MAKALAH
Oleh:
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2013
UJI AKTIVITAS ANTIDIABETES EKSTRAK ETANOL BIJI ALPUKAT
(Persea americana Mill.) TERHADAP TIKUS GALUR WISTAR YANG
DIINDUKSI ALOKSAN
ABSTRACT
1
300, 600 and 1200 mg/kg BW. Before, rats induced by alloxan 150 mg/kg BW
intraperioneally, three days later, the rats blood glucose levels ± 200 mg / dL is
used for research. Treatment of rats conducted for 7 days with 3 time the blood
sampling at 3,7, 10 day. The ethanol extract of avocado seeds (Persea americana
Mill) dose of 300 mg/kg BW, 600 mg/kg BW, and 1200 mg/kg BW have
antidiabetic activity on rats wistar strain induced by alloxan with optimal dose
1200 mg/kg BW could decrease blood glucose until 134,8±27,2 mg/dL. Key word:
Antidiabetic, Persea americana Mill., Blood Glucose, Alloxan
PENDAHULUAN
2
americana Mill (lauraceae) adalah salah satu dari 150 varietas alpukat pir. Pohon
ini banyak dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis (Lu et al, 2005). Daun
alpukat mengandung flavonoid, saponin, katekat, tanin, dan triterpenoid (Maryati,
2007). Menurut hasil skrining fitokimia yang dilakukan oleh Zuhrotun (2007)
terhadap simplisia dan ekstrak etanol biji alpukat bentuk bulat menunjukkan
adanya senyawa golongan polifenol, tanin, flavonoid, triterpenoid, kuinon,
monoterpenoid, dan seskuiterpenoid, sedangkan saponin hanya terdeteksi dalam
ekstrak. Flavonoid inilah yang diduga sebagai agen antidiabetes. Flavonoid adalah
senyawa organik alami yang ada pada tumbuhan secara umum. Flavonoid alami
banyak memainkan peran penting dalam pencegahan diabetes dan komplikasinya
(Jack, 2012). Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai gugus
hidroksil atau gula , sehingga dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol,
metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dan air (Markham, 1988). Sejumlah
studi telah dilakukan untuk menunjukkan efek hipoglikemik dari flavonoid
dengan menggunakan model eksperimen yang berbeda, hasilnya tanaman yang
mengandung flavonoid telah terbukti memberi efek menguntungkan dalam
melawan penyakit diabetes melitus, baik melalui kemampuan mengurangi
penyerapan glukosa maupun dengan cara meningkatkan toleransi glukosa
(Brahmachari, 2011). Selain itu biji alpukat juga mengandung asam tannik,
gallotannin, atau coritagin yang mempunyai kemampuan sebagai adstringen
(Imroatossalihah, 2002), yaitu dapat mempresipitasikan protein selaput lendir usus
dan membentuk suatu lapisan yang melindungi usus, sehingga menghambat
penyerapan glukosa sehingga laju peningkatan glukosa darah tidak terlalu tinggi
(Suryawinoto, 2005). Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Monica (2006)
terhadap air seduhan biji alpukat untuk mengetahui kemampuan bji alpukat dalam
menurunkan kadar glukosa darah. Selain itu, Zohrotun (2007) telah melalukan
pengujian antidiabetes terhadap ekstrak etanol biji alpukat bentuk bulat pada tikus
dengan metode toleransi glukosa menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji alpukat
dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus. Berdasarkan penelitian tersebut,
penelitian tentang biji alpukat sebagai antidiabetes menarik untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut tidak hanya dengan model uji toleransi glukosa (UTGO),
3
namun juga membuat tikus tersebut diabetes dengan diinduksi aloksan sehingga
tingginya kadar glukosa darah dapat bertahan lebih lama. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai manfaat ekstrak etanol biji
alpukat (Persea americana Mill) sebagai obat antidiabetes.
METODE PENELITIAN
Alat
Alat-alat yang digunakan adalah spektrofotometer UV-Vis
(Stardust/vitalab), kuvet, timbangan hewan, neraca analitik (precisa), minispin
ependorf (hamburg), rotary evaporator (stuart), corong Buchner, waterbath
(memmert), mikropipet (socorex), tabung ependorf, vortex, spuit injeksi, sonde
lambung, holder dan alat-alat gelas.
