Disusun oleh:
Izzati Saidah
030.13.234
Pembimbing:
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD Kardinah Tegal
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya saya
dapat menyelesaikan makalah ini.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian
Penyakit Kulit dan Kelamin Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di RSUD
Kardinah Tegal.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian makalah ini, terutama :
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………….…i
KATAPENGANTAR………………………………………………………….…………ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………........1
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………........27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
(1)
Seng merupakan trace element terbanyak kedua di tubuh manusia setelah besi. Sebagai
kofaktor lebih dari 300 enzim dan 2000 faktor transkripsi, seng berperan penting pada berbagai
(1-5)
proses metabolisme. Defisiensi seng (Zn) merupakan masalah gizi mikro yang belum
sepenuhnya teratasi, hal ini ditunjukkan dengan angka kejadian defisiensi seng yang tinggi di
Indonesia. Beradasarkan hasil penelitian pada tahun 2005 didapatkan sebesar 17,3 % penduduk di
dunia mengalami defisiensi seng. Hasil penelitian pada tahun 2006 juga didapatkan 32% balita
Indonesia mengalami defisiensi seng.(8,9,10)
Zinc penting untuk pertumbuhan organ timus dan jaringan limfoid yang berperan sebagai
organ tempat diferensiasi dan maturasi sel-sel yang terlibat dalam imunitas selular.(6)Fungsi seng
dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu fungsi katalitik, struktural, dan regulasi. Seng
adalah komponen penting di situs katalitik berbagai enzim, misalnya enzim fosfatase alkali dan
matriks metaloproteinase (MMP) yang berperan penting pada proses penyembuhan luka. Seng
merupakan komponen struktural reseptor asam retinoat, reseptor vitamin D, reseptor hormon
steroid, dan protein pengatur gen yang berikatan secara spesifik dengan DNA (zinc finger protein).
Pada fungsi regulasi, seng berperan sebagai sinyal ionik antar sel dan dapat berikatan dengan
elemen respons logam pada faktor transkripsi untuk mengatur ekspresi gen.(7) Seng dapat
ditemukan pada semua jaringan tubuh. Kulit dan adneksanya merupakan organ dengan kandungan
seng terbanyak kedua (20% dari seluruh kandungan seng dalam tubuh) sesudah tulang dan otot,
sehingga pada defisiensi seng dapat ditemukan berbagai kelainan kulit, misalnya dermatitis,
alopesia, kerusakan kuku, penyembuhan luka terhambat, serta kulit kering dan kasar. (1-4)
Di bidang dermatologi, garam seng dalam bentuk seng oksida (ZnO) telah digunakan sejak
(2-4)
lama untuk mempercepat penyembuhan luka. Saat ini, seng juga dimanfaatkan pada banyak
penyakit kulit lain, yaitu akne vulgaris, kelainan kulit akibat defisiensi seng bawaan, infeksi kulit,
(2)
dermatitis, dan kerontokan rambut.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan
hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 2 m2 dengan berat kira-kira 16% berat
badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan
dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitive, bervariasi pada keadaan
iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh. Kulit mempunyai
berbagai fungsi seperti sebagai perlindung, penyerap, dan indera perasa.(11)
Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna terang, pirang dan hitam, warna
merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi, serta warna hitam kecoklatan pada
genitalia orang dewasa. Demikian pula kulit bervariasi mengenai lembut, tipis dan
tebalnya; kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir dan preputium, kulit
yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa. Kulit yang tipis terdapat
pada muka, yang berambut kasar terdapat pada kepala.(11)
2
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu lapisan
epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada garis tegas yang
memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar
dan adanya sel dan jaringan lemak.(11)
1. Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum, stratum
granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. Stratum korneum adalah
lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng yang
mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).
Stratum lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan
sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang
disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki.(11)
Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan
sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini
terdiri atas keratohialin. Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang
berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.
Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti terletak
ditengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya.
Di antara sel-sel stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar sel
yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Pelekatan antar
jembatan-jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus
Bizzozero. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel Langerhans. Sel-sel stratum
spinosum mengandung banyak glikogen.(12)
Stratum germinativum terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang tersusun
vertical pada perbatasan dermo-epidermal berbasis seperti pagar (palisade).
Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini
mrngalami mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel
yaitu sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong
dan besar, dihubungkan satu dengan lain oleh jembatan antar sel, dan sel
pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel berwarna muda dengan
3
sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen (melanosomes).
(11)
2. Lapisan Dermis
Lapisan yang terletak dibawah lapisan epidermis adalah lapisan dermis
yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis dan
fibrosa padat dengan elemen- elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar
dibagi menjadi 2 bagian yakni pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke
epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah, dan pars retikulare yaitu
bagian bawahnya yang menonjol kea rah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-
serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin dan retikulin. Dasar lapisan ini
terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, di bagian ini
terdapat pula fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung hidrksiprolin dan
hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi
kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin
biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih
elastis.(11)
3. Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar,
dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini
membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula yang
fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai
cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah,
dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung pada
lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak mata dan
penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan.(11)
4
profunda). Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil
dermis, pleksus yang di subkutis dan di pars retikulare juga mengadakan
anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan
dengan pembuluh darah terdapat saluran getah bening.(11)
4. Adneksa Kulit
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku. Kelenjar
kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas kelenjar keringat dan kelenjar palit.
