Anda di halaman 1dari 15

1

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia dan abnormalitas pada metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein (Triplitt et al. 2015). Data World Health Organization
(WHO) menunjukan sekitar 150 juta orang penderita DM diseluruh dunia dan
jumlah ini akan terus meningkat dua kali lipat pada tahun 2025 (WHO 2015).
Terdapat dua bentuk DM yaitu DM tipe 1 yang terjadi pada 5 - 10% dari
semua kasus dan DM tipe 2 yang terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes
(Triplitt et al. 2015). DM tipe 2 disebabkan karena resistensi insulin dan
gangguan pengaturan sekresi insulin (Agoes dkk. 2009).Pengobatan DM dapat
dilakukan dengan diet dan latihan fisik serta terapi obat (Agoes dkk. 2009).
Secara umum DM dapat diatasi dengan obat antidiabetes oral yang secara
medis disebut dengan obat hipoglikemia oral (OHO). OHO biasanya diberikan
bersama terapi insulin untuk memperbaiki sensitivitas insulin yang digunakan
apabila diet dan latihan fisik tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah
(Noor 2015). Selain obat, pengobatan tradisional menjadi salah satu pilihan
untuk mengobati diabetes. Pengobatan tradisional bisa dikombinasikan dengan
obat medis, pengkombinasian ini terbukti cukup menolong penderita yang
bergantung dengan obat (Utami 2008). Salah satu bahan yang diketahui dapat
digunakan untuk mencegah dan mengobati DM adalah bawang putih (Allium
sativum L.) (Sheela et al, 1995)
Bawang putih (Allium sativum L.) di Indonesia, selain umum digunakan
sebagai bumbu masakan, juga dimanfaatkan untuk mengobati tekanan darah
tinggi, gangguan pernafasan, sakit kepala, ambeien, sembelit, luka memar atau
sayat, cacingan, insomnia, kolesterol, flu, gangguan saluran kencing, dan lain-
lain (Thomas, 2000; Rukmana, 1995). Beberapa senyawa bioaktif utama
bawang putih adalah ajoene, kelompok allil sulfida, allil sistein, serta senyawa
alliin dan allisin yang dipercaya sebagai anti diabetes dengan mekanisme
perangsangan pankreas untuk mengeluarkan sekret insulinnya lebih banyak
(Banerjee dan Maulik, 2002). Penggunaan bawang putih secara langsung
menimbulkan rasa kurang menyenangkan sehingga perlu diformulasikan
dalam bentuk sediaan. Permasalahan penggunaan bahan alam sebagai bahan
aktif dalam suatu bentuk sediaan adalah rendahnya bioavailabilitas. Hal
tersebut dapat diatasi dengan menggunakan rancangan penghantaran yang
sesuai sehingga bahan alam tersebut dapat dihantarkan pada dosis yang tepat
untuk bisa menghasilkan efek yang diinginkan (Rudra Pratap Singh and
Ramakant Narke, 2015).
Salah satu sistem penghantaran bahan alam yang sedang berkembang
adalah fitosom karena mempunyai efektifitas yang tinggi. Fitosom merupakan
suatu teknologi yang dikembangkan untuk menggabungkan ekstrak dari
tanaman yang larut didalam fitokonstituen ke dalam fosfolipid untuk
2

membentuk kompleks molekul lipid. Kompleks ini dapat melindungi zat aktif
ekstrak tanaman dari kerusakan akibat sekresi pencernaan dan bakteri pada
usus. Sehingga, penyerapan dan bioavailabilitas obat menjadi lebih baik serta
dapat memperbaiki efek farmakologis dan farmakokinetik dari ekstrak
tanaman tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan hewan coba tikus wistar
(Rattus norvegicus). Tikus diinduksi Aloksan dengan dosis 130 mg/kgBB
tikus untuk menginduksi kerusakan sel B pankreas sehingga glukosa darah
tikus meningkat. Aloksan diberikan secara intraperitoneal pada perut tikus
bagian bawah. Penelitian sebelumnya, melaporkan bahwa ekstrak bawang
putih yang diberikan dengan dosis 6 mg/200gBB tikus dan 12 mg/200gBB
tikus mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah tikus wistar.
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini dilakukan untuk melihat aktivitas
antidiabetes sistem fitosom ekstrak bawang putih dalam menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus hiperglikemia. Pada penelitian ini, pertama akan
dilakukan pembuatan sistem fitosom ekstrak bawang putih dengan
perbandingan rasio fosfolipid dan ekstrak bawang putih (1:1), (1:2) dan (2:1).
Metode yang digunakan adalah metode eksperimental dengan menggunakan
variasi dosisyang lebih besar pada kelompok hewan uji, kelompok kontrol
positif diberi analog insulin yaitu metformin, dan satu kelompok hanya diberi
aloksan. Ekstrak diberikan secara oral dengan menggunakan sonde lambung.
Pengukuran setiap parameter darah dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer klinikal. Hasil yang didapatkan dari pelakuan ini akan
dilanjutkan dengan analisa data statistik untuk melihat adanya perbedaan dari
setiap kelompok.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas apakah fitosom ekstrak bawang putih (Allium
sativum L.) mempunyai aktivitas sebagai antidiabetes terhadap penurunan
kadar glukosa darah pada tikus galur wistar (Rattus norvegicus)?.

