www.menikah-islami.blogspot.com WA : 087839494333
Ebook Spesial
Penyususn
Ust. Miftahuddin
Sedekah unuk operasional pendidikan, dakwah dan kesejahteraan da’i bisa dengan
membelikan pulsa ke no HP 087839494333 atau transfer via bank ke no rek BSM (Bank
Syariah Mndiri, kode 451) ; 7017802245 a.n MIFTAHUDIN
Assalaamu'alaikum...
Alhamdulillah wa syukru lillah, laa haula wa laa quwwata illa billah...
Sungguh tiada kata yang lebih indah dari ucapan kesyukuran kita kepadaNya, alhamdulillah
atas segala karunia dan hidayahNya sehingga kita terbimbing ke jalan yang diridhaiNya.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, uswah kita, Nabiyullah
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, tabi'in, tabiut tabi'in dan
umatnya yang senantiasa memegang teguh sunnah-sunnahNya.
Hadirnya ebook ini, berangkat dari keprihatinan minimnya pengetahuan umat Islam tentang
pernikahan & bagaimana mengatur rumah tangga sesuai tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Banyaknya masalah rumah tangga, pertengkaran, kenakalan anak sampai perceraian berawal
dari minimnya pengetahuan suami maupun istri tentang rumah tangga yang Islami. Bukan
cuma orang yang awam agama, bahkan aktivis Islam pun banyak yang tidak faham
bagaimana mengatur rumah tangga yang syar'i, mengasuh anak sesuai tuntunan syari'at dan
menyelesaikan konflik rumah tangga secara Islami.
Fakta membuktikan, banyaknya kasus konflik rumah tangga yang sudah kami tangani, dari
orang yang awam sampai aktivis Islam, dari masalah kecil sampai berat bahkan sampai
perceraian bermula dari minimnya ilmu tentang rumah tangga yang Islami, mendidik anak
sesuai tuntunan syari'at dan menyelesaikan konflik sesuai tuntunan Al-Qur'an dan As-
Sunnah.
Ebook ini, merupakan salah satu usaha kami dalam membekali calon suami istri maupun
yang sudah menikah dalam mengatur rumah tangga Islami sehingga rumah tangga sakinah
mawaddah wa rahmah bisa terwujud.
Sedekah unuk operasional pendidikan, dakwah dan kesejahteraan da’i bisa dengan
membelikan pulsa ke no HP 087839494333 atau transfer via bank ke no rek BSM (Bank
Syariah Mndiri, kode 451) ; 7017802245 a.n MIFTAHUDIN
Ust. Miftahuddin
Taaruf... Istilah ini semakin populer saja sekarang. Sebenarnya arti dari taaruf ini adalah
perkenalan namun sekarang populer dengan istilah sebuah proses sebelum khitbah / lamaran.
Alhamdulillah... Semoga ini baik... InsyaAllah...
Taaruf... Sebuah istilah yang sekarang orang awam pun sudah tahu. Kalau dahulu istilah ini
hanya beredar di kalangan aktivis Islam, tetapi sekarang sudah tidak asing dikalangan orang
awam... Alhamdulilah... Semoga ini baik... InsyaAllah
Menurut pengalaman kami dalam mengelola forum taaruf, banyak ikhwan atau akhwat yang
ternyata belum mempersiapkan diri secara maksimal & benar, baik sebelum maupun selama
proses taaruf sehingga "gagal" dalam bertaaruf.
Berikut ini beberapa tips sukses bertaaruf yang kami kami ringkas semoga bermanfaat.
1. Meluruskan Niat Hanya Mengharap Ridha Allah Ta'ala. Dengan niat yang lurus insyaAllah
Allah kan memudahkan kita dalam proses taaruf.
2. Mengkondisikan Keluarga
- Memahamkan keluarga tentang proses ta'aruf yang Islami. Ada beberapa kasus, proses
taaruf gagal karena keluarga pihak akhwat atau keluarga pihak ikhwan belum di faham kan
tentang proses ta'aruf yang Islami. Maka saran kami, mulai dari sekarang ikhwan maupun
akhwat sudah mulai mengenal kan keluarga terutama orangtua tentang proses ta'aruf yang
Islami sehingga ketika terjadi proses taaruf tidak ada pertentangan dari pihak keluarga.
3. Mencari Calon dgn Cara yg Islami
- Minta tolong perantara ; Ustadz,teman,kakak atau keluarga. Usahakan cari perantara yang
faham agama dan adil obyektif dalam menilai.
- Mencari sendiri ; Hati2 jebakan syetan, jaga adab2 pergaulan Islami. Banyak kami dapati
kasus, ikhwan atau akhwat yang bertaaruf secara 'mandiri' tetapi dalam pergaulan, mereka
tidak ada bedanya dengan pacaran. Misal, chatting di fb atau bbm bisa berjam-jam sampai
tengah malam, berkomunikasi dalam hal-hal yang tidak penting dll.
4. Proses Pengenalan Sicalon
- Mencari tahu dari sahabat, teman, saudara atau orangtuanya
Allahu A'lam
Ya, kemapanan seringkali merupakan salah satu pertimbangan para lajang untuk menikah.
Tidak sedikit dari mereka yang memilih menunda untuk menikah jika belum mapan dari sisi
keuangan. Ada saja ikhwan yang tidak mau melamar akhwat sebelum ia punya rumah sendiri
atau memiliki karier yang mapan di perusahaan. Begitu juga akhwat, beberapa dari mereka
lebih berharap yang datang melamar adalah ikhwan yang sudah “jadi”, apalagi jika ia sendiri
sudah cukup matang dari segi finansial.
Jika kita berpikir seperti ini, ketahuilah bahwa menunggu kemapanan ekonomi untuk
menikah (atau dinikahi) ibarat seperti naik helikopter dan ingin langsung melihat
pemandangan tanpa melalui susah payahnya mendaki gunung. Tentu rasanya berbeda
menikmati pemandangan dengan mendaki gunung terlebih dahulu. Ketika kita harus jalan
kaki naik gunung dengan susah payah, maka perasaan saat melihat pemandangan tersebut
akan sangat berbeda bila dibandingkan dengan melihatnya langsung dari helikopter. Yang
membuatnya berbeda bukan kualitas gambar pemandangan yang dihasilkan mata, melainkan
pada proses pencapaiannya.
Ada proses yang mesti dijalani terlebih dahulu, yang tentu menambah keindahan yang kita
peroleh setelah berusaha. Begitu juga akan berbeda rasanya ketika kita langsung melihat
pemandangannya tanpa bersusah payah dahulu untuk mendaki gunung. Pemandangan yang
dilihat memang sama, tetapi perasaannya akan berbeda karena prosesnya yang berbeda.
Begitu pula dengan proses pernikahan.
Kemapanan adalah alasan yang kerap dikemukakan orangtua atau wali kala menerima atau
menolak pinangan seorang laki-laki terhadap putrinya. Mereka berargumen, kemapanan
calon suami menjadi kunci utama dari kebahagiaan putrinya. Bagaimana dengan keteladanan
salafus shalih dalam hal ini?
ِ إِﻻﱠ تَ ْفعَلُوا تَ ُك ْن ِفتْنَةٌ فِي ْاﻷ َ ْر،ُض ْونَ ِد ْينَهُ َو ُخلُقَهُ فَزَ ّ ِو ُج ْوه
ٌ ض َوفَ َساد ٌ َع ِري
ْض َ ب إِلَ ْي ُك ْم َم ْن ت َْر َ إِذَا َخ
َ ط
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk
meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita
kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan
yang besar.” (HR. At-Tirmidzi)
Abu Hatim Al-Muzani juga menyampaikan hadits yang sama namun dengan lafadz sedikit
berbeda:
ِ ض ْونَ ِد ْينَهُ َو ُخلُقَهُ فَأ َ ْن ِك ُح ْوهُ ِإﻻﱠ تَ ْفعَلُوا تَ ُك ْن فِتْنَةٌ فِي ْاﻷ َ ْر
َ َض َوف
ٌ س اد َ ِإذَا َجا َء ُك ْم َم ْن ت َْر
“Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk
meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkannya dengan wanita kalian. Bila
tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1085)
Ketika para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami tetap menerimanya walaupun
pada diri orang tersebut ada sesuatu yang tidak menyenangkan kami?” Rasulullah menjawab
pertanyaan ini dengan kembali mengulangi hadits di atas sampai tiga kali.
Ucapan Rasulullah dalam hadits di atas ditujukan kepada para wali, ب إِ َل ْي ُك ْم َ إِذَا َخyakni bila
َ ط
seorang lelaki meminta kepada kalian agar menikahkannya dengan wanita yang merupakan
anak atau kerabat kalian, sementara lelaki tersebut kalian pandang baik sisi agama dan
pergaulannya, maka nikahkanlah dia dengan wanita kalian. ِإﻻﱠ تَ ْفعَلُواyakni bila kalian tidak
menikahkan orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya tersebut dengan wanita kalian,
malah lebih menyukai lelaki yang meminang wanita kalian adalah orang yang punya
kedudukan/kalangan ningrat, memiliki ketampanan ataupun kekayaan, niscaya akan terjadi
fitnah dan kerusakan yang besar. Karena bila kalian tidak mau menikahkan wanita kalian
kecuali dengan lelaki yang berharta atau punya kedudukan, bisa jadi banyak dari wanita
kalian menjadi perawan tua dan kalangan lelaki kalian menjadi bujang lapuk (lamarannya
selalu ditolak karena tidak berharta dan tidak punya kedudukan). Akibatnya banyak orang
terfitnah untuk berbuat zina dan bisa jadi memberi cela kepada para wali, hingga berkobarlah
fitnah dan kerusakan. Dampak yang timbul kemudian adalah terputusnya nasab, sedikitnya
kebaikan dan sedikit penjagaan terhadap kehormatan dan harga diri. (Tuhfatul Ahwadzi,
kitab An-Nikah, bab Ma Ja’a: Idza Ja’akum Man Tardhauna Dinahu Fa Zawwijuhu)
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin,
Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)
Banyak kisah nyata, ikhwan yang sebelum menikah belum mapan & setelah menikah rizki
berlimpah. Yakinlah terhadap janji Allah bahwa Allah akan memampukan hambaNya yang
berniat menikah untuk beribadah kepada-Nya.
www.menikah-islami.blogspot.com
Kita memang tidak lagi hidup di zaman Nabi. Bukan sedang berada di mimbar dakwah /
masjid. Bukan sedang bersemayam di lingkungan santri. Namun, apakah aqidah mengenal
batas teritorial? Apakah Al-Qur'an mengenal kadaluwarsa?
Lantas, karena ia pedoman, sumber kita ya itu dia. Sampai hadits sebagai tambahannya.
Semua yang ada di dalamnya berarti mesti kita jalankan tanpa perlu banyak alasan.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al – Israa: 32)
Ya harusnya begitu…
Namun,
Lah masih ada yang gak paham atau mungkin pura-pura gak paham.
“Lah saya pacaran kan cuma status, gak ngapa-ngapain kok, apalagi berbuat zina.”
Memang benar kok, sebenarnya pacaran itu bukan “nama”nya yang salah. Tapi… ya
perbuatannya itu yang jelas menjurus ke hal yang salah.
Dalam KBBI, pacar artinya teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan
berdasarkan cinta kasih; kekasih. Kata “yang tetap” penulis garis-bawahi karena rasanya
kurang tepat apabila dikaitkan dengan kenyataan yang ada. Pada nyatanya, makhluk yang
disebut ‘pacar’ oleh insan yang mengaku kekinian ini hanyalah hal yang fana. Betul begitu?
So far, penulis agak sulit mencari sejarah dari mana asal kata ini muncul. Namun yang pasti,
istilah pacaran ini telah berkembang begitu hebat melebihi kapasitas hebat itu sendiri. Bahkan
beberapa oknum memperluas namanya menjadi berbagai nama, misalnya: pacaran islami.
Tapi apapun namanya, kemaksiatannya tetap terjadi. Memang tidak semua, namun… Ah
rasanya semua deh. Meskipun kau katakan “kami tidak ngapa-ngapain“, apa benar kalian bisa
menahan untuk tidak smsan, chatingan? Apa benar kalian bisa menahan untuk tidak
ketemuan dengan hati yang bergejolak bagai dentuman?
Kawan, jika hal itu semua diperbolehkan. Lantas, apa makna dari zina mata, zina lisan, zina
pendengaran, dan zina-zina lainnya yang turut beriringan?
Ini sama saja. Sama-sama dekati zina. Cuma bedanya, yang satu terang-terangan depan
orang, dan yang satunya lagi berupaya membungkusnya dengan sesuatu yang tidak terawang.
Kawan, aku pernah mendengar bahwa komitmen hanya benar diakui saat khitbah
(lamaran) dilaksanakan. Benar kan?
Kamu sang bidadari, tidak ada doi berjanji suci sebelum benar ia berjabat tangan dengan
ayahmu di hari akad pernikahan nanti.
“Tapi kak, selama bersama dia aku jadi rajin belajar, semangat sekolah, diingetin shalat,
ngaji, dan sebagainya..”
Nah loh. Hati-hati dalam berniat, luruskan niat. Kan qul inna sholatii wa nusuki wa mahyaya
wa mamati lillahi rabbil’alamiin“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanya untuk Allah, Tuhan Semesta Alam.” (Q.S. Al An’am: 162). Jangan ada embel –
embel tentang dia yang selalu mengingatkanmu menuju ketaatan. Kalau memang niatnya
amar ma’ruf nahi mungkar, tak perlu ajak pacaran, kan menjadi “teman” pun cukup bisa
untuk tetap saling mengingatkan?
Maknanya tak lain adalah kita mesti selalu dahulukanlah Allah. Allah is the first of our
priority list. Yakinlah hadiah atas kesabaran adalah pahala yang tak terkira, bukan sekedar
kebahagiaan yang sementara.
Bersabarlah…
Asalkan…
Sudah halal alias menikah dan sah secara agama. (Hey… Ini bukan lagi soal tawar-menawar.
Ini tuntutan pedoman. Hehe)
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka menikahlah,
karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan, maka siapa
saja yang belum mampu baginya, berpuasalah. Karena sesungguhnya berpuasa itu baginya
adalah perisai.” (H.R. Bukhari, Muslim)
Wallahu A'lam
(dakwatuna.com)
Pembahasan cinta begitu cepat ‘naik daun’. Walaupun sebenarnya daun itu tidak bisa dinaiki.
Seakan tiada henti, pembahasan tentang cinta selalu menghantui halaman-halaman media
sosial.
Iya. Betul sekali! Tetapi cara mencari dan mendapatkannya yang perlu diluruskan. Kenapa?
Tentu saja sangat jauh dari ajaran agama Islam.
Seperti seseorang mendapatkan cintanya ketika saling PDKT-an. Setelah kenal lama,
akhirnya pacaran. Baru menjalani lima bulan, terasa sudah banyak kekurangan bahkan
perbedaan. Sering bertengkar, seakan problem rumah tanggaan. Padahal baru pacaran, belum
juga halal. Dan akhirnya mereka putus. Coba bayangkan, berapa banyak uang yang sudah
dikeluarkan? Waktu dikorbankan, eh, ternyata tidak sampai ke pernikahan. Sungguh
menyedihkan, bukan?
Ada lagi kasus lain. Cari cinta di jalanan. Pakai kendaraan, rayu anak kos-an. Setelah jadian–
hamil dua bulan. Nanti punya anak, bejatnya nggak karuan. Lha, yang begini cinta apa
namanya? Lebih baik tidak usah dibahas!
Pria, apabila mencintai seorang wanita jangan tanggung-tanggung. Jika merasa sudah
‘mapan’ (modal secukupnya, namun kesiapan jiwa aman), maka segerakanlah meng-khitbah
(melamar) si wanita.
Jangan sampai di lain hari menyesal. Sebab melihat si calon bidadari duluan dipinang oleh
seorang yang tak dikenal. Wah, kasihan tuh cintanya dibegal.
Wanita juga, jangan terlalu galau jika belum ada pendamping hidup. Masih ada Ibu, Bapak
dan adik-adik di rumah. Bersabarlah!
Namun terkadang, wanita kudu memerhatikan pula tanda-tanda hari kiamat itu. Salah
satunya, bertambah banyak jumlah wanita dan semakin mengurang jumlah pria. Oleh
Survei menyatakan, wanita salehah itu lebih nyaman ditemani sama ‘sang mahram’,
ketimbang ditemani orang lain. Betul nggak?
Tetapi kekurangan wanita sekarang terlalu umbar aib. Kalau ditanya, “Mau mencari calon
imam,” cetusnya. Padahal memilih busana saja belum tepat. Kerudung pendek, berbaju ketat.
Dilapisi celana, seharusnya nutupi aurat. Eh … malah menambah dosa maksiat. Yang seperti
ini, diharapkan segera bertaubat.
Memang, cinta adalah multivitamin buat diri. Dalam artian, dengan cinta–seseorang bisa
tumbuh menjadi kuat atau pribadi yang hebat. Juga dengan cinta–bisa melemahkan hati atau
jiwa yang sehat.
Generasi Islam anak bangsa bisa hancur cuma gara-gara cinta-cintaan. Orang pacaran
bertebaran di mana-mana. Umbar aurat tampak jelas. Suruh beribadah sangat malas. Ini
bertanda, Negara kita akan kandas–bablas!
Apa belum tahu, syarat buat pacaran hanya dibolehkan setelah melaksanakan ‘ijab kabul’?
Bukan seperti yang diinginkan oleh anak zaman modern sekarang. Belum tentu berfaedah,
justru yang ada, dosa maksiat bertambah.
Mulyadi Selian
Islam pos
Ketiganya penting. Menikah merupakan sunnah Rasulullah untuk menjaga hati &
melestarikan keturunan. Mencari ilmu merupakan usaha untuk membentuk kematangan
berfikir sehingga mampu menjalin kehidupan selanjutnya. Sedangkan bekerja merupakan
usaha untuk memperoleh rezeki. Ketiga hal itu saling menopang satu sama lain.
Mana di antara ketiganya yang lebih penting? Semuanya kembali kepada keadaan & kondisi
masing-masing individu.
Bagi orang yang bisa menjalankan ketiganya secara bersamaan, insyaAllah akan mendapat
banyak keutamaan, hatinya lebih terjaga dengan menikah serta kebutuhan istri & kuliah dapat
dipenuhi dari hasil kerjanya. Tapi, sekali lagi, masing-masing individu memiliki kondisi &
kebutuhan yang berbeda. Jangan sampai justru semuanya berantakan karena salah memilih.
Banyak orang yang bisa melakukan ketiganya sekaligus walau tidak sedikit pula yang gagal.
Wallahu a'lam
Arif Mahmudi
Kuingin Menikah Tapi...
www.menikah-islami.blogspot.com
Mario Teguh selaku salah satu pakar motivasi berujar, “Tugasmu bukanlah untuk mencari
cinta yang terbaik, tapi menjadi yang terbaik untuk dicintai.” Dengan demikian sudut
pandang membina hubungan cinta bukan lagi berorientasi pada penemuan sebanyak mungkin
seseorang yang patut diperhitungkan untuk dicintai. Tetapi justru berupaya agar dirimu yang
ditemukan karena mampu menjadi yang terbaik untuk dipilih sebagai kecintaan.
Seseorang yang menemukanmu dalam keadaan terbaik untuk dijadikan pendamping hidup,
jauh lebih efektif dalam upaya menjadikanmu memiliki peluang berkesejatian cinta.
Bukankah sejatinya cinta memberi yang terbaik, bukan mencari yang terbaik? Sehingga
Semakin lihai dirimu mencerdaskan diri dalam memilah kebaikan-kebaikan yang patut
dimaksimalkan dalam penghidupanmu, niscaya semakin matang kedewasaan pola pikirmu
dalam mewujudkannya. Sesungguhnya tolok ukur dipilihnya seseorang menjadi pendamping
hidup itu sederhana saja, ialah memilki kelebihan hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
agamanya. Jadi fokuslah pada empat aspek tersebut.
Jadikan dirimu berharta, melalui kesungguhan usaha yang dilandasi kesadaran melebihkan
kerja. Ada nasihat dari Yassa Paramita Singgih selaku salah satu usahawan muda yang telah
sukses di kancah dunia, “lebih baik kehilangan masa muda, daripada kehilangan masa
depan.”Apabila sedari muda sudah membiasakan diri bekerja dengan giat, maka mental
sukses sudah mendarahdaging sehingga harapannya kekuatan finansial bisa membaik saat
sudah berumah tangga.
Perihal keturunan, bila memang tidak dilahirkan dari keluarga terhormat maka jadikanlah
dirimu terhormat sebagai peningkat derajat keluargamu. Perihal kecantikan, sesungguhnya itu
bersifat relatif, karena ketertarikan seseorang bisa tumbuh karena cantik jiwa, bukan sekadar
cantik rupa. Kalau fisik menawan, patut disyukuri. Akan tetapi saat fisik biasa saja, tidak
usah meratap diri, gali kecantikan nurani agar memancar. Untuk memacarkan kecantikan
nurani, kuatkan keilmuan agamamu sesungguhnya hal yang demikian merupakan puncak dari
kemuliaan hidup manusa. Semoga niat baikmu dalam memaksimalkan empat aspek
kelayakan dipilih sebagai kecintaan dapat mewujud nyata. []
www.menikah-islami.blogspot.com
Saudaraku... Orangtua pasti memiliki alasan tertentu ketika menghalangi anaknya untuk
menikah. Mereka pasti menginginkan anaknya bisa hidup bahagia kelak setelah menikah.
Hanya saja, sudut pandang nya berbeda dengan sang anak.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan bila orangtua melarang menikah, yaitu :
- Mencari tahu alasannya, kemudian melakukan pendekatan sembari memberikan penyadaran
kepada orangtua tentang larangan menghalangi anaknya menikah karena pertimbangan-
pertimbangan yang tidak syar'i.
- Tunjukkan bahwa diri mampu & siap untuk menikah.
- Meminta bantuan saudara yang dipercaya atau berpengaruh terhadap orang tua.
- Meminta bantuan pihak ketiga.
- Shalat istikharah & memohon agar diberikan keputusan yang terbaik untuk diri, agama &
kehidupannya.
- Bertawakkal kepada Allah atas segala keputusan yang datang dari-Nya. Sebab apapun yang
menjadi keputusan Allah, itulah yang terbaik.
Wallahu a'lam
www.menikah-islami.blogspot.com
Kita boleh saja selektif dalam mencari jodoh supaya dikemudian hari bahtera rumah tangga
tetap langgeng. Tetapi, selektif disini tetap harus proporsional & sejalan dengan petunjuk
Islam. Apabila terlalu selektif, justru akan mempersulit yang bersangkutan dalam
mendapatkan jodoh.
Menunda-nunda pernikahan hanya lantaran belum menemukan orang yang memenuhi kriteria
ideal merupakan masalah yang cukup serius & memiliki dampak negatif yang sangat banyak.
Oleh karena itu, luruskan lah niat untuk beribadah kepada Allah ketika memilih calon
pasangan. Kembalikan pada petunjuk Islam dalam memilih calon pasangan, yaitu utamakan
kesalehan baru disusul kriteria 2 yang lain. Dengan kata lain, bukan asal cantik / tampan,asal
kaya atau asal terhormat.
Begitu juga yang perempuan, utamakan lelaki yang agamanya bagus karena dialah yang akan
membimbing & mengarahkan istri ke Surga.
Perlu diingat juga bahwa tidak ada manusia yang sempurna dimuka bumi ini sekarang.
Masing-masing orang mempunyai kelebihan & kekurangan. Dengan mengutamakan
keshalehan calon pasangan, insyaAllah segala Problematika akan dapat teratasi.
www.menikah-islami.blogspot.com
Menikah/Wedding : sebuah event besar dalam kehidupan kita . Komitmen yang sangat agung
( mitsaqan ghalidza).
Untuk membentuk sakinah mawaddah warrohmah itu dimulai dengan istri dan suami yang
tepat. Mencari sahabat saja susah apalagi mencari pasangan hidup kita.
”Mereka (para istri) itu adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka.”
(Al-Baqarah: 187)
Dalam masyarakat secara umum terbuat konsep ‘pacaran’ yang bertentangan dgn sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam :
Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya
syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” [HR. Ahmad]
Ta’aruf secara etimologi bahasa artinya penjajakan, saling mempelajari satu dgn yang lain .
Ta’aruf adalah konsep untuk memberikan gambaran dalam mencari jodoh yang dijelaskan
para ulama.
Menentukan kriteria
3. Wanita yang penuh dengan rasa cinta dan bisa mengungkapkan kata cintanya.
Ketika jabir bin abdullah menikah dengan janda Rasulullah berkata : “kenapa tidak gadis?
engkau bisa bermain dengannya dan ia bisa bermain dgnmu” [ HR Tirmidzi ]
》gadis memiliki kelebihan dalam soal cinta karena pengalaman pertama bagi dia.
Rasulullah bersabda : “menikahlah dgn wanita al wadud”
Al wadud -> penuh dengan rasa cinta
Sebenarnya jika berhenti sampai kriteria ini sudah luar biasa tapi para ulama menambahkan
point berikut :
4. Dari keluarga yang baik baik dan lingkungan yang baik.
》Meskipun hadistnya di perselisihkan tapi maknanya benar.
》Meskipun tidak mempengaruhi secara karakter tapi akan ada kesulitan saat sudah menikah
sehingga hal ini perlu untuk di pertimbangan.
5. Kaya
》tapi ini kriteria tambahan atau penyempurna. Tapi orientasi kita bukan harta dan ini jika
kriteria sblmnya terpenuhi.
》kaya disini jika dengan hartanya bisa dipakai dan menunjang akhirat kita
6. Subur
Kesimpulan : mencari pasangan dalam agama islam ada dua secara garis besar yaitu
agamanya baik dan kita suka /cocok secara pribadi.
Bagaimana mencarinya?
Setelah melalui proses bagaimana bisa ta’aruf . Maka yang harus dilakukan adalah
》kalau ahli maksiat akan cocok pada ahli maksiat begitu pula wanita yang ahli ibadah akan
mendapat laki2 yang ahli ibadah.
2. Kita jujur dalam menetapkan kriteria.
3. Kalau meminta bantuan melalui mediator
amanah, mengerti fiqih ,takut kepada Allah dan mengerti apa yang kita inginkan.
》jangan asal mencoba
》mediator akan ditanya dunia akhirat sehingga hati-hati dalam menjadi mediator
》Karakter orang berbeda-beda dan itulah yang Rasulullah lihat ketika menjodohkan usamah
dan fatimah bint qais.
4. Jangan percaya seratus persen dengan apa yang kita dengar , harus kroscek ,lakukan
investigasi.
》Fatimah ibn qais ketika menerima lamaran abu jahl dan muawiyyah ia kroscek dengan
Rasulullah
》Pastikan semua data benar bahwa apa yang di ceritakan adalah benar , jujur.
》Investigasi secara benar dengan interogasi sampai ia tidak fokus hingga keluar semua
Penutup
Dalam ta’aruf harus senantiasa diiringi doa kepada Allah (melibatkan Allah Ta'ala ) karena
Allah Maha Tahu dan kita tidak mengetahuinya ( QS. Al-Baqarah : 216) . Maka ketika kita
ta’aruf harus banyak berdoa kepada Allah , meminta kepada Allah , istikharah.
Inilah bedanya ta’aruf dgn pacaran , pacaran penuh maksiat tidak melibatkan Allah sama
sekali. Dalam ta’aruf Allah yang utama sehingga dalam prosesnya harus lebih mendekat
kepada Allah.
“Ya Allah jika laki-laki/wanita ini (sebut nama) baik buat aku dan agamaku maka
jodohkanlah tapi jika ia buruk buat agamaku palingkanlah aku dari d ia dan palingkan dia
dariku gantilah dengan yang lebih baik dan ikhlaskan aku menerima keputuasanMu”
Sebelum cari kriteria "Pacar yang cocok dan sholeh untuk dijadikan suami", kita harus
ketahui bersama bahwa.PACARAN DI DALAM ISLAM ITU HARAM!
Kok bisa haram sih?
Kalau mau nyari kata "pacaran" dalam Al Quran maupun hadits, emang gak bakalan bisa
ditemukan. Tapi, coba deh kita bahas apa aja sih yang biasa dilakukan oleh orang yang
pacaran?
1. Telepon berduaan aja, jalan-jalan berduaan aja, naik motor berduan, nyari tempat sepi
berdua biar adem, apa namanya kalo bukan berkhalwat? Tau kan ada hadits yang isinya
begini.
“Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah
setan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)
Wanita yang dimaksud di hadits ini adalah wanita yang bukan mahramnya. Mahram itu apa?
Orang yang gak bisa dinikahi; ibu, adek/kakak perempuan, anak, nenek, dst. Kalau
mahramnya cewek? Disesuaikan saja lah~
2. Minimal orang yang pacaran itu ada acara pegangan tangan, pelukan bentar, pelukan lama,
dan seterusnya. Pegangan dengan yang bukan mahramnya gak boleh loh. Ada salah satu
hadits yang isinya ini :
“Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh
wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani, no. 16880, 16881)
3. Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit. Peribahasa ini bisa dipake ke sini, sedikit-sedikit
pegangan, lama-lama. (terusin sendiri). Ada loh ayat Alquran yang berbunyi :'
“Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Israa’: 32)
Zina itu apa sih? Udah tau kan? Tau, hal-hal seperti apa yang mendekatkan pada zina?
Berkhalwat, pegang-pegangan dengan yang bukan mahrammnya, dan seterusnya.
Jadi, kesimpulannya pacaran itu GAK BOLEH alias HARAM dalam Islam. Dan, gak ada tuh
"cari pacar yang sholeh", KARENA ORANG SOLEH GA AKAN PACARAN :D
"Gak bisa diem atuh. Kalo si cinta malah pacaran dengan yang lain, gimana?"
Ya, berarti si cinta gak bisa mengabdi ke Allah. Kok cari jalan yang tak diridhai Allah.
Tujuan pacaran emang banyak sih. Ada yang coba-coba karena "kata temen asik", ada yang
buat asik-asikan doang. Tapi kali ini saya anggap orang yang pararan ingin mencapai tujuan
yang sama, PERNIKAHAN.
Nah, pernikahan itu sendiri adalah menyatukan dua insan yang memiliki perbedaannya
masing-masing dalam satu ikatan "perjanjian" sakral. Dua insan memutuskan membuat
"perjanjian" karena memiliki kepentingan yang sama, setidaknya si pembuat janji merasa
rekan "perjanjiannya" bisa memenuhi kebutuhan atas perjanjian yang dibuat.
Maka, pastikan pernikahan didasari oleh dasar yang abadi. Allah. bila menikah didasari untuk
"menggapai ridha Allah bersama", maka rintangan apapun yang dihadapi takkan
menghancurkan pernikahan. Pernikahan aman, berkah lagi :D
Ya, dia bukan jodoh lo kali. Kan manusia gak dia doang. carilah pasangan hidup yang
hidupnya untuk menggapai ridha Allah, maka insya Allah kebahagiaan dunia akhirat akan di
raih
Muhammad Alghifari
Salah satu hal yang sangat berbeda antara lajang dengan orang yang sudah berumah tangga
adalah dalam hal kebebasan. Saat masih lajang, anda bebas melakukan apa saja. Anda bebas
makan dimana, jam berapa, menunya apa. Semua terserah anda. Anda bebas mau mandi atau
tidak mandi, mau mandi jam berapa, berapa kali sehari atau berapa kali sepekan, semua
terserah anda.
Anda bebas mau tidur jam berapa, dimana, dengan posisinya seperti apa. Anda bebas pengin
berbicara apa, dengan nada dan gaya seperti apa. Anda bebas mau keluar rumah kapan saja,
kemana, mau ngapain, semua terserah anda. Itu karena anda masih lajang, anda memiliki
hidup anda sepenuhnya.
Anda tidak lagi bisa mengatakan “jadilah dirimu sendiri”, karena anda harus “menjadi
seseorang seperti yang diharapkan pasangan”.
Siap melepas kebebasan itu? Jika siap, berarti anda sudah siap menikah.
Banyak hal akan menjadi “kita”, bukan lagi “aku” dan “kamu”. Dari makanan, minuman,
sabun, pasta gigi, handuk, anda akan berbagi dengan pasangan. Demikian pula waktu,
perhatian, konsentrasi, semua harus berbagi. Anda tidak bisa lagi egois menggunakan waktu
untuk diri sendiri tanpa peduli pasangan. Banyak hal yang dulunya "milikku" kini menjadi
"milik kita". Mungkin awalnya akan terasa canggung untuk berbagi segalanya, tapi seiring
waktu, semua akan berjalan dengan sendirinya.
Dulu anda naik motor atau mobil sendiri, kini anda harus berbagi. Dulu anda asyik ngenet
sendiri, kini ada pasangan yang bisa mencemburui. Dulu anda bisa keluar malam sendiri, kini
anda tidak bisa bebas lagi. Dulu anda bisa makan ke warung bakso sendiri, kini anda tidak
bisa semau sendiri. Dulu anda mau tidur dan bangun jam berapapun dengan bebas, kini anda
tidak bebas lagi. Ini semua karena anda harus berbagi dengan pasangan dalam sangat banyak
hal.
Siap berbagai dalam segala hal dengan pasangan? Jika siap, berarti anda sudah siap menikah.
Hidup berumah tangga itu ada kemiripannya dengan menaiki roller coaster. Jika anda naik
roller coaster, akan melewati saat yang wajar dan biasa saja, ada saat ketegangan, ada saat
histeria, ada pula antiklimaks berupa kelegaan. Akan ada banyak sekali suka dan duka yang
akan dijumpai dalam kehidupan pernikahan. Tapi kebersamaan yang kuat antara suami istri
akan menjadikan mudah melewati semua bentuk krisis atau masalah.
Siap menikmati roller coaster kehidupan nyata? Jika siap, berarti anda sudah siap menikah.
4. Apakah Anda Siap Terkejut Karena Menemukan Hal Baru dari Pasangan?
Sahabat muda, sebelum menikah, apalagi bagi mereka yang melewati masa pacaran, bisa jadi
anda merasa telah mengenal banyak hal dari pasangan. Padahal sebenarnya anda tidak
banyak mengenal jati dirinya. Orang pacaran lebih banyak menampilkan kebohongan demi
menyenangkan pasangan. Maka anda akan menemukan banyak sekali hal baru setelah
menikah dan hidup berdua bersama pasangan. Hal-hal yang menjadi jati diri pasangan yang
sesungguhnya.
Apalagi bagi pasangan yang tidak melewati masa pacaran, hanya berbekal masa ta’aruf
secara Islami untuk menjaga hati. Pengenalan tentu tidak mendalam, karena lebih banyak sisi
kesamaan visi dan keyakinan akan kebaikan calon pasangan. Maka setelah menikah, setiap
hari adalah hari baru untuk lebih banyak tahu tentang kondisi pasangan. Anda akan terus
dikejutkan dengan banyak hal baru dari pasangan yang belum pernah anda ketahui
sebelumnya. Maka bersiaplah menghadapi hari-hari penuh kejutan itu.
Sebagaimana anda terkejut dengan berbagai hal yang baru temukan dan anda ketahui dari
pasangan, maka demikian pula pasangan anda akan menemukan banyak hal yang baru dari
anda. Pasangan juga akan mengalami keterkejutan karena menemukan hal-hal yang belum
diketahui sebelumnya dari anda. Sesuatu yang bisa jadi sengaja anda sembunyikan dari
pasangan selama masa berkenalan, atau sesuatu yang anda tidak bermaksud
menyembunyikannya, semua akan tertampakkan.
Hidup berdua dalam keluarga baru, bertemu dan berinteraksi secara sangat dekat dan intim,
duapuluh jam sehari semalam, membuat semua hal akan tertampakkan. Tidak ada yang bisa
disembunyikan. Semua dari diri anda akan diketahui pasangan, semua hal dari pasangan akan
anda ketahui. Maka bersiaplah menghadapi ketersingkapan diri anda, yang selama ini tidak
diketahui pasangan anda.
Siap terkejut setiap hari? Jika siap, berarti anda sudah siap menikah.
Hidup dalam ikatan pernikahan membuat anda dan pasangan selalu berada dalam situasi yang
sangat dekat, tanpa jarak, tanpa batas, tanpa sekat. Apalagi bagi pengantin baru, yang
inginnya selalu berdua kemana-mana. Saat bangun tidur di pagi hari, anda akan menjadi
orang pertama yang melihat pasangan bangun dengan muka kucel, rambut acak-acakan dan
tubuh yang bau keringat. Belum lagi bau mulut.
Sebelum menikah, anda hanya menemukan pasangan anda dalam kondisi wangi dan sudah
berdandan rapi. Anda tidak pernah menjumpainya dalam keadaan acak-acakan, karena selalu
ada persiapan sebelum pertemuan sebelum menikah. Kini setelah menikah, anda bertemu
setiap saat. Tidak ada waktu untuk bersiap diri, karena anda selalu berada bersama pasangan
setiap saat. Semua bau-bauan yang muncul dari tubuh anda, semua bunyi-bunyian yang
muncul dari tubuh anda, tidak bisa lagi anda rahasiakan dari pasangan.
Maka anda harus siap menerima kondisi pasangan dari sisi yang paling jelek sekalipun.
Sebagaimana anda harus siap dilihat oleh pasangan dari sisi yang paling jelek. Tapi justru
itulah yang menjadi bumbu pernikahan Anda.
Siap melihat sisi paling jelek dari pasangan? Siap dilihat dari sisi yang paling jelek oleh
pasangan? Jika siap, berarti anda sudah siap menikah.
Bagi orang yang berpacaran, frekuensi pertemuan mereka tentu terbatas. Situasi seperti itu
yang menimbulkan kerinduan untuk bertemu. Setelah menikah, anda akan bertemu setiap
saat. Bahkan etika hidup suami istri, harus meminta izin kepada pasangan ketika akan pergi
untuk suatu keperluan meninggalkan pasangan. Bertemu terus setiap saat dengan pasangan,
apakah anda akan menjadi bosan? Apakah anda akan kehilangan kerinduan? Semua
tergantung kondisi hubungan anda dengan pasangan.
Dalam kehidupan berumah tangga, justru keintiman harus terus ditingkatkan dengan
melakukan variasi setiap harinya. Jika kesibukan dan rutinitas kegiatan setiaphari membuat
Siap bertemu setiap saat dengan pasangan? Yakin, anda tidak bosan? Jika siap, berarti anda
sudah siap menikah.
Sahabat muda, saat masih lajang, anda berusaha menyelesaikan semua masalah sendirian.
Sekarang setelah menikah, anda harus menyelesaikan masalah bersama dengan pasangan.
Karena anda berdua menjadi bagian yang utuh dan tak terpisahkan satu dengan yang lain,
maka masalah anda akan berpengaruh terhadap pasangan dan masalah pasangan pun akan
berpengaruh terhadap anda. Untuk itulah anda berdua harus sharing untuk mendialogkan
permasalahan yang anda hadapi.
Siap menyelesaikan setiap masalah bersama pasangan? Jika siap, berarti anda sudah siap
menikah.
Walaupun secara teori anda sudah mengerti tentang tujuan-tujuan pernikahan, namun anda
akan berproses menemukan tujuan tersebut bersama pasangan. Anda akan menemukan hal-
hal unik dan khas dalam corak interaksi keseharian bersama pasangan, yang akhirnya anda
menemukan lebih banyak hal tentang hakikat, makna dan tujuan pernikahan.
Tentu saja tujuan menikah bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan seksual atau karena
sudah waktunya menikah. Setelah menikah, anda akan menemukan makna dan tujuan
pernikahan secara lebih nyata, bukan dalam dataran teori ataupun wacana. Ketika tujuan itu
sudah ditemukan, maka pondasi pernikahan anda akan semakin kuat setiap waktunya.
Pada masa perkenalan, mareka bebas mengekspresikan keinginan, dan merasakan hal-hal
yang serba menyenangkan dari pasangan. Namun setelah menikah, anda akan segera
menyambut kehadiran bayi mungil, buah cinta anda berdua. Tahukah anda, bahwa bayi itu
sering terbangun dan menangis setiap saat, tidak pandang waktu dan kesibukan anda berdua?
Karena satu-satunya cara bayi berkomunikasi adalah melalui tangisan.
Anda harus bangun tengah malam, bahkan lewat tengah malam, mengurus ompol bayi,
mengganti pakaian, menyiapkan bedak, minyak telon, dan susu tambahan. Belum lagi saat
bayi sakit, tentu memerlukan perhatian ekstra. Anda harus siap berbagi untuk mengurus bayi
yang bisa menguras tenaga dan perhatian anda. Keintiman anda sebagai suami istri menjadi
“terganggu” oleh kerepotan mengurus bayi.
Siap repot mengurus anak? Jika siap, berarti anda sudah siap menikah.
Sebelum menikah, anda adalah makhluk bebas merdeka. Sebagai orang dewasa, anda sudah
tidak terlalu diikat oleh orang tua, namun belum memiliki beban kehidupan. Setelah menikah,
semua segera berubah. Anda terikat dengan hak dan kewajiban bersama pasangan. Setelah
muncul anak, bertambah lagi beban dan kewajiban itu. Anda tidak bisa lagi berlaku semau-
mau sendiri, karena ada ikatan peran yang harus tertunaikan.
Ada kewajiban suami yang menjadi hak istri, dan ada kewajiban istri yang menjadi hak
suami. Kewajiban ini harus ditunaikan, agar hak pasangan bisa didapatkan secara timbal
balik. Setelah menikah, anda tidak bisa lari dari tanggung jawab adanya hak dan kewajiban
ini.
Siap terikat oleh hak dan kewajiban? Jika siap, berarti anda sudah siap menikah.
Assalamualaikum
Bagaimana sebaiknya dalam shalat istikharah apakah baiknya dengan menyebutkan nama
yang kita ta'arufkan atau tidak menyebutkan? Bagaimanakah tata cara doa dalam shalat
istikharah yg diajarkan rasul?
Jawaban :
Shalat istikharah adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika seseorang hendak memohon
petunjuk kepada Allah, untuk menentukan keputusan yang benar ketika dihadapkan kepada
beberapa pilihan keputusan. Sebelum datangnya Islam, masyarakat jahiliyah melakukan
istikharah (menentukan pilihan) dengan azlam (undian). Setelah Islam datang, Allah
melarang cara semacam ini dan diganti dengan shalat istikharah.
َسو ُل َكان ُ ﺻ َحابَهُ يُعَ ِلّ ُم – وسلم عليه ﷲ ﺻلى – ﱠ ِ َر ْ َ َارةَ أَ ور فِى ا ِﻻ ْستِخ ِ ُك ِلّ َها اﻷ ُ ُم، ﱡورةَ يُعَ ِلّ ُم َك َما
َ آن ِمنَ الس ِ ِإذَا « يَقُو ُل ْالقُ ْر
ض ِة َغي ِْر ِم ْن َر ْكعَتَي ِْن فَ ْليَ ْر َك ْع بِاﻷ َ ْم ِر أَ َحدُ ُك ْم َه ﱠم
َ يركَ إِنِّى اللﱠ ُه ﱠم ِليَقُ ِل ث ُ ﱠم ْالفَ ِريُ بِقُد َْرتِﻚَ َوأَ ْستَ ْقد ُِركَ بِ ِع ْل ِمﻚ أَ ْست َِخ، َِم ْن َوأ َ ْسأَلُﻚ
ْ َ ْال َع ِظ ِيم ف، َب َعﻼﱠ ُم َوأَ ْنتَ أ َ ْعلَ ُم َوﻻَ َوتَ ْعلَ ُم أَ ْقد ُِر َوﻻَ ت َ ْقد ُِر فَﺈِنﱠﻚ
َضلِﻚ ِ ْالغُيُو، دِي ِنى ِفى ِلى َخي ٌْر اﻷ َ ْم َر َهذَا أ َ ﱠن تَ ْعلَ ُم ُك ْنتَ ِإ ْن اللﱠ ُه ﱠم
اج ِل قَا َل أَ ْو – أَ ْم ِرى َو َعاقِبَ ِة َو َم َعا ِشى ِ آج ِل ِه أَ ْم ِرى َع
ِ ار ْك ث ُ ﱠم ِلى َويَ ِس ّْرهُ ِلى فَا ْقد ُْرهُ – َو ِ َ فِي ِه ِلى ب، اﻷ َ ْم َر َهذَا أَ ﱠن تَ ْعلَ ُم ُك ْنتَ َو ِإ ْن
َ
اج ِل فِى قَا َل أ ْو – أ ْم ِرى َو َعاقِبَ ِة َو َمعَا ِشى دِينِى فِى ِلى ش ﱞَر َ َ
ِ آج ِل ِه أ ْم ِرى َع ْ
ِ ﺻ ِرفهُ – َو ْ ﺻ ِر ْفنِى َعنِّى فَا ْ َع ْنهُ َوا، ْال َخي َْر ِلى َوا ْقد ُْر
ْث ُ ضنِى ث ُ ﱠم َكانَ َحي ِ س ِّمى – قَا َل – أَ ْر َ َُحا َجتَهُ َوي
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari para sahabatnya untuk shalat istikharah
dalam setiap urusan, sebagaimana beliau mengajari surat dari Alquran. Beliau bersabda, “Jika
Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-
Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu.
Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau
yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib.
Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia
dan di akhirat, (atau baik bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal
tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau
mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau
baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan
palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya dan
jadikanlah aku ridha dengannya. Kemudian dia menyebut keinginanya” (HR. Ahmad, Al-
Bukhari, Ibn Hibban, Al-Baihaqi dan yang lainnya).
يركَ ِإنِّى اللﱠ ُه ﱠمُ ِبقُد َْرتِﻚَ َوأَ ْستَ ْقد ُِركَ ِب ِع ْل ِمﻚ أ َ ْست َِخ، َضلِﻚَ ِم ْن َوأ َ ْسأَلُﻚ
ْ ْال َع ِظ ِيم َف، ََعﻼﱠ ُم َوأَ ْنتَ أ َ ْع َل ُم َوﻻَ َوتَ ْع َل ُم أ َ ْقد ُِر َوﻻَ تَ ْقد ُِر َفﺈِ ﱠنﻚ
ب ْ
ِ الغُيُو، ار ْك ث ُ ﱠم ِلى َويَ ِس ّْرهُ ِلى فَا ْقد ُْرهُ أَ ْم ِرى َو َعاقِبَ ِة َو َمعَا ِشى دِينِى فِى ِلى َخي ٌْر اﻷ ْم َر َهذَا أ ﱠن تَ ْعلَ ُم ُك ْنتَ إِ ْن الل ُه ﱠم
ﱠ َ َ ِ َ فِي ِه ِلى ب،
ْﺻ ِر ْفهُ أَ ْم ِرى َو َعاقِبَ ِة َو َمعَا ِشى دِينِى فِى ِلى ش ﱞَر اﻷ َ ْم َر َهذَا أ َ ﱠن تَ ْعلَ ُم ُك ْنتَ َوإِن َ ّ
ْ ﺻ ِرفنِى َعنِى فا ْ ْ َعنهُ َوا، ْث ْال َخي َْر ِلى َواقد ُْر
ْ ْ ُ َحي
َضنِى ث ُ ﱠم َكانِ أ َ ْر
Kedua, sama dengan atas hanya ada beberapa kalimat yang berbeda, yaitu:
Kalimat [ ]أ َ ْم ِرى َو َعاقِبَ ِة َو َم َعا ِشى دِينِىdiganti dengan [اج ِل
ِ آج ِل ِه أ َ ْم ِرى َع
ِ ]و.