Bahan
Bahan- bahan yang digunakan aloksan monohidrat dosis 150 mg/kg BB,
aquabidest steril for injecion, CMC-Na, ekstrak etanol biji alpukat, tikus putih
jantan galur wistar sehat, umur 2-3 bulan, berat 150-300 gram, reagen kit GOD-
PAP (Glucose Oksidase Phenol 4-Aminoantipirin) dari Diagnostic Systems
Internasional (Diasys), etanol 96%
Penyiapan Bahan
Alpukat diambil dari salah satu pohon alpukat di desa Tumbukan
Kabupaten Seluma Propinsi Bengkulu, bijinya diambil kemudian dicuci dengan
air sampai bersih, dirajang kecil-kecil, dikeringkan, kemudian diserbuk dengan
blender. Serbuk yang sudah jadi digunakan untuk ekstraksi.
4
Ekstraksi Biji Alpukat
Ekstrak etanol biji alpukat dibuat dengan metode maserasi. Enam ratus
(600) gram serbuk biji alpukat direndam dengan 6 L etanol 96% dalam bejana
maserasi. Simplisia dimaserasi selama 3 hari dan terlindung dari cahaya matahari.
Kemudian maserat yang telah jadi disaring menggunakan corong Buchner
kemudian dievaporasi dan selanjutnya diuapkan diatas waterbath. Ampas dari
maserasi pertama, kemudian diremaserasi kembali sebanyak dua kali.
5
lateralis yang terdapat di ekor tikus dan kemudian di sentrifuge selama 15 menit
dengan kecepatan 12.000 rpm untuk mendapatkan serumnya. Supernatannya
diambil, dimasukkan ke dalam kuvet lalu ditambah 1000,0 µl campuran pereaksi
DiaSys dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Kemudian blanko,
standar dan sampel dibaca serapannya menggunakan stardust.
Selanjutnya 25 ekor tikus ini diberi perlakuan aloksan monohidrat
dengan dosis 150 mg/kg BB secara intraperitoneal. Setelah 3 hari, diukur lagi
kadar glukosa darahnya (glukosa darah post aloksan), lalu dibandingkan dengan
kadar glukosa darah pada hari pertama sebelum diberi aloksan. Apabila terjadi
kenaikan kadar glukosa darah tikus yaitu menjadi ±200 mg/dL maka tikus
dianggap sudah diabetes. Selanjutnya 25 ekor tikus ini dibagi dalam 5 kelompok
perlakuan sebagai berikut:
a. Kelompok I: sebagai kontrol negatif, hanya diberi aquadest selama 7 hari.
b. Kelompok II : sebagai kontrol positif, diberi Glibenklamid dosis 0,45 mg/kg
BB selama 7 hari.
c. Kelompok III : diberi ekstrak etanol biji alpukat dosis 300 mg/kg BB
selama 7 hari.
d. Kelompok IV : diberi ekstrak etanol biji alpukat dosis 600 mg/kg BB selama
7 hari.
e. Kelompok V : diberi ekstrak etanol biji alpukat dosis 1200 mg/kg BB
selama 7 hari.
Selanjutnya setelah tujuh hari diberi perlakuan, kadar glukosa darah tikus
diukur kembali untuk dibandingkan dengan kadar glukosa darah setelah diberi
aloksan pada hari ketiga. Setelah semua data didapatkan, data diuji statistik.
6
Ekstraksi dengan metode maserasi dilakukan menggunakan pelarut
etanol 96%, karena flavonoid yang terkandung dalam biji alpukat bersifat polar,
sehingga diperlukan pelarut yang bersifat polar juga. Hal ini sesuai dengan hukum
like disolve like (Markham, 1988). Hasil rendemen dari biji alpukat adalah 0,205
yaitu berat simplisia kering 600 gram dan berat ekstrak kental adalah 123,42, ini
artinya 1 gram simplisia kering setara dengan 0,205 gram ekstrak kental biji
alpukat.
Penelitian ini dilakukan pada 25 ekor tikus putih galur wistar yang dibagi
dalam 5 kelompok perlakuan. Kelompok pertama merupakan kelompok kontrol
negatif di mana tikus diinduksi aloksan dan kemudian hanya diberi aquadest.
Kelompok kedua merupakan kontrol positif yaitu tikus diberi obat antidiabetes
golongan sulfonilurea yaitu glibenklamid. Kelompok ketiga, keempat dan kelima
merupakan kelompok perlakuan dosis, yaitu berturut turut 300 mg/kg BB, 600
mg/kg BB dan 1200 mg/kg BB. Pengukuran kadar glukosa darah awal tikus
dilakukan pada hari ke nol (GD1).
