Anda di halaman 1dari 6

1.

Patofisiologi skenario ( infeksi bakteri )


Jawab :
Streptococcus merupakan organisme yang biasanya menyebabkan
infeksi pada ektima. Infeksi diawali dengan adanya vesikel atau pustul di
atas kulit sekitar yang mengalami inflamasi, membesar yang kemudian
berlanjut pada pecahnya pustule mengakibatkan kulit mengalami ulserasi
dengan ditutupi oleh krusta. Bila krusta terlepas, tertinggal ulkus
superfisial dengan gambaran punched out appearance atau berbentuk
cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi. Lesi umumnya ditemukan
pada daerah ekstremitas bawah, tetapi bisa juga didapatkan pada
ekstremitas atas. Lesi yang terjadi pada ektima biasanya disebabkan
karena trauma pada kulit, misalnya, ekskoriasi, varicella atau gigitan
serangga. Biasanya pasien datang dengan keluhan dengan bengkak disertai
krusta berwarna coklat kehitaman, yang awalnya hanya dirasakan gatal
lalu digaruk sampai timbul luka. Penyakit ektima ini sering dijumpai pada
anak – anak dengan hiegenitas yang kurang baik sehingga sangat mudah
terinfeksi bakteri . Diagnosis ektima dibuat berdasarkan dari anamnesis,
gejala klinik yang ditemukan pada pasien, serta ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium yaitu pengecatan gram yang diambil dari dasar
ulkus untuk memastikan kuman yang menginfeksi.
( sumber : I Gde Julia Arta. 2014. Ektima. FK Universitas Udayana
Denpasar Bali )

2. Diagnosis dan DD skenario


Jawab :
- Anamnesis : Pasien biasanya datang dengan keluhan luka pada
anggota gerak bawah. Pasien biasanya menderita diabetes dan orang
tua yang tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
Anamnesis ektima, antara lain :
1. Keluhan utama. Pasien datang dengan keluhan berupa luka.
2. Durasi. Ektima terjadi dalam waktu yang lama akibat trauma
berulang, seperti gigitan serangga.
3. Lokasi. Ektima terjadi pada lokasi yang relatif sering trauma
berulang, seperti tungkai bawah.
4. Perkembangan lesi. Awalnya lesi berupa pustul kemudian pecah
membentuk ulkus yang tertutupi krusta
5. Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya, Diabetes melitus dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang lama.
- Pemeriksaan fisik
Effloresensi ektima berupa awalnya berupa pustul kemudian pecah
membentuk ulkus yang tertutupi krusta.
- Penatalaksanaan
 Nonfarmakologi : Pengobatan ektima tanpa obat dapat berupa
mandi menggunakan sabun antibakteri dan sering mengganti
seprei, handuk, dan pakaian.
 Farmakologi :
Sistemik

Pengobatan lini pertama (golongan Penisilin) :

a. Dewasa: Dikloksasilin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari.


Anak : 5 - 15 mg/kgBB/dosis, 3 - 4 kali/hari.
b. Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB
c. Sefaleksin 40 - 50 mg/kgBB/hari selama 10 hari

Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)

a. Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4 hari


b. Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari
c. Dewasa: Eritomisin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari.
Anak : 12,5 - 50 mg/kgBB/dosis, 4 kali/hari.

Topical
Pengobatan topikal digunakan jika infeksi terlokalisir, tetapi
jika luas maka digunakan pengobatan sistemik. Neomisin,
Asam fusidat 2%, Mupirosin, dan Basitrasin merupakan
antibiotik yang dapat digunakan secara topical.
- Edukasi
Memberi pengertian kepada pasien tentang pentingnya menjaga
kebersihan badan dan lingkungan untuk mencegah timbulnya dan
penularan penyakit kulit.
- Pencegahan
Pada daerah tropis, perhatikan kebersihan dan gunakan lotion
antiserangga untuk mencegah gigitan serangga.
DD