َ Sehingga, Teks lengkapnya:
يركَ إِنِّى اللﱠ ُه ﱠمُ بِقُد َْرتِﻚَ َوأ َ ْست َ ْقد ُِركَ بِ ِع ْل ِمﻚ أ َ ْست َِخ، َضلِﻚَ ِم ْن َوأ َ ْسأَلُﻚ
ْ َ ْالعَ ِظ ِيم ف، ََعﻼﱠ ُم َوأَ ْنتَ أ َ ْعلَ ُم َوﻻَ َوتَ ْع َل ُم أ َ ْقد ُِر َوﻻَ تَ ْقد ُِر فَﺈِنﱠﻚ
ب ِ ْالغُيُو، اج ِل فِى ِلى َخي ٌْر اﻷ َ ْم َر َهذَا أ َ ﱠن تَ ْعلَ ُم ُك ْنتَ ِإ ْن اللﱠ ُه ﱠم ِ آج ِل ِه أَ ْم ِرى َع
ِ ار ْك ث ُ ﱠم ِلى َو َي ِس ّْرهُ ِلى فَا ْقد ُْرهُ َو ِ فِي ِه ِلى َب، ُك ْنتَ َو ِإ ْن
َ َ
اج ِل فِى ِلى ش ﱞَر اﻷ ْم َر َهذَا أ ﱠن تَ ْعلَ ُم َ
ِ آج ِل ِه أ ْم ِرى َع ِ ﺻ ِر ْفهُ َوْ ﺻ ِر ْفنِى َعنِّى فَا ْ
ْ َع ْنهُ َوا، ْث ال َخي َْر ِلى َواقد ُْر ْ ُ ضنِى ث ُ ﱠم َكانَ َحي ِ أَ ْر
Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul berkata, “Waktu doa istikharah adalah setelah salam,
berdasarkan sabda beliau shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Jika salah seorang di antara kalian berkehendak atas suatu urusan, hendaklah ia shalat dua
rakaat yang bukan wajib, kemudian ia berdoa…..”
Teks hadis menunjukkan setelah melaksanakan dua rakaat, artinya setelah salam.”
(Bughyatul Mutathawi‘, Hal. 46)
Tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya bacaan surat atau ayat khusus ketika shalat
istikharah. Jadi, orang yang melakukan shalat istikharah bisa membaca surat atau ayat
apapun, yang dia hafal. Al-Allamah Zainuddin Al-Iraqi mengatakan, “Aku tidak menemukan
satu pun dalil dari berbagai hadis istikharah yang menganjurkan bacaan surat tertentu ketika
istikharah.”
Berdasarkan kalimat ini, sebagian ulama menyimpulkan bahwa melakukan istikharah tidak
harus dengan shalat khusus, tapi bisa dengan semua shalat sunah. Artinya, seseorang bisa
melakukan shalat rawatib, dhuha, tahiyatul masjid, atau shalat sunah lainnya, kemudian
setelah shalat dia membaca doa istikharah. Imam An-Nawawi mengatakan,
“Teks hadis menunjukkan bahwa doa istikharah bisa dilakukan setelah melaksanakan shalat
rawatib, tahiyatul masjid, atau shalat sunnah lainnya.” (Bughyatul Mutathawi’, Hal. 45)
Mimpi tidak bisa dijadikan acuan hukum fiqih. Karena dalam mimpi setan memiliki peluang
besar untuk memainkan perannya, sehingga bisa jadi setan menggunakan mimpi untuk
mempermainkan manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mimpi ada 3 macam: dari Allah, dari setan, dan bisikan hati.”
Beliau juga menjelaskan bahwa mimpi tidak bisa untuk menetapkan hukum, namun hanya
sebatas diketahui. Dan tidak ada hubungan antara shalat istikharah dengan mimpi. Karena itu,
Para ulama menjelaskan bahwa setelah istikharah hendaknya seseorang melakukan apa yang
sesuai keinginan hatinya. Imam An-Nawawi mengatakan,
“Jika seseorang melakukan istikharah, maka lanjutkanlah apa yang menjadi keinginan
hatinya.”
Kesimpulan
Istikharah dilakukan ketika seseorang bertekad untuk melakukan satu hal tertentu, bukan
sebatas lintasan batin. Kemudian dia pasrahkan kepada Allah.
Bersuci, baik wudhu atau tayammum.
Melaksanakan shalat dua rakaat. Shalat sunnah dua rakaat ini bebas, tidak harus shalat
khusus. Bisa juga berupa shalat rawatib, shalat tahiyatul masjid, shalat dhuha, dll, yang
penting dua rakaat.
Tidak ada bacaan surat khusus ketika shalat. Artinya cukup membaca Al-Fatihah (ini wajib)
dan surat atau ayat yang dihafal.
Berdoa setelah salam dan dianjurkan mengangkat tangan. Caranya: membaca salah satu
diantara dua pilihan doa di atas. Selesai doa dia langsung menyebutkan keinginannya dengan
bahasa bebas. Misalnya: bekerja di perushaan A atau menikah dengan B atau berangkat ke
kota C, dst.
Melakukan apa yang menjadi tekadnya. Jika menjumpai halangan, berarti itu isyarat bahwa
Allah tidak menginginkan hal itu terjadi pada anda.
Apapun hasil akhir setelah istikharah, itulah yang terbaik bagi kita. Meskipun bisa jadi tidak
sesuai dengan harapan sebelumnya. Karena itu, kita harus berusaha ridha dan lapang dada
dengan pilihan Allah untuk kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dalam doa di
Pertanyaan
Assalamualaikum warahmatullah saya elisa dari pontianak ingin bertanya... bagaimana adap
jika ad kenalan ataw teman sosmed yang mengajak utk taaruf namun tanpa pernah bertemu
secara fisik?
Jawaban :
Adab yang harus dijaga adalah adab pergaulan Islami. Islam sudah mengatur dengan jelas
kaidahnya bahwa bermuamalah dengan lain jenis diperbolehkan dalam hal yang penting.
Dalam kasus taaruf maka diperbolehkan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan taaruf
saja. Sedangkan pembicaraan yang melenceng dari hal itu, misal ngobrol kesana-kemari,
bercanda dll maka tidak diperbolehkan. Ketika sudah ada kecocokan maka disegerakan ada
nadhor (pertemuan langsung). Begitulah ketentuan syariat.
Allahu A'lam.
Pertanyaan :
Afwan. Apasih perbedaan cinta dan nafsu? Apakah sblum menikah itu jg bs dikatakan cinta?
Dan bagaimna seharusnya qt mengelola perasaan cinta itu agar dalm mlkukn sbuah ibadah
niat qt tidak salah ?
bagaimna caranya menghilangkan rasa keraguan saat sdh mau mlkukn akad nikah? Mohon
penjelasannya. Syukron..
Jawaban :
Cinta yang mengundang murka Allah adalah cinta yang dapat menjauhkan kita pada-Nya.
Cinta yang menuruti hawa nafsu.
"Cinta adalah gelombang makna-makna yang menggores langit hati, maka jadilah pelangi.
Goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit, tapi semua nyata" demikian kata Anis
Matta dalam buku Bahagianya Merayakan Cinta. Itulah cinta, rangkaian lima huruf ini
kadang penuh misteri, cukup rumit menerjemahkannya akan tetapi cinta adalah nyata
sehingga bisa dirasakan.
Semua manusia bisa merasakan getaran cinta itu, dengan kadar yang berbeda-beda dan
bentuk yang beragam. "Jangan main-main dengan cinta!" nasihat seorang bijak.
Yups...karena cinta, kita bisa meraih ridla Allah dan gara-gara cinta pula kita bisa menuai
murka Allah SWT.
Mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan membingkai cinta manusia dalam kerangka
Mahabbatullah adalah salah satu kunci menggapai ridla Allah SWT. "Katakanlah: Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Ali Imran: 31). Rasulullah
SAW pernah bersabda bahwa dua orang yang saling mencinta dan berpisah semata karena
Allah akan mendapat perlakuan khusus oleh Allah kelak hari kiamat akan mendapat naungan
dimana pada saat itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya (HR. Bukhari-Muslim). Bukti
cinta kita pada Allah adalah dengan mengikuti syari'ah-Nya. Dengan pelaksanaan inilah kita
bisa mendapat rahmat dan maghfirah-Nya.
Sebaliknya cinta yang mengundang murka Allah adalah cinta yang dapat menjauhkan kita
pada-Nya. Cinta yang menuruti hawa nafsu. Misalnya cinta dunia berlebihan, cinta yang
dilandasi nafsu belaka kepada lawan jenis tanpa ikatan perkawinan dsb. "Apabila umatku
sudah mengagungkan dunia, maka akan tercabut dari mereka kehebatan Islam ...(HR.
Turmudzi).
Oleh karena itu, kita mesti tahu apa itu cinta. Selain kata cinta ada dua kata lain yang artinya
hampir mendekati, tapi berbeda makna, yaitu sayang dan suka. Cinta, sayang dan suka
kadangkala dimaknai dengan satu arti. Meskipun memiliki makna yang berbeda.
Kita semuanya tentu pernah mencintai, menyayangi atau menyukai seseorang atau barang
tertentu. Bila kita pernah melakukan ketiga-tinganya, kita pasti merasakan bahwa ternyata
Sayang, adalah boleh dikatakan kadarnya berada di atas suka. Jika kita sayang pada
seseorang atau sesuatu, maka kita sedikit mengorbankan diri kita demi menyenangkan orang
yang disayangi. Ia tiak egois, tapi luapan perasaannya dituangkan untuk menyenangkan orang
yang disayangi. Orang yang sayang akan hadir saat orang yang disayangi menginginkannya.
Sedangkan, cinta adalah tingkatan yang paling tinggi. Tingkat pengorbanan cinta lebih besar
dibandingkan dengan sayang. Orang yang mencintai, akan rela mengorbankan jiwanya demi
menyenangkan orang yang dicintainya. Ia ingin sekali orang yang dicintainya selalu dekat
berada disisinya, apapun keadaannya dan kapanpun waktunya. Sesuatu yang dicintainya
dianggapnya sebagai sebuah anugerah yang diberikan Allah kepadanya. Maka, dalam
keadaan duka maupun suka, ia tetap loyal kepada orang yang dicintainya.
Sebagai seorang muslim, kita harus pandai-pandai mengelola rasa suka, sayang dan cinta
kita. Apalagi, bagi seorang remaja, perasaan terhadap lawan jenis tersebut biasanya cukup
besat dan menggebu. Jika seseorang pemuda tidak pandai-pandai mengelola maka bisa
terjatuh pada hukum haram.
Cinta adalah perasaan hati yang kehadirannya tidak bisa ditolak. Bagi pemuda yang
terjangkiti ’virus’ merah jambu itu perlu memperhatikan rambu-rambu. Untuk
mengekspresikan perasaan itu, bagi seorang pemuda perlu memahami skala prioritas terlebih
dahulu. Jangan sampai karena jatuh cinta, semua permasalahan terabaikan sama sekali. Inilah
cinta buta, cinta yang didasari hawa nafsu.
Islam sangat menjaga kehormatan manusia. Salah satu caranya dengan membuat aturan agar
perasaan cinta terhadap lawan jenis berjalan tidak liar. Rasulullah SAW pernah mengingatkan
jika dua orang berlainan jenis menyepi, maka yang ketiga adalah syetan.
Mengapa Islam melarang dua orang berlainan jenis menyepi, dan menyentuh lawan jenis?
Hal inilah yang menunjukkan bahwa Islam memulyakan manusia. Sebab, orang yang
melakukan dua perbuatan tadi sebelum ada ikatan perkawinan akan bisa menghantarkan pada
perbuatan yang keji. Jika sudah jatuh pada perbuatan keji, maka Allah akan mencabut rasa
Makanya, pemuda yang sudah siap, dianjurkan untuk segera menikah. Cinta orang yang
sudah menikah itu lebih mentrentramkan daripada sebelum menikah. Cinta yang dinaungi
pernikahan katanya justru menjadi motor yang mesinnya sangat kuat dan terarah, tidak
berkeliaran liar. Rasulullah SAW bersabda: "Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang telah
mampu untuk kawin maka hendaklah ia kawin, karena kawin itu lebih dapat menundukkan
pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiap yang belum mampu nikah, maka
hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu akan menjadi perisai baginya" (HR. Bukhari-
Muslim). Cinta yang terbingkai dalam ikatan perkawinan adalah cinta yang dapat membawa
manfaat, relatif terhindar dari dosa. Bagi remaja putri juga menjadikan yang bersangkutan
memelihari diri, menimbulkan ketenangan, dan persahabatan sejati. Rajutan cinta yang
dikemas dalam ikatan perkawinan adalah rajutan yang paling sempurna dan indah. Di situlah
cinta sejati kita temukan. Jangan coba katakan cinta sejati jika sebelum menikah..!
Keindahan cinta perkawinan yang dilandasi karena Allah inilah yang disebut cinta sejati.
Sang lelaki laksana benteng bagi wanita yang bisa memberi rasa aman, cinta-kasih sayang,
ketenangan dan ketentraman. Dan sang wanita bagai lahan subur yang sejuk dan rindang
yang terhiasi dengan bunga-bunga cinta, tempat si laki-laki mencari ketenangan. Ia juga
bagaikan matahari yang menyinari, merpati yang mengepakkan sayap, bunga yang harum
semerbak dan tempat berteduh yang menyejukkan.
Cinta yang membawa kepada ridla Allah adalah cinta ilahi, meletakkan cinta pada Allah di
atas segala perasaan cinta yang menguasai hatinya, dan tentunya yang terikat dalam
perkawinan. Di dalamnya kita bisa mereguk nikmatnya cinta sejai yakni cinta yang
berdasarkan ilahi. Itulah cara mengelolah cinta yang dapat mendamaikan hati.
Pertanyaan :
Cara menyikapi nya bagaimana apakah itu bisa disimpulkan ikhwan tersebut memaksa
bukankah di islam pun tidak boleh ada unsur paksaan?
Jawaban :
Dalam Islam, tidak boleh ada unsur paksaan untuk menerima atau menolak ketika taaruf.
Pihak akhwat punya hak untuk menerima atau menolak. Seharusnya seorang ikhwan mampu
berlapang dada ketika proposalnya ditolak, begitu juga sebaliknya.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalamualaikum ustadz, di mana dan kepada siapa saya harus mengatakan bahwa saya siap
dan ingin melakukan proses ta'aruf? Sampai saat ini saya belum punya murobiyah. Terima
kasih.
Jawaban :
Ukhti bisa menyampaikan hal tersebut kepada perantara. Perantara tersebut bisa ustadz,
saudara, teman atau sahabat. Yang utama adalah mintalah tolong perantara yang faham
agama dan sudah menikah sehingga lebih bijak dalam mentaarufkan dan juga pilihlah
perantara yang bisa adil dalam menilai sehingga tidak berlebih-lebihan dalam menilai saat
taaruf.
Sebenarnya dalam Islam kewajiban mencarikan jodoh adalah kewajiban orangtua. Tetapi
orangtua tidak boleh memaksakan pilihannya kepada anaknya. Anak boleh menolak atau
menerima pilihan orangtua.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Saya saat ini dkt dg seseorang kami mmpunyai niat yg sm yaitu segera menikah. Hy sj kdua
org tua sy tdk merestui krn dia blm mapan. Org tua sy orang yg sgt keras.sy tdk brani blg
apa2 krn ortu sy sll branggapan "org tua prnh jd ank,tp ank blm prnh jd org tua,jd jelas org
tua lbh berpengalaman". Bagaimana mnrt ustadz..
Jawaban :
Dalam Islam, alasan orantua menolak calon menantu karena belum mapan adalah tidak syar'i.
Justru dengan menikah lah jalan rizki akan dilancarkan. Hal yang paling penting harus
dilakukan adalah meyakinkan orangtua. Banyak fakta ikhwan yang sebelum menikah belum
mapan bahkan belum punya pekerjaan namun setelah menikah, rizki berlimpah. Hal tersebut
merupakan janji Allah kepada hambaNya yang menikah. Libatkan juga pihak ketiga yang
disegani orangtua untuk melobi orangtua. Terakhir, jangan lupa berdoa diwaktu mustajab
misal setelah shalat tahajjud, setelah dhuha dll agar Allah melunakkan hati orangtua.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Pa usdad apakah ada laki2 yg mau dengan perempuan yg suka ceplas ceplos? Haruskah
perempuan itu berpura3?
Jawaban :
Rata-rata laki-laki menginginkan seorang akhwat yang kalem, penyabar dan shalihah. Kalau
pertanyaannya adakah lelaki yang suka perempuan ceplas ceplos maka jawabannya ada,
insyaAllah. Haruskah perempuan itu berpura-pura? Ketika taaruf, hal tersebut harus
dijelaskan sehingga tidak ada penyesalan atau ada yang merasa ditipu.
Allahu A'lam
Pertanyaan Group 3R
Saya mau bertanya, apakah dosa masa lalu yg kita telah bertaubat perlu disampaikan kpd
calon suami saat ta'aruf? Seperti dulu pernah terjebak dlm seks bebas. Bagaimana ustadz?
Jawaban :
Ta’aruf sebelum pernikahan berfungsi salah satunya untuk memastikan bahwa seseorang
tidak kecewa setelah menikah. Sebab materi ta’aruf pada hakikatnya memang untuk saling
mengetahui keadaan masing-masing calon pengantin. Dan proses ta’aruf itu adalah proses
yang bermuara pada dua kemungkinan. Yaitu timbulnya kesepakatan untuk meneruskan ke
jenjang pernikahan atau pengurungan niat untuk menikah.
Sedangkan aib itu sendiri pun bisa bermacam-macam bentuknya. Ada jenis aib yang memang
bisa dijadikan alasan untuk komplain salah satu pihak, namun ada juga jenis aib yang tidak
sampai menjadi komplain. Misalnya, ada orang yang pernah melakukan kesalahan kecil yang
sifatnya manusiawi, tentu saja tidak perlu diungkit-ungkit. Padahal barangkali Allah Ta'ala
sudah mengampuninya.
Namun bila aib itu terkait langsung dengan ketidak-nyamanan salah satu pasangan, misalnya
masalah keperawanan atau zina yang pernah dilakukan, maka memang tidak bisa ditutup-
tutupi kepada orang yang serius untuk menikahi. Namun aib itu tetap tidak boleh diumumkan
kepada khalayak. Sehingga perlu ditetapkan tekniknya agar kedua sisi tetap bisa diperhatikan.
Tentang aib yang ditutupi oleh keluarga calon pengantin wanita, meski tidak persis dengan
kasus pernah berzina, namun ada dalil dari hadits nabawi. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda tentang orang yang menutupi aib calon pengantin pada pasangannya
dengan hadits yang terkenal, “Man Gasysyana Fa Laisa Minna.”
Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,” Orang yang menghunuskan
senjata kepada kita bukanlah bagian dari kita. Dan orang yang menipu kita bukanlah bagian
dari kita.” (HR Muslim)
Maka cara yang bijaksana adalah ketika ada laki-laki yang menyatakan niat untuk menjadi
calon suami, ada baiknya si wali mengajaknya bicara baik-baik. Katakan kepada laki-laki itu
bahwa anak wanitanya itu bukanlah wanita yang sempurna, sebaliknya sebagai manusia
biasa, dia punya banyak kekurangan. Apakah laki-laki itu bersedia mengetahui
kekurangannya? Namun dengan syarat sebelumnya untuk merahasiakan kekurangan ini
kepada siapapun bila telah diberitahu?
Kepada laki-laki itu diberikan kesempatan untuk berpikir dan menimbang-nimbang. Kalau
dia siap mengetahui kekurangan dan ridha atas keadaan calon istrinya dengan kondisi
apapun, si wali bisa mulai menjelaskan keadaanya. Namun bila laki-laki itu kurang siap
untuk mendengar informasi tentang kekuranan wanita itu, sebaiknya dia mengurungkan saja
niat untuk menikahinya. Namun bila laki-laki itu penasaran dan ingin tahu sejauh mana
kekurangan calon istrinya, agar bisa membuat pertimbangannya lebih tajam lagi, mungkin
saja tetap diberitahu, namun dengan syarat tidak boleh menyiarkan kekurangan itu kepada
siapapun seandainya dia memutuskan untuk mengurungkan niat. Tentu saja dengan berjanji
kepada Allah SWT.
Dengan demikian, aib dan kekurangan itu tidak akan menjadi bahan pergunjingan orang
banyak. Sebab menutupinya merupakan kewajiban semua umat Islam. Kecuali hanya khusus
kepada mereka yang punya hajat tertentu, bolehlah informasi itu disampaikan dengan cara
bertahap.
Hal yang demikian itu adalah jalan yang lebih baik dari pada menyembunyikan aib, dengan
resiko suatu ketika terbongkar dengan sendirinya. Maka keadaan sudah menjadi semakin
susah. Dan kekecewaan pihak suami akan semakin menjadi-jadi.
Perlu juga ditegaskan bahwa hak untuk mengenal keadaan calon pasangan itu bukan hanya
monopoli pihak laki-laki saja. Pihak wanita pun juga punya hak untuk mengetahui keadaan
calon suaminya. Meski ketidak-perjakaan seorang laki-laki nyaris tidak ada bentuk pisiknya,
berbeda dengan ketidak-perawanan seorang wanita.
Wallahu a’lam
Pertanyaan group 3R
Berarti lebiH bAek jujur pRnah berzina kpada cAl0n suami dr pd g ngasiH tau yg sbnrx pd
cAl0n suami?bx tmN yg nx,ngasiH tau pa g pd cAl0n suamix,nah tmN tU,ngasiH tau tp
cAl0nx malah mNgHindar,sudah bBrapa kali sPrti tU,jdx aibx trSebAr mskpun cm para
cAl0n suamix yg tau,kL0 sPrti tU hrS gmN?pa tTp ngsiH tau yg sbnrx?krna kL0 drahasiakn
tkuTx wkt dh nkh langsung dcerein krn suami kcewa
Jawaban :
Seperti sudah kami jelaskan bahwa dalam taaruf memiliki fungsi untuk mengenal keadaan
dan kondisi calon pasangan sehingga tidak ada yang merasa tertipu di kemudian hari. Maka
diperlukan ketrampilan komunikasi dan waktu yang tepat untuk menyampaikan disamping itu
juga hal tersebut disampaikan kepada pihak-pihak terkait dan dimohon dengan sangat agar
tidak disebarkan.
Lebih tepatnya hal tersebut disampaikan ketika nadhor (tatap muka langsung) dengan
didampingi mahram (perantara).
Lebih baik berterus terang diawal daripada ada yang kecewa dan merasa tertipu dikemudian
hari. InsyaAllah kalau berjodoh, calon suami tersebut dapat menerima dengan lapang dada,
apalagi akhwat tersebut sudah bertaubat dari perbuatan tersebut.
Allahu A'lam
Pertanyaan group 3R
Jika ada seorang ikhwan yang melamar, namun orang tua dan akhwat yang dilamar menolak
lamaran tersebut dengan alasan kelanjutan studi yang harus diselesaikan apakah alasan
tersebut tidak syar'i?
Jawaban :
Hukumnya adalah bahwa hal semacam itu bertentangan dengan perintah Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebab beliau bersabda:
“Apabila datang (melamar) kepada kamu lelaki yang kamu ridhai akhlaq dan (komitmennya
kepada) agamanya, maka kawinkanlah ia (dengan puterimu).”
ِ ع َم ِن ال ﱠشبَا
ب َم ْعش ََر يَا َ َ البَا َءةَ ِم ْن ُك ُم ا ْست،َض فَﺈِنﱠهُ فَ ْليَتَزَ ﱠو ْج
َ طا َ َصنُ ِل ْلب
أَغ ﱡ،ص ِر َ ِْل ْلفَرجِ َوأَح
Tidak mau menikah itu berarti menyia-nyiakan maslahat pernikahan. Maka nasehat saya
kepada saudara-saudaraku kaum muslimin, terutama mereka yang menjadi wali bagi puteri-
puterinya dan saudari-saudariku kaum muslimat, hendaklah tidak menolak nikah
(perkawinan) dengan alasan ingin menyelesaikan studi atau ingin mengajar. Perempuan bisa
saja minta syarat kepada calon suami, seperti mau dinikahi tetapi dengan syarat tetap
diperbolehkan belajar (meneruskan studi) hingga selesai, demikian pula (kalau sebagian
guru) mau dinikahi dengan syarat tetap menjadi guru sampai satu atau dua tahun, selagi
belum sibuk dengan anak-anaknya. Yang demikian itu boleh-boleh saja.
Allahu A'lam
Pertanyaan group 2U
Assalamualaykum ust,
Saya mau bertanya, bagai mana kalau seorang laki laki melamar dan wanitanya udah mau
tapi orang tua si wanita boleh menikahi anaknya kalau sudah mendapat penghasilan tetap,
padahal si laki laki masih kuliah dan belum bekerja,, padahal laki laki dan wanita tersebut
sudah pengen segera menikah untuk lebih menjaga
Jawaban :
Persoalan ini adalah alasan paling krusial alias paling utama. Bagi seseorang yang hendak
menikah, terutama laki-laki memang harus memikirkan bagaimana cara ia menafkahi
keluarganya setelah ia menikah. Nafkah merupakan salah satu kewajiban yang harus
ditunaikan oleh seorang suami dan dihukumi berdosa manakala mengabaikan persoalan ini.
Rasulullah shalallahu a’laihi wa shallam mengingatkan:
“Cukuplah dikatakan berdosa seorang (suami) yang mengabaikan nafkah keluarga yang
menjadi tanggungannya.” (HR. Imam Ahmad dan imam Abu Dawud)
Persoalannya, apakah untuk menafkahi keluarga berarti harus memiliki pekeejaan tetap
terlebih dahulu? Tentu bukan demikian maksudnya.
Poin penting dari persoalan ini adalah bagaimana seseorang mamandang dirinya siap dari sisi
ma’isyah (pekerjaan) untuk segera manikah. Banyak kasus yang menimpa orang-orang yang
sudah bekerja (bahkan pekerjaan tetap), masih juga menilai dirinya belum siap menikah.
Ada kisah nyata, seorang pemuda yang menikah saat kuliah. Ketika ditanya bagaimana solusi
menganai masalah keuangan harian rumah tangganya, ia membuka jawabannya dengan
sunyuman kecil. Ternyata pemuda shaleh ini memiliki perhitungan yang biasa tapi istimewa.
Pemuda ini memiliki keinginan yang besar untuk menikah, padahal baru duduk di semester
tiga perguruan tinggi. Ia berpikir, kalau ia menikah siapa yang akan membiayai kuliahnya
dan kuliah istrinya, belum lagi kebutuhan sehari-hari. Sementara selama ini ia masih
mendapat jatah 100% dari orang tuanya untuk berbagai macam kebutuhannya.
Tak kalah akal, ia menawarkan sebuah ide kepada orang tuanya, juga kepada orang tua calon
istrinya. Pemuda ini mengajukan tawaran dirinya menikah, tetapi ia tetap dibiayai orang
tuanya selama kuliah seperti biasanya dan istrinya juga dibiayai oleh orang tua istri sampai
lulus. Ia tidak meminta jatah dari orang tuanya, kecuali jatah yang biasa ia terima
sebelumnya, demikian pula dengan istrinya. Tidak berbeda dengan mahasisswa lain, hanya
saja dua orang yang sebelumnya terpisah dengan izin Allah bersatu dalam keberkahan, bukan
dengan cara yang diharamkan Allah seperti pacaran.
Ternyata mereka berdua berusaha mengencangkan ikat pinggang dengan cara makan sepiring
berdua. Dengan cara demikian keromantisan didapat dan uang pun bisa disisihkan
sebahagian. Di sela-sela kesibukan, mereka masih menyempatkan waktu untuk berusaha
mencari nafkah. Istrinya pintar masak, sehingga bisa melayani pesanan snack (makanan
ringan) para mahasiswa yang hendak seminar atau ujian akhir. Sedangkan suami berjualan
buku, majalah, madu dan beberapa produk islami lainnya. Alhamdulillah, mereka lulus dalam
waktu yang sama dan bisa langsung hidup mandiri tepisah dari orang tua masing-masing.
Contoh tersebut adalah satu dari sekian banyak contoh keberhasilan yang menikah dari modal
pas-pasan, bahkan dari nol. Mereka berani menikah, meskipun pada awalnya belum memiliki
pekerjaan tetap. Tetapi mereka memiliki kesiapan untuk bertanggung jawab. Pada akhirnya
mereka mampu membina rumah tangga dengan harmonis.
Allahu A'lam
Pertanyaan group 3R :
assalamu'alaykum
izin menyampaikan pertanyaan.
apakah kami sebagai akhwat bisa memilih ikhwan sbg calon pasangan kita?
atau memang dlm prosesnya, akhwat hanya bisa menunggu proses dr murabbiyah, kemudian
dihadapkan pd pilihan menerima atau menolak seseorang itu?
Jawaban :
Islam telah memberikan hak yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam memilih
pasangannya. Karena pernikahan dalam Islam dianggap sah dan valid jika ada persetujuan
dari kedua belah pihak (calon suami dan istri). Orang tua atau siapapun itu dilarang memaksa
anak mereka untuk melaksanakan pernikahan yang tidak diinginkan. Peran dan tanggung
jawab mereka hanya sebatas memberikan arahan dan nasihat.
Seorang perempuan memiliki kebebasan penuh untuk menerima atau menolak lamaran yang
ditujukan kepadanya. Keputusan akhir untuk menikah ada di tangannya. Hikmahnya adalah,
jarang terjadi ada sebuah keluarga sehat yang merupakan hasil dari pernikahan yang
dipaksakan. Karena ini juga akan menjadi hambatan dalam melaksanakan tuntutan Allah
kepada pasangan suami istri untuk hidup bersama selamanya untuk saling menumbuhkan rasa
kasih sayang.
Keadaan ini merupakan fakta yang bisa dibuktikan dengan banyak riwayat hadits
tentangnya. An-Nisa’i dalam haditsnya meriwayatkan bahwa ada seorang ayah menikahkan
anak perempuannya dengan laki-laki yang tidak disukainya. Lalu perempuan tersebut datang
ke Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan berkata, “Bagaimana
jika ayah saya menikahkan saya dengan seorang laki-laki yang tidak saya sukai, sedangkan
sepupu saya datang melamar saya?“. Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam menjawab, “Tidak ada pernikahan (untuk laki-laki pertama). Menikahlah dengan
orang yang kamu inginkan“. Hampir sama, an-Nisa’i meriwayatkan dari Khansa bint
Khadam bahwa ia berkata, “Ayah saya menikahkan saya tanpa persetujuan saya ketika saya
masih perawan, lalu saya mengeluh kepada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam , lalu beliau bersabda, ‘Jangan nikahkan ia tanpa persetujuan darinya‘.”.
Hadits-hadits Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam yang berisi tentang
hal ini, menegaskan hak perempuan dalam memilih, sebagaimana sabdanya, “Seorang janda
tidak boleh dinikahkan sebelum berunding dengannya, dan seorang perawan tidak boleh
dinikahkan sebelum mendapatkan persetujuannya“. Orang-orang lalu bertanya, “Wahai
Rasulullah, bagaimana cara dia memberi persetujuan?“. Beliau menjawab, “Dengan
diamnya“.
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam yang mengatakan, “Aisyah bertanya kepada Rasulullah Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tentang apakah seorang gadis harus dimintai
persetujuan jika akan dinikahkan oleh keluarganya. Beliau menjawab, ‘Ya, dia harus dimintai
persetujuan’. Aisyah menjawab, ‘Tapi dia seorang yang pemalu’. Rasulullah Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menjawab, ‘Jika dia diam, itu merupakan tanda
setujunya‘.”. Ibn al-Qayyim berkata, “Kita adopsi fatwa ini; seorang perawan harus dimintai
persetujuan (mengenai pernikahannya). Ada sebuah tradisi asli di mana Rasulullah
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda, ‘Seorang janda lebih berhak
menentukan daripada ayahnya; seorang perawan dimintai persetujuannya, dan diamnya
adalah tanda setujunya‘. Dalam riwayat lain dikatakan, ‘Seorang perawan dimintai
persetujuan oleh ayahnya, dan tanda setujunya adalah diamnya‘.”.
Perhatian yang Islam berikan dalam hal pemilihan suami dan istri ini, sebenarnya adalah
perihal mengenai inti dari sebuah keluarga. Keluarga dimulai dengan adanya seorang laki-
Allahu A'lam
Pertanyaan Group 2U :
Ust, bagai mana hukumnya ahwat dalam memilih suami dia mengajukan syarat bahwa yg
melamar harus hafal paling tidak 1 juz al qur,an,, apakah syarat tersebut di bolehkan!
Jzakumullahu khaira
Jawaban :
Para ulama sepakat hukum asal mengadakan syarat dalam akad nikah adalah sah dan boleh.
Selagi tidak ada dalil yang melarang syarat tersebut maka syariat membolehkan. Namun
dalam perjalanannya banyak sekali macam-macam syarat yang berkaitan dengan kaidah
umum atau tujuan asal dari menikah atau hak-hak dalam pernikahan. Dari sinilah para ulama
berbeda pendapat.
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa ada perbedaan antara syarat nikah dan syarat dalam
nikah, diantaranya sebagai berikut:
Pertama : Syarat nikah ditentukan oleh syariat Islam. Sedangkan syarat dalam nikah yang
menentukan adalah salah satu dari dua pihak yang melakukan transaksi.
Kedua : Syarat nikah merupakan syarat sahnya suatu akad, berbeda dengan syarat dalam
nikah yang bukan merupakan syarat sahnya suatu akad tetapi hanya syarat yang mewajibkan
salah satu dari dua pihak yang bertransaksi.
Ketiga : Syarat nikah tidak bisa digugurkan, sedangkan syarat dalam nikah bisa digugurkan
menurut kesepakatan kedua belah pihak.
Para ulama berbeda pandangan dalam menjelaskan permasalahan ini, maka akan kami
tuliskan pemaparan daring masing-masing madzhab.
Hanafiyah
Yaitu syarat yang sesuai dengan konsekuensi nikah dan tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Maka wajib hukumnya bagi suami untuk melaksankan syarat ini. Jika suami enggan
maka istri berhak untuk meminta cerai. Contoh dari syarat ini adalah persyaratan untuk
disiapkan rumah pribadi setelah menikah, tidak tinggal bersama orang tua.
Yaitu syarat yang tidak sesuai dengan konsekuensi nikah dan bertentangan dengan hukum
Islam. Status nikahnya tetap sah namun syarat tersebut tidak wajib dilaksanakan suami dan
tidak ada hak bagi istri untuk meminta cerai jika suami tidak melaksanakan syarat. Contoh
syarat ini adalah persyarat untuk menceraikan istri muda setelah dinikahi.
Pendapat Hanafiyah ini dapat kita rujuk pada referensi-referesi berikut: Addur al-Mukhtar
2/405, Tabyin al-Haqa’iq 2/148 dan Fathul Qadir 3/107.
Malikiyah
Syarat ini dibagi menjadi dua, yaitu syarat mubah dan syarat makruh. Syarat mubah adalah
syarat yang sesuai dengan tujuan menikah dan tidak bertentangan dengan hukum Islam,
seperti persyaratan untuk menafkahi istri. Adapun syarat makruh adalah syarat yang tidak
berhubungan dengan akad nikah dan tidak bertentangan dengan tujuan nikah namun sedikit
merugikan suami.Contohnya adalah persyaratan agar suami tidak poligami.
Adalah syarat yang tidak sesuai dengan tujuan menikah. Jika istri mensyaratkan syarat seperti
ini maka akad nikah menjadi batal kecuali jika sudah digauli, maka akad nikah tetap sah
namun syarat tidak wajib dilaksanakan. Contoh dari syarat ini adalah syarat agar suami lebih
mendahulukannya daripada istri pertamanya.
Pendapat Malikiyah dapat kita klarifikasi pada rujukan-rujukan berikut: Al-Qawanin al-
Fiqhiyah 1/118-220, Asy-Syarh Ash-Shaghir 2/384, dan Bidayatul Mujtahid 2/53.
Syafi’iyah
Adalah syarat yang sesuai dengan tujuan menikah seperti suami harus memberi nafkah ke
istri. Atau seperti syarat yang tidak sesuai dengan tujuan menikah namun tidak berpengaruh
pada keabsahan nikah seperti syarat agar istri harus makan lauk tertentu. Hukum syarat ini
tidak wajib dilaksanakan, dan nikah tetap sah.
Adalah syarat yang tidak sejalan dengan tujuan menikah namun tidak merusak tujuan asal
dari menikah. Seperti syarat agar istri tidak dipoligami. Hukum syarat ini tidak sah namun
status nikah tetap sah. Dalil Syafi’iyah adalah hadis Nabi, yang artinya, “ Semua syarat yang
tidak ada di dalam al-Qur’an maka batal”.
Adapun jika syarat tersebut bertentangan dengan tujuan menikah, misal syarat agar tidak
menjimak istrinya siang hari, maka hukum nikahnya menjadi batal. Diantara syarat ini juga
syarat agar suami/istri tidak saling mewarisi atau syarat tidak wajib menafkahinya.
Pendapat madzhab Syafi’i ini bisa kita temukan dalam literatur berikut; Mughnil Muhtaj
3/226 dan Al-Muhadzdzab 2/47.
Hanabilah
Adalah syarat yang sejalan dengan tujuan menikah atau tidak sejalan namun bermanfaat bagi
salah satu pihak suami atau istri namun tidak ada dalil yang melarang dari syariat. Contoh
dari syarat ini adalah syarat agar istri tidak dimadu. Hukum syarat ini adalah wajib
dilaksanakan dan sah akadnya. Jika suami tidak melaksanakan maka istri berhak meminta
cerai. Ulama Hanabilah berdalil dengan hadis yang artinya, “ Syarat yang paling berhak
dilaksanakan adalah syarat dalam nikah” dan hadis “ Orang Islam harus menaati syarat
mereka”. Adapun hadis “ Semua syarat yang tidak ada pada Al-Qur’an adalah batal”, maka
maksudnya adalah syarat yang bertentangan dengan tujuan nikah atau bertentangan dengan
hukum Islam.
Misal syarat yang menyebabkan jatuhnya beberapa hak suami atau istri. Contonya syarat agar
suami tidak boleh menjimaknya saat siang, atau syarat istri tidak berhak atas mahar.
Adalah syarat yang bertentangan dengan aturan umum dan tujuan nikah. Misal nikah mut’ah
(kontrak) yaitu nikah dengan syarat dalam waktu sekian harus dicerai. Atau nikah syighar
yaitu nikah dengan syarat maharnya adalah menikahkan perempuan lain.
Kesimpulan
Ulama sepakat akan kebolehan/keabsahan syarat yang sejalan dengan tujuan menikah dan
mereka juga sepakat akan ketidakabsahan syarat yang tidak sejalan dengan tujuan menikah
atau bertentangan dengan hukum Islam. Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah sepakat akan
keabsahan syarat yang disukai misal syarat agar istri/suami bebas dari cacat. Mereka
berselisih tentang hukum syarat yang tidak sejalan dengan tujuan menikah namun tidak
bertentangan dengan akad nikah, seperti syarat agar istri tidak dimadu, istri tidak disuruh
tinggal di luar kota asal.
Pertanyaan :
Assalamu'alaikum
Saya cynthia 26th.
Jawaban :
Apabila seorang wanita sudah menyatakan menolak pinangan / lamaran laki-laki pertama
atau masih belum memberikan jawaban atas pinangannya, sebenarnya wanita itu tidak
berstatus menjadi makhthubah (pihak yang dikhitbah) oleh seorang pun. Dalam keadaan
demikian. diperbolehkan bagi laki-laki lain untuk taaruf dan mengkhitbahnya. Dalilnya
adalah hadits Nabi saw. Diriwayatkan oleh Fathimah binti Qais, ketika ia sudah selesai masa
iddahnya, ia dikhitbah oleh dua orang, yakni Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm.
Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw, beliau kemudian bersabda:
Tentang Abu Jahm, dia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya (kiasan untuk
menunjukkan sifat suka memukul), sedangkan Muawiyah sangat faqir, tidak punya harta.
Nikahlah dengan Usamah bin Zaid (HR Muslim)
Dalam menyikapi kasus yang menimpa Fatimah binti Qais tersebut, Rasulullah saw sama
sekali tidak bertanya siapa di antara dua laki-laki yang itu yang lebih dulu mengkhitbah.
Ketika kedua peminang itu menurut Rasulullah saw tidak ada tidak ada yang ‘pas’ buat
Fatimah binti Qais, beliau kemudian mangajukan alternatif lain, yaitu Usamah bin Zaid.
Tindakan Rasulullah saw itu menunjukkan bolehnya wanita dikhitbah lebih dari satu orang
laki-laki, selama wanita itu belum menerima salah satu pengkhitbah sebagaimana yang terjadi
pada Fatimanti binti Qais.
Namun apabila sudah menerima khitbah seorang laki-laki, baik disampaikan oleh dia sendiri
atau walinya, terang-terangan atau kiasan, tidak diperbolehkan bagi laki-laki lain untuk
mengkhitbahnya. Kecuali jika laki-laki yang mengkhitbahnya itu membatalkannya atau
mengizinkan bagi laki-laki lain untuk mengkhitbahnya. Demikianlah pendapat al-Syafi’iyyah
dan al-Hanabilah (al-Syawkani, Nayl al- Authar V/218). Dari Uqbah bin Amir, bahwa
Rasulullah saw bersabda:
ُ الر ُج ُل يَ ْخ
طبُ َو َﻻ ْ الر ُج ِل ِخ
طبَ ِة َعلَى ﱠ ِ ْالخَاطِبُ لَهُ يَأْذَنَ أَ ْو قَ ْبلَهُ ْالخ
َاطبُ َيتْ ُركَ َحتﱠى ﱠ
Dan janganlah seorang laki-laki mengkhitbah (wanita) yang telah dikhitbah laki-laki lain
hingga laki-laki yang mengkhitbah sebelumnya meninggalkannya atau diizinkan laki-laki itu
(HR Muslim).
Lafadz la yahillu (tidak halal) menunjukkan haramnya mengkhitbah wanita yang sudah
menerima khitbah seorang pria. Status haram itu baru berubah menjadi halal, jika pria yang
mengkhitbah sebelumnya itu membatalkan khitbahnya atau memberikan izin kepada pria lain
yang mengkhitbah wanita yang dikhitbahnya itu.
Kesimpulannya : selama belum terjadi khitbah (menerima pinangan) seorang lelaki maka
seorang wanita boleh bertaaruf dengan laki-laki lain.
Sikap dengan lelaki tersebut adalah tetap menjaga adab pergaulan Islami karena selama
belum ada akad nikah statusnya adalah non mahram.
Sikap terhadap orangtua adalah menjelaskan kepada mereka tentang status dengan laki-laki
tersebut masih dalam proses taaruf.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Jawaban :
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakaatuh
Rasulullah bersabda :
“Setiap Bani Adam mempunyai bagian dari zina, maka kedua mata pun berzina, dan zinanya
adalah melalui penglihatan, dan kedua tangan berzina, zinanya adalah menyentuh. Kedua
kaki berzina, zinanya adalah melangkah –menuju perzinaan. Mulut berzina, zinanya adalah
mencium. Hati dengan berkeinginan dan berangan-angan. Dan kemaluanlah yang
membenarkan atau mendustakan-nya.”
Apa yang dimaksud dengan zina hati? Tentu saja membayangkan wanita yang tidak halal
atau pria yang tidak halal untuk bermesraan, melakukan aktivitas seksual hingga alias
berhubungan intim. Itulah zina hati. Adapun membayangkan istri sendiri saat sedang
bepergian misalnya, bukanlah termasuk zina hati, karena istri maupun suami jelas-jelas halal
bagi pasangannya.
Allah berfirman dalam Al-Quran: “Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat
dan apa yang disembunyikan oleh hati…” (al-Mukmin : 19)
Ibnu Abbas menjelaskan, “Ayat ini menjelaskan tentang seorang pria yang apabila melihat
kecantikan seorang wanita, ia akan membayangkan kemaluannya.”
Hal inipun juga berlaku untuk wanita. Membayangkan laki-laki yang bukan suaminya maka
haram hukumnya karena termasuk zina hati.
Catatan : Dalam proses taaruf, diperbolehkan nadhor (memandang) calon pasangan selama
tidak melihat auratnya.
Allahu A'lam.
Pertanyaan :
Ust apa ada batasan lama waktu dari khitbah sampai akad nikah?
(Damar, Bantul)
Jawaban :
Secara dalil nash, kami belum menemukan dalil yang sharih dan shahih tentang keharusan
adanya jarak waktu tertentu antara khitbah dan akad. Apakah harus sebulan, dua bulan, tiga
bulan atau berapa lama waktu.
Kalau pun jarak waktu itu dibutuhkan, barangkali sekedar untuk memberikan beberapa
persiapan yang bersifat teknis. Sebab biasanya, setiap akad nikah yang akan digelar memang
membutuhkan persiapan-persiapan teknis yang mutlak.
Sebagian orang ada yang butuh waktu untuk mengumpulkan dana, atau untuk mencari tempat
yang akan disewa, atau keperluan-keperluan lain yang manusiawi.
Sehingga menurut hemat kami, jarak waktu ini dikembalikan kepada al-'urf (kebiasaan dan
kepantasan) serta tuntutan hal-hal yang bersifat teknis semata.
Dengan demikian, seandainya kedua belah pihak telah siap segala sesuatunya, atau mungkin
juga tidak terlalu merepotkan urusan teknis, akad nikah bisa digelar saat itu juga berbarengan
dengan khitbah.
Maksudnya, sesaat setelah khitbah diterima, langsung saja digelar akad nikah. Sehingga tidak
lagi memboroskan waktu, biaya, dan kebutuhan lain. Apalagi taaruf antara kedua mempelai
sudah menghasilkan kesaling-cocokan. Maka buat apa lagi menunggu, begitu barangkali
logikanya.
Metode seperti ini kalau memang ingin dilakukan, tentu tidak ada larangan, lantaran memang
tidak ada nash yang melarangnya.
Secara umum, semakin cepat akad nikah dilakukan akan semakin baik. Karena niat baik itu
memang biasanya harus dipercepat. Selain juga untuk memberikan kesempatan kepada kedua
calon pengantin untuk dapat segera menunaikan hajat mereka.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Jawaban :
Sikap yang paling tepat adalah memahamkan kepada orangtua bahwa hal tersebut tidak
sesuai dengan Islam. Tentu saja dengan bahasa yang lembut dan kondisi yang kondusif. Bisa
juga dengan menyertakan pihak ketiga, misal seorang ustadz untuk menjelaskan hal tersebut.
Secara teknis yang mudah adalah mendownload masalah tersebut di youtube atau media
lainnya kemudian putar di waktu bersama dengan orangtua.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
(Rusmawati)
Allah memberi kita karunia akal dan nalar yang bebas. Dengan akal dan nalar kita bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan dengan akal dan nalar tersebut kita
mempunyai kemampuan untuk menganalisa dan menentukan pilihan dalam perkara dunia.
Selain itu banyak petunjuk agama yang mengajarkan kepada manusia bagaimana menentukan
perkara apakah itu baik atau buruk. Rasulullah saw bersabda “اط َمأ َ ﱠن َما ْالبِ ﱡر ْ ت ْالقَ ْلبُ إِلَ ْي ِه ْ إِلَ ْي ِه َو
ْ اط َمأَنﱠ
سُ اﻹثْ ُم النﱠ ْف ِ صد ِْر ِفي َوت ََردﱠدَ ْالقَ ْل
ِ ْ ب ِفي َحاكَ َما َو ”ال ﱠartinya: kebaikan adalah apa yang membuat hati
tenang dan mejadikan nafsu tenang, keburukan adalah apa yang membuat hati gelisah dan
menimbulkan keraguan” (H.R. Ahmad dll.)
Dalam masalah jodoh, Rasulullah saw bersabda “س ِب َها ِل َما ِل َها ِﻷ َ ْر َب ٍع ْال َم ْرأَة ُ ت ُ ْن َك ُﺢ ْ َف
َ اظفَ ْر َو ِلدِي ِن َها َو ِل َج َما ِل َها َو ِل َح
ِ ّين ِبذَا
ت ْ َ ”يَدَاكَ ت َِربartinya: seorang perempuan dinikahi karena empat perkara, yaitu karena
ِ ت ال ِد
hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Carilah yang mempunyai agama
niscaya kamu beruntung” (H.R. Muslim dll). Hal ini juga berlaku bagi wanita dalam mencari
suami.
Kedua hadist tersebut menunjukkan bahwa memilih adalah pekerjaan manusia. Agama
memberikan petunjuk rambu-rambu untuk memilih dengan baik.
Rasulullah saw juga mencontohkan dalam sebuah hadist
artinya: Rasulullah saw ketika dihadapkan dua pilihan, beliau selalu memilih yang termudah
selama itu tidak mengandung dosa, apabila itu mengandung dosa maka beliau menjauhinya”
(H.R. Muslim dll). Beliau pun ketika memilih sesuatu menggunakan analisa dan nalar beliau,
namun selalu mengutamakan yang mudah.
