Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Epilepsi berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE)

adalah gangguan pada otak yang ditandai oleh paling tidak dua bangkitan kejang

spontan dengan jarak lebih dari 24 jam.1 Klasifikasi epilepsi didasarkan pada

beberapa faktor: tipe kejang, usia onset, riwayat keluarga, temuan

electroencephalographic (EEG), hasil Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan

investigasi medis lainnya dan karakteristik klinis.2 Kejang didefinisikan sebagai

kejadian sementara (berbatas waktu, dengan awal dan akhir yang jelas) sebagai

manifestasi klinis akibat dari abnormalitas aktivitas neuronal yang berlebihan di

otak,3,4 yang mengakibatkan perubahan mendadak dalam perilaku, persepsi

sensorik, atau aktivitas motorik.4

Insiden epilepsi pada anak dua kali lebih besar daripada populasi dewasa.5

Kebanyakan penelitian melaporkan bahwa insidensi epilepsi paling tinggi terjadi

pada tahun pertama kehidupan, yaitu sekitar 100 dari 100.000 anak. Insiden turun

setelah usia 1 tahun meskipun tingkat penurunan bervariasi.2 Data Rumah Sakit

Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau pada tahun 2011, didapatkan bahwa

epilepsi pada anak termasuk dalam 15 besar penyakit terbanyak dengan jumlah 27

kasus dan untuk pasien rawat jalan epilepsi menempati urutan ketiga dengan

prevalensi sebanyak 13%.6

Penelitian di Inggris yang meliputi 1443 pasien dari seluruh dunia

melaporkan bahwa tiga faktor risiko epilepsi yang terpenting adalah jumlah

1
2

bangkitan kejang saat diagnosis, EEG abnormal, dan pemeriksaan neurologis

abnormal.7 Pemeriksaan EEG merupakan salah satu alat diagnostik dan

monitoring penting dalam menilai neurofisiologi neuron otak yang paling

bermanfaat dalam membedakan serangan epileptik dengan serangan non

epileptik.8

Terapi epilepsi dengan obat anti epilepsi (OAE) harus diberikan secara

tepat dengan dosis yang memadai. Tujuan utama terapi epilepsi adalah untuk

mengendalikan serangan kejang tanpa menimbulkan efek samping yang tidak

diinginkan.5 Kegagalan terapi epilepsi antara lain ketidakpatuhan dalam meminum

obat, penderita bosan dalam meminum obat, serangan yang tidak kunjung hilang

setelah meminum obat, harga obat yang mahal, kewajiban untuk control secara

teratur dan adanya efek samping yang muncul karena pengobatan. Kepatuhan

minum obat merupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi,

dimana pada pasien epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6

bulan, 12 bulan dan 24 bulan.9 Adanya dukungan keluarga juga menjadi salah satu

faktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi sehingga dapat mengurangi

bangkitan kejang.9,10

Kasus ini ditampilkan karena diagnosis awal ditegakkan hanya

berdasarkan anamnesis timbulnya serangan kejang tanpa didukung dengan

pemeriksaan EEG dan terapi awal epilepsi untuk pasien ini tidak adekuat, yaitu

tidak sesuai aturan. Alasan ini membuat penulis trtarik untuk menampilkan kasus

ini.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi

2.1.1 Definisi

Epilepsi berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE)

adalah serangan paroksimal yang khas berulang dua kali atau lebih tanpa

penyebab yang lebih dari 24 jam.1 Serangan epilepsi terjadi karena dipicu oleh

adanya abnormalitas aktivitas listrik di otak yang dapat mengakibatkan terjadinya

perubahan spontan pada gerakan tubuh, fungsi, sensasi, kesadaran serta perilaku

yang ditandai dengan kejang berulang.4

Epilepsi adalah penyakit saraf yang ditandai dengan adanya gejala episode

kejang yang disertai dengan kehilangan kesadaran. Penyakit ini disebabkan karena

ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang akan berlanjut pada koordinasi otot

yang bermanifestasi pada kekakuan otot atau hentakan repetitif pada otot.1

Epilepsi pada anak dapat menimbulkan berbagai permasalahan, yaitu kesulitan

belajar, permasalahan tumbuh kembang anak, dan menentukan kualitas hidup

anak.11

2.1.2 Etiologi

Etiologi dari epilepsi berdasarkan ILAE 2017 dibagi menjadi enam,

diantaranya epilepsi struktural, genetik, infeksius, metabolik, imun, dan tidak

diketahui.1 Etiologi epilepsi dijelaskan pada tabel 2.1.