Ada 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang kecil-kecil, terletak
dangkal di dermis dengan sekret yang encer, dan kelenjar apokrin yang lebih besar,
terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.(12)
5
sedikit, pada pubertas menjadi lebih besar dan banyak serta mulai berfungsi secara
aktif.(11)
Rambut terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit dan bagian yang
berada di luar kulit. Ada 2 macam tipe rambut, yaitu lanugo yang merupakan
rambut halus, tidak mrngandung pigmen dan terdapat pada sbayi, dan rambut
terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen, mempunyai
medula, dan terdapat pada orang dewasa. Pada orang dewasa selain rambut di
kepala, juga terdapat bulu mata, rambut ketiak, rambut kemaluan, kumis, dan
janggut yang pertumbuhannya dipengaruhi hormone androgen. Rambut halus di
dahi dan badan lain disebut rambut velus. Rambut tumbuh secara siklik, fase
anagen berlangsung 2-6 tahun dengan kecepatan tumbuh kira-kira 0.35 mm per
hari. Fase telogen berlangsung beberapa bulan. Di antara kedua fase tersebut
terdapat fase katagen. Komposisi rambut terdiri atas karbon 50,60%, hydrogen
6,36%,, nitrogen 17,14%, sulfur 5% dan oksigen 20,80%.(11)
1. Proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis,
misalnya terhadap gesekan, tarikan, gangguan kimiawi yang dapat menimbulkan iritasi
6
(lisol, karbol, dan asam kuat). Gangguan panas misalnya radiasi, sinar ultraviolet,
gangguan infeksi dari luar misalnya bakteri dan jamur. Karena adanya bantalan lemak,
tebalnya lapisan kulit dan serabut–serabut jaringan penunjang berperan sebagai pelindung
terhadap gangguan fisis. Melanosit turut berperan dalam melindungi kulit terhadap sinar
matahari dengan mengadakan tanning (pengobatan dengan asam asetil). Proteksi
rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeable terhadap
berbagai zat kimia dan air. Di samping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang
melindungi kontak zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit terbentuk dari hasil
ekskresi keringat dan sebum yang menyebabkan keasaman kulit antara pH 5- 6,5. Ini
merupakan perlindungan terhadap infeksi jamur dan sel–sel kulit yang telah mati
melepaskan diri secara teratur.
2. Absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi cairan
yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitu juga yang larut dalam
lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut
mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi kulit dipengaruhi tebal
tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan dan metabolisme. Penyerapan dapat berlangsung
melalui celah di antara sel, menembus sel–sel epidermis, atau melalui saluran kelenjar dan
yang lebih banyak melalui sel–sel epidermis.
3. Ekskresi
Kelenjar–kelenjar kulit mengeluarkan zat–zat yang tidak berguna lagi atau zat sisa
metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia. Sebum yang
diproduksi oleh kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan sebum (bahan
berminyak yang melindungi kulit) ini menahan air yang berlebihan sehingga kulit tidak
menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat menyebabkan keasaman pada kulit.
4. Persepsi
Kulit mengandung ujung–ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Respons
terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis dan subkutis,
7
terhadap dingin diperankan oleh badan-badan Krause yang terletak di dermis. Badan taktil
Meissner terletak di papila dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula pada Merkel
Ranvier yang terletak di epidermis, sedangkan tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis. Serabut saraf sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik.
6. Pembentukan Pigmen
Sel pembentukan pigmen (melanosit) terletak pada lapisan basal dan sel ini
berasal dari rigi saraf. Melanosit membentuk warna kulit. Pigmen disebar ke epidermis
melalui tangan– tangan dendrit sedangkan lapisan di bawahnya dibawa oleh melanofag.
Warna kulit tidak selamanya dipengaruhi oleh pigmen kulit melainkan juga oleh tebal dan
tipisnya kulit, reduksi Hb, dan karoten.
7. Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan. Sel basal yang
lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuk menjadi sel spinosum. Makin ke atas sel
ini semakin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Semakin lama intinya
menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung
terus menerus seumur hidup. Keratinosit melalui proses sintasis dan degenerasi menjadi
lapisan tanduk yang berlangsung kira–kira 14-21 hari dan memberikan perlindungan kulit
terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.
8
8. Pembentukan vitamin D
Dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari.
Tetapi kebutuhan vitamin D tidak cukup dengan hanya dari proses tersebut. Pemberian
vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.
9
Seng akan berikatan dengan protein transporter ZIP-4 di membran apikal enterosit, masuk ke
dalam sel, disekresikan ke luar sel melewati membran basolateral enterosit, kemudian masuk
(2,3)
ke pembuluh darah. Seng yang masuk ke sirkulasi sistemik akan berikatan dengan albumin
(60%), alpha 2-makroglobulin (30%),dan ligan lain (10%) untuk dibawa ke hepar kemudian
(4)
menuju organ lain. Absorbsi seng dihambat oleh fitat (terdapat dalam serat sayuran, biji-
bijian dan kacang-kacangan), oksalat (terdapat dalam bayam, coklat, dan teh), besi, asam folat,
dan kation divalen (kalsium, kadmium, tembaga). Ekskresi seng terutama melalui usus dan
(2,3,17)
sebagian kecil melalui urin dan keringat.