Begitu juga ketika seorang hamba dihadapkan kepada dua pilihan yang sulit dan kemudian
dia melaksanakan shalat istikharah sesuai ajaran Rasulullah, tidak berarti ia lantas menyuruh
Allah memilihkan pilihannya dan ia hanya cukup berdoa saja dan menunggu petunjuk dan
berpangku tangan. Itu adalah anggapan yang kurang tepat.
Ilustrasinya sbb: ketika kita seorang mahasiswa atau murid memasuki ruang ujian biasanya
kita selalu berdoa agar bisa mengerjakan dengan baik dan memilih jawaban dengan tepat.
Apakah mengerjakan ujian dan memilih jawaban tersebut cukup dengan doa tadi? Tentu
tidak. Jawaban ujian dan memilih jawaban ujian hanya bisa dilakukan melalui belajar
Mimpi tidak bisa dijadikan acuan hukum fiqih. Karena dalam mimpi setan memiliki peluang
besar untuk memainkan perannya, sehingga bisa jadi setan menggunakan mimpi untuk
mempermainkan manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mimpi ada 3 macam: dari Allah, dari setan, dan bisikan hati.”
Beliau juga menjelaskan bahwa mimpi tidak bisa untuk menetapkan hukum, namun hanya
sebatas diketahui. Dan tidak ada hubungan antara shalat istikharah dengan mimpi. Karena itu,
tidak disyaratkan, bahwa setiap istikharah pasti diikuti dengan mimpi. Hanya saja, jika ada
orang yang istikharah kemudian dia tidur dan bermimpi yang baik, bisa jadi ini merupakan
tanda baik baginya dan melapangkan jiwa. Tetapi, tidak ada keterkaitan antara istikharah
dengan mimpi. (Al-Fatwa Al-Masyhuriyah: http://almenhaj.net/makal.php?linkid=124)
Para ulama menjelaskan bahwa setelah istikharah hendaknya seseorang melakukan apa yang
sesuai keinginan hatinya. Imam An-Nawawi mengatakan,
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Jawaban :
Istilah tunangan tidak dikenal dalam istilah syariah Islam. Tapi kalau mau dicarikan bentuk
yang paling mendekatinya, barangkali khitbah, yang artinya meminang. Tetapi tetap saja ada
perbedaan asasi antara tunangan dengan khitbah. Paling tidak dari segi aturan pergaulannya.
Sebab masyarakat kita biasanya menganggap bahwa pertunangan yang telah terjadi antara
sepasang calon pengantin sudah setengah dari menikah. Sehingga seakan ada hukum tidak
tertulis bahwa yang sudah bertunangan itu boleh berduaan, berkhalwat berduaan, naik motor
berboncengan, makan, jalan-jalan, nonton dan bahkan sampai menginap.
Sedangkan khitbah itu sendiri adalah ajuan lamaran dari pihak calon suami kepada wali calon
istri yang intinya mengajak untuk berumah tangga. Khitbah itu sendiri masih harus dijawab
iya atau tidak. Bila telah dijawab ia, maka jadilah wanita tersebut sebagai ‘makhthubah’, atau
wanita yang telah resmi dilamar. Secara hukum dia tidak diperkenankan untuk menerima
lamaran dari orang lain. Namun hubungan kedua calon itu sendiri tetap sebagai orang asing
yang diharamkan berduaan, berkhalwat atau hal-hal yang sejenisnya.
Dalam Islam tidak dikenal istilah setengah halal lantaran sudah dikhitbah. Dan amat besar
kesalahan kita ketika menyaksikan pemandangan pasangan yang sudah bertunagan atau
sudah berkhitbah, lalu beranggapan bahwa mereka sudah halal melakukan hal-hal layaknya
suami istri di depan mata, lantas diam dan membiarkan saja. Apalagi sampai mengatakan,
“Ah biar saja, toh mereka sudah bertunangan, kalo terjadi apa-apa, sudah jelas siapa yang
harus bertanggung-jawab.” Padahal dalam kaca mata syariah, semua itu tetap terlarang untuk
dilakukan, bahkan meski sudah bertunangan atau sudah melamar, hingga sampai selesainya
akad nikah.
Jangan sampai nasib kita seperti nasib bani israil yang telah Allah kutuk lantaran
mendiamkan saja kemungkaran besar terjadi di depan mata. Sungguh malang nasih kita bila
hal itu sampai terjadi. Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud
dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka
perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS Al-Maidah:
79)
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Apakah memutuskn untuk tidak lanjut dr taaruf dg alasan belum ada ketertarikan itu d
perbolehkan?
Jawaban :
Hal tersebut diperbolehkan karena memang salah satu tujuan taaruf adalah adanya
ketertarikan untuk lebih mengenal dan membina mahligai rumah tangga.
Dalam ikthiar pencarian jodoh melalui ta’aruf tak selalu berjalan mulus. Ada yang cukup
sekali proses ta’aruf, namun ada juga yang beberapa kali mengalami penolakan ta’aruf.
Dalam menolak pengajuan ta’aruf, yang menyatakan alasan umum seperti “belum
menemukan kemantapan”, “belum cocok” namun juga ada yang menyebutkan alasan
spesifiknya.
Penolakan dari segi Fisik memang terkesan duniawi. Namun Nabi Muhammad pun
menganjurkan salah seorang sahabat yang ingin melamar seorang wanita untuk melihat si
wanita terlebih dulu agar menemukan hal-hal yang membuatnya cenderung atau mantap
untuk melamar wanita tersebut.
3. Usia
Usia juga merupakan faktor penting dalam penolakan ta’aruf, karna ada sebagian orang
melihat dari umur segi kesuburan akhwat namun ada juga yang tidak seperti halnya Nabi
Muhammad dikisahkan menikah dengan Khadijah dalam perbedaan usia yang cukup jauh,
usia Khadijah lebih tua sekitar 15 tahun.
4. Status Pernikahan
2. Pekerjaan
Kewajiban suami adalah memberikan atau menafkahi anak dan istri dengan harta yang halal.
Yang dapat dilihat dari segi bagaimana cara pendapatannya dan pekerjaannya. Banyak
akhwat yang melakukan penolakan karna pekerjaan ikhwannya tidak halal. harta tidak halal
hanya dapat mendatangkan mudarat dan murka Allah.
Adapun akhwat yang menetapkan kriteria mapan dalam salah satu kriteria calon
pasangannya, mapan dalam arti tetap berpenghasilan dan ada keterjaminan nafkah saat hidup
berumah tangga nanti. Karna sebagian akhwat takut apabila calon pasangannya tidak mampu
dalam segi ekonomi.
3. Pendidikan
Faktor pendidikan mungkin tidak terlalu penting, tetapi ada sebagian akhwat menginginkan
calon pasangannya memiliki pendidikan yang lebih tinggi atau setara dengannya.
4. Domisili
Domisili merupakan salah satu alasan penolakan akhwat karna sebagian akhwat ingin tetap
dekat atau berada di kampung halaman atau keluarganya.
5. Status Pernikahan
Sebagian Akhwat tidak mau menikahi calon pasangan yang telah mempunyai istri atau telah
duda.
Izin Orang tua/Wali adalah penting karna apagunanya nikah jika kita apabila kita tidak
mendapat restu orang tua yang telah membesarkan kita.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Apakah menolak perjodohan dari orang tua itu termasuk membangkang dan berdosa? Dan
bagaimana jika kita ingin menolak sebuah perjodohan yg kita tidak inginkan namun tidak
ingin menyakiti hati orang tua kita?
Jawaban :
Di dalam syariah Islam, orangtua dilarang untuk untuk memaksakan jodoh untuk anaknya.
Apalagi sekedar seorang calon suami, di mana lamarannya itu sangat tergantung dari
penerimaan pihak calon istri. Maka calon istri punya hak dan wewenang sepenuhnya untuk
menerima sebuah lamaran atau menolaknya. Baik dengan alasan yang masuk akal bagi
pelamar maupun tidak. Sebab bisa saja faktor penolakannya itu merupakan hal yang tidak
ingin disebutkan secara terbuka.
Adapun hadits yang menyebutkan akan terjadi fitnah bila seorang wanita menolak lamaran
laki-laki yang shalih, tentu harus dipahami dengan lengkap dan jernih. Hadits itu bukan
dalam posisi untuk menetapkan bahwa sebuah lamaran dari laki-laki yang shalih itu haram
ditolak. Tidak demikian kandungan hukumnya.
Sebab kalau demikian, bagaimana dengan lamaran seorang laki-laki shalih kepada seorang
puteri raja atau pembesar, di mana kedua tidak sekufu atau memang tidak saling cocok satu
dengan yang lain? Apakah puteri raja itu berdosa bila menolak lamaran dari seorang yang
tidak disukainya?
Bahkan di dalam syariah Islam, seorang wanita yang sudah menikah namun merasa tidak
cocok dengan suaminya, masih punya hak untuk bercerai dari suaminya. Apa lagi baru
sekedar lamaran dari laki-laki yang sudah punya istri pula.
Dari Ibnu Abbas ra.: Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah SAW, ia
berkata: Wahai Rasulullah, Aku tidak mencelanya dalam hal akhlaknya maupun agamanya,
akan tetapi aku benci kekufuran dalam Islam. Maka Rasulullah SAW berkata padanya,
Apakah kamu mengembalikan pada suamimu kebunnya? Wanita itu menjawab, Ya. Maka
Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit, Terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah ia 1 kali
talak.
Agar tidak menjadi fitnah, tentu ada cara penolakan yang halus dan lembut, tanpa
menyinggung perasaan, namun si pelamar itu bisa menerima intisarinya, yaitu penolakan.
Sehingga fitnah yang dikawatirkan itu tidak perlu terjadi.
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
سو َل يَا قَالُوا ت ُ ْستَأْذَنَ َحتﱠى ْال ِب ْك ُر ت ُ ْن َك ُﺢ َو َﻻ ت ُ ْستَأ ْ َم َر َحتﱠى ْاﻷ َ ِّي ُم ت ُ ْن َك ُﺢ َﻻ َ ت َ ْس ُكتَ أ َ ْن قَا َل ِإذْنُ َها َو َكي
ُ ْف ﱠ ِ َر
“Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak
boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya,
“Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.”
(HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
ُﺻ َمات ُ َها َو ِإذْنُ َها نَ ْف ِس َها فِي أَبُوهَا َي ْست َأ ْ ِذنُ َها َو ْال ِب ْك ُر َو ِل ِّي َها ِم ْن ِب َن ْف ِس َها أَ َح ﱡق الثﱠ ِيّب
ُ
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka
ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR.
Muslim no. 1421)
“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak
disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk mengadu)
maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no.
5138)
Al-Bukhari memberikan judul bab terhadap hadits ini, “Bab: Jika seorang lelaki menikahkan
putrinya sementara dia tidak senang, maka nikahnya tertolak (tidak sah).”
Penjelasan ringkas:
Di antara kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah datang Islam
adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran
atau pernikahan, yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman
jahiliah. Karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia
walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.
Karena menikahkan dia dengan lelaki yang tidak dia senangi berarti menimpakan kepadanya
kemudharatan baik mudharat duniawiah maupun mudharat diniah (keagamaan). Dan sungguh
Nabi shallallahu alaihi wasallam telah membatalkan pernikahan yang dipaksakan dan
pembatalan ini menunjukkan tidak sahnya, karena di antara syarat sahnya pernikahan adalah
adanya keridhaan dari kedua calon mempelai.
Akan tetapi larangan memaksa ini bukan berarti si wali tidak punya andil sama sekali dalam
pemilihan calon suami wanita yang dia walikan. Karena bagaimanapun juga si wali biasanya
lebih pengalaman dan lebih dewasa daripada wanita tersebut. Karenanya si wali disyariatkan
untuk menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat dan izin dari wanita yang
bersangkutan sebelum menikahkannya. Tanda izin dari wanita yang sudah janda adalah
dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin dari wanita yang masih perawan cukup
dengan diamnya dia, karena biasanya perawan malu untuk mengungkapkan keinginannya.
Allahu A'lam
Apakah menolak perjodohan dari orang tua itu termasuk membangkang dan berdosa? Dan
bagaimana jika kita ingin menolak sebuah perjodohan yg kita tidak inginkan namun tidak
ingin menyakiti hati orang tua kita?
Jawaban :
Tidak termasuk durhaka. Karena menikah itu murni hak anak. Orang tua tidak boleh
memaksa anaknya untuk menikah dengan seseorang yang tidak disukai anaknya. Dalilnya:
لها فقال قال تتزوج أن أبت قد ابنتي إن فقال سلم و عليه ﷲ ﺻلى النبي إلى له بابنة أتى رجﻼ أن الخدري سعيد أبي عن
أن زوجته على الزوج حق فقال قال مقالتها عليه فرددت زوجته على الزوج حق ما تخبرني حتى ﻻ فقالت قال أباك أطيعي
ابدا اتزوج ﻻ بالحق بعثﻚ والذي فقالت قال حقه أدت ما لحسته ثم دما أو ﺻديدا منخراه ابتدر او فلحستها قرحة به كان لو
بﺈذنهن إﻻ تنكحوهن ﻻ فقال قال
Dari Abu Said al-Khudri, bahwa ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan membawa putrinya. Orang ini mengatakan, “Putriku ini tidak mau menikah.”
Nabi memberi nasihat kepada wanita itu, “Taati bapakmu.” Wanita itu mengatakan, “Aku
tidak mau, sampai Anda menyampaikan kepadaku, apa kewajiban istri kepada suaminya.”
(merasa tidak segera mendapat jawaban, wanita ini pun mengulang-ulangi ucapannya).
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kewajiban istri kepada suaminya, andaikan di tubuh suaminya ada luka, kemudian istrinya
menjilatinya atau hidung suaminya mengeluarkan nanah atau darah, kemudian istrinya
menjilatinya, dia belum dianggap sempurna menunaikan haknya.”
Spontan wanita itu mengatakan: “Demi Allah, Dzat yang mengutus Anda dengan benar, saya
tidak akan nikah selamanya.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada ayahnya, “Jangan nikahkan
putrimu kecuali dengan kerelaannya.” (HR. Ibn Abi Syaibah no.17122)
Bahkan jika orang tua memaksa dan anak tidak ridha kemudian terjadi pernikahan, maka
status kelangsungan pernikahan dikembalikan kepada anaknya. Jika si anak bersedia,
pernikahan bisa dilanjutkan, dan jika tidak maka keduanya harus dipisahkan. Di antara
dalilnya adalah
كارهة وهي زوجها أباها أن فذكرت وسلم عليه ﷲ ﺻلى ﷲ رسول أتت بكراً جارية أن ” عنهما ﷲ رضي عباس ابن عن
, “ وسلم عليه ﷲ ﺻلى ﷲ رسول فخيرها
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau menceritakan, “Ada seorang gadis yang
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan bahwa ayahnya
menikahkannya sementara dia tidak suka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan hak pilih kepada wanita tersebut (untuk melanjutkan pernikahan atau pisah).”
(HR. Ahmad 1:273, Abu Daud no.2096, dan Ibn Majah no.1875)
Bagaimana agar tidak menyakiti orangtua? Tentu saja hal ini diperlukan ketrampilan
berkomunikasi. Pilih bahasa yang lembut dan waktu yang tepat.
Allahu a’lam
Pertanyaan :
Assalamu'alaykum...
Syukran
Jawaban :
Kufu atau kafa’ah, artinya adalah kesepadanan. Yakni kesepadanan calon suami dan calon
istri yang akan menikah dan membina rumah tangga. Istilah kufu muncul dalam beberapa
hadits, berupa nasehat Rasulullah untuk segera menikah atau menikahkan muslimah yang
telah menemukan calon suami yang sekufu. Diantara hadits-hadits tersebut, yang paling baik
sanadnya adalah riwayat Tirmidzi, yang telah dihasankan oleh Al Albani.
“Wahai Ali, ada tiga perkara yang jangan kau tunda pelaksanannya; shalat apabila telah tiba
waktunya, jenazah apabila telah siap penguburannya, dan wanita apabila telah menemukan
jodohnya yang sekufu/sepadan” (HR. Tirmidzi; hasan)
Berdasarkan hadits di atas, sekufu itu perlu. Ia bukan syarat dan rukun pernikahan tetapi
dapat menjadi syarat kelestarian pernikahan.
Dalam pemahaman sebagian orang, sekufu itu artinya usianya tidak terpaut jauh. Ini pula
yang menjadi alasan bagi banyak ikhwan untuk ‘menolak’ akhwat yang secara usia lebih tua
beberapa tahun di atasnya.
Benarkah demikian? Mari kita lihat pernikahan Rasulullah. Beliau menikah pertama kali pada
usia 25 tahun, sedangkan istri beliau Khadijah usianya 40 tahun. Terpaut 15 tahun. Faktanya,
keluarga beliau adalah keluarga yang paling berbahagia. Khadijah bahkan menjadi wanita
yang paling dicintai Nabi dan tidak tergantikan oleh siapapun sesudah beliau wafat.
Pun misalnya pernikahan Rasulullah dengan Aisyah, setelah wafatnya Khadijah. Aisyah saat
itu masih sangat muda, terpaut puluhan tahun dengan Rasulullah. Namun, keluarga mereka
justru menjadi keluarga paling romantis dan penuh cinta. Tidak jarang Rasulullah bercanda
dan bermain bersama Aisyah. Pernah beberapa kali lomba lari berdua. Pernah juga mandi
berdua.
Sebagian orang juga memahami bahwa sekufu itu artinya harta dan jabatan calon suami dan
calon istri sepadan. Benarkah demikian?
Praktik pernikahan di zaman Rasulullah, sebagian sahabat yang miskin menikah dengan
shahabiyah yang kaya raya. Pun sebaliknya, ada sahabat yang kaya raya menikah dengan
shahabiyah yang tak memiliki banyak harta. Misalnya antara Asma’ binti Abu Bakar dengan
Zubair bin Awwam.
Demikian pula dengan Umar bin Khatab. Beliau menjodohkan putranya, Ashim, dengan anak
penjual susu. Ashim yang anaknya khalifah menikah dengan rakyat jelata. Dan itu tidak
masalah. Bahkan, kelak, dari pernikahan mereka lahirlah Ummu Ashim, dan dari Ummu
Ashim lahirlah Umar bin Abdul Aziz, khulafaur rasyidin ke 5.
Ada pula yang mengira bahwa sekufu itu artinya perempuan cantik haruslah dapat laki-laki
tampan, laki-laki tampan hanya sekufu dengan wanita cantik. Benarkah demikian?
Rasulullah adalah orang yang paling tampan. Namun, istri beliau tidak semuanya cantik.
Mayoritas yang beliau nikahi adalah janda-janda tua. Demikian pula pernikahan sahabat.
Tidak semuanya yang tampan ketemu dengan yang cantik. Dan tidak semua yang cantik
kemudian beroleh yang tampan. Misalnya Fathimah binti Qais dengan Usamah bin Zaid.
Fathimah adalah seorang wanita yang cantik, dari keluarga terhormat dan kaya raya.
Sedangkan Usamah adalah mantan budak.
Menurut Imam Malik, ungkapan kafa’ah ini khusus untuk agama. Bahwa orang yang bagus
agamanya, ia sekufu dengan pasangan yang bagus pula agamanya. Imam Syafi’i juga
mendukung pendapat ini. Bahwa kafa’ah adalah dalam bidang agama, sedangkan harta tidak
dimasukkan dalam kategori kafa’ah.
Dalam buku Di Ambang Pernikahan, Mohammad Fauzil Adhim menjelaskan bahwa yang
dimaksud agama pada pembahasan kufu di sini bukanlah pengetahuan/kognitif saja. Tetapi
lebih dari itu, yang dimaksud kafa’ah adalah keberagamaan; iman taqwa dan akhlaknya.
Meski demikian, bukan berarti masalah usia, harta dan kedudukan serta kecantikan dan
ketampanan diabaikan begitu saja. Sebab kita hidup bersama keluarga besar dan masyarakat.
Kita hidup dengan lingkungan dan situasi yang tidak sama dibandingkan dengan lingkungan
dan situasi yang dialami oleh para sahabat. Bahkan, ada pula sahabat yang akhirnya bercerai
karena ketidakcocokan istri dengan ‘ketampanan suami.’ “Ya Rasulullah,” kata istri Tsabit
bin Qais, “aku ingin meminta cerai dari Tsabit bukan karaea aku mencela agamanya dan
akhlaknya, akan tetapi aku khawatir diriku menjadi kufur”. Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berkata kepadanya; “Sanggupkah kamu mengembalikan tanah kebun yang ia
berikan kepadamu sebagai mas kawin ketika pernikahanmu dulu?”. Ia menjawab; “Ya, aku
sanggup”. Ia pun mengembalikan tanah kebun itu. Rasulullah lalu berkata kepada Tsabit;
“Ceraikanlah dia”.
Semoga, bagi yang belum menikah, Allah memudahkan untuk menikah dengan jodoh yang
sekufu. Dan yang telah menikah, semoga Allah melanggengkan pernikahan dan memberkahi
keluarga Anda
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Bagaimana menyikapi sifat kita jika d sela2 hari menuju pernikahan terdapat slentingan dari
kawan ttg hal yg bersifat duniawi dan membuat calon pasangan ragu ?
Jawaban :
Ukhti, ketika seseorang menikah, hari pernikahan adalah hari kebahagiaan mempelai dan
seluruh anggota keluarga. Pernikahan menjadi salah satu momen paling istimewa dalam
hidup. Oleh karena itu, harus dipersiapkan secara matang.
Namun, terkadang ada beberapa hal yang tidak berjalan sesuai rencana. Perbedaan pandangan
antara dua keluarga kerap membuat calon pengantin ragu. Biasanya, hal ini dilatarbelakangi
oleh kekhawatiran yang beralasan. Coba dipikir ulang, apakah hal tersebut termasuk hal
prinsip atau tidak.
1. Sampai detik terakhir menjelang akad nikah, berdoa dan istikharahlah. Berserah dirilah
kepada Allah Swt. Disarankan untuk tetap mengukur kemantapan diri, apakah mau maju atau
mundur dengan menalar situasi dan kondisi yang terjadi menjelang hari pernikahan.
Hendaknya, pernikahan dapat menjadi kebaikan dan amal saleh bagi diri, agama, dunia, dan
akhirat yang bersangkutan. Kalau sudah mantap, ambillah segala risikonya. Sebab, nikah
adalah ujian iman, agama, serta kesabaran.
2. Siapkan mental untuk menjadi istri, ibu, mantu, dan ipar. Menikah dengan duda beranak,
berarti mental mesti harus lebih siap daripada menikahi pria lajang. Berkaca pada rumah
tangga Rasulullah Saw. dan para nabi lainnya, diharapkan dapat memotivasi ukhti untuk
bermental sekuat Siti Hajar, Siti Asiah, Siti Aisyah, dan Siti Khadijah.
3. Lebih aman membatalkan khitbah dari sekarang, daripada nanti sesudah menikah berujung
pada perceraian. Maka, mengenai ada pihak yang tersinggung dengan keputusan kita
membatalkan pernikahan adalah risiko yang harus diambil. Meski membatalkan khitbah atau
pernikahan bisa saja tanpa menyebut alasannya, tetapi tetap harus disampaikan dengan
diplomasi yang baik. Hal tersebut bisa disampaikan oleh mediator orangtua yang berbicara
langsung dengan bersikap tegas dan santun.
4. Tinjau ulang mengenai keberadaan prinsip agama atau akhlak yang berbeda. Bila ada hal
prinsip agama yang dilarang atau dilanggar, jelas pernikahan tidak bisa diteruskan.
Alhamdulillah bagi ukhti kedua. Wujud kasih sayang Allah Swt. kepada ukhti adalah dengan
terbukanya kondisi calon sebelum hari pernikahan. Ukhti seharusnya bersyukur bisa
menyelamatkan diri dari sekarang daripada sesal kemudian tidak berguna.
5. Dengarkan nasihat keluarga atau teman. Tidak sedikit keluarga atau teman yang dapat
memberi saran atas permasalahan jelang nikah. Dengarkan karena mereka tentu ingin
berpartisipasi dalam suksesnya pernikahan Anda. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti
mereka memiliki kekuasaan penuh atas sikap dan keputusan Anda.
Jangan biarkan orang lain mengintervensi keputusan Anda hanya karena ingin menyenangkan
hati mereka. Prioritaskan yang terbaik dan paling tepat untuk Anda dan keluarga besar.
6. Saat memutuskan menikah, fokus pada hal-hal yang menjadi syarat sahnya nikah. Calon
pengantin hendaknya banyak berdzikir, berdoa, serta jangan gugup karena khawatir
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Jawaban :
Pertanyaan ini bisa kita jawab dengan dua pendekatan yang berbeda, dengan hasil jawaban
yang akan berbeda.
Pendekatan Kedua
Pendekatan kedua dari jawaban ini adalah pendekatan yang tidak hanya semata-mata
mempertimbangkan aspek hukum hitam putih saja. Di balik dari aspek hukum, ada juga
aspek-aspek lain yang sebenarnya tetap penting untuk dipertimbangkan. Di antaranya adalah
aspek sosial dan hubungan personal dalam keluarga.
Kalau kita bicara aspek sosial dan keluarga, memang harus diakui bahwa tiap negeri punya
adat dan kebiasaan yang berbeda. Budaya di Barat sana tentu jauh berbeda di Timur,
khususnya dalam urusan kedekatan dalam urusan kekeluargaan. Bahkan di negeri kita, tiap
keluarga punya hubungan internal yang berbeda-beda.
Umumnya di negeri kita, sudah jadi semacam budaya bahwa keberadaan orang tua dan
keluarga menjadi sangat dominan dalam urusan pernikahan. Seorang anak akan selamanya
jadi 'anak-anak', dimana orang tua selalu akan terus dilibatkan dalam segala bentuk detail
perkawinan anaknya. Bahkan sampai anaknya punya anak lagi, semua urusan keluarga selalu
dipusatkan pada pihak orang tua.
Kalau kita perhatikan, dalam sebuah hajatan pernikahan seringkali yang punya hajatan malah
bukan lagi pasangan pengantin, tetapi justru masing-masing orang tua dari kedua belah pihak.
Para orang tua itulah yang menjadi seolah-olah produser dan penyelenggara dari tiap hajatan
pernikahan.
Hampir semua urusan ditangani orang tua. Mulai dari menentukan calon pasangan, urusan
berembug antar keluarga, menentukan hari baik bulan baik, pembiayaan, sewa tempat
hajatan, kostum pengantin, tukang rias, katering, pagar ayu, pengisi hiburan, tamu undangan,
hingga urusan mas kawin. Pendeknya, ada begitu banyak tetek bengeknya, dan semua
biasanya ditangani oleh orang tua dan keluarga.
Pasangan pengantin tinggal duduk manis saja, karena segala sesuatu telah ditetapkan oleh
'dewan keluarga', yang dalam hal ini tidak lain adalah orang tua. Bahkan selesai nikah dan
ketika sudah mulai berumah-tangga pun, keterlibatan orang tua masih dominan. Sampai
urusan punya anak berapa hingga sampai ke masalah cerai, tetap saja melibatkan langsung
orang tua.
Maka kalau kita ditaqdirkan lahir di dalam keluarga yang polanya masih seperti ini, rasanya
hampir-hampir mustahil kalau kita tidak melibatkan keluarga dalam pernikahan. Apalagi
dalam bab memilih calon pasangan, kalau kita main tabrak begitu saja sementara orang tua
tidak setuju, bisa runyam urusannya.
Resikonya, bisa-bisa pernikahan yang kita paksakan itu akan melahirkan kemurkaan dan
kekecewaan di hati mereka. Bahkan buat sebagian kalangan, kasus ini akan menjadi aib
Namun tentu tidak semua orang tua berpikiran sempit seperti itu. Banyak juga dari mereka
yang membebaskan pilihan kepada anaknya dalam memilih pasangan hidup. Semua akan
kembali kepada format budaya dan paradigma keluarga.
Maka sebaiknya kita pertimbangkan masak-masak sebelum bertindak. Sebab biar bagaimana
pun juga, kita tidak hidup sendirian di muka bumi. Kita tetap harus mempertimbangkan
perasaan banyak orang, termasuk salah satunya yang terpenting adalah perasaan orang tua
sendiri.
Cobalah buka dialog baik-baik yang sifatnya bukan adu argumentasi. Carilah titik-titik
kesepakatan yang sekiranya bisa disetujui seluruh keluarga. Semoga Allah SWT
memudahkan urusan kita semua.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalamualaikum aku rina mau nanyak apa boleh seorang wanita mengutarakan isi hatinya
terlebih dahulu kepada pria idaman nya??? Dan setelah melakukan istiharoh,bagaimana
caranya seorang wanita tuk menjemput jodohnya???penjelasan tadi di bilang kalo bukan
hanya doa saja tapi berusaha juga,nah bentuk usaha dari seorang wanita itu bagaimana?,?
Jawaban :
Namun, cara tersebut tidak mutlak harus seperti itu, di zaman sekarang bisa melalui banyak
aplikasi semacam bbm, wa, line dll. Hanya saja perlu diperhatikan adalah dengan bahasa
yang baik.
Yang jelas dalam Islam hal tersebut bukanlah hal yang tabu bila seorang akhwat
menyampaikan keinginannya untuk dinikahi seorang ikhwan.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalamualaikum wr wb ustad, apa yang harus dilakukan ketika dalam taaruf seorang lelaki
tidak juga memberikan kepastian, dalam jangka waktu lebih dari sebulan, Syukron
,jazakumullah
Jawaban :
Sebenarnya yang berperan dalam hal ini adalah perantara. Seharusnya perantara sudah
memberikan tenggang waktu untuk memberikan kepastian, sehingga kalau tidak ada
kepastian dianggap mengundur diri. Langkah yang bisa ukhti lakukan kalau tanpa ada
perantara adalah meminta kepastian pada ikhwan tersebut.
Allahu A'lam.
Assalamuakaikum..
Maaf sy mau bertnua lagi..
Apa yang sebaiknya kita lakukan di sela sela hari dari khitbah menuju akad untuk menjaga
perasaan ini mantap dan untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan ?
Intinya adalah semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Shalat tahajjud, dhuha, puasa
sunnah, memperdalam ilmu terutama tentang pernikahan dll. InsyaAllah dengan semakin
dekatnya kita kepadaNya, semua urusan akan dimudahkan, kalaupun ada ujian akan
diberikan jalan keluarnya.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Aslamualaikum, saya mau tanya, jika sudah dikhitbah itu tugas dan tanggung jawab masing-
masing sebagai perempuan dan laki-laki itu seperti apa ya dan contohnya bagaimna dalam
khidupan sehari-hari sekaligus komunikasi stu lain?
Terimaksih
Jawaban :
Sebelum ada akad nikah maka statusnya bukan mahram. Masing-masing masih menjalankan
kehidupan sehari-hari seperti biasanya. Maka komunikasi tetap dibatasi dalam hal-hal yang
penting saja. Yang membedakan adalah status akhwat tersebut makhtubah (wanita yang
sudah dikhitbah) sehingga haram hukumnya laki-laki lain untuk taaruf apalagi khitbah dan
diperbolehkan ke dua pasangan yang sudah melaksanakan khitbah tersebut untuk komunikasi
intensif berkaitan dengan pernikahan serta hal-hal penting lainnya.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Ust, bagai mana yang sebaiknya di lakukan apabila emang belum boleh menikah oleh orang
tua, padahal sudah menemukan ahwat yang pengen di nikahi,,,
Dan bagaimana cara menjaga komunikasi sampai saatnya nanti bisa menikah dengan ahwat
Orangtua pasti memiliki alasan tertentu ketika menghalangi anaknya untuk menikah. Mereka
pasti menginginkan anaknya bisa hidup bahagia kelak setelah menikah. Hanya saja, sudut
pandang nya berbeda dengan sang anak.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan bila orangtua melarang menikah, yaitu :
- Mencari tahu alasannya, kemudian melakukan pendekatan sembari memberikan penyadaran
kepada orangtua tentang larangan menghalangi anaknya menikah karena pertimbangan-
pertimbangan yang tidak syar'i.
- Tunjukkan bahwa diri mampu & siap untuk menikah.
- Meminta bantuan saudara yang dipercaya atau berpengaruh terhadap orang tua.
- Meminta bantuan pihak ketiga.
- Shalat istikharah & memohon agar diberikan keputusan yang terbaik untuk diri, agama &
kehidupannya.
- Bertawakkal kepada Allah atas segala keputusan yang datang dari-Nya. Sebab apapun yang
menjadi keputusan Allah, itulah yang terbaik.
Wallahu a'lam
Pertanyaan :
Assamamu'alaykum ustadz ana ingin tnya. Jika ada seseorang yg sdah merasakan rindu ingin
menikah & ingin menikah untk menemani dlm ketaatan dn agaf terhindar dr hal2 yg
dilarang,namun belum ada gambaran jodoh yg mendekat, mash terhambat kuliah, dan dr
pihak ortu menginginkan untk bekerja dulu setelah lulus. Apa yg harus dilakukan oleh orang
tersebut?
Jawaban :
Hal pertama yang urgent dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada orangtua tentang
pernikahan syar'i. Kalau memang ukhti sudah siap menikah maka mulai dari sekarang sudah
melakukan pendekatan secara intensif kepada orangtua. Sebenarnya kuliah bukanlah
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalamu'alaikum ustad, sya mau brtanya, ada seorang laki2 yg brniat srius dngan sya dan
ingin mlamar. Ttapi ada syarat yg diajukan stelah menikah tinggal bersma di rmahnya brsama
ibunya. Karna ibunya sdah ckup tua dan hnya sndiri. Smentara, sya anak trakhir dan pnya stu
kakak laki2 blum mnikah. Orang tua sya trutama ibu menginginkan agar stelah sya menikah
tetap tnggal brsama mreka karna di tmpat sya biasanya anak perempuan skalgus ank terakhir
yg akan tnggal dan mrawat orang tua. Lantas sya hrus bgaimana ustad, menrima lelaki itu
atau menunggu laki2 yg nanti mau tinggal brsma orang tua sya.
Jawaban :
Dari sisi syar'i, syarat yang diajukan lelaki tersebut tidak menyelisih syariat Islam. Justru hal
tersebut menunjukkan tingginya akhlak lelaki tersebut kepada orangtuanya dan baiknya
agama lelaki tersebut.
Permasalahan merawat orangtua baik orangtua ukhti maupun orangtua lelaki tersebut
sebenarnya bersifat teknis dan bisa dikompromikan bila sudah menikah.
Saran kami, kalau agama lelaki tersebut baik agamanya maka sebagaimana pesan Rasulullah,
terimalah. Tentu saja semua itu kembali ke ukhti, apakah menerima atau menolak dengan
melihat kondisi dan berbagai pertimbangan serta setelah memohon petunjuk Allah Ta'ala.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalamu'alaikum ustad ana Ulfa ingin bertanya ada ada laki2 yang melamar yang
InsyaAllah baik agamanya tapi tidak ada ketertarikan dari segi fisiknya dan orang tua
keberatan dengan suku ikhwan tersebut,? Apakah tidak apa2 untuk menolaknya
Jawaban :
Kalau soal penolakan, itu hak ukhti, tidak ada masalah benar dan salah dalam hal itu.
Ingat, mencari seorang lelaki shaleh bukanlah perkara gampang. Sudah berusaha pun, belum
tentu berhasil. Sementara, akibat dari menikah dengan lelaki yang tidak shaleh, sungguh
merupakan bencana besar bagi wanita. Dengan harta dan uang, seorang lelaki bejat bisa
mengubah surga dunia justru menjadi neraka dunia. Langkah praktisnya, cobalah berpikir
realistis. Utamakan memilih lelaki yang shaleh, meskipun memiliki kekurangan fisik atau
yang lainnya, tentunya selama ukhti masih mampu menerimanya. Bila sampai batas–maaf–
menjijikkan dalam pandangan ukhti, bahkan dikhawatirkan bila menikahinya akan
menjerumuskan ukhti dalam maksiat, silakan menolak. Itu adalah hak ukhti. Atau, ada pilihan
dua atau tiga lelaki yang sama-sama shaleh, tidak bisa dibedakan yang satu dengan yang lain,
sementara ukhti lebih memilih yang–taruhlah–lebih tampan, lebih kaya, dan seterunya. Itu
pun tidak menjadi masalah.
Berkaitan dengan alasan orangtua ukhti menolak karena masalah suku, dalam Islam hal ini
tidak dibenarkan.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalamu'alaikum.
Ustadz, apa saja sih syarat seseorang itu sudah dikatakan wajib menikah?
Hukumnya menjadi wajib apabila seseorang dilihat dari sisi pertumbuhan, jasmaninya sudah
layak untuk menikah, serta ia mempunyai kedewasaan rohani yang sudah matang dan
memiliki biaya menikah untuk menghidupi keluarganya. Dan apabila ia tidak menikah
khawatir terjatuh pada perbuatan mesum atau zina maka hukum menikah menjadi wajib.
Allahu A'lam
Assalamualaikum ustad saya irni mau tanya ada seseorang yg taaruf dan memang serius
menikahi sy tapi orang tua sy tidK menyukai laki-laki itu karena menurut orangtua sy agama
laki-laki itu tidak begitu baik setelah orangtua sy berdiskusi, orangtua sy juga tdk begitu suka
sm perilaku laki-laki yg sedikit agak nyeleneh,dan semakin tidak suka ketika mengetahui
kalau dia itu perokok aktif bahkn bs d katakan Sudan parah ngrokoknya....apa krn alasan itu
sy bs menghentikan proses taarufnya??dan cara untuk memutuskn proses taarufnya itu seperti
apa ya?? Terimakasih
Jawaban :
Yang dilakukan orangtua ukhti sudah tepat. Yang jelas ukhti punya hak untuk meneruskan
atau menghentikan proses taaruf.
Cara memutuskan bagaimana? Hal ini fleksibel dan kondisional. Kalau ukhti taaruf lewat
perantara maka sampaikan lewat perantara bahwa ukhti tidak melanjutkan taaruf karena
beberapa sebab tersebut. Atau bisa juga yang menyampaikan orangtua ukhti dengan
memanggil lelaki tersebut. Tentu saja dengan bahasa yang halus dan tidak menyakitkan.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalammualaikum, saya mau bertanya, seperti apa batasan pergaulan antara pria dan wanita
sblm menikah? Lalu, apakah blh menolak seorang ikhwan yg meminang krn ia memiliki
perilaku yg kurang baik di masa lalu yg dikhawatirkan bs terjadi di masa depan?
Jawaban :
Islam menetapkan beberapa kriteria syar’i pergaulan antara laki-laki dan perempuan untuk
menjaga kehormatan, melindungi harga diri dan kesuciannya. Kriteria syar’i itu juga
berfungsi untuk mencegah perzinahan dan sebagai tindakan prefentif terjadinya kerusakan
masal. Di antaranya, Islam mengharamkan ikhtilath (bercampur laki-laki dan perempuan
dalam satu tempat) dan khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan), memerintahkan
adanya sutrah (pembatas) yang syar’i dan menundukkan pandangan, meminimalisir
pembicaraan dengan lawan jenis sesuai dengan kebutuhan, tidak memerdukukan dan
menghaluskan perkataan ketika bercakap dengan mereka, dan keriteria lainnya. Perkara-
perkara ini, menjadi kaidah yang penting untuk kebaikan semuanya. Tidak seperti ocehan
para penyeru ikhtilath, sesunguhnya perkara ini berbeda antara satu dengan lainnya, atau satu
Interaksi dan komunikasi antara laki-laki dan perempuan sebenarnya boleh-boleh saja,
dengan syarat wanitanya tetap mengenakan hijabnya, tidak memerdukan suaranya, dan tidak
berbicara di luar kebutuhan. Adapun jika wanitanya tidak menutup diri serta melembutkan
suaranya, mendayu-dayukannya, bercanda, bergurau, atau perbuatan lain yang tidak layak,
maka diharamkan. Bahkan bisa menjadi pintu bencana, kuburan penyesalan, dan menjadi
penyebab terjadinya banyak kerusakan dan keburukan.
Wajib berhati-hati, karena syetan terkadang menipu seseorang dengan merasa agamanya kuat
tidak terpengaruh dengan percakapan itu. Padahal dia sedang terjerumus pada jerat
kebinasaan dan berada di atas jalan kesesatan. Realita adalah saksi terbaik. Betapa banyak
orang menentang petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan melanggar larangannya
akhirnya ia tercampak di atas keburukan.
Barangsiapa yang tidak memiliki hajat untuk berinteraksi dengan lawan jenis, maka
menjauhinya lebih baik dan selamat. Jika ada kebutuhan, wajib bagi semua kaum muslimin
untuk menetapi ketentuan syar’i, di antaranya:
2. Tidak berduaan dengan wanita asing (bukan mahram dan bukan istrinya).
Dalam Shahihul Bukhari, dari Ibnu Abbas radliyallah ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
يخلو ﱠن ﻻ
َ َمحرم ذو ومعها إﻻ بامرأةٍ رجل
3. Berusaha agar tidak ikhtilath dengan gadis yang bisa menyebabkan fitnah.
Dari Abu Sa’id bin Musayyib’d al-Khudri radliyallah ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu manis dan indah. Allah menjadikan kalian berkuasa atasnya, untuk
melihat apa yang kalian perbuat. Bertakwalah terhadap dunia dan wanita.” (HR. Muslim).
“Tidak lah aku tinggalkan suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah
wanita.”
Dalam Al-Mu’jam Al-Kabir milik Imam Ath-Thabrani, dari Ma’qil bin Yasar berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersbda:
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya
daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”
Pertanyaan kedua, seorang wanita mempunyai hak menolak atau menerima lamaran dan
alasan tersebut diperbolehkan.
Salah satu ujian iman tertinggi adalah ketika diri tak menyadari.. posisi tertinggi hati, tak lagi
Allah yang menghuni.Terkelabui oleh cinta yang katanya sejati, padahal hakikat
kehadirannya hanya untuk menguji.
Terbakar semangat menikah, tanpa menyadari niat berbelok, tak lagi untuk ibadah. Mulai
gelisah menapaki pencarian, mengabaikan penguatan ketaatan dalam kesendirian.
Padahal ketahuilah.. episode ‘sendiri’ itu Allah berikan sebagai sebuah kesempatan untuk
mengeksplorasi kehidupan. Episode ‘sendiri’ juga merupakan kesempatan untuk memupuk
ketaatan, sebagai bekal persiapan pulang. Ia bukanlah sebuah kutukan, sehingga dianggap
pantas sebagai cibiran. Bukan.
Tenang saja.. kalem.. santai.. semua sudah diatur. Diatur dengan sebaik-baiknya, dengan
setepat-tepatnya.
Tak perlu gelisah, khawatir jadi salah arah. Tak perlu buru-buru, khawatir jalan tempuhnya
keliru.
Jangan terbawa arus, meski di luar sana banyak sekali ‘kompor’ yang nyaris membuat
hangus. Santai saja. Lagipula mereka di luar sana belum tentu ikut bertanggungjawab apabila
diri salah niat. Kuatkan hati, sambil berbenah diri.
Tapi hati-hati. Jangan bersibuk memantaskan diri karena jodoh, bukan lagi karena Allah.
Sebab jika tujuannya demikian, sesungguhnya kita telah membatasi karunia Allah tanpa
sadar. Jika Allah ridha, karunia yang diberikan-Nya bisa jauh lebih luas dari itu. Berbenahlah
dengan ikhlas, demi menggapai kemuliaan dan kehidupan terbaik, dunia serta akhirat.
Andai pun kelak dipertemukan, berharap kecintaan kepadanya, tak lebih tinggi dari kecintaan
kepada-Nya. Sebab jika Allah tidak ridha, tentu tak sulit bagi-Nya mengambil kembali,
apapun yang kita rasa sudah dimiliki. Maka, undang keridhaan-Nya, dengan tetap
menempatkan Ilahi Rabbi.. di posisi tertinggi hati.
- Febrianti Almeera-
Ingin membahagiakan orang tua, itulah yang ada dalam benakku ketika kuterima lamarannya.
Betapa bakti pada orang tua, sungguh besar pahalanya. Sehingga ketika ia mendatangi orang
tuaku dan bisa meyakinkan ibuku maka aku pun tak kuasa mengatakan tidak. Andai ada cara
lain untuk menolaknya, tentu itu sudah kulakukan. Kuminta ia menunggu dua tahun lebih
karena aku ingin menuntaskan kuliahku, ia pun bersedia. Tak banyak laki-laki yang bersedia
apalagi ketika di luar sana banyak perempuan yang siap untuk menjadi istrinya. Tapi ia beda,
ia menungguku dengan setia.
Lulus Sarjana, aku mengulur waktu lagi. Aku ingin lanjut ke pasca sarjana. Itu hanyalah
siasatku agar dia mundur dan membatalkan pinangannya. Tapi ia dengan sabar mengiyakan
dan mau menantiku. Aku mati kutu. Tak bisa lagi mencari alasan. Genap dua tahun kuliahku
S2 selesai. Mau tidak mau pinangan yang dulu harus segera menjadi pernikahan. Aku pun
berulah lagi. Aku tak mau dibiayai olehnya, mulai dari mengundang penghulu hingga resepsi
kubayar dengan uang keringatku sendiri. Uang pemberiannya kutampik. Entahlah, mungkin
ibuku yang menerimanya. Tapi kupastikan ia tahu bahwa aku tak memakan sedikit pun uang
darinya.
Kupikir ego laki-lakinya terusik, tapi nyatanya tidak. Ia bersikap sabar dan wajar menghadapi
perilakuku. Meskipun bukan ini yang kumau, tapi pantang bagiku menangis di hari
pernikahan. Aku tetap tegar menerima tamu sambil terus mencari cara bagaimana lepas
darinya. Banyak persyaratan sebelum nikah kuajukan dan ia pun tak ada yang keberatan.
Termasuk syarat tak boleh melarangku bekerja dan tak boleh membatasi jam kerjaku, ia pun
mengiyakan. Termasuk ia tak boleh memaksaku untuk ‘melayaninya’ ketika aku tak
menginginkannya.
Upayaku untuk ‘menyakitinya’ berlanjut terus. Aku sempat menjalin kenangan lama dengan
seseorang dari masa lalu. Rasanya susah bagiku untuk melupakannya. Kami beberapa kali
janjian bertemu meskipun hanya untuk minum kopi bersama. Tak ada pegangan tangan, tak
ada hal-hal yang akan disesali bersama. Aku tahu bahwa ini salah, aku tahu ini dosa. Tapi aku
benar-banar tak kuasa menghindarinya. Ya...setan berjingkrak kesenangan. Dan aku larut
dalam buaiannya. Astaghfirullah.
Suamiku tahu, tapi ia memilih diam dalam sikapnya. Hingga di satu titik, aku ingin semua
kegilaan ini berakhir. Aku butuh penguat. Aku kontak teman lama sesama muslimah untuk
curhat. Aku butuh seseorang yang bisa mendengar. Aku juga butuh nasihat. Meskipun aku
tahu banyak soal hukum agama, tapi sepertinya kesadaranku perlu ‘digetok’ sedikit keras.
Aku pun menangis di hadapannya. Hal yang amat sangat tabu untuk kulakukan di depan
orang lain, yaitu berurai air mata. Tapi kali ini, aku benar-benar memerlukannya.
Benar saja, ia adalah sahabat yang bukan hanya bisa mendengar. Ia ‘membangunkanku’
dengan cukup keras. Bahkan eskpresi terkejutnya begitu jelas terlihat ketika tahu bahwa di
tahun kedua menjelang tiga tahun pernikahan, aku tak pernah ‘disentuh’ suamiku. Terlihat
jelas ia mengatur kata-kata untuk ‘menggetok’ kesadaranku dengan lembut tapi tegas dan
efektif. Ya...aku tak ingin keruwetan ini berlanjut karena perbuatanku. Aku pun tak ingin
membiarkan laki-laki baik itu, -yang begitu setia dan sabar meskipun aku bukan istri yang
baik- menunggu lagi.
Tidak mudah memang, tapi aku harus mau berubah. Aku lelah sendiri. Aku lelah dalam
pengabaian meskipun dia yang kuabaikan tak pernah lelah mencintaiku. Rasanya inilah
momen aku harus belajar mencintainya. Mencintainya dengan nama Allah karena ia dulu pun
menghalalkanku atas namaNya juga.