1.3 Tujuan Khusus


Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas fitosom ekstrak
bawang putih (Allium sativum L.) sebagai antidiabetes dalam menurunkan
kadar glukosa darah pada tikus galur wistar (Rattus norvegicus) yang
menderita hiperglikemia.

1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai fitosom
ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) yang dapat menurunkan kadar
glukosa darah sehingga dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif pada
penderita diabetes.
3

1.5 Luaran
Publikasi jurnal nasional

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bawang Putih


Bawang Putih (Allium sativum L.) Bawang putih memiliki taksonomi
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatofita
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Liliospida
Ordo : Amarryllidales
Family : Alliaceae
Subfamily : Alliodeae
Genus : Allium
Species : Allium sativum
Bawang putih termasuk dalam familia alliaceae (Becker dan Bakhuizen
van den Brink, 1963). Bawang putih membentuk umbi lapis berwarna putih.
Sebuah umbi terdiri dari 8–20 siung (anak bawang). Antara siung satu dengan
yang lainnya dipisahkan oleh kulit tipis dan liat, serta membentuk satu
kesatuan yang kuat dan rapat. Di dalam siung terdapat lembaga yang dapat
tumbuh menerobos pucuk siung menjadi tunas baru, serta daging
pembungkus lembaga yang berfungsi sebagai pelindung sekaligus gudang
persediaan makanan. Bagian dasar umbi pada hakikatnya adalah batang
pokok yang mengalami rudimentasi (Santoso, 2000; Zhang, 1999).
Bawang putih umumnya tumbuh di dataran tinggi, tetapi varietas tertentu
mampu tumbuh di dataran rendah. Tanah yang bertekstur lempung berpasir
atau lempung berdebu dengan pH netral menjadi media tumbuh yang baik.
Lahan tanaman ini tidak boleh tergenang air. Suhu yang cocok untuk
budidaya di dataran tinggi berkisar antara 20–25˚C dengan curah hujan
sekitar 1.200–2.400 mm pertahun, sedangkan suhu untuk dataran rendah
berkisar antara 27–30˚C (Santoso, 2000).
Sebagaimana kebanyakan tumbuhan lain, bawang putih mengandung lebih
dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi sangat berguna (Challem,
1995). Senyawa ini kebanyakan mengandung belerang yang bertanggung
jawab atas rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang putih (Ellmore
dan Fekldberg, 1994).
Telah diketahui senyawa yang berperan dalam menurunkan kadar glukosa
darah pada ekstrak bawang putih yakni alliin (Augusti, 1975; Sheela et al.,
1995). Kemungkinan masih terdapat senyawa lain yang juga mampu
menurunkan kadar glukosa darah pada diabetes mellitus. Alliin mampu
4

menjadi agen anti-diabetes dengan mekanisme perangsangan pankreas untuk


mengeluarkan sekret insulinnya lebih banyak (Banerjee dan Maulik, 2002).

Gambar 1. Struktur Alliin (Hernawan dan Setyawan, 2003)

Para pakar kesehatan secara konsisten melakukan penggalian informasi


khasiat bawang putih melalui penelitian farmakologi laboratoris yang
sistematis (Rukmana, 1995). Tahapan pengujian, penelitian, dan
pengembangan secara sistematis perlu dilakukan agar pemanfaatan dan
khasiat bawang putih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Budhi,
1994). Berbagai penelitian yang telah dikembangkan untuk mengeksplorasi
aktivitas biologi bawang putih yang terkait dengan farmakologi, antara lain
yaitu penelitian mengenai ekstrak bawang putih yang mengandung senyawa
Diallyl disulfida yang dienkapsulasi dalam fitosom dapat menjadi alternatif
yang efektif untuk terapi kanker (Abdul Azeez Nazeer, 2017).