Absorbsi seng eksogen melalui kulit sangat dipengaruhi integritas stratum korneum
sebagai sawar kulit. Tanpa sawar kulit yang utuh, absorbsi seng sangat meningkat. Absorbsi
seng melalui kulit dipengaruhi oleh pH kulit, sifat fisikokimia sediaan (kelarutan, pH, berat
molekul, koefisien partisi), dan konsentrasi seng. Garam seng akan terhidrolisis oleh mantel
asam di permukaan kulit dan ion seng yang terlepas akan berikatan dengan gugus sulfidril
keratin. Sebagian besar ion seng yang terikat di keratin akan hilang melalui proses eksfoliasi
(4)
kulit dan sisanya akan masuk ke sirkulasi sistemik.
10
konsumsi seng berlebihan adalah rasa kecap logam, mual, muntah, nyeri perut, perdarahan
saluran cerna, dan diare. Sediaan seng topikal dapat menyebabkan iritasi kulit berupa rasa
terbakar, tersengat, gatal, atau kesemutan.(4,5)
Kelarutan adalah faktor utama yang mempengaruhi tingkat iritasi sediaan seng topikal.
Garam seng yang sukar larut tidak mengiritasi kulit.(21) Seng klorida merupakan iritan kuat,
seng asetat menyebabkan iritasi sedang, dan seng sulfat adalah iritan lemah.(5) Reaksi
hipersensitivitas terhadap seng sangat jarang dan jika ada umumnya dikaitkan dengan
vehikulum.(4)
11
2.5.1 Penyembuhan Luka
Seng berperan penting pada hampir semua fase penyembuhan luka. Seng sebagai
komponen fosfatase alkali berperan memodulasi reaksi inflamasi yang terjadi pada fase
(21,22)
awal penyembuhan luka agar luka tidak menjadi kronik. Secara in vitro, seng dapat
memicu ekspresi beberapa integrin sel basal pada fase proliferasi penyembuhan luka.
Integrin berperan penting pada pergerakan keratinosit dan interaksinya dengan matriks
(23,24)
ekstraselular. Beberapa zinc finger protein berperan sebagai faktor transkripsi yang
memicu proliferasi keratinosit untuk menutup jaringan luka. Faktor transkripsi pemicu
produksi kolagen oleh fibroblas juga diperantarai zinc finger protein. Pada fase
remodeling, MMP berperan penting untuk mendegradasi matriks ekstraselular. Aktivitas
MMP sangat bergantung pada seng karena seng adalah komponen katalitik enzim
(21)
tersebut.
Nutrisi memainkan peran tertentu dalam penyembuhan luka. Misalnya, vitamin C
sangat penting untuk sintesis kolagen, vitamin A meningkatkan epitelisasi, dan seng (zinc)
diperlukan untuk mitosis sel dan proliferasi sel. Semua nutrisi, termasuk protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral, baik melalui dukungan parenteral maupun
enteral, sangat dibutuhkan. Malnutrisi menyebabkan berbagai perubahan metabolik yang
mempengaruhi penyembuhan luka.(75)
Pada perawatan ulkus, seng lebih sering digunakan secara topikal. Seng memiliki
kemampuan antimikrobial karena pada konsentrasi tertentu bersifat toksik untuk beberapa
kuman.(4) Berdasarkan hasil penelitian, pemberian ZnO 3% untuk luka pasca-operasi dapat
mempercepat proses penyembuhan, menurunkan jumlah koloni S. aureus.(25) ZnO juga
dapat mempercepat proses debridement jaringan nekrotik.(26)
12
masih banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya Acne, karena penyebab Acne
vulgaris adalah multifaktorial.
13
Sejumlah uji klinis memperlihatkan bahwa seng oral efektif pada akne vulgaris,
terutama untuk lesi inflamasi.(27-29) Jika dibandingkan dengan terapi standar, misalnya
minosiklin atau tetrasiklin, seng memiliki efektivitas relatif sama, tetapi awitan kerja seng
lebih lambat.(2) Terapi biasanya diberikan selama 6-12 minggu dengan rentang dosis 30-
(27,30)
150 mg/hari seng elemental. Perbaikan klinis umumnya terlihat mulai minggu ke-8.
Bentuk sediaan tampaknya mempengaruhi hasil. Seng pikolinat dan seng metionin adalah
(27)
bentuk sediaan yang lebih efektif jika dibandingkan dengan sediaan lain. Efektivitas
seng sulfat sama dengan seng glukonat, tetapi memiliki efek samping lebih banyak. Seng
asetat dilaporkan tidak efektif. Seng dapat menjadi pilihan terapi akne pada pasien hamil
(2)
atau pasien dengan riwayat alergi antibiotik.
Sediaan seng topikal juga dapat digunakan pada akne vulgaris, tetapi sebaiknya
(2)
dikombinasikan dengan antibiotik topikal untuk meningkatkan hasil. Beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa seng mampu meningkatkan penetrasi antibiotik topikal
(27,29,30)
dan mencegah resistensi. Absorbsi sistemik antibiotik topikal juga berkurang
(31)
sampai 50% jika dikombinasikan dengan seng. Frekuensi pemberian antibiotik topikal
dapat dikurangi dengan penambahan seng dan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan
(32)
berobat pasien.