Bismillah. Selalu ada awal yang indah untuk hamba yang mau bertobat. Selalu ada cinta
meski tertatih untuk seseorang, yang telah begitu sabar dan setia tanpa pernah lelah. Ya...ia
tak pernah lelah mencintaiku meskipun harus menunggu berbilang tahun. Kini saatnya aku
meneladani cintanya dan membalas sebaik yang aku bisa. Insya Allah.
(voa-islam.com)
Pertama
Satu hal yang seringkali dilupakan oleh banyak wanita adalah bahwa kemuliaan wanita tidak
bergantung pada laki-laki yang mendampinginya.
Tahu darimana? Allah meletakkan nama dua wanita mulia dalam Al Quran, Maryam dan
Asiyah. Kita tahu, Maryam adalah wanita suci yang tidak memiliki suami, dan Asiyah adalah
istri dari manusia yang sangat durhaka, Firaun. Apakah status itu mengurangi kemuliaan
mereka? No!
Itulah mengapa, bagi wanita di zaman Rasulullah dulu, yang terpenting bukan mendapat
jodoh di dunia atau tidak, melainkan bagaimana memperoleh kemuliaan di sisi Allah.
Kedua
Bicara jodoh adalah bicara tentang hal yang jauh: akhirat, surga, ridha Allah, bukan semata-
mata dunia.
Ketiga
Jodoh itu sudah tertulis. Tidak akan tertukar. Yang kemudian menjadi ujian bagi kita adalah
bagaimana cara menjemputnya. Beda cara, beda rasa. Dan tentu saja, beda keberkahannya.
Keempat
Dalam hal rezeki, urusan kita adalah bekerja. Soal Allah mau meletakkan rezeki itu dimana,
itu terserah Allah. Begitupun jodoh, urusan kita adalah ikhtiar. Soal Allah mau
mempertemukan dimana, itu terserah Allah.
Kelima
Cara Allah memberi jodoh tergantung cara kita menjemputnya. Satu hal yang menjadi
catatan, bahwa secara umum yang baik untuk yang baik. Maka, mengupayakan kebaikan diri
adalah hal utama dalam ikhtiar menjemput jodoh.
Keenam
Dalam urusan jodoh, ta’aruf adalah proses seumur hidup. Rumus terpenting: jangan
berekspektasi berlebihan dan jangan merasa sudah sangat mengenal sehingga berhak
menafsirkan perilaku pasangan.
Ketujuh
Salah satu cara efektif mengenali calon pasangan yang baik adalah melihat interaksinya
dengan empat pihak, yakni Allah, ibunya, teman sebayanya, dan anak-anak.
Kedelapan
Seperti apa bentuk ikhtiar wanita?
1. Meminta kepada walinya, sebab merekalah yang punya kewajiban menikahkan.
2. Meminta bantuan perantara, misal guru, teman, dll. Tapi pastikan perantara ini tidak
memiliki kepentingan tertentu yang menyebabkannya tidak objektif.
3. Menawarkan diri secara langsung. Hal ini tidak dilarang oleh syariat.Bisa dilakukan
dengan menemuinya langsung (tentu saja dengan didampingi orang lain) atau melalui surat
dengan tulisan tangan. Konsekuensi satu: Ditolak. Tapi itu lebih baik daripada digantung.
Kesembilan
Bagaimana jika ada pria yang datang pada wanita, menyatakan rasa suka, tapi meminta
ditunggu dua atau tiga tahun lagi? Perlukah menunggu? Sabar itu memang tidak ada
batasnya. Tapi ada banyak pilihan sabar. Silakan pilih. Mau sabar menunggu, atau sabar
dalam merelakannya. Satu hal yang pasti, tidak ada jaminan dua tiga tahun lagi dia masih
hidup. Pun tidak ada jaminan kita bisa menuntut jika dia melanggar janjinya, kecuali dia mau
menuliskan janjinya dengan tinta hitam diatas kertas putih bermaterai.
Kesepuluh
Bagaimana jika ada pria yang jauh dari gambaran ideal seorang pangeran tapi shalih datang
melamar? Bolehkah ditolak?
"Tanyakan pada hatimu: Mana di antara semua faktor itu yang paling mungkin membawamu
dan keluargamu ke syurga."
#Untuk kerapian group, mohon pertanyaan hanya diajukan waktu jam perkuliahan di group,
pertanyaan yang belum terjawab di waktu perkuliahan akan kami tanggapi di lain waktu.
#Materi dan tanya jawab selama perkuliahan insyaAllah akan kami kumpulkan dan jadikan
ebook kemudian kami bagikan ke seluruh peserta KIPRAH Online
#Materi & tanya jawab boleh dishare setelah program KIPRAH ini selesai.
Bismillah...
Izinkan aku bicara dari hati seorang wanita, yang mungkin bisa mewakili suara saudari2ku,
para akhwat pada umumnya.
Proses ’ta’aruf’ merupakan suatu proses awal menuju proses selanjutnya, yaitu khitbah dan
akhirnya sebuah pernikahan. Memang tidak semua sukses sampe tahap itu. "Sang
Sutradaralah" yang mengatur. Semua adalah skenario dan rekayasaNya. Manusia hanya
berencana dan ikhtiar, keputusan tetap dalam genggamanNya. Tapi kita manusia juga diberi
pilihan. Hidup adalah pilihan. Mau baik atau buruk, mau surga atau neraka, mau sukses atau
gagal, semua adalah pilihan. Namun tetap Allah Yang Maha Menentukan.
Aku ingin titip pesan pada para ikhwan yang sdh memutuskan hendak melontarkan perkataan
’ta’aruf’ pada seorang akhwat;
Bagi para ikhwan, pikirkanlah baik-baik, matang-matang, dan masak-masak sebelum
menawarkan sebuah jalinan bernama ta’aruf. Jangan mudah melontarkannya jika tak ada
komitmen dan kesungguhan untuk meneruskannya. Mengertilah keadaan akhwat. Antum
tahu, bahwa sifat kaum hawa itu lebih sensitif. Akhwat mudah sekali terbawa perasaan.
Disadari atau tidak, diakui atau tidak, akhwat adalah makhluk yang kadang mudah sekali
GeEr, suka disanjung, suka diberi pujian apalagi diberi perhatian lebih.
Jadi saat kata ta’aruf atau mungkin khitbah itu keluar dari lisan seorang lelaki baik dan shalih
seperti antum, tak ada alasan bagi akhwat untuk menolak. Karena jika akhwat menolak tanpa
alasan yang jelas, maka hanya fitnah yang ada. Jadi, tolong tanyakan lagi pada diri antum,
apakah kata-kata itu memang keluar dari lubuk hati antum yang terdalam? Apakah antum
sudah memohon petunjuk kepada yang Maha Menguasai Hati? Apa antum benar-benar siap
Proses ’ta’aruf’ menuju pernikahan memerlukan sebuah rentang waktu tertentu. Bila
diibaratkan ta’aruf adalah pintu halaman ruman antum dan pernikahan adalah pintu rumah
antum, kemudian timbul pertanyaan, berapa jauhkah jarak pintu gerbang menuju pintu rumah
antum? padahal selama perjalanan akan banyak cobaan menghadang. Bunga-bunga indah di
halaman rumah antum bisa membuat akhwat terpesona. Kolam ikan yang indah juga
membuat akhwat terlena. Ingin sekali akhwat memetiknya, ingin sekali akhwat berlama-lama
di sana menikmati keindahan dan kenikmatan yang antum sajikan. Tapi tdk berhak, karena
belum mendapat izin dari si empunya rumah.
Akhwat ingin segera mencapai sebuah keberkahan, tapi di tengah jalan antum menyuguhkan
keindahan-keindahan yang membuat akhwat lupa akan tujuan semula. Lebih menyakitkan
lagi jika antum membuka gerbang itu lebar-lebar dan akhwatpun menyambut panggilan
antum dengan hati berbunga-bunga. Tapi setelah akhwat mendekat dan sampai di depan pintu
rumah antum, ternyata pintu rumah antum masih tertutup. Bahkan antum tak berniat
membukakannya. Saat itulah hati akhwat hancur berkeping-keping. Setelah semua harapan
terangkai, tapi kini semua runtuh tanpa sebuah kepastian. Atau mungkin antum akan
membukakannya, tapi kapan? Antum bilang jika saatnya tepat. Lalu antum membiarkan
akhwat menunggu di teras rumah antum dengan suguhan yang membuat akhwat kembali
terbuai, tanpa ada sebuah kejelasan. Jangan biarkan akhwat berlama-lama di halaman rumah
antum jika memang antum tak ingin atau belum siap membukakan pintu untuknya. Akhwat
akan segera pulang karena mungkin saja salah alamat. Siapa tahu rumah antum memang
bukan tempat berlabuhnya hati mereka. Ada rumah lain yang siap menjadi tempat bernaung
mereka dari teriknya matahari dan derasnya hujan di luar sana. Mereka tak ingin
mengkhianati calon suami mereka yang sebenarnya. Di istananya ia menunggu calon
bidadarinya. Menata istananya agar tampak indah. Sementara mereka berkunjung dan
berlama-lama di istana orang lain.
Akhi, sebelum ijab qobul itu keluar dari lisan antum, cinta adalah cobaan. Cinta itu akan
cenderung pada nafsu. Cinta itu akan cenderung untuk mengajak berbuat maksiat . Itu pasti!
Langkah-langkah syetan yang akan menuntunnya. Kita tentunya tdk mau memakai label
‘ta’aruf untuk membungkus suatu kemaksiatan bukan? Hati-hatilah dengan hubungan ta’aruf
yang menjelma menjadi TTM (Ta’aruf Tapi Mesra). Tolong hargai akhwat sebagai saudara
antum. Akhwat bukan kelinci percobaan. Akhwat punya perasaan yang tidak berhak antum
buat ’coba-coba’. Pikirkanlah kembali. Mintalah petunjukNya. Jika antum memang sudah
siap dan merasa mantap, segera jemput mereka.
Dan satu lagi yang perlu antum perhatikan adalah bagaimana cara antum menjemput.
Tentunya kita menginginkan kata ’berkah’ di awal, di tengah, sampai di ujung pernikahan
kan? Hanya ridho dan keberkahanNya lah yang menjadi tujuan. Pilihlah cara yang tepat dan
Semoga pesan ini bisa menjadi bahan renungan antum, para ikhwan, calon qowwam kami
(para akhwat) dalam mengarungi bahtera rumah tangga Islami yang akan melahirkan generasi
penyeru dan pembela agama Allah. Akhirnya aku minta maaf, afwan jiddan bila dalam pesan
ini ada hal-hal yg kurang ahsan..
[khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Ada yang bilang kalau wanita baik-baik akan mendapatkan jodoh baik-baik ?
Biasanya mereka menggunakan ayat Al-Qur’an An Nur ; 26 :
Padahal, ayat ini diturunkan untuk menunjukkan kesucian ‘Aisyah r.a. dan Shafwan bin al-
Mu’attal r.a. dari segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Pernah suatu ketika dalam
suatu perjalanan kembali dari ekspedisi penaklukan Bani Musthaliq, ‘Aisyah terpisah tanpa
sengaja dari rombongan karena mencari kalungnya yang hilang dan kemudian diantarkan
pulang oleh Shafwan yang juga tertinggal dari rombongan karena ada suatu keperluan.
Kemudian ‘Aisyah naik ke untanya dan dikawal oleh Shafwan menyusul rombongan
Rasullullah SAW. dan para shahabat, akan tetapi rombongan tidak tersusul dan akhirnya
mereka sampai di Madinah. Peristiwa ini akhirnya menjadi fitnah dikalangan umat muslim
kala itu karena terhasut oleh isu dari golongan Yahudi dan munafik jika telah terjadi apa-apa
antara ‘Aisyah dan Shafwan.
dan ayat ini bukanlah merupakan janji Allah kepada manusia yang baik akan ditakdirkan
dengan pasangan yangg baik. Sebaliknya ayat ini merupakan peringatan agar umat islam
memilih manusia yang baik untuk dijadikan pasangan hidup.
Karena kenyataannya banyak orang yang baik mendapatkan pasangan hidup yang tidak baik,
dan begitu pula sebaliknya. Hingga akhirnya, yang pada saat ini baik ketika mendapatkan
pasangan yang tidak baik, keimanannya akan berkurang jika tidak sanggup menahan godaan
yang sedang mendera, namun keimanan seorang yang baik tersebut bisa bertambah jika Allah
Ta'ala mengkehendakinya. bahkan pasangan yang tidak baik tersebut akhrinya bisa menjadi
orang yang baik. Alhamdulilah itu semua terjadi hanya atas kehendak Allah Subhanahu Wa
Ta’ala..
jika dilihat dari konteks ayat ini, ada dua penafsiran para ulama terhadap ayat ini yaitu
tentang arti kata “wanita yang baik” dan juga “ucapan yang baik”Sehingga dapat juga
diartikan sebagai begini
Perkara-perkara (ucapan)yang kotor adalah dari orang-orang yang kotor, dan orang-orang
yang kotor adalah untuk perkara-perkara yang kotor. Sedang perkara (ucapan)yang baik
adalah dari orang baik-baik, dan orang baik-baik menimbulkan perkara yang baik pula.
Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu).
Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Kata khabiitsat biasa dipakai untuk makna ucapan yang kotor(keji) ,juga kata thayyibaat
dalam Quran diartikan sebagai kalimat yang baik.Begitupun pada ayat ini berlaku bahwa kata
khabiitsat dan thayyibaat
Ayat 26 inilah penutup dari ayat wahyu membersihkan isteri Nabi, Aisyah dari tuduhan keji
itu. Di dalam ayat ini diberikan pedoman hidup bagi setiap orang yang beriman. Tuduhan keji
adalah perbuatan yang amat keji hanya akan timbul daripada orang yang keji pula.Memang
orang-¬orang yang kotorlah yang menimbulkan perbuatan kotor. Adapun ucapan-ucapan
yang baik adalah keluar dari orang-orang yang baik pula, dan memang¬lah orang baik yang
sanggup menciptakan perkara baik. Orang kotor tidak menghasilkan yang bersih, dan orang
baik tidaklah akan menghasilkan yang kotor,dan ini berlaku secara umum
Di akhir ayat 26 Tuhan menutup perkara tuduhan ini dengan ucapan bersih dari yang
dituduhkan yaitu bahwa sekalian orang yang difitnah itu adalah bersih belaka dari segala
tuduhan, mereka tidak bersalah samasekali. Maka makna ayat diatas juga sangat tepat bahwa
orang yang baik tidak akan menyebarkan fitnah,fitnah hanya keluar dari orang –orang yang
berhati dengki,kotor, tidak bersih.Orang yang baik,dia akan tetap bersih,karena kebersihan
hatinya
Pembahasan kedua yaitu tentang maksud ayat diatas yaitu “wanita yang baik” dan “wanita
yang keji”.Dalam hal ini terjemahan Depag menggunakan arti wanita yang baik dan
pemahaman ini berangkat dari para ulama yang menyatakan bahwa aisyah menrupakan
wanita yang baik-baik,karena konteks ayat tersebut turun satu paket yaitu ayat 11-26 dengan
ayat sebelumny tentang seseorang menuduh wanita yang baik-baik berzina.Maka jika
diartikan begitu sesuai dengan perntanyaan diatas
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah
untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki
yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka
ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Kedua Kalam yang bermaksud ingin menciptakan kondisi dan suasana. Kalam seperti ini bisa
ditemukan dalam quran. Seperti firman Allah QS. ali-Imran: 97: Barang siapa yang
memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Ayat itu kalau dipahami, bahwa Allah
sedang mengabarkan kondisi dan suasana kota Mekah sesuai kenyataan yang ada, maka tentu
tidak akan terjadi hal-hal yang bertolak belakang dengan kondisi itu. Akan tetapi, kalau ayat
itu dipahami, sebagai bentuk pengkondisian suasana, maka Allah sesungguhnya tengah
menyuruh manusia, untuk menciptakan kondisi aman di kota Mekah. Kalaupun kenyataan
banyak terjadi, bahwa kota Mekah kadang tidak aman, maka hal itu artinya, manusia tidak
mengejewantahkan perintah Allah.
Pemahaman yang sama juga bisa ditelaah pada ayat ini; Wanita-wanita yang keji adalah
untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah
untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. An-Nur: 26). Pada kenyataan yang terjadi,
ternyata, ada laki-laki yang baik mendapat isteri yang keji, begitupula sebaliknya. Maka
memahami ayat tersebut sebagai sebuah perintah, untuk menciptakan kondisi yang baik-baik
untuk yang baik-baik, adalah sebuah keharusan. Kalau tidak, maka kondisi terbalik malah
yang akan terjadi
Kalau kita bandingkan dengan Annur ayat 3 yang mana kalimat digunakan untuk umum
“laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik”(An Nur ayat 3)
Ayat tersebut bukanlah merupakan janji Allah kpd manusia yg baik akan ditakdirkan dgn
pasangan yg baik. Sebaliknya ayat tersebut merupakan peringatan agar umat islam memilih
manusia yg baik utk dijadikan pasangan hidup.Oleh karena itu nabi bersabda tentang anjuran
memilih pasangan yaitu lazimnya dengan 4 pertimbangan,dan terserah yang mana saja,namun
yang agamanya baik tentu sangat dianjurkan, hal ini sesuai dengan anjuran surat Annur ayat
26.
Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kita pasangan yang shalih / shalihah. Aamiin Yaa
Rabbal 'Aalamiin
Referensi:
Tafsir Al Azhar ,Hamka,Annur ayat 26
Tafsir Al Quranul Azhim,Ibnu Katsir
Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya,
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena
parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya
(keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Jika demikian, maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam memilih
pasangan.
2. Al Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud dengan sekufu adalah kesetaraan. Artinya ada kesetaraan dan kesamaan
antara calon suami dengan calon istri dalam hal-hal tertentu.
Kesetaraan yang disepakati ulama bahkan menyebabkan pernikahan tidak sah jika kesetaraan
ini tidak diperhatikan adalah kesetaraan dalam agama. Setara dalam agama artinya agama
calon suami dan istri itu sama. Seorang muslimah hanya setara dengan seorang muslim. Para
ulama sepakat bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, membolehkan kita untuk menjadikan faktor fisik
sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan. Karena paras yang cantik atau tampan,
juga keadaan fisik yang menarik lainnya dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu
faktor penunjang keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan
dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman dalam hati.
“Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu
sendiri agar kamu merasa tenteram denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri wanita
sholihah yang salah satunya,
Di antara hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak
jumlah kaum muslimin. Oleh karena itulah, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur,
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya
ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud)
Khusus bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu kriteria
yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan untuk memberi
nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah
menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah
termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Namun kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan utama. Jika
sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan
keluarganya kelak itu sudah mencukupi.
Selain itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun menjanjikan
kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah untuk
diberi rizki.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin,
Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)
Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)
Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka
hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan.
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan
Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari
pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban)
2. Menjaga auratnya
Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang
muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah Ta’ala
berfirman,
“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al
Ahzab: 59)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih
gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal
kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu
“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan
lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah)
Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar.
Seperti sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda karena ia
memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri yang pandai merawat
anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya (HR.
Bukhari-Muslim)
4. Nasab-nya baik
Dianjurkan kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu
tentang nasab (silsilah keturunan)-nya.
Alasannya, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan keimanan
seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi Islami biasanya
menjadi seorang wanita yang shalihah.
#Untuk kerapian group, mohon pertanyaan hanya diajukan waktu jam perkuliahan di group,
pertanyaan yang belum terjawab di waktu perkuliahan akan kami tanggapi di lain waktu.
#Materi dan tanya jawab selama perkuliahan insyaAllah akan kami kumpulkan dan jadikan
ebook kemudian kami bagikan ke seluruh peserta KIPRAH Online
#Materi & tanya jawab boleh dishare setelah program KIPRAH ini selesai.
Pertanyaan group 2W :
Assalamu'alaikum wrwb
saya mau tanya....bgmn cr memantaskan diri bagi seseorang yg sdh slah jalan maap seperti
misalnya dl pernah zina (trjebak seks bebas)..
kalo secara pribadi kita bs melakukan taubatan nasuha minta ampun kepada Allah ...tapi
bgmn dg pandangn masyarakat? tak smw orang bs menerima masa lalu kita yg pahit(aib)
syukron
wassalam
Jawaban :
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakaatuh
Dalam kasus ini, wanita tersebut wajib melakukan taubatan nasuha. Memperbanyak amal
shalih dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana dengan pandangan
masyarakat? Acuhkan saja, di situlah ujiannya. Biarlah Allah saja yang menilai. Bagaimana
masalah jodoh? InsyaAllah Allah akan mempertemukan dengan jodoh terbaik menurutNya.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Jawaban
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Jawaban :
Nazhor artinya melihat wanita yang hendak dilamar dan mengamatinya dengan saksama.
Dalam hal ini, memandang wanita bukan mahram yang hukum asalnya dilarang, menjadi
halal. Nabi n bersabda kepada seorang pria yang hendak menikahi seorang wanita,
َ َقَا َل ِإلَ ْي َها؟ أَن: َﻻ. قَا َل: ْظ ْرهَا فَاذْهَب
َظ ْرت ُ فَا ْن
“Sudahkah engkau melihatnya?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau n bersabda, “Pergilah dan
lihatlah dia!” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Sebaiknya, nazhor dilakukan sebelum lamaran agar pihak pria bisa mundur—ketika merasa
tidak cocok—tanpa menyakitinya. Namun, nazhor bisa juga dilakukan saat melamar atau
setelahnya.
Persyaratan Nazhor
Nazhor dilakukan dengan ditemani oleh mahram si wanita, tidak berkhalwat (menyendiri
berduaan dengan wanita yang bukan mahram).
Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut sebagaimana dalam sabda
beliau,
“Tidak boleh seorang pria berduaan dengan seorang wanita, dan tidak boleh seorang wanita
bepergian (safar) melainkan dengan mahramnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Jika dengan syahwat, hukumnya haram. Sebab, tujuan nazhor adalah untuk mengetahui
keadaan si wanita, bukan untuk bersenang-senang.
Nazhor dilakukan jika si lelaki memiliki persangkaan kuat bahwa lamarannya akan diterima.
Hendaknya si lelaki hanya melihat bagian tubuh wanita yang biasa tampak, seperti wajah,
leher, dua tangan, dan dua betis.
Adanya tekad dari si lelaki untuk melamar. Jika sekedar coba-coba, nazhor tidak
diperbolehkan.
Hendaknya si wanita tidak dinazhor dalam keadaan berdandan, berminyak wangi, bercelak,
atau jenis berhias yang lain, karena hal itu akan menimbulkan kejelekan.
Hal-hal di atas semestinya dilakukan oleh seorang wanita di depan suaminya. Selain itu, hal-
hal tersebut akan menjadi mafsadah baginya. Sebab, jika setelah menikah ternyata suami
tidak mendapati kecantikan yang pernah dipertontonkannya, suami bisa kecewa dan tidak
menyukainya. Akhirnya, penyesalan dan penderitaanlah yang akan dituainya.
Nazhor boleh dilakukan lebih dari sekali jika si pria belum mantap dengan nazhor pertama.
Namun, perlu tetap diingat, tujuannya bukan untuk bersenang-senang dan memuaskan hawa
nafsu. Selain itu, nazhor boleh dilakukan tanpa sepengetahuan si wanita, apabila hal ini aman
dari dampak yang jelek. Jika dia ingin mengetahui hal-hal yang lebih detail tentang si wanita,
dia bisa mengutus ibu atau saudarinya untuk meneliti keadaannya, seperti bau mulut, bau
badan, keindahan rambut, dan lain-lain. Sebaliknya, si wanita bisa meminta bantuan ayah
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalamu'alaikum. Ana màu bertanya. Jika ikhwan sudah mengeluarkan kalimat ta'aruf
kepada akhwat. Karena jarak yang jauh seperti kalimantan dân padang. Akhwat
menyampaikan bahwa ỉa akan menunggu ikhwan đi padang untuk melanjutkan proses taaruf
itu. Tapi ternyata ikhwan mengalami kekurangan dana yang awalnya ada tabungan ternyata
tabungan tersebut dipakai oleh pamannya. Apa yang harus kami lakukan dân sebagai akhwat
sikap apa yang harus saya ambil? Sebagai ikhwan sikap apa yang mesti diberikan kệ akhwat
tersebut. Mohon jawabannya ustad.
Sikap akhwat adalah bersabar menunggu jika memang sudah "mantap" dengan ikhwan
tersebut sebagai calon pendamping hidup. Sedangkan sikap ikhwan berusaha semaksimal
mungkin dengan cara-cara yang halal untuk menyegerakan menikahi akhwat tersebut.
Kalaupun belum bisa dalam waktu dekat namun ada pemberitahuan ke akhwat tersebut dan
ada komunikasi yang baik mengenai hal tersebut. Dalam beberapa kasus memang dibutuhkan
kesabaran dan komunikasi yang baik selama masa penantian tersebut. Terkadang ikhwan
mengalami masalah finansial yang membuatnya "menunda" untuk menyegerakan menikah.
Hal ini harus disikapi dengan bijak oleh akhwat calon istri. Disini diperlukan komunikasi
yang baik agar tidak timbul prasangka yang lain. Jangan sampai ikhwan tersebut hilang tanpa
kabar sehingga timbul ketidakpastian.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalamualaikum
Saya ingin bertanya, ketika ada seorang laki2 soleh, sdh siap menikah, dan mampu menafkahi
datang melamar perempuan
Namun orangtua perempuan blm bisa menjawab lamaran si laki2 soleh krn masih memiliki
kekhawatiran2 seperti, perempuan yg tinggal jauh krn beda kota dgn orang tua perempuan,
tinggal di kota yg kondisinya jauh berbeda dgn kota yg ditinggali si perempuan skrg,
bagaimana jika nanti kerepotan mengasuh anak krn ditinggal kerja dsb, apakah mertuanya
nanti mau dititipin utuk merawat anak, bahkan mensyaratkan boleh menikah tp setelah
mendapatkan pekerjaan di kota tpt tinggal suami, saking overprotective nya bahkan
Bagaimana cara meyakinkan orang tua si perempuan supaya ikhlas dan ridho untuk
menikahkan tanpa harus ada syarat yg tdk syar'i
Terimakasih
Wassalamualaikum
Jawaban :
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakaatuh
Sebenarnya maksud dari orangtua adalah demi kebaikan anaknya. Hal ini harus kita sikapi
dengan bijak. Bangun diskusi dan pembicaraan yang baik mengenai hal tersebut. Cari titik
temu yang bisa dikompromikan. Biasanya orangtua membutuhkan bukti bahwa anaknya bisa
mandiri. Bisakah ukhti membuktikan dan meyakinkan hal tersebut kepada orangtua? Hal
tersebut memerlukan komumikasi aktif dan intensif. Jika perlu libatkan pihak ketiga yang
disegani orangtua.
Perlu dicatat biasanya orangtua memerlukan bukti bahwa anaknya mampu mandiri.
Mampukah ukhti dan calon menunjukkan hal tersebut?
Orangtua biasanya juga akan melihat sejauh mana kegigihan ukhti dalam memperjuangkan
hal tersebut. Yang jelas ukhti jangan menyerah bila sudah mantap, tentu saja jangan lupa
senantiasa mengharap pertolonganNya.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Jika akhwat sedang menunggu dengan sabar dân ỉa sudah mantap dg ikhwan yang
mengajaknya untuk taaruf tersebut. Tiba2 ada yang menyodorkan dengan ikhwan lain yang
dekat dengan akhwat. Apakah tidak apa apa akhwat iTu menerima ikhwan kệ 2 tersebut?
Apa yang harus akhwat lakukan terhadap ikhwan yangon 1 dân jauh itu.
Ini pertanyaan lanjutan dari jawaban ustad yang pertama địatas. Kisah kalimantan dengan
padang.
Jawaban :
Secara syar'i diperbolehkan karena belum terjadi khitbah maka boleh akhwat tersebut proses
taaruf dengan ikhwan lain. Namun, hal ini harus difikirkan ulang karena ukhti sudah
memberikan harapan kepada ikhwan tersebut dan kalian sudah melewati proses yang tidak
mudah dalam mengarungi proses taaruf. Saran kami, kalau ukhti masih bisa bersabar
menunggunya maka tunggulah, kalaupun "terpaksa" tidak bisa karena sesuatu hal yang urgent
dan mendesak maka harus sabar merelakannya. Yang jelas ukhti harus memikirkan perasaan
ikhwan tersebut, kalaupun memutuskan sampaikan dengan kata-kata yang tidak baik.
Allahu A'lam
Pertanyaan ;
Aslkm ustadz, sya mau tnya. Apa kah laki laki yang kerja di bank konvensional itu gajinya
masih diragukan kehalalannya?
Jawaban :
Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan bahwa sistem ekonomi islam ditegakkan pada asas
memerangi riba dan menganggapnya sebagai dosa besar yang dapat menghapuskan berkah
dari individu dan masyarakat, bahkan dapat mendatangkan bencana di dunia dan akherat.
Hal ini telah disinyalir di dalam Al Qur’an dan As Sunnah serta telah disepakati oleh umat.
Cukuplah kiranya jika kita membaca firman Allah swt :
ي َما َوذَ ُرواْ ّ َ اتﱠقُواْ آ َمنُواْ الﱠذِينَ أَيﱡ َها يَا ّ ِ ﱡمؤْ ِمنِينَ ُكنتُم إِن
َ الربَا ِمنَ بَ ِق
ب فَأْذَنُواْ تَ ْف َعلُواْ لﱠ ْم فَﺈِن ُ ظلَ ُمونَ َوﻻَ ت َْظ ِل ُمونَ ﻻَ أ َ ْم َوا ِل ُك ْم ُرؤ
ُ ُوس فَلَ ُك ْم ت ُ ْبت ُ ْم َو ِإن َو َر
ٍ سو ِل ِه ّ ِ ِّمنَ ِب َح ْر ْ ُت
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
Sabda Rasulullah saw,”Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti mereka
telah menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah.” (HR. Hakim)
“Kalau penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu dalam membunuh seorang mukmin,
niscaya Allah akan membenamkan mereka dalam neraka.” (HR. Tirmidzi)
Ibnu Masud meriwayatkan,”Rasulullah saw melaknat orang yang makan riba dan yang
memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu
Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi), sementara itu didalam riwayat lain disebutkan :
“Orang yang makan riba, orang yang memberi makan dengan riba, dan dua orang saksinya—
jika mereka mengetahui hal itu—maka mereka dilaknat melalui lisan Nabi Muhammad saw
hingga hari kiamat.” (HR. An Nasa’i)
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalammualaikum ust., saya ingin bertanya, apabila ada seorang wanita didekati oleh dua
pria, pria pertama adalah pria yg lbh disukai sang wanita namun orang tua wanita tsb blm
menyetujui hubungan wanita tsb dgn pria pertama, pria kedua adlh pria yg lbh disukai orang
tua namun sang wanita blm sreg dgn pria tsb, dgn kondisi demikian, apa yg sebaiknya hrs
dilakukan wanita tsb?
Jawaban :
Setiap orangtua pastinya menginginkan kebaikan untuk anaknya. Apalagi masalah jodoh,
tentunya orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun yang perlu dicatat adalah dalam
Islam, orangtua tidak boleh memaksa anak untuk menikah dengan lelaki pilihan orangtua.
Anak punya hak untuk menolak atau menerima. Saran kami, bangun komunikasi dan dialog
intensif dengan orangtua mengenai hal tersebut. Cari titik temu yang bisa di kompromikan.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalammualaikum ustad, saya ingin bertanya, bagaimana cara menyakinkan diri bahwa org
yg meminang kita melalui taaruf adalah jodoh yg plg baik untuk kita?
Jawaban :
Kalau ikhwan tersebut memang baik agamanya, kita harus yakin dialah jodoh yang terbaik
menurut Allah untuk kita. Karena begitulah Allah dan RasulNya memberikan bimbingan
untuk memilih pendamping yang baik agamanya.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Jawaban :
Memilih jodoh adalah persoalan seumur hidup. Persoalan mengarungi gelombang kehidupan
dengan pasangan sampai ajal menjemput. Ketika asal memilih maka bukan "baiti jannati /
rumahku surgaku" yang diperoleh akan tetapi "baiti naari / rumahku nerakaku".
Bagaimana ketika sudah sampai level wajib? Kita tetap harus memilih yang baik agamanya
walaupun mungkin dari segi lainnya belum ideal. Bagaimana jika belum ada akhwat yang
baik agamanya? Maka pilihlah wanita yang bersedia taat pada suami, bagaimanapun, anda
sebagai lelaki punya kewajiban membimbing istri kelak. Disinilah peran anda sangat
dibutuhkan sebagai suami. Ada beberapa ikhwan yang kami kenal menikahi akhwat yang
masih kurang agamanya dan kurang ideal dalam beberapa hal akan tetapi karena tekad
ikhwan tersebut untuk membimbing istrinya dengan sabar maka istrinya berubah menjadi
wanita yang shalihah.
Allahu A'lam
Jawaban :
Sebelum kami menjawab, ada sebuah pertanyaan penting... Apakah menolak jodoh pilihan
orangtua termasuk kategori durhaka?
Tidak termasuk durhaka. Karena menikah itu murni hak anak. Orang tua tidak boleh
memaksa anaknya untuk menikah dengan seseorang yang tidak disukai anaknya. Dalilnya:
لها فقال قال تتزوج أن أبت قد ابنتي إن فقال سلم و عليه ﷲ ﺻلى النبي إلى له بابنة أتى رجﻼ أن الخدري سعيد أبي عن
أن زوجته على الزوج حق فقال قال مقالتها عليه فرددت زوجته على الزوج حق ما تخبرني حتى ﻻ فقالت قال أباك أطيعي
Dari Abu Said al-Khudri, bahwa ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan membawa putrinya. Orang ini mengatakan, “Putriku ini tidak mau menikah.”
Nabi memberi nasihat kepada wanita itu, “Taati bapakmu.” Wanita itu mengatakan, “Aku
tidak mau, sampai Anda menyampaikan kepadaku, apa kewajiban istri kepada suaminya.”
(merasa tidak segera mendapat jawaban, wanita ini pun mengulang-ulangi ucapannya).
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kewajiban istri kepada suaminya, andaikan di tubuh suaminya ada luka, kemudian istrinya
menjilatinya atau hidung suaminya mengeluarkan nanah atau darah, kemudian istrinya
menjilatinya, dia belum dianggap sempurna menunaikan haknya.”
Spontan wanita itu mengatakan: “Demi Allah, Dzat yang mengutus Anda dengan benar, saya
tidak akan nikah selamanya.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada ayahnya, “Jangan nikahkan
putrimu kecuali dengan kerelaannya.” (HR. Ibn Abi Syaibah no.17122)
Bahkan jika orang tua memaksa dan anak tidak ridha kemudian terjadi pernikahan, maka
status kelangsungan pernikahan dikembalikan kepada anaknya. Jika si anak bersedia,
pernikahan bisa dilanjutkan, dan jika tidak maka keduanya harus dipisahkan. Di antara
dalilnya adalah
كارهة وهي زوجها أباها أن فذكرت وسلم عليه ﷲ ﺻلى ﷲ رسول أتت بكراً جارية أن ” عنهما ﷲ رضي عباس ابن عن
, “ وسلم عليه ﷲ ﺻلى ﷲ رسول فخيرها
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau menceritakan, “Ada seorang gadis yang
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan bahwa ayahnya
menikahkannya sementara dia tidak suka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan hak pilih kepada wanita tersebut (untuk melanjutkan pernikahan atau pisah).”
(HR. Ahmad 1:273, Abu Daud no.2096, dan Ibn Majah no.1875)
Bagaimana agar tidak menyakiti orangtua? Tentu saja hal ini diperlukan ketrampilan
berkomunikasi. Pilih bahasa yang lembut dan waktu yang tepat.
Adapun hadits yang menyebutkan akan terjadi fitnah bila seorang wanita menolak lamaran
laki-laki yang shalih, tentu harus dipahami dengan lengkap dan jernih. Hadits itu bukan
dalam posisi untuk menetapkan bahwa sebuah lamaran dari laki-laki yang shalih itu haram
ditolak. Tidak demikian kandungan hukumnya.
Sebab kalau demikian, bagaimana dengan lamaran seorang laki-laki shalih kepada seorang
puteri raja atau pembesar, di mana kedua tidak sekufu atau memang tidak saling cocok satu
dengan yang lain? Apakah puteri raja itu berdosa bila menolak lamaran dari seorang yang
tidak disukainya?
Bahkan di dalam syariah Islam, seorang wanita yang sudah menikah namun merasa tidak
cocok dengan suaminya, masih punya hak untuk bercerai dari suaminya. Apa lagi baru
sekedar lamaran dari laki-laki yang sudah punya istri pula.
Dari Ibnu Abbas ra.: Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah SAW, ia
berkata: Wahai Rasulullah, Aku tidak mencelanya dalam hal akhlaknya maupun agamanya,
akan tetapi aku benci kekufuran dalam Islam. Maka Rasulullah SAW berkata padanya,
Apakah kamu mengembalikan pada suamimu kebunnya? Wanita itu menjawab, Ya. Maka
Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit, Terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah ia 1 kali
talak.
Agar tidak menjadi fitnah, tentu ada cara penolakan yang halus dan lembut, tanpa
menyinggung perasaan, namun si pelamar itu bisa menerima intisarinya, yaitu penolakan.
Sehingga fitnah yang dikawatirkan itu tidak perlu terjadi.
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
سو َل يَا قَالُوا ت ُ ْستَأْذَنَ َحتﱠى ْال ِب ْك ُر ت ُ ْن َك ُﺢ َو َﻻ ت ُ ْستَأ ْ َم َر َحتﱠى ْاﻷ َ ِّي ُم ت ُ ْن َك ُﺢ َﻻ َ ت َ ْس ُكتَ أ َ ْن قَا َل ِإذْنُ َها َو َكي
ُ ْف ﱠ ِ َر
“Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak
boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya,
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
ُﺻ َمات ُ َها َوإِذْنُ َها نَ ْف ِس َها فِي أَبُوهَا يَ ْست َأ ْ ِذنُ َها َو ْالبِ ْك ُر َو ِليِّ َها ِم ْن بِ َن ْف ِس َها أَ َح ﱡق الثﱠيِّب
ُ
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka
ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR.
Muslim no. 1421)
“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak
disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk mengadu)
maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no.
5138)
Al-Bukhari memberikan judul bab terhadap hadits ini, “Bab: Jika seorang lelaki menikahkan
putrinya sementara dia tidak senang, maka nikahnya tertolak (tidak sah).”
Penjelasan ringkas:
Di antara kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah datang Islam
adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran
atau pernikahan, yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman
jahiliah. Karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia
walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.
Karena menikahkan dia dengan lelaki yang tidak dia senangi berarti menimpakan kepadanya
kemudharatan baik mudharat duniawiah maupun mudharat diniah (keagamaan). Dan sungguh
Nabi shallallahu alaihi wasallam telah membatalkan pernikahan yang dipaksakan dan
Akan tetapi larangan memaksa ini bukan berarti si wali tidak punya andil sama sekali dalam
pemilihan calon suami wanita yang dia walikan. Karena bagaimanapun juga si wali biasanya
lebih pengalaman dan lebih dewasa daripada wanita tersebut. Karenanya si wali disyariatkan
untuk menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat dan izin dari wanita yang
bersangkutan sebelum menikahkannya. Tanda izin dari wanita yang sudah janda adalah
dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin dari wanita yang masih perawan cukup
dengan diamnya dia, karena biasanya perawan malu untuk mengungkapkan keinginannya.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalamualaikum...ustadz saya mau tanya, bagaimana cara mengatasi trauma atas kegagalan
dlm rmh tangga.
Jawaban :
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakaatuh
Banyak pernikahan yang karam di tengah jalan, entah karena merasakan ketidakcocokan,
adanya kekerasan dalam rumah tangga, campur tangan pihak ketiga, pengkhianatan, dan lain
sebagainya. Akan tetapi hanya karena pernah gagal, haruskah menutup diri dari kemungkinan
pernikahan lainnya?
Berikut ini beberapa alasan mengapa tidak perlu merasa takut untuk menikah lagi:
1. Menikah bisa lebih menjaga kehormatan dan akan selalu diberi pertolongan oleh Allah,
daripada terus-menerus sendirian
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda, “Tiga orang yang akan selalu diberi
pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah
Swt., seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah untuk
menjaga kehormatannya.” (HR. Thabrani)
Jika dengan menikah lagi bisa lebih menjaga kehormatan dan kemuliaan diri, serta dijamin
mendapatkan pertolongan dari Allah, mengapa enggan melakukannya?
http://bit.ly/1Pm2O2e
Pertanyaan :
Jawaban :
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakaatuh
Jika kita perhatikan hadis-hadis yang mensyariatkan adanya walimah, maka zahir hadis
menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab mengadakan walimah adalah mempelai pria
bukan istrinya dan bukan pula wali sang istri. Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pernikahan istri-istri beliau dan juga perintah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu untuk
mengadakan walimah atas pernikahannya dengan wanita Anshar. Ini menunjukkan bahwa,
pada asalnya, pengadaan walimah adalah tanggung jawab suami. Sebagian ulama
memberikan alasan sehingga tanggung jawab suami: karena sang suamilah yang
berkewajiban menafkahi istri, dan kewajiban nafkah ini mencakup pelaksanaan pesta
pernikahan keduanya. (Taudhihul Ahkam, 4:506).
Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh ditanya tentang walimah yang biayanya dari
keluarga pengantin wanita, apa landasannya? Beliau rahimahullah menjawab, “Mungkin
(diperbolehkan) karena keumuman (dalil), meskipun hukum asal walimah dilakukan oleh
pihak suami (pengantin pria).” (Kumpulan Fatwa dan Risalah Syekh Muhammad bin Ibrahim
Alu Syekh, 10:160)
Secara prinsip Islam mengatur bahwa walimah adalah ungkapan rasa syukur pernikahan
dengan menghidangkan makanan. Adapun tatacaranya disesuaikan dengan adat setempat
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Mau tanya apa aja tanda seseorang sudah mencukupkan diri buat menikah, dan apa saja fiqih
minimal yg harus d siapkan seorang calon suami buat di pelajari,syukron
Jawaban:
Kalau ada seorang pemuda yang ditanya "kapan mau nikah?", biasanya mereka menjawab
"nanti kalau sudah siap", atau "pengennya sih mapan dulu".
Padahal sebenarnya apa sih parameter kesiapan seseorang untuk menikah?? dan apa saja yang
harus kita siapkan?? Apakah harus nunggu sampai punya rumah ?? atau nunggu punya
banyak ilmu dulu?? atau harus nunggu sampai umur 28 tahun?? (dikira biar udah mateng)
Jawabannya tidak, karena itu semua tidak menjadi parameter kesiapan seorang untuk
menikah. Banyak yang belum punya apa-apa tapi berani menikah dan dia merasa siap, lalu
dengan izin Allah dia sukses dalam pernikahan dan Alhamdulillah bahagia. Trus ada juga
yang masih kuliah, untuk menjaga dirinya dari kemaksiatan yang ada dimana-mana, dia
putuskan untuk mencari wanita shalehah dan menikahinya. Dengan niat yang bagus itu, Allah
mudahkan jalannya, dan akhirnya dia bahagia dalam pernikahan.
Jadi apa saja yang harus kita siapkan untuk menikah??
Nah, itu semua adalah persiapan. Tapi kadar persiapan diatas tidak terbatas hanya untuk
mempersiapkan diri menghadapi pernikahan, selamanya harus diupayakan. Karena proses
persiapan tersebut hakikatnya juga sebagai proses perbaikan diri yang harus dilakukan
selamanya. Maksudnya, tidak berarti kalau kita merasa belum siap dalam salah satu poin
diatas atau lebih menjadikan kita belum pantas untuk menikah. Karena pencapaiannya
menjadi sangat relatif.
Dan parameter yang Rasul tetapkan sebenarnya sederhana sekali, Beliau bersabda yang
artinya :"Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu (baa-ah), maka
menikahlah! Karena pernikahan itu dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga
kehormatan 'farj'. Dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa. Karena puasa
adalah benteng yang kuat baginya." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Yaa, Rasul berikan parameter yaitu "baa-ah", yang ditafsirkan oleh jumhur 'Ulama dengan
makna kemampuan untuk berjima'/bersetubuh. Walaupun sebagian lain menafsirkannya
dengan kemampuan memberi nafkah dan memberikan tempat tinggal, tapi yang disepakati
adalah tafsiran yang pertama.
Jadi siapapun yang telah mampu untuk berjima', maka halal dan dianjurkan baginya untuk
menikah. Tentunya dengan komitmen, juga persiapan-persiapan tadi, dan keyakinan bahwa
Allah akan selalu menjadi penolongnya.
*satu jaminan dari Allah, "ada tiga golongan yang semuanya wajib bagi Alloh untuk
menolongnya. Pertama, seorang yang berjihad di jalan Allah. Kedua, seorang yang menikah
Allahu A'lam
Assalamu'alaykum..nama saya deby saya mau bertanya ustadz begini jika istri jihadnya di
rumah..apa boleh istri bekerja d luar rumah dengan niat membantu suami mrncari ekonomi
keluarga ?
Wassalam.
Jawaban :
Banyak wanita pada zaman sekarang lebih memilih untuk berada di luar rumah, alasannya
beragam ada dari mereka yang karena terpaksa, ada yang karena keadaan atau kebutuhan,
bekerja dan ada yang sebaliknya mereka senang berada di luar rumah.
Padahal Al Qur’an telah mengajarkan kepada para wanita untuk senantiasa tetap berada di
dalam rumahnya kecuali ada alasan atau keperluan mendesak yang diperbolehkan oleh
syariat dan mendapat izin keluarga atau suami bagi yang sudah menikah dengan
memperhatikan batasan-batasan seperti:
َص َﻼة َ َوأَقِ ْمنَ ْاﻷُولَى ْال َجا ِه ِليﱠ ِة تَبَ ﱡر َج تَبَ ﱠرجْ نَ َو َﻻ بُيُوتِ ُك ﱠن فِي َوقَ ْرن سولَهُ ﱠ َ َوأَ ِط ْعنَ ﱠ
الزكَاةَ َوآتِينَ ال ﱠ ُ َو َر
“..dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS: Al Ahzaab : 33).
Jika kita perhatikan secara seksama banyak fenomena yang sering kita lihat dan pemberitaan
negatif yang sering kita dengar menimpa kaum hawa, hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya
lebih banyak mudharat/efek negatif yang akan menimpa wanita jika bekerja di luar rumah
dibandingkan dengan manfaatnya, antara lain:
Bercampur dengan lelaki, berkenalan, bebas mengobrol dan bertatap muka dengan yang
diharamkan,
Memakai minyak wangi berlebihan, tak jarang banyak yang memperlihatkan aurat kepada
selain mahramnya, sehingga bisa menyeret pada kasus perselingkuhan dan perzinahan.
Kurang bisa melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik atau maksimal.
Keluar dari fitrahnya dengan meremehkan urusan rumah tangga yang seharusnya menjadi
bidangnya wanita.
Mengurangi hak-hak anak dalam banyak hal, sepert ; dalam kasih sayang, perhatian,
pendidikan agama dan lain sebagainya.
Membuat cepat lelah dan penat fisik serta pikiran sehingga bisa mempengaruhi jiwa serta
syaraf yang tidak sesuai dengan tabiat wanita.
Mengurangi makna hakiki tentang kepemimpinan suami dalam rumah tangga di hati wanita.
Hasratnya tertuju pada pekerjaan, sedangkan jiwa, pikiran dan perasaannya menjadi sibuk,
lupa dan bertambah jauh dari tugas-tugasnya yang alami, yaitu keharusan membina
kehidupan suami istri, mendidik anak-anak dan mengatur urusan rumah tangga.
“Dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas
kepemimpinannya.” (HR Al Bukhari )
Wanita boleh saja bekerja di luar rumah. Namun dengan syarat masih dalam koridor yang
dibolehkan oleh syariat. Yang jadi masalah adalah saat wanita ingin disamakan kewajibannya
seperti laki-laki bahkan melebihi kewajiban para lelaki, lebih menjadi masalah lagi jika kaum
wanita lebih senang berada di luar rumah karena kepuasan dan kesenangan pribadi.