2.2 Fitosom
Fitosom merupakan suatu teknologi yang dikembangkan dari pembuatan
obat dan nutraceutical, untuk menggabungkan ekstrak dari tanaman yang
larut didalam fitokonstituen ke dalam fosfolipid untuk membentuk kompleks
molekul lipid (Jain et al., 2010). Keuntungan dari fitosom antara lain dapat
meningkatkan kelarutan dari senyawa fitokonstituen dalam lemak baik secara
oral maupun secara topikal, dan secara signifikan dapat meningkatkan
manfaat terapeutiknya. Selain itu juga dapat meningkatkan absorbsi senyawa
aktif dan dimana ikatan kimia antara fosfatidilkolin dan fitokonstituen
menunjukkan stabilitas yang baik (Sharma and Roy, 2010).
Perbedaan antara fitosom dan liposom, liposom dibentuk dengan
mencampurkan senyawa polar dengan fosfatidilkolin secara pasti dalam rasio
dan kondisi tertentu. Pada proses ini tidak ada ikatan kimia yang terbentuk,
molekul fosfatidilkolin hanya mengelilingi senyawa polar. Mungkin ada
ratusan atau bahkan ribuan molekul fosfatidilkolin di sekitar senyawa polar.
Sebaliknya, fitosom membentuk kompleks molekul saat mencampurkan
fosfatidilkolin dengan komponen tanaman dengan perbandingan 1:1, 1:2 atau
2:1 tergantung pada kompleks zat yang melibatkan ikatan kimia. Perbedaan
ini menjadikan fitosom menjadi jauh lebih baik daripada liposom karena
menunjukkan bioavailabilitas yang lebih baik.
5

2.3 Komponen Pembentuk Fitosom


2.3.1 Fosfolipid
Fosfolipid merupakan kompleksitas gliserida dengan modifikasi hidroksil
termasuk dengan gugus kepala polar membentuk fosfolipid. Fosfolipid
diturunkan namanya dari gugus fosfat terikat pada salah satu hidroksil
terminal akhir dari gliserol. Gugus fosfat yang bermuatan juga selaku
jembatan antara kerangka gliserol dan gugus kepala selanjutnya. Karena sifat
amfifatiknya, fosfolipid digunakan sebagai agen pengemulsi dan pendispersi.
Fosfolipid yang utama dalam lesitin kedelai adalah fosfatidilkolin,
fosfatidiletanol amin, dan fosfatidilinositol (Szuhaj, 2005).Lesitin berbentuk
setengah dan bubuk, tergantung pada kandungan asam lemak bebas.
Berwarna dari coklat untuk menyalakan kuning, tergantung pada derajat
kemurnian lesitin, praktis tidak berbau, memiliki rasa hambar atau seperti
minyak kedelai.(Rowe et al., 2009)

Gambar 2. Struktur lecithin (Rowe et al.,2009)

2.3.2 Etanol
Pelarut etanol dan larutan etanol – air dengan berbagai konsentrasi yang
banyak digunakan dalam sediaan farmasi dan kosmetik. Meskipun etanol
sering digunakan sebagai pelarut, etanol juga digunakan sebagai disinfektan,
dan bahan pengawet. Secara topical larutan etanol digunakan dalam
pengembangan pengiriman obat transdermal sistem sebagai peningkat
penetrasi. Etanol juga telah digunakan dalam pengembangan persiapan
transdermal sebagai co-surfaktan.

Gambar 3. Struktur etanol (Roweet al.,2009)

2.4 Diabetes
Diabetes Millitus (DM) adalah sekelompok sindrom yang ditandai dengan
hiperglikemia, perubahan metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein yang
dapat meningkatkan resiko komplikasi penyakit pembuluh darah (Davis dan
Granner 2012). DM tipe 2 ditandai oleh resistensi jaringan terhadap efek
6

insulin dikombinasikan dengan defisiensi relatif sekresi insulin. Kriteria


diagnosis DM adalah kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL, glukosa darah 2 jam
setelah makan ≥ 200 mg/dL, dan HbA1c ≥ 8%, jika kadar glukosa 2 jam
setelah makan > 140 mg/dL, tetapi ≤dari 200 mg/dL maka dinyatakan
toleransi glukosa lemah (Sukandar dkk. 2010).
Pengobatan DM ditujukan untuk menjaga agar kadar glukosa berada
dalam kisaran normal.. Pengobatan DM dapat dilakukan dengan tanpa obat
(non farmakologis) berupa diet dan olahraga, ataupun dengan obat
(farmakologis) (Depkes 2005). Obat DM dapat berupa suntikan dan tablet
yang dapat diminum atau biasa disebut obat hipoglikemia oral (OHO) atau
obat antidiabetes oral yang terdiri dari beberapa golongan (Mahendra 2008).
Masing- masing golongan dan mekanisme kerja obat hipoglikemia oral
(OHO) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Penggolongan dan Mekanisme Obat Hipoglikemia Oral (Depkes