- Folikulitis, didiagnosis banding dengan ektima sebab predileksi


biasanya di tungkai bawah dengan kelainan berupa papul atau pustul
yang eritematosa. Perbedaannya, pada folikulitis, di tengah papul atau
pustul terdapat rambut dan biasanya multiple.
- Impetigo krustosa, didiagnosa banding dengan ektima karena
memberikan gambaran Effloresensi yang hampir sama berupa lesi
yang ditutupi krusta. Bedanya, pada impetigo krustosa lesi biasanya
lebih dangkal, krustanya lebih mudah diangkat, dan tempat
predileksinya biasanya pada wajah dan punggung serta terdapat pada
anak-anak sedangkan pada ektima lesi biasanya lebih dalam berupa
ulkus, krustanya lebih sulit diangkat dan tempat predileksinya biasanya
pada tungkai bawah serta bisa terdapat pada usia dewasa muda.
( sumber : F,Aisyah.2013. USU Institutional Repository Universitas
Sumatera Utara ).
3. Prognosis skenario
Jawab :
Dapat membaik setelah beberapa minggu namun meninggalkan bekas.
Ektima adalah lesi dengan masa penyembuhan yang lama tetapi
memberikan respon yang baik terhadap antibiotik dalam beberapa minggu.
Sehingga memberikan prognosis yang baik. Faktor-faktor yang
memperburuk prognosis, bila terdapat :
- Lesi multiple
- Pemberian antibiotika yang tidak adekuat
- Persisten neutopenia
( sumber : Medical Mini Note Dermatovenereology . 2013 )

4. Pemeriksaan penunjang pada skenario


Jawab ;
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakuan adalah pemeriksaan
Gram dan kultur. Bahan untuk pemeriksaan bakteri sebaiknya diambil
dengan mengerok tepi lesi yang aktif. Pemeriksaan dengan Gram
merupakan prosedur yang paling bermanfaat dalam mikrobiologi
diagnostik ketika dicurigai adanya infeksi bakteri. Sebagian besar bahan
yang diambil harus dihapus pada gelas objek, diwarnai Gram dan
diperiksa secara mikroskopik. Pada pemeriksaan mikroskopik, reaksi
Gram ( biru-keunguan menunjukan organisme Gram positif, merah Gram
negatif ) dan morfologi bakteri ( bentuk : kokus, batang, fusiforme atau
yang lain ).
Pada kultur atau bukan, kebanyakan streptococcus tambah dalam
pembenihan padat sebagai koloni discoid dengan diameter 1-2 mm. Strain
yang menghasilkan bahan simpai sering membentuk koloni mukoid.
Pemeriksaaan penunjang yang dapat dilakukan. yaitu biopsi kulit
dengan jaringan dalam untuk pewarnaan Gram dan kultur. Selain itu, juda
dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi. Gambaran histopatologi
didapatkan peradangan dalam yang diinfeksi kokus, dengan infiltrasi PMN
dan pembentukan abses mulai dari folikel pilosebasea. Pada dermis, ujung
pembuluh darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN. Infiltrasi
granulomatous perivaskuler yang dalam dan superficial terjadi dengan
edema endotel. Krusta yang berat menutupi permukaan dari ulkus pada
ektima.
( sumber : F,Aisyah.2013. USU Institutional Repository Universitas
Sumatera Utara ).

5. Jenis gangguan sensorik pada kulit


jawab :
Pemeriksaan fungsi sensorik :
1. Mencari defisit sensibilitas (daerah-daerah dengan sensibilitas yang
abnormal, bisa hipestesi, hiperestesi, hipalgesia atau hiperalgesia)
2. Mencari gejala-gejala lain di tempat gangguan sensibilitas tersebut,
misalnya atrofi, kelemahan otot, refleks menurun/negative, menurut
distribusi dermatom.
3. Keluhan-keluhan sensorik memiliki kualitas yang sama, baik mengenai
thalamus, spinal, radix spinalis atau saraf perifer. Jadi untuk
membedakannya harus dengan distribusi gejala/keluhan dan penemuan
lain.
4. Lesi saraf perifer sering disertai berkurang atau hilangnya keringat,
kulit kering, perubahan pada kuku dan hilangnya sebagian jaringan di
bawah kulit.

