BAB 1. PENDAHULUAN
1.2 Permasalahan
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah formulasi dan
profil difusi fitosome ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) dalam sediaan
gel yang menggunakan Na CMC sebagai gelling agent?
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi dan profil difusi
sediaan gel fitosome ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) yang
menggunakan Na CMC sebagai gelling agent.
1.4 Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai
formulasi dan profil difusi sediaan gel fitosome ektrak bawang putih yang
menggunakan Na CMC sebagai gelling agent.
1.5 Luaran
Publikasi jurnal nasional
di dataran tinggi berkisar antara 20–25OC dengan curah hujan sekitar 1.200–
2.400 mm pertahun, sedangkan suhu untuk dataran rendah berkisar antara 27–
30OC (Santoso, 2000).
Metabolit sekunder yang terkandung di dalam umbi bawang putih
membentuk suatu sistem kimiawi yang kompleks serta merupakan mekanisme
pertahanan diri dari kerusakan akibat mikroorganisme dan faktor eksternal
lainnya. Sistem tersebut juga ikut berperan dalam proses perkembangbiakan
tanaman melalui pembentukan tunas (Amagase et al., 2001).
Sebagaimana kebanyakan tumbuhan lain, bawang putih mengandung lebih
dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi sangat berguna (Challem,
1995). Senyawa ini kebanyakan mengandung belerang yang bertanggung
jawab atas rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang putih (Ellmore dan
Fekldberg, 1994).
Mekanisme penurunan kadar glukosa darah oleh ekstrak bawang putih
masih belum diketahui secara jelas. Senyawa yang berperan telah diketahui
yakni allisin dan alliin (Augusti, 1975; Sheela et al., 1995). Kemungkinan
masih terdapat senyawa lain yang juga mampu menurunkan kadar glukosa
darah pada diabetes mellitus. Allisin dan alliin mampu menjadi agen anti-
diabetes dengan mekanisme perangsangan pankreas untuk mengeluarkan
sekret insulinnya lebih banyak (Banerjee dan Maulik, 2002).
2.2 Fitosom
Fitosom merupakan suatu teknologi yang dikembangkan dari pembuatan
obat dan nutraceutical, untuk menggabungkan ekstrak dari tanaman yang larut
didalam fitokonstituen ke dalam fosfolipid untuk membentuk kompleks
molekul lipid (Jain et al., 2010).
Keuntungan dari phytosome antara lain dapat meningkatkan kelarutan dari
senyawa fitokonstituen dalam lemak baik secara oral maupun secara topikal,
dan secara signifikan dapat meningkatkan manfaat terapeutiknya. Selain itu
juga dapat meningkatkan absorbsi senyawa aktif dan dimana ikatan kimia
antara fosfatidilkolin dan fitokonstituen menunjukkan stabilitas yang baik
(Sharma and Roy, 2010).
Perbedaan antara fitosom dan liposom, liposom dibentuk dengan
mencampurkan senyawa polar dengan fosfatidilkolin secara pasti dalam rasio
dan kondisi tertentu. Pada proses ini tidak ada ikatan kimia yang terbentuk,
molekul fosfatidilkolin hanya mengelilingi senyawa polar. Mungkin ada
ratusan atau bahkan ribuan molekul fosfatidilkolin di sekitar senyawa polar.
Sebaliknya, fitosom membentuk kompleks molekul saat mencampurkan
fosfatidilkolin dengan komponen tanaman dengan perbandingan 1: 1 atau 2: 1
tergantung pada kompleks zat yang melibatkan ikatan kimia. Perbedaan ini
menjadikan fitosom menjadi jauh lebih baik daripada liposom karena
menunjukkan bioavailabilitas yang lebih baik.
2.3.2 Etanol
Pelarut etanol dan larutan etanol – air dengan berbagai konsentrasi
yang banyak digunakan dalam sediaan farmasi dan kosmetik. Meskipun
etanol sering digunakan sebagai pelarut, etanol juga digunakan sebagai
disinfektan, dan bahan pengawet. Secara topical larutan etanol digunakan
dalam pengembangan pengiriman obat transdermal sistem sebagai peningkat
penetrasi. Etanol juga telah digunakan dalam pengembangan persiapan
transdermal sebagai co-surfaktan.