4

Tabel 2.1 Etiologi epilepsi1,5

Etiologi Penjelasan

Struktural Epilepsi sekunder akibat lesi


struktural di otak yang dapat
teridentifikasi melalui temuan klinis
dan neuroimagingyaitu EEG.
Genetik Epilepsi dimana dapat disimpulkan
bahwa genetik merupakan
etiologinya. Dahulunya disebut
dengan idiopatik.
Infeksius Epilepsi sekunder akibat adanya
infeksi, seperti neurosistiserkosis,
HIV, CMV, toksoplasmosis
serebral, malaria selebral.
Metabolik Epilepsi sekunder akibat penyakit
metabolic dimana epilepsy
dipertimbangkan sebagai hasil dari
gangguan metabolik.
Imun Epilepsi sekunder akibat penyakit
autoimun, seperti ensefalitis
autoimun.
Tidak diketahui Epilepsi yang terjadi tanpa
penyebab yang jelas
5

2.1.3 Klasifikasi

2.1.3.1 Klasifikasi kejang

Klasifikasi kejang menurut ILAE 2017 yaitu epilepsi fokal, umum dan

tidak diketahui.1

Gambar 2.1 Klasifikasi tipe kejang1

1. Kejang fokal

Kejang fokal terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area

lain, jika menyebar akan menjadi kejang umum sekunder. Kejang umum sekunder

yang paling sering terjadi adalah kejang tonik klonik. Tipe kejang fokal dapat

dibagi berdasarkan tingkat kesadaran dan motorik (tabel 2.2. dan tabel 2.3.).
6

Tabel 2.2. Tipe kejang fokal berdasarkan tingkat kesadaran1

Kejang fokal Pengertian


Focal aware Kejang fokal yang tidak disertai gangguan
kesadaran.
Focal impaired Kejang fokal dengan gangguan kesadaran.
awareness

Tabel 2.3. Tipe kejang fokal berdasarkan motorik1

Kejang fokal Pengertian


Kejang fokal - Kejang yang disertai beberapa gerakan.
motor - Contoh: automatisasi, atonik, klonik,
epileptic spasm, hiperkinetik, mioklonik
dan tonik.

Kejang fokal non- - Kejang yang tidak disertai gerakan.


motor - Contoh: otonom, behaviorarrest, kognitif,
emosional dan sensoris.

2. Kejang umum

Kejang pada bangkitan umum terjadi pada seluruh area otak. Pada

bangkitan umum akan terjadi gangguan kesadaran pada awal kejadian kejang.

Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial simpleks atau kejang

parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan kejang umum tonik-klonik

sekunder.1 Tipe kejang umum dapat dilihat pada tabel 2.4.


7

Tabel 2.4. Tipe kejang umum1

Epilepsi umum Gejala


Tonik - Kejang timbul mendadak
- Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh,
menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika
dalam posisi berdiri.
- Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat
bertahan. Kejang tonik dapat terjadi pula saat
tertidur.

Atonik - Kejang timbul mendadak


- Kehilangan kekuatan otot, menyebabkan penderita
lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
Biasanya terjadi cedera dan luka pada kepala.
- Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan cepat
pemulihan kecuali terjadi cedera.

Tonik klonik - Hilangnya kesadaran


- Mudah terjatuh ketika berdiri
- Tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot
(klonik)
- Sulit bernafas
- Kehilangan kontrol pada kandung kemih
- Kejang berlangsung sekitar 2 menit atau kurang

Absans - Tampak bingung, melamun atau tidak bisa


memusatkan perhatian
- Ada riwayat kejang pada keluarga
- Kejang timbul mendadak kemudian menetap,
hilangnya ekspresi, tidak ada respon dan aktivitas
terhenti
- Terkadang dengan kedipan mata atau gerakan mata
ke atas
- Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti tiba-tiba
- Setelah kejang, pasien kembali sadar dan
melanjutkan aktivitas yang dilakukan sebelumnya

Mioklonik - Kejang berlangsung singkat


- Sentakan otot secara intens pada anggota tubuh atas
- Pasien sering menjatuhkan dan menumpahkan
sesuatu setelah bangkitan
- Kesadaran tidak terganggu, pasien dapat merasa
kebingungan dan mengantuk jika beberapa episode
terjadi dalam periode singkat. Terkadang dapat
memberat menjadi kejang tonik-klonik.
8

3. Kejang yang tidak diketahui

Kejang yang tidak dapat diketahui terdiri dari motor dan non motor dengan

bentuk kejang dapat dilihat pada tabel 2.5.

Tabel 2.5. Tipe kejang yang tidak dapat diketahui1

Motor Non motor

● Tonik-klonik ● Behavioral arrest


● Epileptic spasm

2.1.3.2 Klasifikasi epilepsi

Epilepsi diklasifikasikan berdasarkan tipe kejang, yaitu epilepsi fokal,

umum, kombinasi fokal-umum, dan yang tidak diketahui. Klasifikasi tersebut

dapat diperoleh dari data genetik, gambaran klinis, pencitraan, dan pemeriksaan

laboratorium.1

2.1.4 Faktor risiko

Tabel 2.6. Faktor resiko epilepsi12

Prenatal Natal Postnatal

● Umur ibu saat ● Asfiksia ● Kejang


hamil terlalu ● Bayi dengan berat demam
muda (< 20 badan lahir rendah ● Trauma
tahun) atau terlalu (<2500 gram) kepala
tua (>35 tahun) ● Kelahiran prematur ● Infeksi
● Kehamilan atau postmatur susunan
dengan eklamsia ● Partus lama saraf pusat
dan hipertensi ● Persalinan dengan alat (SSP)
● Kehamilan ● Gangguan
primipara atau metabolic
multipara
● Pemakaian bahan
toksik
9

2.1.5 Patofisiologi

Neuron memiliki potensial membranyang terjadi karena adanya perbedaan

muatan ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan

ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang

lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui akson dan dendrit.

Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan

terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi

akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan

inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang

akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain.13

Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat

dalam munculnya kejang (iktogenesis) dan mekanisme yang terlibat dalam

perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah kejang (epileptogenesis).

1. Mekanisme iktogenesis hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya

iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri,

lingkungan neuron, atau jaringan neuron.13

a. Sifat eksitasi dari neuron dapat timbul akibat adanya perubahan fungsional

dan struktural pada membran postsinaptik yaitu perubahan pada tipe,

jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang ligan atau

perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas

terhadap kalsium, mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan

yang mengawali kejang.13

b. Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari

perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi


10

perubahan konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar

neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan sel

glia. Konsentrasi kalsium ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama

kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi kalium. Kadar

kalsium lebih cepat kembali normal daripada kadar kalium.13

c. Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di

sepanjang sel granul akson pada girus dentata, kehilangan neuron inhibisi,

atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron

inhibisi.13

2. Mekanisme epileptogenesis

a. Mekanisme nonsinaptik.

Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar

kalium ekstrasel atau penurunan kadar kalsium ekstrasel. Kegagalan pompa

natrium-kalium akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan

epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan klorida dan kalium, yang mengatur

kadar klorida intrasel dan aliran klorida inhibisi yang diaktivasi oleh gamma-

amino butyric acid (GABA), dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat

eksitasi dari ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah

neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal

pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting

pada epileptogenesis.14

b. Mekanisme sinaptik.

Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi

GABA dan peningkatan eksitasi glutamat.14


11

- Gamma-aminobutyric acid

Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada cairan serebrospinal

(CSS) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan

epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat,

memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan inhibisi.14

- Glutamat

Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan

peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus, termasuk

sebelum selama dan kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus

yang epileptogenetik, namun selama kejang konsentrasi GABA meningkat

meskipun pada hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah

pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di

daerah yang epileptogenetik.14

Gambar 2.2. Patofisiologi epilepsi15


12

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis,

pemeriksaan EEG dan radiologis, namun demikian, bila secara kebetulan melihat

serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi klinis sudah dapat ditegakkan.16

2.1.6.1 Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh karena

pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.

Penjelasan perihal sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan

berlangsung meliputi gejala dan lamanya kejang merupakan informasi yang

sangat penting dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis meliputi pola/bentuk

serangan, lama serangan, gejala sebelum, selama dan sesudah serangan, frekuensi

pencetus, ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, usia saat serangan

terjadi pertama, riwayat trauma kepala, riwayat kehamilan, persalinan dan

perkembangan, riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya dan riwayat

penyakit epilepsi dalam keluarga.16

2.1.6.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda

dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti gangguan neurologik

fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus. Penyebab epilepsi harus dapat

disingkirkan melalui pemeriksaan fisik, usia pasien dan riwayat penyakit sebagai

pegangan. Untuk penderita anak, perhatikan adanya keterlambatan perkembangan,


13

organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh karena dapat menunjukkan

awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.16

2.1.6.3 Pemeriksaan penunjang

1. Elektroensefalografi

Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering

dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis

epilepsi. Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan

penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan OAE. Terdapat dua kelainan

pada EEG kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan lesi struktural

diotak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan

adanya kelainan genetik atau metabolik.11 Rekaman EEG dikatakan abnormal

apabila:

a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua

hemisfer otak11

b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding

seharusnya.11

c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,

misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan

gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.11

2. Neuroimaging

Neuroimaging atau pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang

berguna untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pemeriksaan

yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT-Scan) dan MRI.11

2.1.7 Diagnosis banding


14

Kejang umum yang bersifat tonik-klonik:

1. Pallid syncope / Vasodepressor syncope : kejang akibat reflex anoksik11,16

2. Serangan sianotik akibat menahan napas11,16

3. Serangan kolaps dengan disaritmia jantung11,16

4. Cataplexy11,16

Kejang absens umum:

1. Behavioral staring attacks11,16

2. Kejang parsial kompleks (diskognitif)11,16

3. Tic Disorder11,16

Kejang fokal impaired awareness:

1. Perilaku self-stimulatory (spektrum autistik)11,16

2. Tidur berjalan11,16

3. Night terrors11,16

4. Tantrum dengan amnesia11,16

5. Benign paroxysmal vertigo11,16

6. Migraine-related disorders11,16

Kejang mioklonik:

