Anda di halaman 1dari 2

Buku ini terdiri dari 5 perjalanan penuh makna.

Dimulai dari menjadi orang tua untuk anak


kita; membekali jiwa anak kita; menghidupkan Al-Quran pada diri anak kita; sekedar cerdas
belum mencukupi; dan menempa jiwa anak, menyempurnakan bekal masa depan. Awal
perjalanan dibahas tentang apa niat kita memiliki anak? Karena jika banyaknya anak menjadi
cita-cita, maka kehadirannya akan kita sambut dengan penuh kerelaan dan syukur. Akan
berbeda antara punya anak karena memang menginginkan sepenuh harap dengan berbanyak
anak semata karena subur. Tampak bisa sama, tetapi nilai keduanya sangat berbeda.
Selebihnya tugas kita adalah membekali diri dengan ilmu dan memohon pertolongan Allah
agar apa yang ada dalam diri kita dapat menjadi jalan kebaikan.
Ada 3 bekal yang perlu kita miliki dalam mengasuh anak:
1. Rasa takut terhadap masa depan mereka: Dengan berbekal rasa takut, kita siapkan
mereka supaya tidak menjadi generasi yang lemah. Kita persiapkan anak-anak kita untuk
mengarungi kehidupan dengan kepala tegak dan iman yang kokoh
2. Takwa kepada Allah: Berbekal takwa, maka ucapan kita akan terkendali dan tindakan
kita tidak melampaui batas.
3. Berbicara dengan perkataan yang benar

Menumbuhkan rasa percaya diri anak:


Saya termasuk orang yang kurang PD, nggak ngerti awalnya darimana. Sering saya merasa
kalah saing dibanding teman, merasa tidak mampu bersaing. Padahal rasa percaya diri sangat
penting dalam kehidupan. Kalau kita PD, tantangan dalam mencapai tujuan mampu kita
hadapi. Kalau kita PD, setiap langkah akan kita tapaki dengan keyakinan. Saya ingin
menanamkan rasa percaya diri ke Fatih. M Fauzil Adhim mengajarkan bagaimana
menumbuhkan rasa percaya diri pada anak:
 Menjalin hubungan yang positif dan akrab dengan orangtua maupun anggota keluarga
di rumah serta orang lain
 Memiliki perasaan mampu (capable)
 Mempunyai peran yang berarti
 Menghargai usaha dan prestasi anak
   
Mengajarkan anak mencintai Al-Quran:
Sebelum kita ingin mengajarkan anak mencintai Al-Quran. Kita wajib tanya ke diri sendiri,
seberapa dekat kita dengan Al-Quran? Apa kita mengambil petunjuknya? Jika tidak, adakah
kepatutan untuk menumbuhkan Al-Quran sebagai pegangan hidup anak kita. Untuk mengajar
anak-anak meyakini Al-Quran tidak sekedar cukup bisa membaca. Hanya dengan meyakini
secara total sehingga tidak ada keraguan di dalamnya karena  Al-Quran menjadi daya
penggerak untuk bertindak. Mengajarkan keterampilan membaca dan menghapal Al-Quran
tanpa menanamkan keyakinan yang kuat sekaligus pengalaman berinteraksi dengan Al-Quran
sama seperti melatakkan bertumpuk kitab di punggung keledai. Banyak ilmu di dalamnya,
tetapi tidak dapat mengambil pelajaran di dalamnya.  Yang perlu diperhatikan:
1. Limpahi anak dengan kasih sayang sebagaimana kita melihat lemah lembutnya
Rasulullah terhadap anak. Berlimpahnya kasih sayang, akan lebih-lebih saat mengajarkan Al-
Quran merupakan bekal untuk membuat jiwa mereka hidup.
2. Membangun tradisi berpikir yang berpijak kepada Al-Quran
3. Mengajarkan untuk memegangi Al-Quran dengan kuat, terdiri dari beberapa aspek
yang perlu dibangun. Yakni kekuatan hati untuk antusiame yang kuat, kecintaan yang
mendalam dan kekuatan menghapal, kekuatan pikiran sehingga memudahkan untuk belajar,
kekuatan fisik sehingga memiliki kesanggupan untuk memperjuangan serta kekuatan
motivasi.
Ada kisah dari Billy Sidis, IQnya diatas 200, Usia 11 tahun kuliah di Harvard, 14 tahun telah
memberi ceramah di universitas yang sama. Namun kemampuan intelektualnya yang luar
biasa tidak sejalan dengan emosionalnya, ia menarik diri dari dunia intelektual dan menjadi
tukang cuci piring di rumah makan hingga akhir hayatnya. Dari kisah itu dapat disimpulkan,
jangan berpuas diri dengan hanya mengandalkan kemampuan kognitif anak, ada jiwa anak
yang perlu dibangun oleh orang tua.
Kisah Syekh Ahmad Yassin yang jalan pun tak kuat, mata tak dapat melihat dan suara lirih
namun dapat menggerakkan ribuan orang. Kisah Jendral Sudirman yang sedang sakit namun
tetap memimpin barisan mengajarkan kepada kita betapa jiwa sebagai penggerak kehidupan.
Sejarah menunjukkan sahabat Rasul yang dahulu bekas budak tak berdaya, setelah masuk
Islam mereka berdiri sama tegak dan berbicara tegas. Bukan karena pongah, tetapi karena
memiliki izzah (harga diri) dan iffah (kendali diri yang kuat). Apa yang mengubah mereka?
Iman..
Hari-hari mendatang anak kita:
Apakah zaman sekarang sudah berubah? Jika kita yakin Islam berlaku hingga akhir zaman
maka prinsip dasar tidak berubah, tantangan zamanlah yang berubah. Ketika banjir informasi
mengepung anak kita, kita perlu serius membekali anak dengan orientasi hidup yang jelas
yakni keimanan kepada Allah

Anda mungkin juga menyukai