2.4 Gel
Gel merupakan sistem semi padat yang terdiri dari suspensi yang dibuat
dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi
oleh suatu cairan (Anonim, 1995). Sediaan dalam bentuk gel lebih banyak
digunakan karena memberikan rasa dingin di kulit, mudah mengering
membentuk lapisan film yang mudah dicuci. Berdasarkan komposisinya, dasar
gel dapat dibedakan menjadi dasar gel hidrofobik dan dasar gel hidrofilik
(Ansel, 1989). Dasar gel hidrofobik antara lain petrolatum, plastibase,
alumunium stearat, carbowax sedangkan dasar gel hidrofilik antara lain
bentonit, veegum, silika, pektin, tragakan, metil selulosa, carbomer (Allen,
2002).
Salah satu faktor penting dalam formulasi gel adalah gelling agent.
Gelling agent bermacam-macam jenisnya, biasanya berupa turunan dari
selulosa seperti carboxy metil selulosa (CMC). CMC-Na merupakan pengikat
hidrogel yang dapat menyerap air dan Karbomer merupakan pengikat sistem
satu fase yang tidak menyerap air tetapi mengembang dalam air. Bahan pengikat
memiliki sifat karakteristik dan daya kekentalan yang berbeda. Oleh karena itu
CMC-Na dilakukan dengan berbagai variasi konsentrasi untuk melihat gel yang
baik terhadap bahan pengikat tersebut. (Menurut Fardiaz et al. 1987).
b. Sifat Kimia
Bersifat Irittan atau dapat menimbulkan gejala iritasi. Dapat
menyebabkan reaksi alergi pada kulit , menyebabkan gangguan mata berat,
berbahaya jika terhirup, dapat menyebabkan iritasi pernafasan, dan
berbahaya terhadap kehidupan air dengan dampak jangka panjang
2.5 Difusi
Difusi bebas atau transpor pasif suatu zat melalui cairan, zat padat,atau
melalui membran adalah salah satu proses yang sangat penting dalam ilmu
farmasi (Martin,1983). Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan
massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekuler secara acak dan
berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu
batas, misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk
menyelidiki proses difusi (Martin, 1983).
9
d. Cincin O.
Diantara kompartemen donor dan kompartemen reseptor diletakkan
membran yang digunakan untuk sel difusi Franz. Cincin O menjaga
posisi membran supaya tidak berubah. Membran yang digunakan dapat
berupa membran sintesis, membran kulit manusia atau membran kulit
hewan (dihilangkan bulu dan lapisan lemak subkutannya).
e. Water Jacket.
Berfungsi untuk menjaga temperatur tetap konstan selama sel difusi
Franz dioperasikan.
2.6 RSM
RSM adalah kumpulan statistik dan matematika teknik yang berguna untuk
mengembangkan, meningkatkan, dan mengoptimalkan proses, di mana respon
dipengaruhi oleh beberapa faktor (variabel independen). Response Surface
Methodology (RSM) tidak hanya mendefinisikan pengaruh variabel independen,
tetapi juga menghasilkan model matematis, yang menjelaskan proses kimia atau
biokimia. Gagasan utama dari metode ini adalah mengetahui pengaruh variabel
bebas terhadap respon, mendapatkan model hubungan antara variabel bebas dan
respon serta mendapatkan kondisi proses yang menghasilkan respon terbaik. Di
samping itu, keunggulan metode RSM ini di antaranya tidak memerlukan data-data
percobaan dalam jumlah yang besar dan tidak membutuhkan waktu lama. RSM
merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistik yang digunakan untuk
modeling dan menganalisis masalah, dimana beberapa variabel mempengaruhi
sebuah respons, tujuannya untuk mengoptimalkan respons tersebut.17 Keuntungan
menggunakan metode RSM yaitu lebih cepat dan informatif dibanding dengan
pendekatan satu variabel klasik atau desain faktorial lengkap. Dengan metode RSM
dapat diketahui bagaimana kombinasi kondisi proses ekstraksi yang baik untuk
mendapatkan kadar total fenol yang optimal. Selain itu dengan metode RSM dapat
mengetahui pengaruh interaksi antar variabel (Iriawan & Astuti, 2006).