2005, Davis dan Granner 2012).

Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja


Sulfonylurea Glibenklamida Merangsang sekresi insulin dari sel β
Glikazida pankreas, hanya efektif pada penderita
Glimepirida diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih
berfungsi.

Meglitinid Repaglinide Merangsang sekresi insulin di pancreas


Nateglinide dengan menutup saluran kalium pada sel β
pankreas.

Biguanid Metformin Bekerja langsung pada hati, menurunkan


glukogenesis di hati.

Tiazolidindion Rosiglitazone Berikatan dengan PPARγ (peroxisome


Troglitazone proliferator activated receptor-gamma) di
Pioglitazone otot, jaringan lemak, dan hati untuk
mengurangi resistensi insulin.

Inhibitor α- Acarbose Menghambat kerja α- glukosidase di usus


glukosidase Miglitol kemudian memperlambat absorbsi
karbohidrat, sehingga hiperglikmia pasca
makan berkurang.

Inhibitor Sitagliptin Meningkatkan sekresi insulin dan


DPP-4 Linagliptin menghambat sekresi glukagon.
7

2.5 Hewan Uji


2.5.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Krinke (2000) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Species : Rattus norvegicus

2.5.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)


Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna
mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala
penelitian atau pangamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh
sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda
dibanding dengan mamalia lainnya seperti manusia. Selain itu, penggunaan
tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis
dan kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama produksi 1 tahun.
Kelompok tikus laboratorium pertama-tama dikembangkan di Amerika
Serikat antara tahun 1877 dan 1893. Keunggulan tikus putih dibandingkan
tikus liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan
musiman, dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya
sebagai hewan laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal
sendirian dalam kandang asal dapat mendengar suara tikus lain dan berukuran
cukup besar sehingga memudahkan pengamatan. Secara umum, berat badan
tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya
pada umur empat minggu beratnya 35-40 g, dan berat dewasa rata-rata 200-
250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur.
Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian.
Galur-galur tersebut antara lain: Wistar, Sprague Dawley, Long Evans, dan
Holdzman. Dalam penelitian ini digunakan galur Wistar dengan ciri-ciri
berwarna putih, mempunyai kepala lebar, telinga panjang dan memiliki ekor
panjang tidak melebihi panjang tubuhnya (Smith, 1998). Tikus ini
dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 untuk digunakan dalam
biologi dan penelitian medis. Tikus Wistar lebih aktif daipada jenis lain
seperti Tikus Sprague Dawley. Keuntungan utamanya adalah kemudahan
penanganannya.
8

2.6 RSM
RSM adalah kumpulan statistik dan matematika teknik yang berguna
untuk mengembangkan, meningkatkan, dan mengoptimalkan proses, di mana
respon dipengaruhi oleh beberapa faktor (variabel independen). Response
Surface Methodology (RSM) tidak hanya mendefinisikan pengaruh variabel
independen, tetapi juga menghasilkan model matematis, yang menjelaskan
proses kimia atau biokimia. Gagasan utama dari metode ini adalah
mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap respon, mendapatkan model
hubungan antara variabel bebas dan respon serta mendapatkan kondisi proses
yang menghasilkan respon terbaik. Di samping itu, keunggulan metode RSM
ini di antaranya tidak memerlukan data-data percobaan dalam jumlah yang
besar dan tidak membutuhkan waktu lama. RSM merupakan kumpulan dari
teknik matematika dan statistik yang digunakan untuk modeling dan
menganalisis masalah, dimana beberapa variabel mempengaruhi sebuah
respons, tujuannya untuk mengoptimalkan respons tersebut. Keuntungan
menggunakan metode RSM yaitu lebih cepat dan informatif dibanding
dengan pendekatan satu variabel klasik atau desain faktorial lengkap. Dengan
metode RSM dapat diketahui bagaimana kombinasi kondisi proses ekstraksi
yang baik untuk mendapatkan kadar total fenol yang optimal. Selain itu
dengan metode RSM dapat mengetahui pengaruh interaksi antar variabel
(Iriawan & Astuti, 2006).