Pengujian antidiabetes ekstrak etanol biji alpukat ini menggunakan
induksi aloksan dengan dosis 150 mg/kg BB. Menurut Szkudelski (2001), aloksan
dan streptozotocin merupakan agen diabetogenik yang cukup memadai untuk
digunakan sebagai penginduksi diabetes pada hewan percobaan. Aloksan
mempunyai kemampuan merusak sel beta pankreas (Yuriska, 2009). Aloksan
diinjeksikan secara intra peritoneal pada tikus yang kemudian di cek peningkatan
glukosa darahnya tiga hari kemudian (GD2). Pengukuran kadar glukosa darah
setelah 3 hari diinduksi aloksan dilakukan untuk melihat kadar glukosa darah tikus
yang sudah hiperglikemik karena secara teori, aloksan mampu meningkatkan
kadar glukosa darah tikus secara signifikan.
Tabel 1 menunjukkan hasil pengukuran kadar glukosa darah pada 5
kelompok perlakuan. Terlihat variasi kenaikan dan penurunan kadar glukosa darah
pada hari ke-0, hari ke-3 dan hari ke-10, hal ini dikarenakan perbedaan respon
yang dihasilkan dari masing-masing individu hewan percobaan terhadap
kerusakan sel beta pankreas yang disebabkan oleh zat penginduksi diabetes, yang
pada penelitian ini menggunakan zat diabetogenik aloksan monohidrat. Pada
7
kelompok kontrol negatif, tidak terjadi penurunan kadar glukosa darah karena
aquadest bersifat netral, tidak mengandung zat apapun sehingga tidak memiki efek
menurunkan kadar glukosa darah. Sebaliknya pada kelompok kontrol positif yang
diberi glibenklamid, terjadi penurunan kadar glukosa darah yang sangat signifikan
karena efek glibenklamid sebagai salah satu obat golongan sulfonilurea adalah
meningkatkan sensitifitas insulin dan meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas.
Tabel 1. Kadar glukosa darah tikus pada berbagai kelompok perlakuan
Kadar Glukosa Darah
Kelompok Awal (hari ke-0) Post Aloksan (hari ke-3) Akhir (hari ke-
(mg/dL) (mg/dL) 10) (mg/dL)
Kelompok Kontrol 119 266 356
Negatif (aquadest) 117 248 231
98 173 220
115 188 187
145 213 240
±SD 118±16,85 217,6±39,22 246,8±64,25
Kelompok Kontrol 115 232 90
8
350
Kadar glukosa 300
darah (mg/dL)
250
200
150 GD hari-0
100 GD hari-3
50 GD hari-10
0
Kontrol kontrol Dosis 300 Dosis 600 Dosis
negatif positif mg/kg BB mg/kg BB 1200
mg/kg BB
Kelompok perlakuan
Gambar 1. Grafik penurunan kadar glukosa darah tikus tiap kelompok perlakuan
9
dianalisis hanya 25 data. Uji distribusi Shapiro-Wilk digunakan pada data
kelompok populasi kecil yaitu kurang dari 50 sampel data. Hasil uji Shapiro- Wilk
pada kadar glukosa darah awal adalah p = 0,961, pada kadar glukosa post aloksan
adalah p = 0,872 dan pada kadar glukosa akhir didapatkan p = 0,012. Apabila
p˃0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data terdistribusi normal, sehingga pada
kadar glukosa awal distribusi datanya normal, begitu juga pada kadar glukosa post
aloksan, namun pada kadar glukosa akhir datanya tidak terdistribusi normal.
Uji statistik data yang kedua adalah Test of Homogeneity of Variances.
Uji ini menggunakan Levene test pada kelima kelompok perlakuan, hasilnya pada
pengukuran kadar glukosa darah hari ke-0 yaitu glukosa awal adalah 0,855, pada
pengukuran kadar glukosa hari ke-3 yaitu post aloksan adalah 0,233 dan pada hari
ke-10 atau glukosa akhir adalah 0,006. Pada analisis menggunakan Levene test ini,
data dikatakan homogen jika menunjukkan nilai p˃0,05. Dari ketiga data diatas,
data yang tidak homogen adalah data glukosa akhir, yaitu p = 0,006 (p˂0,05).