Wanita tetaplah wanita dan janganlah melupakan kerajaan kecilnya, yaitu rumahnya, karena
disitulah letak fitrah bagi dirinya.
Diperbolehkan bagi wanita untuk bekerja akan tetapi harus dengan ketentuan atau syarat-
syarat yang harus diperhatikan dan dipenuhi, seperti :
Allahu A'lam
Assalamualaikum Ustd ana mau bertanya. Istri yang menyenangkan itu seperti apa? Dalam
berias atau dalam penampilan yang enak di pandangnya Kah?
Jawaban:
1.Menarik
Sudah menjadi fitrah manusia yaitu suka dengan hal-hal yang indah. Keindahan membuat
hati tenang dan nyaman. Begitupun dengan kita dan pasangan kita. Seorang suami suka jika
melihat penampilan diri yang menyenangkan pada diri istrinya, begitu pula sebaliknya.
Sebuah hadis menggambarkan kehidupan orang-orang sholeh dari zaman dahulu. Seperti
yang digambarkan dalam hadis berikut, dapat kita lihat bagaimana suami menyenangi istri
yang menjaga penampilan dan memakai wangi-wangian.
Ibnu Abbas berkata “Sesungguhnya saya suka berhias untuk istri, sebagaimana saya suka istri
berhias untuk saya”. Hadis lain turut memperkuat hal ini yaitu,’’Suatu ketika Muhammad bin
al-Hanafiah keluar dengan berpakaian rapi dan memberi wangi-wangian pada jenggotnya
maka tatkala Yahya bin abdurrohman menanyakan hal itu ia menjawab sesungguhnya mereka
(wanita) menyenangi apa yang kita senangi dari mereka.“
Wahai muslimah, jika lelaki di zaman dulu saja punya ekspektasi seperti itu kepada istrinya,
bagaimana pula di zaman sekarang? Dimana pemandangan akan wanita berpakaian menarik
dan minim dengan aroma wangi-wangian mudah sekali dijumpai di luar sana.
Bagaimana engkau membentengi hati suamimu jika yang terpandang di luar sana itu lebih
menarik, lebih wangi dari yang seharusnya dia dapat secara halal di rumah? Well, kita bisa
saja percaya bahwa si dia yang kau sayangi akan berusaha memalingkan muka dan
menundukkan pandangan dari semua itu karena takut dosa.
Namun hey, dia juga manusia biasa, laki-laki normal yang mungkin saja dapat tergoda
melihat pemandangan menarik di luar sana itu. Hare gini gitu lho...
Ingin tampil cantik di hadapan lawan jenis, sepertinya memang sudah menjadi kesenangan
tersendiri bagi wanita pada umumnya. Namun sayangnya, hal ini kadang dilupakan jika di
rumah atau di hadapan suami tercinta. Di rumah istri merasa tidak begitu perlu untuk tampil
dengan dandanan yang cantik dan memikat. Hal ini salah sama sekali. Tidak demikian yang
diajarkan oleh agama kita.
Justru di hadapan suamilah seharusnya kita bergaya ya Sahabat Ummi. Bukan di hadapan
lelaki lain. Di depan suami pakailah model baju apa saja yang disenangi suami karena tidak
ada batasan aurat antara suami dan istri. Berdandanlah yang memikat dengan aroma parfum
yang harum. Semoga ikhtiar ini akan menjaga dan memagari suami dari maksiat.
Dalam hal menarik ini, tidak hanya ditekankan pada penampilan diri tetapi juga pada tempat
tinggal. Upayakan agar rumah selalu bersih dan tertata dengan baik. Bila perlu tingkatkan
pengetahuan tentang skill pemeliharaan rumah dan tata letak barang-barang di rumah kita.
Ciptakan suasana rumah yang menjadikan suami betah berada di dalamnya.
Untuk membuat penampilan lebih menarik tidak harus dengan wajah yang cantik, demikian
juga untuk membuat rumah bersih dan rapih tidak harus dengan harga yang mahal. Insya
Allah semuanya bisa dilaksanakan dengan mudah asal ada keinginan dan keikhlasan untuk
mencari ridha Allah. Bukankah segala sesuatu yang baik itu akan bernilai ibadah bila
diniatkan hanya untuk Allah?.
2.Memahami
Bagi penulis kuncinya adalah komunikasi yang baik dan terbuka. Istri yang baik akan
berusaha memahami setiap masalah yang dibicarakan dengan menjadi pendengar yang baik.
Jika menyampaikan pendapat memlilih ucapan yang baik dengan tutur kata yang enak
didengar serta sedapat mungkin menghindari pembicaraan yang tidak disukai oleh suami.
Suami adalah belahan jiwa bagi istrinya, begitu pula sebaliknya. Keduanya siap berbagi suka
dan duka bersama dalam menjalani kehidupan pernikahan demi meraih tujuan yang diridhai
Allah Swt. Demikianlah sehingga istri harus siap menjadi sahabat, belahan jiwa, dan tempat
curahan hati suaminya.
Islam telah menjadikan istri sebagai tempat yang penuh ketenteraman bagi suaminya. Allah
Swt. berfirman: “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian
istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya“.
(QS ar-Rum [30]: 21)
Maka istri yang baik adalah yang dapat membuat suaminya merasa tentram dan damai jika
berada disisinya. Mampu membuat suaminya selalu rindu dan mendapat semangat baru jika
berdekatan dengannya, demikian pula sebaliknya.
Untuk menjamin teraihnya ketenangan dan ketenteraman tersebut, Islam telah menetapkan
serangkaian aturan tentang hak dan kewajiban suami-istri. Jika seluruh hak dan kewajiban itu
dijalankan secara benar, terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah
suatu keniscayaan.
’’Tidak ada iman bagi orang yang tidak bisa memegang amanah dan tidak ada agama bagi
orang yang tidak bisa dipegang janjinya.“ (HR. Ahmad)
Demikian juga dalam peran kita sebagai istri. Istri harus mampu menjaga diri dan amanah
yang dipercayakan oleh suami kepadanya.
Beberapa hal dalam penjagaan diri dan harta suami yang perlu diperhatikan oleh istri
sholehah adalah menjaga diri dari segala hubungan yang diharamkan, menjaga rahasia
keluarga, menjaga rumah dan merawat anak-anak, menjaga segala harta bendanya, tidak
keluar rumah tanpa izin suami dan tanpa mengenakan hijab (jilbab) yang rapih, menolak
kehadiran orang-orang yang tidak disenangi suami dan lain sebagainya yang telah disepakati
berdua.
5.Mendoakan
Setelah segala ikhtiar di atas dilakukan jangan lupa sertai dengan doa. Insya Allah usaha jika
disertai dengan doa ikhlas dari seorang istri akan mendapat keberkahan. Suami menjadi
senang dan keluarga pun jadi bahagia.
Allahu A'lam
Pertanyaan :
Assalamu'alaykum...
Afwan ustadz, mau tanya klo misalnya orang tua ingin menunda pernikahan anak hnya krn
mempersiapkan walimah yg besar"n sampai hbs puluhan juta. Bagaimana hukumnya dlm
kacamata Islam?
Jazakillah.
Jawaban :
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan peristiwa bersejarah dalam
hidup seseorang. Bagi para pengantin baru, pernikahan adalah awal kisah untuk merajut cinta
kasih dan membuka gerbang hidup baru guna membentuk generasi penerus. Maka tidak
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh shahibul hajah agar pesta
yang dilaksanakan tidak kehilangan esensinya atau tidak melampaui batas-batas syari’at.
Pertama, pelaksanaan walimah tidak perlu berhari-hari. “Kalau bisa dilaksanakan secara
singkat dan hemat, kenapa harus lama-lama dan boros”. Dalam sebuah hadits disebutkan:
”Walimah hari pertama adalah benar, hari kedua ma’ruf, dan hari ketika riya’ dan sum’ah”
(HR. Imam Turmudzi)
Hadits nabi ini ingin mengungkapkan kenyataan di masyarakat bahwa pelaksanaan walimah
yang berhari-hari pasti didasarkan pada riya’ dan sum’ah, sehingga perlu dihindari. Kekayaan
yang berlimpah ruah dan tingginya status sosial di masyarakat bukanlah alasan untuk
melakukan pesta pernikahan secara mewah dan berhari-hari. Di samping itu, perayaan
berhari-hari hanya akan menimbulkan israf karena makin banyak biaya yang akan
dihabiskan. Padahal para ulama mewanti-wanti agar jangan terlalu berlebihan karena hanya
akan menimbulkan mubāhah (bangga diri) dan isrāf (berlebihan) yang secara jelas dilarang
dalam Islam.
Adapun menunda-nunda pernikahan hanya dikarenakan ingin membuat walimah besar-
besaran apalagi ingin berbangga maka hal tersebut menyalahi syar'i.
Allahu A'lam
Dalam Islam, masalah seks bukanlah masalah yang tabu untuk dibicarakan. Islam adalah
agama fitrah yang sangat memperhatikan masalah seksualitas karena ini adalah kebutuhan
setiap manusia, sebagaimana firman Allah swt,”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat
Ayat diatas menunjukkan betapa Islam memandang seks sebagai sesuatu yang moderat
sebagaimana karakteristik dari Islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas begitu saja sehingga
manusia bisa berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak diperketat sedemikian rupa sehingga
menjadi suatu pekerjaan yang membosankan.
Hubungan seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain merupakan puncak
keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan kasih sayang diantara mereka
berdua maka ia juga termasuk ibadah disisi Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah
saw,”..dan bersetubuh dengan istri juga sedekah. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah
jika diantara kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat pahala?’
Beliau menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa?, maka
demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan
pahala.” (HR. Muslim)
Sebagai salah satu tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim –menurut Islam– termasuk
salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dan mengandung nilai pahala yang sangat besar.
Karena jima’ (hubungan intim) dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah
untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.
Selain itu jima’ yang halal juga merupakan ibadah yang berpahala besar. Rasulullah
Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.”
Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan
berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan
berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah tangga
harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan
sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan
ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan
keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh
akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.
Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua
hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil
hukumnya wajib. Yang dimaksud faragh yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh
kedua belah pihak, yakni suami dan istri.
Mengapa wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai
tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah. Ketidakpuasan salah satu pihak
dalam jima’ (hubungan seks), jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan
mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip
dasar Islam, la dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya
mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib.
Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada dalam
batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan menggunakan dalih meraih
kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks menyimpang, seperti sodomi (liwath) yang
secara medis telah terbukti berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks
(mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap terjadi.
Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqih “ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun”
(sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib), mengenal
dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga hukumnya
wajib.Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima’ sudah
mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan kaum hawa’
yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah
diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.
Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau
pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan
akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.
Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah
Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Beliau bersabda,
“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia
terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-
Tirmidzi).
Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau
tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang dapat saling
mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).
Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur yang
menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik berciuman yang baik,
maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan dipakai berciuman. Karena bisa
jadi, bukannya menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan
semangat dan hasrat pasangan.
Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat
pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih
kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan
kepada selain istrinya.
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi
pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk
kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu
Taymiyyah berpendapat.
Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya
yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari:
“Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya,
termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam
bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan
ulama lainnya.”
Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang
berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri
diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan,
“Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena
desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada
seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi
pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru
berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”
Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi
bersetubuh. Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk
mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur
syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji (kemaluan),
bukan yang lainnya.
“Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian
kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
Diantara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah oral seks, yaitu adanya
kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah) pasangannya. Tentunya ada bermacam-
macam oral seks ini, dari mulai menyentuh, mencium hingga menelan kemaluan
pasangannya kedalam mulutnya.
Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’
dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai tubuh
dan jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat
diantara para ulama kami, karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal
yang demikian. (Bada’iush Shona’i juz VI hal 157 – 159, Maktabah Syamilah)
Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah didalam berjima’
diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya hingga
kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan
(istrinya) akan menjadi buta adalah hadits munkar tidak ada landasannya. (asy Syarhul Kabir
Lisy Syeikh ad Durdir juz II hal 215, Maktabah Syamilah)
Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk saling melihat seluruh tubuh dari
pasangannya serta menyentuhnya hingga kemaluannya sebagaimana diriwayatkan dari Bahz
bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya,’Wahai Rasulullah aurat-aurat
kami mana yang tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda,’Jagalah aurat kamu
kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits
Hasan Shohih.”) Karena kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan
disentuhnya seperti bagian tubuh yang lainnya.
Dan dimakruhkan untuk melihat kemaluannya sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah
yang berkata,”Aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah saw.” (HR. Ibnu Majah) dalam
lafazh yang lain, Aisyah menyebutkan : Aku tidak melihat kemaluan Rasulullah saw dan
beliau saw tidak memperlihatkannya kepadaku.”
Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk dihadapan suaminya,
di dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya mengenakan pakaian tipis,
Imam Ahmad mengatakan,”Tidak mengapa.” (al Mughni juz XV hal 79, maktabah Syamilah)
Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini, menurut Prof DR Ali Al
Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ Al Azhar) boleh dilakukan oleh
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan
berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat,
hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan
ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki
adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi
berpenapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks) adalah haram
dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para ulama telah bersepakat
bahwa madzi adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut
maka akan dapat menyebabkan penyakit.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan
berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat,
hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan
ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki
adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak
menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan
hal yang demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar kewajaran dalam
berhubungan).
Diantara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah oral seks, yaitu adanya
kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah) pasangannya. Tentunya ada bermacam-
macam oral seks ini, dari mulai menyentuh, mencium hingga menelan kemaluan
pasangannya kedalam mulutnya.
Hal yang tidak bisa dihindari ketika seorang ingin melakukan oral seks terhadap pasangannya
adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini para ulama dari
madzhab yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk melihat seluruh tubuh
istrinya hingga kemaluannya karena kemaluan adalah pusat kenikmatan. Akan tetapi setiap
dari mereka berdua dimakruhkan melihat kemaluan pasangannya terlebih lagi bagian
dalamnya tanpa suatu keperluan, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah yang
mengatakan,”Aku tidak pernah melihat kemaluannya saw dan beliau saw tidak pernah
memperlihatkannya kepadaku.” (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2650)
Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah didalam berjima’
diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya hingga
kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan
(istrinya) akan menjadi buta adalah hadits munkar tidak ada landasannya. (asy Syarhul Kabir
Lisy Syeikh ad Durdir juz II hal 215, Maktabah Syamilah)
Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk saling melihat seluruh tubuh dari
pasangannya serta menyentuhnya hingga kemaluannya sebagaimana diriwayatkan dari Bahz
bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya,’Wahai Rasulullah aurat-aurat
kami mana yang tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda,’Jagalah aurat kamu
kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits
Hasan Shohih.”) Karena kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan
disentuhnya seperti bagian tubuh yang lainnya.
Dan dimakruhkan untuk melihat kemaluannya sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah
yang berkata,”Aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah saw.” (HR. Ibnu Majah) dalam
lafazh yang lain, Aisyah menyebutkan : Aku tidak melihat kemaluan Rasulullah saw dan
beliau saw tidak memperlihatkannya kepadaku.”
Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk dihadapan suaminya,
di dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya mengenakan pakaian tipis,
Imam Ahmad mengatakan,”Tidak mengapa.” (al Mughni juz XV hal 79, maktabah Syamilah)
Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini, menurut Prof DR Ali Al
Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ Al Azhar) boleh dilakukan oleh
pasangan suami istri selama hal itu memang dibutuhkan untuk menghadirkan kepuasan
mereka berdua dalam berhubungan. Terlebih lagi jika hanya dengan itu ia merasakan
kepuasan ketimbang ia terjatuh didalam perzinahan.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan
berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat,
hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan
ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki
adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi
berpenapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks) adalah haram
dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para ulama telah bersepakat
bahwa madzi adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut
maka akan dapat menyebabkan penyakit.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan
berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat,
hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan
ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki
adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak
menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan
hal yang demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar kewajaran dalam
berhubungan).
Hingga saat ini, banyak Muslim yang beranggapan bahwa ketika suami istri berjima, mereka
harus menutupi tubuhnya alias tidak diperbolehkan tanpa busana. Umumnya, anggapan ini
dilandasi oleh dua hadits berikut ini.
Pertama, hadits riwayat Ibnu Majah. Jika seseorang diantara kalian hendak mendatangi
istrinya, maka hendaklah menutupi tubuhnya, dan janganlah bertelanjang bulat seperti
telanjangnya dua khimar.
Kedua, hadits riwayat Tirmidzi. Janganlah kalian bertelanjang, sebab sungguh bersama kalian
ada makhluk yang tak pernah berpisah...
Bagaimanakah duduk persoalan yang sebenarnya dan bagaimana kedudukan dua hadits
tersebut? Salim A. Fillah di dalam bukunya Bahagianya Merayakan Cinta menjelaskan
bahwa hadits pertama (yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah) adalah dhaif. Dalam sanadnya
terdapat Al Ahwash bin Hakim dan Walid bin Al Qasim Al Hamdani, keduanya dhaif.
Bahkan, An Nasai memberi catatan: hadits ini mungkar.
Sedangkan hadits kedua (riwayat Tirmidzi), sesungguhnya tidak bisa dijadikan alasan suami
istri harus menutup tubuhnya dengan selimut atau semisalnya saat berjima dikarenakan malu
dengan makhluk lain yang disebutkan dalam hadits tersebut. Padahal, di dalam hadits itu
Janganlah kalian bertelanjang, sebab sungguh bersama kalian ada makhluk yang tak pernah
berpisah kecuali di saat kalian membung hadats di jamban dan ketika seorang suami
mendatangi istrinya (HR. Tirmidzi).
Salim A. Fillah kemudian menutup penjelasannya dengan kalimat berikut: Allah tidak
menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya, bahkan Ia menghendaki kemudahan bagi mereka.
Ketika seorang hamba bersama istrinya telah menutup diri dari pandangan manusia di dalam
satu bilik di rumahnya, maka Allah tidak lagi membebani mereka dengan hal yang
menyulitkan dan memberatkan seperti memakai selimut. Karena bisa jadi selimut akan
mengganggu jika hendak berekspresi dan berkreasi. Padahal yang demikian adalah hak yang
Allah berikan pada mereka berdua untuk meraih kemuliaan di sisi-Nya.
Sebelum berjima' (berhubungan intim) pertama, sangat disukai untuk memperindah diri
masing-masing dengan berhias, memakai wewangian, serta bersiwak.
Berdasarkan sebuah hadits dari Asma’ binti Yasid radhiyallaahu ‘anha ia menuturkan, “Aku
merias Aisyah untuk Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam. Setelah selesai, aku pun
memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun duduk di sisi Aisyah.
Kemudian diberikan kepada beliau segelas susu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
meminum susu tersebut dan menyerahkannya pada Aisyah. Aisyah menundukkan kepalanya
karena malu. Maka segeralah aku menyuruhnya untuk mengambil gelas tersebut dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [HR Ahmad, sanad hadits ini dikuatkan oleh Al-
Allamah Al-Muhadits Al-Albani dalam Adabul Zifaf].
Adapun disunnahkannya bersiwak, karena adab yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa beliau selalu bersiwak setiap hendak masuk rumah sebagaimana
disebutkan oleh Aisyah radhiyallaahu ‘anha dalam Shahih Muslim. Selain itu akan sangat
baik pula jika disertai dengan mempercantik kamar pengantin sehingga menjadi sempurnalah
sebab-sebab yang memunculkan kecintaan dan suasana romantis pada saat itu.
َعلَ ْي ِه َجبَ ْلتَ َها َما َوش ِ َّر ش ِ َّرهَا ِم ْن بِﻚَ َوأَع ُْوذُ َعلَ ْي ِه َجبَ ْلتَ َها َما َو َخي ِْر َخي ِْرهَا ِم ْن أ َ ْسأَلُﻚَ إِنِّي اللّه ﱠم
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya (istri) dan kebaikan
tabiatnya, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan tabiatnya.”[HR.
Bukhari dari sahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiyallaahu 'anhu].
Disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan shalat dua rakaat bersama-sama. Syaikh Al
Albani dalam Adabuz Zifaf menyebutkan dua atsar yang salah satunya diriwayatkan oleh
Abu Bakr Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf dari sahabat Abu Sa’id, bekat budak
sahabat Abu Usaid, beliau mengisahkan bahwa semasa masih menjadi budak ia pernah
melangsungkan pernikahan. Ia mengundang beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, diantaranya Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr, dan Hudzaifah.
Abu Sa’id mengatakan, “Mereka pun membimbingku, mengatakan, ‘Apabila istrimu masuk
menemuimu maka shalatlah dua rakaat. Mintalah perlindungan kepada Allah dan
berlindunglah kepada-Nya dari kejelekan istrimu. Setelah itu urusannya terserah engkau dan
istrimu. “Dalam riwayat Atsar yang lain Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu
mengatakan, perintahkan isrtimu shalat dibelakangmu.”
Ketika menjumpai istri, hendaknya seorang suami berprilaku santun kepada istrinya semisal
dengan memberikan segelas minuman atau yang lainnya sebagimana dalam hadits di atas,
bisa juga dengan menyerahkan maharnya. Selain itu hendaknya si suami untuk bertutur kata
yang lembut yang menggambarkan kebahagiaannya atas pernikahan ini. Sehingga hilanglah
perasaan cemas, takut, atau asing yang menghinggapi hati istrinya. Dengan kelembutan
dalam ucapan dan perbuatan akan bersemi keakraban da keharmonisan di antara keduanya.
Apabila seorang suami ingin menggauli istrinya, janganlah ia terburu-buru sampai keadaan
istrinya benar-benar siap, baik secara fisik, maupun secara psikis, yaitu istri sudah
sepenuhnya menerima keberadaan suami sebagai bagian dari dirinya, bukan orang lain.
Begitu pula ketika suami telah menyelesaikan hajatnya, jangan pula dirinya terburu-buru
meninggalkan istrinya sampai terpenuhi hajat istrinya. Artinya, seorang suami harus
memperhatikan keadaan, perasaan, dan keinginan istri. Kebahagian yang hendak ia raih, ia
upayakan pula bisa dirasakan oleh istrinya.
Bagi suami yang akan menjima’i istri hanya diperbolehkan ketika istri tidak dalam keadaan
haid dan pada tempatnya saja, yaitu kemaluan. Adapun arah dan caranya terserah yang dia
sukai. Allah berfirman yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah,
“Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhi (tidak menjima’i)
Ingat, diharamkan melalui dubur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang
artinya, “Barang siapa yang menggauli istrinya ketika sedang haid atau melalui duburnya,
maka ia telah kufur dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad.” [HR. Abu Dawud, At-
Tirmidzi, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu
Dawud]. Kata ‘kufur’ dalam hadits ini menunjukkan betapa besarnya dosa orang yang
melakukan hal ini. Meskipun, kata para ulama, ‘kufur’ yang dimaksud dalam hadits ini
adalah kufur kecil yang belum mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Telah kita ketahui bersama bahwa syaitan selalu menyertai, mengintai untuk berusaha
menjerumuskan Bani Adam dalam setiap keadaan. Begitu pula saat jima’, kecuali apabila dia
senantiasa berdzikir kepada Allah. Maka hendaknya berdo’a sebelum melakukan jima’ agar
hal tersebut menjadi sebab kebaikan dan keberkahan. Do’a yang diajarkan adalah:
“Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaithan dan jauhkanlah syaithan dari
apa yang Engkau karuniakan kepada kami.”[HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat
Abdullah bin Abbas radhiyallaahu 'anhu]. Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa
seandainya Allah mengkaruniakan anak, maka syaithan tidak akan bisa memudharati anak
tersebut. Al Qadhi menjelaskan maksudnya adalah syaithan tidak akan bisa merasukinya.
Sebagaimana dinukilkan dari Al Minhaj.
Diperbolehkan bagi suami dan istri untuk saling melihat aurat satu sama lain. Diperbolehkan
pula mandi bersama. Dari Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Aku pernah mandi bersama
Rasulullah dalam satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub.” [HR. Al Bukhari dan
Muslim.]
Diwajibkan bagi suami istri yang telah bersenggama untuk mandi apabila hendak shalat.
Waktu mandi boleh ketika sebelum tidur atau setelah tidur. Namun apabila dalam
mengakhirkan mandi maka disunnahkan terlebih dahulu wudhu sebelum tidur. Berdasarkan
hadits Abdullah bin Qais, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah, ‘Apa yang
Tidak boleh menyebarkan rahasia ranjang, kecuali untuk beberapa hal yang menuntut hal
tersebut dilakukan semisal untuk konsultasi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
yang artinya, “Sesungguhnya diantara manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah
pada hari kiamat adalah laki-laki yang mendatangi istrinya dan istrinya memberikan
kepuasan kepadanya, kemudian ia menyebarkan rahasianya.” [HR. Muslim dari sahabat Abu
Sa’id Al Khudri radhiyallaahu 'anhu]
Dari poin-poin yang telah dijelaskan nampaklah betapa agungnya kesempurnaan syariat
Islam dalam mengatur semua sisi kehidupan ini. Sehingga pada setiap gerak hamba ada nilai
ibadah yang bisa direngkuh pahalanya. Tidak sekedar aktivitas rutin tanpa faedah, tak semua
pemenuhan kebutuhan tanpa hikmah. Oleh sebab itu tak ada yang sia-sia dalam mengikuti
aturan Ilahi dan meneladani sunnah Nabi. Semuanya memiliki makna serta mengandung
kemaslahatan, karena datangnya dari Allah Dzat Yang Maha Tinggi Ilmu-Nya lagi Maha
sempurna Hikmah-Nya. Maka dari itu syariat yang Allah turunkan selaras dengan fitrah
hamba-Nya sebagai manusia, sebagimana disyariatkan pernikahan.
Kesempurnaan syariat Islam ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Allah terhadap
hamba-Nya melebihi perhatian hamba terhadap dirinya sendiri. Oleh karenanya, hendaklah
setiap hamba tetap berada di atas fitrah tersebut di atas agama allah agar dirinya selalu berada
di atas jalan yang lurus, “(Tetaplah di atas fitrah) yang Allahtelah menciptakan manusia
menurut fitrah itu.” [QS. Ar Rum: 30].
Allahu a’lam.
Afwan saya mau tanya... bagaimna jika mreka menikah dgn proses taaruf sama sekali gk
mengenal 1 sm lain. Setelah menikah dan melakukan hub. Mungkin mreka brdua masih
sangat canggung... jika hari pertama si isteri belum siap. Bagaimna ustad.. sdgkan yg saya
tau. Jika isteri menolak. Maka allah membecinya sampai esok harinya... mohon
penjelasannya
Jawaban:
Hal ini wajar dan bisa dimaklumi karena masih dalam tahap adaptasi. Dalam banyak kasus
ikhwan akhwat dalam malam pertama juga begitu. Biasanya baru terjadi hubungan intim di
malam kedua atau ketiga. Disinilah dituntut peran besar suami untuk memberikan suasana
nyaman dan hangat bagi istrinya. Kalaupun tidak terjadi hubungan intim hal ini merupakan
Allahu A'lam
Assalamualaikum, saya ingin bertanya bagaimanakah hukum masturbasi bagi wanita (onani,
bagi laki2) dalam Islam?
Terimakasih
Jawaban :
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakatuh
Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama
dalam permasalahan onani :
1. Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram.
Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt telah
memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan
budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu
kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang
melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan beralih kepada
apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman Allah swt
Artinya : “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui
batas.” (QS. Al Mukminun : 5 – 7)
2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-
keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani
menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga
didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka
3. Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila
dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya
sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah,
jadi onani tidaklah masalah.
4. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa didalamnya karena
seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma
seluruh ulama… sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman
Allah swt
Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119)
Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal
sebagaimana firman-Nya :
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al
Baqoroh : 29)
5. Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan Atho’.
Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan
bukanlah prilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah berbincang-
bincang tentang onani maka ada sebagian mereka yang memakruhkannya dan sebagian
lainnya membolehkannya.
6. Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian ulama tabi’in
yang masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam
peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para
pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani
seorang wanita sama dengan hukum onani seorang laki-laki. (Fiqhus Sunnah juz III hal 424 –
426)
Dari pendapat-pendapat para ulama diatas tidak ada dari mereka yang secara tegas
menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama
mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk kedalam muqoddimah zina (pendahuluan
zina), firman Allah swt
Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang
keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32).
Imam Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang batasan dosa besar jika
dibedakan dengan dosa kecil :
Dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang Allah akhiri
dengan neraka, kemurkaan, laknat atau adzab, demikian pula pendapat Imam al Hasan
Bashri.
Para ulama yang lainnya mengatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang diancam Allah swt
dengan neraka atau hadd di dunia.
Abu Hamid al Ghozali didalam “al Basiith” mengatakan bahwa batasan menyeluruh dalam
hal dosa besar adalah segala kemaksiatan yang dilakukan seseorang tanpa ada perasaan takut
dan penyesalan, seperti orang yang menyepelekan suatu dosa sehingga menjadi kebiasaan.
Setiap penyepelean dan peremehan suatu dosa maka ia termasuk kedalam dosa besar.
Asy Syeikhul Imam Abu ‘Amr bin Sholah didalam “al Fatawa al Kabiroh” menyebutkan
bahwa setiap dosa yang besar atau berat maka bisa dikatakan bahwa itu adalah dosa besar.
Adapun diantara tanda-tanda dosa besar adalah wajib atasnya hadd, diancam dengan siksa
neraka dan sejensnya sebagaimana disebutkan didalam Al Qur’an maupun Sunnah. Para
pelakunya pun disifatkan dengan fasiq berdasarkan nash, dilaknat sebagaimana Allah swt
melaknat orang yang merubah batas-batas tanah. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz II
hal 113)
Dari beberapa definisi dan tanda-tanda dosa besar maka perbuatan onani tidaklah termasuk
kedalam dosa besar selama tidak dilakukan secara terus menerus atau menjadi suatu
kebiasaan.
Hendaknya seorang muslim tidak berfikir kecilnya dosa suatu kemasiatan yang dilakukannya
akan tetapi terhadap siapa dia bermaksiat, tentunya terhadap Allah swt yang Maha Besar lagi
Maha Mulia.
Allahu A'lam
Asslm. Saya mau tanya, klo tes kesehatan scra menyeluruh (general medical check up) sprti
cek hiv dll agar tau kondisi fisik kita dan siapa tau ada potensi penyakit yg timbul setelah
nikah wajibkah?
Jawaban:
Hal ini menjadi pro dan kontra, pihak yang kontra menyatakan bahwa ini berarti tidak
percaya kepada pasangan dan bisa membuat retak hubungan jika ternyata didapatkan bahwa
calon pasangannya tidak sehat atau mandul, kemudian tidak jadi menikah. Pihak yang pro
menyatakan bahwa hal ini sebaiknya dilakukan daripada terjadi penyesalan di kemudian hari.
Berikut penjelasan ulama mengenai hal ini.
Apa hukum melakukan pemeriksaan kesehatan bagi calon suami-istri sebelum menikah?
Beliau menjawab,
ج: على يؤثر مما داخلي مرض من خيف إذا بذلﻚ بأس ﻻ،والطمأنينة الحياة واستقرار الزوجين راحة من ويمنع الصحة
، مرض أو ﺻرع أو مس أحدهما في كان فربما فيها، أو بلهارسيا أو سكر أو كربو سهل ولو مزمن،وهكذا روماتيزم
وعدم العقم مرض،اﻷمراض هذه فيه توجد ﻻ به هما الذي والمجتمع والبيﺌة السﻼمة الزوجين ظاهر كان إذا لكن اﻹنجاب
، من لكل طبي فحص إلى حاجة فﻼ خوف وﻻ مرض ﻻ أنه فاﻷﺻل ونحوها،من وخيف قرائن قامت إذا لكن الزوجين
ونزاع خﻼف العقد بعد يحصل ﻻ حتى ذلﻚ لزم الكشف اﻷولياء أو الزوجين أحد وطلب خفي مرض وجود
Tidak mengapa jika dikhawatirkan terdapat penyakit di dalam tubuh yang bisa berpengaruh
terhadap kesehatan, yang bisa mencegah dari bahagianya kedua pasutri dan mengganggu
keharmonisan dan ketenangan dalam rumah tangga. Bisa jadi pada salah satu dari keduanya
ada penyakit psikologi, epilepsi atau penyakit kronis. walaupun penyakit yang (awalnyaa)
masih ringan juga seperti asma, diabetes, schistomiasis dan reumatik. Demikian juga penyakit
mandul dan tidak produktif.
Akan tetapi jika penampilan fisik (dzahir) kedua calon sehat dan jelas, kemudian masyarakat
tempat keduanya tinggal tidak didapatkan penyakit-penyakit ini maka hukum asalnya tidak
ada penyakit dan tidak ada yang dikhawatirkan sehingga tidak perlu memeriksa kesehatan
setiap calon mempelai. Akan tetapi jika terdapat indikasi dan dikhawatirkan adanya penyakit
yang masih samar. Kemudian salah satu calon pengantin atau salah satu wali meminta
pemeriksaan kesehatan maka harus dilakukan agar tidak terjadi pertentangan dan perdebatan
setelahnya.
هذه يدقق وإﻻ لدينها المرأة الرجل يتزوج وأن، حسن على بناءاً التدقيقات، الظن وحسن المتوكل، عليه كان بما واقتداءا ً با
فهذا اﻷولون،فعل فلو وراثية أمراض على وقرائن وإشارات أمارات وجود عند سيما ﻻ الفحص يعمل أراد لو لكن حسن
القوانين بعض في سن قد كما ﻻزما ً الفحص هذا يجعل أن أراه الذي الحرج لكن حرج هذا في أرى فﻼ
Seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita karena agamanya tanpa mengecek secara
detail keadaan fisik dirinya, didasarkan pada baiknya rasa tawakal dan baiknya prasangka
kepada Allah, dan mencontoh generasi pertama Islam, maka hal ini adalah baik.
Akan tetapi jika ia berkeinginan untuk mengecek kesehatan, terutama sekali jika terdapat
tanda-tanda, petunjuk dan indikasi bahwasannya wanita tersebut kemungkinan mempunyai
penyakit turunan, seandainya dilakukan maka saya tidak melihat ada masalah dalam hal ini
(tidak mengapa dilakukan pemeriksaan cek kesehatan). Namun yang jadi masalah dalam
kesimpulan:
الزواج قبل الطبي الفحص يجوز، العائلة في وراثية أمراض بوجود الظن غلبة عند ويتأكد
Allahu A'lam
ust ... saya mw nanya...gimana tata cara mndi mandi wajib yg benar?kalau mandi wajibnya
tengah malam...kan dingin
Jawaban:
Mulailah dengan niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar. Niat ini membedakan
mandi wajib dengan mandi biasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Semua amal tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia
niatkan” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
َ ي أ َ ﱠن َعا ِئ
شةَ َع ْن ﺻلﱠى النﱠ ِب ﱠ
َ ُ سلﱠ َم َع َل ْي ِه ﱠ َ َ س َل فَ َبدَأَ ْال َجنَا َب ِة ِم ْن ا ْغت
َ س َل َو َ َثَ َﻼثًا َكفﱠ ْي ِه فَغ
“Dari Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mandi karena junub, maka beliau
memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya tiga kali…” (HR. Muslim)
3. Mencuci kemaluan
Cuci dan bersihkan dari mani dan kotoran yang ada padanya serta sekitarnya
4. Berwudhu
Masukkan telapak tangan ke air, atau ambillah air dengan kedua telapak tangan (jika
memakai shower), lalu gosokkan ke kulit kepala, lantas siramlah kepala tiga kali.
Pastikan seluruh anggota tubuh tersiram air dan dibersihkan, termasuk lipatan atau bagian-
bagian yang tersembunyi seperti ketiak dan sela jari kaki.
شةَ َع ْن
َ ي ِ زَ ْوجِ َعا ِئّ ﺻلﱠى النﱠ ِب َ ُ سلﱠ َم َعلَ ْي ِه ﱠ َ ي أ َ ﱠن َو
ﺻلﱠى النﱠ ِب ﱠ َ ُ سلﱠ َم َعلَ ْي ِه ﱠ
َ س َل ِإذَا َكانَ َو َ َ س َل َبدَأ َ ْال َجنَا َب ِة ِم ْن ا ْغت
َ َث ُ ﱠم َيدَ ْي ِه فَغ
ُ ص َﻼةِ يَت ََوضﱠأ ُ َك َما يَت ََوضﱠأﺻا ِب َعهُ يُد ِْخ ُل ث ُ ﱠم ِلل ﱠَ َ اء فِي أ ِ ﺻو َل ِب َها فَيُ َخ ِلّ ُل ْال َم ُ
ُ صبﱡ ث ُ ﱠم َش َع ِر ِه أ
ُ َث َرأ ِس ِه َعلَى ي ْ َ غ َرفٍ ثَ َﻼ ُ ث ُ ﱠم ِبيَدَ ْي ِه
يض ْ َ ْ ّ
ُ ُك ِل ِه ِجل ِد ِه َعلى ال َما َء يُ ِف
Dari Aisyah dia berkata, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi karena
junub, maka beliau memulainya dengan membasuh kedua tangan. Beliau menuangkan air
dengan tangan kanan ke atas tangan kiri, kemudian membasuh kemaluan dan berwudhu
dengan wudhu untuk shalat. Kemudian beliau menyiram rambut sambil memasukkan jari ke
pangkal rambut hingga rata. Setelah selesai, beliau membasuh kepala sebanyak tiga kali, lalu
beliau membasuh seluruh tubuh dan akhirnya membasuh kedua kaki.” (HR. Muslim)
Demikian tata cara mandi junub sesuai tuntunan Rasulullah. Meskipun rukunnya hanya dua,
yakni niat dan membasuh semua permukaan kulit serta rambut, hal-hal lainnya adalah
sunnah. Yang jika kita mengamalkannya, insya-Allah bukan hanya kita suci dari hadats
besar, tetapi juga mendapatkan pahala karena mengikuti sunnah yang diajarkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allahu A'lam
Kalo solat ber2 yg dimaksud solat ap ya? Niatnya bagaimana? Apakah dikeraskan
alfatihahnya? Apaakah ada surat pendek yg disunnahkan? Jazakallah
Jawaban:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika pada suatu hari kamu menikah, maka
hendaklah pertama kali yang harus ditegakkan bersama adalah taat kepada Allah.” (Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir VII:209/1-2 dari Salman dan dari Ibnu ‘Abbas).
Salah satunya adalah shalat sunnah dua raka’at di malam pertama pengantin baru
Bagaimanakah hukumnya?
Syaikh Al Albani mengatakan dianjurkan bagi keduanya (suami isteri) agar melaksanakan
shalat dua raka’at bersama, karena hal ini pernah dinukil dari salaf. Terdapat dua atsar yaitu:
Pertama, Dari Abu Sa’aid mantan budak Abu Usaid, beliau mengatakan,
Aku menikah dalam keadaan aku masih seorang budak, maka aku mengundang di hari
pernikahanku sejumlah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya ada Ibnu
Mas’ud, Abu Dzar dan Hudzaifah. Abu Sa’id berkata: para sahabat radhiyallahu ‘anhum
memberitahukanku dan mereka berkata,
ركعتين عليﻚ فصل أهلﻚ عليﻚ أدخل إذا، عليﻚ دخل ما خير من تعالى ﷲ سل ثم، شره من به وتعوذ، وشأن شأنﻚ ثم
أهلﻚ
“Jika kamu masuk menemui istrimu maka shalatlah dua raka’at, kemudian mohonlah kepada
Allah kebaikan yang dimasukkan kepadamu, berlindunglah kepada Allah dari keburukannya,
kemudian setelah itu terserah urusanmu dan istrimu.” (HR. Ibnu Abu Syuaibah dalam Al
Mushannaf, 3/401. Dan ‘Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, 6/191. Syaikh Al Albani
rahimahullahu berkomentar sanadnya shahih hingga Abu Sa’id dan beliau tertutupi
periwayatannya).
Kedua, dari Syaqiq ia menceritakan, ada seorang laki-laki mendatangi ‘Abdullah bin Mas’ud,
namanya Abu Jarir, ia mengadukan, ‘Aku menikahi seorang gadis belia yang masih perawan,
aku takut pada akhirnya ia akan membenciku.’ Kemudian ‘Abdullah memberi nasehat,
ﷲ من اﻹلف إن، الشيطان من والفرك، لكم ﷲ أحل ما إليكم يكره أن يريد، ركعتين وراءك تصلي أن فمرها أتتﻚ فﺈذا
“Sesungguhnya keharmonisan itu datangnya dari Allah dan benci itu datangnya dari setan.
Setan ingin membuat kalian benci apa yang Allah halalkan bagi kalian. Karena itu, jika
istrimu mendatangimu maka perintahkanlah ia agar shalat dua raka’at di belakangmu.” (Adab
Az Zifaaf, hal 94-98).
جهة من عليه يعتمد خبر فيها ليس ولكن الدخول قبل ركعتين ﺻﻼة الصحابة بعض عن اﻵثار بعض ذلﻚ في يروى
، فﻼ يفعل لم وإن بأس فﻼ السلف بعض فعل كما ركعتين ﺻلى فﺈذا الصحة، هذا في واﻷمر بأس،هذا في أعلم وﻻ واسع
ًعليها يعتمد ﺻحيحة سنة.
Syaikh bin Baz rahimahullahu pun pernah ditanya mengenai perkara ini. Syaikh bin Baz
rahimahullahu berpendapat, shalat sunnah dua raka’at sebelum melakukan hubungan badan
- Tata cara salat dua rakaat ketika malam pertama sama dengan tata cara salat biasa. Niatnya
adalah shalat sunnah
- Suami menjadi imam bagi istrinya.
- Bacaan salat boleh dikeraskan.
- Tidak ada anjuran untuk membaca surat atau ayat tertentu.
- Tidak ada doa khusus, selain doa di atas dan dibaca setelah salat.
Allahu A'lam
Assalamualaikum,,, mau bertaxa : 1. Q pernah bc buku tntang klainan sex, dimana seorang
suami yg menyakiti istrinya seperti memukul dan mencambuknya sampai keluar darah
dengan begitu si suami menjadi teransang, nah bagaimana hukumnya klo sperti itu? Apakah
trmasuk zolim? Tapi hanya dg begitu dy bisa teransang 2. Bagaimana hukumnya apabila
meminum air mani suami???. 3. Apa niat solat sunat sebelum melakukan jima'
Jawaban:
1. Dalam berhubungan intim suami tidak boleh menyakiti istri begitu juga sebaliknya. Dalam
Islam, sudah mengatur masalah ini dan tidak boleh menghalalkan segala cara untuk kepuasan
seksual apalagi menyakiti pasangan, hal ini termasuk kedzaliman. Dalam kasus tersebut,
suami mengalami kelainan seksual sehingga wajib menjalani terapi sampai sembuh.
2. Menurut pendapat yang kuat tidak boleh menelan atau meminum sperma karena beberapa
alasan berikut:
Kedua: Mani termasuk sesuatu mustakhbats (menjijikkan), sehingga ulama yang mengatakan
mani itu suci pun berpendapat tidak boleh menelannya, karena firman Allah:
َ ِ ْال َخبَائ.اﻷعراف:157
ث َعلَ ْي ِه ُم َويُ َح ِ ّر ُم
وجهان فيه الطاهر؟ المني أكل يحل هل: مستخبث ﻷنه يحل ﻻ أنه المشهور الصحيﺢ
“Bolehkah menelan mani yang suci? Ada 2 pendapat, dan yang benar dan masyhur
bahwasanya itu tidak halal karena mustakhbats (menjijikkan)” (Al-Majmu’ 2/575)
Ketiga: Sebagian ahli kesehatan mengatakan bahwa secara kedokteran ternyata perbuatan ini
apabila dilakukan berulang-ulang akan membahayakan karena air mani yang hidup tersebut
bisa melukai dinding lambung sehingga mengakibatkan pendarahan di lambung.
3. Niatnya adalah shalat sunnah dan hanya dilakukan di malam pertama pengantin.
Allahu A'lam
assalamualaikum
apabila suami hyper seks. apakah hyperseks itu merupakan kelainan atau bukan. bgmn kalau
suami minta berhubungan setiap hari?sebenarnya dlm islam ada anjuran tdk sebaiknya
berhubungan dilakukan brp kali dlm seminggu?
kalau suami minta variasi berhubungan suami istri tdk dilakukan di kamar saja. misal di
ruang tamu, dll. itu bgmn?
Tingginya intensitas seseorang dalam melakukan hubungan seksual tidak selalu dapat
dikategorikan HiperSeks atau Kelainan Seksual, sebagai contoh adalah pasangan suami istri
yang terpisah jauh dalam waktu lama, kondisi seperti itu dapat membuat frekuensi bercinta
yang dirasakan oleh pasangan suami istri tersebut meninggi, sehingga hasrat atau keinginan
untuk melakukan aktivitas hubungan seksual menjadi tinggi. HiperSeks atau kelainan seksual
dapat diderita oleh semua kalangan, baik pria maupun wanita.
Satyriasis adalah sebutan HiperSeks yang diderita oleh kaum pria, hal ini terjadi akibat
kelainan yang disebabkan Faktor Fisik maupun Faktor Psikis. Peradangan yang terjadi
disaluran kemih merupakan Faktor Fisik yang mengakibatkan seorang pria mengalami
kelainan gangguan seksual. Akibat dari peradangan yang terjadi disaluran kemih tersebut,
menimbulkan rangsangan yang mengakibatkan seorang pria terkesan haus untuk melakukan
hubungan seksual. Bagi suami yang merasa mengalami hal seperti ini, sesegeralah melakukan
upaya pengobatan. Karena dikuatirkan peradangan tersebut akan meluas menjadi peradagan
di buah zakar yang mengakibatkan tubuh tidak dapat memproduksi hormon testosteron
dengan baik.
Sementara HiperSeks atau kelainan seksual yang disebabkan oleh Faktor Psikis adalah
seringkalinya muncul ketidaknyamanan dalam diri seorang pria yang menyebabkan
kebutuhan akan kedekatan dengan pasangan semakin meningkat. Misal, seorang pria kuatir
tidak mendapatkan perhatian dari pasangannya akibat kekurangan yang dimiliki, untuk
menutupi kekurangan pada dirinya. Lantas, ia mencoba berusaha untuk membuktikan
keperkasaannya diatas tempat tidur sebagai wujud kelebihan yang ia miliki.
Sedangkan HiperSeks atau kelainan seksual yang dialami oleh wanita disebut juga dengan
Nymphomania. Bebeda dengan pria, HiperSeks yang dialami oleh wanita sepenuhnya
disebabkan oleh Faktor Psikis.
HiperSeks yang dialami oleh kaum wanita seringkali disebabkan oleh penyimpangan selama
masa pertumbuhan dari usia balita sampai remaja. Kekerasan dalam rumah tangga yang
sering dialami oleh Ibu, seringkali sang ayah berbuat kasar terhadapa ibu merupakan kejadian
yang dapat dijadikan sebagai contoh penyebab HiperSeks atau kelainan seksual pada wanita.
Berbekal dari pengalaman buruk tersebut yang menjadikan pemicu penyebab HiperSeks atau
kelainan seksual pada wanita. Ketika ia tumbuh dewasa, ia berusaha mencari pendamping
yang lebih baik dari ayahnya. Namun, dalam pencariannya ia tidak berhasil menemukan
Kondisi seperti ini mengakibatkan gejala ataupun dampak buruk bagi wanita yang menderita
HiperSeks atau kelainan seksual. Jika wanita sudah masuk dalam pergaulan banyak orang
dan mengenal hubungan seks serta kebiasaan bergonta-ganti pasangan, hal ini akan
mengakibatkan kecanduan seks sama halnya dengan merokok.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَ ْه ِل ِه إِلَى فَ ْليَقُ ْم ت ُ ْع ِجبُهُ ا ْم َرأَةً َرأَى َر ُج ٍل أَيﱡ َما، َم َع َها الﱠذِى ِمثْ َل َم َع َها فَﺈ ِ ﱠن
“Jika seorang lelaki melihat wanita cantik yang menarik hatinya, hendaknya dia segera
mendatangi istrinya. Karena apa yang ada di istrinya sama seperti yang ada di wanita itu.”