14
Gambar 5. Veruka Vulgaris
Sediaan oral yang dipakai adalah seng sulfat 10 mg/kgBB per hari (maksimal 600
mg/hari) selama 2 bulan.(36) Solusio seng sulfat 10% topikal yang dioleskan 3x/hari selama
4 minggu juga efektif untuk mengobati veruka vulgaris dengan angka kesembuhan
mencapai 85,7%.(37) Berdasarkan memperlihatkan bahwa salep ZnO 20% memiliki
efektivitas sama dengan kombinasi asam salisilat 15%+asam laktat 15%, angka
kesembuhan dengan salep ZnO 20% adalah 50%.(38)
15
produksi TNF alpha dan memiliki efek anti- inflamasi dengan menghambat terbentuknya
kompleks imun pada reaksi kusta.(41)
Berdasarkan hasil penelitian lain juga didapatkan efektivitas seng sulfat 220
mg/hari pada pasien eritema nodosum leprosum rekuren yang diberikan selama 6-30
bulan. Terdapat penurunan frekuensi, durasi, tingkat keparahan reaksi, dankebutuhan
terhadap kortikosteroid.(41)
16
Gambar 7. Dermatitis Popok
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bayi dengan kadar seng serum rendah
cenderung mengalami dermatitis popok lebih sering, hal tersebut menunjukkan bahwa
seng dapat memperbaiki gejala dermatitis melalui mekanisme lain, misalnya melalui
mekanisme anti-inflamasi, antimikroba, dan mempercepat penyembuhan luka.(21) ZnO
terbukti lebih efektif dibandingkan dengan plasebo dan perbaikan mulai terlihat pada hari
ke-3 terapi.(43) Antijamur, misalnya golongan azol dan nistatin, dapat ditambahkan untuk
meningkatkan efektivitas.(44)
18
2.5.7 Akrodermatitis Enteropatika
Akrodermatitis enteropatika (AE) atau sindrom Danbolt-Closs adalah penyakit
resesif autosomal yang jarang ditemukan.(2-4) Terdapat mutasi gen SCL39A4 yang
menyandi protein ZIP-4 sehingga tubuh gagal mengabsorbsi seng secara adekuat dari
makanan dan timbul gejala defisiensi seng parah.(3,4,16,17) Manifestasi klinis bervariasi
karena melibatkan banyak organ. Penyakit ini harus dicurigai pada bayi atau anak dengan
sindrom gangguan neuropsikiatrik, alopesia, diare, serta dermatitis (akral dan
sirkumorifisial). Beberapa gejala lain adalah anoreksia, gangguan kepribadian, gangguan
kognitif, kelainan mata, infeksi berulang, dan gangguan tumbuh kembang.(4,6,17)
Karakteristik AE umumnya ditandai dengan adanya dermatitis akral dan
periorificial, diikuti alopesia dan diare, sehingga dikenal sebagai triad klasik AE. Triad
klasik ini terdapat pada 20% kasus. AE biasanya bermanifestasi pada kulit, mulai dari be-
berapa hari sampai beberapa minggu (+10 minggu) pada bayi baru lahir atau pada bayi
yang minum susu botol, atau segera setelah penghentian breastfeeding. AE disertai kadar
seng rendah dalam darah (normal 70-250 μg/dL).(76) Defisiensi seng secara garis besar
dapat dibagi dua, yaitu defisiensi seng yang di- turunkan secara genetik atau defisiensi
seng yang didapat.(77) Bentuk genetik merupakan AE klasik, disebabkan defek absorpsi
seng di duodenum dan jejunum.(7)
AE timbul beberapa hari atau beberapa minggu setelah lahir (pada bayi yang
mendapat susu formula) atau setelah bayi disapih (pada bayi yang mendapat ASI).
Defisiensi seng yang didapat biasanya muncul dalam enam bulan pertama kehidupan,
yaitu periode pertumbuhan pesat bayi, saat kebutuhan seng meningkat. Respons yang baik
dan tidak munculnya kembali lesi kulit setelah terapi suplementasi seng dihentikan
menunjukkan diagnosis defisiensi seng yang didapat. Pada AE, rekurensi dapat terjadi
apabila terapi suplementasi seng dihentikan.(78-79)
Kelainan kulit berupa eritema dan deskuamasi mula-mula ditemukan di nasolabial
dan retroaurikular, kemudian di leher, inguinal, aksila, dan perineum. Pada keadaan lanjut
terjadi keilitis angular, stomatitis, glositis, serta ruam kulit berupa plak kecoklatan yang
simetris dan lambat laun menjadi hiperkeratotik dan menyerupai psoriasis.(4,6,17) Vesikel
dan bula dapat timbul pada beberapa kasus.(54) Kulit dapat mengalami erosi dan mudah
19
terkena infeksi sekunder. Kuku terlihat kecoklatan dan mungkin ditemukan garis Beau,
yaitu depresi transversal di lempeng kuku.(4,6,17)
2.5.8 Alopesia
Alopesia androgenik atau androgenic alopecia (AGA) merupakan bentuk alopesia
dengan pola spesifik, ditandai dengan hilangnya rambut terminal yang tebal dan
berpigmen secara progresif, diganti dengan rambut velus yang halus dan mengandung
20
(80,81)
sedikit pigmen sebagai respons terhadap hormon androgen dalam sirkulasi.