Uji statistik selanjutnya adalah Kruskal- Wallis. Kadar glukosa darah
yang dihitung adalah kadar glukosa darah pada hari ke-10. Pada kadar glukosa
darah hari ke-10 (glukosa akhir), nilai p = 0,003 (p˂0,05) artinya terdapat
perbedaan kadar glukosa darah dari lima kelompok perlakuan.
Uji yang terakhir adalah uji Mann- Whitney antar kelompok perlakuan
kontrol negatif, kontrol positif, dosis I, dosis II dan dosis III. Uji Mann- Whitney
yang dilakukan pada tiap dua kelompok perlakuan untuk membandingkan
perbedaan rata-rata antar kelompok perlakuan. Pada uji Mann- Whitney, apabila
nilai p˃ 0,05 maka tidak terdapat perbedaan efek penurunan kadar glukosa darah
tikus atau efeknya setara. Pada uji statistik Mann- Whitney didapat dua macam
pengertian yaitu berbeda signifikan dan berbeda tidak signifikan. Berbeda
signifikan artinya terdapat perbedaan efek antara dua kelompok perlakuan
sedangkan berbeda tidak signifikan artinya tidak terdapat perbedaan efek antara
dua kelompok perlakuan maka dapat dikatakan bahwa efek antar perlakuan
tersebut setara. Hasil uji Mann-Whitney dapat dilihat pada tabel 2.
10
Tabel 2. Hasil uji statistik Mann-Whitney pada pengukuran kadar glukosa darah akhir
semua kelompok perlakuan
No. Perlakuan Nilai p Arti
1 Aquadest vs Glibenklamid 0,009 Berbeda signifikan
2 Aquadest vs Dosis I 0,009 Berbeda signifikan
3 Aquadest vs Dosis II 0,028 Berbeda signifikan
4 Aquadest vs Dosis III 0,009 Berbeda signifikan
5 Glibenklamid vs Dosis I 0,009 Berbeda signifikan
6 Glibenklamid vs Dosis II 0,173 Berbeda tidak signifikan
7 Glibenklamid vs dosis III 0,009 Berbeda signifikan
8 Dosis I vs Dosis II 0,600 Berbeda tidak signifikan
9 Dosis I vs Dosis III 0,173 Berbeda tidak signifikan
10 Dosis II vs Dosis III 0,754 Berbeda tidak signifikan
Dilihat dari tabel 4, hasil uji statistik Mann-Whitney pada hari kesepuluh,
kontrol positif, Dosis I, II dan III hasilnya adalah berbeda signifikan (p˂0,05)
dengan kontrol negatif artinya bahwa kontrol positif, dosis I, II, dan III mampu
menurunkan kadar glukosa darah tikus. Jika dibandingkan dengan kontrol positif,
dosis I dan III berbeda signifikan (p˂0,05) sedangkan dosis II hasilnya berbeda
tidak signifikan (p˃0,05). Jika hanya melihat dari hasil dari uji statistik, maka
dapat dihasilkan pengertian bahwa dosis I dan III mempunyai efek penurunan
glukosa lebih kecil dibandingkan dengan glibenklamid, sedangkan dosis II
mempunyai efek yang setara dengan glibenklamid. Namun sebenarnya, pada dosis
II hasilnya adalah berbeda signifikan, hal ini disebabkan nilai standar deviasi dari
dosis II yang sangat besar yaitu 64,93. Hal inilah yang menyebabkan kekeliruan
pada uji statistik. Pembuktiannya dapat dilihat dari perbandingan dosis I, II dan
III, yaitu hasilnya berbeda tidak signifikan artinya dosis I, II, dan III mempunyai
efek penurunan glukosa yang setara, sehingga didapatkan suatu kesimpulan yaitu,
berdasarkan uji statistik, ketiga seri dosis ini memiliki efek yang sama walaupun
dosis nya berbeda sehingga lebih baik menggunakan dosis I karena dengan dosis
yang rendah, sudah mampu memberikan efek yang sama dengan dosis tertinggi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zohrotun (2007), ekstrak
etanol biji alpukat bentuk bulat mempunyai aktivitas antidiabetes pada tikus
dengan metode toleransi glukosa, hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji
alpukat dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus. Biji alpukat mampu
11
menurunkan kadar glukosa darah karena mengandung flavonoid, yaitu zat yang
mampu meregenerasi sel beta pankreas dan membantu merangsang sekresi insulin
(Dheer dan Bhatnagar, 2010). Mekanisme lain dari flavonoid yang menunjukkan
efek hipoglikemik yaitu mengurangi penyerapan glukosa dan mengatur aktivitas
ekspresi enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat (Brahmachari, 2011).