1. Hipnagogik mioklonus fisiologis11,16

2. Kejang mioklonus pada bayi yang tidur11,16

3. Penyakit startle11,16

2.2 Status epilepsi

2.2.1 Definisi

Status epileptikus (SE) adalah bangkitan kejang yang berlangsung lebih

dari 30 menit atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan tidak
15

terdapat pemulihan kesadaran. Penanganan bangkitan kejang harus dimulai bila

kejang sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. Status epileptikus merupakan

keadaan gawat darurat yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna

menghentikan bangkitan.17

Status epileptikus terbagi atas 2 tipe, yaitu SE konvulsif (terdapat

bangkitan motorik) dan SE non-konvulsif (tidak terdapat bangkitan

motorik).Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5

menit atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara

bangkitan. Status epileptikus nonkonvulsif adalah kondisi saat aktivitas bangkitan

elektrografik memanjang dan memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk

perubahan perilaku atau awareness. 17,18

2.3 Tatalaksana

Berikut ini adalah pilihan terapi yang dipakai untuk kejang akut pada

pasien dengan epilepsi:

1. Diazepam intravena

Dosis yang diberikan 0,2 - 0,5 mg/kg intravena (iv) (maksimum 10 mg)

dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak

perlu dihabiskan.17

2. Fenobarbital

Pemberian boleh diencerkan dengan larutan NaCl 0,9%, dengan

perbandingan 1:1 dengan kecepatan 2 mg/menit.17

3. Midazolam buccal
16

Dapat menggunakan midazolam sediaan iv/intramuskular (im), ambil

sesuai dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang

jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam

buccal berdasarkan kelompok usia:

a. 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan) 17

b. 5 mg (usia 1 – 5 tahun) 17

c. 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun) 17

d. 10 mg (usia ≥ 10 tahun) 17

4. Tappering off midazolam infus kontinyu

Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di Intensive Care Unit

(ICU), namun disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. Bila bebas kejang selama

24 jam setelah pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat

diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan

setelah 48 jam bebas kejang.17

Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan

tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg iv

dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan.17


Gambar 2.1 Algoritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus17

17
BAB III

ILUSTRASI KASUS

 The Pediatric Asessment Triangle (PAT)


Airway and appearance
Tone : Bergerak aktif
Interactability : Iritabel
Consolability : Anak dapat ditenangkan orang tuanya
Look : Kontak mata baik
Speech/cry : Mampu mengucapkan kata dengan jelas
Kesan : Tidak ada kegawatan SSP

Work of breathing
Suara napas abnormal : Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Retraksi : tidak ada retraksi
Napas cuping hidung : tidak ada pernapasan cuping hidung
Kesan : normal, tidak ada kegawatan pernapasan

Circulation to skin
Tidak tampak pucat maupun kebiruan, tidak terdapat mottle skin.
Kesan : normal, tidak ada syok

Kesimpulan : tidak ada kegawatan

 Primary survey
Airway and appearance
Tidak terdapat hambatan atau sumbatan pada jalan napas. Alert berdasarkan
AVPU scale.
Breahting : spontan, normal regular, frekuensi pernapasan 20 kali/menit,
tidak ada suara napas tambahan (snoring, gurgling, stridor).
Tidak ada penggunaan otot bantu napas.

18
19

Circulation: denyut nadi 84 denyut/menit, regular, isi cukup. Pucat (-),


sianosis (-), turgor kulit cepat, akral hangat, CRT < 2 detik, mata
cekung (-).
Disability : komposmentis, suhu 37.1 ºC, rangsang meningeal (-), refleks
fisiologis (+), refleks patologis [babinsky (-), chaddok (-),
openheim (-), Gordon (-)].
Exposure : tidak terdapat perdarahan, tidak terdapat luka.

 Secondary survey
Identitas pasien
Nama / RM : Muhammad Wira Setiawan / 01001946
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 5 tahun 2 bulan
Ayah / Ibu : Suparman / Dewi Listia Wati
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Alamat : Jati Mulya, Kerinci Kanan, Siak
Tanggal masuk : 28 November 2018

Alloanamnesis
Diberikan oleh : Ibu dan ayah kandung pasien
Keluhan utama : Kejang berulang dalam 1 hari

Riwayat penyakit sekarang


- Dua puluh tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan demam
tidak tinggi, lalu pasien diberikan obat penurun panas oleh orang tua pasien
dan panas pasien turun. Setelah itu pasien muntah satu kali, tidak
menyemprot, berisi air dan makanan. Lima jam kemudian pasien kejang ± 20
menit. Kejang berupa kaku pada tangan kanan, kaki kanan, dan mata melihat
ke atas, setelah kejang pasien sadar. Pasien berobat ke RS Efarina di Kerinci
dan didiagnosis epilepsi. Pasien dirawat selama tiga hari dan diberi obat anti
kejang (asam valproat sirup 3 x 1 sendok takar) dan antibiotik. Ibu pasien
20