Kebotakan pada AGA ditandai dengan miniaturisasi folikel rambut akibat gangguan siklus
folikel rambut.(82) Siklus rambut yang normal diawali oleh fase anagen yaitu proliferasi sel
epitel yang berlangsung antara 2-6 tahun. Kemudian diikuti dengan fase katagen saat
terjadi apoptosis sel-sel keratinosit, proses pigmentasi dan kondensasi papilla dermis,
bagian tengah akar rambut menyempit dan bagian bawahnya melebar dan mengalami
pertandukan, sehingga terbentuk rambut gada (club hair) yang berlangsung 2-3 minggu.
Fase telogen adalah fase istirahat saat sel epitel memendek dan membuat rambut gada
matur terdorong keluar dengan ujung proksimal bulat, fase ini berlangsung 5 minggu –
1000 hari, kemudian fase anagen dimulai kembali. Pada AGA, durasi fase anagen
memendek dan fase telogen memanjang, sehingga rambut baru menjadi lebih pendek,
terjadi miniaturiasi bahkan kebotakan.(81-83)
Pada alopesia androgenik (AAG) terjadi inflamasi perifolikular. Meskipun efek
inflamasi perifolikular pada AAG masih belum jelas, tetapi diduga menjadi salah satu
penyebab miniaturisasi folikel karena sitokin pro-inflamasi menghambat pertumbuhan
rambut secara in vitro. Mikroflora skalp diduga menjadi salah satu pemicu proses
inflamasi tersebut. Beberapa sampo antiketombe, misalnya ketokonazol dan ZPT
dilaporkan mampu menghambat proses AAG melalui efek anti-inflamasi, antimikroba,
dan anti-androgen.(57)
21
Pada gambar diatas menunjukkan aksi androgen pada folikel rambut. Androgen di
vaskular masuk ke folikel rambut dan dimetabolisme menjadi dihydrotestosterone (DHT)
yang akan berikatan dengan reseptor androgen di sel papilla dermis, sehingga terjadi
perubahan produksi faktor-faktor regulasi yang mempengaruhi aktivitas sel papilla
dermis, keratinosit, dan melanosit. (84)
Kadar seng serum pasien alopesia areata (AA) dilaporkan lebih rendah
dibandingkan populasi umum.(58) Terdapat beberapa laporan kasus yang memperlihatkan
efektivitas suplemen seng pada AA. Berdasarkan hasil penelitian dengan membandingkan
efektivitas rejimen klobetasol propionat 0,025% topikal +seng aspartat oral 100 mg+biotin
20 mg per hari dengan kortikosteroid oral selama 1 tahun. Rejimen kortikosteroid
topikal+seng memiliki efektivitas yang sama dengan kortikosteroid oral, tetapi efek
samping lebih ringan.(59)
22
Gambar 13. Perbedaan Physical Sunblock dengan Chemical Sunscreen
23
Gambar 15. Contoh Zinc Oxide
24
2.5.11 Kelainan Kulit Lain
Seng juga digunakan untuk beberapa proses inflamasi kronik kulit. Kadar seng
serum dilaporkan menurun pada pasien penyakit Behçet.(62,63) Sebuah RCT
memperlihatkan bahwa seng sulfat 100 mg 3x/hari memperbaiki gejala klinis penyakit
Behçet sesudah 3 bulan terapi.78 Sebuah RCT lain memperlihatkan efektivitas seng sulfat
100 mg 3x/hari selama 3 bulan terhadap rosasea.(64) Seng glukonat 90 mg/hari dalam dosis
terbagi dilaporkan efektif untuk hidradenitis supurativa.(65)
Terdapat beberapa laporan kasus mengenai efektivitas seng topikal untuk melasma
dan infeksi kulit. Berdasarkan hasil suatu penelitian didapatkan bahwa efektivitas solusio
seng sulfat 10% topikal sebagai terapi melasma. Terdapat penurunan skor melasma area
and severity index sebesar 50% untuk melasma tipe epidermal dan tipe campuran sesudah
penggunaan 2x/hari selama 2 bulan.(66) Tinea pedis dan kruris dapat diobati dengan seng
undesilenat. Mekanisme kerja masih belum jelas, tetapi terkait dengan efek antimikroba
dan anti-inflamasi seng.(21)
25
BAB III
KESIMPULAN
Peran Zn dalam sistem imun sangat esensial. Zink (Zn) merupakan mikromineral yang
terlibat dalam berbagai proses penting dalam tubuh di antaranya replikasi sel, pertumbuhan, dan
imunitas tubuh. Zn banyak terkandung dalam bahan makanan sumber protein utamanya protein
hewani. Sayangnya, harga bahan makanan protein hewani umumnya kurang terjangkau. Di sisi
lain, bahan makanan protein nabati memiliki kandungan Zn yang relatif lebih rendah dan
mengandung fitat dalam jumlah banyak sehingga menurunkan bioavailibilitas Zn. Hal ini
menyebabkan defisiensi Zn sering terjadi di negara-negara berkembang.
