yang digunakan dapat
berupa membran sintesis, membran kulit manusia atau membran kulit
hewan (dihilangkan bulu dan lapisan lemak subkutannya).
e. Water Jacket.
Berfungsi untuk menjaga temperatur tetap konstan selama sel difusi
Franz dioperasikan.

2.6 RSM
RSM adalah kumpulan statistik dan matematika teknik yang berguna untuk
mengembangkan, meningkatkan, dan mengoptimalkan proses, di mana respon
dipengaruhi oleh beberapa faktor (variabel independen). Response Surface
Methodology (RSM) tidak hanya mendefinisikan pengaruh variabel independen,
tetapi juga menghasilkan model matematis, yang menjelaskan proses kimia atau
biokimia. Gagasan utama dari metode ini adalah mengetahui pengaruh variabel
bebas terhadap respon, mendapatkan model hubungan antara variabel bebas dan
respon serta mendapatkan kondisi proses yang menghasilkan respon terbaik. Di
samping itu, keunggulan metode RSM ini di antaranya tidak memerlukan data-data
percobaan dalam jumlah yang besar dan tidak membutuhkan waktu lama. RSM
merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistik yang digunakan untuk
modeling dan menganalisis masalah, dimana beberapa variabel mempengaruhi
sebuah respons, tujuannya untuk mengoptimalkan respons tersebut.17 Keuntungan
menggunakan metode RSM yaitu lebih cepat dan informatif dibanding dengan
pendekatan satu variabel klasik atau desain faktorial lengkap. Dengan metode RSM
dapat diketahui bagaimana kombinasi kondisi proses ekstraksi yang baik untuk
mendapatkan kadar total fenol yang optimal. Selain itu dengan metode RSM dapat
mengetahui pengaruh interaksi antar variabel (Iriawan & Astuti, 2006).
11

BAB 3. METODELOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu


Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Farmasi Fisik, Laboratorium
Fitokimia, Laboratorium Farmasetika, Laboratium Analisa Farmasi,
Laboratorium Instrumentasi, Laboratorium Biofarmasetika Fakultas Farmasi
dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof.DR.Hamka.

3.2 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Spektrofotometer
UV-1601, pHmeter, Neraca Analitik, Ultra Sentrifugasi, Pengaduk Magnetik,
vacuum rotary evaporator, lemari pendingin, Sel Difusi Franz dengan volume
14 ml, thermostat syringe, Frourier-Transform Infrared Spectrofotometer
(FTIR), Particle Size Analyzer (PSA), Transmission Electron Microscopy
(TEM), waterbath.

Bahan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini meliputi : Bawang Putih,
Ethanol, Lechyitin, Aqua dest, dan, dapar fosfat, Na-CMC, membran tikus.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan Ekstrak Bawang Putih


Bawang putih dibeli dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro)
Kota Bogor, Jawa Barat. Bawang putih kering (sekitar 100 g) diekstraksi
dengan etanol 80% sebanyak 300 ml dalam Soxhlet pada suhu 65°C selama 72
jam. Setelah ekstraksi, pelarutnya disaring lalu diuapkan oleh Rotari
Evaporator. Ekstrak yang diperoleh disimpan pada suhu 20°C.

3.3.2 Parameter Spesifik dan non Spesifik Ekstrak


1. Organoleptis
Pengamatan organoleptis dilakukan setelah 24 jam dari sediaan dibuat yang
meliputi pengamatan terhadap bentuk, warna, dan bau pada suhu kamar.
Bentuk dilihat dari sediaan yang mampu mengalir dalam wadah. Warna
dilihat dengan latar belakang kertas putih disertai dengan penerangan
lampu. Bau dicium dengan cara dikibaskan diatas sedian yang telah jadi.

2. Kadar Abu
12

Sampel yang digunakan adalah hasil dari analisis kadar air. Kemudian
sampel yang berada di cawan diarangkan di sebuah kompor listrik hingga
tidak mengeluarkan asap. Cawan porselen berisi sampel yang sudah
diarangkan dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600oC selama 6 jam
hingga proses pengabuan sempurna. Cawan porselen berisi abu
dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 C selama 1 jam, kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang (d). Tahapan ini dilakukan
hingga mencapai bobot yang konstan (Winarno, 2014). Kadar abu dihitung
dengan rumus:

Kadar abu (%) = (d-a )/(b-a) x100%

3. Kadar Air
Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan
di dinginkan dalam desikator selama 10 menit untuk cawan aluminium,
lalu cawan kering ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dengan
cepat kadalam cawan kering, kemudian dihomogenkan. Tutup cawan
dibuka, cawan sampel di keringkan dalam oven suhu 1000C-1050C selama
3 jam. Cawan diletakkan secara seksama agar tidak menyentuh dinding
oven. Cawan yang berisi sampel dipindahkan kedalam desikator, ditutup
dengan penutup cawan, didinginkan lalu ditimbang kembali. Lalu dihitung
kadar air dengan rumus (Winarno,2014).