mengaku anaknya menjadi sering marah dan emosinya sulit untuk


dikendalikan. Setelah dirawat pasien belum pernah dibawa kontrol ke
poliklinik.
- Sepuluh hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami kejang yang
serupa sebanyak 1 kali dengan durasi ± 20 menit. Kejang tidak diawali
demam dan setelah kejang pasien sadar.
- Sembilan hari sebelum masuk rumah sakit pasien kembali mengalami kejang
satu kali dengan tipe yang sama dan sadar setelah kejang. Dua hari kemudian
pasien mengaami demam dan batuk berdahak, namun tidak diobati. Dua hari
selanjutnya pasien kembali kejang satu kali dengan tipe serupa, tidak diawali
demam. Kejang timbul ketika pasien sedang dalam keadaan kelelahan setelah
berpergian jauh. Pasien berobat ke dokter saraf di Kerinci dan langsung
dirujuk ke RS Efarina Kerinci. Pasien dirawat selama tiga hari, diberi obat
penurun panas dan antibiotik. Pasien dipulangkan dan kembali merasa
kelelahan karena langsung dibawa berpergian oleh orang tuanya, lalu pasien
kejang dengan tipe yang sama sebanyak satu kali. Pasien dibawa kembali ke
RS Efarina Kerinci, kemudian dirujuk ke RSUD Arifin Achmad Provinsi
Riau.
- Dua puluh jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami kejang. Kejang
berupa kaku pada tangan kanan, kaki kanan, dan mata melihat ke atas. Kejang
terjadi sebanyak 6 kali, dengan durasi selama ± 30 – 35 menit. Interval antar
kejang ± 15 – 20 menit dan dintara kejang pasien tidak sadar. Keluhan tidak
disertai demam. Keluhan kelemahan anggota gerak tidak ada. Serangan
timbul secara tiba-tiba. Pasien dibawa ke IGD RSUD Arifin Achmad dan saat
tiba di IGD pasien sudah tersadar.

Riwayat penyakit dahulu


- Pasien didiagnosis epilepsi di RS Efarina Kerinci (dua puluh tiga hari
sebelum masuk rumah sakit)

Riwayat penyakit keluarga


Abang pasien pernah mengalami kejang 1 kali tanpa diawali demam saat usia 9
bulan. Riwayat kejang dan penyakit lain dalam keluarga besar tidak diketahui.
-

49 54 55 65

24 25 29
28 28 30

2
1 3 9 5,2

Riwayat kejang
Epilepsi (+)
tanpa demam 1 kali

Gambar 3.1 Pedigree

21
Riwayat orang tua
- Pekerjaan Ibu : Ibu rumah tangga
- Pekerjaan Ayah : Petani

Riwayat kehamilan
- Riwayat demam saat hamil (-). Perdarahan maupun keputihan saat
kehamilan (-). Selama kehamilan ibu sering memeriksakan diri ke bidan.
Merokok (-), alkohol (-).
- Pasien anak ke 2 dari 2 bersaudara, lahir cukup bulan secara spontan
dibantu oleh bidan dengan berat lahir 3000 gram dan ibu pasien lupa
panjang lahir pasien. Pasien lahir langsung menangis, ketuban hijau (-),
langsung disuntikkan vitamin K dan vaksin hepatitis B.

Riwayat makan dan minum


- 0 – 6 bulan : ASI
- 6-12 bulan : MPASI
- 12-24 bulan : makanan biasa
- > 24 bulan : makanan biasa

Riwayat imunisasi
- BCG : 1x
- DPT : 3x
- Polio : 4x
- Campak : 1x
- Hepatitis B : 4x

Riwayat pertumbuhan
- Berat lahir 3000 gram
- Berat badan sekarang 17 kg
- Tinggi badan 105 cm

22
23

Riwayat perkembangan
- Personal sosial : Penyesuaian diri dan perhatian terhadap kebutuhan
- Berbahasa : 12 bulan mulai berbicara spesifik
- Motorik kasar : 3-6 bulan mengangkat kepala, 12 bulan mulai berjalan
- Motorik halus : mengancingkan baju usia 4 tahun
Saat ini pasien sekolah di Taman Kanak-kanak (TK). Pasien tumbuh seperti anak
seusianya termasuk aktif bermain. Saat ini pasien menjadi mudah marah dan sulit
mengendalikan emosi.

Keadaan perumahan dan tempat tinggal


- Tempat tinggal dirumah permanen, ventilasi udara cukup, cahaya cukup dan
lingkungan bersih
- Sumber air minum dari air galon isi ulang
- Sumber air mandi dan mencuci dari air sumur bor

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tanda-tanda vital:
- Nadi : 84 denyut/menit
- Frekuensi nafas : 20 kali/menit
- Suhu : 37.1 ºC
Kepala : Normocephali
Rambut : Berwarna hitam dan tidak mudah dicabut
Mata
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sklera : ikterik (-/-)
- Pupil : bulat isokor 2mm/2mm
- Reflek cahaya : reflek langsung (+/+), reflek tidak langsung (+/+)
- Diplopia (-), gerak bola mata ke segala arah, edema palpebra (-)
Telinga : dalam batas normal, sekret (-), darah (-)
Hidung : dalam batas normal, sekret (-), darah (-)
24

