BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia dan abnormalitas pada metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein (Triplitt et al. 2015). Data World Health Organization
(WHO) menunjukan sekitar 150 juta orang penderita DM diseluruh dunia dan
jumlah ini akan terus meningkat dua kali lipat pada tahun 2025 (WHO 2015).
Terdapat dua bentuk DM yaitu DM tipe 1 yang terjadi pada 5 - 10% dari
semua kasus dan DM tipe 2 yang terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes
(Triplitt et al. 2015). DM tipe 2 disebabkan karena resistensi insulin dan
gangguan pengaturan sekresi insulin (Agoes dkk. 2009).Pengobatan DM dapat
dilakukan dengan diet dan latihan fisik serta terapi obat (Agoes dkk. 2009).
Secara umum DM dapat diatasi dengan obat antidiabetes oral yang secara
medis disebut dengan obat hipoglikemia oral (OHO). OHO biasanya diberikan
bersama terapi insulin untuk memperbaiki sensitivitas insulin yang digunakan
apabila diet dan latihan fisik tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah
(Noor 2015). Selain obat, pengobatan tradisional menjadi salah satu pilihan
untuk mengobati diabetes. Pengobatan tradisional bisa dikombinasikan dengan
obat medis, pengkombinasian ini terbukti cukup menolong penderita yang
bergantung dengan obat (Utami 2008). Salah satu bahan yang diketahui dapat
digunakan untuk mencegah dan mengobati DM adalah bawang putih (Allium
sativum L.) (Sheela et al, 1995)
Bawang putih (Allium sativum L.) di Indonesia, selain umum digunakan
sebagai bumbu masakan, juga dimanfaatkan untuk mengobati tekanan darah
tinggi, gangguan pernafasan, sakit kepala, ambeien, sembelit, luka memar atau
sayat, cacingan, insomnia, kolesterol, flu, gangguan saluran kencing, dan lain-
lain (Thomas, 2000; Rukmana, 1995). Beberapa senyawa bioaktif utama
bawang putih adalah ajoene, kelompok allil sulfida, allil sistein, serta senyawa
alliin dan allisin yang dipercaya sebagai anti diabetes dengan mekanisme
perangsangan pankreas untuk mengeluarkan sekret insulinnya lebih banyak
(Banerjee dan Maulik, 2002). Penggunaan bawang putih secara langsung
menimbulkan rasa kurang menyenangkan sehingga perlu diformulasikan
dalam bentuk sediaan. Permasalahan penggunaan bahan alam sebagai bahan
aktif dalam suatu bentuk sediaan adalah rendahnya bioavailabilitas. Hal
tersebut dapat diatasi dengan menggunakan rancangan penghantaran yang
sesuai sehingga bahan alam tersebut dapat dihantarkan pada dosis yang tepat
untuk bisa menghasilkan efek yang diinginkan (Rudra Pratap Singh and
Ramakant Narke, 2015).
Salah satu sistem penghantaran bahan alam yang sedang berkembang
adalah fitosom karena mempunyai efektifitas yang tinggi. Fitosom merupakan
suatu teknologi yang dikembangkan untuk menggabungkan ekstrak dari
tanaman yang larut didalam fitokonstituen ke dalam fosfolipid untuk
2
membentuk kompleks molekul lipid. Kompleks ini dapat melindungi zat aktif
ekstrak tanaman dari kerusakan akibat sekresi pencernaan dan bakteri pada
usus. Sehingga, penyerapan dan bioavailabilitas obat menjadi lebih baik serta
dapat memperbaiki efek farmakologis dan farmakokinetik dari ekstrak
tanaman tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan hewan coba tikus wistar
(Rattus norvegicus). Tikus diinduksi Aloksan dengan dosis 130 mg/kgBB
tikus untuk menginduksi kerusakan sel B pankreas sehingga glukosa darah
tikus meningkat. Aloksan diberikan secara intraperitoneal pada perut tikus
bagian bawah. Penelitian sebelumnya, melaporkan bahwa ekstrak bawang
putih yang diberikan dengan dosis 6 mg/200gBB tikus dan 12 mg/200gBB
tikus mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah tikus wistar.