(HR. Ad-Darimi 2270 dan dishahihkan Husain Salim Asad).
Karena alasan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hubungan badan yang
dilakukan pasangan suami istri, sebagai amal soleh yang bernilai sedekah. Sebagaimana
ketika itu disalurkan dengan cara yang haram, bisa bernilai dosa.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ضعَ َها لَ ْو أَ َرأَ ْيت ُ ْم َ أَجْ ٌر لَهُ َكانَ ْال َحﻼَ ِل فِى َو
َ ضعَ َها إِذَا فَ َكذَلِﻚَ ِو ْز ٌر فِي َها َعلَ ْي ِه أ َ َكانَ َح َر ٍام فِى َو
“Bukankah jika kalian salurkan dengan cara yang haram, kalian mendapatkan dosa?. Seperti
itu pula ketika kalian salurkan dengan cara yang halal, kalian akan mendapatkan pahala.”
(HR. Muslim 2376).
Berdasarkan hadis ini, Imam an-Nawawi menyatakan bahwa menyalurkan syahwat jimak
merupakan syahwat yang disukai para nabi dan orang soleh. An-Nawawi menyebutkan
beberapa alasan untuk itu,
Beliau mengatakan,
الصالحون و اﻷنبياء أحبها شهوة الجماع شهوة أن اعلم, الدنيوية و الدينية لﺢ المصا من فيها لما قالوا, البصر غض من و,
الزنا عن الشهوة كسر و, القيامة يوم إلى اﻷمة به تكثر و الدنيا عمارة به تتم الذي النسل حصول و. قالوا: الشهوات سائر و
القلب تعاطيهم يقسي, القلب ترقق فﺈنها هذه إﻻ
“Sadari bahwa syahwat jimak adalah syahwat yang disukai para nabi dan orang-orang shalih.
Mereka menjelaskan, karena dalam jima terdapat berbagai mashalat agama dan dunia, seperti
menundukkan pandangan, meredam syahwat dari zina, mendapatkan keturunan, sehingga
dunia semakin makmur, dan memperbanyak jumlah umat islam sampai kiamat. Mereka juga
menjelaskan, semua syahwat bisa mengeraskan hati jika disalurkan kecuali syahwat ini.
Karena syahwat ini bisa melembutkan hati.” (Syarh Arbain an-Nawawi, hlm. 76. Penjelasan
hadis ke-25)
Kuat dalam hubungan badan, menjadi kelebihan tersendiri bagi lelaki. Hanya saja tidak
disarankan untuk dilakukan terlalu sering, yang itu bisa menyebabkan fisiknya lemah.
Bahkan sebagian ulama yang ahli dalam pengobatan ala arab, menyebutkan bahwa terlalu
sering jimak, menyebabkan penuaan dini.
حار المني ومزاج، لﻸعضاء المغذي الدم من ﻷنه رطب، لشدة إﻻ إخراجه ينبغي ﻻ ولهذا اﻷﺻلية،منه اﻹكثار فﺈن الشهوة
الحرارة يطفئ، الحرارة ويشعل الغريزية، ويسقط الغريبة، المعدة ويضعف القوة، ويسيء والكبد، ويفسد الهضم،الدم
والذبول الهرم إليها ويسرع اﻷﺻلية اﻷعضاء ويجف
Mani adalah campuran zat panas dan basah. Karena mani bersumber dari darah bersih yang
mengirim nutrisi makanan ke seluruh anggota badan. Karena itu, tidak selayaknya
dikeluarkan kecuali ketika di puncak syahwat. Karena terlalu sering mengeluarkan mani,
akan memadamkan instink panas di badan, dan menyulut panas dari luar. Serta menurunkan
kekuatan, melemahkan lambung dan liver. Mengganggu pencernaan dan merusak darah.
Membuat anggota badan layu, sehingg cepat tua. (al-Adab as-Syar’iyah, 2/385)
Selama ini tidak membahayakan dirinya atau suaminya, istri wajib memenuhi ajakan
suaminya. Karena ini bagian dari hak suami yang wajib ditunaikan istrinya. Menolak tanpa
alasan, bisa bernilai dosa besar.
Jadikan keadaan ini sebagai kesempatan bagi istri untuk mendulang pahala. Hadirkan
perasaan bahwa dia sedang menunaikan kewajibannya. Sehingga dia tunaikan hajat suaminya
juga dengan semangat. Tentu saja tetap menjalani terapi pengobatan untuk menyembuhkan
kelainan seksualnya.
Adakah aturan dalam Islam, berapa kali hubungan intim atau hubungan seks dalam sepekan?
Intinya, dalam Islam tidak ada pembatasan berapa kali dalam seminggu untuk hubungan
intim. Mengenai perkara tersebut tergantung pada keadaan dan kemampuan tiap orang.
Namun sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (7: 30),
عذر له يكن لم إذا – زوجته يجامع بأن الزوج أي – الرجل على واجب والوطء، مالﻚ قال وبه
“Hubungan seks wajib dilakukan oleh suami, yaitu ia punya kewajiban menyetubuhi istrinya
selama tidak ada udzur. Demikian dikatakan oleh Imam Malik.”
« صو ُم أَنﱠﻚَ أ ُ ْخ َب ْر أَ َل ْم ﱠ ِ َع ْبدَ َيا َ » اللﱠ ْي َل َوتَقُو ُم النﱠ َه. ُسو َل َيا َبلَى فَقُ ْلت
ُ َ ار ت ُ َوأَ ْف ِط ْر، َونَ ْم َوقُ ْم،
ُ ﱠ ِ َر. تَ ْف َع ْل فَﻼَ « قَا َل، ﺻ ْم
َ َحقا َعلَيْﻚَ ِل َج، َحقا َعلَيْﻚَ ِل َع ْينِﻚَ َو ِإ ﱠن، َحقا َعلَيْﻚَ ِلزَ ْو ِجﻚَ َو ِإ ﱠن، َحقا َعلَيْﻚَ ِلزَ ْو ِركَ َو ِإ ﱠن
سدِكَ فَﺈ ِ ﱠن
“Wahai Abdullah, benarkan aku dapat kabar darimu bahwa engkau terus-terusan puasa dan
juga shalat malam?” Abdullah bin Amr bin Al Ash menjawab, “Iya betul wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Jangan lakukan seperti itu. Engkau boleh berpuasa, namun ada waktu tidak
berpuasa. Engkau boleh shalat malam, namun ada waktu untuk istirahat tidur. Ingat, badanmu
punya hak, matamu punya hak, istrimu juga punya hak yang mesti engkau tunaikan. Begitu
pula tenggorokanmu pun memiliki hak.” (HR. Bukhari no. 1975).
Dalam Fathul Bari (9: 299) disebutkan perkataan Ibnu Batthol,
ُضعُف َحتﱠى ْال ِع َبادَة فِي ِبنَ ْف ِس ِه يُجْ ِهد أ َ ْن لَهُ َي ْن َب ِغي َﻻ َوأَنﱠه
ْ ساب ِج َماع ِم ْن ِب َح ِقّ َها ْال ِق َيام َع ْن َي
َ َِوا ْكت
“Hendaklah suami tidak mempersusah diri dalam ibadah sehingga membuat ia lemas untuk
menunaikan hak istrinya yaitu kebutuhan seks dan bekerja untuk keluarga.”
Ibnu Hajar juga menyebutkan,
“Para ulama berselisih pendapat bolehkah suami meninggalkan menyetubuhi istrinya. Imam
Malik berpandangan, “Jika tidak darurat melakukannya, suami bisa dipaksa berhubungan
seks atau mereka berdua harus pisah.” Imam Ahmad juga berpendapat seperti itu. Sedangkan
yang masyhur dari kalangan ulama Syafi’iyah, ia tidak wajib berhubungan intim. Ada pula
yang berpandangan bahwa wajibnya sekali. Sebagian ulama salaf berpendapat, setiap empat
malam, harus ada hubungan seks. Ulama lainnya berpandangan, setiap kali suci dari haidh,
sekali hubungan seks.”
معيشته عن يشغله أو بدنه ينهﻚ لم ما كفايتها بقدر امرأته وطء الزوج على ويجب، .. الحاكم يفرضه أن فينبغي تنازعا فﺈن
زاد إذا وكوطﺌه كالنفقة
“Wajib bagi suami berhubungan seks dengan istrinya sesuai kemampuannya selama tidak
mengganggu fisik dan tidak melalaikan dari kewajiban mencari nafkah. Jika ini tidak
dipenuhi, maka seorang hakim peradilan bisa memaksanya sebagaimana dalam hal nafkah
atau sebagaimana dalam hubungan seks yang berlebihan.” (Al Ikhtiyarot Al Fiqhiyyah, hal.
246).
Adapun jika suami bepergian karena tujuan yang disyari’atkan atau ada alasan lainnya yang
dibolehkan, maka hendaklah tidak terlalu lama meninggalkan istri.
Kalau kepergian suami demi kemaslahatan kaum muslimin seperti jihad di jalan Allah atau
menjaga garis perbatasan, maka hendaklah ia tidak meninggalkan istrinya terlalu lama, tidak
lebih dari empat bulan.
Contohnya, ketika pemerintahan Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar memberikan
waktu bagi para pasukannya untuk pergi meninggalkan keluarganya (istrinya) tidak lebih dari
empat bulan. Kalau ternyata sudah mencapai empat bulan, maka pasukan tersebut siap diganti
dengan yang lain.
(Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 1078 oleh Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid).
Untuk masalah tempat berhubungan selain dikamar, hal ini boleh-boleh saja asal tidak
diketahui orang lain dan sama-sama merasa nyaman.
Allahu a'lam
Assalamualaikum ana mau nanya bgmna klo suami mmnta brhubungan tpi istri kelelahahan
krn aktivitas jdi bgmna sikap istri yg baik syukron.
Hal ini sebenarnya bukan masalah ketika komunikasi dan saling memahami antara suami istri
terjalin baik. Suami yang shalih insyaAllah bisa memahami hal tersebut. Semuanya
tergantung komunikasi yang baik antara suami istri.
Assalamualaikum ustadz mau nanya yg bru saja di sharem.. Bgmana hukumnya, jika suami
stlh melihat prmpuan cantik, trus pulang ke rumah, melampiaskan ke istrinya.. pas sdang
mlakukan jima', suami mmbayangkan prmpuan yg dilihat td?
Jawaban:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َب ﱠ َ ِإ ﱠنَ ظهُ آدَ َم اب ِْن َع َلى َكت ِمنَ َح ﱠ،الزنَا ّ ِ َ ﻻَ ذَلِﻚَ أَد َْرك،َ العَي ِْن فَ ِزنَا َم َحالَة،ظ ُر
َ ان َو ِزنَا النﱠ
ِ سَ ّ ال ِل،تَ َمنﱠى والقلب ال َم ْن ِط ُق
َ َُويُ َك ِذّبُهُ ُكلﱠهُ ذَلِﻚَ ي
،ص ِد ُّق َوالفَ ْر ُج َوت َ ْشتَ ِهي
“Sesungguhnya Allah menetapkan jatah zina untuk setiap manusia. Dia akan
mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan
ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan
membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
ُ ْال َع ْين، َو ْال َق ْلبُ ت َْزنِي، ْال َعي ِْن فَ ِزنَا يَ ْزنِي،ظ ُر ِ ْالقَ ْل،ص ِد ُّق َو ْالفَ ْر ُج الت ﱠ َمنِّي
َ ب َو ِزنَا النﱠ َ ُيُ َك ِذّبُهُ أَ ْو ُهنَالِﻚَ َما ي
“Mata itu berzina, hati juga berzina. Zina mata dengan melihat (yang diharamkan), zina hati
dengan membayangkan (pemicu syahwat yang terlarang). Sementara kemaluan
membenarkan atau mendustakan semua itu.” (HR. Ahmad)
Hadis di atas menjelaskan bahwa semua anggota tubuh manusia, berpotensi melakukan zina.
Termasuk hati dan perasaan. Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan bentuk zina hati, yaitu seseorang membayangkan melakukan sesuatu yang
haram, yang membangkitkan syahwat, baik dengan lawan jenis maupun dengan sejenis.
في البلوى بها عمت التي القبيحة الخصلة هذه من، امرأة رأى إذا الرجل أن وهي الغالب،عينيه بين جعل أهله وأتى أعجبته
التي المرأة تلﻚ،الزنا من نوع وهذا رآها
”Termasuk perbuatan tercela yang merebak di masyarakat pada umumnya adalah seorang
lelaki melihat seorang wanita yang menarik hatinya, kemudian lelaki itu mendatangi istrinya
(jima’), dia membayangkan wanita yang tadi dilihatnya berada di hadapannya maka ini
termasuk zina.
من النظر أو الخروج الزمان هذا في عليها الغالب ﻷن أشد؛ هي بل فيه داخلة المرأة بل وحده بالرجل يختص ﻻ ذكر وما
تعلق يعجبها من رأت فﺈذا الطاق، بين رأتها التي الصورة تلﻚ جعلت بزوجها اﻻجتماع عند كانت فﺈذا بخاطرها،عينيها
بمنه السﻼمة ﷲ نسأل الزاني معنى في منهما واحد كل فيكون
Keterangan ini tidak hanya untuk kaum lelaki saja akan tetapi juga untuk para wanita bahkan
lebih sangar lagi. Karena yang banyak terjadi pada wanita di zaman ini keluar rumah dan
memandang sekitarnya. Apabila seorang wanita melihat seorang laki-laki yang menarik
perhatiannya, wajahnya bersemayam dalam hatinya. Ketika dia berjima’ dengan suaminya,
dia membayangkan lelaki yang dilihatnya di depan matanya. Dan keduanya termasuk
berzina.. kita meminta perlindungan kepada Allah… (al-Madkhal Ibnul Haj, 2/195)
Ibnu Muflih al Hambali (w. 763 H) juga memberikan keterangan yang sama,
أجنبية ﺻورة زوجته جماع عند استحضر لو أنه النكاح كتاب أول أظنه الكبرى الرعاية في به وجزم عقيل ابن ذكر وقد
يأثم أنه محرمة
“Ibnu ‘Aqil menegaskan dalam bukunya ar-Riayah al-Kubro, di bagian awal Bab Nikah,
bahwa jika ada seorang suami membayangkan wanita lain yang diharamkan baginya ketika
berjima’ dengan istrinya maka dia berdosa.” (al-Adab as-Syar’iyah, 1/98).
Dari Hakim bin Mu'awiyah : Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam : Apakah kewajiban suami terhadap istrinya?" Lalu sabdanya :
"Ia wajib memberi makan kepadanya jika ia makan; memberi pakaian jika ia berpakaian;
tidak boleh memukul mukanya; tidak boleh melukai dirinya; dan tidak boleh mengucilkannya
kecuali dalam rumahnya sendiri." (HR. Ibnu Majah)
Dari Sulaiman bin 'Amr bin al-Ahwash, ia berkata : Telah meriwayatkan kepada bapakku:
Sesungguhnya ia hadir pada waktu Haji Wada' bersama Rasulullah Shallallahu alaihi Wa
Sallam, lalu beliau mengucapkan hamdalah dan memuji Allah, lalu mengingatkan dan
memberi nasehat, kemudian sabdanya: "Berilah nasehat kepada kaum wanita dengan cara
yang baik, karena sesungguhnya mereka itu berada di sisimu sebagai tawananmu dan kamu
tidaklah berhak memperbudak mereka sedikitpun selain daripada itu, kecuali kalau mereka
melakukan perbuatan keji secara terang-terangan. Maka jika mereka telah melakukan
perbuatan tersebut, hendaklah engkau kucilkan mereka dari tempat tidurnya dan pukullah
mereka dengan pukulan yang tidak melukai dirinya. Tetapi, jika mereka kembali taat
kepadamu, janganlah kamu mencari alasan apa pun untuk melakukan sesuatu yang tidak baik
kepada mereka, karena sesungguhnya kamu mempunyai hak terhadap istri-istri kamu
sebagaimana istri-istri kamu juga mempunyai hak atas diri-diri kamu. Adapun hak kamu
terhadap istri-istri kamu yaitu mereka tidak boleh menempatkan seseorang di atas tempat
tidur kamu bagi orang yang kamu benci dan tidak boleh mengizinkan seseorang memasuki
rumah kamu bagi orang yang kamu benci. Ketahuilah sesungguhnya hak mereka atas diri
kamu kalau kamu memperlakukan mereka secara baik dan memberi pakaian dan makan
kepada mereka." (HR. Ibnu Majah)
Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam pada waktu Haji Wada', yaitu haji perpisahan yang
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam pada tahun 10 H., haji pertama dan
terakhir yang dilakukan oleh beliau, pada waktu itu, beliau menyampaikan pesan dan nasehat
kepada kaum laki-laki, khususnya kepada para suami tentang beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, seorang istri yang terbukti melakukan perbuatan-perbuatan yang keji dan
kekejiannya itu dapat dibuktikan dengan jelas oleh suaminya, maka suaminya boleh
melakukan tindakan hukuman kepada istrinya yaitu :
a. mengucilkan, artinya meninggalkan istrinya itu di tempat tidurnya tanpa ditemani ; dan
b. memukul badannya, tetapi dengan catatan tidak boleh melukai.
Apabila dengan tindakan pengajaran itu ternyata istri telah mau mengoreksi dirinya kemudian
menaati suaminya, maka hendaklah suami melaksanakan tanggung jawab sebaik-baiknya
kepada istrinya yakni dengan memberi makan dan pakaian kepada mereka secara wajar.
Perbuatan tidak baik yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya itu menurut Islam adalah
menerima tamu laki-laki yang tidak disenangi suaminya atau mempersilahkan seorang laki-
laki bermalam atau tidur di rumahnya, padahal orang itu dibenci suaminya. Perbuatan
semacam ini, oleh Islam dinyatakan sebagai perbuatan keji yang dilakukan oleh seorang istri.
Oleh karena itu, seorang istri apabila ingin mempersilahkan keluarganya atau familinya untuk
bermalam di rumah suaminya, hendaklah ia terlebih dahulu meminta izin kepada suaminya,
apakah famili dan keluarga itu boleh bermalam di rumahnya atau tidak. Bila ternyata suami
tidak mengizinkan mereka untuk bermalam, maka istri harus taat kepada suaminya dan
memberitahu kepada keluarganya bahwa mereka tidak diterima untuk bermalam di rumahnya
karena suaminya berkeberatan.
Kedua, perlu diingat oleh seorang suami bahwa istri merupakan teman yang dapat menolong
dalam kehidupannya. Oleh karena itu, seorang suami tidak boleh menganggap istri sebagai
budak atau pembantu atau seseorang yang patut diperlakukan sebagai pembantu. Lebih jauh
lagi Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam mengingatkan bahwa seorang suami, dengan
ikatan pernikahan, tidak berarti telah dapat membeli dan memperlakukan istri dengan sesuka
hati, melainkan dia juga harus memberikan penghargaan dan penghormatan sesuai dengan
martabat istri sebagai makhluk Allah Ta'ala.
Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata : Di kala Muadz datang dari Syam, ia kemudian
bersujud di hadapan Nabi Shallallahu alaihi Wa Sallam, lalu beliau bertanya : "Ada apa
dengan dirimu wahai Muadz?" Jawab Muadz, "Saya datang ke negeri Syam dan saya melihat
mereka bersujud kepada pembesar-pembesar mereka dan uskup-uskup mereka. Karena itu,
saya sangat berkeinginan untuk dapat melakukan hal seperti itu kepada tuan." Lalu
Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam menjawab : "Jangan kamu lakukan lagi hal seperti
itu, karena sekiranya aku mau memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah,
niscaya aku akan perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya; dan demi Tuhan yang
memegang diri Muhammad, tidaklah seorang istri dapat dianggap telah menunaikan
kewajiban kepada Allah sebelum ia dapat menunaikan dengan baik kewajiban kepada
suaminya sekalipun si suami meminta dirinya untuk dilayani dan saat itu istrinya berada di
dapur, lalu ia tidak menolaknya." (HR. Ibnu Majah)
Dari Musawir al-Himyari, dari ibunya, ia berkata : Saya pernah mendengar Ummu Salamah
berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam bersabda : "Setiap
istri yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya, maka istri tersebut akan masuk surga."
(HR. Ibnu Majah)
Pada hadits pertama, Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam mengandaikan, yakni sekiranya
dibenarkan oleh Allah seorang manusia boleh bersujud kepada orang lain, pastilah Rasulullah
akan memerintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya atau menyuruh suaminya
memerintahkan kepada istri untuk dapat memindahkan satu gunung ke tempat lain sebagai
bukti kesetiaan istri kepada suaminya. Akan tetapi Rasulullah tidak memerintahkan seorang
istri untuk melaksanakan tindakan seperti tersebut di atas karena yang berhak untuk
menerima penyembahan seseorang hanyalah Allah Ta'ala. Rasulullah juga mengingatkan
kepada setiap istri bahwa mereka tidak dianggap telah menunaikan kewajiban kepada Allah
apabila istri tersebut tidak menunaikan kewajiban-kewajiban kepada suaminya dengan
sebaik-baiknya.
Kewajiban yang paling pokok bagi seorang istri kepada suaminya ialah melayani kebutuhan
biologisnya di saat diminta oleh suaminya dan istri tidak boleh menolak dengan alasan-alasan
yang tidak benar menurut ketentuan-ketentuan agama. Alasan seorang istri menolak
permintaan suaminya dalam berhubungan biologis dibenarkan oleh Islam apabila ia sedang
haid atau nifas, sedang puasa wajib atau sedang menderita sakit. Apabila istri menolak
permintaan suaminya untuk berhubungan biologis di luar halangan-halangan tersebut, maka
istri dinilai oleh Islam telah melanggar hak-hak suami dan dengan begitu ia telah durhaka
kepada Allah Ta'ala.
Selain hal-hal yang merupakan kewajiban seorang istri kepada suami seperti dijelaskan pada
hadits sebelumnya, ditegaskan pula oleh Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam pada hadits
ketiga bahwa salah satu syarat seorang istri dapat masuk surga adalah bahwa dalam
kehidupan berumahtangga, dia dapat menjadikan hati suaminya ridha, senang dan puas
kepada dirinya. Dengan demikian, bagi seorang istri yang selalu menimbulkan rasa marah,
jengkel dan perasaan-perasaan lainnya yang mengganggu suaminya, maka istri semacam itu
jauh dari mendapat jaminan masuk surga. Hal-hal ini perlu diperhatikan oleh para istri
muslimah agar ibadah dan amal kebajikannya diterima oleh Allah. Oleh karena itu, ia harus
memperhatikan kewajibannya yang paling utama, yaitu ketaatannya kepada suaminya,
selama tidak bertentangan dengan syari'at Islam.
:::Janji Cinta:::
Nikahilah seseorang yang berjanji akan selalu membangunkanmu sebelum fajar tiba ...
Karena janji "Aku akan selalu membahagiakanmu" atau "Aku takkan pernah
mengecewakanmu." itu udah terlalu mainstream, lebay, imposible, kayaknya gak mungkin
bangeet..
Karena itu wujud cintanya kepadamu, membantu orang yg dicintainya untuk bergegas
menghadap Allah yg lebih dicinta.
Lalu sembari menunggu subuh tiba kalian bertilawah bersama atau sekedar bercanda
bersama, dan saat sang suami hendak menuju Masjid tak pernah luput dari rutinitas sang istri
mencium tangan suami dan sang suami akan mencium kening istri.
Adakah hal yg lebih romantis dibanding pasangan suami istri yg saling mengingatkan dan
mendukung untuk beribadah kepada Allah?
Setiap rumah punya aturan sendiri mengenai ada dan tidaknya manfaat televisi di dalam
rumah.
Kami termasuk dalam keluarga yang memegang kesepakatan bahwa televisi di dalam rumah
lebih banyak keburukannya di banding manfaatnya.
Saat di Polandia sampai merantau ke Norwegia, televisi memang tak punya tempat dalam
ruang hidup kami. Meskipun demikian kami tidak terisolasi dari dunia luar. Tidak ! Tidak
sama sekali!
Saat mudik ke Indonesia dan qadarAllah harus tinggal lebih lama di kota Ambon, hal yang
mengkhawatirkan kami adalah tantangan dari lingkungan. Kalau Aisha tidak pernah
menonton televisi tidak dengan anak-anak tetangga. Suka-suka mereka kalau mereka ingin
menonton acara televisi di rumah.
Bagaimana ia seorang diri bersosialisasi di lingkungan yang berlawanan dengan aturan yang
kami buat di rumah. Alhamdulillah, kegelisahan kami Allah jawab dengan menakdirkan kami
tinggal di kompleks yang semua rumah tidak memiliki televisi. Kompleks di sini (Ambon)
sudah biasa disebut kampung.
Satu kampung ini tidak ada televisi. Apakah kemudian berpengaruh kepada tingkah laku
anak-anak? Jelas iya. Anak-anak yang terpapar tontonan buruk begitu gampang meniru yang
mereka lihat.
Tiada hari tanpa bermain walaupun hanya di pekarangan rumah. Bermain bagi kami adalah
proses belajar itu sendiri. Terkadang Abu Aisha membawanya ke pelataran Masjid.
Walaupun minus fasilitas tidak seperti di Polandia atau Norwegia, akan tetapi ada nilai yang
kami menangkan, hubungan sosial yang hangat, saling mendukung dan anak-anak yang bebas
dari paparan dunia digital.
Anak-anak disini bukan berarti tak mengenal teknologi, tetapi diberikan atas dasar
kebutuhan. Hanya anak-anak yang sudah cukup umur dengan pendidikan agama yang
tertanam sejak kecil kemudian dibolehkan menggunakan internet, tapi untuk televisi
sedikitpun tak ada tempat di kampung ini.
Saya bukan pakar untuk menjelaskan lebih detail bagaimana televisi telah mengambil peran
dalam mendidik anak-anak generasi hari ini. Saya dan suami menyadari betul kelemahan diri
Apa yang bisa seorang anak dapatkan dari televisi? Saya kira jawabannya dikembalikan
terhadap persepsi masing-masing keluarga.
Alhamdulillah, kami tidak merasa kuper atau rendah diri karena tak memiliki televisi di
rumah. Ada banyak media hiburan selain televisi yang jauh dari fitnah. Perkataan ibu saya
bahwa kalau orang tua tugasnya hanya memberi makan dan minum, binatang pun juga
bisa.Tanggung jawab sebagai orang tua justru jauh lebih besar bukan saja untuk bekal dunia,
tapi juga akhirat.
Apa yang kita harapkan dari generasi-generasi yang dididik oleh televisi?
Adab, sopan-santun, kejujuran, ketegasan, yang dalam Islam disebut akhlak akan dipelajari
anak dari mana?
Apakah program televisi mendidik kepada fitrah anak-anak? Kita hidup di zaman dimana
sekat- sekat tabu tak lagi malu dipertontonkan. Perkataan-perkataan sia-sia menjadi lumrah
dalam pendengaran. Apa yang akan kita pertanggungjawabkan diakhirat nanti ketika ditanya
tentang amanah mendidik anak?
Hidup tak hanya berkisar seputar kotak hitam (tv). Kebersamaan, kehangatan bermain,
travelling dan menyaksikan langsung alam ciptaan Allah adalah nikmat yang luar biasa .
Sekampung tanpa televisi adalah sekampung yang jauh dari fitnah hidup dan hedonisme.
Sekampung tanpa televisi adalah sekampung yang berdiri melindungi anak-anak zaman dari
kerusakan adab dan kecerdasan emosi.
Sekampung tanpa televisi adalah sekampung penuh warna hidup. Alhamdulillah kami
bersyukur atas nikmat ini. Rumah tanpa televisi,siapa takut?
Assalamu'alaikum
Sy ingin menanyakan ttg perjanjian pranikah.
1. Apakah perjanjian pranikah disunnahkan?
2. Apabila dlm perjanjian si istri meminta janji suami agar suami tdk akan memadu istri
sampai nanti si istri meninggal. Apakah itu boleh?
Jika boleh, apakah tdk bertentangan dg QS An Nisa ayat 3?
Jazakumullahu khairan katsira wassalamu'alaikum
Jawaban:
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakaatuh.
Telah terjadi khilaf diantara para ulama dalam permasalahan ini sebagaimana berikut ini:
Madzhab Hanafi
Adapun Madzhab Hanafi maka mereka membolehkan persyaratan seperti ini. Jika seorang
wanita diberi mahar oleh sang calon suami kurang dari mahar para wanita-wanita yang
semisalnya menurut adat maka boleh bagi sang wanita untuk memberi persyaratan, seperti
mempersyaratkan bahwa agar ia tidak dipoligami. Dan persyaratan ini diperbolehkan dan
dianggap termasuk dari mahar karena ada nilai manfaat bagi sang wanita. Akan tetapi
menurut madzhab Hanafi jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus
membayar mahar wanita tersebut secara penuh sebagaimana mahar para wanita yang
Madzhab Malikiah
Madzhab Maliki memandang bahwa persayaratan seperti ini merupakan persayaratan yang
makruh. Dan madzhab Maliki memiliki perincian dalam permasalahan ini, sbb :
- Persayaratan seperti ini makruuh, dan tidak lazin/harus untuk dipenuhi oleh sang calon
suami.
- Akan tetapi persayaratan ini wajib dipenuhi oleh sang suami jika persayaratannya
disertai dengan sumpah dari sang calon suami
- Jika persyaratan ini diajukan oleh sang wanita dengan menjatuhkan sebagian maharnya
maka wajib bagi sang suami untuk memenuhinya. Misalnyan mahar nikah sang wanita adalah
20 juta, lantas sang wanita berkata, "Aku menjatuhkan 5 juta dari maharku dengan syarat
sang lelaki tidak boleh berpoligami" lalu disetujui oleh sang lelaki maka wajib bagi sang
lelaki untuk memenuhi persyaratan tersebut. Jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami
maka ia harus membayar mahar 5 juta tersebut kepada sang wanita. (lihat perincian ini di At-
Taaj wa Al-Ikliil 3/513)
- Bahkan Imam Malik pernah ditanya tentang seorang wanita yang memberi persyaratan
kepada calon suaminya, "Jika engkau berpoligami maka hak untuk bercerai ada padaku",
kemudian sang lelakipun berpoligami, lantas sang wanitapun menjatuhkan cerai (talak) tiga.
Akan tetapi sang suami tidak menerima hal ini dan menganggap hanya jatuh talak satu. Maka
apakah jatuh talak tiga tersebut,?, Imam Malik menjawab : "Ini merupakan hak sang wanita,
dan adapun pengingkaran sang suami maka tidak ada faedahnya" (lhat Al-Mudawwanah
2/75)
Madzhab As-Syafii
Madzhab As-Syafii membagi persyaratan dalam pernikahan menjadi dua, syarat-syarat yang
diperbolehkan dan syarat-syarat yang dilarang.
Kedua : Adapun persyaratan yang tidak diperbolehkan maka secara umum ada empat macam:
Madzhab Hanbali
Pertama : Persyaratan yang harus ditunaikan, yaitu persayaratan yang manfaatnya dan
faedahnya kembali kepada sang wanita. Misalnya sang wanita mempersayatkan agar sang
suami tidak membawanya merantau atau tidak berpoligami. Maka wajib bagi sang suami
untuk memenuhi dan menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikan syarat
ini maka sang wanita berhak untuk membatalkan tali pernikahan. Pendapat ini diriwayatkan
dari Umar bin Al-Khottoob, Sa'ad bin Abi Waqqoosh, Mu'aawiyah, dan 'Amr bin Al-'Aash
radhiallahu 'anhum. (lihat Al-Mughni 7/448)
Kedua : Persyaratan yang batil dan membatalkan persyaratan itu sendiri akan tetapi
pernikahan tetap sah, seperti jika sang lelaki mempersyaratkan untuk menikah tanpa mahar,
atau tidak menafkahi sang wanita, atau sang wanitalah yang memberi nafkah kepadanya, atau
ia hanya mendatangi sang wanita di siang hari saja. Dan demikian juga jika sang wanita
mepersyaratkan untuk tidak digauli atau agar sang lelaki menjauhinya, atau agar jatah
nginapnya ditambah dengan mengambil sebagian jatah istrinya yang lain. Maka seluruh
persyaratan ini tidak sah dan batil (lihat Al-Mughni 7/449)
Ketiga : Persyaratan yang membatalkan akad nikah, seperti pernikahan mut'ah (nikah kontrak
sementara setelah itu cerai), atau langsung dicerai setelah nikah, dan nikah syigoor, atau sang
lelaki berkata, "Aku menikahi engkau jika ibumu merestui atau si fulan setuju". (lihat Al-
Mughni 7/449)
Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa empat madzhab seluruhnya memandang sahnya
persyaratan tersebut dan sama sekali tidak merusak akad nikah. Khilaf hanya timbul pada
hukum memberi persyaratan ini dari pihak wanita. Madzhab Hanafi dan Hanbali memandang
bolehnya persayratatn ini. Madzhab Maliki memandang makruhnya hal ini. Dan hukum
makruh masih masuk dalam kategori halal. Adapun As-Syafii memandang bahwa persyaratan
ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan, hanya saja jika terjadi maka persyaratan
tersebut tetap tidak merusak akad nikah.
Pertama : Keumuman dalil-dalil yang memerintahkan seseorang untuk menunaikan janji atau
kesepakatan. Seperti firman Allah
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS Al-Maaidah :1)
"Syarat yang palih berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian
menghalalkan kemaluan (para wanita)" (HR Al-Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)
Dan persyaratan untuk tidak berpoligami merupakan persyaratan yang diajukan oleh sang
wanita dalam akad nikahnya, sehingga wajib bagi sang lelaki untuk menunaikannya.
"Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen),
kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang
haram" (HR At-Thirimidzi no 1352 dan Abu Dawud no 3596 dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani)
Dan jelas bahwasanya seseroang yang menikah dan tidak berpoligami maka hal ini
diperbolehkan dan tidak melanggar persyaratan. Maka jika perkaranya demikian berarti
persyaratan untuk tidak berpoligami diperbolehkan dan harus ditunaikan oleh sang suami.
Adapun persyaratan yang menghalalkan sesuatu yang haram maka tidak diperbolehkan,
seperti seroang wanita yang menikah dengan mempersyaratkan agar calon suaminya
menceraikan istri tuanya. Hal ini jelas diharamkan oleh syari'at.
Keempat : Hukum asal dalam masalah akad dan transaksi –jika diridhoi oleh kedua belah
pihak- adalah mubaah hingga ada dalil yang mengaharamkan
Adapun dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama yang mengharamkan persyaratan ini
adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
"Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka
persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan" (HR Al-Bukhari no
2155 dan Muslim 1504)
Akan tetapi maksud dari sabda Nabi ini adalah persyaratan yang tidak dihalalkan oleh Allah.
Karena konteks hadits ini secara lengkap menunjukan akan hal ini. Konteks hadits secara
lengkap adalah sebagai berikut :
Aisyah berkata :
ت بَ ِري َْرةُ َجا َءتْنِي ْ َْع َع َلى أَ ْه ِلي كَاتَبْتُ فَقَال ِ ق تِس ٍ ُوقِيﱠة َع ٍام ُك ِّل فِي أَ َوا، فَقُ ْلتُ فَأ َ ِع ْينِ ْينِي: َويَ ُك ْونُ لَ ُه ْم أ ُ ِعدﱠهَا أ َ ْن أ َ ْهلُ ِﻚ أ َ َحبﱠ إِ ْن
فَعَ ْلتُ ِلي َوﻻَؤُ ِك. ت ْ َت أ َ ْه ِل َها إِلَى بَ ِري َْرةُ فَذَ َهب ْ َ ذَلِﻚَ فَأَبَ ْوا لَ ُه ْم فَقَال،ت َعلَ ْي َها ْ س ْول ِع ْن ِد ِه ْم ِم ْن فَ َجا َء ُ ﺻلﱠى ﷲِ َو َر َ ُسلﱠ َم َعلَ ْي ِه ﷲ َ َو
س ٌ ِ َ ل ا ج ْ
ت َ ل ا َ ق َ ف : ي ّ ن إ
ِ ْ دَ ق ُت ضْ ر ع ل َ ذ
َ َ ََ ْ َ ِ ْ ِﻚم ه ي
ْ َ ل ع ا و بَ أ َ ف ﱠ ﻻ إ
ِ ْ
ن َ أ َن وكُ ي ءَ ﻻ و ْ
ال م ه
ْ َ ُ َ ُْ َ َِ ِ ﱡ َ ل . ع م س َ ف ي ب ﱠ ن ال ى ﱠ ل ﺻ ﷲ ه ي
َ ُ ِ َ َ َ َ ََ ْ َ ل ع م ﱠ ل س و تْ ر بخ ْ َ أ َ ف ُ ة ش
َ ئ
ِ َعا
ﺻلﱠ◌ً ى النﱠ ِب ﱠ
ي َ ُسلﱠ َم َعلَ ْي ِه ﷲ َ فَقَا َل َو: ِل َم ْن ْال َوﻻَ ُء فَﺈِنﱠ َما ْال َوﻻَ َء لَ ُه ُم َوا ْشت َِر ِطي ُخذ ْي َها، َت أ َ ْعتَق ْ َشةُ فَفَ َعل َ ِام ث ُ ﱠم َعائ َ َس ْو ُل ق ُ ﷲِ َر
ﺻلى ﱠ َ ُسل َم َعل ْي ِه ﷲ َ ﱠ َ اس فِي َو ْ َ َ ُ َ
ِ قَا َل ث ﱠم َعل ْي ِه َوأثنَى ﷲَ فَ َح ِمدَ النﱠ: أ ﱠما،ُ ش ُر ْوطا يَ ْشت َِرط ْونَ ِر َجا ٍل بَا ُل َما بَ ْعد ُ ً ُ ت ْ س َ
َ ب فِي ل ْي ِ َما ﷲِ ِكتَا
َ ْ
َْس ش َْرطٍ ِمن كان َ ب فِي ليَ ِ اطل ف ُه َو ﷲِ ِكتَا َ ٌ ْ َ
ِ َ ِمائَة كانَ َوإِن ب، ٍضا ُء ش َْرط َ أ َ ْعتَقَ ِل َمن ال َوﻻ ُء َوإِن َما أ ْوثق ﷲِ َوش َْرط أ َحق ﷲِ ق
َ ﱡ َ ُ ُ َ َ ﱠ َ ْ ْ
"Bariroh (seorang budak wanita-pen) datang kepadaku dan berkata, "Aku telah membeli
diriku (mukaatabah-pen) dengan harga Sembilan uuqiyah, dan setiap tahun aku membayar
satu uqiyah (40 dirham), maka bantulah aku. Maka aku (Aisyah) berkata, "Jika tuanmu suka
maka aku akan menyiapkan bayaran tersebut dengan wala'mu pindah kepadaku". Maka
pergilah Bariroh kepada tuanya dan menyampaikan hal tersebut, akan tetapi mereka enggan
dan bersikeras bahwasanya walaa'nya Bariroh tetap pada mereka. Maka Barirohpun kembali
kepada Aisyah –dan tatkala itu ada Rasulullah sedang duduk-, lalu Bariroh berkata, "Aku
telah menawarkan hal itu kepada mereka (tuannya) akan tetapi mereka enggan kecuali
walaa'ku tetap pada mereka. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar hal itu
(secara global-pen), lalu Aisyah mengabarkan perkaranya kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam. Maka Nabi berkata, "Belilah Bariroh (untuk dibebaskan) dari mereka dan beri
persyaratan kepada mereka tentang walaa'nya, karena walaa' adalah kepada orang yang
Maka jelaslah dari konteks hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan persyaratan yang
terdapat dalam kitab Allah adalah seluruh persyaratan yang diperbolehkan oleh Allah dan
RasulNya, dan bukanlah maksudnya persyaratan yang termaktub dan ternashkan dalam Al-
Qur'an. Karena permasalahan "Walaa' itu hanya kepada orang yang membebaskan" sama
sekali tidak termaktub dalam Al-Qur'an, akan tetapi merupakan sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam.
Oleh karenanya persyaratan yang tidak diperbolehkan adalah persyaratan yang tidak terdapat
dalam kitab Allah, yang maksudnya adalah seluruh perysaratan yang tidak disyari'atkan dan
tidak diperbolehkan dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah.
Inti dalam masalah persyaratan baik dalam pernikahan maupun dalam akad-akad transaksi
secara umum adalah : Seluruh persyaratan yang hukum asalnya adalah mubaah maka boleh
dijadikan persayratan jika dirihdoi oleh kedua belah pihak. (lihat Al-Qowaad An-Nurroniyah
hal 285)
Karenanya pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini –Wallahu A'lam- adalah
pendapat madzhab Hambali, bahwasanya persyaratan tersebut diperbolehkan dan wajib untuk
ditunaikan oleh suami jika menerima persyaratan tersebut. dan inilah yang telah dipilih oleh
Ibnu Taimiyyah dalam Al-Qwaaid An-Nurroniyah dan juga Syaikh Al-Utsaimin (lihat As-
Syarh Al-Mumti' 12/164, 167)
Kesimpulan :
Adapun pendapat Madzhab Hanafi maka persyaratan ini diperbolehkan jika sang wanita
menjatuhkan sebagian nilai maharnya. Dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan
persayaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikannya maka sang wanita mendapatakan
mahr al-mitsl
Adapun pendapat madzhab Syafii maka ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan.
Akan tetapi jika terjadi maka persyaratan tersebut tidak merusak akad nikah, hanya saja
merusak mahar yang telah ditentukan, sehingga mahar sang wanita nilainya berubah menjadi
mahar al-mitsl.
Dari sini nampak bahwa jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa persyaratan seperti ini
(agar sang suami tidak berpoligami) merupakan persayratan yang sah dan diperbolehkan.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan :
Hendaknya para lelaki yang hendak menikah untuk tidak mengajukan persyaratan ini tanpa
dipersyaratkan oleh sang wanita, karena ini merupakan bentuk menjerumuskan diri dalam
kesulitan.
Demikian juga jika sang wanita mempersyaratkan tidak poligami, maka hendaknya sang
lelaki tidak langsung menerima, dan hendaknya ia berpikir panjang. Karena ia tidak tahu
bagaimana dan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa saja nantinya sang wanita sakit
sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri sebagaimana mestinya atau hal-hal
lain yang nantinya memaksa dia untuk berpoligami. Dan hendaknya sang lelaki ingat bahwa
jika ia menerima persyaratan tersebut maka hendaknya ia menunaikannya karena seorang
mukmin tidak mengingkari janji dan tidak menyelisihi kesepakatan.
Hendaknya para wanita yang memberi persayratan ini jangan sampai terbetik dalam
benaknya kebencian terhadap syari'at poligami, hendaknya ia tetap meyakini bahwa poligami
adalah disyari'atkan dan mengandung banyak hikmah di balik itu.
Jika akhirnya sang lelaki berpoligami maka sang wanita diberi pilihan, yaitu menggugurkan
persyaratannya tersebut dan menerima suaminya yang telah menyelisihi janji sehingga
berpoligami ataukah sang wanita memutuskan tali akad pernikahan. Dan terputusnya tali
pernikahan disini bukanlah perceraian, akan tetapi akad nikahnya batal. Sehingga jika sang
wanita ingin kembali lagi ke suaminya maka harus dengan pernikahan yang baru.
Allahu A'lam
Assalamualaykum. Bagaimana hukumnya istri yang bekerja di luar rumah. Jika kondisinya
saat itu istri baik karirnya, semwntara suami tidak bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Istri yang bekerja dan suami yg dirumah.
Jawaban:
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakaatuh
Pertama: Islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah Sang Pencipta Manusia, hanya Dia-
lah yang maha mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya. Hanya Dia yang maha tahu mana yang
baik dan memperbaiki hamba-Nya, serta mana yang buruk dan membahayakan mereka. Oleh
karena itu, Islam menjadi aturan hidup manusia yang paling baik, paling lengkap dan paling
mulia, Hanya Islam yang bisa mengantarkan manusia menuju kebaikan, kemajuan, dan
kebahagiaan dunia akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
سو ِل ِ ﱠ ِ ا ْست َِجيبُوا آ َمنُوا الﱠذِينَ أَيﱡ َها يَا يُحْ يِي ُك ْم ِل َما دَ َعا ُك ْم إِذَا َو ِل ﱠ
ُ لر
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rosul apabila dia
menyerumu kepada sesuatu (ajaran) yang memberi kehidupan kepadamu“. (QS. Al-Anfal:
24).
َ ْسانُ أ َ َيح
ُسب ِ ْ سدًى يُتْ َركَ أ َ ْن
َ اﻹ ْن ُ
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa ada perintah, larangan dan
pertanggung-jawaban)?!” (QS. Al-Qiyamah:36, lihat tafsir Ibnu Katsir 8/283).
Oleh karena itulah, Allah menurunkan syariat-Nya, dan mengharuskan manusia untuk
menerapkannya dalam kehidupan, tidak lain agar kehidupan mereka menjadi lebih baik, lebih
maju, lebih mulia, dan lebih bahagia di dunia dan di akhirat.
Kedua: Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, di pundaknya lah tanggung jawab
utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah
tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar
rumah, sedang sang ibu memiliki tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan
dalam rumah.
“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang
lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
Ahli Tafsir ternama Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan perkataannya:
“Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian, dan janganlah keluar
Inilah keluarga yang ideal dalam Islam, kepala keluarga sebagai penanggung jawab utama
urusan luar rumah, dan ibu sebagai penanggung jawab utama urusan dalam rumah. Sungguh,
jika aturan ini benar-benar kita terapkan, dan kita saling memahami tugas masing-masing,
niscaya terbangun tatanan masyarakat yang maju dan berimbang dalam bidang moral dan
materialnya, tercapai ketentraman lahir batinnya, dan juga teraih kebahagiaan dunia
akhiratnya.
Memang bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam
juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-
syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan
bisnis, karena Alloh jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja
dalam firman-Nya:
“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para
mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Alloh juga mensyariatkan bisnis kepada semua
hambanya, Karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja,
baik itu pria maupun wanita, Alloh berfirman (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian
dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela
diantara kalian” (QS. An-Nisa:29),
AKAN TETAPI, wajib diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnisnya, hendaklah
pelaksanaannya bebas dari hal-hal yang menyebabkan masalah dan kemungkaran. Dalam
pekerjaan wanita, harusnya tidak ada ikhtilat (campur) dengan pria dan tidak menimbulkan
fitnah. Begitu pula dalam bisnisnya harusnya dalam keadaan tidak mendatangkan fitnah,
selalu berusaha memakai hijab syar’i, tertutup, dan menjauh dari sumber-sumber fitnah.
Karena itu, jual beli antara mereka bila dipisahkan dengan pria itu boleh, begitu pula dalam
pekerjaan mereka. Yang wanita boleh bekerja sebagai dokter, perawat, dan pengajar khusus
untuk wanita, yang pria juga boleh bekerja sebagai dokter dan pengajar khusus untuk pria.
Adapun bila wanita menjadi dokter atau perawat untuk pria, sebaliknya pria menjadi dokter
atau perawat untuk wanita, maka praktek seperti ini tidak dibolehkan oleh syariat, karena
adanya fitnah dan kerusakan di dalamnya.
Bolehnya bekerja, harus dengan syarat tidak membahayakan agama dan kehormatan, baik
untuk wanita maupun pria. Pekerjaan wanita harus bebas dari hal-hal yang membahayakan
agama dan kehormatannya, serta tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan moral pada pria.
Begitu pula pekerjaan pria harus tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan bagi kaum wanita.
Hendaklah kaum pria dan wanita itu masing-masing bekerja dengan cara yang baik, tidak
saling membahayakan antara satu dengan yang lainnya, serta tidak membahayakan
masyarakatnya.
Kecuali dalam keadaan darurat, jika situasinya mendesak seorang pria boleh mengurusi
wanita, misalnya pria boleh mengobati wanita karena tidak adanya wanita yang bisa
mengobatinya, begitu pula sebaliknya. Tentunya dengan tetap berusaha menjauhi sumber-
sumber fitnah, seperti menyendiri, membuka aurat, dll yang bisa menimbulkan fitnah. Ini
merupakan pengecualian (hanya boleh dilakukan jika keadaannya darurat). (Lihat Majmu’
Fatawa Syaikh Bin Baz, jilid 28, hal: 103-109)
Keempat: Ada hal-hal yang perlu diperhatikan, jika istri ingin bekerja, diantaranya:
1. Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, karena
mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban
baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
4. Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis
artikel, buku, dll.
5. Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya. Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang
khusus wanita, misalnya: Sekolah wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dll.
6. Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada,
baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak
boleh cari pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya
darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi
kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dll.
Kelima: Jawaban pertanyaan anda sangat bergantung dengan pekerjaan dan keadaan anda.
Apa suami mengijinkan anda untuk bekerja? Apa pekerjaan anda tidak mengganggu tugas
utama anda dalam rumah? Apa tidak ada pekerjaan yang bisa dikerjakan dalam rumah? Jika
lingkungan kerja anda sekarang keadaannya ikhtilat (campur antara pria dan wanita), apa
tidak ada pekerjaan lain yang lingkungannya tidak ikhtilat? Jika tidak ada, apa anda sudah
dalam kondisi darurat, sehingga apabila anda tidak bekerja itu, anda akan terancam hidupnya
atau paling tidak hidup anda akan terasa berat sekali bila anda tidak bekerja? Jika memang
demikian, sudahkah anda menerapkan adab-adab islami ketika anda keluar rumah?
InsyaAllah dengan uraian kami di atas, anda bisa menjawab sendiri pertanyaan anda.
Memang, seringkali kita butuh waktu dan step by step dalam menerapkan syariat dalam
kehidupan kita, tapi peganglah terus firman-Nya:
“Jika tekadmu sudah bulat, maka tawakkal-lah kepada Alloh!” (QS. Al Imran:159),
juga sabda Rasul –shallallahu alaihi wasallam– “Ingatlah kepada Allah ketika dalam
kemudahan, niscaya Allah akan mengingatmu ketika dalam kesusahan!” (HR. Ahmad, dan
di-shahih-kan oleh Albani), dan juga sabdanya:
َع لَ ْن ِإنﱠﻚ
َ َش ْيﺌًا تَد َ اﻷلباني وقال أحمد رواه( ِم ْنهُ َخي ًْرا ﱠ ُ أ َ ْع: )مسلم شرط على ﺻحيﺢ سنده
َ طاكَ ِإ ﱠﻻ َو َج ﱠل َع ﱠز ﱠ ِ ا ِتّقَا َء
“Sungguh kamu tidak meninggalkan sesuatu karena takwamu kepada Alloh azza wajall,
melainkan Alloh pasti akan memberimu ganti yang lebih baik darinya” (HR. Ahmad, dan di-
shahih-kan oleh Albani).
Terakhir: Kadang terbetik dalam benak kita, mengapa Islam terkesan mengekang wanita?!
Inilah doktrin yang selama ini sering dijejalkan para musuh Islam, mereka menyuarakan
pembebasan wanita, padahal dibalik itu mereka ingin menjadikan para wanita sebagai obyek
nafsunya, mereka ingin bebas menikmati keindahan wanita, dengan lebih dahulu menurunkan
martabatnya, mereka ingin merusak wanita yang teguh dengan agamanya agar mau
mempertontonkan auratnya, sebagaimana mereka telah merusak kaum wanita mereka.
Lihatlah kaum wanita di negara-negara barat, meski ada yang terlihat mencapai posisi yang
tinggi dan dihormati, tapi kebanyakan mereka dijadikan sebagai obyek dagangan hingga
harus menjual kehormatan mereka, penghias motor dan mobil dalam lomba balap, penghias
barang dagangan, pemoles iklan-iklan di berbagai media informasi, dll. Wanita mereka
dituntut untuk berkarir padahal itu bukan kewajiban mereka, sehingga menelantarkan
kewajiban mereka untuk mengurus dan mendidik anaknya sebagai generasi penerus.
Selanjutnya rusaklah tatanan kehidupan masyarakat mereka. Tidak berhenti di sini, mereka
juga ingin kaum wanita kita rusak, sebagaimana kaum wanita mereka rusak lahir batinnya,
dan diantara langkah awal menuju itu adalah dengan mengajak kaum wanita kita -dengan
berbagai cara- agar mau keluar dari rumah mereka.
Cobalah lihat secuil pengakuan orang barat sendiri, tentang sebab rusaknya tatanan
masyarakat mereka berikut ini:
Lord Byron: “Andai para pembaca mau melihat keadaan wanita di zaman yunani kuno, tentu
anda akan dapati mereka dalam kondisi yang dipaksakan dan menyelisihi fitrahnya, dan
Samuel Smills: “Sungguh aturan yang menyuruh wanita untuk berkarir di tempat-tempat
kerja, meski banyak menghasilkan kekayaan untuk negara, tapi akhirnya justru
menghancurkan kehidupan rumah tangga, karena hal itu merusak tatanan rumah tangga,
merobohkan sendi-sendi keluarga, dan merangsek hubungan sosial kemasyarakatan, karena
hal itu jelas akan menjauhkan istri dari suaminya, dan menjauhkan anak-anaknya dari
kerabatnya, hingga pada keadaan tertentu tidak ada hasilnya kecuali merendahkan moral
wanita, karena tugas hakiki wanita adalah mengurus tugas rumah tangganya…”.
Dr. Iidaylin: “Sesungguhnya sebab terjadinya krisis rumah tangga di Amerika, dan rahasia
dari banyak kejahatan di masyarakat, adalah karena istri meninggalkan rumahnya untuk
meningkatkan penghasilan keluarga, hingga meningkatlah penghasilan, tapi di sisi lain
tingkat akhlak malah menurun… Sungguh pengalaman membuktikan bahwa kembalinya
wanita ke lingkungan (keluarga)-nya adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
generasi baru dari kemerosotan yang mereka alami sekarang ini”. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu
Baz, jilid 1, hal: 425-426)
Lihatlah, bagaimana mereka yang obyektif mengakui imbas buruk dari keluarnya wanita dari
rumah untuk berkarir… Sungguh Islam merupakan aturan dan syariat yang paling tepat untuk
manusia, Aturan itu bukan untuk mengekang, tapi untuk mengatur jalan hidup manusia,
menuju perbaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat… Islam dan pemeluknya, ibarat terapi
dan tubuh manusia, Islam akan memperbaiki keadaan pemeluknya, sebagaimana terapi akan
memperbaiki tubuh manusia… Islam dan pemeluknya, ibarat UU dan penduduk suatu negeri,
Islam mengatur dan menertibkan kehidupan manusia, sebagaimana UU juga bertujuan
demikian…
Jadi Islam tidak mengekang wanita, tapi mengatur wanita agar hidupnya menjadi baik,
selamat, tentram, dan bahagia dunia akhirat. Begitulah cara Islam menghormati wanita,
menjauhkan mereka dari pekerjaan yang memberatkan mereka, menghidarkan mereka dari
bahaya yang banyak mengancam mereka di luar rumah, dan menjaga kehormatan mereka
dari niat jahat orang yang hidup di sekitarnya.
Allahu A'lam
Assalamualaikum
Jawaban:
Sesungguhnya, Islam telah memandang manusia sebagai obyek yang dikenai hukum (taklif),
tanpa memperhatikan lagi statusnya sebagai laki-laki dan wanita. Keduanya memiliki
kedudukan yang sama di depan taklif syari’at. Dengan kata lain, keduanya sama-sama
mukallaf yang wajib menjalankan perintah dari Allah SWT tanpa pengecualian. Jika mereka
meninggalkan atau menelantarkan taklif dari Allah, mereka akan dikenai sanksi kelak di
akherat.
Allah SWT berfirman:
“Wahai manusia, hendaklah kalian bertakwa kepada Tuhan Yang telah menciptakan kalian
dari satu jiwa. Dari jiwa itu, Allah lalu menciptakan istrinya, dan dari keduanya, Allah
kemudian mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang amat banyak.” (Qs. an-Nisâ’
[4]: 1).
Di tempat yang lain, Allah SWT juga menyinggung kedudukan wanita dan pria di hadapan
taklif hukum; dimana ayat-ayat berikut ini menunjukkan, bahwa kedudukan wanita dan pria
di hadapan taklif adalah sejajar, dan tidak ada yang dilebihkan dibandingkan yang lain. Allah
SWT berfirman:
“Sesungguhnya kaum Muslim dan Muslimat, kaum Mukmin dan Mukminat, pria dan wanita
yang senantiasa berlaku taat, pria dan wanita yang selalu berlaku benar, pria dan wanita yang
biasa berlaku sabar, pria dan wanita yang senantiasa takut (kepada Allah), pria dan wanita
yang gemar bersedekah, pria dan wanita yang suka berpuasa, pria dan wanita yang selalu
memelihara kemaluan (kehormatan)-nya, serta pria dan wanita yang banyak menyebut asma
Allah, telah Allah sediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. al-Ahzâb
[33]: 35).
“Tidaklah bagi seorang Mukmin maupun Mukminat—jika Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan— ada pilihan dalam urusan mereka.” (Qs. al-Ahzâb [33]: 36).
Tidaklah bagi seorang Mukmin maupun Mukminat—jika Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan— ada pilihan dalam urusan mereka.” (Qs. al-Ahzâb [33]: 36).
“Siapa saja yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki ataupun perempuan, sementara ia
seorang Mukmin, sesungguhnya Kami akan memberikan kepada mereka kehidupan yang
baik, dan Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
daripada amal yang telah mereka kerjakan.” (Qs. an-Nahl [16]: 97).
Seyogyanya, suami isteri harus bahu membahu dalam hal dakwah, dan seorang laki-laki tidak
boleh mengesankan wanita hanya sebagai pembantu laki-laki dalam hal dakwah. Meskipun,
tradisi Islam adalah menjadikan wanita banyak tinggal di dalam rumah, namun bukan berarti
wanita tidak boleh keluar rumah untuk berdakwah. Yang perlu diketahui juga adalah, bahwa
seorang wanita harus dilindungi dan melindungi kehormatan dirinya tatkala berinteraksi
dengan orang yang ada di luar rumah. Oleh karena itu, jika dikhawatirkan seorang wanita
akan ternoda kehormatannya tatkala mengerjakan suatu perbuatan di luar rumah (meskipun
untuk dakwah dan menuntut ilmu), seyogyanya suaminya melarangnya untuk keluar rumah.
Pelarangan ini bisa dimengeti karena kehormatan wanita perlu dijaga dan dilindungi. Jika
suaminya melarang dirinya keluar rumah, maka ia harus mentaatinya dan tidak boleh
membangkang. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwasanya Ibnu ‘Abbas berkata:
“Sesungguhnya seorang perempuan telah datang kepada Rasulullah, lalu ia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, saya ini utusan dari kaum perempuan untuk menemuimu. Jihad ini diwajibkan
Allah kepada kaum laki-laki. Jika mereka menang, mereka mendapat pahala, dan jika mereka
terbunuh, mereka masing tetap hidup di sisi Tuhan mereka, dan mendapatkan rejeki.
Sedangkan kami kaum perempuan hanya membantu mereka. Lantas, apa bagian kami dalam
hal ini.’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Sampaikanlah kepada perempuan-perempuan yang
kamu temui, bahwa taat kepada suami dan mengakui hak-haknya adalah sama dengan itu
(jihad di jalan Allah)’.” (Lihat Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah).
Allahu A'lam.
Jawaban :
Bukankah Rasulullah SAW pernah berpesan kepada kaum laki-laki untuk senantiasa berbuat
lembut kepada perempuan? Ajaran ini bahkan dipesankan secara khusus, berkaitan kondisi
psikologis perempuan yang tercipta feminim, sehingga lebih emosional dan perasa. “Berbuat
baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan
sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Kalau kamu
berusaha meluruskannya, maka ia akan patah.” (Riwayat Bukhari)
Cara Rasulullah SAW mengalah pun diperlihatkan saat beliau begitu marah atas tuntutan
istri-istri beliau yang sudah berlebihan. Rasulullah SAW memilih untuk menyendiri,
menghindari semua istri-istrinya selama sebulan. Hukuman ‘diabaikan’ yang diterima oleh
istr-istri Rasulullah SAW ini ternyata jauh lebih efektif daripada hukuman tindakan secara
fisik.
Suami harus mengalah jika dalam pertengkaran dilihatnya istri penuh dengan emosi. Emosi
sang istri bukan karena ingin merasa ‘lebih’ dari suami, namun sebatas dikarenakan
ketidakmengertiannya terhadap permasalahan. Jadi, suami mengalah justru karena ia lebih
cerdas dan matang daripada istrinya.
Tidak demikian halnya jika istri masih memiliki karakter meremehkan dan merendahkan
suami, ingin mendominasi dan menyinggung harga diri suami. Bila kondisinya demikian,
maka bukan saatnya suami untuk mengalah, namun saatnya untuk bertindak lebih tegas, dan
jika perlu dengan memberi hukuman nusyuz seperti yang diajarkan dalam al-Qur’an, yaitu
dengan meninggalkan dan mengabaikan istri selama beberapa waktu.
Kalaupun suami merasa istri harus diperingatkan dengan tegas, itu pun tetap harus
dihindarkan cara kekerasan fisik, kecuali sudah menjadi alternatif paling akhir.
Kehidupan harmonis Ali dan Fatimah bukannya tanpa mengalami perselisihan. Suatu ketika,
Ali pernah berbuat kasar kepada Fatimah. Fatimah kemudian mengancam Ali, "Demi Allah,
aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah Saw!" Fatimah pun pergi kepada Nabi Saw. dan
Ali mengikutinya.
Sesampainya di hadapan Rasul, Fatimah mengeluhkan tentang kekasaran Ali. Nabi Saw. pun
menyabarkannya, "Wahai putriku, dengarkanlah, pasang telinga, dan pahami bahwa tidak ada
kepandaian sedikit pun bagi wanita yang tidak membalas kasih sayang suaminya ketika dia
tenang."
Ali berkata, "Kalau begitu, aku akan menahan diri dari yang telah kulakukan."
Fatimah pun berkata, "Demi Allah, aku tidak akan berbuat apapun yang tidak kamu sukai."
Pernah suatu hari, ketika ia sedang asyik bekerja menggiling gandum, Rasulullah datang
berkunjung ke rumahnya. Fatimah yang amat keletihan ketika itu meceritakan problem rumah
tangganya. Ia bercerita betapa dirinya telah bekerja keras, menyaring tepung, mengangkat air,
memasak, serta melayani kebutuhan anak-anak. Ia berharap agar Rasulullah dapat
menyampaikan kepada Ali agar Ali mencarikannya seorang pembantu.
Rasulullah Saw. merasa kasihan terhadap permasalahan rumah tangga anakanya itu. Namun
beliau sangat tahu, sesungguhnya Allah memang menghendaki kesusahan bagi hamba-Nya
sewaktu di dunia untuk memudahkannya di akhirat. Mereka yang rela bersusah payah dengan
ujian di dunia demi mengharapkan keridhaan-Nya adalah orang yang akan mendapat tempat
di sisi-Nya. Lalu dibujuknya Fatimah sambil memberi harapan dengan janji-janji Allah.
Beliau mengajarkan zikir, tahmid, dan takbir yang apabila diamalkan, segala permasalahan
dan beban hidup akan terasa ringan. Ketaatannya kepada Ali akan menyebabkan Allah Swt.
mengangkat derajatnya. Sejak saat itu, Fatimah tidak pernah mengeluh dengan kekurangan
dan kemiskinan keluarganya. Ia juga tidak meminta sesuatu yang dapat menyusahkan
suaminya.
Dalam kondisi itu, kemiskinan tidak menghilangkan semangat Fatimah untuk selalu
bersedekah. Ia tidak sanggup kenyang sendiri apabila ada orang lain yang kelaparan. Ia tidak
rela hidup senang di kala orang lain menderita. Bahkan ia tidak pernah membiarkan pengemis
melangkah dari pintu rumahnya tanpa memberi sesuatu, meskipun dirinya sendiri sering
kelaparan.
Allahu A'lam
Assalamu'alaikum
Bagaimana hukumnya, suami menikah lagi tanpa izin istri dan pernikahan sah secara agama
(sirih) namun untuk negara tidak dapat mengeluarkan buku nikah karena harus ada
tandatangan istri pertama?
Bagaimana pernikahan dengan istri kedua dengan komitmen : saat suami sedang bersama istri
pertama tidak boleh menghubungi bahkan saat sakit atau akan melahirkan, apakah kesabaran
istri kedua tersebut diperbolehkan?
Jawaban:
Sebelum menjawab permasalahan ini, perlu dijelaskan bahwa dalam pandangan syariat,
seorang suami belum dihalalkan untuk menikah lagi kecuali telah cukup syarat-syaratnya,
syarat tersebut seperti:
Pertama, kemampuan untuk memberi nafkah yang cukup. Bila dengan menikah lagi nafkah
anak dan istrinya menjadi terlantar, maka menikah lagi hukumnya dosa besar baginya.
Karena menelantarkan nafkah kepada orang yang wajib ia beri nafkah.
Kedua. Bila seorang suami diberi kemampuan dari segi harta, maka ia dituntut untuk bersikap
adil terhadap istri-istrinya. Bila tidak sanggup berbuat adil cukup menikah dengan satu
wanita saja.
Kemudian dalam masalah meminta izin istri untuk berpoligami ini kami kiyaskan dengan
keterangan ulama tentang masalah izin kepada seorang hakim untuk berpoligami.
Dr. Abdul Karim Zaidan menyebutkan bahwa tidak ada nash syariat yang menyebutkan
bahwa seorang suami harus meminta izin kepada seorang hakim untuk berpoligami. Dalam
Muktamar Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah ke-2 yang diadakan di Kairo pada tahun 1385 H
atau 1965 M menyebutkan bahwa hukum poligami adalah mubah dan tidak perlu izin kepada
seorang hakim, selain itu tidak terdapat ijma’ (konsesus) dari ulama semenjak masa nabi
Muhammmad saw dan setelahnya bahwa seorang lelaki yang mau berpoligami harus
meminta izin kepada seorang hakim.
Maka seorang suami yang ingin melakukan poligami tidak perlu meminta izin kepada
istrinya. Meski demikian hendaknya seorang suami jangan terlalu terburu-buru melakukan
poligami tanpa mengamati lebih jauh siapa wanita yang ia nikahi. Sehingga akhirnya ia
terseret dalam kesalahan yang fatal dan dapat merusak kebahagiaan rumah tangganya. Dan
bagi seorang istri hendaknya menyadari sepenuhnya masalah poligami ini. Seperti apa pun
beratnya bila sang suami harus membagi cinta dengan wanita lain, ia harus tetap tabah dan
mampu mengendalikan diri menghadapi ketentuan syariat ini. Sebab bagaimana pun juga
poligami mengandung berbagai manfaat yang tidak mungkin dipungkiri. Dan lebih baik lagi
kalau yang mencarikan istri kedua adalah istri pertama yang menurutnya pas untuk suaminya
sehingga akan menghindari kesenjangan antara istri pertama dan istri kedua.
Sebuah komitmen yang mengakibatkan pendzaliman terhadap salah satu pasangan adalah
komitmen yang tidak syar'i.
Allahu A'lam
Jawaban:
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakaatuh
Setiap orang memiliki garis hidup masing-masing. Tinggal bagaimana kita berusaha dan
berikhtiar karena tidak ada usaha yang sia-sia. Sebagai seorang yang beriman, harus kita
yakin bahwa hanya Allah SWT yang menentukan jodoh kita. Jangan merasa iri melihat
keberuntungan jodoh yang dimiliki orang lain sedangkan kita merasa jodoh tak kunjung tiba.
Percayalah, bahwa kita dilahirkan bersamaan dengan ketetapan jodoh yang terbaik menurut
Allah SWT.
Tapi mengapa tetap jodoh tak kunjung tiba? Padahal hampir setiap saat selalu berdoa,
meminta menyegerakan jodoh kepada Allah. Na’udzubillah min dzaalik. Jangan pernah
Intinya bagaimana kita menyikapi bila jodoh tak kunjung tiba adalah jangan pernah sedikit
pun kita berprasangka buruk kepada Allah swt. Jangan pernah putus meminta dan berdoa
hanya kepadaNYA. Yakinlah itu adalah yang terbaik menurutNya. Pemahaman yang terlalu
ekstrim tersebut kurang tepat karena lebih mengarah keputus-asaan.
Allahu A'lam
Asslkm wr wb.... Ust, mo tnya ttg materi hari ini pd point ke 4 penyebab perceraian adalah
suami yg tdk penyabar. Yg ingin ditanyakan bgmna mensiasati hal ini jika suami kita tmsuk
tipe ini, krna Klu sudah mnjdi karakter agak sulit ya merubahnya... Yg ke dua utk wanita yg
telat menikah, kadang itu bukan kemauan kita y ust, pdhal sudah berikhtiar tp mmg jodoh yg
tdk kunjung datang. Bgmna Ust melihat hal ini? Itu sja, jazakumullah khoir atas
jawabannya....
Jawaban:
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakaatuh
1. Dalam banyak kasus KDRT yang terjadi, ada banyak suami melakukan pelecehan seperti
memukuli istrinya, menghajar habis-habisan istrinya hanya karena masalah kecil. Bahkan
mungkin, bila istri tersebut melakukan kesalahan, belum sampai padanya nasehat dan
peringatan dari suaminya.
Dan kalau sudah begitu, seorang wanita pun jangan hanya diam saja. Bahkan bila suami
beralasan kesal dengan dirinya sendiri atau frustrasi, tetap tidak layak untuk melakukan
perbuatan itu. Dan sebagai istri, apalagi bila kita tahu bahwa kita tidak salah, atau salah dan
sudah meminta maaf serta melakukan perubahan, jangan pernah mau terus menerus
diperlakukan kasar. Sekali, mungkin suami khilaf, lepas kontrol. Tapi cukup sekali, dan harus
segera dihentikan. Karena bila tidak, istri bisa menjadi sasaran pelampiasan rasa frustrasinya
yang akan semakin tak terkendali.
Suami mungkin bisa frustrasi karena masalah himpitan ekonomi. Tapi, frustrasi tanpa
melakukan perbaikan, dalam arti tidak berusaha mencari pekerjaan yang lain juga bukan
suatu hal yang baik. Sebagai istri, yang perlu dilakukan adalah memberikan support untuk
Kemudian, coba ungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang baik atas perilaku suami yang
kasar. Misalnya, dengan membicarakan hal tersebut dengan sopan dan tenang di saat suami
sudah reda emosinya, namun juga tunjukkan sikap yang tegas. Jadi tidak boleh kita merasa
ragu-ragu, tapi juga tidak boleh sambil marah-marah atau emosi yang dapat memicu
pertengkaran. Lakukan pendekatan secara personal di saat ia sedang tenang. Misalnya, “Mas,
maafkan saya soal kemarin. Saya mungkin salah karena kurang bisa bersabar, dan masih
sering menuntut. Tapi, ayo kita perbaiki ini bersama-sama. Saya mau belajar bersabar, tapi
saya pun berharap mas juga bisa bersabar dan lebih menahan diri. Mari kita bersama-sama
mencari solusi untuk masalah ini.”
Upayakan untuk memberinya rasa tenang dan membuat ia merasa dicintai dan dihargai. Tapi,
jika terjadi ketegangan dan ia mulai bertindak kasar, maka ambillah jarak dengannya. Lalu
katakan bahwa sudah cukup baginya untuk memperlakukan istri dengan kasar dan tegaskan
bahwa Anda tidak mau diperlakukan seperti itu lagi. Jika perlu, mintalah dokter untuk
memberikan visum sebagai bukti.
Pada dasarnya, suami itu memiliki kebutuhan mendasar yaitu merasa dibutuhkan oleh
istrinya. Namun, perlakuan-perlakuan kasar suami dapat membuat istri menjadi tersakiti dan
akhirnya hilanglah rasa butuhnya terhadap suami, dan itulah yang nantinya bisa dijadikan
“senjata”. Jika suami tidak mau berubah, bahkan semakin menjadi, tinggalkan saja. Wanita
tidak boleh menjadi lemah dan bergantung pada laki-laki kasar seperti itu.
Untuk apa? Kita tidak butuh diperlakukan kasar. Kita juga tidak butuh melihat anak-anak ikut
tersakiti karena melihat ibunya dipukuli oleh ayahnya. Kita tidak butuh contoh ayah yang
kasar, yang tidak bisa berlaku sayang pada keluarga. Kita butuh suami yang memiliki hati
dan jiwa yang sehat.
Cinta? Masih adakah cinta yang tersisa untuk seorang suami dengan perangai kasar seperti
itu? Tidak. Konyol saja jika ada istri yang mau bertahan dipukuli dan dikasari suaminya
berkali-kali dan membiarkan anak-anaknya menyaksikan hal tersebut terjadi di dalam
rumahnya. Anak-anak butuh figur yang sehat jiwanya untuk bisa menjadi manusia yang juga
sehat jiwanya di kemudian hari. Jangan pernah Anda fikir bahwa rasa “cinta” itu bisa
membenarkan kita diperlakukan demikian. Anda mungkin bisa, tapi tidak anak-anak Anda.
2. Setiap orang memiliki garis hidup masing-masing. Tinggal bagaimana kita berusaha dan
berikhtiar karena tidak ada usaha yang sia-sia. Sebagai seorang yang beriman, harus kita
yakin bahwa hanya Allah SWT yang menentukan jodoh kita. Jangan merasa iri melihat
keberuntungan jodoh yang dimiliki orang lain sedangkan kita merasa jodoh tak kunjung tiba.
Percayalah, bahwa kita dilahirkan bersamaan dengan ketetapan jodoh yang terbaik menurut
Allah SWT.
Tapi mengapa tetap jodoh tak kunjung tiba? Padahal hampir setiap saat selalu berdoa,
meminta menyegerakan jodoh kepada Allah. Na’udzubillah min dzaalik. Jangan pernah
sekalipun terlintas dalam pikiran kita, untuk berprasangka buruk kepada Allah SWT. ”Sang
Maha Kaya dan Pencipta Segala Sesuatu” tentu memiliki rencana yang lebih indah dan lebih
baik untuk kita. Sudahkah kita melakukan usaha dan ikhtiar untuk mencari dan menjemput
jodoh yang sesuai dengan cara-cara Rasulullah saw?
Intinya bagaimana kita menyikapi bila jodoh tak kunjung tiba adalah jangan pernah sedikit
pun kita berprasangka buruk kepada Allah swt. Jangan pernah putus meminta dan berdoa
hanya kepadaNYA. Yakinlah itu adalah yang terbaik menurutNya. Pemahaman yang terlalu
ekstrim tersebut kurang tepat karena lebih mengarah keputus-asaan.
Allahu A'lam
Ust.mau tanya apa yg harus dilakukan utk menciptakan komunikasi yg baik antara suami istri
bilamana suami tdk terbuka dan tdk pernah membicarakan masalah yg terjadi padahal istri
ingin sekali membahas agar masalah terselesaikan dan tidak menjadi semakin sulit?
Jawaban:
Apakah suami pendiam, tidak banyak bicara, dan sulit mengungkapkan perasaan. Itu berarti
ia termasuk pribadi introvert. Introvert biasanya dianggap sangat serius, egois, sombong, dan
dingin karena tidak banyak bicara.
Cari tahu seperti apa pribadi introvert dan hadapi sesuai dengan pribadinya. Setiap introvert
juga memiliki pribadi yang berbeda. Jika suami tidak suka membahas permasalahan di
tempat umum, Anda bisa mengajaknya berbicara di rumah atau restoran yang sepi.
Kata-kata kurang membuat introvet terkesan. Gunakan gerakan manis untuk mengungkapkan
cinta Anda padanya, seperti kontak mata dan senyuman manis.
Introvert mungkin sulit mengatakan cinta, jadi dorong ia untuk berbagi perasaan dengan
Anda. Misalnya, minta ia menulis kata cinta. Hal seperti itu memberi kesempatannya terbuka
dengan Anda.
Introvert memiliki waktu berpikir sebelum berbicara dan menyimpan kata-kata untuk hal-hal
penting. Introvert lebih suka berbicara berdua dibanding dengan sekelompok orang. Jadi,
ketika berdua dengannya, beri ia kesempatan berbicara lebih banyak
Anda harus bersikap tenang ketika mendengarnya berbicara. Kurangi kata-kata dan dorong ia
untuk berbicara.
Jangan ajukan pertanyaan yang bisa dijawab dengan kata 'ya' atau 'tidak'. Misalnya
pertanyaan "Kamu suka baca buku?" diganti dengan "Buku yang kamu suka membahas
tentang apa?". Sehingga ia akan menjawab dengan lebih rinci.
Semakin banyak waktu yang dihabiskan berdua, semakin Anda terhubung secara emosional
dengannya.
Ekspresi wajah dan tubuh si introvert bisa memberi tahu banyak tentangnya. Introvert
biasanya tidak mengatakan yang sebenarnya, jadi amati bahasa tubuhnya. Itu bisa bantu
mengetahui apa yang dipikirkannya.
Allahu A'lam
Sebagian besar problem rumah tangga disebabkan oleh macetnya komunikasi suami istri.
Masalah yang kecil & remeh terkadang menjadi besar karena tidak adanya komunikasi. Ada
baiknya seorang istri maupun seorang suami meluangkan waktu walaupun beberapa menit
untuk berbicara dalam sehari, walaupun mungkin pembicaraan tidak "berbobot" atau sekedar
cerita "ngalor ngidul" tapi InsyaAllah itu sangat baik untuk keintiman suami istri. Lihatlah
bagaimana akhlak Rasulullah kepada istrinya, lembut, santun, bercanda & senantiasa
menyenangkan untuk istrinya.
Terkadang kita sebagai istri selalu ingin dimanja suami. Diperhatikan, disayang &
diperlakukan romantis. Paradigma ini harus kita ubah, berfikirlah memberi bukan menerima.
Berilah perhatian kepada pasangan, InsyaAllah pasangan akan memberikan perhatian juga.
Berilah pasangan "service" yang memuaskan, InsyaAllah pasangan kan memberikan timbal
balik. Jika setiap pasangan berfikir memberi, InsyaAllah keluarga kan senantiasa harmonis.
- Refreshing bersama -
Adakalanya ketika kejenuhan melanda maka diperlukan refreshing bersama pasangan. Bisa
ke pantai, gunung atau tempat wisata lainnya. Hal ini bisa semakin mengeratkan hubungan.
Kepuasan pasangan dalam hal hubungan intim merupakan hal yang penting. Ada banyak
kasus perceraian karena masalah ranjang, sehingga terjadi perselingkuhan. Dalam hal ini
seorang istri atau suami tidak perlu malu untuk bertanya kepada pasangan apakah ia sudah
"puas" atau belum. Suami maupun istri harus saling terbuka & belajar bersama sehingga
hubungan intim bukan sekedar rutinitas akan tetapi berbuah kemesraan diantara keduanya.
Adakalanya pasangan meminta hal "aneh" dalam hubungan intim, maka kita harus bijaksana
menyikapinya. Kalau hal tersebut masih dalam koridor syar'i, artinya tidak ada larangannya
maka tidak ada salahnya kita menurutinya. Misal mencoba posisi lain ketika hubungan intim.
Dalam membina rumah tangga sebaiknya menghindari kata-kata yang bisa menyakitkan
pasangan. Kalaupun pasangan punya masa lalu yang kelam, biarlah itu menjadi masa lalu,
jangan diungkit lagi. Berilah semangat untuk terus memperbaiki diri.
Setiap kita pasti punya kelebihan dan juga kekurangan. Maka senantiasa lihatlah kelebihan
pasangan insyaAllah hal itu akan membuat kita menghargai, menghormati & menyayangi
www.menikah-islami.blogspot.com
Banyak suami yang mungkin tidak tahu bahwa rezekinya dengan izin Allah mengalir lancar
atau sulit, atas peran istri.
Memang tidak bisa dilihat secara kasat mata, namun bisa dijelaskan secara spiritual bahwa 10
sifat istri ini ‘membantu’ mendatangkan rezeki bagi suaminya.
Istri yang bersyukur atas segala karunia Allah pada hakikatnya dia sedang mengundang
tambahan nikmat untuk suaminya. Termasuk rezeki.
Punya suami, bersyukur. Menjadi ibu, bersyukur. Anak-anak bisa mengaji, bersyukur.
Suami memberikan nafkah, bersyukur. Suami memberikan hadiah, bersyukur.
Suami mencintai setulus hati, bersyukur.
Suami memberikan kenikmatan sebagai suami istri, bersyukur.
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan: jika kalian bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmatKu) maka sesungguhnya
adzabku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7)
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaq: 3)
Jika seorang istri bertawakkal kepada Allah, sementara dia tidak bekerja, dari mana dia
dicukupkan rezekinya.
Allah akan mencukupkannya dari jalan lain, tidak selalu harus langsung diberikan kepada
wanita tersebut.
Bisa jadi Allah akan memberikan rezeki yang banyak kepada suaminya, lalu suami tersebut
memberikan nafkah yang cukup kepada dirinya.
Rasulullah menjelaskan bahwa wanita dinikahi karena empat perkara. Karena hartanya,
kecantikannya, nasabnya dan agamanya.
ْ َت ف
اظفَ ْر ِ ّين بِذَا ْ َيَدَاكَ ت َِرب
ِ ت ال ِد
“Pilihlah karena agamanya, niscaya kamu beruntung” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Beruntung itu beruntung di dunia dan di akhirat. Beruntung di dunia, salah satu aspeknya
adalah dimudahkan mendapatkan rezeki yang halal.
Coba kita perhatikan, insya Allah tidak ada satu pun keluarga yang semua anggotanya taat
kepada Allah kemudian mereka mati kelaparan atau nasibnya mengenaskan.
Di antara keutamaan istighfar adalah mendatangkan rezeki. Hal itu bisa dilihat dalam Surat
Nuh ayat 10 hingga 12.
Bahwa dengan memperbanyak istighfar, Allah akan mengirimkan hujan dan memperbanyak
harta.
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, sesunguhnya Dia
adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,
memperbanyak harta dan anak-anakmu, mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan
(pula di dalamnya) sungai-sungai untukmu” (QS. Nuh : 10-12)
Istri yang gemar menyambung silaturahim, baik kepada orang tuanya, mertuanya, sanak
familinya, dan saudari-saudari seaqidah, pada hakikatnya ia sedang membantu suaminya
memperlancar rezeki.
Sebab keutamaan silaturahim adalah dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya.
َ ط أ َ ْن
س ﱠرهُ َم ْن َ ِر ْزقِ ِه فِى لَهُ يُ ْب َس، سأ َ َوأَ ْن ِ ََر ِح َمهُ فَ ْلي
َ أَثَ ِر ِه فِى لَهُ يُ ْن، ص ْل
“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia
menyambung silaturrahmi.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Istri yang suka bersedekah, dia juga pada hakikatnya sedang melipatgandakan rezeki
suaminya. Sebab salah satu keutamaan sedekah sebagaimana disebutkan dalam surat Al
Baqarah, akan dilipatgandakan Allah hingga 700 kali lipat. Bahkan hingga kelipatan lain
sesuai kehendak Allah.
Jika istri diberi nafkah oleh suaminya, lalu sebagiannya ia gunakan untuk sedekah, mungkin
tidak langsung dibalas melaluinya.
Namun bisa jadi dibalas melalui suaminya. Jadilah pekerjaan suaminya lancar, rezekinya
berlimpah.
َت َحبﱠ ٍة َك َمث َ ِل ﱠ ِ َسبِي ِل فِي أَ ْم َوالَ ُه ْم يُ ْن ِفقُونَ الﱠذِينَ َمثَ ُل
ْ س ْب َع أ َ ْنبَت ُ ُف َو ﱠ ُ َحبﱠ ٍة ِمﺌَة
َ س ْنبُلَ ٍة ُك ِّل فِي َسنَابِ َل َ َُوا ِس ٌع َو ﱠ ُ يَشَا ُء ِل َم ْن ي
ُ ضا ِع
َع ِلي ٌم
Orang yang bertaqwa akan mendapatkan jaminan rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bahkan ia akan mendapatkan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Sebagaimana firman
Allah dalam surat Ath Talaq ayat 2 dan 3.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya dan
memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka” (QS. At Thalaq: 2-3)
Jika seseorang ingin mendapatkan sesuatu, ia perlu mengetahui siapakah yang memilikinya.
Ia tidak bisa mendapatkan sesuatu tersebut melainkan dari pemiliknya.
Begitulah rezeki. Rezeki sebenarnya adalah pemberian dari Allah Azza wa Jalla. Dialah yang
Maha Pemberi rezeki. Maka jangan hanya mengandalkan usaha manusiawi namun
perbanyaklah berdoa memohon kepadaNya.
Doakan suami agar senantiasa mendapatkan limpahan rezeki dari Allah, dan yakinlah jika
istri berdoa kepada Allah untuk suaminya pasti Allah akan mengabulkannya.
“DanTuhanmu berfirman: Berdoalah kepadaKu niscaya Aku kabulkan” (QS. Ghafir: 60)
Shalat dhuha merupakan shalat sunnah yang luar biasa keutamaannya. Shalat dhuha dua
raka’at setara dengan 360 sedekah untuk menggantikan hutang sedekah tiap persendian.
Shalat dhuha empat rakaat, Allah akan menjami rezekinya sepanjang hari.
“Di dalam tubuh manusia terdapat 360 sendi, yang seluruhnya harus dikeluarkan
sedekahnya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah yang mampu melakukan itu wahai
Nabiyullah?”
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Wahai anak Adam, janganlah engkau luput dari empat
rakaat di awal harimu, niscaya Aku cukupkan untukmu di sepanjang hari itu.” (HR. Ahmad)
Salah satu kewajiban istri kepada suami adalah mentaatinya. Sepanjang perintah suami tidak
dalam rangka mendurhakai Allah dan RasulNya, istri wajib mentaatinya.
Apa hubungannya dengan rezeki? Ketika seorang istri taat kepada suaminya, maka hati
suaminya pun tenang dan damai. Ketika hatinya damai, ia bisa berpikir lebih jernih dan
kreatifitasnya muncul.
:::Ibu Super:::
-Tinggal pilih saja keadaan seperti apa kita mau menerima rizki dari Allah-
by Leila Hana
Seketika, kalimat itu buyar kala saya berhadapan dengan seorang wanita berusia 47 tahun
yang datang ke rumah saya untuk mengisi pengajian. Wanita bersahaja itu datang jauh-jauh,
cukup jauh dari komplek perumahan tempat tinggal saya, untuk memberi pengajian secara
gratis. Ingat, gratis lho.... Nggak ada bayaran sepeser pun kecuali sajian makan siang yang
saya berikan. Dia datang untuk menggantikan guru ngaji saya yang berhalangan. Sambil
menunggu teman-teman lain, kami ngobrol-ngobrol.
"Coba tebak, anak saya berapa, Bu?" tanyanya, ketika kami sedang ngobrol soal anak-anak.
Saya sedikit mengeluhkan kondisi rumah yang berantakan karena anak-anak nggak bisa
diam, lalu dia memaklumkan. Namanya juga anak-anak. Dia sudah berpengalaman karena
anaknya lebih banyak dari saya.
"Ehm... empat?" (pikir saya, paling-paling cuma selisih satu).
"Masih jauh...."
"Tujuh...."
"Kurang... yang benar, delapan."
Mata saya membelalak. Masya Allah! DELAPAN?!
"Itu masih kurang, Bu. Ustazah Yoyoh (almarhumah Yoyoh Yusroh, mantan anggota DPR)
saja anaknya 13. Jadi, saya ini belum ada apa-apanya," katanya, merendah.
Ibu rumah tangga di sini maksudnya nggak kerja kantoran, tapi juga bukan pengangguran.
Beliau aktif mengisi pengajian. Lalu, bagaimana kehidupannya setelah suaminya meninggal?
Beliau nggak punya gaji, nggak kerja kantoran. Coba, gimana? Apa beliau lalu sengsara dan
anak-anaknya putus sekolah? No. no, no....
Kalau saya mengingat kalimat pembuka di atas kok kayaknya mustahil ya seorang ibu yang
nggak bekerja dan suaminya meninggal dunia, bisa bertahan hidup dengan delapan anak dan
anak-anaknya bisa tetap kuliah. Mustahil itu... NGGAK MUNGKIN!
"Bagi Allah, nggak ada yang nggak mungkin, Bu. Asal kita percaya sama Allah. Allah yang
kasih rezeki, kan? Percaya saja sama Allah. Saya cuma yakin bahwa semua yang saya
dapatkan selama ini adalah karena kebaikan-kebaikan saya dan suami semasa hidup. Saya
cuma berbagi pengalaman ya, Bu, bukan mau riya. Memang, suami saya dulu itu orangnya
pemurah. Kalau ada yang minta bantuan, dia akan kasih walaupun dia uangnya pas-pasan.
Alhamdulillah, Allah kasih ganti. Sewaktu suami masih hidup, kami hidup sederhana. Rezeki
suami itu dibagi ke orang-orang juga, padahal anak kami ada delapan. Suami nggak takut
kekurangan....."
"Hingga suami saya meninggal dunia... uang duka yang kami dapatkan itu... Masya Allah...
jumlahnya 100 juta. Padahal, suami saya itu biasa-biasa saja, bukan orang penting. Uang itu
langsung dibuat biaya pemakaman, tabungan pendidikan anak, dan sisanya renovasi rumah
yang mau ambruk."
Dengar uang 100 juta dari uang duka saja, saya sudah kagum.
"Saat renovasi rumah, saya serahkan saja ke tukangnya. Dia bilang, uangnya kurang. Saya
lillahi ta'ala saja. Yang penting atap rumah nggak ambruk, karena memang kondisinya sudah
memprihatinkan. Khawatirnya anak-anak ketimpa atap....."
Saya membayangkan, keajaiban apa lagi yang didapatkan oleh wanita itu?
"Nggak disangka. Begitu orang-orang tau kalau saya sedang renovasi rumah, mereka
menyumbang. Bukan ratusan ribu, tapi puluhan juta! Sampai terkumpul 100 juta lagi dan
rumah saya seperti bisa dilihat sekarang.... Sampai hari ini, saya masih dapat transferan uang
dari mana-mana, Bu-Ibu. Saya nggak tau dari siapa aja karena mereka nggak bilang. Saya
juga udah nggak pernah beli beras lagi sejak suami meninggal. Selalu ada yang kasih beras."
Ucapan, "Kalau suami meninggal atau bercerai, siapa yang kasih makan saya dan anak-
anak?" itu sama saja dengan sirik, atau menduakan Allah.
Menganggap diri kita super, dengan kita bekerja, maka rezeki terjamin. Padahal, Allah yang
kasih rezeki. Jika dulu Allah kasih rezeki melalui suami, besok Allah kasih lewat jalan lain.
From Allah to Allah.
Assalamualaikum. Saya ingin bertanya apabila ada seorang laki2 yang mengalami
kekurangan tidak bisa mengucapkan huruf R dgn benar (cadel), ketika mengucapkan ijab
qobul, apakah berpengaruh thdp sah/tidak nya ijab? Apakah pelafalan huruf R harus benar
saat ijab qabul? Bolehkah seorang lelaki mengenakan emas putih sbgai cincin kawin?
Terimakasih.
Jawaban:
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakatuh
InsyaAllah hal tersebut ma'fu (diampuni) karena bukan karena unsur kesengajaan dan
merupakan suatu cacat. Sah dalam pandangan syar'i ijab qabul tersebut.
Banyak fatwa yang disampaikan para ulama tentang emas putih, yang jika perhatikan,
jawaban dari fatwa-fatwa itu berputar pada satu pertanyaan: apa hakekat emas putih? Apa
kandungan dari emas putih itu?.
Dengan mengacu pada jawaban ini, mereka menyimpulkan hukum yang berlaku untuk emas
putih. Apakah dia digolongkan sebagaimana emas, ataukah logam lain yang bukan emas,
meskipun masyarakat menyebutnya emas putih.
Dalam salah satu fatwanya, Lajnah Daimah mengembalikan hukum emas putih seperti
keterangan yang disampaikan penanya. Penanya menyebutkan bahwa Emas tersebut
dicampur dengan logam tertentu (sekitar 5-10%) yang merubah warnanya dari warna kuning
emas menjadi putih atau bisa pula menjadi warna lainnya sehingga ia seperti menjadi logam
lain.
ما الواقع كان إذا،أحكامه عن يخرج ﻻ بغيره خلط إذا الذهب فﺈن ذكر
Jika realitanya seperti yang diceritakan, maka emas apabila dicampur dengan logam lain,
memiliki hukum sebagaimana emas asli. (Fatwa Lajnah Daimah, no. 21867)
Kedua, Keterangan dari Syaikh Abu Said al-Jazairi – seorang ulama di Aljazair –, ketika
beliau ditanya tentang hukum emas putih bagi lelaki, beliau menjawab,
يجوز اﻷﺻفرفﻼ الذهب مكونات نفس من مكونا اﻷبيض الذهب كان إذا
“Jika unsur pembentuk emas putih itu sama dengan unsur-unsur pembentuk emas kuning
maka tidak boleh dipakai oleh laki-laki…”
Kemudian beliau menyebutkan dalil larangan lelaki memakakai emas. Lanjut beliau,
اﻷﺻفر الذهب مكونات غير من مكونا اﻷبض الذهب ذلﻚ كان إذا وأما, لبسه للرجل يجوز فﺈنه, بالذهب تسميته تضر وﻻ
اﻷبيض, اﻷسود بالذهب البترول تسمية مثل. اﻷخضر بالذهب الزراعية الثروة تسمية ومثل. دائما باﻷسماء العبرة فليست
.بالحقائق بل
Namun jika unsur pembentuk emas putih itu berbeda dengan unsur pembentuk emas kuning
maka boleh dipakai oleh laki-laki dan tidaklah mengapa benda tersebut disebut emas putih
sebagaiman minyak bumi disebut emas hitam dan hasil pertanian disebut emas hijau. Tolak
ukur penilaian tidaklah selalu dengan nama namun dengan realita senyatanya.” (sumber:
http://www.abusaid.net/fatawi-sites/339.htmlArtikel)
Tidak jauh beda dengan fatwa sebelumnya, Lembaga Fatawa Syabakah Islamiyah
menjelaskan bahwa hukum emas putih kemballi kepada kandungan emas itu.
لبسه للرجل منع حقيقيا ذهبا كان إن اﻷبيض بالذهب يسمى وما. الذهب حكم يأخذ ﻷنه. واﺻطﻼح جاز ذهب غير كان وإن
الشرعي الحكم يغير ﻻ ذهبا ً تسميته على الناس
“Apa yang saat ini disebut emas putih, jika itu berupa emas asli maka lelaki tidak boleh
memakainya, karena hukumnya sama dengan emas. Jika unsurnya bukan emas, boleh.
Sementara istilah masyarakat yang menyebutnya emas, tidak mengubah hukum syar’i.”
(Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 10791)
Seperti yang kita simak, semua fatwa di atas, tidak memberikan hukum tegas mengenai emas
putih, selain dikembalikan kepada hakekat dari emas putih itu. Karena yang menjadi acuan
hukum bukan nama, tetapi hakekatnya.
Yang kedua, sejak masa silam, para sahabat telah mengenal perhiasan emas selain yang
berwarna kuning. Diantaranya adalah emas merah. Dalam hadis tentang berita dusta
mengenai tuduhan orang munafik kepada A’isyah radhiyallahu ‘anha, salah satu budak
wanita milik A’isyah bersaksi tentang kehormatan A’isyah yang beliau saksikan selama di
dalam rumah beliau.
ِصائِ ُغ يَ ْعلَ ُم َما إِ ﱠﻻ َعلَ ْي َها َع ِل ْمتُ َما َوﷲ ِ ْاﻷَحْ َم ِر الذﱠ َه
ب تِب ِْر َعلَى ال ﱠ
”Demi Allah, saya tidak mengetahui A’isyah kecuali seperti yang diketahui oleh seorang ahli
emas terhadap batangan emas merah.” (HR. Bukhari 4757, Muslim 2770, Turmudzi 3180,
dan yang lainnya).
Sebagian ulama menjelaskan bahwa emas memiliki warna kuning kemerahan. Sehingga
sebagian orang menyebutnya emas merah.