Macam-macam gangguan fungsi sensorik kortikal:


a. Gangguan two point tactile discrimination. Gangguan ini diperiksa
dengan dua rangsangan tumpul pada dua titik di anggota gerak
secara serempak, bisa memakai jangka atau calibrated two point
esthesiometer. Pada anggota gerak atas biasanya diperiksa pada
ujung jari. Orang normal bisa membedakan dua rangsangan pada
ujung jari bila jarak kedua rangsangan tersebut lebih besar dari 3
mm. Ketajaman menentukan dua rangsangan tersebut sangat
bergantung pada bagian tubuh yang diperiksa, yang penting adalah
membandingkan kedua sisi tubuh.
b. Gangguan graphesthesia Pemeriksaan graphesthesia dilakukan
dengan cara menulis beberapa angka pada bagian tubuh yang
berbeda-beda dari kulit penderita. Pasien diminta mengenal angka
yang digoreskan pada bagian tubuh tersebut sementara mata
penderita ditutup. Besar tulisan tergantung luas daerah yang
diperiksa. Alat yang digunakan adalah pensil atau jarum tumpul.
Bandingkan kanan dengan kiri.
c. Gangguan stereognosis = astereognosis Diperiksa pada tangan.
Pasien menutup mata kemudian diminta mengenal sebuah benda
berbentuk yang ditempatkan pada masing-masing tangan dan
merasakan dengan jari-jarinya. Ketidakmampuan mengenal benda
dengan rabaan disebut sebagai tactile anogsia atau astereognosis.
Syarat pemeriksaan, sensasi proprioseptik harus baik.
d. Gangguan topografi/topesthesia = topognosia Kemampuan pasien
untuk melokalisasi rangsangan raba pada bagian tubuh tertentu.
Syarat pemeriksaan, rasa raba harus baik.
e. Gangguan barognosis = abarognosis Membedakan berat antara dua
benda, sebaiknya diusahakan bentuk dan besar bendanya kurang
lebih sama tetapi beratnta berbeda. Syarat pemeriksaan, rasa gerak
dan posisi sendi harus baik.
f. Sindroma Anton-Babinsky = anosognosia Anosognosia adalah
penolakan atau tidak adanya keasadaran terhadap bagian tubuh
yang lumpuh atau hemiplegia. Bila berat, pasien akan menolak
adanya kelumpuhan tersebut dan percaya bahwa dia dapat
menggerakkan bagian-bagian tubuh yang lupuh tersebut.
g. Sensory inattention = extinction phenomenon Alat yang digunakan
adalah kapas, kepala jarum atau ujung jari. Cara pemeriksaan
adalah dengan merangsang secara serentak pada kedua titik di
anggota gerak kanan dan kiri yang letaknya setangkup, sementara
itu mata ditutup. Mula-mula diraba punggung tangan pasien dan
pasien diminta menggenal tempat yang diraba. Kemudian rabalah
pada tititk yang satangkup pada sisi tubuh yang berlawanan dan
ulangi perintah yang sama. Setelah itu dilakukan perabaan pada
kedua tempat tersebut dengan tekanan yang sama secara serentak.
Bila ada extinction phenomen maka pasien hanya akan merasakan
rangsangan pada sisi tubuh yang sehat saja.
( sumber : FK UNSOED. Pemeriksaan Sensorik )
BLOK 19 NOVEMBER,2016

LEARNING OBJECTIVE
KULIT

ADUH GATAL

DISUSUN OLEH :

MELISA RIDWAN

N 101 12 029

KELOMPOK 1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2016

Anda mungkin juga menyukai