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini dilakukan untuk melihat aktivitas
antidiabetes sistem fitosom ekstrak bawang putih dalam menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus hiperglikemia. Pada penelitian ini, pertama akan
dilakukan pembuatan sistem fitosom ekstrak bawang putih dengan
perbandingan rasio fosfolipid dan ekstrak bawang putih (1:1), (1:2) dan (2:1).
Metode yang digunakan adalah metode eksperimental dengan menggunakan
variasi dosisyang lebih besar pada kelompok hewan uji, kelompok kontrol
positif diberi analog insulin yaitu metformin, dan satu kelompok hanya diberi
aloksan. Ekstrak diberikan secara oral dengan menggunakan sonde lambung.
Pengukuran setiap parameter darah dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer klinikal. Hasil yang didapatkan dari pelakuan ini akan
dilanjutkan dengan analisa data statistik untuk melihat adanya perbedaan dari
setiap kelompok.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas apakah fitosom ekstrak bawang putih (Allium
sativum L.) mempunyai aktivitas sebagai antidiabetes terhadap penurunan
kadar glukosa darah pada tikus galur wistar (Rattus norvegicus)?.
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai fitosom
ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) yang dapat menurunkan kadar
glukosa darah sehingga dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif pada
penderita diabetes.
3
1.5 Luaran
Publikasi jurnal nasional
2.2 Fitosom
Fitosom merupakan suatu teknologi yang dikembangkan dari pembuatan
obat dan nutraceutical, untuk menggabungkan ekstrak dari tanaman yang
larut didalam fitokonstituen ke dalam fosfolipid untuk membentuk kompleks
molekul lipid (Jain et al., 2010). Keuntungan dari fitosom antara lain dapat
meningkatkan kelarutan dari senyawa fitokonstituen dalam lemak baik secara
oral maupun secara topikal, dan secara signifikan dapat meningkatkan
manfaat terapeutiknya. Selain itu juga dapat meningkatkan absorbsi senyawa
aktif dan dimana ikatan kimia antara fosfatidilkolin dan fitokonstituen
menunjukkan stabilitas yang baik (Sharma and Roy, 2010).
Perbedaan antara fitosom dan liposom, liposom dibentuk dengan
mencampurkan senyawa polar dengan fosfatidilkolin secara pasti dalam rasio
dan kondisi tertentu. Pada proses ini tidak ada ikatan kimia yang terbentuk,
molekul fosfatidilkolin hanya mengelilingi senyawa polar. Mungkin ada
ratusan atau bahkan ribuan molekul fosfatidilkolin di sekitar senyawa polar.
Sebaliknya, fitosom membentuk kompleks molekul saat mencampurkan
fosfatidilkolin dengan komponen tanaman dengan perbandingan 1:1, 1:2 atau
2:1 tergantung pada kompleks zat yang melibatkan ikatan kimia. Perbedaan
ini menjadikan fitosom menjadi jauh lebih baik daripada liposom karena
menunjukkan bioavailabilitas yang lebih baik.
5
2.3.2 Etanol
Pelarut etanol dan larutan etanol – air dengan berbagai konsentrasi yang
banyak digunakan dalam sediaan farmasi dan kosmetik. Meskipun etanol
sering digunakan sebagai pelarut, etanol juga digunakan sebagai disinfektan,
dan bahan pengawet. Secara topical larutan etanol digunakan dalam
pengembangan pengiriman obat transdermal sistem sebagai peningkat
penetrasi. Etanol juga telah digunakan dalam pengembangan persiapan
transdermal sebagai co-surfaktan.