% Kadar air = bobot contoh-bobot setelah kering x 100%


bobot contoh

4. Susut Pengeringan
Susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap suatu zat kecuali
dinyatakan lain , suhu penetapan adalah 105oC , keringkan pada suhu
penetapan hingga bobot tetap. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu
penetapan, pengeringan dilakukan pada suhu antara 5oC dan 10oC dibawah
suhu leburnya selama 1 jam sampai 2 jam, kemudian pada suhu penetapan
selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot tetap (Anonim,2013).
13

3.3.3 Pembuatan Fitosom


Fitosom dibuat dengan mengomplekskan fosfolipid dengan ekstrak bawang
putih dengan beberapa variasi perbandingan dan dengan pengadukan secara
terus menerus menggunakan teknik penguapan pelarut hingga diperoleh
lapis tipis. Kemudian lapis tipis tersebut dihidrasi dengan menggunakan
dapar pospat pada suhu 65˚C Suspensi fitosomal yang dihasilkan disimpan
pada suhu kamar. Rancangan formula fitosom ekstrak bawang putih dapat
dilihat pada Tabel.

Tabel 1. Rancangan Formula Fitosom Ekstrak Bawang Putih


Formula (%)
No. Bahan
F1 F2 F3
Ekstrak Bawang
1. 0,25 0,25 0,5
Putih
2. Lechitin 0,25 0,5 0,25
3. Dapar fosfat 100 100 100

3.3.4 Evaluasi Fitosom


1. Viskositas
Viskositas sangat penting dalam kemampuan menyebar formulasi pada
kulit, Viskositas formula fitosom ditentukan dengan menggunakan
Viscometer Brookfield Digital.
2. Ukuran partikel
Ukuran partikel menggunakan PSA (Particle Size Analyzer). Larutan
aquades digunakan sebagai baseline, kemudian sebanyak 10 mL. sampel
dimasukan kedalam kuvet kemudian kuvet tersebut dimasukan ke dalam
PSA. Alat diatur sesuai prosedur penelitian, setelah itu akan terukur
partikel gobul-gobul fitosom. Data yang diperoleh kemudian disimpan.
3. TEM
Tahap pengerjaan TEM adalah dengan meneteskan sampel pada coated
cumprum grid sebanyak satu tetes sampai terbentuk lapisan tipis
kemudian ditambahkan satu tetes phosphotungstic 1%. Selanjutnya
sampel dikeringkan dan diamati bentuk vesikelnya (Ratnasari et al.,
2016).

3.3.5 Pembuatan Gelling Agent

Gelling agent yang diguanakan adalah Na-CMC dengan konsentrasi


menurut Handbook of exipiens (HOPE) adalah Gel-forming agent 3.0–6.0
%. Na-CMC dibuat dengan cara di kembangkan selama 24 jam.
14

Menggunakan aquadest kemudian Na-CMC di taburkan dan diletakkan


diruang tertutup dan terhindar dari cahaya matahari langsung.

Tabel. 2 Rancangan Formula Gelling Agent Na-CMC

Formula (%)
No. Bahan
F1 F2 F3
Fitosom Bawang
1. 0,25 0,25 0,5
Putih
2. Na-CMC 3,5 4,5 6,0
3. Aquadest 100 100 100