BAB 3. METODELOGI PENELITIAN

3.1 Tempat Penelitian


Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Farmasi Fisik, Laboratorium
Fitokimia, Laboratium Analisa Farmasi, Laboratorium Instrumen,
Laboratorium Biofarmasetika, Laboratorium Hewan dan Laboratorium
Farmakologi Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof.
Dr. HAMKA.

3.2 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
SpektrofotometerUV-1601, pHmeter, Neraca Analitik, Ultrasentrifugasi,
Pengaduk Magnetik, vacuum rotary evaporator, lemari pendingin, Sel Difusi
Franz dengan volume 14 ml, thermostat syringe, Frourier-Transform Infrared
Spectrofotometer (FTIR), Particle Size Analyzer (PSA), Transmission
Electron Microscopy (TEM), Waterbath. wadah plastik, kawat kasa, botol
minuman, wadah makanan, oven, blender, corong pemisah, kertas saring,
cawan petri, labu erlenmeyer, timbangan analitik, batang pengaduk, gelas
ukur, glukometer, gunting, kapas, stopwatch, sonde lambung, semprit 1 cc,
dan spektrofotometer klinikal.
9

Bahan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini meliputi : Bawang


Putih, Ethanol, Lechyitin, Aqua dest, dan cairan spangler, dapar fosfat, etanol
70%, aloksan, analog insulin dan pakan AD2

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan Ekstrak Bawang Putih


Pembuatan esktrak bawang putih dilakukan dengan cara yaitu bawang putih
yang sudah dikeringkan di oven dihaluskan dengan menggunakan blender.
Selanjutnya bawang putih diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan
2000 ml etanol 70%. Setelah dimaserasi selama 10 hari (setiap hari diaduk),
hasil larutan disaring menggunakan kertas saring, didapatkan filtrat. Filtrat
kemudian ditempatkan dalam cawan petri dan diuapkan sampai didapatkan
ekstrak pekat. Ekstrak inilah yang digunakan dalam penelitian (Bimbi Putri
Cahya dkk, 2015).

3.3.2 Parameter Spesifik dan non Spesifik Ekstrak


1) Organoleptis (Umoro, 2015)
Pengamatan organoleptis dilakukan setelah 24 jam dari sediaan dibuat yang
meliputi pengamatan terhadap bentuk, warna, dan bau pada suhu kamar.
Bentuk dilihat dari sediaan yang mampu mengalir dalam wadah. Warna
dilihat dengan latar belakang kertas putih disertai dengan penerangan lampu.
Bau dicium dengan cara dikibaskan diatas sedian yang telah jadi.

2) Pengukuran pH (DepkesRI, 1995)


Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter setelah 24 jam
sediaan dibuat, dengan cara sebagai berikut :
a) Elektroda dicuci dan dibilas dengan air suling, keringkan
b) Kalibrasi alat dengan menggunakan larutan dapar standar pH 4 dan pH 7.
c) Elektroda dimasukkan ke dalam mikroemulsi, catat pHnya. Diulangi
sebanyak tiga kali.

3) Bobot Jenis (Depkes RI, 1995)


Bobot jenis diukur menggunakan piknometer.Pengamatan dilakukan setelah
3 hari sediaan dibuat. Berikut ini prosedur pengukuran bobot jenis :
a) Piknometer dibersihkan, dikeringkan, dan dikalibrasi dengan menetapkan
bobot piknometer dan bobot air yang baru dididihkan, pada suhu 25˚C.
b) Piknometer kosong ditimbang pada suhu 25˚C, lalu ditimbang dan dicatat
bobotnya sebagai W0.
c) Piknometer diisi aquadest pada suhu 25˚C, lalu ditimbang dan dicatat
bobotnya sebagai W1.
10

d) Piknometer diisi mikroemulsi pada suhu 25˚C, lalu ditimbang dan dicatat
bobotnya sebagai W2.