2.4 Diabetes
Diabetes Millitus (DM) adalah sekelompok sindrom yang ditandai dengan
hiperglikemia, perubahan metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein yang
dapat meningkatkan resiko komplikasi penyakit pembuluh darah (Davis dan
Granner 2012). DM tipe 2 ditandai oleh resistensi jaringan terhadap efek
6
2.6 RSM
RSM adalah kumpulan statistik dan matematika teknik yang berguna
untuk mengembangkan, meningkatkan, dan mengoptimalkan proses, di mana
respon dipengaruhi oleh beberapa faktor (variabel independen). Response
Surface Methodology (RSM) tidak hanya mendefinisikan pengaruh variabel
independen, tetapi juga menghasilkan model matematis, yang menjelaskan
proses kimia atau biokimia. Gagasan utama dari metode ini adalah
mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap respon, mendapatkan model
hubungan antara variabel bebas dan respon serta mendapatkan kondisi proses
yang menghasilkan respon terbaik. Di samping itu, keunggulan metode RSM
ini di antaranya tidak memerlukan data-data percobaan dalam jumlah yang
besar dan tidak membutuhkan waktu lama. RSM merupakan kumpulan dari
teknik matematika dan statistik yang digunakan untuk modeling dan
menganalisis masalah, dimana beberapa variabel mempengaruhi sebuah
respons, tujuannya untuk mengoptimalkan respons tersebut. Keuntungan
menggunakan metode RSM yaitu lebih cepat dan informatif dibanding
dengan pendekatan satu variabel klasik atau desain faktorial lengkap. Dengan
metode RSM dapat diketahui bagaimana kombinasi kondisi proses ekstraksi
yang baik untuk mendapatkan kadar total fenol yang optimal. Selain itu
dengan metode RSM dapat mengetahui pengaruh interaksi antar variabel
(Iriawan & Astuti, 2006).
d) Piknometer diisi mikroemulsi pada suhu 25˚C, lalu ditimbang dan dicatat
bobotnya sebagai W2.
𝑤2 − 𝑤0
𝐵𝐽 =
𝑤1 − 𝑤0
3.3.3 Pembuatan Fitosom
Fitosom dibuat dengan mengomplekskan fosfolipid dengan ekstrak bawang
putih dengan beberapa variasi perbandingan dan dengan pengadukan secara
terus menerus menggunakan teknik penguapan pelarut hingga diperoleh lapis
tipis. Kemudian lapis tipis tersebut dihidrasi dengan menggunakan dapar
pospat pada suhu 65˚C Suspensi fitosomal yang dihasilkan disimpan pada
suhu kamar. Rancangan formula fitosom ekstrak bawang putih dapat dilihat
pada Tabel 1.
pH
Caranya: elektroda dicuci dan dibilas dengan air suling, keringkan.
Kalibrasi alat dengan menggunakan larutan dapar standar pH 4 dan pH 7.
Elektroda dimasukkan ke dalam mikroemulsi, dicatat pHnya.
Viskositas
Viskositas sangat penting dalam kemampuan menyebar formulasi pada
kulit, Viskositas formula fitosom ditentukan dengan menggunakan
Viskometer Brookfield Digital.
Evaluasi morfologi
Evaluasi bentuk morfologi atau bentuk fisik fitosom ekstrak bawang putih
dilakukan dengan menggunakan TEM (Transmission Electron
Microscopy). Tahap pengerjaan TEM adalah dengan meneteskan sampel
pada coated cumprum grid sebanyak satu tetes sampai terbentuk lapisan
11
FT-IR
Untuk analisis FT-IR, fitosom yang telah disiapkan di catat pada
Shimadzu FT-IR 8400s dan MB3000 dalam matriks KBr dengan spectrum
4000 sampai 500cm-1 pada resolusi2cm-1.