11
Bahan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini meliputi : Bawang Putih,
Ethanol, Lechyitin, Aqua dest, dan, dapar fosfat, Na-CMC, membran tikus.
2. Kadar Abu
12
Sampel yang digunakan adalah hasil dari analisis kadar air. Kemudian
sampel yang berada di cawan diarangkan di sebuah kompor listrik hingga
tidak mengeluarkan asap. Cawan porselen berisi sampel yang sudah
diarangkan dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600oC selama 6 jam
hingga proses pengabuan sempurna. Cawan porselen berisi abu
dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 C selama 1 jam, kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang (d). Tahapan ini dilakukan
hingga mencapai bobot yang konstan (Winarno, 2014). Kadar abu dihitung
dengan rumus:
3. Kadar Air
Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan
di dinginkan dalam desikator selama 10 menit untuk cawan aluminium,
lalu cawan kering ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dengan
cepat kadalam cawan kering, kemudian dihomogenkan. Tutup cawan
dibuka, cawan sampel di keringkan dalam oven suhu 1000C-1050C selama
3 jam. Cawan diletakkan secara seksama agar tidak menyentuh dinding
oven. Cawan yang berisi sampel dipindahkan kedalam desikator, ditutup
dengan penutup cawan, didinginkan lalu ditimbang kembali. Lalu dihitung
kadar air dengan rumus (Winarno,2014).
4. Susut Pengeringan
Susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap suatu zat kecuali
dinyatakan lain , suhu penetapan adalah 105oC , keringkan pada suhu
penetapan hingga bobot tetap. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu
penetapan, pengeringan dilakukan pada suhu antara 5oC dan 10oC dibawah
suhu leburnya selama 1 jam sampai 2 jam, kemudian pada suhu penetapan
selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot tetap (Anonim,2013).
13
Formula (%)
No. Bahan
F1 F2 F3
Fitosom Bawang
1. 0,25 0,25 0,5
Putih
2. Na-CMC 3,5 4,5 6,0
3. Aquadest 100 100 100
5. Zeta Potensial
Zeta Potential adalah parameter muatan listrik antara partikel koloid.
Makin tinggi nilai potensial zeta maka akan semakin mencegah
terjadinya flokulasi (peristiwa penggabungan koloid dari yang kecil
menjadi besar). Dengan mengurangi nilai potensial zeta maka
memungkinkan partikel untuk saling tarik menarik dan terjadi
flokulasi. Ada beberapa macam fenomena elektrokinetik ini,
diantaranya ialah elektroosmosis, elektrokinetik, potensial aliran, dan
potensial sedimentasi.
4 Efisiensi Penyerapan
1. Penentuan panjang gelombang maksimum Bawang Putih dan kurva
kalibrasi dengan spektrofotometer UV-VIS
Standar Bawang putih ditimbang sebanyak 50,0 mg dengan
seksama, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 ml. Pelarut
metanol digunakan untuk melarutkan Alliin. Metanol ditambahkan hingga
garis batas labu tentukur, kocok hingga homogen (dihasilkan bawang putih
standard 1000 ppm). 1,0 ml larutan Alliin standard 1000 ppm dipipet
dengan menggunakan pipet volume, kemudian dimasukkan ke dalam labu
tentukur 100,0 ml. Metanol ditambahkan hingga garis batas labu tentukur,
sehingga dihasilkan larutan Alliin standard dengan konsentrasi 10 ppm.
Spektrofotometer diatur pada panjang gelombang 400 nm sampai dengan
700 nm. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam kuvet untuk dibaca
spektrumnya dengan alat spektrofotometer, sehingga diperoleh panjang
gelombang maksimum Alliin.