Bobot jenis dihitung dengan rumus :

𝑤2 − 𝑤0
𝐵𝐽 =
𝑤1 − 𝑤0
3.3.3 Pembuatan Fitosom
Fitosom dibuat dengan mengomplekskan fosfolipid dengan ekstrak bawang
putih dengan beberapa variasi perbandingan dan dengan pengadukan secara
terus menerus menggunakan teknik penguapan pelarut hingga diperoleh lapis
tipis. Kemudian lapis tipis tersebut dihidrasi dengan menggunakan dapar
pospat pada suhu 65˚C Suspensi fitosomal yang dihasilkan disimpan pada
suhu kamar. Rancangan formula fitosom ekstrak bawang putih dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 2. Rancangan Formula Fitosom Ekstrak Bawang Putih


Formula (%)
No. Bahan
F1 F2 F3
Ekstrak Bawang
1. 0,25 0,25 0,5
Putih
2. Lechitin 0,25 0,5 0,25
3. Dapar fosfat 100 100 100

3.3.4 Evaluasi Fitosom

 pH
Caranya: elektroda dicuci dan dibilas dengan air suling, keringkan.
Kalibrasi alat dengan menggunakan larutan dapar standar pH 4 dan pH 7.
Elektroda dimasukkan ke dalam mikroemulsi, dicatat pHnya.

 Viskositas
Viskositas sangat penting dalam kemampuan menyebar formulasi pada
kulit, Viskositas formula fitosom ditentukan dengan menggunakan
Viskometer Brookfield Digital.

 Evaluasi morfologi
Evaluasi bentuk morfologi atau bentuk fisik fitosom ekstrak bawang putih
dilakukan dengan menggunakan TEM (Transmission Electron
Microscopy). Tahap pengerjaan TEM adalah dengan meneteskan sampel
pada coated cumprum grid sebanyak satu tetes sampai terbentuk lapisan
11

tipis kemudian ditambahkan satu tetes phosphotungstic 1%. Selanjutnya


sampel dikeringkan dan diamati bentuk vesikelnya (Ratnasari et al., 2016).

 FT-IR
Untuk analisis FT-IR, fitosom yang telah disiapkan di catat pada
Shimadzu FT-IR 8400s dan MB3000 dalam matriks KBr dengan spectrum
4000 sampai 500cm-1 pada resolusi2cm-1.

 Distribusi Ukuran Partikel


Distribusi ukuran partikel menggunakan PSA (Particle Size Analyzer).
Larutan aquades digunakan sebagai baseline, kemudian sebanyak 10 mL.
sampel dimasukan kedalam kuvet kemudian kuvet tersebut dimasukan ke
dalam PSA. Alat diatur sesuai prosedur penelitian, setelah itu akan terukur
partikel gobul-gobulfitosom. Data yang diperoleh kemudian disimpan.

 Efisiensi Penyerapan
1. Penentuan panjang gelombang maksimum Bawang Putih dan kurva
kalibrasi dengan spektrofotometer UV-VIS
Standar Bawang putih ditimbang sebanyak 50,0 mg dengan
seksama, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 ml. Pelarut
metanol digunakan untuk melarutkan bawang putih standard. Metanol
ditambahkan hingga garis batas labu tentukur, kocok hingga homogen
(dihasilkan bawang putih standard 1000 ppm). 1,0 ml larutan bawang
putih standard 1000 ppm dipipet dengan menggunakan pipet volume,
kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 100,0 ml. Metanol
ditambahkan hingga garis batas labu tentukur, sehingga dihasilkan larutan
bawang putih standard dengan konsentrasi 10 ppm. Spektrofotometer
diatur pada panjang gelombang 400 nm sampai dengan 700 nm. Larutan
tersebut dimasukkan ke dalam kuvet untuk dibaca spektrumnya dengan
alat spektrofotometer, sehingga diperoleh panjang gelombang maksimum
bawang putih. Setelah itu larutan standard 10 ppm dipipet 1,0 ml, 2,0 ml,
3,0 ml, 4,0 ml, 5,0 ml, dan 6,0 ml dan dituangkan masing-masing kedalam
labu tentukur 10,0 ml, lalu dicukupkan volumenya dengan metanol, kocok
homogen. Kemudian setiap ppm bawang putih standard diukur serpannya
dengan alat spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
maksimum. Serapan yang diperoleh dan konsentrasi bawang putih tiap
serapan diplotkan untuk menghasilkan kurva kalibrasi, kemudian ditarik
ditentukan persamaan regresi linearnya (y= a + bx)