Efisiensi Penyerapan
1. Penentuan panjang gelombang maksimum Bawang Putih dan kurva
kalibrasi dengan spektrofotometer UV-VIS
Standar Bawang putih ditimbang sebanyak 50,0 mg dengan
seksama, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 ml. Pelarut
metanol digunakan untuk melarutkan bawang putih standard. Metanol
ditambahkan hingga garis batas labu tentukur, kocok hingga homogen
(dihasilkan bawang putih standard 1000 ppm). 1,0 ml larutan bawang
putih standard 1000 ppm dipipet dengan menggunakan pipet volume,
kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 100,0 ml. Metanol
ditambahkan hingga garis batas labu tentukur, sehingga dihasilkan larutan
bawang putih standard dengan konsentrasi 10 ppm. Spektrofotometer
diatur pada panjang gelombang 400 nm sampai dengan 700 nm. Larutan
tersebut dimasukkan ke dalam kuvet untuk dibaca spektrumnya dengan
alat spektrofotometer, sehingga diperoleh panjang gelombang maksimum
bawang putih. Setelah itu larutan standard 10 ppm dipipet 1,0 ml, 2,0 ml,
3,0 ml, 4,0 ml, 5,0 ml, dan 6,0 ml dan dituangkan masing-masing kedalam
labu tentukur 10,0 ml, lalu dicukupkan volumenya dengan metanol, kocok
homogen. Kemudian setiap ppm bawang putih standard diukur serpannya
dengan alat spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
maksimum. Serapan yang diperoleh dan konsentrasi bawang putih tiap
serapan diplotkan untuk menghasilkan kurva kalibrasi, kemudian ditarik
ditentukan persamaan regresi linearnya (y= a + bx)
200 gram BB
Misal BB tikus 200 g = 1000 gram BB x 51,36 mg/kg BB
= 10,27 mg/200 g BB
semua tikus diperiksa kembali pada hari pertama (H1) setelah 24 jam
pemberian aloksan dan pada awal hari kedua (H2) jam ke-0. Setelah kadar
glukosa darah diukur, semua kelompok tikus diberikan perlakuan. Kelompok
kontrol positif diberikan analog insulin yaitu metformin dengan dosis 10,27
mg/200 gBB tikus, dan tiga kelompok diberikan fitosom bawang putih
dengan dosis 3 mg/200 gBB tikus, 6 mg/200 gBB tikus, dan 12 mg/200 gBB
tikus. Kadar glukosa darah pada semua tikus kemudian diperiksa pada jam
ke-6, 12, 18, dan 24. Semua sampel darah diambil dari pemotongan ujung
ekor tikus dan kadar glukosa darah diukur dengan spektrofotometer klinis.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, G.2012. Sistem penghantaran obat pelepasan terkendali. Seri III. Penerbit
ITB. Bandung. Hal 257-266.
14
Davis SN, Granner DK. 2012. Insulin, Senyawa Hipoglikemia Oral, dan
Farmakologi Endokrin Pankreas. Dalam: Hardman JG, Limbid LE,
Gilman AG (Eds.). Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi.
Edisi 10. Volume 4. Terjemahan: Tim Ahli Bahasa Sekolah Farmasi ITB.
EGC. Jakarta. Hlm. 1655, 1659, 1670-1675.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Jakarta. Hlm.
24-26,36.
Ellmore, G, R. Feldberg. 1994. Alliin lyase localization in bundle sheaths of garlic
clove (Allium sativum). American Journal of Botany 81: 89-95.
Hernawan UE, Setyawan AD. 2003. Senyawa Oragnosulfur Bawang Putih
(Allium sativum L.) dan aktivitas Biologisnya. Biofarmasi I (2): 65-76.
Iriawan, N., dan Astuti, S.P. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah
Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta. Penerbit ANDI.
Kennedy MSN. 2013. Hormon Pankreas & Obat Antidiabetes. Dalam: Katzung
BG, Masters SB, Trevor AJ (Eds.). Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi
12. Volume 2. Terjemahan: Pendit BU. EGC. Hlm. 850-853, 861-862.
M, Ibrahim Abdulbaqi. Darwis, Yusrida. Et al. Review :Ethosomal
nanocarriers:the impact of constituents and formulation techniques on
ethosomal properties, in vivo studies, and clinical trials. Internasional
journal medicine. 2016.
Mahendra B, Krisnatuti D, Tobing A, Alting BZA. 2008. Care Your Self Diabetes
Mellitus. Penebar Plus. Jakarta. Hlm. 39-40.
15