Ada beberapa mekanisme kerja obat hipoglikemik oral, yaitu meningkatkan
sekresi insulin ( golongan sulfonilurea), meningkatkan kepekaan reseptor insulin
sehingga absorpsi glukosa di jaringan perifer meningkat, meningkatkan kepekaan
insulin jaringan otot, jaringan lemak dan hati, serta menghambat penguraian
polisakarida menjadi monosakarida, (Tjay dan Rahadja, 2003) dan disini
flavonoid mempunyai mekanisme sama dengan obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus dengan cara
meningkatkan sekresi insulin pada organ pankreas.
Jika dilihat dari uji statistik, ekstrak etanol biji alpukat kurang poten
dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus dikarenakan hasilnya yang berbeda
signifikan dibandingkan dengan glibenklamid. Ekstrak etanol biji alpukat dapat
dikatakan poten apabila hasilnya berbeda tidak signifikan dengan glibenklamid.
Hal ini merupakan salah satu kelemahan dari penelitian ini. Selain itu, belum
ditemukannya jenis flavonoid apa yang terkandung dalam ekstrak etanol biji
alpukat ini, yang diketahui hanya alpukat mengandung flavonoid yang memiliki
efek dapat menurunkan kadar glukosa darah sehingga perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut.
KESIMPULAN
Ekstrak etanol biji alpukat (Persea americana Mill) dosis 300 mg/kg BB,
600 mg/kg BB, dan 1200 mg /kg BB mempunyai aktivitas antidiabetes terhadap
tikus galur wistar yang diinduksi aloksan.
12
SARAN
Perlu dilakukan identifikasi terhadap jenis flavonoid yang terkandung
dalam ekstrak etanol biji alpukat (Persea americana Mill.) yang memiliki
kemampuan sebagai agen antidiabetes.
DAFTAR PUSTAKA
Brahmachari, G., 2011, Bio- Flavonoids With Promising Antidiabetic Potentials:
A Critical Survey, Research Signpost, 187-212
Backer, C.A., & Van Den Brick, R.C.B., 1965, Flora of Java: Spermatophytes
Only, volume 1, N.V.P. Noordhhhoff-Groningen-The Nedherland, hal
122
Dheer R. & Bhatnagar P., 2010, A study of the Antidiabetic Activity of Barleria
prionitis Linn, Indian Journal of Pharmacology, Vol 42 (2): 70-73
Imroatossalihah, 2002, Daging Buah, Daun dan Biji Alpukat sebagai Bahan Obat
Ditinjau dari Segi kedokteran, Skripsi, Program Sarjana Fakultas
Kedokteran, Universitas Yarsi Jakarta
Lu, Q.Y., Arteaga, J.R., Zhang, Q., Huerta, S., Go, V.L., & Heber, D., 2005,
Inhibition of Prostate Cancer Cell Growth by an Avocado Extract: Role
of Lipid-Soluble Bioactive Substances, J.Nutr. Biochem.16, 23-30
Monica, F., 2006, Pengaruh Pemberian Air Seduhan Serbuk Biji Alpukat (Persea
americana Mill.) Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar yang
Dibebani Aloksan, Karya Tulis Ilmiah : Fakultas Kedokteran, Universitas
Diponegoro Semarang
13
Sujono T. A. & Munawaroh, R., 2009, Interaksi Quercetin Dengan Tolbutamid:
Kajian Terhadap Perubahan Kadar Glukosa Darah Pada Tikus Jantan Yang
Dinduksi Aloksan, Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. Vol 10:2, 121-129
WHO, 2003, Diet, Nutrition and The Prevention of Chronic Diseases, Geneva,
World Health Organization
Wijayakusuma H., 2004, Bebas Diabetes Mellitus Ala Hembing, Jakarta: Puspa
Swara
Yuriska, A., 2009, Efek Aloksan Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar,
Karya Tulis Ilmiah: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro
Semarang
Zuhrotun, A., 2007, Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Biji Alpukat (Persea
americana Mill) Bentuk Bulat, Karya Tulis Ilmiah: Fakultas Farmasi,
Universitas Padjajaran Bandung
14