Mulut
- Bibir : sianosis (-)
- Selaput lendir : mukosa basah, tidak hiperemis
- Palatum : utuh
- Lidah : lidah kotor (-)
- Dinding faring : hiperemis (-/-)
- Tonsil : warna merah muda, permukaan licin, T1-T1
Leher
- KGB : Pembesaran KGB (-)
- Kaku kuduk : (-)
Toraks
- Inspeksi : normochest, gerakan dada simetris, retraksi (-)
- Palpasi : vokal fremitus simetris kiri dan kanan, ictus cordis teraba
linea midclavicula sinistra SIK 5
- Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
- Auskultasi :
o Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
o Bunyi jantung S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : perut tampak datar, venektasi (-)
- Auskultasi : Bising usus (+), 10 x/menit
- Palpasi : supel, hepatomegali (-), splenomegali (-)
- Perkusi : timpani
Alat kelamin : jenis kelamin laki-laki, normal
Ektremitas : akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema (-)
Status neurologis :
- Reflek fisiologis (+)
- Reflek patologis (-)
- Tanda rangsang meningeal:
Kaku kuduk (-), Brudzinski 1 (-), Brudzinski 2 (-), Kernig’s Sign (-)
25

Pemeriksaan laboratorium (27-11-2018)


Darah rutin:
Hb : 12,4 g/dl
Ht : 37%
Leukosit : 16.500 /uL
Trombosit : 364.000 /uL

Hal penting dari anamnesis


- Dua puluh tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien kejang ± 20 menit.
Kejang berupa kaku pada tangan kanan, kaki kanan, dan mata melihat ke atas.
Setelah kejang pasien sadar.
- Pasien sering marah dan emosi sulit dikendalikan.
- Sepuluh hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami kejang yang
serupa 1 kali ± 20 menit. Kejang tidak diawali oleh demam. Setelah kejang
pasien sadar.
- Dua puluh jam sebelum masuk rumah sakit pasien kejang sebanyak 6 kali
dalam sehari, setelah kejang pasien tidak sadar.
- Pasien pernah dirawat di RS Efarina Kerinci dan didiagnosis epilepsi.

Hal penting dari pemeriksaan fisik


- Suhu : 37.1 ºC
- Tanda rangsang meningeal:
Kaku kuduk (-), Brudzinski 1 (-), Brudzinski 2 (-), Kernig’s Sign (-),

Diagnosis kerja
- Epilepsi dengan riwayat status epileptikus
Diagnosis gizi
- Gizi baik
26

Terapi
- IVFD RL 32 cc / jam
- Phenobarbital 170 mg diencerkan dalam 50 cc NaCl 0,9% habis dalam ½ jam,
ulangi tiap 12 jam dengan dosis Phenobarbital 45 mg.

Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Riwayat pengobatan pasien


EEG 29 November 2018

Kesimpulan:
Gambaran EEG menunjukkan hasil normal, namun pada photic didapatkan
perubahan yang berarti.
27

Tabel 3.1. Pemantauan pasien di IGD

Subjective Objective Assesment Plan


Kejang(-), pasien KU : Tampak Epilepsi dengan - IVFD RL 32 cc / jam
sadar sakit ringan riwayat status - Phenobarbital 170
Kesadaran : epileptikus mg diencerkan dalam
komposmentis 50 cc NaCl 0,9%
habis dalam ½ jam.
HR : 80 denyut/
menit
RR : 20 x/menit
TD:100/60mmHg
T : 37,3 º C
BB : 17 kg

Tabel 3.2. Pemantauan pasien di rawat inap


Subjective Objective Assesment Plan
Kejang (-) KU : Tampak Epilepsi dengan - IVFD RL 32 cc / jam
sakit ringan riwayat status - Phenobarbital 45 mg
Kesadaran: epileptikus diencerkan dalam 50
cc NaCl 0,9% habis
komposmentis
dalam ½ jam / 12
HR : 80 denyut/ jam.
menit
RR: 20 x/menit Pasien dipulangkan,
T : 37 º C diberikan:
- Asam valproat tablet
30 mg 3 x ½ tablet
- Direncanakan EEG
28

Tabel 3.3. Pemantauan poliklinik


Subjective Objective Assesment Plan
6/12/18
Kejang (+) 1 kali KU : Tampak Hasil EEG: - Asam valproat tablet
dua hari sebelum sakit ringan Pada photic 30 mg 3 x ½ tablet
masuk rumah Kesadaran: didapatkan
sakit dengan komposmentis perubahan yang
durasi sekitas 5 HR : 80 denyut/ bermakna
menit dan sadar menit
setelah kejang. RR: 22 x/menit  Epilepsi
Diikuti dengan T : 37,2º C
muntah sebanyak
2 kali
Saat ini anak
sulit berbicara.