Setelah itu larutan standard 10 ppm dipipet 1,0 ml, 2,0 ml, 3,0 ml,
4,0 ml, 5,0 ml, dan 6,0 ml dan dituangkan masing-masing kedalam labu
tentukur 10,0 ml, lalu dicukupkan volumenya dengan metanol, kocok
homogen. Kemudian setiap ppm bawang putih standard diukur serpannya
dengan alat spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum.
Serapan yang diperoleh dan konsentrasi bawang putih tiap serapan
diplotkan untuk menghasilkan kurva kalibrasi, kemudian ditarik ditentukan
persamaan regresi linearnya (y= a + bx)
(𝑄𝑡 − 𝑄𝑠)
%EE = ( ) . 100
𝑄𝑡
EE adalah efisiensi penjerapan, Qt adalah jumlah teoritis bawang putih yang
ditambahkan, dan Qs adalah jumlah bawang putih yang terdeteksi di
supernatan (Suryani et al., 2014).
5 Uji Difusi
Uji difusi fitosom ekstrak bawang putih dilakukan secara in vitro
menggunakan Sel Difusi Franz. Kemudian dilakukan perhitungan jumlah
kumulatif yang terpenetrasi per satuan waktu (μg/cm2) dengan rumus: Uji laju
difusi dilakukan dengan menggunakan metode flow-through yang
dimodifikasi dari sel difusi franz yang terdiri dari sel difusi, pompa peristaltik,
pengaduk, gelas piala, tangas air penampung reseptor, termometer, dan selang.
Formula uji diukur 1 gram kemudian diratakan di atas membran yang telah
diimpregnasi secara merata dan tipis. Suhu sistem 37 ± 1oC dengan dapar
fosfat pH 7,4. Pompa peristaltik akan menarik cairan reseptor dari gelas kimia,
kemudian dipompa ke sel difusi. Kemudian cairan dialirkan langsung ke
reseptor, proses dilakukan selama 8 jam, cuplikan diambil dari cairan reseptor
dalam gelas kimia sebanyak 10,0 ml dan setiap pengambilan dilakukan dengan
penggantian larutan dapar fosfat pH 7,4 sebanyak 10,0 ml. pengambilan
cuplikan dilakukan pada menit 10. Cuplikan diukur serapannya pada panjang
gelombang maksimum menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Kemudian
diplot dalam bentuk grafik untuk mendapatkan profil laju difusi dan konstanta
laju difusi.
1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Disiapkan larutan dengan konsentrasi tertentu dan satu larutan blanko pada
kuvet untuk pengukuran. Ukur nilai %T larutan yang ditentukan pada
orange panjang gelombang tertentu. Dikonversikan nilai %T pada
beberapa panjang gelombang yang diperoleh menjadi nilai absorbansi, lalu
buat kurvanya. Ditentukan panjang gelombang maksimum berdasarkan
titik yang menunjukkan nilai serapan tertinggi (Matias Ahmad 2015).
2. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Konsentrasi sampel dalam suatu larutan dapat ditentukan dengan rumus
yang diturunkan dari hukum lambert beer (A= a . b . c atau A = ε . b . c).
Namun ada cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi
suatu spesi yang ada dalam suatu larutan yakni dengan cara kurva
17
Anonim, 2013, Botani Farmasi (Parameter Mutu Ekstrak), Sekolah Tinggi Farmasi
Bandung Kelas Ekstensi, Bandung.
Ansel, H,C. 1989 Pengantar bentuk sediaan farmasi. Edisi IV, Hal 390-
395, 490, 513. Diterjemahkan oleh Farida Ibrahim. Jakarta: UI Press.
Becker, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink. Flora of Java. Volume: 1.
Netherlands: N.V.P. Nordhoff..
Fardiaz, Srikandi, Dewanti, R., Budijanto, S. 1987. Risalah Seminar; Bahan tambahan
kimiawi (food additive) Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Iriawan, N., dan Astuti, S.P. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah
Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta. Penerbit ANDI.
Keshani, S., Chuah, A.L., Nourouzi, M.M., Russly, A.R., and Jamilah, B. 2010.
Optimization of concentration process on pomelo fruit juice using response surface
methodology (RSM). International Food Research Journal 17: 733–742.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.