Syaikh Abdurrahman bin Fahd al-Wada’an menulis satu risalah khusus tentang hukum emas
putih. Beliau banyak menyebutkan penjelasan dari para pakar ilmu tentang logam dan
mineral. Diantara kesilpulan yang beliau sampaikan,
Kesimpulannya bahwa emas aslinya berwarna kuning, dan tidak dijumpai emas yang asalnya
berwarna putih. Akan tetapi dicampuri logam lain, sehingga mengubah warna emas dari
kuning menjadi putih, atau merah, atau warna lainnya, sesuai bahan yang ditambahkan.
Sumber: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=38813
Dengan demikian, mengingat pertimbangan di atas, emas putih dihukumi sama dengan emas
biasa.
Allahu a’lam.
Assalammualaikum, saya mau bertanya, bagaimana cara kita mengendalikan hati agar tidak
terlalu mencintai seseorang yg blm kita tahu itu jodoh kita atau bukan? Syukran
Jawaban:
Cara paling sederhana adalah mengutamakan cinta kepada Allah Ta'ala, dengan semakin
mendekat kepadaNya. Cinta kepada Al-Qur'an dengan memperbayak membacanya dan yang
terpenting adalah kita menyadari bahwa jodoh adalah kewenangan Allah dan Dialah Yang
Maha Tahu mana yang terbaik untuk kita. Kalau selama ini kita sudah mengagumi
(mencintai) seseorang maka tanamkanlah dalam hati bahwa kalau dia memang yang terbaik
menurut Allah, insyaAllah Allah kan mempertemukan dalam ikatan yang halal, kalaupun
tidak, insyaAllah itu yang terbaik.
Allahu A'lam
Afwan sy mau bertanya, mksd dr harta/rezeki yg memenuhi nishob untuk zakat mal pertahun
itu gmna? Syukron
Jawaban:
Makna nishab di sini adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i
(agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang
memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah
mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah,
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari
keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu
berpikir.” (Qs. Al Baqarah: 219)
Makna al afwu (dalam ayat tersebut-red), adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh
karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang.
1. Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang, seperti makanan, pakaian,
tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.
2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari
kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun).” (HR.
Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al AlBani)
Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan
buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun (rikaz) yang diambil
ketika menemukannya.
Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan zakat
karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut
berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah
sempurna nishab tersebut.
Nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar Islam.
1 dinar = 4,25 gr emas
Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni.
“Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas – sampai memiliki 20 dinar.
Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya zakat ½ dinar.
Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada zakat pada harta, kecuali setelah satu
haul.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi)
Dari nishab tersebut, diambil 2,5% atau 1/40. Dan jika lebih dari nishab dan belum sampai
pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab awal. Demikian
menurut pendapat yang paling kuat.
Contoh:
Seseorang memiliki 87 gr emas yang disimpan. Maka, jika telah sampai haulnya, wajib
atasnya untuk mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 x 87gr = 2,175 gr atau uang seharga
tersebut.
2. Nishab perak
Nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr, sebagaimana hitungan Syaikh
Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/104 dan diambil darinya 2,5%
dengan perhitungan sama dengan emas.
Syarat wajib zakat binatang ternak sama dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu
binatanngya lebih sering digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan
makanan.
Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut:
a. Onta
Nishab onta adalah 5 ekor.
Dengan pertimbangan di negara kita tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta
tidak kami jabarkan secara rinci -red.
b. Sapi
Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.
Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyari’atkan dalam Islam dengan dasar firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang
tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan
delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari
buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari
memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-An’am:
141)
Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Zakat itu tidak ada yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Satu wasaq setara dengan 60 sha’ (menurut kesepakatan ulama, silakan lihat penjelasan Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari 3/364). Sedangkan 1 sha’ setara dengan 2,175 kg atau 3 kg.
Demikian menurut takaaran Lajnah Daimah li Al Fatwa wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite
Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan ketentuan resmi
yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian adalah 300 sha’ x 3 kg = 900
kg. Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan
(atau menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika
“Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami
dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20).” (HR. Muslim 2/673)
Misalnya: Seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran
zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) adalah 1000 x 1/20 = 50
kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg
Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat
yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan
ukuran zakat emas.
Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan sama dengan syarat-syarat yang ada
pada zakat yang lain, dan ditambah dengan 3 syarat lainnya:
1) Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah, dan yang
sejenisnya.
2) Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
3) Nilainya telah sampai nishab.
Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli),
lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.
Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan
jumlah total sebesar Rp. 200.000.000 dan laba bersih sebesar Rp. 50.000.000. Sementara itu,
ia memiliki hutang sebanyak Rp. 100.000.000. Maka perhitungannya sebagai berikut:
Modal – Hutang:
Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan
haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dalam harta temuan terdapat seperlima (1/5) zakatnya.” (HR. Muttafaqun alaihi)
Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang
dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?
Imam Nawawi berkata, “Menurut mazhab kami (Syafi’i), mazhab Malik, Ahmad, dan
jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya – dan (dalam
mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak, dan binatang
ternak- keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut
berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah hitungan haul. Dan kalau sempurna
lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut.”
(Dinukil dari Sayyid Sabiq dari ucapannya dalam Fiqh as-Sunnah 1/468). Inilah pendapat
yang rajih (paling kuat -ed) insya Allah. Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423
H, lalu bulan Rajab pada tahun itu ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka
terhapuslah perhitungan nishabnya. Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga)
hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka dimulai lagi perhitungan pertama dari
bulan Ramadhan tersebut.
Allahu A'lam
Gimana menghadapi suami yg kerja apa adanya aja tak mau mencari lebih spt ustdzh
sampaikan.saat ada rezeki bsyukur ketika gak ada ya udh pasrah aja itu prinsip
suaminya.sedangkan sang istri kalau bisa istilahnya kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala
banyak sumber spt ustdzh sampaikan
Jawaban:
Islam menetapkan bahwa setiap orang pria yang mampu berkerja wajib mencari harta sendiri
ْ
dengan cara mempraktikkan salah satu dari sebab-sebab kepemilikan harta ( ُ)ال َما ِل ت َ َملﱡ ِﻚ ا َ ْسبَاب,
antara lain dengan bekerja kepada orang lain melalui aqad ijarah. Cara lainnya adalah dengan
mengembangkan harta yang dimilikinya (ُ)م ْل ِكيَ ِت ِه ت َ ْن ِميﱠة
ِ misalnya dengan cara dagang atau
menjadi investor dalam syirkah mudharabah. Banyak dalil yang menunjukkan hal itu antara
lain hadits:
Dari Miqdam ra dari Rasulullah saw menyatakan : tidak ada seorang pun yang memakan
makanan yang lebih baik daripada dia memakan makanan hasil dari karya tangannya sendiri
سو َل َيا ِقي َل قَا َل َخدِيجٍ ب ِْن َرا ِفعِ َج ِدّ ِه َع ْن َخدِيجٍ ب ِْن َرا ِفعِ ب ِْن ِرفَا َعةَ ب ِْن َع َبا َيةَ َع ْن
ُ ي ﱠ ِ َر ِ ط َيبُ ْال َك ْس
ب أَ ﱡ ْ َ الر ُج ِل َع َم ُل قَا َل أ
ِب َي ِد ِه ﱠ
ور بَي ٍْع َو ُك ﱡل
ٍ احمد رواه( َمب ُْر
Dari ‘Abaayah bin Raafi’ah bin Khadaij dari kakeknya yakni Raafi’ bin Khadaij menyatakan
: telah ditanyakan wahai Rasulullah kasab apakah yang paling baik? Beliau menjawab :
pekerja-an seseorang yang langsung dilakukan sendiri dan semua jual beli yang benar
Ketika seorang pria telah menjadi suami dan bahkan bapak dari anak-anaknya, maka dia
wajib membiayai seluruh kebutuhan mereka, minimal kebutuhan pokoknya: makanan-
minuman, pakaian dan tempat tinggal. Jika dia tidak melaksanakan kewajibannya tersebut,
maka pasti berdosa dan dosanya itu tidak dapat dihapus oleh shalat maupun shaum artinya
kaffarah satu-satunya bagi dosa tersebut adalah dia melaksanakan kewajibannya mencari
harta untuk mem-biayai kehidupan dirinya, istrinya dan anak-anaknya. Rasulullah saw
menyatakan :
Sungguh dari dosa-dosa itu ada dosa yang shaum maupun shalat tidak dapat menghapusnya.
Ditanyakan : lalu apakah yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah? Beliau menjawab
: sungguh-sungguh dalam mencari rizqi.
Lapang dada
Menghadapi pasangan malas, pertama, perlu kelapangan dada. Lapangan dada akan
mengurangi perasaan tertekan, kecewa atau jengkel kepadanya. Pemahaman seperti ini juga
sangat baik untuk memberikan pelajaran kepadanya, bahwa dirinya dipahami oleh
pasangannya. Secara tidak langsung ini akan mengajarinya untuk juga memeahami orang
yang telah rela’berkorban’ bagi dirinya tersebut, sehingga tak layak bila ia terus-menerus
malas, atau tak segera membantu pasangannya dalam melakukan aktifitas.
Kiat menghadapinya
Perlu kita khusus untuk menghadapi pasangan yang malas. Khusus bagi anda para istri,
hindari emosi atau uring-uringan dulu, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah.
Kalaupun berubah mungkin hanya sementara.
Juga, perlu langkah konkrit, bertahap, dan bukan instant untuk membuat pasangan bisa
berubah dari pemalas menjadi seorang yang rajin. Berikut kiat-kiat yang bisa dilakukan :
Bila mendapati pasangan sedang malas, dekati, dan Tanya tentang keadaannya, ada apa dan
kenapa? Apakah ia sakit, atau ada beban pikiran yang berat? Buat ia bercerita tentang
masalahnya, kemudian coba cari solusinya bersama-sama.
Lakukan pelayanan maksimal walaupun ia tampak malas-malasan. Sunguhkan apa yang
disukainya, kalau perlu dipijati sambil diajak bercanda. Secara pelan masuki disela-sela
canda tersebut pentingnya melakukan kewajiban dengan baik. Beri contoh hal-hal yang perlu
diperbaiki bersama-sama berumah tangga.
Jangan vonis dia ketika menyinggung kemalasannya. Tapi ajak bersama untuk mengerjakan
tugas-tugas dalam rumah tangga. Katakana padanya bahwa anda akan tambah saying kalau
kerja ditemani, lebih saying
Bila anda hendak melakukan aktifitas, cium atau belay dirinya. Kemudian ajaklah bangun
bersama-sama untuk melakukan aktifitas. Hindari menyuruhnya, biasakan meminta tolong
padanya dengan bahasa yang halus dan sopan, seperti, ‘sayang ambilkan pisau, dong, mama
mau mgniris bawang, nih!’ hindari perintah yang demikian, ‘Pa, ambilkan pisau di rak
dapur!’ beda dalam intonasi dan pilihan kata makna akan sangat berbeda dalam rasa. Oleh
Kemudian, tidak lupa teruslah berdo’a, agar Allah swt membuka pintu hati suami atau istri
kita yang pemalas. Karena Dia-lah yang mampu membolak-balikkan hati manusia. Bila Allah
berkehendak, dalam sekejap orang akan besa berubah. Selanjutnya, tawakkal kepada Allah
dan terus bersabar. Mungkin tak cukup setahun, tapi perlu sepuluh tahun untuk bisa
mengubahnya.
Allahu A'lam
Istri hendaknya memahami bahwa hidup ini penuh ujian. Jika istri memandang bahwa suami
tidak bisa menjadi Imam dalam mengurusi keluarga, maka dicari dulu penyebabnya. Jika
suami orang yang kurang berilmu agama, maka istrilah yang mengajari suami, tentunya bila
istri lebih paham dengan ajaran Islam. Istri hendaknya menasihati suami dengan kata-kata
yang lembut, berharap agar suami dengan kata-kata yang lembut, berharap agar suami
menjadi pemimpin yang baik. Jangan lupa juga berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
agar suami menjadi pemimpin yang baik. Bukankah istri merasa senang bila mendapatkan
pahala karena bersabar dan mampu menasihati suami?!
“Barangsiapa memberi petunjuk kepada kebaikan, maka dia akan mendapat pahala semisal
orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim, no.3509)
Jika menunjukkan jalan yang baik begitu besar pahalanya, maka menasihati suami dan
keluarga tentu lebih besar lagi pahalanya. Ini bila memang penyebabnya suami yang tidak
mengerti agama dan mau menerima nasihat.
Namun jika sebabnya lain, misalnya karena kelainan jiwa, maka istri hendaknya menimbang
maslahah (sisi positif) dan madharat (negatif)nya sebelum minta cerai. Jika istri mampu
hidup istiqomah dan bersabar, maka alangkah baiknya bila tidak minta cerai. Sebab, wanita
yang tidak bersuami lebih besar fitnahnya apabila dia tidak bisa menjaga kehormatan dirinya.
Jika semua upaya di atas sudah dicoba dan tidak membuahkan hasil yang lebih baik, atau
bahkan malah membahayakan istri dan anak-anak, maka istri boleh minta cerai..
Allahu A'lam
Assalamu'alaikum
Sya mau brtanya. Sya pernah denger bhwa rosulullah tdk mengizinkan Ali mempoligami
fatimah.apkah itu bnar? Klo memang iya alsannya knapa?
Jawaban:
Wa'alaikummussalaam warahmatullahi wabarakatuh
Dari Miswar bin Makhramah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah di atas
mimbar:
آذن فﻼ طالب أبي بن علي ابنتهم ينكحوا أن استأذنوني المغيرة بن هشام بني إن، آذن ﻻ ثم لهم آذن ﻻ ثم لهم،أن إﻻ لهم
ابنتهم وينكﺢ ابنتي يطلق أن طالب أبي ابن يحب. بضعة ابنتي فﺈنما، ما يريبني مني،آذاها ما ويؤذيني أرابها
“Sesungguhnya Hisyam bin Al Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak
perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Namun aku tidak mengizinkannya, aku tidak
mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya. Kecuali jika ia menginginkan Ali bin Abi
Thalib menceraikan putriku baru menikahi putri mereka. Karena putriku adalah bagian
dariku. Apa yang meragukannya, itu membuatku ragu. Apa yang mengganggunya, itu
membuatku terganggu“
أحرم لست وإني،ُ عليه ﷲ ﺻلى ﷲ رسول بنت تجتمع ﻻ وﷲ ولكن حﻼﻻ،أبدا ً واحد مكانا ُ ﷲ عدو وبنت وسلم
“Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal, tapi demi Allah, tidak akan bersatu putri
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat,
selama-lamanya“
Maka poligami itu dibolehkan, bahkan dianjurkan. Bagaimana tidak? Sedangkan Rabb kita
berfirman:
“Nikahilah yang baik bagi kalian dari para wanita, dua atau tiga atau empat” (QS. An Nisa:
3).
Adapun kisah Ali dan Fathimah radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak
melarangnya untuk berpoligami. Keputusan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang
poligami bagi Ali tersebut adalah karena beliau sebagai wali bagi Ali, bukan karena hal
tersebut disyariatkan. Oleh karena itu Nabi bersabda, “Sungguh aku tidak mengharamkan
yang halal, tapi demi Allah, tidak akan bersatu putri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat, selama-lamanya“”.
Dan dalam kisah ini juga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan bahwa yang halal
adalah apa yang Allah halalkan dan yang haram adalah apa yang Allah haramkan. Dan
bahwasanya poligami itu halal. Namun beliau melarang Ali memilih putrinya Abu Jahal
(sebagai istri keduanya).
Sebagaimana diketahui, Abu Jahal Amr bin Hisyam adalah tokoh Quraisy yang sangat keras
dan keji perlawanannya terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Allahu A'lam
Assalammualaikum
Sy akui klo islam membolehkan poligami dgn syarat2nya
Tapi sbg perempuan biasa dgn sgala kelemahan sy, mngkin akan mundur (cerai) jika di posisi
itu
Apabila sy meminta cerai krn tdk snggup dimadu, dosakah sy?
Jawaban:
Jika suaminya menikah lagi maka itu merupakan karunia dari Allah. Allah Ta’ala
membolehkan hal itu.
Adapun mengenai sang istri yang meminta cerai, jika suaminya tersebut melalaikan hak-hak
sang istri dan tidak menunaikannya, maka boleh bagi sang istri untuk meminta cerai. Adapun
jika sang suami menikah lagi, dan dia sudah berlaku adil kepada istri-istrinya dan
menunaikan apa yang wajib baginya, maka sang istri tidak boleh meminta cerai. Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Maka tidak boleh meminta cerai semata-mata karena sang suami menjalankan hal yang
dibolehkan oleh agama. Dan poligami itu mubah. Bahkan terkadang sunnah. Dan si istri
memiliki hak yang wajib ditunaikan oleh suaminya.
Seharusnya seorang isteri yang shalihah menyadari apa yang dilakukan oleh suaminya adalah
perkara yang mubah (boleh) dan haknya. tidak boleh dia menghalangi suaminya ketika ingin
berpoligami. Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :
Yang menjadi masalah adalah bukan poligami yang dilakukan oleh suaminya, tetapi
masalahnya jika suami berbuat tidak adil kepadanya atau kepada para istrinya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ِ َمائِ ٌل َو ِشقﱡهُ ْال ِقيَا َم ِة يَ ْو َم َجا َء إِحْ دَا ُه َما إِلَى فَ َما َل ا ْم َرأَت
َان لَهُ َكانَ َم ْن
“Barangsiapa yang memiliki dua orang istri, lalu ia condong kepada salah seorang dari
keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat sedangkan bahunya dalam keadaan miring
sebelah.” (HR. Abu Daud, Nasa’i, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Irwail Ghalil : 2017)
Apalagi suaminya mempunyai alasan kuat yang melatarbelakangi kenapa dirinya ingin
menikah lagi. Dikarenakan hukum poligami itu berbeda-beda pada setiap individu ada
seseorang yang poligaminya hukumnya wajib, yaitu seseorang yang sudah beristri masih
khawatir jika dia tidak berpoligami akan menyebabkan dirinya terjerumus dalam perbuatan
maksiat seperti zina, selingkuh dan sejenisnya maka jika kondisinya seperti ini, wajib bagi
dia untuk berpoligami.
Ada juga seseorang yang hukum poligami pada dirinya hukumnya sunnah (dianjurkan)
apabila dia seorang yang mempunyai harta yang cukup untuk berpoligami, mampu berlaku
adil, dan pada asalnya dirinya tidak khawatir terjatuh dalam perbuatan haram kalau tidak
berpoligami dan ada seorang muslimah yang perlu ditolong seperti janda misalnya kemudian
dia menikahinya dalam rangka ta’awun (menolong) terhadap janda tersebut.
Ada juga poligami yang hukumnya mubah (boleh) apabila ada salah seorang yang telah
beristri berkeinginan melakukan poligami dan ia cukup mampu untuk melakukannya.
Ada juga kondisi seseorang yang poligaminya hukumnya makruh, yaitu apabila dia
berkeinginan untuk melakukan poligami sedangkan dirinya belum memilki kemampuan yang
cukup sehingga akan kesulitan dalam berlaku adil dan memberi nafkah.
Dan ada Poligami yang hukumnya Haram, yaitu berpoligami atas dasar niat yang buruk,
seperti untuk menyakiti isteri pertama dan tidak menafkahinya, atau ingin mengambil harta
wanita yang akan dipoligaminya, atau tujuan-tujuan buruk lainnya.
Wajib seorang istri menerima syariat poligami yang mengandung hikmah dan kebaikkan
yang banyak yang kembalinya kepada kaum wanita itu juga. Dan hal ini sebagai bentuk dari
konsekuensi keimanannya kepada Allah. Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :
ضى إِذَا ُمؤْ ِمنَ ٍة َوﻻ ِل ُمؤْ ِم ٍن َكانَ َو َما ُ ص َو َم ْن أَ ْم ِر ِه ْم ِم ْن ْال ِخيَ َرة ُ لَ ُه ُم يَ ُكونَ أ َ ْن أ َ ْم ًرا َو َر
َ َسولُهُ ﷲُ ق ِ سولَهُ ﷲَ يَ ْع
ُ ض ﱠل فَقَدْ َو َر
َ
ﻼﻻً ض َ ا ً ن ي بم
ُِ
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan (yang lain) bagi
mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,
maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahdzab: 36)
Dan bagi suami yang ingin berpoligami hendaknya memperhatikan syarat-syarat seorang
suami dibolehkan untuk berpoligami. Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih al-
Utsaimin rahimhaullah pernah ditanya dengan sebuah pertanyaan
واحدة؟ زوجة من بأكثر يتزوج أن للرجل جاز )توفرت إذا( التي الشروط هي ما.
“Apa syarat-syarat (yang apabila terpenuhi) boleh bagi sesorang untuk menikah lebih dari
satu istri?
beliau menjawab
الحمد: بشرط مطلوب أمر واحدة زوجة من بأكثر الزواج: مالية قدرة عنده اﻹنسان يكون أن، بدنية وقدرة، وقدرة
تزوجهن الﻼتي النساء فروج تحصين الخير من به يحصل الزوجات تعدﱡد ﱠ، اتصال وتوسيع
الزوجات بين العدل على. فﺈن
ببعض بعضهم الناس، اﻷوﻻد وكثرة، قوله في إليها وسلم عليه ﷲ ﺻلى النبي أشار التي: ( ) الولود الودود تزوجوا
الكثيرة المصالﺢ من ذلﻚ وغير
Jika ia tidak mau dipoligami karena merasa belum siap menerima keberadaan istri kedua bagi
suaminya, dan khawatir jika dipoligami ia akan berbuat Zholim kpd suaminya dengan tidak
menunaikan hak-haknya disebabkan tumbuh rasa benci di dlm hatinya thdp sikap suami yg
nampak kurang adil, sementara masih meyakini di dalam hatinya bahwa Poligami merupakan
perkara yg dibolehkan dlm Islam bagi laki2, maka yang demikian ini hukumnya boleh, dan
bukan termasuk kekufuran.
Bahkan menurut pendapat sbgn ulama yg rojih, spt fatwa syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
syaikh Bin Baz dan syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rahimahumullah, bahwa
seorang wanita boleh mengajukan syarat kepada calon suami agar ia tidak menikah lagi
dengan wanita selainnya.
Adapun jika ia menolak poligami karena benci dengan syariat Poligami, atau mengingkari
dibolehkannya poligami bagi laki2 yg mampu melakukannya dengan adil dlm hal nafkah dan
jatah menginap bersama para istrinya, dan bahkan ia berkata atau berkeyakinan bahwa syariat
poligami adalah syariat yg menzholimi kaum wanita, maka yang demikian ini adalah bentuk
kekufuran yg mengeluarkannya dari agama Islam dan menghapuskan pahala amal-amal
sholihnya. Karena ia telah Membenci hukum Allah dan merubahnya dari Halal menjadi
Haram.
Artinya: “Yang demikian itu dikarenakan mereka membenci syariat yg Allah turunkan, maka
Allah hapuskan (pahala) amal-amal ibadah mereka.” (QS. Muhammad: 9).
Allahu A'lam
Akhwat Ponds ini memang lebih anggun, modis, ceria, menarik dipandang mata
dibandingkan akhwat tidak kasat mata.
(Rahmat Idris)
Bisa jadi sesuatu yang terlihat indah itu mengantarkan kita pada keburukan yang kita tak tahu
akan terjadi di masa depan. Allah menyelamatkan kita dengan mengambil si sesuatu itu
sebelum kejadian.
Atau bisa jadi, sesuatu itu ternyata memang terlalu bagus buat kita yang level pas-pasan.
Daripada gak bisa jaga amanah, sesuatu itu diambil agar kita tahu diri plus memperbaiki diri.
Kemungkinan lainnya, Allah mengganti dengan sesuatu yang lebih baik dan indah. Di akhir
perjalanan kita akan ternganga takjub karena ternyata yang datang belakangan sungguh
sangat indah. Coba kita dulu ngeyel minta yang 'cuma' indah itu, bisa jadi hari ini kita tak
bisa berbahagia menikmati sesuatu yang sangat, bahkan mungkin tak ada duanya dalam
keindahan.
...kuncinya ada di keikhlasan hati. Ikhlas melepaskan apa yang menurut Allah tak baik bagi
kita...
Sesuatu ini bisa berupa benda atau manusia. Apa pun itu, entah benda atau manusia sosoknya
adalah sesuatu yang sangat kita cintai dan sebetulnya enggan kita lepas. Maunya kita pegang
erat-erat bahkan di saat-saat genting ketika sebetulnya kita tahu bahwa sesuatu ini tak baik
bagi kehidupan kita, dunia akhirat kita. Ya...sering sekali manusia itu sok tahu sehingga
mendikte Allah bahwa ini nih yang bagus buatku. Jadi kalau bisa ini saja buatku, Ya Allah.
Padahal ya, manusia itu sering sekali dibutakan nafsu yang ada kalanya rasa cintanya itu tak
lagi murni tapi sekadar sok-sokan agar terlihat gagah di depan yang lain.
Jadi ternyata, kuncinya ada di keikhlasan hati. Ikhlas melepaskan apa yang menurut Allah tak
baik bagi kita. Ikhlas menerima si sesuatu yang mungkin sekilas menurut nalar sempit kita
tak lebih baik dari yang sebelumnya. Atau bahkan ikhlas ketika seolah Allah belum juga
mengganti sesuatu yang hilang itu. Kita dibiarkan menikmati kehilangan sesuatu itu lebih
lama karena Allah memunyai rencana indah untuk kita.
Ya...tak ada rencana Allah yang tak indah meskipun bisa jadi karena keterbatasan manusia,
rencana indah Allah dimaknai lain. Di sinilah keikhlasan kita teruji. Kita ikhlas mengakui
bahwa rencana Allah adalah yang terbaik. Meskipun bisa jadi itu menyesakkan dada, berurai
Endingnya, kita dengan dada lapang bisa tersenyum meskipun pahit bahwa sesuatu itu,
Alhamdulillah yaaa....
(riafariana)
Saudaraku...
Selesaikan dulu kisah ada dengan si dia sebelum anda memulai kisah baru dengan yang lain.
Karena kisah yang belum terselesaikan di masa lalu, rentan hadir untuk mengusik dan
menjadi duri dalam daging bagi kisah anda yang terkini.
Tiap manusia pasti memunyai masa lalu. Karena masa lalu inilah yang membentuk dirinya di
masa kini. Yang membedakan satu pribadi dengan pribadi lainnya dengan masa lalunya ini
adalah penyikapan. Ada yang terjebak di masa lalu dan enggan untuk keluar. Dia menjadikan
masa lalu sebagai hal penting untuk dibawa ke masa depan. Apalagi bila masa lalunya ini
belum tuntas alias masih bermasalah.
Dalam rumah tangga, masa lalu ini bisa berupa apa saja. Tapi yang paling rentan adalah si
mantan. Entah mantan suami/istri, bisa jadi mantan pacar, atau bahkan mantan calon suami.
Maksudnya masih dalam taaruf tapi tak bisa lanjut hingga ke pelaminan. Bila tak bijak
menyikap masalah yang muncul di masa lalu dengan si mantan, bukan tak mungkin masalah
ini menjadi ‘laten’ atau semisal duri dalam daging dalam rumah tangga seseorang.
Selesaikan dahulu apa pun itu yang masih mengganjal dengan si mantan. Jangan mencari
pelarian tatkala hati masih rapuh. Satu-satunya obat yang bisa diandalkan dalam kondisi
begini adalah dengan banyak dzikrullah, semakin mendekatkan diri pada Allah. Insya Allah
bila langkah ini yang diambil, maka masalah apa pun itu bentuknya bisa dituntaskan hingga
ke akar. Sehingga saat kaki ingin melangkah membuka lembar baru maka bayang-bayang
masa lalu itu sudah tak lagi mengganggu.
Begitu juga dengan perempuan. Ia akan berusaha mencari pengganti laki-laki yang telah
menyakiti hatinya. Dia terima saja siapa pun yang datang sekadar menunjukkan bahwa ia pun
masih bisa dicintai oleh laki-laki lain. Ketika niat awal sudah salah, maka yakinlah langkah
kaki juga tak bisa terarah. Diperparah dengan permasalahan yang masih menggantung di
masa lalu, seolah menumpuki secarik kertas dengan tulisan yang baru padahal yang lama
belum sepenuhnya dihapus dengan bersih. Tumpang tindih.
Suami masih sering melamunkan mantan. Begitu sebaliknya, si istri pun masih sering
merindukan seseorang yang tak lagi halal buatnya. Suami istri hanya status saja ketika jiwa
masing-masing pelakunya tak lagi berjalan bersama. Satu sama lain terjebak dalam
kerangkeng yang sama bernama masa lalu.
Bilapun salah satu pihak saja yang tergilas oleh kenangan, maka tentu saja pasangannya
menjadi pihak yang dizolimi. Dan sungguh, bukan seperti ini pernikahan yang diharapkan
tercapainya sakinah dalam berumah tangga.
Jadi apapun itu masalahnya dengan si mantan, usahakan sudah tuntas sebelum kaki mulai
melangkah. Andai pun karena satu dan lain hal memang kondisi tak bisa diselesaikan dengan
baik-baik, maka yakinilah bahwa semua itu memang yang terbaik. Tak pernah Allah salah
meletakkan satu kejadian. Tinggal manusianya bisa atau tidak mengambil hikmah dari tiap
peristiwa yang terjadi untuk dijadikan pelajaran.
Bagi anda para suami, buang masa lalu anda di tempat semestinya. Masa lalu tempatnya ya di
belakang. Berjalan itu menatap lurus ke depan bersama dengan pasangan yang saat ini setia
mendampingi. Apalagi bila ada si buah hati. Ia tak berhak mendapati ayahnya membagi hati
dengan mantan yang sejatinya cuma kenangan. Karena hati adalah milik Allah, maka
kembalikan ia padaNya. Mendekatlah pada-Nya, minta untuk diteguhkan dengan pasangan
halal yang sekarang.
Bagi anda para istri, perasaan mellow itu jangan dimanja. Si mantan tidak layak lagi
dihadirkan saat sudah ada imam yang siap menggenggam masa depan. Syukurilah yang ada
saat ini karena sesungguhnya di luar sana banyak perempuan yang menginginkan tempat
dimana anda berada sekarang. Hadirkan dzikrullah ketika ketukan kenangan dari masa lalu
[riafariana/voa-islam.com]
Islam adalah agama yang sempurna, cocok untuk diterapkan pada setiap zaman dan tempat.
Oleh karena itu, Islam memperbolehkan poligami. Catat "memperbolehkan" poligami.
Karena situasi dan kondisi terkadang mendesak diberlakukannya poligami demi kepentingan
dan kemaslahatan pria atau wanita, atau bahkan kedua-duanya. Karena Allah Ta'ala lebih
mengetahui kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya.
"... Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..."
(An-Nisaa : 3)
Saat monogami (menikah dengan satu istri) adalah sebuah kebutuhan, poligami di saat-saat
tertentu juga menjadi kebutuhan. Sekali lagi, Allah Ta'ala lebih mengetahui hal-hal yang
lebih maslahat bagi manusia.
Poligami, anugerah yang terdzalimi. Ungkapan ini sangatlah tepat. Di saat jumlah wanita
sekarang yang lebih banyak daripada laki-laki. Dan syariat tidak melarang, banyak maslahat
dalam kehidupan. Seorang muslim atau muslimah sangat tidak layak menyangkal
disyariatkannya poligami. Karena itu sama artinya menentang Allah Ta'ala yang telah
menetapkan syariat poligami.
Segala hal yang Allah syariatkan pasti ada hikmahnya, terkadang kita tahu terkadang juga
tidak, seperti halnya poligami. Tidak boleh disangkal dan tidak boleh diperburuk citranya.
Karena poligami memiliki banyak hikmah yang sebagian bisa kita ketahui dan sebagian lagi
tidak.
Hukum poligami dalam Islam bermula dari mubah. Artinya, diperbolehkan dengan beberapa
syarat. Namun, seperti halnya menikah yang dimulai dengan hukum sunnah muakkad atau
sunnah yang ditekankan, poligami juga bisa berubah-ubah sesuai kondisi seorang suami. Bisa
dianjurkan, wajib, bisa juga makruh bahkan haram. Artinya, bukan substansi poligami itu
sendiri yang berubah menjadi wajib atau haram. Tapi dilihat dari kondisi dan kapasitas
Soal poligami itu disyariatkan, kita sepakat, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para
ulama terpandang dan para imam Ahlul Madzhab yang empat atau yang lainnya. Tapi,
apakah poligami itu dianjurkan? Ini sisi yang perlu diulas lebih lanjut.
Di kalangan sebagian kaum muslimin yang mengamalkan poligami beredar pendapat bahwa
poligami itu adalah syariat yang disunnahkan secara mutlak bagi kaum muslimin. Bahkan
sebagian diantara mereka beranggapan hukumnya wajib.
Yang jelas, keragaman hukum poligami seperti halnya menikah. Dan yang jelas lagi,
poligami memang diperbolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu. Namun
hukumnya bisa tidak sama bagi setiap pria muslim, tergantung dengan kondisi dan
kebutuhannya terhadap poligami.
a. Perilaku istri yang buruk. Adakalanya istri dalam berinteraksi dengan suaminya
berperilaku buruk yang mendorong suami untuk poligami daripada menceraikannya.
b. Menginginkan keturunan. Mungkin istri tidak punya kemampuan untuk melahirkan anak
karena suatu penyakit atau kemandulan, sehingga suami perlu melakukan poligami karena
ingin mendapatkan keturunan.
c. Sangat berkeinginan untuk menjaga kesucian diri. Adakalanya suami melihat bahwa
istrinya tidak bisa memuaskannya sehingga perlu menikah lagi karena sangat ingin
memelihara kesucian dirinya. "Tidak bisa memuaskan" di sini maksudnya, bukanlah dalam
makna yang merendahkan atau melecehkan wanita. Tapi bisa saja karena hasrat suami yang
memang jauh melebihi takaran standar. Meski sang istri sudah berupaya maksimal, namun
kebutuhan seks suami tidak terpuaskan.
d. Mencari pahala. Ia menikahi seorang wanita untuk memeliharanya, menjaga kesucian
dirinya, merawatnya dan menjaganya dari tangan-tangan yang mengusiknya dengan
keburukan.
e. Istri sakit-sakitan. Mungkin istri tertimpa penyakit kronis seperti kelumpuhan, kebutaan
atau selainnya, sedangkan suami menginginkan orang yang bisa merawatnya. Daripada
menceraikan istri yang pertama, ia memilih tetap pada istri pertamanya dan menikah dengan
wanita kedua.
Kalau kita mau jujur, sejatinya poligami lebih merupakan fenomena yang wajar ketimbang
permasalahan. Lelaki yang berpoligami sebenarnya tidak beda dengan orang yang hendak
menambah makan atau porsi tidur yang kurang. Tidak manusiawi kalau harus melarang
menambah makan orang yang masih lapar. Tapi juga gila namanya kalau memaksa diri harus
makan, meski sudah kekenyangan. Sehingga dalam fenomena umum poligami bukanlah
masalah.
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, "Di dalam Al-Qur'an terdapat satu ayat
berkaitan dengan poligami yang menyatakan, 'Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...' (An-Nisaa : 3)
Dan dalam ayat yang lain, Allah Ta'ala berfirman, "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian." (An-
Nisaa : 129)
Dalam ayat pertama, dinyatakan bahwa berpoligami itu dilakukan dengan syarat adil,
sedangkan pada ayat kedua dijelaskan bahwa adil yang menjadi syarat berpoligami itu tidak
mungkin tercapai. Apakah ini berarti bahwa ayat yang pertama di-nasakh (dihapus
hukumnya) dan tidak boleh menikah lebih dari satu, sebab syariat harus adil tidak mungkin
tercapai?
Beliau menjawab, "Tidak ada kontradiksi antara dua ayat tadi dan juga tidak ada nasakh ayat
satu dengan yang lain karena sesungguhnya keadilan yang diperintahkan di dalam ayat itu
adalah keadilan yang dapat dilakukan, yaitu keadilan dalam mu'asyarah dan memberikan
nafkah. Adapun keadilan dalam hal cinta, termasuk di dalamnya masalah hubungan badan
adalah keadilan yang tidak mungkin. Itulah yang dimaksud dari firman Allah Ta'ala, " Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian." (An-Nisaa : 129)
Oleh karena itulah, ada hadits Nabi yang bersumber dari riwayat Aisyah radhiyallahu 'anha.
Beliau bersabda, " Rasulullah melakukan pembagian (diantara istri-istrinya) dan beliau
berlaku adil, beliau berdoa, 'Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka
janganlah Engkau mencercaku di dalam hal yang mampu Engkau lakukan dan aku tidak
mampu melakukannya." (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai & Ibnu Majah)
Kesimpulan liberalis ini sungguh ngawur, alasan semata-mata Nabi belum melaksanakan
poligami selama 28 tahun bukan berarti poligami tidak disyariatkan. Ingat, bahwa ayat
poligami (begitu penamaannya terhadap ayat 2-3 surat An-Nisaa) diturunkan di kota
Madinah, bukan di kota Mekah. Jadi, kalau memang syariat poligami itu diturunkan
berdasarkan ayat tersebut, berarti baru disyariatkan di kota Madinah. Saat Nabi tidak
melaksanakan poligami di kota Mekah -kalau memang itu merupakan dalil monogami dan
sebenarnya tidak demikian- maka wajar saja karena syariatnya belum ditetapkan.
Poligami bertentangan dengan asas keadilan Islam, begitulah ungkapan yang sering
digembar-gemborkan oleh kalangan liberalis, modernis dan feminis. Substansi dari ungkapan
tidak adilnya poligami berpangkal dari pendapat bahwa Islam adalah agama yang muncul
untuk mengangkat harkat kewanitaan. Islam membawa nuansa ajaran yang menempatkan
kaum wanita sejajar dengan kaum pria. Sehingga, konsep poligami dianggap berlawanan
dengan konsep keadilan yang diusung oleh ajaran Islam.
Dasar pemikiran tersebut mencuat justru karena kebodohan terhadap syariat Islam. Islam
memang membawa ajaran keadilan. Namun, nilai keadilan tersebut bukanlah menurut akal
atau perasaan kita sebagai manusia. Keadilan Islam adalah keadilan absolut yang berasal dari
ketetapan Allah Ta'ala. Adil dalam Islam tidak selalu bermakna sama, setara, sejajar dan
sejenisnya. Karena itu adalah ajaran sosialisme atau komunisme yang pada sisi lain justru
berlawanan dengan ajaran Islam.
Berbagai aturan-aturan khusus bagi wanita, seperti jilbab, keharusan menaati suami dalam hal
yang benar dan sebagainya, ditetapkan sesuai dengan kodrat wanita. Termasuk kesiapan
untuk dimadu, bila memang diperlukan. Allah Ta'ala juga menetapkan banyak kewajiban
bagi kaum pria, seperti mencari nafkah, sandang, pangan dan papan, menjadi pemimpin
dalam rumah tangga, bertanggung jawab atas pendidikan dan keselamatan mereka di dunia
dan di akhirat dan berbagai hal lain yang disesuaikan oleh Allah Ta'ala dengan kodrat
mereka. Termasuk kekhususan boleh melakukan poligami bila memang diperlukan.
Tidak mungkin bersikap adil dalam berpoligami. Ungkapan ini jelas tidak tepat. Ketika Islam
mewajibkan suami yang berpoligami untuk bersikap adil, itu artinya keadilan dalam
berpoligami mungkin dilaksanakan. Kalau tidak, perintah itu menjadi tidak ada artinya.
Namun keadilan yang diperintahkan tersebut tentu saja yang sesuai dengan batas kemampuan
manusia. Yakni dalam soal nafkah dan pembagian hak masing-masing istri, bukan dalam soal
cinta kasih. Karena cinta kasih itu, bukan berada dalam kemampuan manusia untuk
mengaturnya.
Poligami menambah ekses kekerasan dalam rumah tangga, pendapat ini dilontarkan sebagian
kalangan feminis, pejuang HAM dan sejumlah liberalis. Ini alasan yang sangat rapuh. Kalau
poligami dianggap dapat menambah ekses kekerasan dalam rumah tangga, banyaknya kaum
muslimin yang menikah juga menambah jumlah rumah tangga yang memendam kekerasan
terhadap wanita dan anak-anak. Lalu, apakah kemudian dikatakan bahwa berumah tangga di
zaman sekarang dilarang atau bahkan haram?.
Letak persoalannya adalah banyak kaum muslimin yang tidak mengindahkan aturan Islam
dalam rumah tangga, sehingga terjadilah banyak tindak kekerasan terhadap wanita, bahkan
anak-anak.
www.menikah-islami.blogspot.com
Maaf materi sekarang memang poligami, jika di izinkan pertanyaan ini, saya berterima kasih
jika di jawab.. Hubungan islami seperti apa yang harus dilakukan, ibu tiri dengan anak tiri?
Adakah kisah fatimah dengan ibu tirinya
Jawaban:
Ayah dan ibu memiliki posisi yang sangat dimuliakan dalam pandangan Islam. Hak orangtua
yang ada di pundak anaknya tidak akan pernah gugur di dunia ini, apa pun yang telah mereka
lakukan dan betapa pun buruknya pribadi mereka.
Keburukan yang paling jelek di dunia adalah syirik, bahkan syirik lebih besar dari
pembunuhan, pencurian, zina, riba, dan semua dosa yang ada. Apabila kedua orangtua
menyuruh anaknya berbuat syirik, maka anak tidak boleh taat dalam hal itu. Namun, anak
tidak dibenarkan memutuskan hubungan dan menyakiti kedua orangtuanya.
Perintah ini berlaku di dunia, betapa pun kedua orangtua tidak menunaikan kewajibannya
kepada anak, namun anak tetap diwajibkan berbuat baik kepada keduanya. Termasuk,
pernikahan ayah dengan perempuan lain. Siapa pun perempuan yang dinikahi ayah, maka
perempuan itu menjadi ibu bagi anak-anaknya. Anak tetap berkewajiban untuk menghormati
ibu tirinya. Status ibu tersebut adalah seorang ibu, istri dari ayah kandungnya, ia telah
menjadi mahram bagi anak-anak dari suaminya.
Meski, ada sedikit perbedaan dalam hal pembagian harta warisan. Dalam Islam, prioritas
utama yang diberikan adalah hubungan darah (sekandung). Misal, seorang anak (belum
menikah) meninggal dunia dan mewariskan harta yang banyak, maka ibu tirinya tidak
mendapatkan warisan dari anak tirinya tersebut. Tetapi, ibu tiri mendapatkan warisan dari
harta suaminya karena adanya hubungan penikahan.
Selain itu, ibu tiri berhak mendapatkan perlakuan yang baik dari anak-anak tirinya. Tentu,
seorang ibu tiri yang telah merawat anak-anak suaminya memperoleh pahala yang setimpal
dengan apa yang telah ia lakukan. Terhadap sesama manusia saja, Allah memerintahkan kita
untuk berbuat baik, apalagi terhadap anak-anak dari suami sendiri. Begitu juga sebaliknya.
Seorang anak wajib berbuat baik kepada orang lain, apalagi terhadap istri dari ayah kandung
dari anak itu sendiri.
Dari Ibnu Umar dia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya bakti yang paling baik adalah jika seorang anak menyambung tali
persaudaraan orang yang dicintai ayahnya,” (HR Muslim dan Tirmizi).
Ibu tiri yang berlaku aniaya terhadap anak tirinya, tentu akan mempertanggungjawabkan
perbuatannya di hadapan Allah. Ia pun menanggung dosa dari apa yang telah ia lakukan.
Namun, anak tiri tetap tidak dibenarkan membalas perlakuan serupa. Allah tidak
membenarkan anak menentang termasuk kepada ibu tiri meski mereka tidak menyukainya.
Islam mengajarkan umatnya santun bersikap kepada siapa pun, tak terkecuali terhadap istri
dari ayah.
Dalam pembagian warisan, seorang istri atau beberapa istri mendapatkan bagian seperempat
jika suami yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan)
atau tidak juga anak dari anak laki-laki/cucu (baik laki-laki atau perempuan).
Allahu A'lam
Assalamu'alaikum
Bagaimana cara menikahkan anak hasil perzinahan.
Contoh kasus : seorang perempuan hamil duluan, yang menikahi baik yg menaruh janin atau
laki-laki lain. Anak yang dikandung ternyata seorang perempuan kemudian tumbuh dewasa
sampai saatnya menikah.
Siapakah yang jadi wali, ayah yg menyebabkan hamil (terus bertanggung jawab menikahi)
atau ayah tiri (yg menikahi) atau wali hakim (secara psikologis mengguncang anak)
Jazakallah khairan katsiiraa
“Anak itu dinasabkan kepada suami yang sah sedangkan laki-laki yang berzina itu tidak dapat
apa-apa.” (HR Bukhari no 6760 dan Muslim no 1457 dari Aisyah).
Berdasarkan hadits tersebut maka anak dinasabkan kepada suami yang sah. Jika tidak ada
suami yang sah maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Oleh karena itu, anak yang
lahir dari hasil perzinaan tidak di nasabkan kepada bapak biologisnya namun kepada ibunya.
Hal ini disebabkan nabi mengatakan bahwa laki-laki yang berzina tidak memiliki hak apa-apa
pun terhadap hak nasab, perwalian dalam nikah, mewarisi, kemahraman ataupun kewajiban
memberikan nafkah kepada anak, semuanya tidaklah dimiliki oleh laki-laki yang berzina
(baca: bapak biologis). Akan tetapi bapak biologis ini tidak diperbolehkan menikahi anak
hasil zinanya menurut pendapat mayoritas ulama dan inilah pendapat yang benar.
َ ى فَالس ْﱡل
طا ُن لَهُ َو ِل ﱠ
ى ﻻَ َم ْن َو ِل ﱡ
“Penguasa adalah wali nikah bagi perempuan yang tidak memiliki wali nikah.” (HR Abu
Daud no 2083 dan dinilai shahih oleh al Albani).
Untuk negeri kita yang dimaksud dengan penguasa dalam hal ini adalah petugas kantor
urusan agama (KUA).
Demikian pula bapak biologis tidak memiliki hak waris jika anak hasil zinanya meninggal
dunia terlebih dahulu dan meninggalkan warisan. Demikian pula sebaliknya, anak zina tidak
berhak mendapatkan harta warisan peninggalan bapak biologisnya.
Allahu A'lam
BIODATA TAARUF
KONTAK JODOH ISLAMI ANNISA
DATA PRIBADI
Nama Lengkap :
Nama Panggilan :
Umur :
Warna kulit :
Pekerjaan
Suku :
Alamat asal :
Alamat sekarang :
Data Ayah :
a. Nama Ayah :
b. Agama :
c. Pekerjaan :
Data Ibu :
a. Nama Ibu :
b. Agama :
c. Pekerjaan :
Ijin Untuk Menikah : a. Ayah sudah mengijinkan
c. Saudara-saudara
Nomer HP :
Alamat Email :
Facebook :
ID Yahoo Messenger :
RIWAYAT PENDIDIKAN
PENDIDIKAN INFORMAL
PRESTASI
PENGALAMAN ORGANISASI
PENGALAMAN KERJA
KEAHLIAN KHUSUS
Bismillaahirrahmaanirrahiim...
PROFIL DIRI
Motto hidup
Hobby
KELUARGA
Aktivitas, karakter & sifat ayah (Deskripsikan selengkap-lengkapnya)
KEBIASAAN SEHARI-HARI
Aktivitas keseharian (Deskripsikan selengkap-lengkapnya)
INFORMASI TAMBAHAN
Demi Allah, saya menyatakan bahwa informasi yang saya sampaikan di atas adalah
informasi yang sebenar-benarnya.
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin…
CATATAN :
-Menyadari sepenuhnya bahwa jodoh adalah takdir Allah Ta’ala, oleh karena itu
segala usaha yang dilakukan hanyalah salah satu cara menyambut takdir dari Allah &
kita sebagai manusia diwajibkan berusaha seoptimal mungkin, adapun hasilnya kita
serahkan sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.
-Berhasil & tidaknya proses merupakan suatu yang wajar dan merupakan sunatullah
sehingga tidak menyisakan sakit hati atau menyalahkan salah satu pihak.
Sedekah unuk operasional pendidikan, dakwah dan kesejahteraan da’i bisa dengan
membelikan pulsa ke no HP 087839494333 atau transfer via bank ke no rek BSM (Bank
Syariah Mndiri, kode 451) ; 7017802245 a.n MIFTAHUDIN