20/12/2018
Kejang (-) KU : Tampak - Asam valproat syrup
- Epilepsi
Beberapa hari sakit ringan 3 x ½ sendok takar
belakangan ini Kesadaran: - Gangguan
sulit untuk komposmentis bicara
berbicara, HR : 85 denyut/
berbicara menit
menjadi terbata- RR: 22 x/menit
bata. T : 36,7º C
29

BAB IV

PEMBAHASAN

Penilaian kegawatdaruratan tidak ditemukan adanya kegawatan pada anak.

Pasien dirawat di Rumah Sakit untuk observasi kejang lebih lanjut. Riwayat status

epileptikus pada pasien ini ditegakkan berdasarkan lama kejang yang terjadi pada

pasien yaitu kejang terjadi sebanyak 6 kali dalam 24 jam, dengan durasi selama

lebih dari 30 menit, interval antar kejang ± 15 – 20 menit dan diantara kejang

pasien tidak sadar. Hal ini sesuai dengan definisi status epileptikus berdasarkan

ILAE yang menyatakan status epileptikus adalah kejang yang berlangsung terus-

menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya

kesadaran diantara kejang dengan tambahan batasan waktu selama 30 menit atau

lebih sesuai dengan hasil kesepakatan ahli.19 Penyebab status epileptikus pada

pasien ini adalah ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi OAE setelah ditegakkan

epilepsi oleh dokter spesialis anak. Brophy menjelaskan, riwayat epilepsi disertai

dengan pemutusan atau ketidakpatuhan meminum obat anti epileptik akan

menyebabkan terjadinya status epileptikus.20 Rendahnya jumlah obat anti epilepsi

dalam darah pada penderita epilepsi dapat menyebabkan terjadinya status

epileptikus.21,22

Epilepsi pada pasien pertama sekali ditegakkan melalui anamnesis

berdasarkan kejadian kejang yang terjadi, sesuai dengan definisi praktis dimana

terjadi minimal 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak

waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam, sehingga pasien

ditegakkan diagnosa epilepsi secara klinis.19 Meskipun epilepsi adalah diagnosis


30

klinis, elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan yang sangat penting

untuk menentukan klasifikasi epilepsi, menentukan lokasi, atau fokus kejang

khususnya pada kasus-kasus kejang fokal, namun tidak sepenuhnya dapat

mendukung ataupun menyingkirkan diagnosa epilepsy.23,24 Penelitian yang

dilakukan di RSUD Dr. Soetomo tahun 2013 menjelaskan hasil pemeriksaan EEG

pada pasien anak epilepsi dapat menggambarkan lobus otak yang abnormal.

Delapan puluh satu pasien anak epilepsi yang melakukan pemeriksaan EEG,

didapatkan 59 anak (72,8%) memiliki hasil EEG yang abnormal dengan kelainan

terbanyak ditemukan pada lobus temporal yaitu sebanyak 18 anak (22,2%).22

Prosedur standar yang digunakan pada pemeriksaan EEG adalah rekaman

EEG saat tidur (sleep deprivation), pada kondisi hiperventilasi dan stimulasi fotik,

dimana ketiga keadaan tersebut dapat mendeteksi aktivitas epilepticform.21

Pemeriksaan EEG pasien ini tidak ditemukan gelombang epileptic form pada saat

tidur, namun ditemukan gelombang epileptic form pada sisi frontal, oksipital kiri,

temporal kiri dan temporal kanan saat diberikan stimulasi fotik berupa lampu

kedap-kedip. Penelitian yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia tahun 2015 menjelaskan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

munculnya gelombang epileptic form pada hasil EEG anak dengan epilepsi.22

Pemeriksaan EEG dengan hasil normal tidak dipengaruhi oleh jarak pemeriksaan

dengan kejadian kejang yang lama setelah kejang terakhir. Rekaman EEG pada

pasien sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Andrianti, yaitu didapatkan

hasil rekaman EEG pertama kali, 57,6% adalah gambaran normal dan 42,4%

adalah gambaran abnormal. Hasil rekaman EEG dipengaruhi oleh banyak faktor

dan tidak selalu gangguan fungsi otak dapat tercermin pada rekaman EEG.
31

Gambaran EEG normal dapat dijumpai pada anak dengan epilepsi, sebaliknya

gambaran EEG abnormal ringan dan tidak khas terdapat pada 15% populasi

normal.17,27 Gambaran EEG abnormal pada penelitian tersebut ditemukan lebih

sedikit dibandingkan EEG normal, karena rekaman EEG yang dicatat hanya EEG

pertama saat epilepsi didiagnosis, dan rekaman dilakukan saat pasien tidak kejang

(inter-ictal). Gambaran EEG abnormal akan didapatkan lebih sering jika EEG

dilakukan berulang beberapa kali.22 Hal ini berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Tartila (2015) yang menjelaskan berkurangnya terjadinya

gelombang epileptic form seiring dengan semakin lama jarak pemeriksaan dengan

jarak kejang. Pemberian stimulasi fotik menunjukkan fotosensitivitas pada pasien

yang mengalami kejang dengan induksi visual.23

Orangtua pasien mengeluhkan pasien cenderung mudah marah, sulit diatur

dan mengalami gangguan kemampuan berbicara setelah kejang. Gangguan

perilaku pada pasien ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di Rumah

Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2015), yaitu terdapat hubungan antara

gangguan perilaku dengan usia awitan kejang. Pasien dengan usia awitan kejang <

5 tahun mengalami gangguan perilaku lebih besar dibandingkan anak usia awitan

kejang > 5 tahun.12


DAFTAR PUSTAKA

1. Walter JJF, Scheffer IE, Fisher RS. The new definition and classification
of seizures and epilepsy. Epilepsy Research. 2018;139:73-9.

2. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G. ILAE classification of the


epilepsies: position paper of the ILAE commission for classification and
terminology. Epilepsia. 2017;58:512-21.

3. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, Rossetti AO, Scheffer IE, Shinnar S, dkk.


A definition and classification of status epilepticus – Report of the ILAE
task force on classification of status epilepticus. Epilepsia.2015;56:1515–
23.

4. Hauser WA. Epidemiology of epilepsy in children. Dalam: Pellock JM,


Nordli DR, Sankar R, Wheless JW, penyunting. Pediatric epilepsy:
diagnosis and therapy, edisi ke-4. New York: Demosmedical; 2017.p.177-
200.

5. Zuberi SM, Simonds JD. Update on diagnosis and management of


childhood epilepsies. J Pediatr (Rio J). 2015;91:S67-77.

6. Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Profil kesehatan Provinsi Riau. 2011.

7. Verrotti A, d’Alonzo R, Laino D. Diagnosis of epilepsy after a first


unprovoked seizure: The different aspects of a single problem. Mol Cell
Epilepsy. 2014;165.

8. Bintoro AC. Pemeriksaan EEG untuk diagnosis dan monitoring pada


kelainan neurologi. Med Hosp. 2012; 1(1):64-70.

32
33

9. Maretta D. Hubungan antara kepatuhan minum obat terhadap kejadian


remisi epilepsi pada anak [skripsi]. Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta; 2017.

10. Oktaviana R. Hubungan antara dukungan keluarga dan kepatuhan minum


obat pada pasien epilepsi di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Kota
Pontianak [skripsi]. Pontianak: Universitas Tanjungpura; 2016.

11. Lavina A, Widodo DP, Nurdadi S, Tridjaja B. Faktor-faktor yang


mempengaruhi gangguan perilaku pada anak epilepsi. Sari Pediatri. 2015;
16:409-15.

12. Peljto AL, Cummings CB, Vasoli VM, Leibson CL, Hauser WA,
Buchhalter JR, et al. Familial risk of epilepsy: a population-based study.
Brain A Journal of Neurology. 2014:137;795–805.

13. Bromfield EB, Cavazos JE, Sirven JI. Basic mechanisms underlying
seizures and epilepsy. American Epilepsy Society. 2008;1:1-17.

14. National Institute for Health and Care Excellence guideline (NICE).
Epilepsies: Diagnosis and management. 2012:66.

15. Waheed A, Pathak S, Mirza R. Epilepsy: a brief review.


PharmaTutor.2016;4:21-8.

16. Berg AT, Milichap JJ. The 2010 Revised classification of seizures and
epilepsy. Continuum Journal: Hospital of Chicago Epilepsy Center.
2013;19:571-97.

17. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi penatalaksanaan status


epileptikus. 2016.
34

18. Kaswandani N, Alatas FS, Medise BE, Muktiarti D, Andriastuti M.


Prosiding simposium LXXIII masalah kesehatan neonatus sampai remaja.
2017.

19. Seinfeld S, Leszczyszyn DJ, Pellock JM. Status epilepticus and acute
seizures. Dalam: Pellock JM, Nordli DR, Sankar R, Wheless JW,
penyunting. Pellock’s pediatric epilepsy: diagnosis and therapy, edisi ke-4.
New York: Demosmedical.2017.p.567-83.

20. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, BLeck TP, Glauser T, dkk.
Guidelines for the evaluation and management of status epilepticus.
Neurocrit Care. 2012: 1-21.

21. Trinka E, Hofler J, Zerbs A. Causes of status. Epilepsia. 2012;53:S127–38.

22. Rilianto B. Evaluasi dan manajemen status epileptikus. CDK. 2015;42:


750-4.

23. Suwarba IGNM. Insiden dan karakteristik klinis epilepsy pada anak. Sari
Pediatri 2011;13:123-8.

24. Vera R, Dewi MAR, Nursiah. Sindrom epilepsi pada Anak. MKS.
2014;46:72-6.

25. Andrianti PT, Gunawan PI, Hoesin F. Profil epilepsi anak dan
keberhasilan pengobatannya di RSUD Dr. Soetomo tahun 2013. Sari
Pediatri.2016;18:34-9.

26. Tartila. Gambaran gelombang epileptiform pada EEG dengan epilepsy:


kajian pada faktor yang mempengaruhi [tesis]. Jakarta: Universitas
Indonesia, 2015.

Anda mungkin juga menyukai