3.3.6 Evaluasi Gel Fitosom


1. PH
Caranya: elektroda dicuci dan dibilas dengan air suling, keringkan.
Kalibrasi alat dengan menggunakan larutan dapar standar pH 4 dan pH
7. Elektroda dimasukkan ke dalam mikroemulsi, dicatat pHnya.
2. Viskositas
Viskositas sangat penting dalam kemampuan menyebar formulasi pada
kulit, Viskositas formula fitosom ditentukan dengan menggunakan
Viscometer Brookfield Digital.
3. Evaluasi morfologi
Evaluasi bentuk morfologi atau bentuk fisik fitosom ekstrak bawang
putih dilakukan dengan menggunakan TEM (Transmission Electron
Microscopy). Tahap pengerjaan TEM adalah dengan meneteskan
sampel pada coated cumprum grid sebanyak satu tetes sampai terbentuk
lapisan tipis kemudian ditambahkan satu tetes phosphotungstic 1%.
Selanjutnya sampel dikeringkan dan diamati bentuk vesikelnya
(Ratnasari et al., 2016).
4. Distribusi Ukuran Partikel
Distribusi ukuran partikel menggunakan PSA (Particle Size Analyzer).
Larutan aquades digunakan sebagai baseline, kemudian sebanyak 10
mL. sampel dimasukan kedalam kuvet kemudian kuvet tersebut
dimasukan ke dalam PSA. Alat diatur sesuai prosedur penelitian, setelah
itu akan terukur partikel gobul-gobul fitosom. Data yang diperoleh
kemudian disimpan.
15

5. Zeta Potensial
Zeta Potential adalah parameter muatan listrik antara partikel koloid.
Makin tinggi nilai potensial zeta maka akan semakin mencegah
terjadinya flokulasi (peristiwa penggabungan koloid dari yang kecil
menjadi besar). Dengan mengurangi nilai potensial zeta maka
memungkinkan partikel untuk saling tarik menarik dan terjadi
flokulasi. Ada beberapa macam fenomena elektrokinetik ini,
diantaranya ialah elektroosmosis, elektrokinetik, potensial aliran, dan
potensial sedimentasi.

4 Efisiensi Penyerapan
1. Penentuan panjang gelombang maksimum Bawang Putih dan kurva
kalibrasi dengan spektrofotometer UV-VIS
Standar Bawang putih ditimbang sebanyak 50,0 mg dengan
seksama, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 ml. Pelarut
metanol digunakan untuk melarutkan Alliin. Metanol ditambahkan hingga
garis batas labu tentukur, kocok hingga homogen (dihasilkan bawang putih
standard 1000 ppm). 1,0 ml larutan Alliin standard 1000 ppm dipipet
dengan menggunakan pipet volume, kemudian dimasukkan ke dalam labu
tentukur 100,0 ml. Metanol ditambahkan hingga garis batas labu tentukur,
sehingga dihasilkan larutan Alliin standard dengan konsentrasi 10 ppm.
Spektrofotometer diatur pada panjang gelombang 400 nm sampai dengan
700 nm. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam kuvet untuk dibaca
spektrumnya dengan alat spektrofotometer, sehingga diperoleh panjang
gelombang maksimum Alliin.
Setelah itu larutan standard 10 ppm dipipet 1,0 ml, 2,0 ml, 3,0 ml,
4,0 ml, 5,0 ml, dan 6,0 ml dan dituangkan masing-masing kedalam labu
tentukur 10,0 ml, lalu dicukupkan volumenya dengan metanol, kocok
homogen. Kemudian setiap ppm bawang putih standard diukur serpannya
dengan alat spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum.
Serapan yang diperoleh dan konsentrasi bawang putih tiap serapan
diplotkan untuk menghasilkan kurva kalibrasi, kemudian ditarik ditentukan
persamaan regresi linearnya (y= a + bx)

2. Efisiensi penyerapan Fitosom


Efisiensi penjerapan dilakukan dengan metode ultra sentrifugasi
untuk memisahkan zat aktif yang terjerap dan tidak terjerap dalam fitosom
pada kecepatan 6000 rpm selama 2 jam. Diambil sedimen
dansupernatannya untuk mengukur kadar kurkumin yang terjerap dan
tidak terjerap dalam vesikel fitosom. Sejumlah 1 ml dicukupkan
16

volumenya dengan metanol hingga 10 ml, larutan yang di peroleh diukur


absorbansi menggunakan spektrofotometer UV-VIS (Shaji et al.2014).

(𝑄𝑡 − 𝑄𝑠)
%EE = ( ) . 100
𝑄𝑡
EE adalah efisiensi penjerapan, Qt adalah jumlah teoritis bawang putih yang
ditambahkan, dan Qs adalah jumlah bawang putih yang terdeteksi di
supernatan (Suryani et al., 2014).