2. Efisiensi penyerapan Fitosom


Efisiensi penjerapan dilakukan dengan metode ultrasentrifugasi
untuk memisahkan zat aktif yang terjerap dan tidak terjerap dalam fitosom
12

pada kecepatan 6000 rpm selama 2 jam. Diambil sedimen


dansupernatannya untuk mengukur kadar bawang putih yang terjerap dan
tidak terjerap dalam vesikel fitosom. Sejumlah 1 ml dicukupkan
volumenya dengan metanol hingga 10 ml, larutan yang di peroleh diukur
absorbansi menggunakan spektrofotometer UV-VIS (Shaji et al.2014).
(𝑄𝑡 − 𝑄𝑠)
%EE = ( ) . 100
𝑄𝑡
EE adalah efisiensi penjerapan, Qt adalah jumlah teoritis bawang putih
yang ditambahkan, dan Qs adalah jumlah bawang putih yang terdeteksi
di supernatan (Suryani et al., 2014).

3.3.6 Penentuan Dosis dan Pemberian Aloksan


Penelitian ini menggunakan aloksan dengan dosis 130 mg/kgBB. Aloksan
diberikan secara intraperitoneal pada perut tikus bagian bawah.

3.3.7 Perhitungan dosis metformin


Pada parameter glukosa darah, obat pembanding yang digunakan adalah
metformin. Dosis lazim metformin pada manusia adalah 500 mg (Kennedy
2013). Dosis yang diberikan pada hamster dalam penelitian ini adalah 500
mg. Dosis dikonversikan dari dosis manusia ke dosis tikus. dengan diketahui
faktor Km manusia dewasa adalah 37 dan faktor Km tikus adalah 6.
Berdasarkan konversi dosis, maka metformin pada hamster yaitu:
Dosis untuk manusia = 500 mg/60 kg BB
Faktor Km manusia
Dosis untuk tikus = Dosis manusia x Faktor Km tikus
37
= 8,33 mg/kg BB x 5
= 51,36 mg/kg BB

200 gram BB
Misal BB tikus 200 g = 1000 gram BB x 51,36 mg/kg BB
= 10,27 mg/200 g BB

Metformin dibuat menjadi suspensi metformin dengan cara mencampurkan


metformin sebanyak 10,27 mg/200 g BB tikus dengan Na-CMC 0,5%.

3.3.5 Perlakuan Hewan Uji (Putri Bimbi Cahya, 2015)


Hewan uji dibagi dalam enam kelompok. Sebelum pengukuran pada hari ke
nol (H0), semua tikus dipuasakan selama 12 jam. Setelah 12 jam kadar
glukosa darah puasa semua tikus diperiksa, setelah itu satu kelompok tikus
hanya diberikan aquades sedangkan lima kelompok tikus diberikan aloksan
dengan dosis 130 mg/kgBB tikus untuk menginduksi kerusakan sel B
pankreas sehingga glukosa darah tikus meningkat. Kadar glukosa darah
13

semua tikus diperiksa kembali pada hari pertama (H1) setelah 24 jam
pemberian aloksan dan pada awal hari kedua (H2) jam ke-0. Setelah kadar
glukosa darah diukur, semua kelompok tikus diberikan perlakuan. Kelompok
kontrol positif diberikan analog insulin yaitu metformin dengan dosis 10,27
mg/200 gBB tikus, dan tiga kelompok diberikan fitosom bawang putih
dengan dosis 3 mg/200 gBB tikus, 6 mg/200 gBB tikus, dan 12 mg/200 gBB
tikus. Kadar glukosa darah pada semua tikus kemudian diperiksa pada jam
ke-6, 12, 18, dan 24. Semua sampel darah diambil dari pemotongan ujung
ekor tikus dan kadar glukosa darah diukur dengan spektrofotometer klinis.

BAB 4. BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN

4.1 Anggaran Biaya


Tabel 3. Anggaran Biaya
No Jenis Pengeluaran Biaya (Rp.)
1 Peralatan Penunjang 5.778.000
2 Bahan Habis Pakai 3.765.000
3 Perjalanan 500.000
4 Lain-lain 2.330.000
Jumlah 12.373.000

4.2 Jadwal Kegiatan


Tabel 4. Jadwal Kegiatan
No. Kegiatan Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3 Bulan ke-4
1 Persiapan
alat dan
bahan
2 Peminjaman
alat
penunjang
3 Penelitian
dan
pengamatan
4 Membuat
laporan
akhir

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G.2012. Sistem penghantaran obat pelepasan terkendali. Seri III. Penerbit
ITB. Bandung. Hal 257-266.
14

Amagase, H., B.L. Petesch, H. Matsuura, S. Kasuga, Y. Itakura. 2001. Intake of


garlic and bioactive components. Journal of Nutrition 131 (3): 955S–
962S.

Augusti, K.T. 1975. Studies on the effect of allicin (diallyl disulphideoxide) on


alloxan diabetes. Experientia 31 (11): 1263–1265.

Banerjee SK. SK. Maulik. 2002. Effect of garlic on cardiovasculer disorders: a


review. Nutrition Journal 1 (4): 1–14.

Becker CA. R.C. Bakhuizen van den Brink. Flora of Java.Volume: 1.


Netherlands: N.V.P. Nordhoff

Budhi, M. 1994. Tahap–tahap pengembangan obat tradisional.Majalah


Kedokteran Udayana. 5: 107–113.

Challem, J. 1995. The Wonders of Garlic.http://www.jrthorns. com/


Challem/garlic.html

Davis SN, Granner DK. 2012. Insulin, Senyawa Hipoglikemia Oral, dan
Farmakologi Endokrin Pankreas. Dalam: Hardman JG, Limbid LE,
Gilman AG (Eds.). Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi.
Edisi 10. Volume 4. Terjemahan: Tim Ahli Bahasa Sekolah Farmasi ITB.
EGC. Jakarta. Hlm. 1655, 1659, 1670-1675.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Jakarta. Hlm.
24-26,36.
Ellmore, G, R. Feldberg. 1994. Alliin lyase localization in bundle sheaths of garlic
clove (Allium sativum). American Journal of Botany 81: 89-95.
Hernawan UE, Setyawan AD. 2003. Senyawa Oragnosulfur Bawang Putih
(Allium sativum L.) dan aktivitas Biologisnya. Biofarmasi I (2): 65-76.
Iriawan, N., dan Astuti, S.P. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah
Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta. Penerbit ANDI.
Kennedy MSN. 2013. Hormon Pankreas & Obat Antidiabetes. Dalam: Katzung
BG, Masters SB, Trevor AJ (Eds.). Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi
12. Volume 2. Terjemahan: Pendit BU. EGC. Hlm. 850-853, 861-862.
M, Ibrahim Abdulbaqi. Darwis, Yusrida. Et al. Review :Ethosomal
nanocarriers:the impact of constituents and formulation techniques on
ethosomal properties, in vivo studies, and clinical trials. Internasional
journal medicine. 2016.
Mahendra B, Krisnatuti D, Tobing A, Alting BZA. 2008. Care Your Self Diabetes
Mellitus. Penebar Plus. Jakarta. Hlm. 39-40.
15

Nugroho AE. Review: Hewan percobaan diabetes melitus: Patologi dan


mekanisme aksi diabetogenik. Biodiversitas 2006;7(4);378-82.
Ratnasari D, Effionora A.2016. Karakterisasi nanovesikel transfersom sebagai
pembawa rutin dalam pengembangan sediaan transdermal. Vol 1. No 1.
Reagen-Shaw S, Nihal M, Ahman N. Dose translation from animal to human
studies revisited. The FASEB Journal. 2007;22;819-23.
Rowe, Paul J, Sian c. 2006. Handbook of Pharmaceutical Exipients.Sixth edition.
Amerika Pharmacist Assosiation. Wanshinton.
Santoso, H.B. 2000.Bawang Putih. Edisi ke-12. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Shaji J, Garude S. 2014. Transethosomes and ethosomes for enhancedtransdermal
delivery of ketorolac tromethamine: a comparative assessment.Int J Curr
Pharm Res 6(4): 88-93
Shankar R, Vishnu T, Chandra PM, Chandra KS, Dharampal S, Sandhya J. 2015.
Formulation and Evaluation of Ketokonazole Nanoemulsion Gel for
Topical Delivery. Dalam: American Journal of PharmTech Research
2015. Hlm. 446- 460.
Sheela, C.G., K. Kumud, and K.T. Augusti. 1995. Antidiabetic effect of onion and
garlic sulfoxide amino acid in rats. Planta Medica 61: 356–357.
Sukandar EY, Andrajati R, Sigit JI, Adnyana IK, Setiadi AP, Kusnandar. 2010.
ISO Farmakoterapi. ISFI Penerbitan. Jakarta. Hlm. 26.
Tattelman, E. Health effect of garlic. Am Fam Physician 2005;72(1);103-6.
Zhang, X. 1999.WHO Monographs on Selected Medicinal Plants: Bulbus Allii
Sativii. Geneva: World HealthOrganization.

Anda mungkin juga menyukai