Seng dapat ditemukan pada semua jaringan tubuh. Kulit dan adneksanya merupakan organ
dengan kandungan seng terbanyak kedua. Seng terdapat di berbagai sel dan matriks ekstraselular
dermis dan epidermis.(15) Kadar seng bervariasi pada berbagai lokasi anatomik, misalnya kadar
seng lebih tinggi di kulit telapak kaki atau telapak tangan dibandingkan dengan kulit yang lebih
tipis dan berambut.
Seng digunakan sebagai terapi lini pertama pada dermatosis yang disebabkan oleh
defisiensi seng, misalnya AE. Seng dapat digunakan sebagai modalitas tambahan pada dermatosis
yang memang terkait erat dengan seng, misalnya akne vulgaris, pitiriasis sika, dan ulkus. Seng
bermanfaat pada MH, veruka vulgaris rekalsitran, dan beberapa penyakit kulit lain.
Harus diperhatikan pada beberapa penyakit, sediaan oral lebih efektif daripada topikal dan
sebaliknya. Bentuk sediaan seng mempengaruhi hasil, misalnya seng sulfat lebih efektif
dibandingkan dengan seng asetat untuk kasus akne vulgaris dan ZnO lebih efektif untuk ulkus
dibandingkan seng sulfat.
26
DAFTAR PUSTAKA
27
18. King JC, Cousins RJ. Zinc. Dalam: Ross AC, Caballero B, Cousins RJ, Tucker KL, Ziegler
TR, editor. Modern Nutrition in Health and Disease. Edisi ke-11. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2014. hal.189–205.
19. Brown KH, Wuehler SE, Peerson JM. The importance of zinc in human nutrition and
estimation of the global prevalence of zinc deficiency. Food and Nutrition Bulletin
2001;22:113–25.
20. Gropper SS, Smith JL. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Edisi ke-6.
Wadsworth: Cengage Learning, 2012. hal.500–10.
21. Schwartz JR, Marsh RG, Draelos ZD. Zinc and skin health: overview of physiology and
pharmacology. Dermatol Surg. 2005; 31(7 Pt 2): 837-47.
22. Wetter L, Wgren MS, Hallmans G, Tengrup I, Rank F. Effects of zinc oxide in an occlusive,
adhesive dressing on granulation tissue formation. Scand J Plast Reconstr Surg. 1986;
20(2):165-72.
23. Tenaud I, Sainte-Marie I, Jumbou O, Litoux P, Dreno B. In vitro modulation of
keratinocyte wound healing integrins by zinc, copper and manganese. Br J Dermatol. 1999;
140(1): 26-34.
24. Tenaud I, Salagh I, Dreno B. Addition of zinc and manganese to a biological dressing. J
Dermatol Treat. 2009; 20(2): 90-3.
25. Bradburry S. Wound healing: is oral zinc supplementation beneficial? Wounds UK,
2006;2(1): 54-61.
26. Agren MS. Zinc oxide increases degradation of collagen in necrotic wound tissue. Br J
Dermatol. 1993; 129(2): 221.
27. Sardana K, Garg VK. An observational study of methionine- bound zinc with antioxidants
for mild to moderate acne vulgaris. Dermatol Ther. 2010; 23(4): 411-8.
28. Pierard-Franchimont C, Goffin V, Visser JN, Jacoby H, Pierard GE. A double-blind
controlled evaluation of the sebosupressive activity of topical-erythromycin-zinc complex.
Eur J Clin Pharmacol. 1995;49(1-2):57-60.
29. Langer A, Sheehan-Dare R, Layton A. A randomized, single- blind comparison of topical
clindamycin + benzoyl peroxide (Duac) and erythromycin + zinc acetate (Zineryt) in the
treatment of mild to moderate facial acne vulgaris. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2007;
21(3): 311-9.
30. Elston DM. Topical antibiotics in dermatology: Emerging patterns of resistance. Dermatol
Clin. 2009; 27(1): 25-31.
31. Jarrousse V, Castex-Rizzi N, Khammari A, Charveron M, Dreno B. Zinc salts inhibit in
vitro toll-like receptor 2 surface expression by keratinocytes. Eur J Dermatol. 2007; 17(6):
492-6.
32. Pierard GE, Pierard-Franchimont C. Effect of a topical erythromycin-zinc formulation on
sebum delivery: evaluation by combined photometric multi-step samplings with
Sebutape®. Clin Exp Dermatol. 1993; 18(5): 410-3.
33. Raza N, Khan DA. Zinc deficiency in patients with persistent viral warts. J Coll Physicians
Surg Pak. 2010; 20(2): 83-6.
28
34. Al-Gurairi FT, Al-Waiz M, Sharquie KE. Oral zinc sulphate in the treatment of recalcitrant
viral warts: randomized placebo-controlled clinical trial. Br J Dermatol. 2002; 146(3): 423-
31.
35. Yaghoobi R, Sadighha A, Baktash D. Evaluation of oral zinc sulfate effect on recalcitrant
multiple viral warts: a randomized placebo-controlled clinical trial. J Am Acad Dermatol.
2009; 60(4): 706-8.
36. Mun JH, Kim SH, Jung DS, Ko HC, Kim BS, Kwon KS, dkk. Oral zinc sulfate treatment
for viral warts: an open-label study. J Dermatol. 2010 Nov 2. doi: 10.1111/j.1346-
8138.2010.01056.x. [Epub ahead of print]
37. Sharquie KE, Khorsheed AA, Al-Nuaimy AA. Topical zinc sulphate solution for treatment
of viral warts. Saudi Med J. 2007; 28(9): 1418-21.
38. Khattar JA, Musharrafieh UM, Tamim H, Hamadeh GN. Topical zinc oxide vs. salicylic
acid-lactic acid combination in the treatment of warts. Int J Dermatol. 2007; 46(4): 427-
30.
39. Gupta A, Sharma K, Vohra H, Gangul Y. Inhibition of apoptosis by ionomycin and zinc in
peripheral blood mononuclear cells (PBMC) of leprosy patients. Clin Exp Immunol. 1999;
117(1): 56-62.
40. Cuevas LE, Koyanagi A. Zinc and infection: a review. Ann Tropic Paediatr. 2005; 25: 149-
60.
41. Mahajan PM, Jadhav VH, Patki AH, Jogaikar DG, Mehta JM. Oral zinc therapy in
recurrent erythema nodosum leprosum: a clinical study. Indian J Lepr. 1994; 66(1): 51-7.
42. Ratliff C, Dixon M. Treatment of incontinence-associated dermatitis (diaper rash) in a
neonatal unit. J Wound Ostomy Continence Nurs. 2007; 34(2): 158-61.
43. Wananukul S, Limpongsanuruk W, Singalavanija S,Wisuthsarewong W. Comparison of
dexpanthenol and zinc oxide ointment with ointment base in the treatment of irritant diaper
dermatitis from diarrhea: a multicenter study. J Med Assoc Thai. 2006; 89(10): 1654-8.
44. HoegerPH,StarkS,JostG.Efficacyandsafetyoftwodifferent antifungal pastes in infants with
diaper dermatitis: a randomized, controlled study. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2010;
24(9): 1094-8.
45. Bailey P, Arrowsmith C, Darling K, Dexter J, Eklund J, Lane A, dkk. A double-blind
randomized vehicle-controlled clinical trial investigating the effect of ZnPTO dose on the
scalp vs. antidandruff efficacy and antimycotic activity. Int J Cosmet Sci. 2003; 25(4):183-
8.
46. Kerr K, Darcy T, Henry J, Mizoguchi H, Schwartz JR, Morall S. Epidermal changes
associated with symptomatic resolution of dandruff: biomarkers of scalp health. Int J
Dermatol. 2011; 50(1): 102-13. doi: 10.1111/j.1365-4632.2010.04629.x.
47. Lodea M, Wessman C. The antidandruff efficacy of a shampoo containing piroctone
olamine and salicylic acid in comparison to that of a zinc pyrithione shampoo. Int J Cosmet
Sci. 2000; 22(4): 285-9.
48. Warner RR, Schwartz JR, Boissy Y, Dawson TL. Dandruff has an altered stratum corneum
ultrastructure that is improved with zinc pyrithione shampoo. J Am Acad Dermatol. 2001;
45(6): 897-903.
29
49. Yasokawa D, Murata S, Iwahashi Y, Kitagawa E, Kishi K, Okumura Y, dkk. DNA
microarray analysis suggests that zinc pyrithione causes iron starvation to the yeast
Saccharomyces cerevisiae. J Biosci Bioeng. 2010; 109(5): 479-86.
50. Lorette G, Ermosilla V. Clinical efficacy of a new ciclopiroxolamine/zinc pyrithione
shampoo in scalp seborrheic dermatitis treatment. Eur J Dermatol. 2006; 16(5): 558-64.
51. Sawleshwarkar SN, Salgaonkar V, Oberai C. Multicenter, open- label, non-comparative
study of a combination of polytar and zinc pyrithione shampoo in the management of
dandruff. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2004; 70(1): 25-8.
52. Shin H, Kwon S, Won CH, Kim BJ, Lee YW, Choe YB, dkk. Clinical efficacies of topical
agents for the treatment of seborrheic dermatitis of the scalp: a comparative study. J
Dermatol. 2009; 36(3): 131-7.
53. Draelos ZD, Kenneally DC, Hodges LT, Billhimer W, Copas M, Margraf C. A comparison
of hair quality and cosmetic acceptance following the use of two anti-dandruff shampoos.
J Invest Dermatol Symp Proc. 2005; 10(3): 201-4.
54. Jensen SL, McCuaig S, Zembowicz A, Hurt MA. Bullous lesions in acrodermatitis
enteropathica delaying diagnosis of zinc deficiency: a report of two cases and review of
the literature. J Cutan Pathol. 2008; 35(1):1-13.
55. Perafan-Riveros C, Franca LFS, Alves ACF, Sanches JA. Acrodermatitis enteropathica:
case report and review of the literature. Int J Dermatol. 2008; 47(10): 1056-7.
56. Shah KN, Yan AC. Acquired zinc deficiency acrodermatitis associated with nephrotic
syndrome. Pediatr Dermatol. Tahun ?; 25(1): 56-9.
57. Berger RS, Smiles KA, Turner CB, Schnell BM, Werchowski KM, Lammers KM. The
effects of minoxidil, 1% pyrithione zinc and a combination of both on hair density: a
randomized controlled trial. BJD. 2003; 149: 354-62
58. Bhat YJ, Manzoor S, Khan AR, Qayoom S. Trace element levels in alopecia areata. Indian
J Dermatol Venereol Leprol. 2009; 75(1): 29-31.
59. Camacho F, Hernandez MG. Zinc aspartate, biotin, and clobetasol propionate in the
treatment of alopecia areata in childhood. Pediatr Dermatol. 1999; 16(4): 336-8.
60. Baumann L, Avashia N, Castanedo-Tardan MP. Suscreens. Dalam: Baumann L, Saghari
S, Weisberg E., penyunting. Cosmetic dermatology: principles and practice. Edisi ke-2.
New York: McGraw-Hill; 2002.h.41-51
61. Martorano LM, Candidate DO, Stork CJ, Li YV. UV irradiation-induced zinc dissociation
from commercial zinc oxide sunscreen and its action in human epidermal keratinocytes. J
Cosmet Dermatol. 2010; 9(4): 276-86.
62. Sharquie KE, Najim RA, Al-Dori WS, Al-Hayani RK. Oral zinc sulfate in the treatment of
Behcet's disease: a double blind cross-over study. J Dermatol. 2006; 33(8): 541-6.
63. Saglam K, Serce AF, Yilmaz MI, Aydin BA, Akay C, Sayal A. Trace elements and
antioxidant enzymes in Behcet's disease. Rheumatol Int. 2002; 22(3): 93-6.
64. Sharquie KE, Najim RA, Al-Salman HN. Oral zinc sulfate in the treatment of rosacea: a
double-blind, placebo-controlled study. Int J Dermatol. 2006; 45(7): 857-61.
65. Brocarda A, Knolb AC, Khammaria A, Drenoa B. Hidradenitis suppurativa and zinc: a new
therapeutic approach a pilot study. Dermatol. 2007; 214(4): 325-7.
66. Sharquie KE, Al-Mashhadani S, Salman HA. Topical 10% zinc sulfate solution for
treatment of melasma. Dermatol Surg. 2008; 34(10): 1346-9.
30
67. AcneNet; on line. 2006. melalui http://www.derm-infonet.com /Acnenet/myths .html.
April, 2006
68. Marwali Harahap, 2000. Ilmu Kesehatan Kulit: Acne vulgaris. Jakarta: Hipokrates.h 35-45
69. Johnson BA, Nunley JR. 2000. Use of Systemic Agents in the Treatment of AcneVulgaris.
Am Fam Physician; 62:1823-30,1835-6
70. Nichols JA, Katiyar SK. Skin photoprotection by natural polyphe- nols: anti-inflammatory,
antioxidant and DNA repair mechanisms. Arch Dermatol Res 2010; 302:71–83. DOI
10.1007/s00403-009- 1001-3
71. Rabe JH, Mamelak AJ, McElgunn PJS, Morison WL, Sauder DN. Pho- toaging:
Mechanism and repair. J Am Acad Dermatol 2006; 55: 1-19
72. Angerhofer CK, Maes D, Giacomoni PU. The use of natural compounds and botanicals in
the development of anti-aging skin care products. In: Dayan N, ed. Skin Aging Handbook:
an integrated Ap- proach to Biochemistry and Product Development. New York: Wil- liam
Andrew Inc; 2008.p.205-63
73. Pinnell SR. Cutaneous photodamage, oxidative stress, and topical antioxidant protection. J
Am Acad Dermatol 2003; 48: 1-19
74. DeBuys HV, Levy SB, Murray JC, Madey DL, Pinnel SR. Modern ap- proach to
photoprotection. Derm Clinics 2000; 18 (4): 577-90
75. Wayne PA, Flanagan. Managing chronic wound pain in primary care. Practice Nursing;
2006; 31:12.
76. Peravan-Riveros C, Sayago LF, Fortes AC, Sanches Jr JA. Acrodermatitis enteropathica:
Case report and review of the literature. Ped dermatol J. 2002; 310: 426-31.
77. Kury S, Dreno B, Bezieau S, Giraudet S, Kharfi M, Kamoun R, et al. Identification of
SLC39A4, a gene involved in acrodermatitis enteropathica. Nat Genet J. 2002; 31: 239-40.
78. Mittal R, Sudha R, Murugan S, Adikrishnan, Shobana S, Anandan S.
Acrodermatitisenteropathica-a case report. Sri Ramachandra J Med. 2007; 2: 57-9.
79. Ackerman AB, Boer A, Bennin B. Histology diagnosis of inflammatory skin diseases. New
York: Ardor Scrobendi; 2005.
80. Hordinsky MK. Alopecia. In: Bologna JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology.
1st ed. Toronto: Mosby; 2003.p.1033-50.
81. Paus R, Olsen EA, Messenger AG. Hair growth disorders. In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general
medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2012.p.753-77
82. Kaliyadan F, Nambiar A, Vijayaraghavan S. Androgenetic alopecia: An update. Indian J
Dermatol Venerol Leprol. 2013;79(5):613-25
83. Soepardiman L. Kelainan rambut. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. 4th ed. Jakarta: FKUI; 2006 .p. 301-11
84. Randall VA. Molecular basis of androgenetic alopecia. Springer-Verlag, Berlin
Heidelberg; 2010. p. 9-19
85. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Angka kecukupan gizi Indonesia (rata-rata per orang per hari). 2004
31
32