5 Uji Difusi
Uji difusi fitosom ekstrak bawang putih dilakukan secara in vitro
menggunakan Sel Difusi Franz. Kemudian dilakukan perhitungan jumlah
kumulatif yang terpenetrasi per satuan waktu (μg/cm2) dengan rumus: Uji laju
difusi dilakukan dengan menggunakan metode flow-through yang
dimodifikasi dari sel difusi franz yang terdiri dari sel difusi, pompa peristaltik,
pengaduk, gelas piala, tangas air penampung reseptor, termometer, dan selang.
Formula uji diukur 1 gram kemudian diratakan di atas membran yang telah
diimpregnasi secara merata dan tipis. Suhu sistem 37 ± 1oC dengan dapar
fosfat pH 7,4. Pompa peristaltik akan menarik cairan reseptor dari gelas kimia,
kemudian dipompa ke sel difusi. Kemudian cairan dialirkan langsung ke
reseptor, proses dilakukan selama 8 jam, cuplikan diambil dari cairan reseptor
dalam gelas kimia sebanyak 10,0 ml dan setiap pengambilan dilakukan dengan
penggantian larutan dapar fosfat pH 7,4 sebanyak 10,0 ml. pengambilan
cuplikan dilakukan pada menit 10. Cuplikan diukur serapannya pada panjang
gelombang maksimum menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Kemudian
diplot dalam bentuk grafik untuk mendapatkan profil laju difusi dan konstanta
laju difusi.
1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Disiapkan larutan dengan konsentrasi tertentu dan satu larutan blanko pada
kuvet untuk pengukuran. Ukur nilai %T larutan yang ditentukan pada
orange panjang gelombang tertentu. Dikonversikan nilai %T pada
beberapa panjang gelombang yang diperoleh menjadi nilai absorbansi, lalu
buat kurvanya. Ditentukan panjang gelombang maksimum berdasarkan
titik yang menunjukkan nilai serapan tertinggi (Matias Ahmad 2015).
2. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Konsentrasi sampel dalam suatu larutan dapat ditentukan dengan rumus
yang diturunkan dari hukum lambert beer (A= a . b . c atau A = ε . b . c).
Namun ada cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi
suatu spesi yang ada dalam suatu larutan yakni dengan cara kurva
17

kalibarasi. Cara ini sebenarnya masih tetap bertumpu pada hukum


Lambert-Beer yakni absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi.

BAB 4. BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN

4.1 Anggaran Biaya


Tabel 3. Anggaran Biaya
No Jenis Pengeluaran Biaya (Rp.)
1 Peralatan Penunjang 6.335.000
2 Bahan Habis Pakai 4.038.300
3 Perjalanan 400.000
4 Lain-lain 4.155.000
Jumlah 14.928.300

4.2 Jadwal Kegiatan


Tabel 4. Jadwal Kegiatan
No. Kegiatan Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3 Bulan ke-4
Persiapan
1 alat dan
bahan
Peminjaman
2 alat
penunjang
Penelitian
3 dan
pengamatan
Membuat
4 laporan
akhir
18

BAB 5. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2013, Botani Farmasi (Parameter Mutu Ekstrak), Sekolah Tinggi Farmasi
Bandung Kelas Ekstensi, Bandung.

Ansel, H,C. 1989 Pengantar bentuk sediaan farmasi. Edisi IV, Hal 390-
395, 490, 513. Diterjemahkan oleh Farida Ibrahim. Jakarta: UI Press.

Becker, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink. Flora of Java. Volume: 1.
Netherlands: N.V.P. Nordhoff..

Freag MS, et al. Lyophilized Phytosomal Nanocarriers as Platforms for Enhanced


Diosmin Delivery: Optimization and Ex Vivo Permeation. International
Journal of Nanomedicine. 2013; 8:2385-2397.

Fardiaz, Srikandi, Dewanti, R., Budijanto, S. 1987. Risalah Seminar; Bahan tambahan
kimiawi (food additive) Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Iriawan, N., dan Astuti, S.P. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah
Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta. Penerbit ANDI.

Keshani, S., Chuah, A.L., Nourouzi, M.M., Russly, A.R., and Jamilah, B. 2010.
Optimization of concentration process on pomelo fruit juice using response surface
methodology (RSM). International Food Research Journal 17: 733–742.

Santoso, H.B. 2000. Bawang Putih. Edisi ke-12.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai