Anda di halaman 1dari 189

UNIVERSITAS INDONESIA

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA DENGAN


KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS PADA
TUBERKULOSIS PARU LANSIA DI RT 06/ RW 01
KELURAHAN CISALAK PASAR KECAMATAN CIMANGGIS
KOTA DEPOK

KARYA ILMIAH AKHIR

ANDI AMALIA WILDANI, S.Kep


NPM: 0806316114

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PROFESI NERS
DEPOK
JULI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA DENGAN


KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS PADA
TUBERKULOSIS PARU LANSIA DI RT 06/ RW 01
KELURAHAN CISALAK PASAR KECAMATAN CIMANGGIS
KOTA DEPOK

KARYA ILMIAH AKHIR


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
perawat (Ners)

ANDI AMALIA WILDANI, S.Kep


NPM: 0806316114

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PROFESI NERS
DEPOK
JULI 2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini. Penulisan Karya
Ilmiah Akhir ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk untuk memenuhi satu
syarat untuk memperoleh gelar perawat (Ners). Saya menyadari bahwa, tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada
penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini, oleh karena itu saya mengucapkan terima
kasih kepada:
1) Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD selaku dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan
serta nasehat selama penulis menjalani studi di FIK UI.
2) Ibu Dessie Wanda., S.Kp., MN selaku pembimbing akademik yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, kritik, dan saran yang
membangun selama proses penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.
3) Bapak Ns. Sukihananto, SKep., M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan arahan dan
masukan berharga dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.
4) Ibu Henny Permatasari, S.Kp., M.Kep., Sp.Kom selaku dosen koordinator
PK KKMP yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
memberikan arahan dan masukan berharga dalam penyusunan Karya Ilmiah
Akhir ini.
5) Ibu Poppy Fitriyani, SKp., M.Kep, Sp.Kom selaku dosen koordinator PK
KKMP peminatan keperawatan komunitas telah menyediakan waktu, tenaga,
dan pikiran untuk memberikan arahan dan masukan berharga dalam
penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.
6) Bapak dr. Hendrik selaku kepala Puskesmas Cimanggis dan seluruh
jajarannya yang telah memberikan ijin untuk melakukan praktik di Puskesmas
Cimanggis.
7) Ibu Endang selaku pemegang program TB di Puskesmas Cimanggis yang
telah membimbing selama praktik di Puskesmas Cimanggis.

iv
8) Bapak Ns. Jajang Rahmat Solihin, S.Kep., M.Kep selaku mahasiswa residensi
keperawatan komunitas yang telah memberikan arahan dan masukan berharga
dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.
9) Bapak RW 01 selaku Ketua RW 01 di Kelurahan Cisalak Pasar, Cimanggis,
Depok dan seluruh jajarannya yang telah memberikan ijin untuk melakukan
praktik di RW 01 di Kelurahan Cisalak Pasar, Cimanggis, Depok.
10) Kader-kader kesehatan di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Cimanggis,
Depok yang senantiasa selalu mendukung kegiatan mahasiswa profesi guna
memberikan asuhan keperawatan keluarga di RW 01 Kelurahan Cisalak
Pasar, Cimanggis, Depok.
11) Teristimewa dan tercinta kedua orang tua, Andi Muh. Ilyas Latief dan Hj.
Andi Nahriah Ame yang tak henti-hentinya mendoakan, memberikan
dukungan moril dan materilnya, mendidik dan membesarkan saya dengan
cinta dan kasih sayang, serta Pung Nelis, Ina, Aso, Ria sebagai kakak-kakak
saya dan adik-adik saya Ica, Ullah, Anna dan keponakan aku Muhammad
Azril Ardiaz yang tersayang atas semua perhatiannya dan semangatnya. You
are my energy, my mood booster, my soul, and my everything for me.
12) Seluruh keluarga besar, terutama Umar Haya, SH, M.H yang telah
memberikan doa, dukungan, cinta kasih sayang dan dorongan baik berupa
moril maupun material.
13) Teristimewa Muhammad Nakib Rabbani yang telah memberikan doa,
dukungan, cinta kasih sayang dan terima kasih atas kesabarannya,
kesetiaannya dan selalu menyemangati selama penyusunan Karya Ilmiah
Akhir ini.
14) Sahabat-sahabat tersayang Yunita, Mirda, Memey, Ananda, Rara, Miscok,
Asih, Iput, Mba Oy, Nyonyo, Nike, Risa, Tofa, Kak Isma, Bu Ayu dan
teman-teman satu peminatan Keperawatan Komunitas yang telah memberikan
semangat dan sharing selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.
15) Teman-teman seperjuangan profesi Ners Reguler 2008 dan Ekstensi 2011
FIK UI yang telah memberikan semangat dan bantuan kepada saya hingga
penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini; dan

v
16) Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir
ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Karya Ilmiah Akhir ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Depok, Juli 2013

Penulis

vi
ABSTRAK

Nama : Andi Amalia Wildani, S.Kep


Program Studi : Program Profesi Ners
Judul : Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Napas pada Tuberkulosis Paru Lansia di
RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok.

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksius yang terutama menyerang


parenkim paru, disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. TB merupakan
masalah global dan salah satu dampak dari urbanisasi terhadap kesehatan
masyarakat. faktor kependudukan dan faktor lingkungan merupakan penyebab
terjadinya tuberkulosis di perkotaan. Manifestasi klinis TB pada lansia salah
satunya adalah sesak nafas. Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk memberikan
gambaran penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga dengan ketidakefektifan
bersihan jalan napas pada tuberkulosis paru lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan
Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Intervensi keperawatan yang
diberikan adalah inhalasi sederhana dan batuk efektif. Pemberian inhalasi
sederhana dan batuk efektif bermanfaat dan dapat diterapkan untuk mengeluarkan
dahak, menurunkan frekuensi napas, dan mengurangi sesak napas pada lansia.
Pemecahan masalah yang dilakukan ketika inhalasi sederhana dan batuk efektif
tidak efektif yaitu pemberian posisi semi fowler untuk meningkatkan ekspansi
paru dan mencukupi kebutuhan oksigen sehingga memberikan kenyamanan dan
mengurangi sesak.

Kata kunci: asuhan keperawatan keluarga, ketidakefektifan bersihan jalan napas,


lansia, tuberkulosis.

viii Universitas Indonesia


ABSTRACT

Name : Andi Amalia Wildani, S.Kep


Study Program : Nurse Program
Title : Family Nursing Care with the Ineffective Airway
Clearance in Elderly Pulmonary Tuberculosis at RT 06/
RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis,
Kota Depok.

Tuberculosis (TB) is an infectious disease that primarily affects the lung


parenchyma, caused by mycobacterium tuberculosis. TB is a global problem and
one of the impacts of urbanization on public health. Demographic factors and
enviromental factors are the cause of TB in urban areas. One of clinical
manifestations of elderly TB is shortness of breath.The aim of this final
assignment is provide descriptive management of family nursing care with the
ineffective airway clearance in elderly pulmonary tuberculosis at RT 06/ RW 01
Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Nursing
interventions provided are simple inhalation and effective cough. The simple
inhalation and effective cough is still useful and can be applied to remove sputum,
lower respiratory rate, and reduce shortness of breath in elderly. The problem
solving when simple inhalation and effective cough does not effectively address
the problem ineffective airway clearance in elderly pulmonary is the provision of
semi fowler position to improve lung expansion and sufficient of oxygen so as to
provide comfort and reduce shortness of breath.

Keywords: family nursing care, ineffective airway clearance, elderly, tuberculosis

ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................ vii
ABSTRAK ................................................................................................... viii
ABSTRACT ................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 11
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................... 13
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................ 13
1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................... 13
1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................ 13
1.4.1 Manfaat Keilmuan.. ............................................................... 13
1.4.2 Manfaat Aplikatif .................................................................. 14
1.4.2.1 Bagi Puskesmas Cimanggis..................................... 14
1.4.2.2 Bagi Keluarga........................................................... 14
1.4.3 Manfaat Metodologi.. ............................................................. 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Teori dan Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan. 16
2.1.1 Model Konsep Betty Neuman ............................................... 16
2.1.2 Peran Perawat dalam Keperawatan Kesehatan Perkotaan .... 17
2.1.3 Identifikasi Kesenjangan Keadaan Kesehatan, Keamanan
yang Dialami oleh Masyarakat Perkotaan.............................. 18
2.1.4 Dampak Perkotaan terhadap Kesehatan Masyarakat ............. 19
2.1.5 Masalah Tuberkulosis Paru di Perkotaan ............................... 19
2.2 Konsep Epidemiologi ..................................................................... 21
2.2.1 Definisi Epidemiologi ........................................................... 21
2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Sehat Sakit ............................... 21
2.2.3 Konsep At Risk dan Vulnerability .......................................... 22
2.3 Tuberkulosis Paru .......................................................................... 23
2.3.1 Pengertian Tuberkulosis Paru ................................................ 24
2.3.2 Penyebab Tuberkulosis Paru ................................................. 24
2.3.3 Gejala-Gejala Tuberkulosis Paru .......................................... 25
2.3.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru ................................ 26
2.3.5 Kategori Tuberkulosis Paru ................................................... 27
2.3.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis Paru ......... 28
2.3.7 Cara Penularan Tuberkulosis Paru........................................... 33

x Universitas Indonesia
2.3.8 Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru ................................... 34
2.3.9 Upaya Penanggulangan Tuberkulosis Paru............................. 34
2.3.10 Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru ...................................... 37
2.3.11 Pemeriksaan Penunjang ........................................................ 38
2.3.12 Akibat Tuberkulosis Paru...................................................... 39
2.3.13 Komplikasi Tuberkulosis Paru .............................................. 39
2.4 Penemuan Kasus Tuberkulosis ....................................................... 40
2.5 Konsep Lansia ................................................................................. 42
2.5.1 Definisi Lansia ..................................................................... 42
2.5.2 Klasifikasi Lansia .................................................................. 42
2.5.3 Tugas Perkembangan Lansia ................................................. 43
2.5.4 Perubahan Sistem Pernapasan Lansia .................................... 43
2.5.5 Tuberkulosis pada Lansia ....................................................... 43
2.6 Asuhan Keperawatan Keluarga ....................................................... 44
2.4.1 Pengkajian Keluarga .............................................................. 45
2.4.2 Perumusan Diagnosis Keperawatan Keluarga ....................... 52
2.4.3 Menentukan Prioritas Masalah Keperawatan Keluarga ......... 53
2.4.4 Perencanaan Keperawatan Keluarga ...................................... 54
2.4.5 Implementasi .......................................................................... 55
2.4.6 Evaluasi .................................................................................. 56
2.5 Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas ........................................... 56
2.6 Inhalasi Sederhana ........................................................................... 57
2.7 Batuk Efektif ................................................................................... 59

BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA


3.1 Pengkajian ...................................................................................... 62
3.2 Diagnosis Keperawatan .................................................................. 65
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan ........................................................ 66
3.4 Implementasi Keperawatan ............................................................ 68
3.5 Evaluasi ........................................................................................... 71
3.5.1 Subyektif .............................................................................. 71
3.5.2 Obyektif ................................................................................ 72
3.5.3 Analisis................................................................................... 73
3.5.4 Planning ................................................................................ 73
3.6 Tingkat Kemandirian ..................................................................... 73

BAB 4 ANALISIS SITUASI


4.1 Profil lahan Praktik ......................................................................... 75
4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep terkait KKMP ..... 79
4.3 Analisis Inhalasi Sederhana dan Batuk Efektif dengan
Konsep dan Penelitian Terkait ........................................................ 89
4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ................................. 94

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 97
5.2 Saran ................................................................................................ 99
5.2.1 Bagi Keluarga dengan TB Paru ............................................. 99

xi Universitas Indonesia
5.2.2 Bagi Bidang Keperawatan Komunitas ................................... 99
5.2.2 Bagi Puskesmas Cimanggis .................................................. 99
5.2.2 Bagi Penelitian ....................................................................... 100
.

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 101


LAMPIRAN

xii Universitas Indonesia


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru ................................... 26

Tabel 2.2 Obat Anti Tuberkulosis ............................................................ 37

Tabel 2.3 Cara Membuat Skor Penentuan Prioritas Masalah Keperawatan


Keluarga .................................................................................... 53

xiii Universitas Indonesia


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Asuhan Keperawatan Keluarga Kakek A

Lampiran 2 Catatan Perkembangan

Lampiran 3 Evaluasi Sumatif

Lampiran 4 Tingkat Kemandirian

xiv Universitas Indonesia


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem pernapasan manusia terdiri dari hidung, faring, trakea, bronkus, bronkiolus
dan paru-paru. Organ- organ pernapasan tersebut merupakan salah satu organ vital
bagi kehidupan manusia yang bertugas sebagai tempat pertukaran oksigen yang di
butuhkan manusia dan mengeluarkan karbon dioksida yang merupakan hasil sisa
proses pernapasan yang harus dikeluarkan dari tubuh, sehingga kebutuhan tubuh
akan oksigen tetap terpenuhi. Kebutuhan oksigen merupakan kebutuhan fisiologis
yang sangat mendasar dan utama bagi manusia (Scanlon & Sanders, 2007).

Manusia dalam keadaan normal tidak dapat bertahan hidup tanpa oksigen lebih
dari 4-5 menit (Barbara Kozier, 2004). Udara sangat penting bagi manusia, tidak
menghirup oksigen selama beberapa menit dapat menyebabkan kematian. Itulah
peranan penting paru-paru. Organ yang terletak di bawah tulang rusuk ini
memang mempunyai tugas yang berat, belum lagi semakin tercemarnya udara
yang kita hirup serta berbagai bibit penyakit yang berkeliaran di udara. Hal ini
dapat menyebabkan beberapa organ pernapasan manusia dapat mengalami
gangguan. Gangguan ini biasanya berupa kelainan atau penyakit seperti
Emfisema, Asma, Infuenza, Kanker paru-paru dan Tuberkulosis (Barbara Kozier,
2004).

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim


paru dan dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges,
ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Penelitian Yoga (2007)
yang juga menyatakan bahwa TB tidak hanya menyerang paru, tetapi juga dapat
menyerang organ tubuh yang lain seperti kulit (TB kulit), tulang (TB tulang), otak
dan saraf (TB otak dan saraf), mata (TB mata), dan lain-lain. TB terutama
menyerang organ paru-paru sebanyak 80% (PPTI, 2012). Tuberkulosis
disebabkan oleh kuman TB yaitu mycobacterium tuberculosis (Kemenkes, 2011).
Keluhan atau gejala yang ditunjukkan oleh penderita TB sangatlah bervariasi.

1 Univesitas Indonesia
2

Gejala yang biasanya muncul adalah demam, batuk darah, Batuk yang biasanya
berlangsung lama dan produktif yang berdurasi lebih dari 3 minggu (Price dan
Wilson, 2005). Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu
makan, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dan
lain-lain. Gejala ini hilang timbul secara tidak teratur juga, gejala yang biasanya
muncul juga adalah sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang
sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru (Amin
dan Bahar, 2006). Ketika seseorang mengalami gejala- gejala TB, perlu di
diantisipasi agar penularan tidak terjadi.

Penularan terjadi saat penderita TB Paru BTA positif batuk atau bersin yang
mampu menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei) yang menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Droplet yang
mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa
jam. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
(Kemenkes, 2011).

Seseorang yang sudah terpajan kuman TB perlu dilakukan pengecekan. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui atau menetapkan seseorang menderita TB dengan
cara pemeriksaan dahak yang diambil tiga kali selama dua hari dan pemeriksaan
tambahan berupa rotgen thoraks. Pengecekan tersebut sangat diperlukan untuk
mendapatkan pengobatan selanjutnya. Tuberkulosis ini bukan penyakit keturunan
dan dapat disembuhkan bila berobat teratur. Penderita TB aktif jika tidak diobati
dapat menularkan sepuluh sampai lima belas orang lainnya dalam satu tahun
(PPTI, 2012). TB merupakan salah satu dampak dari urbanisasi dan masalah yang
terjadi pada masyarakat perkotaan.

Akibat dari meningkatnya proses urbanisasi menimbulkan dampak- dampak


terhadap kesehatan, lingkungan kota, baik dari segi tata kota, masyarakat, maupun
keadaan sekitarnya. Dampak urbanisasi terhadap kesehatan dan lingkungan kota
salah satunya adalah tuberkulosis (Hidayati, 2009). Penularan TB yang sangat

Universitas Indonesia
3

cepat menjadikan masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan


masyarakat yang penting (Azzisman dkk, 2006).

Masalah TB yang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting,


dibuktikan dengan masih banyak ditemukannya penderita TB di masyarakat. TB
bisa menyerang siapa pun, warga miskin perkotaan adalah kelompok masyarakat
paling rentan terserang tuberkulosis. Lingkungan tempat tinggal yang kumuh dan
rendahnya mutu asupan nutrisi membuat kuman tuberkulosis dalam tubuh
gampang menjadi aktif. Kepala Subdirektorat Tuberkulosis Kementerian
Kesehatan Dyah Erti Mustikawati di sela-sela lokakarya Resisten Multiobat
Tuberkulosis (Tb-MDR) di Jakarta mengatakan bahwa kuman tuberkulosis dalam
tubuh masyarakat dengan ekonomi lebih baik jarang menjadi aktif karena mereka
punya daya tahan tubuh lebih baik (Health Kompas, 2012). Penderita TB di
masyarakat dan penularan TB yang cepat juga menjadikan TB sebagai salah satu
masalah global (Depkes, 2002). Kemenkes (2011) menyatakan bahwa situasi TB
didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak
berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22
negara dengan masalah TB besar (high burden countries).

Mycobacterium tuberkulosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Akibat


dari TB diseluruh dunia menyebabkan sembilan juta pasien TB baru dan tiga juta
kematian pada tahun 1995. Kematian akibat TB didunia diperkirakan 95% kasus
TB dan 98% kasus juga terjadi pada negara-negara berkembang. World Health
Organization (WHO) mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global
emergency) pada tahun 1993 untuk menyikapi hal tersebut (Kemenkes, 2011).
Kasus TB di dunia terdapat 9,4 juta kasus pada tahun 2009. Kasus yang terbanyak
terjadi di Asia Tenggara yaitu sekitar 35 %, Afrika sekitar 30% dan Pasifik Barat
sekitar 20%, di wilayah Afrika, sekitar 11-13 % penderita TB disebabkan karena
HIV. Penyakit yang disebabkan oleh micobacterium tuberkulosis telah membunuh
banyak jiwa didunia terutama pada negara berkembang seperti halnya di
Indonesia. (WHO, 2010).

Universitas Indonesia
4

Indonesia menempati urutan ke lima dengan terbesar kasus insiden pada tahun
2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (WHO, 2010).
Penyakit TB di Indonesia juga mengalami peningkatan dan setiap tahun
diperkirakan terjadi 583.000 pasien baru TB dan 140.000 orang meningggal
karena TB. Kasus TB yang terjadi di Indonesia begitu banyak, dilihat dari
penyebaran TB di Indonesia, pada setiap menit muncul satu orang pasien TB Paru
baru, setiap dua menit muncul satu orang penderita TB Paru yang menular, dan
setiap empat menit satu orang meninggal akibat TB (Amiruddin et. al.,2009).

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia tahun 2004 diketahui


bahwa estimasi prevalensi angka kesakitan di Indonesia sebesar delapan kasus per
1000 penduduk berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Survey ini
juga didapatkan bahwa TB menduduki rangking ketiga sebagai penyebab
kematian (9,4% dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem
pernafasan (SKRT, 2004). Kasus TB yang terus meningkat membuat pemerintah
menerapkan DOTS (Directly observed Treatment Short-course) secara optimal
untuk menanggulangi TB.

Strategi DOTS ini telah terbukti sebagai strategi pengendalian yang secara
ekonomis paling efektif (Depkes, 2006). Studi cost benefit yang dilakukan di
Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap
dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan
menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun. Fokus utama DOTS adalah
penemuan dan penyembuhan pasien, dengan mempriortaskan pasien TB tipe
menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian
menurunkan insidens TB di masyarakat (Depkes, 2011).

Pelaksanaan strategi DOTS mampu menurunkan kasus TB di Indonesia. Pada


tahun 2010, Indonesia menduduki peringkat kelima di dunia setelah India, China,
Afrika dan Pakistan. Jumlah insidensi kasus semua tipe TB, 450.000 kasus atau
189 kasus per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua tipe TB, 690.000 kasus
atau 289 kasus per 100.000 penduduk dan angka kematian TB, 64.000 kasus atau

Universitas Indonesia
5

27 kasus per 100.000 penduduk atau 175 orang per hari sedangkan angka
insidensi kasus baru TB Paru BTA positif pada Insidensi kasus TB BTA positif
sekitar 102 kasus per 100.000 penduduk (Depkes, 2011).

Permasalahan lain terkait TB di Indonesia saat ini yaitu meningkatnya kasus TB-
MDR (Multi Drug Resistant). TB MDR adalah mycobacterium yang resisten
terhadap Obat Anti TB (OAT) yaitu isoniazid dan rifampisin (Depkes, 2010).
WHO melaporkan bahwa telah terjadi 290.000 kasus TB MDR pada tahun 2010,
selain itu terdapat 27 negara “high burden countries for TB MDR” yang
merepresentasikan 85% beban TB MDR dunia (WHO, 2011). Indonesia berada di
urutan ke sembilan dari 27 negara “high burden TB MDR countries”. TB MDR
yang terjadi di Indonesia diperkirakan sebanyak 6.100 pasien pada tahun 2010
(WHO, 2011).

MDR TB di indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor mikrobiologi


dan program pengobatan yang tidak adekuat serta ketidakpatuhan pasien TB
dalam menjalani pegobatan TB yang merupakan penyebab terbesar dalam TB
MDR. Resistensi disebabkan oleh mutasi genetik secara mikrobiologi. Hal ini
membuat obat menjadi kurang efektif melawan basil mutan. Mutasi akan terjadi
secara spontan terhadap satu jenis obat dan jika mendapatkan terapi OAT yang
tidak adekuat (WHO, 2008). Aspek program pengobatan yang tidak adekuat juga
dapat menimbulkan mutasi kuman secara spontan seperti diantaranya
keterlambatan dignosis dan tidak mengikuti panduan pengobatan (WHO, 2008).

Ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan merupakan penyebab terbesar


terjadinya resistensi obat. Alasan pasien tidak datang berobat (drop out) pada fase
intensif karena rendahnya motivasi dan kurang informasi tentang penyakit yang
dideritanya (WHO, 2008). Hasil survei prevalensi TB (2004) di Indonesia
menunjukkan bahwa 96% keluarga telah merawat anggota keluarga yang
menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka.
Meskipun 76% keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui
bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan

Universitas Indonesia
6

dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dapat dipahami oleh 51%
keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa pemerintah telah menyediakan
obat TB gratis (STRANAS,2011).

Indonesia telah berhasil mencapai dan mempertahankan angka kesembuhan sesuai


dengan target global yaitu minimal 85% penemuan kasus TB di Indonesia sejak
tahun 2000 dan pada tahun 2006 adalah 76% penemuan kasus TB. Risiko
penularan setiap tahun atau Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) di
Indonesia cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Daerah dengan ARTI sebesar
1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi,
sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan penderita tuberkulosis, hanya
10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis adalah
lansia, bayi, daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau
HIV/ AIDS disamping faktor pelayanan yang belum memadai dan orang yang
berada dilingkungan pasien TB (Pramudiarja, 2012). Angka kejadian TB di
Indonesia masih tinggi dilihat dari angka risiko penularan setiap tahun masih
tinggi.

Hasil riset operasional tuberkulosis estimasi jumlah orang dengan TB di Indonesia


pada tahun 2009-2010 dengan pemodelan multilevel Logistic Regression Model
(LRM) digunakan untuk pemodelan data survei, baik untuk tingkat provinsi
maupun nasional mendapatkan data Riskesdas 2010 untuk memprediksi jumlah
orang dengan TB per provinsi di Indonesia tahun 2010, di dapat bahwa sekitar
697.500 (596.062-798.938) orang telah terinfeksi TB. Hasil estimasi per provinsi
menunjukkan bahwa estimasi jumlah orang dengan TB tertinggi ada di provinsi
Jawa Barat dengan estimasi sekitar 90.905 (62.754-119.055) orang, dan yang
terendah ada di provinsi Kepulauan Riau dengan estimasi sekitar 611 (0-1.809)
orang (Riono & Farid, 2011). Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa kota salah
satunya adalah kota Depok.

Universitas Indonesia
7

Penemuan kasus baru (Case Detection Rate) di kota Depok dari tahun 2011
sampai dengan tahun 2012 terus meningkat, akan tetapi masih dibawah target
Nasional yaitu sebesar 70%. Penemuan kasus TB paru di UPT (Unit Pelaksanaan
Teknis) Puskesmas Kecamatan Cimanggis tahun 2011, 182 kasus, mengalami
kenaikan pada tahun 2012, 1517 kasus. Kecenderungan angka kesembuhan atau
cure rate di UPT Puskesmas Kecamatan Cimanggis pada tahun 2011 adalah 92,
39% dan tahun 2012 adalah 93, 75%. Dalam hal ini angka kesembuhan
mengalami kenaikan berarti penderita sudah mengerti dan taat kepada petugas
PMO (Pengawas Menelan Obat) sesuai strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short Course) serta kepatuhan penderita dalam menyelesaikan
pengobatan. Penderita TB di kelurahan Cisalak pasar, berdasarkan hasil
pengkajian di Puskesmas Cimanggis, selama tahun 2012 sampai Mei 2013
terdapat 32 orang berobat TB, jumlah tersebut masih jauh diatas dari target
nasional, dimana target untuk kelurahan Cisalak Pasar dalam menemukan kasus
TB baru adalah sebanyak 20 kasus. Dari 32 orang pasien yang terdapat di
kelurahan Cisalak pasar, 10 orang atau 32.1% diantaranya terdapat di RW 01
Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. (Puskesmas
Cimanggis, 2012). Pasien TB yang ditemukan berasal dari berbagai usia dan
kalangan.

Pasien TB di dunia adalah sekitar 75% kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis yaitu antara usia 15-50 tahun (WHO, 2009). Hal ini sependapat
dengan Depkes (2004) menyatakan bahwa penderita TB paru di Indonesia
sebagian besar terjadi pada kelompok usia produktif dan ekonomi rendah.
Berbeda dengan penelitan yang dilakukan oleh Rahmatullah (1994 dalam
Nugroho 2007) yang menyatakan bahwa tuberkulosis pada lanjut usia (lansia)
ternyata masih cukup tinggi.

Lansia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang (Azizah, 2010). Manusia
tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak,
dewasa, dan akhirnya menjadi tua (Pujianti, 2003). Lansia merupakan tahap akhir
dari siklus hidup manusia, yaitu bagian dari proses kehidupan yang tak dapat

Universitas Indonesia
8

dihindarkan dan akan di alami oleh setiap individu. Tahap lansia ini individu
mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun/mental, khususnya
kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya
(Soejono, 2000).

Lansia ini secara patofisiologis, tanpa penyakit saja sudah mengalami penurunan
fungsi paru ditambah menderita TB paru sehingga menambah dan memperburuk
keadaan. Tampilan klinis TB pada lansia tidak khas dan oleh karena itu mungkin
tidak diketahui atau salah diagnosis. Batuk kronis, keletihan dan kehilangan berat
badan dihubungkan dengan penuaan dan penyakit yang menyertai (Meiliya dan
Ester, 2006). Banyak ditemukan lansia dengan penyakit TB paru yang sudah
dalam keadaan parah, banyak ditemukan pula bronkitis kronis dan tidak sedikit
kematian terjadi akibat radang paru. Penyebaran penyakit TB sangatlah mudah,
hal ini sangat rentan pada keluarga yang anggota keluarga lain yang sedang
menderita penyakit TB dan harus mendapat penanganan yang tepat.
Penderita tuberkulosis khususnya pada lansia ternyata masih cukup tinggi di
masyarakat, sehingga di dalam sebuah keluarga kemungkinan terdapat anggota
keluarga yang menderita tuberkulosis, dimana keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul
dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling
ketergantungan (Effendi, 2004). Keluarga membentuk unit dasar masyarakat dan
tentunya unit dasar ini sangat mempengaruhi perkembangan individu yang
memungkinkan menentukan keberhasilan atau kegagalan kehidupan individu
(Friedman, 2003). Keluarga disini sangat berperan penting dalam keberhasilan
pengobatan pada penderita TB.

Penderita TB yang tidak ditangani dengan baik dapat mengalami komplikasi


perdarahan dari saluran pernafasan bawah yang dapat mengakibatkan penyebaran
infeksi ke organ lain misalnya otak, tulang, persendian, ginjal, kegagalan nafas
bahkan kematian. Pasien lansia yang menderita TB paru juga akan mengalami
berbagai masalah keperawatan baik secara biologis, psikologis dan sosial, antara
lain bersihan jalan nafas yang tidak efektif, pola nafas yang tidak efektif,

Universitas Indonesia
9

gangguan pertukaran gas, cemas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk


bernafas (Nugroho,2007).

Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik,


kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses
pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal, sehingga mukus ini banyak
tertimbun dan bersihan jalan nafas akan tidak efektif. Membran mukosa akan
terangsang, dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intrathorakal dan intra
abdominal yang tinggi, jika hal tersebut terjadi. Udara keluar dengan akselerasi
yang cepat beserta membawa sekret mukus yang tertimbun ketika dibatukkan.
Mukus tersebut akan keluar sebagai dahak (Prince, 2000). Pengeluaran dahak
dapat dilakukan dengan membatuk. Pengeluaran dahak dengan membatuk akan
lebih mudah dan efektif bila diberikan penguapan atau inhalasi sederhana.

Inhalasi sederhana adalah menghirup uap hangat dari air mendidih telah ditetesi
minyak penghangat, misalnya minyak kayu putih (Akhavani, 2005). Inhalasi
aman untuk segala usia, para ahli paru anak sangat menganjurkan inhalasi sebagai
pengobatan yang berhubungan dengan paru. Inhalasi sederhana mampu
mengurangi gejala dari flu ringan yang baru saja terjadi, batuk berdahak, paru-
paru basah, batuk berdahak berat dan lama, batuk kronis atau batuk yang
berulang-ulang. Inhalasi juga tidak memiliki efek negatifnya serta boleh dilakukan
sekali pun orang tersebut mempunyai alergi terhadap sesuatu, karena bekerja
langsung pada sumber pernapasan yaitu paru-paru. Penguapan secara tradisional
atau inhalasi sederhana ini hanya berfungsi untuk melonggarkan saluran napas,
bukan untuk mengeluarkan lendir, karena bahan-bahan dalam minyak kayu putih
yang terhirup melalui uap air panas itu tidak mengandung zat penghancur lendir
(Karnaen, 2011). Tindakan inhalasi terbukti kurang efektif untuk mengeluarkan
dahak sehingga bersihan jalan napas menjadi efektif, sehingga tindakan inhalasi
sederhana dikombinasikan dengan batuk efektif. Tindakan ini juga merupakan
intervensi unggulan yang diberikan oleh perawat.

Universitas Indonesia
10

Batuk efektif adalah tindakan yang diperlukan untuk membersihkan dahak


(Hudak & Gallo, 2000). Batuk efektif yang baik dan benar dapat mempercepat
pengeluaran dahak pada pasien dengan gangguan saluran pernafasan. Hasil
penelitian Nugroho (2011) pengaruh batuk efektif terhadap pengeluaran dahak
pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehingga uji pengaruh
menggunakan uji Wilcoxon untuk melihat kemaknaan pengaruh batuk efektif
dengan α = 0,05 didapatkan p=0,003 (p<0,05) berarti bahwa berarti ada pengaruh
sebelum dan sesudah perlakuan batuk efektif. Tindakan batuk efektif terbukti
efektif dan dapat memberikan perubahan pada pengeluaran dahak seseorang,
karena dengan batuk efektif bisa mengeluarkan dahak dengan maksimal dan
banyak serta dapat membersihkan saluran pernapasan yang sebelumnya terhalang
oleh dahak. Hough (2001) menyatakan bahwa lendir akan mudah keluar dari
saluran pernapasan dengan penggunaan penguapan atau inhalasi sederhana untuk
mengencerkan dahak tergantung dari kekuatan pasien untuk membatuk atau batuk
efektif, sehingga seseorang akan merasa lendir atau dahak di saluran napas hilang
dan jalan nafas akan kembali normal. Hal ini merupakan tindakan keperawatan
yang bisa dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah keperawatan yang
disebabkan oleh TB.

Masalah keperawatan yang disebabkan karena TB seperti yang di alami oleh


keluarga dengan lansia yang berusia 70 tahun dan memiliki riwayat BTA positif
pada Desember 2012, namun tidak menjalani pengobatan OAT, hanya
memeriksakan diri ke dokter praktik dan diberi salbutamol dan tyrosol. Keluhan
yang dirasakan sejak tiga bulan terakhir hingga saat ini adalah sesak. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan respiratory rate 28 kali/ menit dan bunyi paru pada
saat auskultasi ronchi di semua lapang paru dan ronchi sangat terdengar jelas
tanpa auskultasi sekalipun. Pemeriksaan BTA negatif pada tanggal 03 Juni 2012,
namun tanda dan gejala pasien TB masih terlihat jelas seperti sesak, berkeringat
tanpa beraktivitas di malam hari. Batuk sesekali, namun dahak susah keluar,
dahak berwarna putih, dalam jumlah sedikit. Hal ini merupakan penemuan kasus
baru di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota
Depok. Sesuai pengkajian yang telah dilakukan dan merujuk masalah keluarga TB

Universitas Indonesia
11

lansia dengan keluhan utama sesak, maka diangkat perioritas diagnosis


keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas, karena produksi mukus yang
berlebihan ditandai dengan bunyi napas ronchi di semua lapang paru pada saat
auskultasi. Berdasarkan data tersebut di atas, mahasiswa tertarik untuk membahas
bagaimana penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga dengan ketidakefektifan
bersihan jalan napas pada tuberkulosis paru lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan
Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak ditemukannya penderita TB di
masyarakat. Penularan TB yang cepat, menjadikan TB sebagai salah satu masalah
global dan Indonesia menempati urutan ke lima dengan terbesar kasus insiden
pada tahun 2009.

Indonesia terdiri dari berbagai provinsi, salah satunya adalah Jawa Barat. Estimasi
jumlah orang dengan TB tertinggi berada di Jawa Barat dan Depok yang
merupakan salah satu kota yang berada di Jawa Barat. Penemuan kasus baru
(Case Detection Rate) di kota Depok dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2012
terus meningkat. Penderita TB di Depok khususnya di kelurahan Cisalak pasar,
berdasarkan hasil pengkajian di Puskesmas Cimanggis, selama tahun 2012 sampai
Mei 2013 terdapat 32 orang berobat TB, jumlah tersebut masih jauh diatas dari
target nasional, dimana target untuk kelurahan Cisalak Pasar dalam menemukan
kasus TB baru adalah sebanyak 20 kasus. Dari 32 orang pasien yang terdapat di
kelurahan Cisalak pasar, 10 orang atau 32.1% diantaranya terdapat di RW 01
Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim


paru dan dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges,
ginjal, tulang dan nodus limfe, namun TB terutama menyerang organ paru-paru
sebanyak 80%. TB disebabkan oleh kuman TB yaitu mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis ini sendiri bukan penyakit keturunan dan dapat disembuhkan bila

Universitas Indonesia
12

berobat teratur. Penderita TB aktif jika tidak diobati dapat menularkan sepuluh
sampai lima belas orang lainnya dalam satu tahun. TB ini sendiri menyerang
kelompok usia produktif (15-54 tahun) dan ekonomi lemah, namun TB juga dapat
menyerang usia lanjut.

Lansia penyakit TB paru yang sudah dalam keadaan parah, banyak ditemukan
pula bronkitis kronis dan tidak sedikit kematian terjadi akibat radang paru.
Penyebaran penyakit TB sangatlah mudah, hal ini sangat rentan pada keluarga
yang anggota keluarga lain yang sedang menderita penyakit TB . Oleh karena itu,
penyakit TB harus mendapat penanganan yang tepat. Pasein TB yang tidak
ditangani dengan baik mengalami komplikasi perdarahan dari saluran pernafasan
bawah yang dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke organ lain misalnya otak,
tulang, persendian, ginjal, kegagalan nafas bahkan kematian.

Pasien lansia yang menderita TB paru juga akan mengalami berbagai masalah
keperawatan baik secara biologis, psikologis dan sosial, antara lain bersihan jalan
nafas yang tidak efektif, pola nafas yang tidak efektif, gangguan pertukaran gas,
cemas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk bernafas. Keadaan abnormal
produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi
yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak
berjalan secara adekuat normal, sehingga mukus ini banyak tertimbun dan
bersihan jalan nafas akan tidak efektif. Hough (2001) menyatakan bahwa
penggunaan penguapan atau inhalasi sederhana untuk mengencerkan dahak
tergantung dari kekuatan pasien untuk membatuk atau batuk efektif sehingga
mendorong lendir keluar dari saluran pernapasan dan seseorang akan merasa
lendir atau dahak di saluran napas hilang dan jalan nafas akan kembali normal.
Berdasarkan data tersebut di atas, mahasiswa tertarik untuk membahas bagaimana
penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga dengan ketidakefektifan bersihan
jalan napas pada tuberkulosis paru lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak
Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.

Universitas Indonesia
13

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan yang dilakukan memiliki beberapa tujuan, diantaranya:

1.3.1 Tujuan Umum


Penulis mampu memberikan gambaran penatalaksanaan asuhan keperawatan
keluarga dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas pada tuberkulosis paru
lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota
Depok.

1.3.2 Tujuan Khusus


Penulisan ini bertujuan agar penulis mampu memberikan gambaran tentang
penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga pada klien dengan masalah
tuberkulosis paru yang meliputi:
1.3.2.1 Mampu melakukan pengkajian keluarga lansia dengan TB paru.
1.3.2.2 Mampu menganalisis data yang didapatkan pada saat pengkajian.
1.3.2.3 Mampu menentapkan masalah keperawatan berdasarkan hasil analisis
data.
1.3.2.4 Mampu menetapkan prioritas diagnosis keperawatan berdasarkan skoring
yang sudah dilakukan.
1.3.2.5 Mampu membuat rencana asuhan keperawatan keluarga sesuai dengan
masalah keperawatan yang sudah ditetapkan.
1.3.2.6 Mampu membantu keluarga dalam melaksanakan lima fungsi kesehatan
keluara antara lain mengenal masalah, mengambil keputusan, merawat anggota
keluarga yang sakit, meodifikasi lingkungan dan memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan yang ada serta mengimplementasikan tindakan keperawatan
berupa inhalasi sederhana dan batuk efektif untuk mengatasi masalah pada TB
paru pada lansia.
1.3.2.7 Mampu mengevaluasi hasil akhir dari implementasi yang telah dilakukan
pada keluarga dengan TB paru lansia.
1.3.2.8 Mampu menganalisis kesenjangan antara asuhan keperawatan keluarga
yang diberikan dengan teori-teori terkait

Universitas Indonesia
14

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan yang dilakukan diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak,
sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Keilmuan


Karya ilmiah ini sebagai bahan pengembangan pengetahuan dalam keilmuan
keperawatan komunitas khususnya tentang asuhan keperawatan keluarga dengan
masalah tuberkulosis paru khususnya pada lansia.

1.4.2 Manfaat Aplikatif


1.4.2.1 Bagi Puskesmas Cimanggis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi terkait gambaran
pemberian asuhan keperawatan keluarga dengan TB paru pada lansia dan menjadi
acuan untuk meningkatkan program pelayanan promosi kesehatan dalam
pengendalian TB, terutama pengembangan materi-materi edukasi kesehatan yang
dapat dipahami masyarakat. Jika klien TB terpapar informasi tersebut, maka
penemuan kasus-kasus baru TB dan kepatuhan berobat dapat ditingkatkan
sehingga kejadian TB dapat diminimalkan kejadiannya.

1.4.2.2 Bagi Keluarga dengan Tuberkulosis Paru pada Lansia


Penulisan ini diharapkan membuat keluarga mampu melaksanakan lima tugas
kesehatan keluarga mulai dari mengenali masalah tuberkulosis paru pada lansia,
mengidentifikasi anggota keluarga yang menderita TB, mengambil keputusan
dengan menyebutkan akibat bila TB tidak ditangani, cara perawatan sederhana
untuk mengatasi TB terutama batuk efektif dan inhalasi sederhana yang dialami
anggota keluarga khususnya pada lansia, memodifikasi lingkungan dan
memanfaatkan pelayanan kesehatan sehingga dapat tercapai peningkatan
kesehatan dalam keluarga.

Universitas Indonesia
15

1.4.3 Manfaat Metodologi


Hasil penulisan dapat menjadi materi rujukan dalam pengembangan edukasi
kesehatan yang dapat diterapkan dalam asuhan keperawatan bagi individu,
keluarga dan komunitas terkait tuberkulosis paru. Selain itu hasil penelitian dapat
menjadi dasar penelitian lanjutan di bidang keperawatan khususnya yang terkait
tuberkulosis paru.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Pembahasan pada bab ini tentang pengertian dan tinjauan pustaka mengenai
konsep keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, konsep epidimiologi,
konsep tuberkulosis paru, konsep TB baru, konsep lansia, konsep TB paru pada
lansia, konsep asuhan keperawatan keluarga serta diagnosis keperawatan pada
keluarga dengan tuberkulosis paru, inhalasi sederhana dan batuk efektif.

2.1 Teori dan Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan


Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa
identitas bersama. Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai
kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kota dapat diartikan yang lain sebagai
suatu daerah yang memiliki gejala pemusatan penduduk yang merupakan suat
perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis sosial,
ekonomi, kultur, yang terdapat di daerah tersebut dengan adanya pengaruh timbal
balik dengan daerah-daerah lainnya (Bintarto, 2000). Masyarakat urban dapat
disimpulkan sebagai massa yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya untuk menjadi lebih baik.

2.1.1 Model Konsep Betty Neuman


Model konsep Neuman adalah model konsep yang menggambarkan tindakan
keperawatan yang berfokus pada variabel-variabel yang mempengaruhi respon
klien terhadap stresor. Neuman (1972) mendefenisikan manusia secara utuh yang
merupakan gabungan dari konsep holistik dan pendekatan sistem terbuka. Sebagai
sistem terbuka, manusia berinteraksi, beradaptasi dengan dan disesuaikan oleh
lingkungan yang digambarkan sebagai stresor. Lingkungan ini terdiri dari
lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal terdiri dari segala sesuatu
yang mempengaruhi intrapersonal yang berasal dari dalam diri klien. Lingkungan
eksternal ialah segala pengaruh yang berasal dari luar diri klien (interpersonal).

16 Universitas Indonesia
17

Tiap lingkungan memiliki kemungkinan terganggu oleh stresor yang dapat


merusak sistem. Pembentukan lingkungan merupakan usaha klien untuk
menciptakan lingkungan yang aman, yang mungkin terbentuk oleh mekanisme
yang disadari maupun yang tidak disadari (Potter & Perry, 2005).

Tujuan dari keperawatan adalah membantu individu, keluarga, dan kelompok


dalam mencapai dan mempertahankan tingkat kesehatan yang optimal (Neuman
& Young, 1972 dalam Potter & Perry, 2005). Intervensi keperawatan diarahkan
pada garis pertahanan dengan penggunaan pencegahan primer, sekunder dan
tersier. Pencegahan primer meliputi tindakan keperawatan untuk mengidentifikasi
adanya stresor dan mencegah terjadinya reaksi tubuh karena adanya stres.
Pencegahan sekunder meliputi tindakan keperawatan untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala penyakit atau reaksi tubuh lainnya karena adanya stresor.
Sedangkan pencegahan tersier meliputi pengobatan rutin dan teratur serta
pencegahan kerusakan lebih lanjut atau komplikasi suatu penyakit. Prinsip dari
pencegahan tersier adalah memberikan penguatan pertahanan tubuh terhadap
stresor melalui pendidikan kesehatan dan membantu dalam pencegahan terjadinya
masalah yang sama. Keperawatan berfokus pada individu sebagai satu kesatuan,
bertujuan untuk mencapai dan mempertahankan kestabilan pasien (Potter & Perry,
2005).

2.1.2 Peran Perawat dalam Keperawatan Kesehatan Perkotaan


Ruang lingkup praktik keperawatan masyarakat meliputi: upaya-upaya
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), pemeliharaan
kesehatan dan pengobatan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) dan
mengembalikan serta memfungsikan kembali baik individu, keluarga, kelompok
dan masyarakat ke lingkungan sosial dan masyarakatnya (resosialisasi). Kegiatan
praktik keperawatan komunitas yang dilakukan perawat mempunyai lahan yang
luas dan tetap menyesuaikan dengan tingkat pelayanan kesehatan wilayah kerja
perawat, tetapi secara umum kegiatan praktik keperawatan komunitas adalah
sebagai berikut pertama yaitu memberikan asuhan keperawatan langsung kepada
individu, keluarga, kelompok khusus baik di rumah (home nursing), di sekolah

Universitas Indonesia
18

(school health nursing), di perusahaan, di Posyandu, di Polindes dan di daerah


binaan kesehatan masyarakat. Kedua Penyuluhan/pendidikan kesehatan
masyarakat dalam rangka merubah perilaku individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat (Stanhope & Lancaster, 2004).

Ketiga konsultasi dan pemecahan masalah kesehatan yang dihadapi. Keempat


bimbingan dan pembinaan sesuai dengan masalah yang mereka hadapi. Kelima
melaksanakan rujukan terhadap kasus-kasus yang memerlukan penanganan lebih
lanjut. Keenam penemuan kasus pada tingakat individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat. Ketujuh sebagai penghubung antara masyarakat dengan unit
pelayanan kesehatan. Kedelapan melaksanakan asuhan keperawatan komuniti,
melalui pengenalan masalah kesehatan masyarakat, perencanaan kesehatan,
pelaksanaan dan penilaian kegiatan dengan menggunakan proses keperawatan
sebagai suatu usaha pendekatan ilmiah keperawatan. Kesembilan mengadakan
koordinasi di berbagai kegiatan asuhan keperawatan komuniti. Kesepuluh
Mengadakan kerjasama lintas program dan lintas sektoral dengan instansi terkait
dan terakhir memberikan ketauladanan yang dapat dijadikan panutan oleh
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang berkaitan dengan keperawatan
dan kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004).

2.1.3 Identifikasi Kesenjangan Keadaan Kesehatan, Keamanan yang


dialami oleh Masyarakat di Daerah Perkotaan
Mengidentifikasi kesenjangan keadaan kesehatan klien dapat dilihat dari pengaruh
lingkungan terhadap kesehatan klien. Hal yang dapat diidentifikasi berkaitan
dengan dimensi kesehatan klien (Clark, 2000) seperti:

2.1.3.1 Dimensi biophysical yaitu kondisi lingkungan klien yang memiliki efek
yang berbeda pada tingkatan usia populasi serta efek yang terjadi.

2.1.3.2 Dimensi psychological yaitu efek kondisi lingkungan terhadap kualitas


estetika pada lingkungan.

Universitas Indonesia
19

2.1.3.3 Dimensi physical yaitu faktor-faktor fisik yang mempengaruhi interaksi


kondisi lingkungan dan berefek pada kesehatan.

2.1.3.4 Dimensi sosial yaitu sikap, pekerjaan serta status ekonomi yang dimiliki
oleh klien sehingga berpengaruh pada kondisi lingkungan klien.

2.1.3.5 Dimensi behavioral yaitu keadaan klien yang merokok, pola diet serta
aktivitas rekreasi klien terhadap kondisi lingkungan yang dapat berimbas terhadap
kesehatan.

2.1.3.6 Dimensi sistem kesehatan dapat diidentifikasi dari keadaan lingkungan


kesehatan yang dimiliki serta tanda-tanda yang dimiliki oleh klien ketika klien
sakit dan penanganan yang dilakukan klien ketika sakit.

2.1.4 Dampak Perkotaan terhadap Kesehatan Masyarakat


Akibat dari meningkatnya proses urbanisasi menimbulkan dampak- dampak
terhadap kesehatan, lingkungan kota, baik dari segi tata kota, masyarakat, maupun
keadaan sekitarnya. Dampak urbanisasi terhadap kesehatan dan lingkungan kota
antara lain masih tingginya penyakit menular seperti malaria, diare, demam
berdarah, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), dermatitis, Tuberkulosis (TB)
diiringi meningkatnya penyakit tidak menular seperti jantung, hipertensi, stroke
dan diabetes, dan diikuti munculnya New Emerging Infectious Diseases, seperti
Flu Burung dan juga pada masalah air bersih dan sanitasi lingkungan (Hidayati,
2009).

2.3.5 Masalah Tuberkulosis Paru di Perkotaan


Masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting (Azzisman dkk, 2006). Hal ini dibuktikan dengan masih banyak
ditemukannya penderita TB di masyarakat. Penularan TB yang cepat, menjadikan
TB sebagai salah satu masalah global (Depkes, 2002). Sumber penularan penyakit
TB adalah penderita TB dengan BTA (+). Apabila penderita TB batuk, berbicara,
atau bersin dapat menularkan kepada orang lain. Faktor risiko yang berperan

Universitas Indonesia
20

penting dalam penularan penyakit TB diantaranya faktor kependudukan dan


faktor lingkungan. Faktor kependudukan diantaranya adalah jenis kelamin, umur,
status gizi, dan kondisi sosial ekonomi, sedangkan faktor lingkungan diantaranya
lingkungan dan ketinggian wilayah untuk lingkungan meliputi kepadatan
penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian
wilayah (Ahmadi, 2005). Penelitian Chapman et al (1993, dalam Nelson 2005)
mengatakan bahwa faktor lingkungan dan sosial, kepadatan penghuni, serta
kemiskinan berperan dalam timbulnya kejadian TB.

Penyakit TB paru yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama


lingkungan dalam rumah serta perilaku penghuni dalam rumah karena dapat
mempengaruhi kejadian penyakit, kontruksi dan lingkungan rumah yang tidak
memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko sumber penularan berbagai penyakit
infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan TB Paru (Depkes,
2007). Rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi
kejadian penyakit TB seperti hasil penelitian Dahlan (2000) mengatakan bahwa
pencahayaan, ventilasi yang buruk dan kepadatan penghuni yang tinggi
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB di Kota Jambi.
Penelitian Edwan (2008) menunjukkan bahwa kelembaban rumah yang tidak
memenuhi syarat mempengaruhi dengan kejadian TB paru di Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan, sedangkan penelitan Ayunah (2008) menunjukan hasil bahwa
ventilasi dalam rumah yang kurang baik dapat mempengaruhi kejadian TB di
Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan.

TB bisa menyerang siapa pun, warga miskin perkotaan adalah kelompok


masyarakat paling rentan terserang tuberkulosis. Lingkungan tempat tinggal yang
kumuh dan rendahnya mutu asupan nutrisi membuat kuman tuberkulosis dalam
tubuh gampang menjadi aktif. Kepala Subdirektorat Tuberkulosis Kementerian
Kesehatan Dyah Erti Mustikawati di sela-sela lokakarya Resisten Multiobat
Tuberkulosis (Tb-MDR) di Jakarta mengatakan bahwa kuman tuberkulosis dalam
tubuh masyarakat dengan ekonomi lebih baik jarang menjadi aktif karena mereka
punya daya tahan tubuh lebih baik (Health Kompas, 2012).

Universitas Indonesia
21

Indonesia sebagai daerah endemik 80 % penduduknya diduga pernah terpapar


bakteri penyebab tuberkulosis, mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini bisa
nonaktif puluhan tahun dan aktif jika daya tahan tubuh lemah. Kuman
tuberkulosis mudah menular pada lingkungan pengap, dalam ruangan dengan
ventilasi udara kurang, serta paparan sinar matahari rendah, oleh karena itu,
penting menjaga etika batuk dan meludah agar kuman dalam tubuh tak tersebar.
Rokok harus dihindari (Health Kompas, 2012).

2.2 Konsep Epidemiologi


Kata epidemiologi digunakan pertama kali pada awal abad kesembilan belas
(1802) oleh seorang dokter Spanyol bernama Villalba dalam tulisannya bertajuk
epidemiología española (Buck et al., 1998 dalam Murti, 2000). Gagasan dan
praktik epidemiologi untuk mencegah epidemi penyakit sudah dikemukakan oleh
Hippocrates sekitar 2000 tahun yang lampau di Yunani. Hippocrates
mengemukakan bahwa faktor lingkungan mempengaruhi terjadinya penyakit
(Susser dan Susser, 1996 dalam Murti 2000).

2.2.1 Definisi Epidemiologi


Epidemiologi berasal dari dari kata Yunani yaitu epi= atas, demos= rakyat,
populasi manusia, dan logos = ilmu (sains), bicara. Epidemiologi secara
etimologis adalah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan
peristiwa yang banyak terjadi pada rakyat, yakni penyakit dan kematian yang
diakibatkannya yang disebut epidemi (Timmreck, 2004). Epidemiologi bisa
disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari tentang frekwensi yang terdiri dari
besar dan jumlah serta penyebaran atau distribusi masalah kesehatan pada
sekelompok manusia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Sehat –Sakit


Rekawati (2011) memaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi sehat sakit,
yaitu:

Universitas Indonesia
22

2.2.2.1 Gordon and Le Rich


Pejamu (host)/inang yaitu segala faktor yang terdapat dalam diri manusia yg
mempengaruhi timbulnya penyakit, misalnya imunitas, aktivitas, gaya hidup.
Bibit penyakit (agent) yaitu substansi atau elemen yang apabila ia ada atau tidak
ada dapat menimbulkan atau menggerakkan timbulnya penyakit, misalnya bakteri,
jamur, dan virus. Adapun yg tidak ada dapat menimbulkan penyakit seperti asam
folat, Fe pada ibu hamil. Lingkungan (environment) yaitu seluruh kondisi yang
mempengaruhi.

2.2.2.2 Blum
Sehat dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan, yankes, keturunan dan yang paling
berpengaruh adalah perilaku karena perilaku dapat merubah lingkungan.

2.2.2.3 Model Roda (The Wheel)


Model ini terdiri dari inti genetik, pejamu yaitu umur, jenis kelamin, ras, status
perkawinan, kebiasaan hidup, pekerjaan, keturunan dan lingkungan sosial,
biologis, dan fisik.

2.2.3 Konsep At Risk dan Vulnerability


Konsep antara at risk dan vulnerability terkadang sulit untuk dipahami secara
keseluruhan oleh perawat karena banyaknya faktor yang mempengaruhi
keduanya. Selain itu, tidak semua orang memiliki risiko kesehatan yang sama
meskipun mereka berada dalam satu lingkungan yang sama. Pada intinya,
memahami hubungan antara at risk dan vulnerability akan mempengaruhi
keyakinan individu, nilai-nilai kultural, dan sikap sosial (Fitzpatrick, Villaruel, &
Porter, 2004 ).

2.2.3.1 Konsep At Risk


At risk didefinisikan sebagai suatu kondisi kesehatan seseorang yang merupakan
hasil dari interaksi dengan berbagai macam faktor, seperti faktor genetik, gaya
hidup, serta kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial dimana individu

Universitas Indonesia
23

tersebut tinggal atau bekerja. Akumulasi dari berbagai macam faktor tersebut
dapat menimbulkan efek tertentu, seperti masalah kesehatan (Sebastian, 2004).

Risk factor merupakan faktor paparan yang spesifik yang secara terus menerus
bersinggungan terhadap individu dari luar, seperti asap rokok, stress yang
berlebihan, dan zat kimia yang ada di lingkungan. Risk factor juga berkaitan
dengan karakteristik seseorang seperti umur, jenis kelamin, dan genetik.
Hitchcock, Schubert, dan Thomas (2000) menyebutkan bahwa perubahan fokus
perawatan kesehatan komunitas pada populasi dan at risk terjadi karena adanya
transisi perubahan gaya hidup dan penyakit yang dapat diidentifikasi melalui
pendekatan epidemiologi.

Population at risk merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki beberapa


kemungkinan yang telah jelas teridentifikasi atau telah ditentukan meskipun
sedikit atau kecil terhadap munculnya suatu peristiwa (Hitchcock, Schubert &
Thomas, 2000). Identifikasi yang menyeluruh pada populasi risiko membutuhkan
suatu instrument yang baik dalam mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang
berkontribusi terhadap munculnya penyakit atau masalah (Kharicha, 2007).

2.2.3.2 Konsep Vulnerability


Vulnerable population group merupakan sekelompok orang dari satu populasi
yang memiliki masalah kesehatan yang lebih kompleks dibandingkan dengan
kesehatan populasi secara keseluruhan. Individu yang masuk dalam kelompok
vulnerable memiliki risiko yang jauh lebih kompleks sebagai hasil dari akumulasi
atau kombinasi dari beberapa faktor risiko yang membuat individu tersebut jauh
lebih sensitif dibandingkan individu lainnya. Intinya, vulnerable menentukan
seseorang memiliki tingkat sensitivitas terhadap faktor risiko yang lebih tinggi
dibandingkan yang lainnya (Hitchcock, Schubert & Thomas, 2000).

2.3 Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim
paru dan dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges,

Universitas Indonesia
24

ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Penelitian Yoga (2007)
yang juga menyatakan bahwa TB tidak hanya menyerang paru, tetapi juga dapat
menyerang organ tubuh yang lain seperti kulit (TB kulit), tulang (TB tulang), otak
dan saraf (TB otak dan saraf), mata (TB mata), dan lain-lain. Namun, TB terutama
menyerang organ paru-paru sebanyak 80% (PPTI, 2012).

2.3.1 Pengertian Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis (TB) paru merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan
oleh bakteri dan biasanya menyerang bagian paru-paru manusia (Amin dan Bahar,
2006). Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Tuberkulosis (mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara
(droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang
mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas (Widoyono,
2008). Tuberkulosis paru juga dapat dirumuskan sebagai suatu penyakit yang
menyerang paru dan ditularkan melalui kuman pada saat batuk dan percikan ludah
yang tersebar diudara dan dihirup oleh orang lain.

2.3.2 Penyebab Tuberkulosis Paru


Mycobacterium tuberculosis yang disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam
(BTA) merupakan kuman atau bakteri yang menyebabkan penyakit TB. Kuman
batang aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun
saprofit (Price dan Wilson, 2005). Tuberkulosis paru disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosa yang ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada
tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882
dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari tuberkulosis.
Kuman mycobacterium tuberculosis berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-
4/um dan tebal 0,3-0,6/um (Amin dan Bahar, 2006).

Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau pada
pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap
bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara.

Universitas Indonesia
25

Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih
dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam
(Widoyono, 2008).

2.3.3 Gejala-Gejala Tuberkulosis Paru


Keluhan atau gejala yang ditunjukkan oleh penderita tuberkulosis paru sangatlah
bervariasi. Pembahasan ini akan disebutkan gejala-gejala yang paling banyak
dirasakan oleh penderita TB menurut Depkes (2008), yaitu batuk berdahak selama
dua sampai tiga minggu atau lebih, dahak bercampur darah, batuk berdarah, batuk
ini terjadi karena adanya iritasi bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang
produk-produk radang keluar. Gejala lainnya juga berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan, panas badan penderita TB
kadang-kadang dapat mencapai 40-41 ºC. Biasanya demam ini berupa demam
influenza yang hilang timbul, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dri
serangan demam influenza. Keluhan ini sangat dipengaruhi berat atau ringannya
infeksi kuman yang masuk (Amin dan Bahar, 2006).

Gejala yang biasanya muncul juga adalah sesak napas. Sesak napas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi
setengah bagian paru-paru. Malaise juga merupakan salah satu gejala yang biasa
dialami oleh penderita TB. Gejala badan lemas, nafsu makan menurun, malaise
sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus,
sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala ini hilang
timbul secara tidak teratur juga (Amin dan Bahar, 2006).

Gejala tuberkulosis menurut strategi yang baru DOTS (directly observed


treatment shortcourse) yaitu gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau
terus-menerus selama tiga minggu atau lebih, seperti juga pendapat Price dan
Wilson (2005) yang menyatakan gejala utama dari tuberkulosis adalah batuk yang
biasanya berlangsung lama dan produktif yang berdurasi lebih dari 3 minggu.
Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai

Universitas Indonesia
26

tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus


diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis.(Widoyono, 2008).

2.3.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru


Klasifikasi penyakit tuberkulosis paru menurut Depkes (2008), yaitu:

2.3.4.1 Klasifikasi TB paru berdasarkan Pemeriksaan Dahak


Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak dibagi
menjadi dua yaitu (Depkes, 2003):

Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru


Klasifikasi Keterangan
Tuberkulosis paru BTA positif. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak SPS (Sewaktu, Pagi, Sewaktu)
hasilnya BTA positif.
Satu spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.

Satu spesimen dahak SPS hasilnya


BTA positif dan biakan kuman. Satu
atau lebih spesimen dahak hasinya
positif setelah tiga spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya


BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.

Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi


pada tuberkulosis paru BTA positif.

Kriteria diagnostik tuberkulosis paru


BTA negatif harus meliputi paling tidak
tiga spesimen dahak SPS hasilnya
negatif.

Foto toraks abnormal menunjukkan


gambaran tuberkulosis.

Tidak ada perbaikan setelah pemberian


antibiotika non OAT. Ditentukan
(dipertimbangkan) oleh dokter untuk
diberi pengobatan.

Universitas Indonesia
27

2.3.4.2 Klasifikasi TB Paru Berdasarkan Riwayat Pengobatan


Klasifikasi pasien tuberkulosis paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu pertama pasien baru dalah pasien yang belum
pernah diobati dengan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Kedua pasien kambuh (relaps) adalah
pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur). Ketiga pengobatan setelah putus berobat
(default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif. Keempat pasien gagal (failure) adalah pasien yang hasil
pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan. Kelima pasien pindahan (transfer in) adalah
pasien yang dipindahkan dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang memiliki
register tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya. Keenam yaitu lain-
lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan (Kemenkes, 2011).

2.3.5 Kategori Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis paru dikategorikan menjadi empat kategori yaitu (Muttaqin, 2010):

2.3.5.1 Kategori I
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan
yang berat seperti meningitis, TB millier, perikarditis, dll, dan penderita dengan
sputum negatif tetapi kelainan paru-parunya luas. Dimulai dengan fase intensif,
OAT diberikan setiap hari selama dua bulan. Selama dua bulan sputum menjadi
negatif, maka OAT akan dilanjutkan ke fase lanjutan, bila setelah dua bulan
sputum masih tetap positif, maka fase intensif akan diperpanjang 2-4 minggu lagi
dan yang dikenal dengan fase sisipan, kemudian dilanjutkan dengan fase lanjutan
tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau belum. Fase lanjutan diberikan
lebih lama yakni 4-6 bulan.

Universitas Indonesia
28

2.3.5.2 Kategori II
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif. Bila
setelah fase intensif sputum menjadi negatif, maka dilanjutkan ke fase lanjutan.
Bila setelah tiga bulan sputum tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 1
bulan lagi. Bila setelah empat bulan sputum masih tetap positif, maka pengobatan
dihentikan 2-3 hari,kemudian dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi lalu
pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan.

2.3.5.3 Kategori III


Kategori III adalah kasus dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak
luas dan kasus TB di luar paru selain yang disebut di kategori I.

2.3.5.4 Kategori IV
Kategori IV adalah TB kronik. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan
keberhasilan pengobatan kecil sekali.

2.3.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis Paru


Hiswani (2009) mengatakan bahwa keterpaparan penyakit tuberkulosis paru
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

2.3.6.1 Umur
Hasil penelitian yang dilaksanakan di New York tahun 2000 pada panti
penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan
mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan
umur. Hasil penelitian Herryanto dkk (2004), mengemukakan tentang
karakteristik kasus kematian penderita TB paru yang hampir tersebar pada semua
kelompok umur, dan paling banyak pada kelompok usia 20-49 tahun (58,3 %)
yang merupakan usia produktif dan usia angkatan kerja. Berbeda dengan pendapat
Hiswani (2009) penyakit tuberkulosis yang paling sering ditemukan pada usia
muda atau usia produktif 15-50 tahun, dengan ini terjadinya transisi demografi
saat ini menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. pada usia

Universitas Indonesia
29

lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat
rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit tuberkulosis paru.

2.3.6.2 Jenis Kelamin


Penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
menurut WHO (2005, dalam Hiswani 2009) sedikitnya dalam periode setahun ada
sekitar satu juta perempuan yang meninggal akibat TB paru, dapat disimpulkan
bahwa pada kaum perempuan lebuh banyak terjadi kematian yang disebabkan
oleh TB paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. pada
jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok dan minum
alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh sehingga lebih
mudah terpapar dengan agent penyebab TB paru. Penelitian Herryanto (2004),
terdapat proporsi menurut jenis kelamin, laki laki sebesar 54,5 % dan perempuan
sebesar 45,5 % yang menderita TB paru. Hasil penelitian dari WHO (2006)
melaporkan prevalensi tuberkulosis paru 2,3% lebih banyak pada laki-laki
dibanding wanita terutama pada negara yang sedang berkembang karena laki-laki
dewasa lebih sering melakukan aktivitas sosial.

2.3.6.3 Status Gizi


Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan Iain-
lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap
penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang
berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.

2.3.6.4 Tingkat Pendidikan


Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang
diantaranya mengenai pengetahuan penyakit TB. Pengetahuan ini maka seseorang
akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Tingkat
pendidikan sangat berpengaruh terhadap kemampuan penderita untuk menerima
informasi tentang penyakit, terutama TB paru. Kurangnya informasi tentang
penyakit TB paru menyebabkan kurangnya pengertian kepatuhan penderita

Universitas Indonesia
30

terhadap pengobatan atau berhenti bila gejala penyakit tidak dirasakan lagi
(Anugerah, 2007).

2.3.6.5 Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu.
Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu, paparan partikel debu di daerah
terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan seperti
TB. Jenis pekerjaan ini juga mempengaruhi keadaan perekonomian seseorang dan
kemudian akam berdampak terhadap pola makan setiap hari, dan pemeliharaan
kesehatan. Keluarga dengan pendapatan rendah akan cenderung sulit memperoleh
makanan yang begizi dan memelihara kesehatan secara baik, sehingga sangat
rentan tertular penyakit TB (Amira, 2005).

2.3.6.6 Faktor Sosial Ekonomi


WHO (2007) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok
sosial ekonomi lemah atau miskin, disini sangat erat dengan keadaan rumah,
kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja
yang buruk dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga sangat erat
juga dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak
dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan. Rajagukguk (2008) juga
menyatakan bahwa makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga
nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya
tahan tubuh mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular tuberkulosis.

2.3.6.7 Kebiasaan Merokok


Merokok dan TB masih menjadi masalah kesehatan yang penting dinegara maju
dan negara berkembang. Asap rokok memiliki efek baik pro- inflamasi dan
imunosupresif pada sistem imun saluran pernapasan. Merokok meningkatkan
risiko infeksi mycobacterium tuberculosis, risiko perkembangan penyakit dan
kematian pada penderita TB. Berhenti merokok berperan dalam global
tuberculosis control dan mengurangi kematian pada penderita TB (Wijaya, 2012).

Universitas Indonesia
31

Mekanisme pasti yang menghubungkan merokok dengan TB tidak sepenuhnya


dipahami, namun ada banyak bukti menurunnya pertahanan saluran napas
berpengaruh pada kerentanan terhadap infeksi TB pada perokok. Trakea, bronkus
dan bronkiolus yang membentuk saluran udara yang memasok udara ke paru
memberikan garis pertahanan pertama dengan mencegah kuman TB untuk
mencapai alveoli. Merokok terbukti dapat mengganggu bersihan mukosilier.
Makrofag alveolar paru yang merupakan pertahanan utama terjadi penurunan
fungsi fagositosis dan membunuh kuman pada individu yang merokok, seperti
dilaporkan pada diabetes, merokok telah ditemukan berhubungan dengan
penurunan tingkat sitokin proinflamasi yang dikeluarkan. Sitokin-sitokin ini
sangat penting untuk respons awal pertahanan lokal untuk infeksi kuman termasuk
TB (Wen et all, 2010). Studi menunjukkan bahwa jumlah dan durasi merokok
aktif berpengaruh terhadap risiko infeksi TB sedangkan pada perokok pasif
berhubungan dengan peningkatan kejadian TB pada anak dan usia muda (Leung
et all, 2010). Ho Lin di Taiwan (2009) tentang perokok, mendapatkan hampir
18.000 orang yang mewakili populasi umum selama lebih dari tiga tahun terakhir.
Ditemukan peningkatan dua kali lipat resiko TB aktif pada perokok dibandingkan
dengan mereka yang tidak pernah merokok.

2.3.6.8 Kepadatan Hunian dan Kondisi Rumah


Hunian rumah yang padat menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen bila salah
satu anggota hunian terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada
anggota keluarga yang lain. Slamet (2000) menyebutkan bahwa untuk rumah
sederhana luasnya minimun 10 m²/orang. Kepadatan penghuni merupakan suatu
proses penularan penyakit. Perpindahan penyakit yang semakin padat khususnya
penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat
anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA positif. Kepadatan hunian
ditempat tinggal penderita TB paru paling banyak adalah tingkat kepadatan
rendah. Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan
ventilasi rumah. Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya
seperti penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya
terhadap risiko penularan. Daerah perkotaan (urban) yang lebih padat

Universitas Indonesia
32

penduduknya dibandingkan di pedesaan (rural), peluang terjadinya kontak dengan


penderita TB lebih besar, sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil
kemungkinannya.

Ventilasi cukup menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga.
Ventilasi yang baik juga menjaga dalam kelembaban (humidity) yang optimum.
Kelembaban yang optimal (sehat) adalah sekitar 40–70%. Kelembaban yang lebih
Dari 70% akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit
dan penyerapan. Kelembaban merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri
patogen (penyebab penyakit). Menurut Slamet (2000) untuk sirkulasi yang baik
diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai.

Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya matahari ini
dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca. Suhu udara yang ideal
dalam rumah antara 18-30°C. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat
bervariasi, mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan
sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh mycobacterium tuberculosis.
Bakteri tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih
banyak di rumah yang gelap. Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan
10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux (Slamet, 2000). Hal ini sependapat dengan
penelitian Yoga (2007), TB juga mudah menular pada mereka yang tinggal di
perumahan padat, kurang sinar matahari dan sirkulasi udaranya buruk/pengap,
namun jika ada cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman TB hanya bisa bertahan
selama 1-2 jam.

2.3.6.9 Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan
penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan
akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.

Universitas Indonesia
33

Mendapatkan pengobatan juga mempengaruhi tingkat kesembuhan penderita TB.


Penderita seringkali datang berobat sudah dalam keadaan terlambat dan banyak
komplikasi, hal ini membuat penderita tidak sabar dalam melakukan pengobatan
dan ingin cepat sembuh, tetapi mereka ini mengalami kecewa dan putus asa
karena apa yang diharapkan penderita tidak sesuai dengan kenyataan perjalanan
pengobatan (Herryanto, 2004). Kebanyakan keluarga penderita merasa jenuh dan
bosan dalam mencari/menjalankan pengobatan TB jika salah seorang anggota
keluarganya sakit TB. Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang (2009), penderita
TB paru sering berpindah-pindah tempat pelayanan kesehatan untuk mencari
kesembuhan, hal ini terjadi oleh karena penderita TB kurang yakin pada
pelayanan kesehatan. Karena proses pengobatan yang tidak teratur, membuat
mereka tidak sembuh. Hal ini diperparah dengan kebiasaan tidak menghabiskan
obat, karena merasa badannya sudah sehat (Manalu, 2009). Alasan penderita TB
paru pindah berobat hampir sama dengan alasan diantara mereka yang tidak
menyelesaikan pengobatannya yaitu karena tidak kunjung sembuh, dan bahkan
bertambah parah. Herryanto (2004), dalam hasil penelitiannya menggambarkan
20,8 % pengobatan TB yang dilakukan penderita putus berobat oleh yang tidak
meninggal pindah berobat dengan alasan karena tidak ada perubahan dan
penderita tidak sembuh.

2.3.7 Cara Penularan Tuberkulosis


Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman mycobacteriun
tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien
Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh
orang lain saat bernapas. Penularan TB sebagian besar melalui inhalasi basil yang
terkandung dalam droplet khususnya yang didapat dari pasien TB Paru dengan
batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (Amin dan
Bahar, 2006). Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis paru BTA positif, bila
penderita batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil
tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat dan bisa menyebar
ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung ke

Universitas Indonesia
34

organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak
(Depkes, 2008). Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008).

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan risiko penularan lebih besar
dari pasien tuberkulosis paru dengan BTA negatif (Depkes, 2008). Satu BTA
positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan
setiap kontak untuk tertular tubekulosis adalah 17%. Hasil studi lainnya
melaporkan bahwa kontak terdekat, misalnya keluarga serumah akan dua kali
lebih berisiko dibandingkan kontak biasa atau tidak serumah (Widoyono, 2008).

2.3.8 Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru


Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas
kesehatan (Kemenkes, 2011), yaitu pengawasan penderita, kontak dan lingkungan
yaitu oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan
membuang dahak tidak disembarangan tempat, memisahkan alat makan dan
minum penderita, berobat sampai tuntas dan senam pernapasan. Masyarakat dapat
dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus diberikan vaksinasi
BCG, berikan bayi ASI eksklusif sampai 6 bulan, makan dengan gizi seimbang,
istirahat yang cukup dan olahraga, tidak merokok dan menjemur kasur atau tikar
serta membersihkan rumah secara teratur. Petugas kesehatan dengan memberikan
penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan
akibat yang ditimbulkan.

2.3.9 Upaya Penanggulangan Tuberkulosis Paru


Upaya penanganan dan pemberantasan TB paru telah dilakukan pada awal tahun
1990, WHO telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal
sebagai strategi DOTS. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan
pasien, dengan prioritas pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan
penularan TB dan diharapkan menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB (Depkes, 2007).

Universitas Indonesia
35

Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap
dan teratur. Obat disediakan oleh pemerintah secara gratis di sarana pelayanan
kesehatan yang telah menerapkan strategi Dots (Directly Observed Tretment Short
course) seperti di Puskesmas, Balai pengobatan Penyakit Paru dan beberapa
rumah sakit (Yoga, 2007). Pemberian panduan OAT didasarkan pada klasifikasi
TB paru. Prinsip pengobatan TB paru adalah obat TB yang diberikan dalam
bentuk kombinasi dari beberapa jenis (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid,
Streptomisin, Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan,
supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap
intensif dan tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat
perut kosong. Tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. sebagian besar penderita
TB paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan
intensif. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2003).

Perbaikan sosial ekonomi, peningkatan taraf hidup dan lingkungan serta kemajuan
teknologi banyak membawa perubahan, di negara-negara maju jauh sebelum
ditemukan obat anti TB (tuberkulostatika dan tuberkulosid) berkat perbaikan
sosial ekonomi, jumlah penderita menurun 10-15 % per tahun, dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa penyakit TB sebenarnya dapat hilang dengan sendirinya
jika ada perbaikan sosial ekonomi tanpa obat (Ahmad, 2008).

Hasil penelitian Pradono (2007) bahwa keluarga yang mempunyai pendapatan


yang lebih tinggi akan lebih mampu untuk menjaga kebersihan lingkungan rumah
tangganya, menyediakan air minum yang baik, membeli makanan yang jumlah
dan kualitasnya memadai bagi keluarga mereka, serta mampu membiayai
pemeliharaan kesehatan yang mereka perlukan. Program pemberantasan TB yang

Universitas Indonesia
36

telah dilaksanakan melalui paket program, namun di puskesmas belum secara


efektif dapat menjangkau seluruh masyarakat atau penderita.

Helper, dkk (2009) juga mengemukakan bahwa sampai saat ini masih ada anggota
masyarakat yang belum mengetahui ada program pelayanan kesehatan TB paru
gratis di Puskesmas. Hasil survei prevalensi tuberculosis (2004) menunjukkan
bahwa lebih dari 80 % responden ternyata tidak mengetahui adanya program obat
anti TB gratis dan hanya 19 % yang mengetahui adanya pemberian obat anti TB
gratis (Depkes. 2004). Rendahnya pengetahuan ini akan menghambat penderita
TBC mencari pengobatan gratis atau menjadi penyebab putus berobat.

Permatasari (2005) mengemukakan disamping faktor medis. Faktor sosial


ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku yang sangat mempengaruhi keberhasilan
pengobatan sebagaimana diuraikan di bawah ini:

2.3.9.1 Faktor sarana yaitu tersedianya obat yang cukup dan kontinu, dedikasi
petugas kesehatan yang baik dan pemberian regiment OAT yang adekuat.

2.3.9.2 Faktor penderita yaitu pengetahuan penderita yang cukup mengenai


penyakit TB paru, makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit
Tuberkulosis untuk dirinya, keluarga dan masyarakat sekitarnya makin besar pula
bahaya si penderita sebagai sumber penularan penyakit, baik dirumah maupun
tempat pekerjaannya untuk keluarga dan orang disekitarnya (Rajagukguk, 2008).
Cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, cara menjaga kondisi
tubuh yang baik dengan makanan bergizi. cukup istirahat, hidup teratur dan tidak
minum alcohol atau merokok. Cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan
dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan
saputangan, jendela rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar
matahari. Sikap tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah
penyakit infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar.
Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh.

Universitas Indonesia
37

2.3.9.3 Faktor keluarga dan masyarakat lingkungan yaitu dukungan keluarga


sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan cara selalu
mengingatkan penderita agar makan obat, pengertian yang dalam terhadap
penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap rajin berobat. Hasil
Riskesdas 2007, diketahui bahwa prevalensi TB paru cenderung meningkat sesuai
dengan bertambahnya umur dan prevalensi tertinggi pada usiam lebih dari 65
tahun . Prevalensi TB paru pada laki-laki 20 % lebih tinggi dibandingkan
perempuan, selain itu prevalensi tiga kali lebih tinggi di pedesaan dibandingkan
perkotaan serta empat kali lebih tinggi pada pendidikan rendah dibandingkan
pendikan tinggi.

2.3.10 Penatalaksaanaan Tuberkulosis Paru


Penatalaksanaan TB paru terdiri dari farmakoterapi dan non farmakoterapi
(Smeltzer, 2000), yaitu:

2.3.10.1 Farmakoterapi
Pengobatan TB di Indonesia sesuai program nasional menggunakan panduan
OAT yang diberikan dalam bentuk kombivak, sbb:

Tabel 2.2 Obat Anti Tuberkulosis

Obat Primer Obat Sekunder Obat Konsevatif


Isoniazid, dosis : 5 Cadreamicin, dosis 15-30 Mukolitik : menurunkan
mg/kg/hari (maksimum mg/kg/hari kekentalan atau
300 mg/hari). Setiap hari (maksimum 1 gra/ hari) perlengketan
selama 8 minggu diikuti harus diberikan IM.
16 minggu dan setiap hari
2 – 3 x/ minggu

Ripamficin, dosis : 10 Kancemicin, dosis : 15- Bronchodilator : secret


mg/kg/hari (maksimum 30 mg/kg/hari paru, menaikan ukuran
600 mg/hari) diberikan (maksimum 1 gram/hari) percabangan trachea
sebelum makan. Setiap diberikan IM. bronchist.
hari selama 2 minggu
diikuti 16 minggu dan
setiap hari 2 – 3
x/minggu

Universitas Indonesia
38

Obat Primer Obat Sekunder Obat Konsevatif


Pirazinamid, dosis: : 15- Asam paraaminosalisilat, Kortikosteroid :
30 mg/kg/hari dosis : 150 mg/kg/ menurunkan inflamasi
(maksimum 2 gram/hari). hari (maksimum 15
Setiap hari selama 8 gram/hari)
minggu diikuti 16
minggu dan setiap hari 2
–3
x/minggu

Ethambutol, dosis : 15-25 Sikloresin, dosis : 15-20 Antibiotic : untuk


mg/kg/hari mg/kg/hari mikroba
(maksimum 1 gram) (maksimum 1 gram/hari)
harus diberikan IM.
Setiap
hari selama 2 minggu
diikuti 2 x/minggu 2
pemberian obat supaya
yang diawasi langsung
selama 6 minggu.

2.3.10.2 Non Farmakoterapi


Penatalaksanaan TB paru non farmakoterapi , yaitu diit tinggi kalori tinggi protein
(TKTP), hindari merokok dan minuman alkohol, istirahat yang cukup (tirah
baring), mengajarkan batuk efektif, olahraga dan pengawasan menelan obat

2.3.11 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk mengetahui seseorang terkena TB
paru, berikut menurut Arjatmo, dkk (2003) pemeriksaan penunjang yang harus
dilakukan, yaitu:

2.3.11.1 Kultur sputum yaitu positif untuk mycobacterium tuberculosis pada tahap
aktif penyakit.

2.3.11.2 Ziehl-neelseh (pemeriksaan asam cepat pada gelas kaca untuk ucapan
cairan darah) , yaitu positif untuk basil asam-cepat.

2.3.11.3 Tes kulit (PPD,mantoux,potogan vollmer), yaitu reaksi positif (area


indurasi 10mm/ lebih besar,terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradelmal antigen)

Universitas Indonesia
39

menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya anti bodi tetapi tidak secara berarti
menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik
sakit berarti bahwa tuberculosis aktif tidak dapat di turunkan/infeksi di sebabkan
oleh mycrobacterium yang berada.

2.3.11.4 ELISA/ wastern blot, yaitu dapat menyatakan adanya HIV.

2.3.11.5 Foto thorak : dapat menunjukan infiltrasi lesi awal pada area paru atas,
simpanan kalsium lesi sembuh primer, atau efusi cairan. Perubahan menunjukkan
lebih luas tuberkulosis dapat termasuk rongga,area fibrosa.

2.3.11.6 Histology/kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster, urine dan cairan


serebrospinal biospi kulit), yaitu positif untuk mycrobacterium tuberculosis.

2.3.11.7 Biopsi jarum pada jaringan paru, positif utr granuloma tuberculosis ;
adanya sel raksasa menunjukkan nekrosis.

2.3.11.8 Elektrolit, dapat tidak normal tergantung padalokasi dan beratnya infeksi
; contoh hiponat reqmia disebabkan oleh tidak normalnya resisten air dapat
ditemukan pada tuberkulosis paru kronis luas.

2.3.11.9 GAD : dapat normal tergantung lokasi,berat dan kerusakan sisa pada
paru.

2.3.11.10 Pemeriksaan fungsi paru : penurunan kapasitas vital,peningkatan ruang


mati,peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total,dan penurunan
saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis kehilangan
jaringan paru,dan penyakit pleural (tuberkulosis paru kronis luas).

2.3.12 Akibat Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis paru memiliki banyak akibat jika tidak diobati, jika tidak minum
obat secara teratur, dan akibat lanjut atau komplikasi yang sering terjadi terjadi
pada penderita TB paru stadium lanjut (Depkes, 2003):

Universitas Indonesia
40

2.3.12.1 Akibat dari TB paru jika tidak diobati yaitu dapat menular pada orang
lain, tidak dapat sembuh dan dapat menyebabkan kematian.

2.3.12.2 Akibat bila minum obat TB tidak teratur yaitu kuman makin ganas
karena kebal terhadap obat, pasien dapat menularkan TB ke banyak orang
terutama keluarga yang tinggal serumah, pengobatan menjadi mahal dan lama,
serta mengulang pengobatan dari awal.

2.3.13 Komplikasi Tuberkulosis Paru


Komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB paru stadium lanjut, yaitu
hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. Kolaps dari
lobus akibat retraksi bronkial, brokoiectasis dan fibrosis bronkial pada paru,
pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendrian, ginjal dan
sebagainya, insufisiensi kardio pulmoner dan resistensi kuman dimana
pengobatan dalam jangka panjang seringkali membuat pasien tidak disiplin,
bahkan ada yang putus obat karena merasa bosan. Pengobatan yang tidak tuntas
atau tidak disiplin membuat kuman menjadi resisten atau kebal, sehingga harus
diganti dengan obat lain yang lebih kuat dengan efek samping yang tentunya lebih
berat (Depkes, 2003).

2.4 Penemuan Kasus Tuberkulosis


Penemuan kasus bertujuan untuk mendapakan kasus TB melalui serangkaian
kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan
laboratories, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe
pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak
menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari
penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala
TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang
kompeten yang mampu melakukan pemeriksan terhadap gejala dan keluhan

Universitas Indonesia
41

tersebut. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan


tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara
bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan
TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB
yang paling efektif di masyarakat (Kemenkes, 2011).

Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, didukung
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,
untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua
layanan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi
keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif pada masyarakat umum, dinilai
tidak cost efektif (Kemenkes, 2011).

Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap (Kemenkes, 2011), yaitu:


2.4.1.1 Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada
pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS).

2.4.1.2 Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga


pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, serta
keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA positif.

2.4.1.3 Pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus
dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau
pegobatan pencegahan.

2.4.1.4 Kontak dengan pasien TB resistan obat, penerapan manajemen tatalaksana


terpadu bagi kasus dengan gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti
pendekatan praktis.

Universitas Indonesia
42

2.5 Konsep Lansia


Laslett (1996, dalam Suardiman 2011) mengutarakan bahwa menjadi tua (aging)
yaitu proses perubahan biologis secara terus menerus yang dialami manusia pada
semua tingkatan umur dan waktu, sedangkan usia lanjut (old age) merupakan
istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut.

2.5.1 Definisi Lansia


Lansia (masa dewasa tua) dimulai setelah pensiun, yaitu biasanya antara usia 65
tahun dan 75 tahun (Potter, 2005). Usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus
hidup manusia, yaitu bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan
dan akan di alami oleh setiap individu. Lansia mengalami banyak perubahan baik
secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya (Soejono, 2000). Seseorang menua dengan
cara yang berbeda-beda, berdasarkan waktu dan riwayat hidupnya. Lansia adalah
unik, oleh karena itu perawat harus memberikan pendekatan yang berbeda antara
satu lansia dengan lansia lainnya (Potter & Perry, 2009).

2.5.2 Klasifikasi Lansia


Beberapa pendapat para ahli tentang klasifikasi lansia adalah sebagai berikut:
2.5.2.1 Menurut Depkes (2003) ada lima klasifikasi pada lansia yaitu: pralansia
(prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. Lansia yaitu
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Lansia risiko tinggi yaitu seseorang
yang berusia 70 tahun atau lebih, atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu
melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa.
Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Maryam, 2008).

2.5.2.2 Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi
empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut
usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat
tua (very old) ialah di atas 90 tahun (Nugroho, 2000).

Universitas Indonesia
43

2.5.3 Tugas Perkembangan Lansia


Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang terjadi seiring
penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada tiap individu, namun
seiring penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh akan
terjadi. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan penyakit dan merupakan
perubahan normal. Penyakit terkadang mengubah waktu timbulnya perubahan
atau dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Tugas perkembangan pada lansia
dalam adalah beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik,
beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi
terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua,
mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan
dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas hidup
(Potter & Perry, 2009).

2.5.4 Perubahan Sistem Pernapasan Lansia


Perubahan fisik yang terjadi pada lansia yang meliputi perubahan dari tingkat sel
sampai kesemua sistem organ tubuh. Salah satu diantaranya yaitu sistem
pernapasan. Perubahan sistem pernapasan pada lansia yaitu otot pernapasan kaku
dan kehilangan kekuatan, penurunan aktivitas silia jumlah udara pernapasan yang
masuk keparu mengalami penurunan, alveoli semakin melebar dan jumlahnya
berkurang kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret berkurang
dan mengalami sumbatan atau obstruksi (Stanley, 2006).

2.5.5 Tuberkulosis pada Lansia


Tuberkulosis adalah suatu pertumbuhan epidemik diantara lansia yang merupakan
segmen pertumbuhan tercepat pada populasi Amerika Serikat (Couser &
Glassroth, 1993 dalam Stanley 2006). Lansia berisiko tinggi karena biasanya
mengambil tempat pada bagian apeks paru. Mikroorganisme akan bertambah
banyak dan menyebabkan pneumonitis yang memicu respon imun. Neutrofil dan
makrofag yang menutupi dan meliputi basil-basil, mencegah penyebaran lebih
lanjut. Penutupan tersebut menyebabkan pembentukan tuberkel granuloma. TB

Universitas Indonesia
44

akan tetap dorman atau mengalami reaktivasi atau mungkin tidak pernah dapat
diatasi karena gangguan respons imun (Stanley, 2006).

Tampilan klinis TB pada lansia tidak khas dan oleh karena itu mungkin tidak
diketahui atau salah diagnosis. Batuk kronis, keletihan dan kehilangan berat badan
dihubungkan dengan penuaan dan penyakit yang menyertai. Pola radiografi
diinterpretasikan sebagai kanker bronkogenik atau pneumonia, selain memiliki
tampilan infiltrat apikal yang khas, lansia memiliki keterlibatan lobus medial dan
lobus bawah dengan sedikit lubang (Stanley, 2006).

Gejala klasik infeksi pada orang berusia lanjut, yaitu demam, tak selalu timbul,
akan tetapi yang terlihat biasanya kurang nafsu makan, merasa lemas, dan ada
juga yang kesadarannya menurun. Infeksi pada orang berusia lanjut gejalanya
berbeda dari orang muda. Hal ini disebabkan sistem kekebalan tubuh pada orang
berusia lanjut menurun sehingga pertahanan tubuh kurang berjalan seperti waktu
muda. Demam merupakan upaya tubuh mematikan kuman, karena sistem
kekebalan menurun, maka reaksi demam mungkin tak jelas, bahkan tak timbul.

Gejala TB paru pada orang berusia lanjut juga agak berbeda dari orang muda.
Gejala batuk yang merupakan gejala penting pada TB pada orang muda ternyata
pada usia lanjut kurang menonjol. Biasanya yang lebih sering dikeluhkan adalah
gejala sesak. Perlu juga diingat pada orang berusia lanjut fungsi organ tubuh
menurun sehingga dalam pemberian obat keadaan fungsi organ harus
dipertimbangkan (Kompas, 2008). Semakin meningkatnya jumlah penduduk
Indonesia dan peningkatan usia harapan hidup, jumlah populasi usia lanjut di
Indonesia akan meningkat pula. Keluarga di Indonesia perlu memahami cara
memelihara kesehatan bayi dan anak, maka sekarang pengetahuan keluarga
tentang pemeliharaan kesehatan orang berusia lanjut juga harus ditingkatkan.

2.6 Asuhan Keperawatan Keluarga


Aspek keperawatan yang paling penting adalah perhatian pada unit keluarga.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga

Universitas Indonesia
45

dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu
atap dalam keadaan saling ketergantungan (Effendi, 2004). Keluarga yang juga
adalah individu, kelompok, dan komunitas merupakan klien perawat atau
penerima pelayanan asuhan keperawatan. Keluarga membentuk unit dasar
masyarakat dan tentunya unit dasar ini sangat mempengaruhi perkembangan
individu yang memungkinkan menentukan keberhasilan atau kegagalan
kehidupan individu (Friedman, 2003).

Unit keluarga menempati posisi diantara individu dan masyarakat


(Bronfenbrenner, 1979 dalam Friedman, 2003). Tujuan dasar sebuah keluarga
terdiri dari dua, yaitu: mempertemukan kebutuhan dari masyarakat dimana
keluarga merupakan bagian dari masyarakat dan mempertemukan kebutuhan
individu-individu dalam keluarga. Fungsi ini merupakan asas bagi adaptasi
manusia yang tidak dapat dipenuhi secara terpisah sehingga harus berkaitan satu
sama lain di dalam sebuah keluarga. Hal ini menjadi dasar bagi perawat untuk
mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan keluarga dengan baik demi
terciptanya keluarga dan masyarakat yang sehat.

Asuhan keperawatan keluarga merupakan proses yang kompleks dengan


menggunakan pendekatan sistematik untuk bekerjasama dengan keluarga dan
individu sebagai anggota keluarga (Friedman, 2003). Tahapan proses keperawatan
keluarga meliputi pengkajian keluarga dan individu dalam keluarga, perumusan
diagnosa keperawatan, penyusunan rencana keperawatan, pelaksanaan asuhan
keperawatan dan evaluasi.

2.6.1 Pengkajian Keluarga


Pengkajian adalah suatu tahapan dimana seorang perawat mengambil data secara
terus menerus terhadap anggota keluarga yang dibinanya. Sumber informasi dari
tahapan pengkajian daoat menggunakan metode wawancara keluarga, observasi
fasilitas rumah, pemeriksaan fisik terhadap anggota keluarga (head to toe), data
sekunder, misalnya hasil laboratorium, dsb. Hal-hal yang perlu dikaji dalam
keluarga menurut Friedman (2003) adalah:

Universitas Indonesia
46

2.6.1.1 Data umum yang terdiri dari nama keluarga (KK), alamat dan telpon serta
komposisi Keluarga, genogram. Data umum selanjutnya yaitu tipe keluarga yang
Menjelaskan mengenai jenis tipe keluarga beserta masalah-masalah yang terjadi
dengan jenis tipe keluarga tersebut. Tipe atau bentuk keluarga menurut Sudiharto
(2007), antara adalah sebagai berikut keluarga inti (nuclear family) yaitu keluarga
yang dibentuk karena ikatan perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari
suam, istri, dan anak-anak, baik karena kelahiran (natural) maupun adopsi.
Keluarga besar (extended family) yaitu keluarga inti ditambah keluarga yang lain
(karena hubungan darah), misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu termasuk
keluarga modern, seperti orang tua tunggal, keluarga tanpa anak, serta keluarga
pasangan sejanis (guy/lesbian families). Keluarga campuran (blended family)
yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung dan anak-anak
tiri. Keluarga menurut hukum umum (common law family): Anak-anak yang
tinggal bersama. Keluarga orang tua tinggal yaitu keluarga yang terdiri dari pria
atau wanita, mungkin karena telah bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin
tidak pernah menikah, serta anak-anak mereka yang tinggal bersama. Keluarga
Hidup bersama (commune family) yaitu keluarga yang terdiri dari pria, wanita dan
anak-anak yang tinggal bersama berbagi hak dan tanggung jawab, serta memiliki
kepercayaan bersama. Keluarga serial (serial family) yaitu keluarga yang terdiri
dari pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin telah punya anak, tetapi
kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta memiliki anak-anak
dengan pasangannya masing-masing, tetapi semuanya mengganggap sebagai satu
keluarga. Keluarga gabungan (composite Family) yaitu keluarga yang terdiri dari
suam dengan beberapa istri dan anak-anaknya (poligami) atau istri dengan
beberapa suami dan anak-anaknya (poliandri). Hidup bersama dan tinggal
bersama (cohabitation family) yaitu keluarga yang terdiri dari pria dan wanita
yang hidup bersama tanpa ada ikatan perkawinan yang sah.

Suku bangsa yaitu mengkaji asal suku bangsa keluarga tersebut serta
mengidentifikasi budaya suku bangsa tersebut terkait dengan kesehatan. Agama
yaitu mengkaji agama yang dianut oleh keluarga serta kepercayaan yang dapat

Universitas Indonesia
47

mempengaruhi kesehatan. Status sosial ekonomi keluarga yang ditentukan oleh


pendapatan baik dari kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya. Selain itu
status sosial ekonomi keluarga ditentukan pula oleh kebutuhan-kebutuhan yang
dikeluarkan oleh keluarga serta barangn-barang yang dimiliki oleh keluarga. Data
umum yang terakhir adalah aktivitas rekreasi keluarga yaitu rekreasi keluarga
tidak hanya dilihat kapan saja keluarga pergi bersama-sama untuk mengunjungi
tempat rekreasi tertentu namun dengan menonton TV dan mendengarkan radio
juga merupakan aktivitas rekreasi.

2.6.1.2 Riwayat dan tahap perkembangan keluarga yaitu tahap perkembangan


keluarga saat ini yaitu tahap perkembangan keluarga ditentukan dengan anak
tertua dari keluarga inti. Tahap dan siklus tumbuh kembang keluarga menurut
Duval (1985, dalam Friedman 2003) ada delapan tahap tumbuh kembang
keluarga yaitu tahap I keluarga pemula, keluarga pemula merujuk pada pasangan
menikah/tahap pernikahan. Tugas perkembangan keluarga saat ini adalah
membangun perkawinan yang saling memuaskan, menghubungkan jaringan
persaudaraan secara harmonis, merencanakan keluarga berencana.

Tahap II dengan keluarga sedang mengasuh anak (anak tertua bayi sampai umur
30 bulan), tugas perkembangan keluarga pada tahap II, yaitu membentuk keluarga
muda sebagai sebuah unit, mempertahankan hubungan perkawinan yang
memuaskan, memperluas persahabatan dengan keluarga besar dengan
menambahkan peran orang tua kakek dan nenek dan mensosialisasikan dengan
lingkungan keluarga besar masing-masing pasangan. Tahap III keluarga dengan
anak usia pra sekolah (anak tertua berumur 2-6 tahun), tugas perkembangan
keluarga pada tahap III, yaitu memenuhi kebutuhan anggota keluarga,
mensosialisasikan anak, mengintegrasikan anak yang baru sementara tetap
memenuhi kebutuhan anak yang lainnya, mempertahankan hubungan yang sehat
dalam keluarga dan luar keluarga, menanamkan nilai dan norma kehidupan, mulai
mengenalkan kultur keluarga dan menanamkan keyakinan beragama, memenuhi
kebutuhan bermain anak.

Universitas Indonesia
48

Tahap IV keluarga dengan anak usia sekolah (anak tertua usia 6-13 tahun), tugas
perkembangan keluarga tahap IV, yaitu mensosialisasikan anak termasuk
meningkatkan prestasi sekolah dan mengembangkan hubungan dengan teman
sebaya, mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan, memenuhi
kebutuhan kesehatan fisik anggota keluarga, membiasakan belajar teratur,
memperhatikan anak saat dan menyelesaikan tugas sekolah. Tahap V keluarga
dengan anak remaja (anak tertua umur 13-20 tahun), tugas perkembangan
keluarga pada tahap V, yaitu menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab
ketika remaja menjadi dewasa dan mandiri, memfokuskan kembali hubungan
perkawinan, berkomunikasi secara terbuka antara orang tua dan anak-anak,
memberikan perhatian, memberikan kebebasan dalam batasan tanggung jawab,
mempertahankan komunikasi terbuka dua arah.

Tahap VI keluarga yang melepas anak usia dewasa muda (mencakup anak
pertama sampai anak terakhir yang meninggalkan rumah), tahap ini adalah tahap
keluarga melepas anak dewasa muda dengan tugas perkembangan keluarga antara
lain memperluas siklus keluarga dengan memasukkan anggota keluarga, baru
yang didapat dari hasil pernikahan anak-anaknya, melanjutkan untuk
memperbaharui dan menyelesaikan kembali, hubungan perkawinan, membantu
orang tua lanjut usia dan sakit-sakitan dari suami dan istri. Tahap VII orang tua
usia pertengahan (tanpa jabatan atau pensiunan), tahap keluarga pertengahan
dimulai ketika anak terakhir, meninggalkan rumah dan berakhir atau kematian
salah satu pasangan, tahap ini juga dimulai ketika orang tua memasuki usia 45-55
tahun dan berakhir pada saat pasangan pensiun, tugasperkembangannya adalah
menyediakan lingkungan yang sehat, mempertahankan hubungan yang
memuaskan dan penuh arah dengan lansia dan anak-anak, memperoleh hubungna
perkawinan yang kokoh. Tahap VIII keluarga dalam tahap pensiunan dan lansia,
dimulai dengan salah satu atau kedua pasangan memasuki masa pensiun terutama
berlangsung hingga salah satu pasangan meninggal dan berakhir dengan pasangan
lain meninggal, tugasperkembangan keluarga adalah mempertahankan pengaturan
hidup yang memuaskan, menyesuaikan terhadap pendapatan yang menurun,

Universitas Indonesia
49

mempertahankan hubungan perkawinan, menyesuaikan diri terhadap kehilangan


pasangan dan mempertahankan ikatan keluarga antara generasi

Riwayat dan tahap perkembangan keluarga selanjutnya adalah tahap


perkembangan keluarga yang belum terpenuhi yaitu menjelaskan mengenai tugas
perkembangan yang belum terpenuhi oleh keluarga serta kendala mengapa tugas
perkembangan tersebut belum terpenuhi. Riwayat keluarga inti yaitu enjelaskan
mengenai riwayat kesehatan pada keluarga inti, yang meliputi riwayat penyakit
keturunan, riwayat kesehatan masing-masing anggota keluarga, perhatian terhadap
pencegahan penyakit (status imunisasi), sumber pelayanan kesehatan yang biasa
digunakan keluarga serta pengalaman-pengalaman terhadap pelayanan kesehatan.
Riwayat keluarga sebelumnya, dijelaskan mengenai riwayat kesehatan pada
keluarga dari pihak suami dan istri.

2.6.1.3 Lingkungan yaitu karakteristik rumah diidentifikasi dengan melihat luas


rumah, tipe rumah, jumlah ruangan, jumlah jendela, jarak septic tank dengan
sumber air, sumber air minum yang digunakan serta denah rumah. Karakteristik
tetangga dan komunitas RW yang menjelaskan mengenai karakteristik tetangga
dan komunitas setempat yang meliputi kebiasaan, lingkungan fisik,
aturan/kesepakatan penduduk setempat, budaya setempat yang mempengaruhi
kesehatan. Mobilitas geografis keluarga ditentukan dengan kebiasaan keluarga
berpindah tempat. Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat yang
menjelaskan mengenai waktu yang digunakan keluarga untuk berkumpul serta
perkumpulan keluarga yang ada dan sejauh mana interaksi keluarga dengan
masyarakat. Sistem pendukung keluarga yang termasuk dalam sistem pendukung
keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang sehat, fasilitas-fasilitas yang
dimiliki keluarga untuk menunjang kesehatan. Fasilitas mencakup fasilitas fisik,
fasilitas psikologis atau dukungan dari anggota keluarga dan fasilitas sosial atau
dukungan dari masyarakat setempat.

2.6.1.4 Struktur keluarga yaitu pola komunikasi keluarga dengan menjelaskan


mengenai cara berkomunikasi antar anggota keluarga. Struktur kekuatan keluarga,

Universitas Indonesia
50

kemampuan anggota keluarga mengendalikan dan mempengaruhi orang lain


untuk mengubah perilaku. Struktur peran yang menjelaskan peran dari masing-
masing anggota keluarga baik secara formal maupun informal. Nilai atau norma
keluarga, menjelaskan mengenai nilai dan norma yang dianut oleh keluarga yang
berhubungan dengan kesehatan.

2.6.1.5 Fungsi keluarga yaitu fungsi afektif, fungsi sosialisasi dan fungsi
perawatan keluarga. Fungsi afektif yaitu hal yang perlu dikaji adalah gambaran
diri anggota keluarga, perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan
keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, bagaiman kehangatan tercipta pada
anggota keluarga dan bagaimana keluarga mengembangkan sikap saling
menghargai. Fungsi sosialisasi yaitu hal yang perlu dikaji adalah bagaiman
interaksi atau hubungan dalam keluarga, sejauh mana anggota keluarga belajar
disiplin, norma, budaya dan perilaku. Fungsi perawatan kesehatan yaitu
menjelaskan sejauh mana keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlindungan
serta merawat anggota keluarga yang sakit. Sejauh mana pengetahuan keluarga
mengenai sehat sakit. Kesanggupan keluarga dalam melaksanakan perawatan
kesehatan dapat dilihat dari kemampuan keluarga dalam melaksanakan 5 tugas
kesehatan keluarga, yaitu keluarga mampu mengenal masalah kesehatan,
mengambil keputusan untuk melakukan tindakan, melakukan perawatan tarhadap
anggota keluarga yang sakit, menciptakan lingkungan yang dapat meningkatkan
kesehatan dan kleluarga mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan yang terdapat
di lingkungan setempat.

Hal-hal yang perlu dikaji untuk mengetahui sejauh mana keluarga melakukan
pemenuhan tugas perawatan keluarga adalah untuk mengetahui kemampuan
keluarga mengenal masalah kesehatan, yang perlu dikaji adalah sejauhmana
keluarga memahami fakta-fakta dari masalah kesehatan yang meliputi: pen
gertian, tanda dan gejala, faktor penyebab dan yang mempengaruhinya serta
persepsi keluarga terhadap masalah, untuk mengetahui kemampuan keluarga
mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat, hal yang perlu
dikaji adalah sejauhmana kemampuan keluarga mengerti mengenai sifat dan

Universitas Indonesia
51

luasnya masalah, apakah masalah kesehatan dirasakan oleh keluarga, apakah


keluarga merasa menyerah terhadap masalah yang dialami, apakah keluarga
merasa takut akan akibat dari penyakit, apakah keluarga mempunyai sikap negatif
terhadap masalah kesehatan, apakah keluarga dapat menjangkau fasilitas
kesehatan yang ada, apakah keluarga kurang percaya terhadap tenaga kesehatan.
dan apakah keluarga mendapat informasi yang salah terhadap tindakan dalam
mengatasi masalah. Mengetahui sejauhmana kemampuan keluarga merawat
anggota keluarga yang sakit, termasuk kemampuan memelihara lingkungan dan
menggunakan sumber fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat, yang perlu
dikaji adalah apakah keluarga mengetahui sifat dan perkembangnan perawatan
yang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah kesehatan/penyakit., apakah
keluarga mempunyai sumber daya dan fasilitas yang diperlukan untuk perawatan,
keterampilan keluarga mengenai macam perawatan yang diperlukan memadai,
apakah keluarga mempunyai pandangan negatif terhadap perawatan yang
diperlukan, adakah konflik individu dan perilaku mementingkan diri sendiri dalam
keluarga, apakah keluarga kurang dapat memelihara keuntungan dalam
memelihara lingkungan dimasa mendatang, apakah keluarga mempunyai upaya
penuingkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, apakah keluarga sadar akan
pentingnya fasilitas kesehatan dan bagaimana pandangan keluarga akan fasilitas
tersebut, apakah keluarga merasa takut akan akibat dari tindakan (diagnostik,
pengobatan dan rehabilitasi) dan bagaimana falsafah hidup keluarga berkaitan
dengan upaya perawatan dan pencegahan.

2.6.1.6 Stress dan koping keluarga yaitu stressor jangka pendek, stressor jangka
panjang, kemampuan keluarga berespon terhadap masalah, strategi koping yang
digunakan dan strategi adaptasi disfungsional. Stressor jangka pendek yaitu
stressor yang dialami keluarga yang memerlukan penyelesaian dalam waktu
kurang dari 6 bulan. Stressor jangka panjang yaitu stressor yang dialami keluarga
yang memerlukan penyelesaian dalam waktu lebih dari 6 bulan. Kemampuan
keluarga berespon terhadap situasi/stressor, hal yang perlu dikaji adalah
sejauhmana keluarga berespon terhadap situasi/stressor. Strategi koping yang
digunakan keluarga bila menghadapi permasalahan. Strategi adaptasi

Universitas Indonesia
52

disfungsional yaitu strategi yang digunakan keluarga bila menghadapi


permasalahan.

2.6.1.7 Harapan Keluarga yaitu perawat menanyakan harapan keluarga terhadap


petugas kesehatan yang ada.

2.6.1.8 Pemeriksaan fisik dilakukan terhadap semua anggota keluarga. Metode


yang digunakan pada pemeriksaan fisik tidak berbeda dengan pemeriksaan fisik di
klinik.

2.6.2 Perumusan Diagnosis Keperawatan Keluarga


Diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang menggunakan dan
menggambarkan respons manuasia. Keadaan sehat atau perubahan pola interaksi
potensial/actual dari individu atau kelompok dimana perawat dapat menyusun
intervensi-intervensi definitive untuk mempertahankan status kesehatan atau
untuk mencegah perubahan (Carpenito, 2000). Diagnosis keperawatan keluarga
dirumuskan berdasarkan data yang didapat pada pengkajian yang terdiri dari
masalah keperawatan yang akan berhubungan dengan etiologi yang berasal dari
pengkajian fungsi perawatan keluarga. Diagnosis keperawatan merupakan sebuah
label singkat untuk menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di lapangan.
Kondisi ini dapat berupa masalah –masalah aktual atau potensial atau diagnosis
sejahtera yang mengacu pada NANDA (The North American Nursing Diagnosis
Association) 2012-2014.

Menegakkan diagnosa dilakukan dua hal, yaitu analisis data yang


mengelompokkan data subjektif dan objektif, kemudian dibandingkan dengan
standar normal sehingga didapatkan masalah keperawatan. Perumusan diagnosis
keperawatan, komponen rumusan diagnosis keperawatan meliputi: Masalah
(problem) adalah suatu pernyataan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia
yang dialami oleh keluarga atau anggota keluarga. Penyebab (etiologi) adalah
kumpulan data subjektif dan objektif. Tanda (sign) adalah sekumpulan data

Universitas Indonesia
53

subjektif dan objektif yang diperoleh perawat dari keluarga secara langsung atau
tidak langsung atau tidak yang emndukung masalah dan penyebab.

2.6.3 Menentukan Prioritas Masalah Keperawatan Keluarga


Tabel 2.3 Cara Membuat Skor Penentuan Prioritas Masalah Keperawatan
Keluarga (Friedman, 2003)

No Kriteria Skor Bobot


1 Sifat masalah
 Aktual (Tidak/kurang sehat) 3
 Ancaman kesehatan 2 1
 Keadaan sejahtera 1

2 Kemungkinan masalah dapat diubah


 Mudah 2
 Sebagian 1 2
 Tidak dapat 0

3 Potensi masalah untuk dicegah


 Tinggi 3
 Sedang 2 1
 Rendah 1

4 Menonjolnya masalah
 Masalah berat, harus segera ditangani 2
 Ada masalah, tetapi tidak perlu segera 1 1
ditangani
 Masalah tidak dirasakan 0

Skoring : Skor x Bobot


Angka tertinggi

Catatan : Skor dihitung bersama dengan keluarga

Faktor yang dapat mempengaruhi penentuan prioritas


2.6.3.1 Kriteria 1: Sifat masalah ; bobot yang lebih berat diberikan pada
tidak/kurang sehat karena yang pertama memerlukan tindakan segera dan
biasanya disadari dan dirasakan oleh keluarga.

Universitas Indonesia
54

2.6.3.2 Kriteria 2: Kemungkinan masalah dapat diubah, perawat perlu


memperhatikan terjangkaunya faktor-faktor sebagai berikut : Pengetahuan yang
ada sekarang, teknologi dan tindakan untuk menangani masalah, Sumber daya
keluarga dalam bentuk fisik, keuangan dan tenaga, Sumber daya perawat dalam
bentuk pengetahuan, keterampilan dan waktu, Sumber daya masyarakat dalam
bentuk fasilitas, organisasi dalam masyarakat dan dukungan masyarakat.

2.6.3.3 Kriteria 3: Potensi masalah dapat dicegah, faktor-faktor yang perlu


diperhatikan : Kepelikan dari masalah yang berhubungan dengan penyakit atau
masalah, lamanya masalah, yang berhubungan dengan jangka waktu masalah itu
ada, tindakan yang sedang dijalankan adalah tindakan-tindakan yang tepat dalam
memperbaiki masalah, adanya kelompok ‘high risk” atau kelompok yang sangat
peka menambah potensi untuk mencegah masalah.

2.6.3.4 Kriteria 4: Menonjolnya masalah, perawat perlu menilai persepsi atau


bagaimana keluarga melihat masalah kesehatan tersebut. Nilai skor tertinggi yang
terlebih dahulu dilakukan intervensi keperawatan keluarga.

2.6.4 Perencanaan Keperawatan keluarga


Perencanaan keperawatan keluarga terdiri dari penetapan tujuan, yang mencakup
tujuan umum dan tujuan khusus serta dilengkapi dengan kriteria dan standar.
Kriteria dan standar merupakan pernyataan spesifik tentang hasil yang diharapkan
dari setiap tindakan keperawatan berdasarkan tujuan khusus yang ditetapkan
(Friedman, 2003). Penyusunan rencana perawatan dilakukan dalam 2 tahap yaitu
pemenuhan skala prioritas dan rencana perawatan (Suprajitmo, 2004).

Langkah pertama yang dilakukan adalah merumuskan tujuan keperawatan. Tujuan


dirumuskan untuk mengetahui atau mengatasi serta meminimalkan stressor dan
intervensi dirancang berdasarkan tiga tingkat pencegahan. Pencegahan primer
untuk memperkuat garis pertahanan fleksibel, pencegahan sekunder untuk
memperkuat garis pertahanan sekunder, dan pencegahan tersier untuk
memperkuat garis pertahanan tersier (Anderson & Fallune, 2000).

Universitas Indonesia
55

Tujuan terdiri dari tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan
jangka panjang mengacu pada bagaimana mengatasi problem/masalah (P) di
keluarga, sedangkan penetapan tujuan jangka pendek mengacu pada bagaimana
mengatasi etiologi yang berorientasi pada lima tugas keluarga.

2.6.5 Implementasi
Tindakan yang dilakukan oleh perawat kepada keluarga berdasarkan perencanaan
mengenai diagnosis yang telah dibuat sebelumnya. Tindakan keperawatan
terhadap keluarga mencakup lima tugas kesehatan keluarga menurut Friedman,
2003), yaitu:

2.6.5.1 Menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai masalah dan


kebutuhan kesehatan dengan cara memberikan informasi, mengidentifikasi
kebutuhan dan harapan tentang kesehatan dan endorong sikap emosi yang sehat
terhadap masalah.

2.6.5.2 Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat


dengan cara mengidentifikasi konsekwensi tidak melakukan tindakan,
mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki keluarga, mendiskusikan tentang
konsekwensi tiap tindakan.

2.6.5.3 Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang sakit
dengan cara mendemonstrasikan cara perawatan, menggunakan alat dan fasilitas
yang ada di rumah, mengawasi keluarga melakukan perawatan.

2.6.5.4 Membantu keluarga untuk menemukan cara bagaimana membuat


lingkungan menjadi sehat, dengan cara menemukan sumber-sumber yang dapat
digunakan keluarga, melakukan perubahan lingkungan dengan seoptimal
mungkin.

Universitas Indonesia
56

2.6.5.5 Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada


dengan cara memperkenalkan fasilitas kesehatan yang ada di lingkungan keluarga
dan membantu keluarga menggunakan fasilitas kesehatan yang ada.

Pelaksanaan dilaksanakan berdasarkan pada rencana yang telah disusun. Hal-hal


yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan terhadap
keluarga yaitu sumber daya keluarga, tingkat pendidikan keluarga, adat istiadat
yang berlaku, respon dan penerimaan keluarga dan sarana dan prasarana yang ada
pada keluarga.

2.6.6 Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan membandingkan antara hasil implementasi dengan
kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya.
Kerangka kerja evaluasi sudah terkandung dalam rencana perawatan jika secara
jelas telah digambarkan tujuan perilaku yang spesifik maka hal ini dapat berfungsi
sebagai kriteria evaluasi bagi tingkat aktivitas yang telah dicapai Evaluasi disusun
dengan menggunakan SOAP secara operasional. Tahapan evaluasi dapat
dilakukan secara formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilakukan selama proses
asuhan keperawatan, sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir.
(Friedman,2003). Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana:
(Suprajitno,2004)

S : ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subyektif oleh


keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.
O : keadaan obyektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan
pengamatan yang obyektif.
A : merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subyektif dan obyektif.
P : perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis

2.7 Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas


Diagnosis keperawatan berikut merupakan kondisi yang berupa masalah –masalah
aktual atau potensial atau diagnosis sejahtera yang mengacu pada NANDA (The

Universitas Indonesia
57

North American Nursing Diagnosis Association) 2012-2014. Salah satu diagnosis


keperawatannya yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas.

2.7.1 Definisinya adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi/


obstruksi dan saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas.

2.7.2 Batasan Karaktersitik terdiri dari subyektif yaitu dispnea dan obyektif
yaitu tidak ada batuk, suara napas tambahan (misalnya rale, crackle,
ronchi dan mengi), perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan, batuk
yang tidak ada atau tidak efektif, sianosis, kesulitan untuk berbicara,
penurunan suara napas, ortopnea, sputum berlebihan, gelisah dan mata
terbelalak.

2.7.3 Faktor yang berhubungan terdiri dari lingkungan yaitu merokok,


menghirup asap rokok, dan perokok pasif. Obstruksi jalan napas yaitu
spasme jalan napas, retensi sekret, mukus berlebih, adanya jalan napas
buatan, terdapat benda asing dijalan napas, sekret di bronki dan eksudat di
alveoli. Fisiologis yaitu disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding
bronkial, PPOK (penyakit Paru Obstruktif Kronis), infeksi, asma, jalan
napas alergik (trauma)

2.8 Inhalasi Sederhana


Inhalasi sederhana adalah menghirup uap hangat dari air mendidih telah ditetesi
minyak penghangat, misalnya minyak kayu putih (Akhavani, 2005). Inhalasi
merupakan salah satu cara yang diperkenalkan dalam penggunaan metode terapi
yang paling sederhana dan cepat. Inhalasi aman untuk segala usia, para ahli paru
anak sangat menganjurkan inhalasi sebagai pengobatan yang berhubungan dengan
paru. Inhalasi sederhana bermanfaat mulai dari flu ringan yang baru saja terjadi,
batuk berdahak, paru-paru basah, batuk berdahak berat dan lama, batuk kronis
atau batuk yang berulang-ulang.

Terapi inhalasi biasanya ditujukan umtuk mengatasi bronkospasme,


mengencerkan sputum, menurunkan hipereaktivitas bronkus serta mengatasi

Universitas Indonesia
58

infeksi. Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma,


penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), tuberkulosis, fibrosis kistik, keadaan atau
penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket, pasien sesak nafas dan
batuk. Kontraindikasi mutlak pada inhalasi tidak ada. Indikasi relatif pada pasien
dengan alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan (Rasmin dkk, 2001).

Inhalasi juga tidak memiliki efek negatifnya serta boleh dilakukan sekali pun
orang tersebut mempunyai alergi terhadap sesuatu, karena bekerja langsung pada
sumber pernapasan yaitu paru-paru (Karnaen, 2011). Cara kerja inhalasi
sederhana ini adalah uap masuk dari luar tubuh ke dalam tubuh, dengan mudah
akan melewati paru-paru dan dialirkan ke pembuluh darah melalui alveoli
(Buckle, 1999 dalam Nuraeni 2012).

Teknik pemberian inhalasi sederhana yang diambil dari beberapa literatur yaitu
terlebih dahulu membuat corong dari sebuah kertas yang digulung, adalah cara
yang baik untuk menghirup uap dari mangkuk. kemudian menempatkan air
mendidih dengan suhu 42oC -44oC dalam mangkuk, dihirup selama 10-15 menit
dilakukan 2-4 kali sehari dan minyak kayu putih ditambahkan ke air panas
tersebut untuk meningkatkan efektifitas (Wong, 2008)

Penelitian yang dilakukan Singh (2004) bertujuan untuk menilai efek dari
menghirup uap air panas dengan bantuan sebuah alat yang dirancang untuk
memberikan uap air panas ke rongga hidung. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa pemberian inhalasi sederhana dapat menghilangkan gejala
terutama pada gejala flu biasa.

Berbeda dengan penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa inhalasi sederhana


efektif, akan tetapi penelitian lain terkait pemberian inhalasi sederhana
diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Handley, Abbott, Beasley dan
Gwaltney ( dalam Nuraeni, 2012) tujuan penelitian ini adalah pemberian inhalasi
sederhana atau ihalasi uap melalui hidung yang diususlkan sebagai pengobatan
pilek yang disebabkan oleh virus dengan asumsi bahwa adanya peningkatan suhu

Universitas Indonesia
59

intranasal akan menghambat replikasi rhinovirus. desain penelitian menggunakan


randomized controlled trial, dan jumlah responden dalam penelitian ini adalah 20
peserta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian inhalasi uap melalui
hidung tidak berpengaruh pada pelepasan virus yang dilakukan pada kelompok
intervensi. Hal ini juga didukung oleh penyataan Karnaen (2011) bahwa
penguapan secara tradisional atau inhalasi sederhana ini hanya berfungsi untuk
melonggarkan saluran napas, bukan untuk mengeluarkan lendir, karena bahan-
bahan dalam minyak kayu putih yang terhirup melalui uap air panas itu tidak
mengandung zat penghancur lendir, sehingga tindakan inhalasi terbukti kurang
efektif untuk mengeluarkan dahak sehingga bersihan jalan napas menjadi efektif,
sehingga tindakan inhalasi sederhana dikombinasikan dengan batuk efektif.

2.9 Batuk Efektif


Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik,
kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses
pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal, sehingga mukus ini banyak
tertimbun dan bersihan jalan nafas akan tidak efektif. Dampak dari pengeluaran
dahak yang tidak lancar akibat ketidakefektifan jalan nafas adalah penderita
mengalami kesulitan bernafas dan gangguan pertukaran gas di dalam paru paru
yang mengakibatkan timbulnya sianosis, kelelahan, apatis serta merasa lemah.
Tahap selanjutnya akan mengalami penyempitan jalan nafas sehingga terjadi
perlengketan jalan nafas dan terjadi obstruksi jalan nafas (Nugroho, 2011), bila
hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang, dan mukus akan dikeluarkan
dengan tekanan intrathorakal dan intra abdominal yang tinggi. Untuk itu perlu
bantuan untuk mengeluarkan dahak yang lengket sehingga dapat bersihan jalan
nafas kembali efektif. Udara keluar dengan akselerasi yang cepat beserta
membawa sekret mukus yang tertimbun setelah dibatukkan,. Mukus tersebut akan
keluar sebagai dahak (Prince, 2000).

Batuk efektif adalah tindakan yang diperlukan untuk membersihkan dahak


(Hudak & Gallo, 2000). Batuk efektif ini juga merupakan bagian tindakan
keperawatan untuk pasien dengan gangguan penapasan akut dan kronis (Kisner &

Universitas Indonesia
60

Colby, 1999 dalam Nugroho 2011). Batuk efektif yang baik dan benar dapat
mempercepat pengeluaran dahak pada pasien dengan gangguan saluran
pernafasan. Perawat diharapkan dapat melatih pasien dengan batuk efektif
sehingga pasien dapat mengerti pentingnya batuk efektif untuk mengeluarkan
dahak.

Indikasi batuk efektif adalah pada pasien seperti bronkitis kronik, asma, TB paru,
pneumonia dan emfisema. Kontraindikasi batuk efektif adalah tension
pneumotoraks, hemoptisis, gangguan sistem kardiovaskuler seperti hipotensi,
hipertensi, infark miokard akut infark dan aritmia, edema paru dan efusi yang luas
(Wilson, 2006).

Teknik batuk efektif merupakan tindakan yang dilakukan untuk membersihkan


sekresi dari saluran nafas. Tujuan dari batuk efektif adalah untuk meningkatkan
ekpansi paru, mobilisasi sekresi dan mencegah efek samping dari retensi sekresi
seperti pneumonia, atelektasis, dan demam. dengan batuk efektif penderita
tuberkulosis paru tidak harus mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan
sekret (Subrata, 2006). Caranya adalah sebelum dibatukkan, klien dianjurkan
untuk minum air hangat dengan rasionalisasi untuk mengencerkan dahak, setelah
itu dianjurkan untuk inspirasi dalam. hal ini dilakukan selama dua kali, kemudian
setelah inspirasi yang ketiga, anjurkan klien untuk membatukkan dengan kuat
(Depkes, 2007).

Hasil penelitian Nugroho (2011) pengaruh batuk efektif terhadap pengeluaran


dahak pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehingga uji
pengaruh menggunakan uji Wilcoxon untuk melihat kemaknaan pengaruh batuk
efektif dengan α = 0,05 didapatkan p=0,003 (p<0,05) berarti bahwa berarti ada
pengaruh sebelum dan sesudah perlakuan batuk efektif. Tindakan batuk efektif
terbukti efektif dan dapat memberikan perubahan pada pengeluaran dahak
seseorang, karena dengan batuk efektif bisa mengeluarkan dahak dengan
maksimal dan banyak serta dapat membersihkan saluran pernapsan yang
sebelumnya terhalang oleh dahak, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengeluaran

Universitas Indonesia
61

dahak dapat dilakukan dengan membatuk. Pengeluaran dahak dengan membatuk


akan lebih mudah dan efektif bila diberikan penguapan. Penggunaan penguapan
untuk mengencerkan dahak tergantung dari kekuatan pasien untuk membatuk
sehingga mendorong lendir keluar dari saluran pernapasan dan seseorang akan
merasa lendir atau dahak di sauran napas hilang dan jalan nafas akan kembali
normal.

Universitas Indonesia
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

Penjelasan bab ini mengenai asuhan keperawatan keluarga dengan


ketidakefektifan bersihan jalan napas pada TB paru lansia di RT 06/ RW 01
Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Asuhan
keperawatan keluarga ini terdiri dari pengkajian, intervensi keperawatan,
implementasi, evaluasi dan tingkat kemandirian.

3.1 Pengkajian
Keluarga kakek A (70 tahun) tinggal di Gg Masjid, RT 06/ RW 01 Cisalak Pasar,
yang merupakan pensiunan karyawan swasta dan memiliki pendidikan terakhir
SMA. Keluarga kakek A merupakan keluarga dengan tipe keluarga extended
family yang terdiri dari kakek A (70 th) sebagai kepala keluarga, nenek I (69 th)
sebagai istri dan ibu rumah tangga, bapak F (35th) yang merupakan anak kandung
serta ibu A (30 thn) yang merupakan menantu dan istri dari bapak F yang saat ini
telah hamil 30 minggu (G1P0A0) yang tinggal serumah. Anak-anak Kakek A
yang lainnya ada yang tinggal di samping rumah kakek A dan ada juga yang
tinggal di daerah Jakarta. Kakek A memiliki enam orang cucu.

Kakek A merupakan campuran dari suku Sunda dan suku Betawi karena
mengikuti kedua orang tuanya. Nenek I berasal dari Banten yaitu suku Sunda.
Keduanya sudah berdomisili di Depok sekitar 8 tahun. Komunikasi antara kakek
A dan nenek I menggunakan bahasa Indonesia, begitupun berkomunikasi dengan
bapak F dan ibu A juga menggunakan bahasa Indonesia. Suku tidak
mempengaruhi pola makan keluarga karena keluarga lebih sering masak sendiri.

Keluarga kakek A menganut agama Islam. Keluarga menjalankan ibadah sholat,


puasa, dan ibadah lainnya. Keluarga kakek A merupakan keluarga dengan status
sosial ekonomi kelas menengah. Rumah yang ditempati keluarga kakek A adalah
rumah milik sendiri yang sudah ditempati kurang lebih delapan tahun. Rumah
kakek A adalah tipe permanen dua lanai dengan tembok dari batu bata dan atap
dari genteng. Perabotan rumah tangga kakek A lengkap, mempunyai satu buah

62 Universitas Indonesia
63

motor dan mushola yang dibangun di samping rumah kakek A, namun tidak
memiliki asuransi kesehatan semenjak kantor tempat dulu bekerja bangkrut, akan
tetapi saat ini sedang mengurus jamkesmas. Kakek A tidak memiliki penghasilan.
Keluarga kakek A jarang pergi berekreasi bersama. Waktu luang biasanya
digunakan dengan mengobrol bersama di rumah sambil menonton televisi.

Hasil wawancara didapatkan bahwa kakek A mengatakan sesak sejak kurang lebih
3 bulan yang lalu, mengatakan sesekali batuk yang paling sering dimalam hari dan
mengeluarkan dahak berwarna putih, jumlahnya sedikit, tidak bau dan sulit
mengeluarkan dahak. Kakek A mengatakan pernah memeriksakan dahaknya di
puskesmas Cimanggis pada Desember 2012 dan hasilnya BTA positif tetapi tidak
menjalani pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sebelumnya mengeluh
batuk-batuk lebih dari 3 minggu. Riwayat merokok + 15 tahun dan menghabiskan
2 bungkus rokok sehari, saat ini sudah tidak merokok sejak 3 bulan yang lalu.
Kakek A mengatakan ibu kakek A meninggal pada usia 50 tahun meninggal
karena TB Paru dan saudara pertama dari kakek A meninggal pada usia 65 tahun
karena TB Paru juga. Tidak ada riwayat alergi, tidak ada riwayat asma. Saat
batuk-batuk lebih dari 3 minggu dan BTA positif klien hanya berobat ke dokter
praktik dan mendapatkan obat sanbutamol dan tyrosol yang diminum 3 × 1/ hari.
Saat ini kakek A mengkonsumsi sanbutamol dan tyrosol tanpa resep dokter dan
ketika habis obat tersebut beli di apotik terdekat, ketika meminum obat tersebut
Kakek A merasa mendingan dan sesak berkurang. Kakek A menganggap dirinya
menderita asma.

Kakek A mengatakan malas berobat ke puskesmas dikarenakan malas mengantri.


Saat ini yang dikeluhkan adalah sesak dan cepat lelah ketika beraktivitas dan
merasa nyeri dada. Ketika batuk kakek A membuang dahak di kamar mandi dan
saluran pipa yang langsung mengarah ke selokan rumah. Terkadang berkeringat
pada saat malam hari pada saat merasa panas dan menggunakan kipas angin. Saat
batuk/ bersin kakek A tidak menutup mulut hanya memalingkan muka kesamping
atau menundukkan kepala. Saat berinteraksi dengan anggota keluarga termasuk
cucunya kakek A tidak menggunakan masker.

Universitas Indonesia
64

Pola konsumsi kakek A diakui oleh nenek I tidak mengalami perubahan nafsu
makan bahkan biasa-biasa saja, sehari kakek A makan 3 kali sehari yaitu saat
pagi, siang dan malam atau menjelang magrib. BB sebelumnya 55 Kg. Nenek I
mengaku untuk lauk pauk dan sayur mayur yang dimasak disesuaikan dengan
uang yang dipunya saat itu. alat-alat makan/ minum kakek A belum dipisahkan,
sedangkan untuk aktivitas sehari-hari kakek A mengatakan jarang berolahraga
dilakukan karena cepat lelah ketika beraktivitas dan hanya berjalan-jalan disekitar
rumah.

Kakek A mengatakan sering tidur saat siang hari sekitar 1 – 2 jam, waktu tidur
malam kakek A yaitu saat jam 8 atau jam 9. Kakek A tidak mengalami kesulitan
untuk memulai tidur. Posisi tidur telungkup dengan kepala menyamping
menggunakan bantal 1. ketika tidur telentang menjadi lebih sesak. Kakek A
mengatakan hanya diam ketika sesak. Kakek A mengatakan terkadang membuka
jendela dan pintu dipagi hari. Kakek A lebih menyukai berada di rumah lantai 2.
Keluarga juga mengatakan pernah menjemur kasur dan karpet, namun jarang-
jarang. Kakek A mengetahui TB dan tanda dan gejala penderita TB sehingga
merasa khawatir akan tanda-tanda TB pada dirinya. Sebelumnya kakek A sudah
mengikuti penyuluhan TB sebanyak 2 kali yang diadakan mahasiswa residen dan
mahasiswa profesi.

Hasil pemeriksaan TTV didapatkan TD: 120/ 80 mmHg, RR 28 kali, N: 85×/


menit, S: 36,5 oC. Hasil pemeriksaan fisik paru, saat inspeksi ditemukan adanya
retraksi dinding dada dan penggunaan otot bantu pernafasan, dada simetris, napas
pendek. Auskultasi didapatkan suara nafas ronchi basah kasar di semua area paru.
dan suara napas ronchi sangat terdengar jelas tanpa menggunakan stetoskop. Dari
hasil penimbangan berat badan (BB) dan pengukuran tinggi badan (TB)
didapatkan BB 52 kg, TB: 160cm. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks pada
tanggal 02 Juli 2012 di RS Centra Medika didapatkan hasil: sinus difragma kiri
normal, sinus kanan tumpul jantung CTR < 50% ; aorta normal, paru: hili dan
corakan bronkhovaskuler normal, tak tampak infiltrat, kavitas atau lesi patologis
lain, kesan: tak tampak pneumonia/ kelainan lain parenkim, kedua paru suspek

Universitas Indonesia
65

pleuritis dextra, jantung normal. Berdasarkan hasil observasi kakek A juga belum
menerapkan etika batuk yang baik dan benar. Hasil pemeriksaan dahak pada
Senin, 03 Juni 2013 di Puskesmas Cimanggis didapatkan hasil BTA Negatif.

Hasil observasi memperlihatkan kondisi rumah keluarga Kakek A gelap, barang-


barang kurang tertata rapi, pencahayaan kurang baik karena ada bagian rumah
yang gelap dan masih disinari lampu pada siang hari, pengap dan lembab tetapi
tidak tampak berdebu. Ventilasi rumah cukup, jendela rumah hanya di bagian
ruang tamu, setiap kamar dan ruang tengah dan di belakang Tidak terlihat adanya
sampah yang berserakan baik di dalam ataupun sekitar rumah. Halaman rumah
Kakek A terlihat kotor dan banyak jentik nyamuk digenangan air depan rumah
dan dikolam ikan.

3.2 Diagnosis Keperawatan


Diagnosis keperawatan yang muncul adalah Ketidakefektifan bersihan jalan napas
pada Kakek A. Data-data yang sudah didapatkan pada saat pengkajian kemudian
akan dianalisis yang mengelompokkan data subjektif dan objektif, kemudian
dibandingkan dengan standar normal sehingga didapatkan diagnosis keperawatan.

Data Subyektif didapatkan yaitu riwayat meninggal akibat TB Paru pada Ibu dari
kakek A pada usia 50 tahun dan kakak pertama kakek A pada usia 65 tahun, sesak
kakek A sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu, sesekali batuk, biasanya dimalam
hari dan mengeluarkan dahak berwarna putih, jumlah sedikit, tidak bau, sulit
mengeluarkan dahak. Kakek A mengatakan pernah memeriksakan dahaknya di
Puskesmas Cimanggis pada Desember 2012 dan hasilnya BTA positif tetapi tidak
menjalani pengobatan sebelumnya mengeluh batuk-batuk lebih dari 3 minggu.
Tidak ada riwayat alergi, tidak ada riwayat asma. Riwayat merokok + 15 tahun
dan menghabiskan 2 bungkus rokok sehari, saat ini sudah tidak merokok sejak 3
bulan yang lalu. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu berobat ke dokter praktik dan
mendapatkan obat sanbutamol dan tyrosol yang diminum 3 × 1/ hari. Ketika tidur
telentang menjadi lebih sesak. Posisi tidur miring dengan menggunakan satu
bantal, hanya diam ketika sesak. Keluarga juga mengatakan pernah menjemur

Universitas Indonesia
66

kasur dan karpet, namun jarang-jarang dan setiap pagi membuka jendela dan
pintu. Kakek A lebih menyukai berada di rumah lantai 2 karena sinar matahari
bisa masuk dan lebih suka tiduran di depan pintu karena udara yang masuk
banyak. Kakek A mengetahui TB dan tanda dan gejala penderita TB sehingga
merasa khawatir akan tanda-tanda TB pada dirinya. Sebelumnya kakek A sudah
mengikuti penyuluhan TB sebanyak 2 kali yang diadakan mahasiswa residen dan
mahasiswa profesi.

Data obyektif yang didapatkan yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan tanda-tanda


vital TD: 110/70 mmHg, nadi: 82 x/menit, suhu: Afebris 36,5oC, RR: 28 x/menit,
CRT < 2 detik. BB : 55 kg TB : 160 cm IMT : 21,5 (normal). Hasil pemeriksaan
fisik paru pada saat inspeksi dada tampak simetris, tidak ada pembengkakan, tidak
terdapat lesi, terdapat penggunaan otot bantu napas, terdapat retraksi dinding
dada. Hasil auskultasi paru didapatkan bunyi napas ronchi basah kasar di semua
lapang paru, suara napas ronkhi tanpa auskultasi, tidak terdapat wheezing. Hasil
palpasi didaptkan tactile fremitus dan saat perkusi terdengar sonor. Hasil
pemeriksaan rontgen thoraks (02 Juli 2012 di RS Centra Medika) didapatkan
hasil: sinus difragma kiri normal, sinus kanan tumpul. Jantung CTR < 50% ; aorta
normal, paru: hili dan corakan bronkhovaskuler normal, tak tampak infiltrat,
kavitas atau lesi patologis lain, kesan: tak tampak pneumonia/ kelainan lain
parenkim, kedua paru suspek pleuritis dextra, jantung normal. Hasil pemeriksaan
dahak BTA Negatif (pemeriksaan di PKM Cimanggis, 03 Juni 2013). Hasil
observasi kondisi rumah keluarga kakek A gelap, barang-barang kurang tertata
rapi, pencahayaan kurang baik karena ada bagian rumah yang gelap dan masih
disinari lampu pada siang hari, pengap dan lembab tetapi tidak tampak berdebu.
Ventilasi rumah cukup, jendela rumah hanya di bagian ruang tamu, setiap kamar
dan ruang tengah dan di belakang Tidak terlihat adanya sampah yang berserakan
baik di dalam ataupun sekitar rumah. Halaman rumah kakek A terlihat kotor dan
banyak jentik nyamuk digenangan air depan rumah dan dikolam ikan.

3.3 Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosis keperawatan: ketidakefektifan bersihan jalan napas pada kakek A

Universitas Indonesia
67

Definisinya adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi/ obstruksi dan


saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas.

Tujuan Umum:
Setelah dilakukan pertemuan sebanyak 4 kali kunjungan selama 45 menit,
bersihan jalan napas pada kakek A kembali efektif dan adekuat.

Tujuan Khusus:
Setelah dilakukan pertemuan sebanyak kali 4x45 menit, keluarga mampu:
TUK 1: Keluarga kakek A diharapkan mampu mengenal TB paru dengan
menyebutkan pengertian TB paru yaitu salah satu penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman yaitu kuman mycobacterium tuberculosis yang paling
banyak menyerang di daerah paru-paru; Penyebab TB paru yaitu adalah kuman
mycobacterium tuberculosis; penyebaran TB paru yaitu melalui percikan
dahak/bersin yang terhirup oleh orang lain; tanda-tanda TB paru yakni batuk yang
tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3 minggu, demam/meriang lebih dari
sebulan, nafsu makan dan BB menurun, mudah lelah, nyeri dada dan sesak nafas,
serta batuk berdahak disertai darah. Keluarga kakek A diharapkan mampu
mengidentifikasi anggota keluarga yang menderita TB paru.

TUK 2: Keluarga kakek A diharapkan mampu mengambil keputusan dalam


merawat anggota keluarga dengan masalah kesehatan TB paru, dengan
menyebutkan akibat TB paru jika tidak diobati yaitu kematian, tidak dapat
sembuh, menular pada orang lain; Menyebutkan akibat TB paru jika putus obat
antituberculosis yaitu penyakit lebih sukar sembuh, kuman tumbuh dan
berkembang lebih banyak, butuh biaya lebih besar, waktu pengobatan menjadi
lebih lama. Keluarga kakek A diharapkan mampu mengambil keputusan untuk
mengatasi masalah kesehatan TB paru yang dialami anggota keluarga.

TUK 3: Keluarga kakek A diharapkan mampu mencegah TB paru yaitu menutup


hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker, tidak meludah

Universitas Indonesia
68

atau membuang dahak disembarang tempat, makan-makanan yang bergizi,


imunisasi BCG pada bayi, buka jendela agar sinar matahasri masuk, jemur kasur
paling sedikit seminggu sekali. Mampu merawat anggota keluarga dengan
masalah kesehatan TB paru, dengan Menjelaskan cara merawat anggota keluarga
dengan penyakit TB paru yaitu melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan
dahak dan inhalasi sederhana. Mendemontrasikan cara melakukan tekhnik batuk
efektif dan etika batuk serta inhalasi sederhana.

TUK 4: Keluarga Kakek A diharapkan mampu memodifikasi lingkungan yang


sesuai untuk penderita TB paru, dengan cara membuka jendela dan pintu agar
sinar matahari dapat masuk, menjemur kasur tiap minggu, membuang dahak pada
tempat yang telah ditentukan, tidak berganti-ganti alat makan dengan anggota
keluarga.

TUK 5: Keluarga kakek A diharapkan mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan


yang ada dimasyarakat dengan menyebutkan manfaat fasilitas kesehatan yakni
mendapatkan perawatan secara langsung, memperoleh informasi tentang cara
perawatan dirumah, mendapatkan terapi pengobatan; Menyebutkan jenis fasilitas
kesehatan yakni Puskesmas, Rumah sakit, Klinik dokter. Keluarga kakek A
mengunjungi pelayanan kesehatan untuk pemeriksaan dan pengobatan penyakit
TB paru.

3.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi yang dilakukan oleh perawat kepada keluarga berdasarkan
perencanaan mengenai diagnosis yang telah dibuat sebelumnya. Implementasi
yang dilakukan untuk mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada kakek
A sesuai dengan asuhan keperawatan keluarga.

Sebelum melakukan kontrak dengan keluarga, mahasiswa mengucapkan salam,


menyampaikan tujuan/maksud kedatangan, memvalidasi keadaan keluarga dan
membuat kontrak dengan keluarga. TUK 1: Selama 1x45 menit, menggunakan
lembar balik dan memberikan leaflet setelah diberikan pendidikan kesehatan

Universitas Indonesia
69

mengenai TB paru, implementasi yang dilakukan adalah mendiskusikan bersama


keluarga apa yang sudah diketahui keluarga mengenai pengertian TB paru,
mendiskusikan dengan keluarga tentang pengertian TB paru merupakan salah satu
penyakit menular yang disebabkan oleh kuman yaitu kuman mycobacterium
tuberculosis yang paling banyak menyerang di daerah paru-paru, mendiskusikan
dengan keluarga tentang penyebab TB paru yaitu kuman mycobacterium
tuberculosis dan tertular penderita lain melalui percikan dahak/bersin yang
terhirup oleh orang lain. Memotivasi keluarga untuk menyebutkan kembali
penyebab TB paru. Mendiskusikan dengan keluarga tentang tanda dan gejala TB
paru yaitu batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3 minggu,
demam/meriang lebih dari sebulan, nafsu makan dan BB menurun, mudah lelah,
nyeri dada, sesak nafas, batuk berdahak disertai darah, mendorong keluarga untuk
mengidentifikasi penyebab TB paru pada kakek A. Membantu keluarga
membandingkan apa yang telah dijelaskan dengan kondisi kakek A. Memberikan
positive reinforcement atas usaha yang dilakukan keluarga.

TUK 2: Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika tidak
diobati yaitu tidak dapat sembuh, menular pada orang lain dan kematian.
Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika putus obat yaitu
penyakit lebih sukar sembuh, kuman tumbuh dan berkembang lebih banyak, butuh
biaya lebih besar dan waktu pengobatan menjadi lebih lama. Mendiskusikan
kembali dengan keluarga untuk merawat anggota keluarga yang TB paru.
Memberikan positive reinforcement atas jawaban keluarga dan keputusan untuk
merawat anggota keluarga dengan TB paru.

TUK 3: Menjelaskan kepada keluarga tentang cara pencegahan TB paru yaitu


menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker,
tidak meludah atau membuang dahak disembarang tempat, makan-makanan yang
bergizi, imunisasi BCG pada bayi, buka jendela agar sinar matahasri masuk,
jemur kasur paling sedikit seminggu sekali. Memberi kesempatan kepada keluarga
jika ada yang belum jelas. Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat
TB paru di rumah. Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga

Universitas Indonesia
70

menjelaskan cara perawatan TB paru. Mendiskusikan bersama keluarga cara


perawatan TB Paru yaitu melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan dahak
dengan menggunakan alat tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue, dengan cara
posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan
pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama
3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi
kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan
dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan
2 batuk pendek yang benar-benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian
diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat
dahak dan tissue buat membersihkan mulut. Cara perawatan selanjutnya yaitu
berikan inhalasi sederhana (pelega tenggorokan dan pernapasan) dengan
menggunakan air panas dalam baskom dan menthol 3-5 tetes (minyak kayu putih).
bentuk karton menjadi corong sehingga bagian atas mengerucut dan menutupi
bagian mulut dan hidung , bagian bawah karton menutupi waskom, hirup uapnya
melalui hidung. Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum jelas.
Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat TB paru di rumah.
Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga menjelaskan cara
perawatan TB paru. Mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan batuk efektif.
Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum jelas. Memotivasi
keluarga untuk mendemontrasikan cara inhalasi sederhana dan batuk efektif
selama delapan kali pertemuan, masing-masing empat puluh lima menit setiap
kali pertemuan. Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga
mendemontrasikan cara perawatan TB paru. Mengevaluasi perasaan yang
dirasakan setelah dilakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif yang merupakan
intervensi unggulan.

TUK 4: Mendiskusikan cara memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru.


Menjelaskan kepada keluarga tentang cara memodifikasi lingkungan untuk
penderita TB paru dengan menggunakan lembar balik yaitu membuka jendela dan
pintu agar sinar matahari dapat masuk, menjemur kasur tiap minggu, membuang
dahak pada tempat yang telah ditentukan dan tidak berganti-ganti alat makan

Universitas Indonesia
71

dengan anggota keluarga. Memotivasi keluarga untuk menjelaskan kembali cara


memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru. Menanyakan kepada keluarga
tentang materi yang belum dimengerti. Menjelaskan kepada keluarga mengenai
materi yang belum dimengerti. Memberikan positive reinforcement terhadap
kemampuan yang dicapai oleh keluarga

TUK 5: Mengkaji pengetahuan keluarga tentang fasilitas dan manfaat fasilitas


pelayanan kesehatan. Mendiskusikan bersama dengan keluarga tentang jenis-jenis
fasilitas kesehatan yang dapat digunakan, yaitu Puskesmas, Rumah Sakit, Dokter
praktik, Posbindu, Praktik perawat. Memotivasi keluarga untuk menyebutkan
kembali jenis-jenis fasilitas kesehatan yang dapat digunakan. Mendiskusikan
bersama keluarga tentang manfaat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu sebagai
sarana untuk pemeriksaan, perawatan/pengobatan TB paru, sebagai sarana untuk
mendapatkan informasi yang akurat dan tepat untuk mengatasi masalah TB paru.
Memotivasi keluarga untuk membawa anggota keluarga yang sakit ke pelayanan
kesehatan. Memberikan positive reinforcement bahwa kakek A ke fasilitas
kesehatan apabila masalah TB paru tidak dapat ditangani dengan perawatan di
rumah.

3.5 Evaluasi
Evaluasi yang merupakan kegiatan membandingkan antara hasil implementasi
untuk mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada kakek A dengan
kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya.

3.5.1 Subyektif
Kakek A dan nenek I menjawab salam dan menyetujui kunjungan saat ini selama
45 menit untuk membahas masalah TB paru. Kakek A mengatakan masih merasa
sesak napas. Kakek A mengatakan bahwa TB paru merupakan penyakit plek paru
yang menular, penyebab TB paru adalah kuman TB, tanda dan gejala TB paru
adalah batuk lama, sesak nafas, nafsu makan menurun, berat badan menurun dan
suka berkeringat jika malam hari. Kakek A mengatakan bahwa dirinya mengalami
TB paru. Kakek A mengatakan bahwa akibat jika TB paru tidak ditangani adalah

Universitas Indonesia
72

kematian dan penyakit tidak dapat sembuh, akibat penderita TB paru jika putus
obat yaitu mengakibatkan pengobatan yang semakin lama, biaya semakin banyak,
cara mencegah TB paru dengan menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin
atau menggunakan masker, tidak meludah atau membuang dahak disembarang
tempat dan buka jendela agar sinar matahari masuk. Nenek I mengatakan akan
merawat anggota keluarga dengan TB paru dan mengatakan cara merawat anggota
keluarga dengan TB paru adalah batuk efektif dan inhalasi sederhana. Kakek A
mengatakan Alat untuk batuk efektif yaitu tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air,
tissue. Caranya yaitu posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan
mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu
pasien disuruh tahan nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan
– lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh
pasien untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut
atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benar-benar kuat, setelah itu
istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari
awal. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut.
Kakek A mengatakan cara inhalasi sederhana dengan menghirup uap air panas
yang ditetesi minyak kayu putih. Kakek A mengatakan cara modifikasi
lingkungan dengan membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk
dan membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan dan mengatakan akan
memodifikasi lingkungan sesuai dengan standar askep yang sudah diajarkan.
Kakek A mengatakan jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan,
seperti puskesmas, RS, dan praktik mantri, manfaat fasilitas pelayanan kesehatan,
yaitu untuk pemeriksaan dan mendapatkan obat untuk batuk pilek dan akan
berkunjung ke pelayanan kesehatan untuk berobat. Setelah diberikan inhalasi
sederhana dan batuk efektif, Kakek A mengatakan sesak sedikit berkurang, napas
sedikit lega. dahak menjadi encer dan mudah keluar, mengatakan batuk sesekali.

3.5.2 Obyektif
Kakek A mampu menjawab pengertian TB paru sesuai standar, mampu menjawab
1 dari 2 penyebab TB paru, mampu menjawab 5 dari 7 tanda dan gejala TB paru,
mampu menjawab 2 dari 3 akibat jika TB paru yang tidak diobati, mampu

Universitas Indonesia
73

menjawab 2 dari 4 akibat jika penderita TB paru putus obat, mampu menjawab 3
dari 6 cara mencegah TB paru, mampu menjawab menyebutkan 2 dari 2 cara
merawat anggota keluarga dengan TB paru. Kakek A dapat mendemonstrasikan
inhalasi sederhana dan batuk efektif, mampu menjawab 2 dari 4 cara
memodifikasi lingkungan untuk anggota keluarga yang mengalami TB paru,
mampu menjawab 3 dari 5 jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat
digunakan dan mampu menjawab 2 dari 3 manfaat fasilitas pelayanan kesehatan.
Setelah dilakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif didapatkan TTV : TD:
110/70 mmHg, Nadi: 80 x/menit, Suhu: 36,5oC, RR: 23 x/menit. Pemeriksaan
paru: Inspeksi: simetris, pembengkakan (-), otot bantu napas (-), retraksi dinding
dada (-), lesi (-) Auskultasi: ronchi basah kasar di semua lapang paru, suara napas
ronkhi tanpa auskultasi, wheezing -/- Palpasi: tactile fremitus Perkusi: sonor.

3.5.3 Analisis
Keluarga telah dapat mengenal masalah kesehatan pada anggota keluarga, telah
menyatakan kesediaan untuk merawat, telah dapat melakukan perawatan
sederhana bagi penderita TB, telah mengerti bagaimana melakukan modifikasi
lingkungan, dan telah bersedia membawa Kakek A ke Pelayanan kesehatan.

3.5.4 Planning
Melanjutkan tindakan inhalasi sederhana selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali
sehari di rumah dan kemudian batuk efektif. Menganjurkan posisi yang nyaman
pada saat tidur dengan 2 bantal atau pemberian posisi semi fowler untuk
mengurangi sesak. Mengevaluasi pengetahuan tentang TB paru dan memfasilitasi
untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan dengan mengkoordinasikan ke
mahasiswa residen yang sedang praktik di RW 01, ke kader RW 01 dan ke
puskesmas Cimanggis.

3.6 Tingkat Kemandirian


Hasil pengkajian, intervensi, implementasi dan evaluasi yang dilakukan selama
sembilan minggu, keluarga dapat bekerjasama dengan mahasiswa dalam
mengatasi masalah kesehatan yang ditemukan. Selama melakukan pembinaan dan

Universitas Indonesia
74

kunjungan rutin di keluarga, mahasiswa banyak memperoleh informasi dari


keluarga mengenai masalah kesehatan yang dialami keluarga. Selama sembilan
minggu mahasiswa melakukan pembinaan dan kunjungan rutin ke keluarga dan
menemukan lima masalah kesehatan dan dapat disimpulkan bahwa keluarga
termasuk ke dalam keluarga mandiri tingkat III yaitu menerima petugas
puskesmas, menerima yankes sesuai rencana, menyatakan masalah kesehatan
secara benar, memanfaatkan yankes sesuai anjuran dan melaksanakan perawatan
sederhana sesuai anjuran.

Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS SITUASI

Bab ini akan menjelaskan analisis situasi yang terdiri dari profil lahan praktek,
analisis masalah keperawatan dengan konsep terkait Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan (KKMP) dan konsep kasus terkait, analisis inhalasi
sederhana dan batuk efektif dengan konsep dan penelitian terkait dan alternatif
pemecahan yang dapat dilakukan.

4.1 Profil Lahan Praktik


Kelurahan Cisalak Pasar merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan
Cimanggis. Kelurahan ini memiliki 8 rukun warga (RW), menurut sekertaris
kelurahan, RW 08 merupakan kompleks perumahan yang mayoritas dihuni oleh
warga dengan status ekonomi menengah keatas sedangkan tujuh RW lainnya
merupakan daerah yang mayoritas status ekonomi warganya adalah menengah
kebawah. Kelurahan Cisalak Pasar belum memiliki puskesmas kelurahan,
sehingga fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang dapat dijangkau oleh
warganya adalah puskesmas kecamatan Cimanggis yang berjarak kurang lebih 2
km dari kelurahan Cisalak Pasar dan terdapat satu pasar di kelurahan ini yang
terletak di RW 04 dan jaraknya dekat dengan rumah warga.

Gambaran wilayah RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar secara umum adalah sebagai


berikut sebelah utara berbatasan dengan Jl. Raya Pondok Cibubur, sebelah timur
berbatasan dengan RW 08, sebelah selatan berbatasan dengan RW 02, sebelah
barat berbatasan dengan Jl. Radar Auri. Kelurahan Cisalak Pasar memiliki luas
wilayah sebesar 1,71 km2. Wilayah RW 01 merupakan wilayah yang terluas dari
seluruh RW yang ada di Kelurahan Cisalak Pasar.

Berdasarkan rekapitulasi registrasi penduduk kelurahan Cisalak Pasar, Cimanggis,


Depok pada bulan Desember 2012, RW 01 memiliki jumlah penduduk 2587
kepala keluarga yang terdiri dari 1338 jiwa laki-laki dan 1249 jiwa perempuan.
Mayoritas memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA),

75 Universitas Indonesia
76

beragama Islam, dan berasal dari suku Betawi serta mayoritas penduduknya rata-
rata usia produktif (15-50 tahun).

Warga RW 01 mayoritas berstatus ekonomi menengah ke bawah. Warga


pendatang yang berstatus sebagai perantau kebanyakan mengadu nasib dengan
bekerja di pabrik atau berwiraswasta yang sebagian besar berasal dari pulau Jawa,
dan akhirnya menetap di RW 01 karena menikah dengan warga RW 01 atau
bertemu di tempat kerja. Sebagian besar warga bermata pencaharian sebagai
buruh pabrik, dan wiraswasta yang memiliki pendapatan > Rp 1.000.000.
Sebagian besar warga yang berjenis kelamin laki-laki berperan sebagai pencari
nafkah, sedangkan Ibu-ibu di RW 01 mayoritas ibu rumah tangga serta ada
beberapa yang memiliki warung jajanan. Mayoritas warga lebih suka berbelanja
di pasar karena wilayahnya dekat dengan Pasar Cisalak. Warga masyarakat RW
01 jarang yang pengangguran, jika tidak memiliki pekerjaan tetap sebagian besar
mengisi waktu dengan mengojek di sekitar wilayah RW 01.

Hasil windshiled survey (Selasa, 14 Mei 2012) khususnya di lingkungan RW 01


Cisalak Pasar, pemukiman warga di RW 01 tampak padat, mayoritas merupakan
rumah pribadi, dan merupakan bangunan permanen. Terdapat beberapa rumah
kontrakan satu pintu yang seluruhnya dihuni oleh warga pendatang. Sebagian
besar memiliki halaman depan atau teras walaupun tidak luas. Karena padatnya
perumahan, dan wilayah yang tidak terlalu luas, pencahayaan sinar matahari tidak
masuk pada sebagian besar rumah. Tempat pembuangan sampah umum tidak
terlihat dan mayoritas masyarakat tidak memiliki tempat pembuangan sampah
permanen di depan rumah, biasanya hanya menggunakan kardus atau plastik yang
selanjutnya diangkut oleh petugas kebersihan yang dikelola oleh RW. Ada juga
warga yang membakar sampah dedaunan yang berserakan di halaman atau di
pinggir jalan. Masih terdapat sampah berserakan di jalan-jalan maupun selokan di
wilayah RW 01 padahal terdapat tong-tong sampah di pinggir jalan.

Sumber air yaitu sumur dimana keadaan air yang digunakan masyarakat pada
umumnya jernih, tidak berbau, dan tidak berasa atau bisa dikatakan sehat. Saluran

Universitas Indonesia
77

air di lingkungan RW 01 terdapat di sepanjang pinggir jalanan, sebagian besar


terlihat bersih, namun beberapa jalanan terdapat selokan-selokan yang terdapat
sampah, terutama saat hujan akan terlihat genangan-genangan kehitaman dan
beberapa sampah air di selokan-selokan dan beberapa lubang dijalanan raya.

Kondisi tanah pemukiman warga RW 01 cukup subur, terdapat dibeberapa lahan


yang belum didirikan bangunan, ditanami dengan tanaman singkong, sedangkan
tumbuhan permanen yang banyak ditemukan di lingkungan warga RW 01 adalah
pohon rambutan. Kondisi lingkungan secara umum bebas dari polusi udara dan
suara, warga masyarakat mengatakan tidak ada masalah dengan udara dan suara
di lingkungan. Sumber kebisingan berasal dari kendaraan yang lewat dan hanya
beberapa saja, karena hanya kendaraan minibus saja yang mendapat akses ke
jalanan di sekitar RW 01, namun terkadang ada truk yang masuk melewati jalanan
RW 01 yang menjadi penghubung dengan perumahan Pondok Cibubur.

Warga RW 01 tidak memiliki kebiasaan membuka jendela tiap pagi. Menurut


beberapa warga karena jika jendela dibuka udara akan terasa panas, takut
rumahnya kecurian dan dimasuki oleh kucing. Warga menambahkan jika pagi
aktivitas yang dilakukan banyak di luar rumah, seperti bekerja. Jika warga tidak
bekerja biasanya hanya sebagai ibu rumah tangga. Para ibu rumah tangga juga
jika pagi memliki aktivitas untuk pergi ke pasar atau mengantar anak sekolah,
sehingga para warga lebih memilih untuk menutup jendelanya dengan rapat.
Beberapa rumah juga tampak tidak dibuka jendelanya dikarenakan sudah
dimatikan dan jendela permanen yang hanya sebagai hiasan sehingga tidak bisa
dibuka kembali. Kondisi rumah di RW 01 hampir semuanya lembab dan lantai
rumah terbuat dari ubin.

Daerah RW 01 khususnya RT 01, RT 02, dan RT 06 terdapat beberapa lahan


terbuka yang cukup luas. Jumlahnya kurang lebih 10 buah tanah lapang.
Pemanfaatannya antara lain untuk kebun, lapangan bulu tangkis, lapangan futsal,
tempat sampah, lapangan bermain, dan ada juga yang hanya digunakan untuk

Universitas Indonesia
78

tempat menjemur pakaian. Kepemilikan tanah-tanah tersebut bervariasi, baik


pribadi dan umum.

Masalah kesehatan yang paling menonjol di daerah RW 01 adalah TB paru. Hal


ini terbukti dari hasil pengkajian Puskesmas Cimanggis didapatkan jumlah
penderita TB yang berobat yang berasal dari Kelurahan Cisalak Pasar sebanyak
32 orang. Sepuluh orang diantaranya atau (31,2%) berasal dari RW 01. Hasil
Skrining yang dilakukan mahasiswa profesi pada tanggal 14-16 Mei 2013 di RW
01 Kelurahan Cisalak Pasar ditemukan ada 20 orang yang merupakan pederita TB
yang sedang berobat, putus obat dan resiko tinggi penderita TB. Kasus kematian
akibat TB di RW 01 belum pernah dilakukan pendataan.

Hasil wawancara kepada salah satu kader yang berasal dari RT 06/RW 01 warga
RW 01 belum pernah mendapatkan penyuluhan sebelumnya terkait penyakit TB
baik oleh pihak puskesmas atau instansi terkait lainya. Tingkat pengetahuan
warga terkait pengetahuan TB telah dilakukan pengkajian pada Hari Selasa, 14
Mei 2013 dimana pada hari tersebut diadakan penyuluhan terkait pengenalan
penyakit TB yang diadakan oleh mahasiswa residensi komunitas FIK UI. Hasil
pre test terkait pengetahuan warga tentang penyakit TB yang dilakukan sebelum
penyuluhan kepada 10 orang peserta didapatkan nilai rata-rata sebesar 7,9.

Permasalahan penyakit TB sudah menjadi program prioritas pelayanan kesehatan


di Puskesmas Cimanggis yang melayani masyarakat dari Cisalak Pasar. Akan
tetapi kepedulian lintas sektor yang lain masih dirasakan kurang. Program TB di
Puskesmas Cimanggis yang sudah berjalan yaitu pelayanan langsung ke penderita
TB di poli TB dan mengingatkan penderita TB melalui pesan singkat apabila tidak
mengambil obat pada waktu yang telah ditentukan. Kunjungan rumah pada
penderita TB terutama di Cisalak Pasar belum ada dan juga belum ada program
tentang penanganan TB dari Puskesmas Cimanggis seperti penyuluhan dan belum
terlihat media yang menyampaikan tentang pesan terkait masalah penyakit TB
terutama di RW 01 Cisalak Pasar, namun sudah terbentuk kader-kader kesehatan
TB di RW 01 dan telah diberikan pelatihan sebanyak dua kali oleh mahasiswa

Universitas Indonesia
79

residen. Kader-kader kesehatan tersebut sangat aktif untuk melakukan penemuan


kasus baru atau memfasilitasi penderita TB untuk mengunjungi pelayanan
kesehatan. Tidak banyak pusat pelayanan kesehatan yang terdapat di wilayah RW
01, namun masyarakat RW 01 biasanya akan mengunjungi Pusat Pelayanan
kesehatan Puskesmas Cimanggis, Mekar Sari, Praktik Bidan, dan Rumah Sakit
Tugu, atau beberapa praktek dokter 24 jam.

4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep terkait Keperawatan


Kesehatan Masyarakat Perkotaan dan Konsep Kasus Terkait
Kelurahan Cisalak Pasar, khususnya RW 01 merupakan daerah kawasan
perkotaan (urban). Hal ini dibuktikan oleh pendapat Bintarto (2000) bahwa
Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.

Masalah TB paru merupakan masalah kesehatan yang paling menonjol di RW 01


dan merupakan masalah epidemi yang merupakan keadaan dimana suatu masalah
kesehatan (umumnya penyakit) yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam
waktu yang singkat berada dalam frekuensi yang meningkat, (Budiarto, 2003).
Mengatasi masalah TB paru ini perawat melakukan pendekatan menggunakan
model konsep Betty Neuman.

Sesuai dengan konsep Betty Neuman, RW 01 ini merupakan klien dan


penggunaan proses keperawatan sebagai pendekatan. Kumpulan individu/
keluarga di RW 01 merupakan “core“ dari asuhan keperawatan komunitas yang
diberikan oleh perawat. Konsep antara at risk dan vulnerability terkadang sulit
untuk dipahami secara keseluruhan oleh perawat karena banyaknya faktor yang
mempengaruhi keduanya (Fitzpatrick, Villaruel, & Porter, 2004 ).

Konsep at risk disini merupakan kondisi kesehatan warga RW 01 merupakan hasil


dari interaksi dengan berbagai macam faktor, seperti faktor genetik, gaya hidup,

Universitas Indonesia
80

serta kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial dimana individu tersebut
tinggal atau bekerja. Risk factor merupakan karakteristik warga RW 01 seperti
umur, jenis kelamin, dan genetik. Population at factor merupakan kumpulan dari
orang-orang yang memiliki beberapa kemungkinan yang telah jelas teridentifikasi
atau telah ditentukan meskipun sedikit atau kecil terhadap munculnya suatu
peristiwa, misalnya penderita TB di RW 01. Vulnerable population group disini
merupakan sekelompok orang dari RW 01 yang memiliki masalah kesehatan yang
lebih kompleks dibandingkan dengan masalah TB di RW 01.

Masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


penting sama seperti halnya masalah TB di RW 01. Faktor yang mempengaruhi
sehat sakit di RW 01 diadaptasi dari teori gordon and le rich, dimana pejamu
(host)/inang yaitu segala faktor yang terdapat dalam diri manusia yg
mempengaruhi timbulnya penyakit, misalnya imunitas, aktivitas, gaya hidup.
Bibit penyakit (agent) yaitu substansi atau elemen yang apabila ia ada atau tidak
ada dapat menimbulkan atau menggerakkan timbulnya penyakit, misalnya bakteri,
jamur, dan virus. Lingkungan (environment) yaitu seluruh kondisi yang
mempengaruhi (Rekawati, 2011).

Masalah TB paru di RW 01 disebabkan oleh faktor risiko yang berperan penting


dalam penularan penyakit TB diantaranya faktor kependudukan dan faktor
lingkungan. Faktor kependudukan diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status
gizi, dan kondisi sosial ekonomi, sedangkan faktor lingkungan diantaranya
lingkungan dan ketinggian wilayah untuk lingkungan meliputi kepadatan
penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian
wilayah (Ahmadi, 2005). Penelitian Chapman et al (1993, dalam Nelson 2005)
mengatakan bahwa faktor lingkungan dan sosial, kepadatan penghuni, serta
kemiskinan berperan dalam timbulnya kejadian TB.

Faktor kependudukan di RW 01 yaitu warga memiliki jumlah penduduk 2587


kepala keluarga yang terdiri dari 1338 jiwa laki-laki dan 1249 jiwa perempuan.
Terlihat jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak

Universitas Indonesia
81

dibandingkan dengan perempuan. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya TB


di RW 01. Sesuai dengan yang dipaparkan oleh WHO (2005, dalam Hiswani
2009) yang menyatakan bahwa penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada
laki-laki dibandingkan perempuan. Angka kejadian TB paru pada laki-laki lebih
tinggi karena merokok dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem
pertahanan tubuh sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB paru.
Penelitian Herryanto (2004) juga memaparkan bahwa proporsi kejadian TB paru
menurut jenis kelamin, laki laki sebesar 54,5 % dan perempuan sebesar 45,5 %
yang menderita TB paru. Hasil penelitian dari WHO (2006) melaporkan
prevalensi tuberkulosis paru 2,3% lebih banyak pada laki-laki dibanding wanita
terutama pada negara yang sedang berkembang karena laki-laki dewasa lebih
sering melakukan aktivitas sosial. Faktor kependudukan selanjutnya adalah usia.

Warga RW 01 mayoritas penduduknya rata-rata usia produktif (15-50 tahun). Hal


ini juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB paru di RW 01 yang
didukung oleh pendapat Hiswani (2009) penyakit tuberkulosis yang paling sering
ditemukan pada usia muda atau usia produktif 15-50 tahun, dengan ini terjadinya
transisi demografi saat ini menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih
tinggi. pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun,
sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit tuberkulosis
paru. Penduduk RW 01 yang mayoritas berada pada usia produktif yang
kebanyakan usia tersebut digunakan untuk bekerja.

Warga RW 01 sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh pabrik, dan


wiraswasta yang memiliki pendapatan > Rp 1.000.000. Warga masyarakat RW
01 jarang yang pengangguran, jika tidak memiliki pekerjaan tetap sebagian besar
mengisi waktu dengan mengojek di sekitar wilayah RW 01. Keluarga dengan
pendapatan rendah akan cenderung sulit memperoleh makanan yang begizi dan
memelihara kesehatan secara baik, sehingga sangat rentan tertular penyakit TB
(Amira, 2005). TB bisa menyerang siapa pun, warga miskin perkotaan adalah
kelompok masyarakat paling rentan terserang tuberkulosis. Kepala Subdirektorat
Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Dyah Erti Mustikawati di sela-sela

Universitas Indonesia
82

lokakarya Resisten Multiobat Tuberkulosis (Tb-MDR) di Jakarta mengatakan


bahwa kuman tuberkulosis dalam tubuh masyarakat dengan ekonomi lebih baik
jarang menjadi aktif karena mereka punya daya tahan tubuh lebih baik (Health
Kompas, 2012). Jenis pekerjaan ini juga mempengaruhi keadaan perekonomian
seseorang dan kemudian akan berdampak terhadap pola makan setiap hari, dan
pemeliharaan kesehatan.

Status ekonomi warga RW 01 mayoritas ekonomi menengah ke bawah. Kondisi


ekonomi warga RW 01 ini juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB
paru. WHO (2007) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Pendapatan keluarga sangat erat
juga dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak
dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan. Rajagukguk (2008) juga
menyatakan bahwa makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga
nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya
tahan tubuh mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular tuberkulosis. Jenis
pekerjaan juga menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu.
Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu, paparan partikel debu di daerah
terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan seperti
TB. Status ekonomi merupakan faktor kependudukan terakhir yang dapat
mempengaruhi angka kejadian TB, selain itu faktor lingkungan juga sangat
berpengaruh pada penularan dan angka kejadian TB paru.

Faktor lingkungan kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan,


suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah juga berpengaruh terjadinya TB di
perkotaan. Pemukiman warga di RW 01 tampak padat, mayoritas merupakan
rumah pribadi, dan merupakan bangunan permanen. Terdapat beberapa rumah
kontrakan satu pintu yang seluruhnya dihuni oleh warga pendatang. Sebagian
besar memiliki halaman depan atau teras walaupun tidak luas. Karena padatnya
perumahan, dan wilayah yang tidak terlalu luas, pencahayaan sinar matahari tidak
masuk pada sebagian besar rumah. Penyakit TB paru yang juga dipengaruhi oleh
faktor lingkungan terutama lingkungan dalam rumah serta perilaku penghuni

Universitas Indonesia
83

dalam rumah karena dapat mempengaruhi kejadian penyakit, kontruksi dan


lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko
sumber penularan berbagai penyakit infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran
Pernapasan Akut) dan TB Paru (Depkes, 2007). Kuman tuberkulosis mudah
menular pada lingkungan pengap, dalam ruangan dengan ventilasi udara kurang,
serta paparan sinar matahari rendah (Health Kompas, 2012). Rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB seperti
hasil penelitian Dahlan (2000) mengatakan bahwa pencahayaan, ventilasi yang
buruk dan kepadatan penghuni yang tinggi merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian penyakit TB.

Hunian rumah yang padat pada RW 01 menyebabkan kurangnya konsumsi


oksigen bila salah satu anggota hunian terkena penyakit infeksi, akan mudah
menular kepada anggota keluarga yang lain. Semakin padat maka perpindahan
penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan
cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA positif.
Daerah perkotaan (urban) seperti RW 01 Cisalak Pasar yang lebih padat
penduduknya dibandingkan di pedesaan (rural), peluang terjadinya kontak dengan
penderita TB akan lebih besar, sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil
kemungkinannya. Selain hunian yang padat, kebiasaan warga untuk membuka
jendela juga mempengaruhi angka kejadian TB.

Kebiasaan warga RW 01 yang tidak membuka jendela tiap pagi karena berbagai
alasan jika jendela dibuka udara akan terasa panas, takut rumahnya kecurian dan
dimasuki oleh kucing. Beberapa rumah juga tampak tidak dibuka jendelanya
dikarenakan sudah dimatikan dan jendela permanen yang hanya sebagai hiasan
sehingga tidak bisa dibuka kembali. Kondisi rumah di RW 01 hampir semuanya
lembab dan lantai rumah terbuat dari ubin. Kebiasaan warga RW 01 ini sangat
mempengaruhi terjadinya TB di RW 01. Ventilasi cukup menjaga agar aliran
udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang
diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga dan menjaga dalam kelembaban
(humidity) yang optimum. Kelembaban merupakan media yang baik untuk

Universitas Indonesia
84

bakteri-bakteri patogen (penyebab penyakit). Menurut Slamet (2000) untuk


sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10%
dari luas lantai. Ventilasi yang kurang tersebut mempengaruhi cahaya matahari
yang masuk.

Cahaya matahari juga kurang di RW 01 dikarenakan kebiasan warga RW 01


jarang membuka jendela. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap, sehingga
perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap. Hal ini sependapat
dengan penelitian Yoga (2007), TB juga mudah menular pada mereka yang
tinggal di perumahan padat, kurang sinar matahari dan sirkulasi udaranya
buruk/pengap, namun jika ada cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman TB hanya
bisa bertahan selama 1-2 jam. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian
TB ini juga tidak lepas dari pengetahuan warga RW 01 terhadap penyakit TB.

Warga RW 01 belum pernah mendapatkan penyuluhan sebelumnya terkait


penyakit TB baik oleh pihak puskesmas atau instansi terkait lainya. Tingkat
pengetahuan warga terkait pengetahuan TB telah dilakukan pengkajian pada Hari
Selasa, 14 Mei 2013 dimana pada hari tersebut diadakan penyuluhan terkait
pengenalan penyakit TB yang diadakan oleh mahasiswa residensi komunitas FIK
UI. Hasil pre test terkait pengetahuan warga tentang penyakit TB yang dilakukan
sebelum penyuluhan kepada 10 orang peserta didapatkan nilai rata-rata sebesar
7,9. Belum ada program tentang penanganan TB dari Puskesmas Cimanggis
seperti penyuluhan dan belum terlihat media yang menyampaikan tentang pesan
terkait masalah penyakit TB terutama di RW 01 Cisalak Pasar, namun sudah
terbentuk kader-kader kesehatan TB di RW 01 dan telah diberikan pelatihan
sebanyak dua kali oleh mahasiswa residen. Kurangnya informasi tentang penyakit
TB paru menyebabkan kurangnya pengertian kepatuhan penderita terhadap
pengobatan atau berhenti bila gejala penyakit tidak dirasakan lagi (Anugerah,
2007). Hal ini juga merupakan salah satu penyebab tingginya angka kejadian TB
di RW 01 dan tidak terlepas dari upaya penanganan dan penanggulangan TB dari
Puskesmas Cimanggis.

Universitas Indonesia
85

Upaya penanganan dan pemberantasan TB paru telah dilakukan oleh Puskesmas


Cimanggis berdasarkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi
DOTS. Program TB di Puskesmas Cimanggis yang sudah berjalan yaitu
pelayanan langsung ke penderita TB di poli TB dan mengingatkan penderita TB
melalui pesan singkat apabila tidak mengambil obat pada waktu yang telah
ditentukan. Seperti halnya fokus utama DOTS adalah penemuan dan
penyembuhan pasien, dengan prioritas pasien TB tipe menular. Strategi ini akan
memutuskan penularan TB dan diharapkan menurunkan insidens TB di
masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik
dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes, 2007).

Penderita TB yang berobat ke Puskesmas Cimanggis khususnya yang berasal dari


Cisalak Pasar diberikan obat dengan gratis. Seseorang yang sakit TB dapat
disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur. Obat disediakan
oleh pemerintah secara gratis di sarana pelayanan kesehatan yang telah
menerapkan strategi Dots (Directly Observed Tretment Short course) seperti di
Puskesmas, Balai pengobatan Penyakit Paru dan beberapa rumah sakit (Yoga,
2007). Pemberian panduan OAT didasarkan pada klasifikasi TB paru. Prinsip
pengobatan TB paru adalah obat TB yang diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin, Etambutol)
dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman
(termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan tahap
lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Tahap
intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu dua minggu. sebagian besar penderita TB paru BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap
lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2003).

Universitas Indonesia
86

Program TB yang sudah dicanangkan oleh Puskesmas Cimanggis dengan


memberikan pengobatan gratis ini juga kemungkinan belum terlalu diketahui oleh
warga RW 01, sehingga banyak RW 01 yang tidak berobat. Program
pemberantasan TB yang telah dilaksanakan melalui paket program, namun di
puskesmas belum secara efektif dapat menjangkau seluruh masyarakat atau
penderita. Hal ini sependapat dengan Helper, dkk (2009) juga mengemukakan
bahwa sampai saat ini masih ada anggota masyarakat yang belum mengetahui ada
program pelayanan kesehatan TB paru gratis di Puskesmas. Hasil survei
prevalensi tuberculosis (2004) menunjukkan bahwa lebih dari 80 % responden
ternyata tidak mengetahui adanya program obat anti TB gratis dan hanya 19 %
yang mengetahui adanya pemberian obat anti TB gratis (Depkes. 2004).
Rendahnya pengetahuan ini akan menghambat penderita TBC mencari
pengobatan gratis atau menjadi penyebab putus berobat. Hal ini juga yang
meningkatkan angka kejadian TB khususnya di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar,
Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Hal ini membuat perawat harus berperan
dalam keperawatan kesehatan perkotaan yang berdasarkan dari Stanhope &
Lancaster (2004).

Ruang lingkup praktik keperawatan masyarakat meliputi upaya-upaya


peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), pemeliharaan
kesehatan dan pengobatan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) dan
mengembalikan serta memfungsikan kembali baik individu, keluarga, kelompok
dan masyarakat ke lingkungan sosial dan masyarakatnya (resosialisasi). Kegiatan
praktik keperawatan komunitas yang dilakukan perawat mempunyai lahan yang
luas dan tetap menyesuaikan dengan tingkat pelayanan kesehatan wilayah kerja
perawat, tetapi secara umum kegiatan praktik keperawatan komunitas adalah
sebagai berikut pertama yaitu memberikan asuhan keperawatan langsung kepada
individu, keluarga, kelompok khusus baik di rumah (home nursing), di sekolah
(school health nursing), di perusahaan, di Posyandu, di Polindes dan di daerah
binaan kesehatan masyarakat. Hal ini telah dilakukan oleh mahasiswa dengan
memberikan asuhan keperawatan langsung pada keluarga dan individu yang
terkena TB paru.

Universitas Indonesia
87

Kedua penyuluhan/pendidikan kesehatan masyarakat dalam rangka merubah


perilaku individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Penyuluhan/ pendidikan
kesehatan masyarakat tentang TB paru telah dilakukan di RW 01, serta telah
dilakukan gerakan buka jendela dan pintu dalam rangka merubah perilaku
individu, keluarga dan masyarakat. Ketiga konsultasi dan pemecahan masalah
kesehatan yang dihadapi. Warga RW 01 sangat aktif bertanya dan
mengkonsultasikan keluhan kepada mahasiswa atau ke kader-kader kesehatan RW
01 guna untuk memecahkan masalah yang telah dihadapi. Keempat bimbingan
dan pembinaan sesuai dengan masalah yang mereka hadapi. Bimbingan dan
pembinaan terkait masalah TB paru telah dilakukan ke kader-kader kesehatan RW
01 sehingga kader-kader ini mampu memecahkan masalah TB paru yang banyak
dialami di RW 01.

Kelima melaksanakan rujukan terhadap kasus-kasus yang memerlukan


penanganan lebih lanjut. Rujukan terhadap kasus-kasus seperti putus obat dan
penemuan kasus baru penderita TB telah dilakukan dengan berkoordinasi dengan
mahasiswa spesialis komunitas dan pihak Puskesmas Cimanggis untuk
memfasilitasi pemeriksaan BTA ataupun pengambilan OAT. Permasalahan
penyakit TB sudah menjadi program prioritas pelayanan kesehatan di Puskesmas
Cimanggis yang melayani masyarakat dari Cisalak Pasar.

Keenam penemuan kasus pada tingkat individu, keluarga, kelompok dan


masyarakat. Hal ini sangat berkaitan dengan skrining TB paru yang dilakukan
oleh mahasiswa bersama kader-kader kesehatan di RW 01. Hasil Skrining yang
dilakukan mahasiswa profesi pada tanggal 14-16 Mei 2013 di RW 01 Kelurahan
Cisalak Pasar ditemukan ada 20 orang yang merupakan pederita TB yang sedang
berobat, putus obat dan resiko tinggi penderita TB. Kasus kematian akibat TB di
RW 01 belum pernah dilakukan pendataan. Penemuan kasus bertujuan untuk
mendapakan kasus TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan
terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratories, menentukan diagnosis
dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat

Universitas Indonesia
88

dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada


orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan adanya
pasien yang memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap fasilitas
kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu melakukan
pemeriksan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien merupakan
langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan
penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan
kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus
merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat
(Kemenkes, 2011).

Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, didukung
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,
untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua
layanan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi
keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif pada masyarakat umum, dinilai
tidak cost efektif (Kemenkes, 2011). Penemuan secara aktif dilakukan terhadap
kelompok yang rentan tertular TB seperti mereka yang hidup pada daerah kumuh,
serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA
positif, pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus
dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau
pegobatan pencegahan dan kontak dengan pasien TB resistan obat, penerapan
manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan tanda yang sama
dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis.

Ketujuh sebagai penghubung antara masyarakat dengan unit pelayanan kesehatan.


Memfasilitasi pasien-pasien dengan TB paru di RW 01 untuk melakukan
pemeriksaan ataupun pengobatan di Puskesmas Cimanggis. Tidak banyak pusat
pelayanan kesehatan yang terdapat di wilayah RW 01, namun masyarakat RW 01
biasanya akan mengunjungi Pusat Pelayanan kesehatan Puskesmas Cimanggis,

Universitas Indonesia
89

Mekar Sari, Praktik Bidan, dan Rumah Sakit Tugu, atau beberapa praktek dokter
24 jam.

Kedelapan melaksanakan asuhan keperawatan komuniti, melalui pengenalan


masalah kesehatan masyarakat, perencanaan kesehatan, pelaksanaan dan penilaian
kegiatan dengan menggunakan proses keperawatan sebagai suatu usaha
pendekatan ilmiah keperawatan. Hal ini sesuai dengan perencanaan yang sudah
dilakukan oleh mahasiswa untuk melakukan asuhan keperawatan komunitas
dengan masalah keperawatan utama risiko peningkatan angka kejadian TB paru di
RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.

Kesembilan mengadakan koordinasi di berbagai kegiatan asuhan keperawatan


komuniti. Kesepuluh Mengadakan kerjasama lintas program dan lintas sektoral
dengan instansi terkait dan terakhir memberikan ketauladanan yang dapat
dijadikan panutan oleh individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang
berkaitan dengan keperawatan dan kesehatan. kepedulian lintas sektor masih
dirasakan kurang di RW 01. Hal yang kesembilan dan kesepuluh tersebut belum
dilakukan oleh mahasiswa dan ini menjadi rencana tindak lanjut yang bisa
dilaksanakan oleh mahasiswa spesialis komunitas yang sedang praktik di RW 01
ataupun mahasiswa selanjutnya yang akan praktik di wilayah RW 01 Cisalak
Pasar dan koordinasi ke Puskesmas Cimanggis.

4.3 Analisis Inhalasi Sederhana dan Batuk Efektif dengan Konsep dan
Penelitian Terkait
Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik,
kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses
pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal, sehingga mukus ini banyak
tertimbun dan bersihan jalan nafas akan tidak efektif. Membran mukosa akan
terangsang, dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intrathorakal dan intra
abdominal yang tinggi, jika hal tersebut terjadi. Udara keluar dengan akselerasi
yang cepat beserta membawa sekret mukus yang tertimbun ketika dibatukkan.
Mukus tersebut akan keluar sebagai dahak. Hal ini juga merupakan masalah

Universitas Indonesia
90

keperawatan yang utama pada kakek A yaitu ketidakefektifan bersihan jalan


napas. Dampak dari pengeluaran dahak yang tidak lancar akibat ketidakefektifan
jalan nafas adalah penderita mengalami kesulitan bernafas dan gangguan
pertukaran gas di dalam paru paru yang mengakibatkan timbulnya sianosis,
kelelahan, apatis serta merasa lemah. Tahap selanjutnya akan mengalami
penyempitan jalan nafas sehingga terjadi perlengketan jalan nafas dan terjadi
obstruksi jalan nafas (Nugroho, 2011), sehingga untuk mengatasi hal ini diberikan
intervensi keperawatan unggulan berupa inhalasi sederhana dan batuk efektif.
Sesuai dengan Prince (2000) bahwa pengeluaran dahak dapat dilakukan dengan
membatuk akan lebih mudah dan efektif bila diberikan penguapan atau inhalasi
sederhana.

Inhalasi sederhana adalah menghirup uap hangat dari air mendidih telah ditetesi
minyak penghangat, misalnya minyak kayu putih (Akhavani, 2005). Inhalasi
merupakan salah satu cara yang diperkenalkan dalam penggunaan metode terapi
yang paling sederhana dan cepat. Inhalasi sederhana ini diberikan ke kakek A
dengan tujuan mengencerkan sputum yang kental, susah dikeluarkan oleh kakek
A dan juga mengurangi sesak. Hal ini sejalan dengan Rasmin, dkk (2001) yang
menyatakan bahwa terapi inhalasi biasanya ditujukan umtuk mengatasi
bronkospasme, mengencerkan sputum, menurunkan hipereaktivitas bronkus serta
mengatasi infeksi. Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan
asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), tuberkulosis, fibrosis kistik,
keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket, pasien sesak
nafas dan batuk. Kontraindikasi mutlak pada inhalasi tidak ada. Indikasi relatif
pada pasien dengan alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan (Rasmin dkk,
2001).

Teknik pemberian inhalasi sederhana yang diajarkan ke kakek A diadaptasi dari


beberapa literatur yaitu terlebih dahulu membuat corong dari sebuah kertas yang
digulung, adalah cara yang baik untuk menghirup uap dari mangkuk. kemudian
menempatkan air mendidih dengan suhu 42oC -44oC dalam mangkuk, dihirup
selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari dan minyak kayu putih ditambahkan

Universitas Indonesia
91

ke air panas tersebut untuk meningkatkan efektifitas (Wong, 2008). Penelitian


yang dilakukan Singh (2004) bertujuan untuk menilai efek dari menghirup uap air
panas dengan bantuan sebuah alat yang dirancang untuk memberikan uap air
panas ke rongga hidung. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian
inhalasi sederhana efektif, akan tetapi penelitian lain terkait pemberian inhalasi
sederhana diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Handley, Abbott,
Beasley dan Gwaltney ( dalam Nuraeni, 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pemberian inhalasi uap melalui hidung tidak berpengaruh pada pelepasan
virus yang dilakukan pada kelompok intervensi. Hal ini juga didukung oleh
penyataan Karnaen (2011) bahwa penguapan secara tradisional atau inhalasi
sederhana ini hanya berfungsi untuk melonggarkan saluran napas, bukan untuk
mengeluarkan lendir, karena bahan-bahan dalam minyak kayu putih yang terhirup
melalui uap air panas itu tidak mengandung zat penghancur lendir, sehingga
tindakan inhalasi terbukti kurang efektif untuk mengeluarkan dahak sehingga
bersihan jalan napas menjadi efektif, sehingga tindakan inhalasi sederhana
dikombinasikan dengan batuk efektif untuk mengatasi ketidakefektifan bersihan
jalan napas pada kakek A.

Batuk efektif adalah tindakan yang diperlukan untuk membersihkan dahak


(Hudak & Gallo, 2000). Batuk efektif ini juga merupakan bagian tindakan
keperawatan untuk pasien dengan gangguan penapasan akut dan kronis (Kisner &
Colby, 1999 dalam Nugroho 2011). Indikasi batuk efektif adalah pada pasien
seperti bronkitis kronik, asma, TB paru, pneumonia dan emfisema. Batuk efektif
ini diajarkan ke kakek A karena tidak terdapat kontraindikasi seperti yang
dijelaskan oleh Wilson (2006), dimana kontraindikasi batuk efektif adalah tension
pneumotoraks, hemoptisis, gangguan sistem kardiovaskuler seperti hipotensi,
hipertensi, infark miokard akut infark dan aritmia, edema paru dan efusi yang
luas.

Batuk efektif yang baik dan benar dapat mempercepat pengeluaran dahak pada
pasien dengan gangguan saluran pernafasan. Teknik batuk efektif yang diajarkan
ke kakek A merupakan tindakan yang dilakukan untuk membersihkan sekresi dari

Universitas Indonesia
92

saluran nafas. Caranya batuk efektif diadaptasi dari Depkes (2007) adalah
sebelum dibatukkan, klien dianjurkan untuk minum air hangat dengan
rasionalisasi untuk mengencerkan dahak namun minum air hangat ini diganti
menjadi tindakan inhalasi sederhana menggunakan minyak kayu putih dengan
rasionalisasi untuk mengencerkan dahak, setelah itu dianjurkan untuk inspirasi
dalam. Hal ini dilakukan selama dua kali, kemudian setelah inspirasi yang ketiga,
anjurkan klien untuk membatukkan dengan kuat (Depkes, 2007).

Terapi Inhalasi sederhana dan batuk efektif dilakukan selama 4 minggu dan
diharapkan bersihan jalan napas kakek A menjadi efektif yang ditandai dengan
sesak berkurang atau hilang, mudah mengeluarkan dahak, Respiratory Rate (RR)
dalam rentang normal (20 kali/menit), tidak ada penggunaan otot bantu napas,
tidak ada retraksi dinding dada, dan bunyi napas ronchi berkurang atau hilang
(Wilkinson, 2012). Pemberian terapi inhalasi sederhana dan batuk efektif pada
Kakek A selama 4 minggu didapatkan evaluasi terakhir yaitu sesak sedikit
berkurang, dahak menjadi encer dan mudah dikeluarkan, dahak berwarna putih,
jumlah dahak banyak, batuk sesekali, RR: 23 kali/menit, pemeriksaan paru
didapatkan pada saat inspeksi dinding dada simetris, tidak ada pembengkakan,
tidak ada penggunaan otot bantu napas, tidak terdapat retraksi dinding dada dan
tidak ada lesi. Auskultasi paru didapatkan ronchi basah kasar di semua lapang
paru, suara napas ronchi tanpa auskultasi, tidak ada wheezing, Hasil palpasi paru
yaitu tactile fremitus dan perkusi paru yaitu sonor.

Hasil evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian,


karena bersihan jalan napas belum efektif yang ditandai masih ada sesak sedikit
namun berkurang. Sesak yang berkurang ini dikarenakan tindakan inhalasi
sederhana bekerja langsung pada sumber pernapasan yaitu paru-paru (Karnaen,
2011). Cara kerja inhalasi sederhana ini adalah uap masuk dari luar tubuh ke
dalam tubuh, dengan mudah akan melewati paru-paru dan dialirkan ke pembuluh
darah melalui alveoli (Buckle, 1999 dalam Nuraeni 2012). Inhalasi sederhana
yang telah dilakukan kemudian dilakukan batuk efektif seperti yang telah
diajarkan ke kakek A yang merupakan tindakan yang dilakukan untuk

Universitas Indonesia
93

membersihkan sekresi dari saluran nafas. Jumlah dahak yang dikeluarkan oleh
kakek A disini sudah banyak dan mudah dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan efek
teraupetik dari inhalasi sederhana yang berguna untuk mengencerkan lendir yang
menyumbat saluran pernapasan dan berguna sebagai ekspektoran alami dan
penekan batuk (Crinion, 2007). Lendir yang encer kemudian dibatukkan agar
dahak yang keluar lebih banyak dan dengan batuk efektif penderita tuberkulosis
paru tidak harus mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan sekret
(Subrata, 2006). Hal ini juga sependapat dengan hasil penelitian Nugroho (2011)
ada pengaruh sebelum dan sesudah batuk efektif terhadap pengeluaran dahak pada
pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Bunyi ronchi basah kasar
masih terdengar jelas di semua lapang paru tanpa auskultasi pun juga masih
terdengar, hal ini disebabkan akumulasi sekret di dalam paru masih sangat
banyak. Hal ini membuktikan inhalasi sederhana tidak terlalu efektif dalam
pengeluaran sekret yang berlebihan sehingga hal ini masih mempengaruhi
frekuensi napas.

Frekuensi napas/ RR kakek A masih belum dalam rentang normal, namun RR


sebelum diberikan intervensi dan setelah diberikan intervensi mengalami
penurunan. Hal ini dikarenakan masih banyak mukus yang belum dikeluarkan dan
yang mengakibatkan sesak sehingga RR menjadi lebih cepat. Penurunan RR/
frekuensi napas pada kakek A sesuai dengan penelitian Nuraeni (2012) bahwa
pemberian inhalasi sederhana dapat menurunkan frekuensi napas walaupun tidak
bermakna. Hal ini dikarenakan pelaksanaan inhalasi sederhana hanya dilakukan
satu kali selama sepuluh menit sedangkan penelitian Singh (2004) dilakukan
sebanyak empat kali sehari selama 10-15 menit. Hal ini juga sesuai dengan yang
dijelaskan dalam panduan inhalasi (Wong, 2008). Penelitian terbaru dengan
menggunakan arformoterol inhalation solution pada jenis nebulizer jet standar
adalah 6 menit (Cipla, 2010), sehingga inhalasi sederhana ini menjadi tidak
bermakna yaitu dapat disebabkan oleh alat, tempat yang digunakan dan prosedur
yang kurang tepat.

Universitas Indonesia
94

Keberhasilan inhalasi sederhana dan batuk efektif pada kakek A juga terlihat
dengan tidak adanya penggunaan otot bantu napas dan retraksi dinding dada,
berbeda dengan sebelum dilakukan intervensi. Hal ini dikarenakan sesak sudah
berkurang sehingga tidak ada ada penggunaan otot bantu napas ataupun retraksi
dinding dada, sebagai usaha yang dilakukan oleh kakek A untuk bernapas lebih
efektif.

Tindakan inhalasi sederhana dan batuk efektif pada lansia ini hanya tidak seefektif
seperti pada usia muda. Hal ini dikarenakan berbagai perubahan fisik yang terjadi
pada lansia yang meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ
tubuh. Salah satu diantaranya yaitu sistem pernapasan. Perubahan sistem
pernapasan pada lansia yaitu otot pernapasan kaku dan kehilangan kekuatan,
penurunan aktivitas silia jumlah udara pernapasan yang masuk keparu mengalami
penurunan, alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang kemampuan batuk
berkurang, sehingga pengeluaran sekret berkurang dan mengalami sumbatan atau
obstruksi (Stanley, 2006). Pemberian inhalasi sederhana dan batuk efektif ini tetap
bermanfaat dan dapat diterapkan untuk mengeluarkan dahak, menurunkan
frekuensi napas, dan mengurangi sesak pada lansia, karena inhalasi sederhana
langsung bekerja pada paru-paru dan pada saat dibatukkan efektif tidak harus
menggunakan banyak tenaga. Selama pemberian terapi inhalasi sederhana
menggunakan minyak kayu putih tidak terdapat reaksi alergi ataupun komplikasi
yang ditunjukkan oleh kakek A yang bisa disebabkan oleh aerosol yang diberikan
dalam jumlah besar, maka dapat menyebabkan penyempitan pada saluran
pernapasan (bronkospasme), disamping itu bahaya iritasi dan infeksi pada jalan
napas, terutama infeksi nosokomial juga dapat terjadi (Rab, 2000).

4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan


Mahasiswa Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan dua bantal
dengan rasionalisasi didapatkan posisi semi fowler untuk meningkatkan ekspansi
paru dan mencukupi kebutuhan oksigen sehingga memberikan kenyamanan. Hal
ini dilakukan karena Kakek A masih merasa sesak napas.

Universitas Indonesia
95

Metode yang paling sederhana dan efektif dalam biaya untuk mengurangi risiko
stasis sekresi pulmonar dan mengurangi risiko penurunan pengembangan dinding
dada yaitu dengan pengaturan posisi saat istirahat. Posisi yang paling efektif bagi
klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dengan derajat
kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu
pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma
(Potter, 2005).

Keefektifan posisi semi fowler dapat dilihat dari Respiratory Rates yang
menunjukkan angka normal yaitu 16-24x per menit pada usia dewasa (Ruth, 2002:
812). Pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian posisi semi fowler itu
sendiri dengan menggunakan tempat tidur orthopedik dan fasilitas bantal yang
cukup untuk menyangga daerah punggung, sehingga dapat memberi kenyamanan
saat tidur dan dapat mengurangi kondisi sesak nafas. Wilkison (1998 dalam
Supadi, dkk 2008) bahwa posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikkan
45º membuat oksigen didalam paru–paru semakin meningkat sehingga
memperingan kesukaran napas. Penurunan sesak napas tersebut didukung juga
dengan sikap pasien yang kooperaktif, patuh saat diberikan posisi semi fowler
sehingga pasien dapat bernafas. Hasil perbedaan tersebut menunjukkan ada
pengaruh pemberian posisi semi fowler terhadap sesak nafas. Hal tersebut berarti
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Supadi, dkk., (2008) bahwa pemberian
semi fowler mempengaruhi berkurangnya sesak nafas sehingga kebutuhan dan
kualitas tidur pasien terpenuhi. Terpenuhinya kualitas tidur pasien membantu
proses perbaikan kondisi pasien lebih cepat. Saat sesak napas pasien lebih nyaman
dengan posisi duduk atau setengah duduk sehingga posisi semi fowler
memberikan kenyamanan dan membantu memperingan kesukaran bernapas.
Menurut Angela (dalam Supadi, dkk., 2008) saat terjadi serangan sesak biasanya
klien merasa sesak dan tidak dapat tidur dengan posisi berbaring. Melainkan harus
dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan
napas dan memenuhi O2 dalam darah. Dengan posisi tersebut pasien lebih rileks
saat makan dan berbicara sehingga kemampuan berbicara pasien tidak terputus –
putus dan dapat menyelesaikan kalimat.

Universitas Indonesia
96

Hasil penelitian Setiawati (2008) rata – rata sesak napas pada responden sebelum
diberikan posisi semi fowler dan sesudah diberikan posisi semi fowler adalah
berbeda secara signifikan. Rata – rata sesak napas sebelum diberikan posisi semi
fowler (12,25) lebih tinggi dari pada responden sesudah diberikan posisi semi
fowler (4,75). Setelah dianalisis didapat nilai Sig. (0,001) < 0,05. dan Z hitung (-
3,196) > Z tabel (1,96), sehingga diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan posisi
semi fowler dapat efektif untuk mengurangi sesak napas pada klien TBC.

Selain pemberian posisi semi fowler, mahasiswa menganjurkan adanya tindak


lanjut dan motivasi dari petugas kesehatan yang bertugas di RW 01 termasuk
kader-kader kesehatan yang sudah diberi pelatihan terkait TB paru. Pemberian
terapi inhalasi sederhana harus rutin dilakukan di rumah selama 10-15 menit
dilakukan 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk efektif. Memotivasi
keluarga kakek A untuk memeriksakan diri ke Puskesmas Cimanggis sehingga
mendapatkan pengobatan.

Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil penulisan yang telah dilakukan selama praktik Profesi Keperawatan
Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) yang dilakukan oleh mahasiswa
profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan UI di RW 01 yang dilaksanakan sejak
Mei hingga Juni 2013, khususnya memberikan asuhan keperawatan keluarga pada
TB paru lansia dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:

5.1.1 TB paru merupakan masalah umum yang terjadi dimasyarakat perkotaan.


Angka TB paru di perkotaan semakin meningkat. Salah satu kota yang memiliki
angka kejadian TB paru yang tinggi ialah kota Depok. Penemuan kasus baru
(Case Detection Rate) di kota Depok dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2012
terus meningkat, akan tetapi masih dibawah target Nasional yaitu sebesar 70%.
Penemuan kasus TB paru di UPT (Unit Pelaksanaan Teknis) Puskesmas
Kecamatan Cimanggis tahun 2011, 182 kasus, mengalami kenaikan pada tahun
2012, 1517 kasus. Penderita TB di kelurahan Cisalak pasar, berdasarkan hasil
pengkajian di Puskesmas Cimanggis, selama tahun 2012 sampai Mei 2013
terdapat 32 orang berobat TB, jumlah tersebut masih jauh diatas dari target
nasional, dimana target untuk kelurahan Cisalak Pasar dalam menemukan kasus
TB baru adalah sebanyak 20 kasus. Dari 32 orang pasien yang terdapat di
kelurahan Cisalak pasar, 10 orang atau 32.1% diantaranya terdapat di RW 01
Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Pasien TB yang
ditemukan berasal dari berbagai usia dan kalangan. Hal ini jelas perlu
diperhatikan khususnya oleh tenaga kesehatan salah satunya perawat. Perawat
komunitas mempunyai peranan penting dalam mengatasi masalah TB paru di
daerah perkotaan.

5.1.2 TB paru pada lansia berbeda dengan TB paru pada usia muda. Tampilan
klinis TB pada lansia tidak khas dan oleh karena itu mungkin tidak diketahui atau

97 Universitas Indonesia
98

salah diagnosis. Gejala TB paru pada orang berusia lanjut juga agak berbeda dari
orang muda. Gejala batuk yang merupakan gejala penting pada TB pada orang
muda ternyata pada usia lanjut kurang menonjol. Biasanya yang lebih sering
dikeluhakan adalah gejala sesak.

5.1.3 Peran perawat komunitas pada karya ilmiah akhir ini tergambar pada asuhan
keperawatan keluarga pada kakek A dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas.
Salah satu hal yang menjadi penyebab kakek A menderita TB paru yaitu kontak
serumah dengan BTA positif, riwayat merokok. TB paru pada kakek A termasuk
di klasifikasi pasien baru. Masalah yang utama di keluhkan kakek A adalah sesak.
Perawat komunitas memiliki tanggung jawab untuk melakukan implementasi
keperawatan dengan membantu keluarga memenuhi lima tugas kesehatan
keluarga dengan anggota keluarga yang menderita TB paru, serta mengajarkan
tindakan inhalasi sederhana dan batuk efektif untuk mengatasi masalah
ketidakefektifan bersihan jalan napas pada kakek A.

5.1.4 Pemberian inhalasi sederhana dan batuk efektif ini tetap bermanfaat dan
dapat diterapkan untuk mengeluarkan dahak, menurunkan frekuensi napas, dan
mengurangi sesak pada lansia, karena inhalasi sederhana langsung bekerja pada
paru-paru, aman untuk segala usia dan tidak terdapat reaksi alergi yang
ditunjukkan oleh kakek A serta pada saat dibatukkan efektif tidak harus
menggunakan banyak tenaga.

5.1.5 Pemecahan masalah yang dilakukan untuk mengatasi masalah


ketidakefektifan bersihan jalan napas pada kakek A yaitu mahasiswa
menganjurkan adanya tindak lanjut dan motivasi dari petugas kesehatan yang
bertugas di RW 01 termasuk kader-kader kesehatan yang sudah diberi pelatihan
terkait TB paru. Pemberian terapi inhalasi sederhana harus rutin dilakukan di
rumah selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk
efektif. Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan dua bantal
dengan rasionalisasi didapatkan posisi semi fowler untuk meningkatkan ekspansi
paru dan mencukupi kebutuhan oksigen sehingga memberikan kenyamanan.

Universitas Indonesia
99

Memotivasi keluarga kakek A untuk memeriksakan diri ke Puskesmas Cimanggis


sehingga mendapatkan pengobatan.

5.2 Saran
Mengacu kepada kesimpulan hasil penulisan ini, maka penulis menyampaikan
beberapa saran bagi pihak yang terkait dengan penulisan karya ilmiah ini antara
lain sebagai berikut:

5.2.1 Bagi Keluarga dengan TB paru


Kepada keluarga penderita TB paru tetap memberikan motivasi kepada anggota
keluarga untuk melakukan pengobatan dan tetap melaksanakan lima tugas
kesehatan keluarga. Melakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif sebagai
perawatan keluarga pada penderita TB serta meningkatkan perilaku pencegahan
potensi penularan TB paru dengan memiliki alat makan, menutup mulut jika
batuk, tidak membuang dahak disembarang tempat, dan mengurangi aktivitas
yang terdapat banyak kerumunan orang banyak. Pencegahan dapat dilakukan dari
diri sendiri dan penderita juga bisa mengikuti penyuluhan berkala untuk
meningkatkan pengetahuan.

5.2.2 Bagi Bidang Keperawatan Komunitas


Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumber informasi bagi
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan komunitas dan keluarga yang
holistik bagi pasien TB paru. Karya ilmiah ini juga diharapkan dapat menjadi
petunjuk dasar untuk menyusun promosi kesehatan dan proteksi kesehatan bagi
masyarakat agar angka TB paru di Indonesia semakin menurun.

5.2.3 Bagi Puskesmas Cimanggis


Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas Cimanggis
dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB paru tidak hanya di
puskesmas saja, tetapi bisa dilakukan kunjungan rumah bagi penderita TB paru.
Program skrining juga bisa melakukan secara berkala yang berguna untuk

Universitas Indonesia
100

penemuan kasus baru atau kasus putus obat sehingga bisa secepatnya diberikan
penanganan lebih lanjut.

5.2.4 Bagi Penelitian


Karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan pembelajaran dan pengembangan ide
untuk penelitian yang berkaitan dengan asuhan keperawatan keluarga pada pasien
dengan kasus TB paru pada lansia. Karya ilmiah ini dapat dilanjutkan kembali
untuk mengetahui masalah keperawatan lainnya yang bisa terjadi pada pasien
dengan TB paru lansia dan tindakan efektif untuk mengatasi masalah keperawatan
yang dialami oleh penderita TB paru pada lansia.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Akhavani, M. A. (2005). Steam inhalation treatment for children. British Journal


of General Practice.

Allender, J et all.(2010). Community health nursing: promotin and protecting the


public’s health. (Ed 7). China: Lippincot.

Amin, Z., & Bahar, A. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokter Universitas Indonesia.

Anderson & Fallune. (2000). Community health and nursing, concept and
practice. California: Lippincott.

Azzisman, Fauzi Z, A, dkk.(2006). Buku tutor hemomptisis. Juni 03, 2013.


http://eng.unri.ac.id.

Barbara, Kozier. (2004). Fundamental of nursing. (seventh edition).Vol 2.


California: Addison-Wesley.

Bintarto. (2000). Pengantar geogarafi kota. Yogyakarta: LIP SPRING.

Carpenito, L. J. (2000). Book of nursing diagnosis.(edisi 18). alih bahasa: Monica


Ester. Jakarta: EGC.

Clark. (2000). Learning domain of bloom’s taxonomy. Juni 15, 2013.


http://www.nwlink.com/-donclark/hrd/bloom.htm .

Cipla. (2010). A practical guide to nebulization therapy. India: Cipla Ltd.

Departemen Kesehatan.(2002). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis.


Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan. (2004). Badan Litbangkes, Ditjen P2 PL,WHO, project


DOTS expansion GF ATM, survei prevalensi tuberkulosis di Indonesia.
Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan. (2006). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis.


Cetakan ke 2. Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan. (2007). Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis.


(edisi 2). Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan. (2008). Laporan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas)


Indonesia tahun 2007. Jakarta: Depkes RI.

101
102

Departemen Kesehatan. (2008). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis.


Jakarta: Depkes RI.

Effendy,N.(2004).Dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat. Jakarta


:EGC.

Effendi. (2004). Keperawatan medikal bedah: klien dengan gangguan sistem


pernapasan. Jakarta: EGC.

Friedman, M.M., Bowden, V.R., & Jones, E.G. (2003). Family nursing: Research,
theory & practice. New Jersey: Prentice Hall.

Helper,M,. dkk. (2009). Faktor sosial budaya yang mempengaruhi ketaatan


berobat penderita tb paru. laporan penelitian. Pusat Penelitian
Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan, Badan Litbangkes
Kementerian Kesehatan RI.

Herryanto dkk (2004). Riwayat pengobatan penderita TB paru meninggal di


Kabupaten Bandung. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No. 1, April.

Hidayati, R. (2009). Asuhan keperawatan pada tuberkulosis. Jakarta: Salemba


Medika.

Hiswani. (2009). Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi


masalah kesehatan masyarakat.
Http://librarv.usu.ac.id/download/fkmhiswani6.pdf 2009).

Hudak & Gallo. (2000). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.

Hough, Alexandra. ( 2001 ). Physiotherapy in respiratory care: an evidence-


based approach to respiratory and cardiac management. Washington :
Nelson Thornes.

Kemenkes. (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:


Kemenkes RI.

Kompas (2008). Tuberkulosis pada usia lanjut.


www.lipsus.kompas.com/jalanjalan/read/2008/10/19/13371682/Tuberkulosi
s.pada.Usia.Lanjut. Juni, 15, 2013.

Leung CC, Lam TH, Ho KS, Yew WW,Tam CM, Chan WM, et al. (2010).
Passive smoking and tuberculosis. Arch Intern Med.

Maryam, dkk. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. jakarta: Salemba
Medika.
103

Meiliya, E & Ester, M. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik (gerontological


nursing : A health promotion/protection approach). Jakarta : EGC.

Murti. (2000). Prinsip dan metode riset epidemiologi. Yogyakarta: Gajam Mada
Univerity press.

Muttaqin. (2010). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

NANDA (The North American Nursing Diagnosis Association). (2012). Nursing


diagnostik: prinsip dan clasification 2012-2014. Phladelphia USA

Nugroho. (2007). Hubungan teknik batuk efektif dengan pengeluaran sputum


pada pasien tuberkulosis paru akut di wilayah kerja Puskesmas Jungkat
Kecamatam Siantan Kabupaten Pontianak. Program Studi Ilmu
Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Nugroho, W. (2000). Keperawatan Gerontik & Geriatrik, Edisi 3. Jakarta : EGC.

Nugroho, A. Y. (2011). Batuk efektif dalam pengeluaran dahak pada pasien dengan
ketidakefektifan bersihan jalan napas di instalasi rehabilitasi medik Rumah sakit
Baptis kediri. Jurnal STIKES RS. Baptis Kediri. Volume 4. No. 2 Desember 2011.

Nuraeni. (2012). Pengaruh steam inhalation terhadap usaha bernapas pada


balita dengan pneumonia di puskesmas Kebupaten Subang Provinsi Jawa
Barat. Depok: Program Magister Ilmu Keperawatan, FIK UI.

Pradono, J. (2007). Kesehatan dalam pembangunan berkelanjutan. Jurnal Ekologi


Kesehatan . Vol.6 No.2 Agustus 2007.

Pramudiarja.(2012). Tuberkulosis. Maret 12, 2012.


www.mdetikhealth.com/health/read/2012/03.

Perkumpulan Pemberantasan TB Indonesia. (2012). Jurnal tuberkulosis


Indonesia.vol. 3 No. 2 September 2012. Jakarta: PPTI.

Permatasari, A. (2005). Pemberantasan penyakit TB paru dan strategi DOTS.


Bagian Paru: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Puskesmas Cimanggis. (2012). Profile kesehatan UPT (Unit Pelaksanaan Teknis)


Puskesmas Kec. Cimanggis Th. 2012. Depok: Puskesmas Cimanggis.

Price, S.A., & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit. Jilid II. Jakarta: EGC.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Fundamental of nursing consept: proses and
practice. Philadelphia: Mosby. Inc.
104

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2009). Fundamentals of nursing: fundamental


keperawatan; buku 2 edisi 7. Jakarta; Salemba Medika.

Rab, T. (2000). Ilmu penyakit paru. (Ed Hipokrates). Jakarta: Qlintang S.

Rasmin, M, dkk. (2001). Prosedur tindakan bidang paru dan pernapasan –


diagnostik dan terapi. Jakarta: Bagian Pulmonologi FK UI. Balai Penerbitan
FK UI.

Rekawati. (2011). Bahan ajar kuliah epidemiologi. Depok: FIK UI.

Riono, P & Farid, M. (2012). Estimasi jumlah orang dengan TB di Indonesia,


2009-2010 (2011). Warta tuberkulosis indonesia (volume 21 ) oktober 2012.

Scanlon, V & Sanders (2007). essentials of anatomy and phsiologi. ( 5th ed).
Philadelphia: F.A Davis Company.

Setiawati, L. (2008). Efektivitas penggunaan posisi semi fowler pada klien tbc
untuk mengurangi sesak napas (studi kasus di rumah sakit paru batu).
Malang.

Singh, M. (2004). Heated, humidified air for the common cold. Cochrame
Database Syst. Rev (2): CD001728.

SKRT (2004). Survei kesehatan rumah tangga. Volume 2. Juni 15, 2013.
http://www.litbang.depkes.go.id.

Slamet, J.S. (2000). Kesehatan lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University


Press.

Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan medikal bedah. (edisi 8). Alih bahasa:
Agung Waluyu. Jakarta: EGC.

Soedjono. (2000). Pengaruh kualitas udara (debu COx, NOx, SOx) terminal
terhadap gangguan fungsi paru pada pedagang tetap terminal bus induk
Jawa Tengah 2002. Semarang: UNDIP.

Stanhope, M and Lancaster, J. (2004). Community and Public Health Nursing.


The Mosby Year Book. St Louis.

Stanley, M,. Gauntlett & Patricia. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik (edisi
2). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

STRANAS. (2011). Rencana aksi nasional informasi strategis pengendalian


tuberkulosis Indonesia 2011-2014. Jakarta: Kemenkes RI.

Subrata. (2006). VCO dosis tepat taklukan penyakit. Jakarta: Penebar Swadaya.
105

Sudiharto. (2007). Asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan


keperawatan trankurtural. Jakarta: EGC.

Suprajitno. (2004). Asuhan keprawatan keluarga aplikasi dalam praktek. Jakarta :


EGC.

Timmreck, Thomas,. C. (2004). Epidimiologi: suatu pengantar. (Edisi 2). Jakarta:


EGC.

Widoyono. (2008). Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan, dan


pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Wijaya. (2012). Merokok dan tuberkulosis. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan


Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
RS Persahabatan.

Wen CP, Chan TC, Chan HT, Tsai MK, Cheng TY, Tsai SP. (2010). Their
reduction of Tuberculosis risks by smoking cessation. BMC Infect Dis.

Wong, D. L., Hockenberry, & M., Wilson, D., Winkelsein, M., L., & Schwatrz, P.
(2008). Buku ajar keperawatan pediatrik. (edisi 6). (Monika Ester
penterjemah). Jakarta: EGC.

World Health Organization. (2008). Indonesian Strategic Plan to Stop TB 2006-


2010. Jakarta: Depkes RI.

World Health Organization. (2009). Global action plan for prevention and control
of pneumonia (GAPP). Geneva: WHO.

World Health Organization. (2010). World health statistic 2009. France. Juni 14,
2013. http://www.who.int/healthinfo/statistic/programme/en/index.html.

Yoga, T (2007). Diagnosis TB pada anak lebih sulit. Mediakom info sehat untuk
semua: Departemen Kesehatan.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Andi Amalia Wildani, S.Kep


Tempat, Tanggal Lahir : Bungoro, 05 Januari 1991
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat Asal : Jl. Poros Tonasa 2 No. 03, Kel Samalewa, Kec.
Bungoro, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan
Alamat Tinggal : Jl. Kedoya RT.01 RW. 03 No. 77, Kostan Griya
Nafans kamar 76 , Kel. Pondok Cina, Kec. Beji,
Depok, Jawa Barat
Email : andiwildha@gmail.com/ andi.amalia81@ui.ac.id
Riwayat Pendidikan :
Tahun 1996-2002 : SDN 2 Lejang
Tahun 2002-2005 : SMPN 1 Bungoro
Tahun 2005-2008 : SMAN 1 Pangkep
Tahun 2008- 2012 : Sarjana Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indonesia
Tahun 2012-2013 : Program Profesi SNers, Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Indonesia
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA KAKEK A

Penjelasan lampiran ini mengenai asuhan keperawatan keluarga Kakek A dengan


Tuberkulosis Paru di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok. Asuhan keperawatan keluarga ini terdiri dari pengkajian,
analisis data, diagnosis keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan
evaluasi.

Pengkajian
Klien dengan nama Kakek A (70 tahun), tinggal di Gg Masjid, RT 06/ RW 01
Cisalak Pasar, merupakan pensiunan karyawan swasta. Komposisi dan genogram
keluarga Kakek A dipaparkan lebih jelas pada tabel 3.1 dan gambar 3.1.

Tabel 1 Komposisi Keluarga Kakek A

No Nama Jenis Hub dgn KK Umur Pendidikan


kelamin
1 Kakek A Laki-Laki Kepala Keluarga 70th SMA
2 Nenek I Perempuan Istri 69th SMP
3 Bapak F Laki-Laki Anak Kandung 35th S1
4 Ibu A Perempuan Menantu 30th SMA

Gambar 1
Genogram Keluarga Kakek A dan Nenek I

Kakek A (70th) menikah dengan Nenek I (69th) pada tahun 1992. Saat ini,
keluarga Kakek A mempunyai dua orang anak kandung yaitu Bapak R (38th) dan

1 Universitas Indonesia
2

Bapak F (35th). Anak M merupakan anak pertama dan telah menikah serta
memiliki tiga orang anak laki-laki yaitu Ibu A (16th), Anak D (12th) dan Anak M
(9th) yang bertempat tinggal di samping rumah Kakek A. Anak kedua Kakek A
yaitu Bapak F telah menikah dengan Nenek I yang saat ini telah hamil 30 minggu
(G1P0A0).

Kakek A sebelum menikah dengan Nenek I, Kakek A sudah menikah dan


memiliki dua orang anak pada pernikahan pertama yaitu Bapak M (55th) dan
Bapak N (50th). Anak pertama dari pernikahan pertama telah meninggal karena
kecelakaan motor pada saat usia 55 tahun. Anak kedua masih hidup sampai saat
ini dan telah menikah, memiliki satu orang anak perempuan yaitu Anak Y (21th).
Istri pertama Kakek A telah meninggal tanpa diketahui penyebabnya + tujuh
tahun sebelum Kakek A menikah dengan Nenek I.

Nenek I juga sebelumnya telah menikah dan memiliki satu orang anak laki-laki
yaitu Bapak A (50th). Bapak A telah menikah dan memiliki tiga orang anak
perempuan yaitu Anak S (22th), Anak K (19th) dan Anak R (17th). Suami
pertama Nenek I telah meninggal tanpa diketahui penyebabnya + lima tahun
sebelum Nenek I menikah dengan Kakek A.

Kedua orang tua dari Kakek A sudah meninggal, Ayah dari Kakek A meninggal
pada usia 70 tahun karena sesak, sedangkan Ibu dari Kakek A meninggal pada
usia 50 tahun meninggal karena TB Paru. Kakek A memiliki dua saudara dan
semuanya sudah berkeluarga, akan tetapi saudara pertama dari Kakek A
meninggal pada usia 65 tahun karena TB Paru.

Kedua orang tua dari Bapak Nenek I juga sudah meninggal, Ayah dari Nenek I
meninggal pada usia 50 tahun karena sesak, sedangkan Ibu dari Nenek I
meninggal pada usia 45 tahun meninggal karena stroke. Nenek I memiliki satu
saudara dan sudah berkeluarga.
Keluarga Kakek A (70 tahun) merupakan keluarga dengan tipe keluarga extended
family yang terdiri dari Kakek A (70 th), Nenek I (69 th) dan Anak. F (35th) serta
3

Ibu A (30 thn). Kakek A merupakan campuran dari suku Sunda dan suku Betawi
karena mengikuti kedua orang tuanya. Nenek I berasal dari Banten yaitu suku
Sunda. Keduanya sudah berdomisili di Depok sekitar 8 tahun. Komunikasi antara
Kakek A dan Nenek I menggunakan bahasa Indonesia, begitupun berkomunikasi
dengan Bapak F dan Ibu A juga menggunakan bahasa Indonesia. Nenek I
mengatakan tidak menganut mitos atau pantangan tertentu yang dapat
mempengaruhi pemeliharaan kesehatan keluarga, namun terkadang menggunakan
ramuan tradisional atau herbal untuk mengatasi masalah kesehatan tertentu,
misalnya ketika anak diare diberi sawo mentah dan kunyit. Nenek I mengatakan
keluarga menyukai makanan yang sunda. Atribut-atribut yang berkaitan dengan
suku betawi dan sunda tidak terdapat di lingkungan rumah. Suku tidak
mempengaruhi pola makan keluarga karena keluarga lebih sering masak sendiri. .

Keluarga Kakek A menganut agama Islam. Keluarga menjalankan ibadah sholat,


puasa, dan ibadah lainnya. Keluarga menjalankan salat lima waktu namun tidak
pernah berjamaah, dengan alasan Kakek A setiap shalat di mushola samping
rumahnya, sehingga Nenek I, Bapak F ataupun Ibu A lebih sering shalat sendirian
di rumah. Ketika ada salah satu anggota keluarga yang mulai malas, maka mereka
saling mengingatkan. Kakek A tidak mengikuti pengajian dan jarang berinteraksi
dengan masyarakat karena lebih banyak menghabiskan waktu dengan cucu-
cucunya dan malas berjalan jauh karena merasa sesak dan mudah capek ketika
beraktivitas lama, sehingga di rumah digunakan untuk istirahat. Nenek I juga
tidak mengikuti pengajian karena mengurus kebutuhan Kakek A, dan semenjak
pasca jatuh yang mengakibatkan lengan kanannya patah dan sering mengalami
nyeri sendi, namun sebelum merasa sakit Nenek I rajin mengikuti pengajian.
Nenek I dan Kakek A berpuasa pada saat bulan ramadhan saja.

Keluarga Kakek A merupakan keluarga dengan status sosial ekonomi kelas


menengah. Rumah yang ditempati keluarga Kakek A adalah rumah milik sendiri
yang sudah ditempati kurang lebih delapan tahun. Rumah Kakek A adalah tipe
permanen dua lanai dengan tembok dari batu bata dan atap dari genteng.
Perabotan rumah tangga Kakek A lengkap, terdapat Kulkas, TV 21 inch, CD
4

Player, mesin cuci, kipas angin, dll. Nenek I mengatakan tidak punya cicilan
barang. Keluarga Kakek A mempunyai satu buah motor dan mushola yang
dibangun di samping rumah Kakek A. Keluarga Kakek A tidak memiliki asuransi
kesehatan semenjak kantor tempat dulu bekerja bangkrut, namun saat ini sedang
mengurus jamkesmas.

Saat ini Kakek A tidak memiliki penghasilan, namun sebelumnya Kakek A


bekerja sebagai karyawan swasta akan tetapi kantornya bangkrut. Nenek I
merupakan Ibu Rumah Tangga (IRT). Kakek A ataupun Nenek I tidak memiliki
tabungan. Kebutuhan Kakek A dan Nenek I saat ini semuanya ditunjang oleh
kedua anaknya. Uang yang diberikan oleh anaknya tersebut digunakan untuk
membayar listrik, kebutuhan dapur, jajan buat cucu-cucunya. Namun terkadang
Kakek A merasa kurang dengan ekonominya sekarang dan sering sedih ketika
tidak bisa memberi uang jajan ke cucunya.

Keluarga Kakek A jarang pergi berekreasi bersama. Waktu luang biasanya


digunakan dengan mengobrol bersama di rumah sambil menonton televisi. Ketika
bosan biasanya Kakek A berkunjung ke rumah anaknya yg berada di samping
rumah Kakek A untuk bermain sama cucu-cucunya. Jika sendiri di rumah, Nenek
I biasanya duduk-duduk sambil mengobrol dengan tetangga di mushola samping
rumahnya. Nenek I. Keluarga Kakek A jarang pulang ke kampung halaman,
terutama saat lebaran.

Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga


Tahap perkembangan keluarga Kakek A adalah keluarga dengan dewasa. Tugas
perkembangan keluarga dengan dewasa pada keluarga Kakek A yang sudah
terpenuhi antara lain pertama memperluas siklus keluarga dengan memasukkan
anggota keluarga baru yang didapat dari hasil pernikahan anak-anaknya, anak
pertama dari Kakek A dan Nenek I sudah memiliki dua orang anak namun
tinggalnya di samping rumah, sedangkan Bapak F sudah menikah dan saat ini
istrinya sedang hamil pertama dengan usia kehamilan 30 minggu. Kedua
mempertahankan keintiman pasangan dimana Kakek A dan Nenek I selalu
5

berusaha menjaga keintiman hubungan keluarga mereka dengan cara saling


menyayangi dan saling memperhatikan apabila ada anggota keluarga yang sakit.
Walaupun Kakek A dan Nenek I sudah hampir 3 tahun pisah ranjang dikarenakan
penyakit Kakek A. Namun Kakek A dan Nenek I selalu mengobrol saat siang
hari. Ketiga yaitu mempersiapkan anak untuk hidup mandiri dan menerima
kepergian anaknya, anak pertama dari pernikahan Kakek A dan Nenek I sudah
bekerja dan menikah serta memiliki dua orang anak yang tinggal di samping
rumahnya, sedangkan anak kedua juga sudah bekerja dan telah menikah namun
masih tinggal bersama Kakek A dan Nenek I di rumah Kakek A. Ketiga
membantu orang tua suami atau istri yang sedang sakit dan memasuki masa tua,
Anak-anak dari Kakek A dan Nenek I selalu memberikan dukungan berupa
finansial untuk memenuhi semua kebutuhan hidup pada saat ini termasuk biaya
pengobatan ketika sakit, mengingat Kakek A dan Nenek I sudah lansia dan tidak
memiliki penghasilan. Semua tugas perkembangan sudah terpenuhi.

Nenek I dan Kakek A dijodohkan, namun sebelum menikah, ada masa


penjajakannya juga sehingga masih cocok sampai sekarang. Keluarga terlihat
harmonis dan bekerja sama dalam membesarkan anaknya. Pernikahan Nenek I
dan Kakek A sama-sama merupakan pernikahan kedua karena cerai mati.
Pernikahan Nenek I dan Kakek A mendapatkan restu dari keluarga dari Kakek A
maupun dari Nenek I serta restu dari anak-anak dari Kakek A pada pernikahan
pertama, begitupun anak-anak dari Nenek I dari pernikahan pertamanya.

Riwayat kesehatan dari Kakek A saat ini yang dirasakan adalah sesak sejak
kurang lebih 3 bulan yang lalu, sesekali batuk, biasanya dimalam hari dan
mengeluarkan dahak berwarna putih, jumlah sedikit, tidak bau, sulit
mengeluarkan dahak. Kakek A mengatakan pernah memeriksakan dahaknya di
puskesmas Cimanggis pada Desember 2012 dan hasilnya BTA positif tetapi tidak
menjalani pengobatan sebelumnya mengeluh batuk-batuk lebih dari 3 minggu.
Tidak ada riwayat alergi, riwayat merokok + 15 tahun dan menghabiskan 2
bungkus rokok sehari, saat ini sudah tidak merokok sejak 3 bulan yang lalu. Pada
saat batuk-batuk lebih dari 3 minggu berobat ke dokter praktik dan mendapatkan
6

obat sanbutamol dan tyrosol yang diminum 3 × 1/ hari, akan tetapi tidak
mengalami perbaikan kesehatan semenjak mengkonsumsi obat salbutamol dan
tyrosol. Kakek A Tidak menjalani pengobatan OAT saat terdiagnosis BTA positif.
Kakek A mengatakan malas untuk mengunjung puskesmas karena malas
mengantri. Mengatakan mengerti tentang masalah TB mulai dari pengertian
sampai akibat bila tidak diobati, terkadang membuka jendela dan pintu dipagi hari
dan berjalan-jalan kecil di sekitar rumah. Kebanyakan menghabiskan waktu buat
tidur. Berinteraksi dengan anggota keluarga tanpa menggunakan masker,
membuang dahak di kamar mandi dan saluran pipa depan rumah, belum
menerapkan etika batuk yang baik dan benar, alat makanan sudah dipisahkan,
Kakek A menganggap dirinya tidak TB tetapi asma.

Nenek I mengatakan bahwa saat ini yang dikeluhkan adalah nyeri pada sendi lutut
kanan, yang skala nyeri 5 dan terkadang menyebar ke ibu jari, nyeri yang
dirasakan paling sering malam hari dan saat bangun pagi. Nenek I mengatakan
tidak pernah memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan terkait keluhan yang
dirasakan., tidak ada riwayat asam urat. Nenek I mengatakan dirinya tidak
memiliki pengetahuan terkait asam urat. Nenek I saat ini juga pasca jatuh dari
kamar mandi, lengan kirinya patah dan saat ini sedang di bebat, dan terjadi
perubahan cara berjalan sehingga Nenek I yang awalnya tidak membungkuk saat
berjalan menjadi bungkuk.

Bapak F mengatakan bahwa saat ini tidak keluhan yang dirasakan, namun Bapak
F merupakan perokok aktif + 5 tahun satu bungkus sehari dan berangkat bekerja
menggunakan motor dan jarang menggunakan masker.

Ibu A mengatakan bahwa dirinya tidak ada keluhan, saat ini Ibu A telah hamil 30
minggu G1P0A0. setiap bulan rajin periksa kehamilan di puskesmas terdekat.
Taksiran partus akhir juli 2013, Ibu A telah melakukan persiapan untuk
menyambut anak pertamanya dan sudah menetapkan tempat untuk melahirkan
yaitu di puskesmas. Ibu A sedikit merasa ansietas karena ini merupakan
pengalaman pertamanya dan takut ada yang tidak sesuai dengan harapannya.
7

Ibu dan Kakak pertama dari Kakek A meninggal dengan masalah TB paru, dan
Bapak dari Kakek A meninggal karena Sesak. Orang tua dari Bapak B tidak
memiliki riwayat diabetes mellitus, hipertensi ataupun sakit jantung. Ibu dari
Nenek I meninggal karena stroke, sedangkan Bapak dari Nenek I meninggal
karena sesak. Orang tua dari Nenek I tidak memiliki riwayat diabetes mellitus, TB
paru. tetapi memiliki riwayat hipertensi.

3.2 Lingkungan
Rumah yang ditempati keluarga Kakek A adalah rumah permanen, lantai dua.
Rumah Kakek A terletak di belakang TK dan di samping mushola milik sendiri.
Rumah tersebut berukuran 11 meter x 5 meter. Pencahayaan rumah hampir
semuanya dari lampu karena pencahayaan rumah hanya masuk dari pintu dan
jendela rumah jika pintu dan jendela dibuka. Lantai rumah keluarga bapak N
terbuat dari keramik berwarna putih dengan keadaan bersih, genting terbuat dari
asbes, dan tembok dari batu bata dan sudah dicat biru muda. Perabot rumah
tangga tertata dengan cukup rapi. Desain interior rumah terbagi menjadi sembilan
ruangan, yang paling depan adalah teras. Ruang kedua adalah ruang tamu, ruang
ketiga ruang nonton. Ruang keempat dan lima merupakan ruang tidur, ruang
keenam adalah ruang dapur, ruang ketujuh kamar mandi, dan ruang delapan di
lantai atas yaitu ruang tidur serta ruangan terakhir di samping yang juga terdapat
teras. Ventilasi udara masuk melalui pintu depan karena jendela bagian depan
tidak dapat dibuka, karena dipasang permanen dengan bingkai jendela, dan
dijendela kamar samping yang bisa terbuka.

Kondisi ruang tamu dan nonton TV tampak bersih dan terdapat kasur untuk
tempat tidur yang digunakan oleh keluarga khususnya anaknya pada siang hari.
Selain itu ruang tamu juga terdapat lemari kaca dan kipas angin, terdapat kursi
maupun meja untuk tamu. Di ruang tamu terdapat foto dinding anak – anak
sewaktu kecil dan foto keluarga. Ruang kamar terdapat tempat tidur, dua buah
lemari pakaian dengan pencahayaan yang cukup tetapi ada satu ruang tidur yang
kurang pencayahaan dikarenakan ruang kamar tidak memiliki jendela dan
8

ventilasi sehingga sirkulasi udara tidak bagus yang menyebabkan pengap dan
panas. Pada siang hari ruang kamar tampak gelap sehingga terkadang
membutuhkan lampu untuk penyinaran. Ruang kamar mandi (toilet) yang terdiri
dari bak mandi & WC jongkok. Toilet tampak bersih dengan penataan sabun,
odol, dan sikat gigi rapi. Pencahayaan di toilet kurang sehingga untuk penerangan
membutuhkan lampu dihidupkan. Toilet memiliki dua buah ventilasi berbentuk
lonjong, masing-masing berdiameter + 10 cm. Lantai toilet juga sudah terbuat dari
keramik berwarna putih, bersih dan sedikit licin. Ruang masak keluarga terlihat
sedikit kotor, terdapat satu tempat sampah, keluarga Kakek A menggunakan gas
elpiji untuk memasak. Selain itu, terdapat juga lemari kaca berisi peralatan makan.

Ruang teras terbagi dua ada di depan dan di samping. Teras rumah bagian depan
digunakan untuk menimpan tanaman, dan tempat menyimpan motor. Teras rumah
bagian samping digunakan sebagai tempat berbincang-bincang dengan tetangga
dan tempat bermain cucu-cucu yang datang, untuk menjemur pakaian. Jemuran
pakaian menggunakan jemuran stainles steel yang bisa dibawa masuk ke dalam
rumah ketika hujan, dan terdapat alat olahraga yang tidak terpakai serta rak sepatu
yang berdebu.

Rumah keluarga Kakek A memiliki pekarangan yang digunakan untuk menanam


bunga dan terdapat dua pohon rambutan, serta terdapat satu kolam ikan. Kondisi
halaman rumah kurang bersih banyak dedaunan yang kering dan terdapat air yang
tergenang di dua ember dan berjentik, terdapat kolam ikan yang juga berisi
beberapa ikan hias tetapi airnya tampak kotor dan berlumut serta banyak jentik
nyamuk.

Kakek A mengatakan bahwa jarak septic tank dengan sumber air + 5 meter.
Sumber air yang digunakan sehari-hari adalah air tanah dengan menggunakan
pompa dari sumur bor. Terdapat selokan di depan maupun sekitar rumah. Tempat
pembuangan sampah dari dapur di depan rumah dan nanti diambil oleh petugas
sampah yang bertugas setiap dua hari sekali. Sampah dedaunan depan rumah
9

langsung dibakar dipekarangan rumah. Sumber air minum biasanya keluarga


mengkonsumsi air minum berasal dari galon yang dibeli di dekat rumah.

Gambar 2
Denah Rumah Keluarga Kakek A

Lingkungan RT 06/RW 01 merupakan daerah berpenduduk padat. Kakek A


mengatakan suku mayoritas di RT tersebut adalah Suku Sunda. Adapun suku
minoritas adalah Suku Betawi dan Jawa yang kebanyakan adalah pendatang.
Rumah warga sangat berdekatan satu sama lain dan banyak jalan/gang sempit.
Tidak ada industri dekat rumah Kakek A. Hunian sekitar rumah Kakek A
kebanyakan rumah milik pribadi.

Rata-rata kondisi ekonomi tetangga keluarga Kakek Aadalah menengah ke bawah


dengan karakteristik suami yang bekerja sebagai buruh bangunan, tukang ojek,
dan istri sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Adapun tetangga yang kondisi
ekonominya menengah keatas hanya beberapa keluarga saja. Mata pencaharian
tetangga keluarga Kakek A bervariasi. Tetapi ada juga beberapa keluarga yang
mata pencahariannya tidak menetap bahkan ada yang pengangguran.
10

Karakteristik tetangga keluarga Kakek A sebagian besar adalah keluarga dengan


balita. Jarak antar rumah di daerah tempat tinggal keluarga Kakek A saling
berhimpitan satu sama lain. Jalan menuju rumah keluarga Kakek A sudah terbuat
dari semen, pada tempat tertentu ada genangan air. Letak rumah keluarga Kakek
A tidak berada di dekat jalan utama sehingga harus memasuki gang setapak yang
masih bisa dilalui oleh motor. Setiap rumah di sekitar tempat tinggal keluarga
Kakek A tidak memiliki pekarangan/halaman yang luas dan kosong, di depan
rumah Kakek A terdapat warung yang biasa dijadikan tempat berkumpul dengan
tetangga. Tiap hari ada pedagang sayur yang lewat di depan gang. Fasilitas
kesehatan yang ada di RT 06 tidak ada. Transportasi umum yang paling banyak
adalah ojek, karena tidak ada angkot yang masuk ke RW 01 khususnya RT 06.

Tetangga Kakek A kadang bermain ke rumah untuk mengobrol begitupun


sebaliknya. Terdapat mushola yang biasa digunakan untuk ibadah salat berjamaah
dan kegiatan keagamaan lainnya, tempat berkumpul baik untuk mengobrol-
ngobrol biasa dengan tetangga ataupun tempat untuk pengajian dan tempat
penyuluhan mahasiswa. Terdapat juga TK di dekat rumah yang digunakan anak-
anak untuk bermain ketika TK sudah bubar.

Kakek A tinggal di RT 06 RW 01 Cisalak Pasar sudah + 8 tahun dengan Nenek I


dan anak-anaknya tinggal di rumah yang dihuni sekarang. Awal setelah menikah
dengan Nenek I, Kakek A dan keluarga tinggal di daerah Jakarta Timur. Anak
pertamanya dari pernikahan dengan Nenek I juga tinggal di samping rumah
Kakek A. Tidak ada rencana dari keluarga Kakek A untuk pindah rumah.
Keluarga Kakek A menggunakan motor atau jasa transportasi umum (angkot) jika
berpergian jauh dari rumah seperti ke pasar, mall, dan tempat lainnya. Jika salah
satu anggota keluarga sakit, keluarga Kakek A akan pergi ke Puskesmas Ciracas,
ke dokter praktik atau praktik mantri.

Keluarga Kakek A sering berkumpul di rumah Kakek A, sedangkan untuk


keluarga dari pihak Nenek I juga lebih sering berkumpul di rumah Kakek A.
Nenek I tidak mengikuti arisan ataupun mengikuti pengajian RT. Anggota
11

keluarga Kakek A khususnya Bapak F dan tidak rutin mengikuti kegiatan


kemasyarakatan di daerah setempat RT 06 karena bekerja dan ketika pulang kerja
sudah larut malam dan merasa capek. Hari libur Bapak F di manfaatkan untuk
beristirahat di rumah dan bersantai dengan Kakek A, Nenek I dan istrinya yang
sedang hamil pertama. Nenek I mengatakan waktu berinteraksi dengan tetangga
seringnya pada pagi dan sore hari di depan teras mushola dan Nenek Imengatakan
sudah mengenal hampir semua tetangga di sekitar rumahnya dan cukup dekat.
Kakek A sendiri kadang-kadang mengikuti kegiatan kemasyarakatan di daerah
setempat seperti pengajian setiap hari Jumat, dan terkadang mengikuti penyuluhan
kesehatan yang diadakan mahasiswa.

Keluarga Kakek A tidak memiliki asuransi ataupun jaminan kesehatan semenjak


perusahaan tempat bekerja bangkrut, namun sekarang sedang proses mengurus
Jamkesmas. Anak-anaknya memiliki jaminan kesehatan dari tempat mereka
bekerja. Ketika kunjungan, terlihat Kakek A bersosialisasi dengan baik terhadap
tetangganya. Kakek A memiliki anak yang rumahnya cukup dekat dari rumahnya
sehingga mudah jika ingin membutuhkan bantuan. Keluarga besar dari Kakek A
adan Nenek I kebanyakan tinggal di daerah Jakarta dan Banten sehingga kalau
membutuhkan kalau membutuhkan bantuan, dengan mudah Keluarga Kakek A
menghubungi saudara lewat telepon genggam. Keluarga BapakA merupakan
keluarga yang mandiri, hal itu disampaikan oleh Nenek I. Segala kebutuhan
keluarga Kakek A semaksimal mungkin diusahakan sendiri tanpa meminta
bantuan dari keluarga lain. Akan tetapi, jika ada kebutuhan yang benar-benar
mendadak, Nenek I biasanya meminta bantuan biaya dari anak-anaknya.

3.3 Struktur Keluarga


Kakek A mengatakan jika ada masalah di keluarga, maka masalah tersebut akan
didiskusikan dan diselesaikan secara bersama-sama. Pola komunikasi keluarga
Kakek A termasuk komunikasi secara terbuka. Pada saat terjadi konflik atau
masalah dalam keluarga baik antara orangtua dengan anak, atau anak dengan anak
bahkan suami istri, masalah diselesaikan secara musyawarah antara suami dan
istri, anak, dan orangtua. Masalah apapun yang terjadi dirumah selalu
12

dikomunikasikan Nenek I dengan Kakek A. Anggota keluarga rutin bertemu tiap


hari walaupun dari pagi atau sore baik itu di rumah anak pertamanya ataupun di
rumah Kakek A. Pertemuan keluarga biasanya lebih difokuskan pada malam hari
sambil menonton TV. Dari hasil observasi, Bapak F dan istrinya termasuk anak
yang penurut dan sopan. Bapak F juga mengikuti apa yang dikatakan Nenek I
ataupun Kakek A. Nenek I dan Kakek A juga terlihat bertutur kata lembut kepada
anak-anaknya baik itu ke cucunya.

Pembuat keputusan dalam keluarga Kakek A adalah Kakek A. Akan tetapi


keputusan yang diambil adalah hasil diskusi antara Kakek A, Nenek I dan anak-
anaknya misalnya ada anggota keluarga yang sakit maka hal itu akan disampaikan
oleh Nenek I kepada Kakek A untuk dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan
seperti Rumah Sakit, Puskesmas, dokter praktik dan praktik mantri.

Kakek A adalah kepala keluarga, suami dari Nenek I dan ayah dari Bapak F dan
Anak G, dan seorang kakek dari cucu-cucunya. Kakek A adalah pensiunan
karyawan swasta, keseharian Kakek A hanya di rumah dan terkadang bermain
dengan cucu-cucunya yang tinggal di samping rumahnya atau mengobrol dengan
tetangga, ketika tidak ada kegiatan Kakek A hanya tiduran saja di rumah.

Nenek I memiliki peran sebagai istri dari Kakek A dan ibu bagi Bapak F dan An.
G, serta seorang nenek bagi cucu-cucunya. Nenek I terkadang bertugas merapikan
rumah, memasak, dan menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga, akan
tetapi saat ini tugas rumah tangga di alihkan ke menantunya, istri dari Bapak F
yang tinggal serumah.

Bapak F yaitu anak dari Kakek A dan Nenek I, suami dari Ibu A dan merupakan
tulang punggung bagi keluarga, calon ayah dari anak yang dikandung oleh Ibu A.
Bertugas sebagai pencari nafkah dan bekerja dari Senin-Jumat.

Ibu A yaitu menantu dari Kakek A dan Nenek I, istri dari Bapak F dan merupakan
calon ibu dari anak yang dikandungnya saat ini. Terkadang bertugas merapikan
13

rumah, memasak, dan menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dengan
mengambil alih tugas rumah tangga di rumah Kakek A, dikarenakan Nenek I
sudah lansia.

Nilai-nilai yang dianut oleh keluarga Kakek A diadopsi dari pola asuh orangtua
Kakek A dan Nenek I. Keyakinan agama yang dianut adalah Islam dimana
keluarga menjalankan ibadah sholat lima waktu dan puasa dibulan Ramadhan.
Keluarga mulai menanamkan pendidikan agama semenjak kecil untuk anaknya.
Nilai keluarga terkait pola pengasuhan anak masih sering mengikuti petuah dari
orang tua. Nenek I mengatakan anak-anaknya diajarkan untuk menghormati orang
yang lebih tua dan patuh terhadap nasehat.

3.4 Fungsi Keluarga


Sesama anggota keluarga saling menyanyangi dan saling memperhatikan
kebutuhan masing-masing. Nenek I mengatakan bahwa setiap anggota keluarga
dalam rumah dapat saling terbuka dalam menyampaikan pendapat. Kakek A dan
Nenek I saling mengenal dan juga mengenali karakter dan kebiasaan kedua
anaknya dan menantunya. Kedua anaknya memiliki hubungan yang intim dengan
kedua orangtuanya, walaupun anak pertama tidak serumah lagi dan Bapak F yang
serumah tetapi sering berada di luar rumah dalam jangka waktu yang lama.
Menantu dan cucu-cucunya juga saling menyanyangi dan saling memperhatikan.

Sosialisasi antar anggota keluarga terlaksana dengan baik dan hubungan antar
anggota keluarga dengan tetangga juga baik. Sosialisasi Bapak F dan menantu
dengan tetangga juga terlaksana dengan baik. Hal itu terbukti bahwa Bapak F dan
menantu mengenal teman-teman disekitar rumah mereka. Pagi dan sore hari
biasanya Nenek I atau Kakek A duduk-duduk di mushola samping rumah untuk
berinteraksi dengan tetangga-tetangga, atau berkunjung ke rumah anaknya yang di
samping rumah untuk bermain sama cucu-cucunya.
Keluarga Kakek A biasanya makan 3 kali dalam sehari. Makanan yang lebih
sering dikonsumsi, seperti telur, tempe, ikan, tahu, dan sayuran hijau. Keluarga
biasanya sarapan bersama. Keluarga Kakek A biasanya tidur pukul 20.30 dan
14

bangun pukul 04.30. Nenek I dan Kakek A tidur lebih awal. An.F dan istrinya
juga tidur lebih cepat karena tidak dibiasakan begadang dari kecil dan merasa
lelah sepulang kerja. Nenek I mengatakan keluarganya bisa minum air putih
sampai 2 liter dalam sehari. Nenek I mengatakan tidak ada waktu khusus dalam
keluarga untuk berolahraga. Kakek A dan Nenek I jarang berolahraga karena usia
yang sudah tua dan gampang lelah ketika beraktivitas lebih. Bapak F dan istrinya
juga jarang berolahraga rutin. Nenek I mengatakan keluarganya BAB dengan
lancar dan tidak ada keluhan. Nenek I mengatakan, baik Nenek I maupun Kakek
A tidak pernah dirawat di Rumah Sakit.

Kakek A tidak suka minum kopi, tetapi lebih suka minum susu putih ataupun air
putih dan sudah berhenti merokok sejak 3 bulan yang lalu. Kakek A biasanya
menghabiskan waktu di rumah untuk tidur ataupun sekedar bermain bersama
cucu-cucunya yang tinggal disamping rumah Kakek A. Kakek A hanya mengeluh
sesak yang sudah 3 bulan tidak kunjung sembuh dan pada saat berinteraksi suara
napas ronchi sangat terdengar jelas tanpa menggunakan stetoskop. Kakek A hanya
meminum obat salbutamol dan tyrosol yang biasa diberikan ketika memeriksakan
diri ke dokter praktik atau praktik mantri, namun saat ini Kakek A tetap
mengkonsumsi obat tersebut 3 kali/ hari tanpa resep dokter dan ketika habis dibeli
ke apotik. Kakek A tidak mau berobat ke puskesmas dengan alasan malas
mengantri dan dosis obat yang diberikan berbeda dengan obat yang dikonsumsi
sekarang. Padahal Kakek A memiliki riwayat BTA positif pada Desember 2012
namun tidak menjalani pengobatan. Kelurga telah mengetahui kondisi dari Kakek
A saat ini sehingga keluarga memberi perhatian lebih dengan terus memotivasi
Kakek A untuk berobat ke pelayanan kesehatan.

Kakek A mengatakan TB meruapakan penyakit menular yang disebabkan oleh


kuman TB. Kakek A juga mengatakan bahwa tanda dan gejala TB adalah batuk
lebih dari tiga minggu, sesak napas, keringat malam. Hal ini merupakan masalah
yang serius untuk diatasi menurut Kakek A. Saat ditanya akibat TB, Kakek A
menyebutkan tidak dapat sembuh, menyebabkan kematian dan pasti selalu
15

mengambil keputusan untuk mengatasi masalah kesehatan yang dialami oleh


anggota keluarga.

Keluarga Kakek A belum melakukan perawatan sederhana dan tindakan


pencegahan untuk mengatasi TB paru yang dialami oleh Kakek A. Hal ini
dibuktikan bahwa Kakek A masih memiliki sesak napas dan tetap mengkonsumsi
obat tanpa resep dokter dan belum mengunjungi pelayanan kesehatan. Tindakan
yang dilakukan oleh keluarga khususnya Nenek I adalah memberi masukan
kepada suaminya untuk mengunjungi pelayanan kesehatan.

Nenek I sebelumnya sudah menyadari memiliki tekanan darah tinggi sejak


kunjungan yang dilakukan oleh mahasiswa sebelumnya. Saat pengukuran tekanan
darah, hasilnya adalah 150/100 mmHg. Keluarga Kakek A khususnya Nenek I
mengatakan bahwa tekanan darah tinggi adalah jika tekanan darahnya > 150
bagian atasnya dan penyebabnya adalah karena stress/banyak pikiran dan makan
yang asin-asin. Nenek I mengatakan bahwa tanda dan gejala tekanan darah tinggi
adalah sering sakit kepala dan merasakan tegang dibagian leher. Hal ini
merupakan masalah yang serius untuk diatasi. Saat ditanya akibat dari tekanan
darah tinggi Nenek I mengatakan tekanan darah tinggi bisa menyebabkan banyak
penyakit dan pasti selalu mengambil keputusan untuk mengatasi masalah
kesehatan yang dialami oleh anggota keluarga.

Keluarga Kakek A sudah melakukan perawatan sederhana dan tindakan


pencegahan untuk mengatasi tekanan darah tinggi yang dialami oleh Nenek I. Hal
ini dibuktikan bahwa Nenek I sudah mengurangi makan yang asin-asin dan
mengkonsumsi timun untuk menurunkan tekanan darah, serta sering latihan tarik
napas dalam agar lebih rileks. Lingkungan psikologis juga sudah tercipta di
keluarga Kakek A. Selama ini Nenek I belum pernah mengunjungi pelayanan
kesehatan untuk mengatasi keluhannya. Jika Kakek A mengeluh sakit kepala
cukup membeli obat di warung.
16

Ibu A sedang mengandung, G1P0A0H30mg. Ibu A mengatakan tidak merasakan


sakit apa-apa saat ini. Ibu A mengatakan makan 3x sehari. Misalnya yang dimasak
hari itu ada telur, tempe, dan sayur bayam, maka Ibu A makan 1 piring yang berisi
nasi 2 centong, 1 telur, 1 sendok makan tempe, dan 2 sendok makan sayur. Ibu A
makan makanan seperti biasanya saat belum hamil. Ibu A makan makanan yang
dimasak untuk keluarganya, seperti telur, tempe, dan sayuran hijau misalnya
bayam atau kangkung. Ibu A tidak mengetahui nutrisi seimbang untuk ibu hamil
sehingga tidak ada makanan khusus yang disediakan untuk ibu hamil trimester 3.
Ibu A mengatakan makanan yang bagus untuk ibu hamil yang ada nasi, lauk,
sayur, dan buah. Namun, Ibu A jarang memakan buah. Ibu A hanya meminum
susu saat trimester 1 ketika Ibu A merasa mual sehingga tidak nafsu makan. Ibu A
mengatakan tidak punya cukup uang untuk membeli susu. Penghasilan suaminya
juga ditabung untuk biaya persalinan di Puskesmas dan keperluan bayi, keluarga
Bapak F memiliki jaminan kesehatan dari temppat dia bekerja. Saat kunjungan
jam 11, Ibu A mengatakan baru saja memakan makanan ringan yang ada di
warung (banyak mengandung MSG). Ibu A mengatakan kadang memakan biskuit
kelapa di antara waktu makan, misalnya jam 10 pagi. Ibu A kadang juga tidak
memakan makanan selingan di antara jam makan pagi dan siang. Ibu A
mengatakan sarapan dengan nasi dan telur. Ibu A tidak memakan sayur karena
sudah dua hari hujan sehingga penjual sayur keliling tidak ada di depan gang
rumah. Namun, Ibu A mengaku biasanya Ibu A dan anggota keluarga yang lain
suka makan sayur. Ibu A mengatakan memilih ikan dan sayur yang tampak lebih
segar. Ibu A mengatakan biasanya memotong sayur dahulu baru kemudian dicuci.
Badan Ibu A tampak tidak begitu berisi, tetangganya pun banyak yang
mengatakan kalau badan dan perut Ibu A termasuk kecil untuk usia kehamilan 30
minggu. Ibu A mengatakan sebelum hamil beratnya 45kg dan sampai kehamilan
30 minggu, beratnya 54kg, jadi naiknya sebesar 9kg. Dengan usia kehamilan 30
minggu, berat badan yang diharapkan 10,2kg, namun masih dalam rentang
kenaikan berat badan normal, yaitu 8-18 kg selama kehamilan. Ibu A mengatakan
tanda kurang gizi pada ibu hamil, yaitu berat naiknya sedikit, penyebabnya karena
kurang makan, sehingga bisa menyebabkan kurang darah. Ibu A rutin
17

memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Cimanggis tiap bulan. Ibu A


mengatakan waktu periksa, sempat konsultasi tentang anemia pada bidan.

Ibu A mengatakan sedikit cemas menjelang persalinan. Ibu A mengatakan


khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan saat persalinan. Ibu A belum
pernah melakukan USG sehingga tidak mengetahui jenis kelamin janinnya. Ibu A
mengatakan cemas adalah perasaan takut akan terjadinya sesuatu yang tidak
menyenangkan. Ketika merasa cemas, Ibu A hanya beristirahat dan berusaha
untuk berpikir positif. Ibu A mengatakan tanda dan gejala cemas, yaitu khawatir,
perasaan tidak menentu, jantung berdebar lebih cepat, gelisah, dan lebih sulit
untuk tidur. Ibu A mengatakan jika cemas tidak diatasi bisa stress. Setelah
dilakukan pengukuran tekanan darah, didapatkan hasil 120/80. Ibu A mengatakan
tensinya naik, biasanya 100-110/70 mmHg. Nadi 92x/menit, RR 20x/menit.Wajah
terlihat tidak tegang, tangan tidak tremor, dan tidak pula berkeringat.

Bapak F tidak memiliki keluhan saat ini, namun merokok + 5 tahun dan
sebungkus dalam sehari, aktivitas berolahraga jarang dan berangkat bekerja
menggunakan motor dan jarang menggunakan masker. Ibu A sudah sering
memperingatkan suaminya untuk mengurangi merokok dan menggunakan masker
ketika naik motor, akan tetapi Bapak F belum melaksanakannya. Bapak F
mengatakan tidak pernah mengunjungi pelayanan kesehatan, karena Bapak F
menganggap dirinya sehat-sehat saja.

3.5 Stres dan Koping Keluarga


Keadaan Kakek A yang memiliki keluhan sesak dan rasa kembung dan penuh di
bagian perut, dan Nenek I yang memiliki tekanan darah tinggi dan pasca jatuh di
kamar mandi sehingga mengubah gaya berjalan sehingga membungkuk menjadi
stressor bagi keluarga Kakek A.

Hal yang selalu menjadi pikiran Nenek I dan menantu adalah sakit yang dialami
oleh Kakek A yang tidak kunjung sembuh dan Kakek A mengkonsumsi obat
18

untuk mengurangi sesaknya tanpa resep dokter dan membeli bebas di apotik,
sehingga keluarga merasa khawatir dengan keadaan Kakek A.

Keluarga Kakek A khususnya Nenek I sudah seoptimal mungkin untuk merawat


Kakek A yang mengalami sesak dan TB Paru. Adapun usaha yang dilakukan
adalah dengan memberikan lingkungan yang nyaman dan ventilasi udara yang
bagus dengan sering membuka jendela dan pintu. Nenek I telah menyarankan dan
meminta Kakek A ke Posbindu atau dokter praktik terdekat untuk mengatasi
masalah sesak dan TB Paru yang dialami.

Ketika ada masalah Nenek I ataupun Kakek A mengatakan lebih sering diam dan
marahnya akan hilang dengan sendirinya, kemudian baru membicarakan masalah
tersebut agar mendapatkan solusi yang terbaik. Nenek I dan Kakek A tidak suka
membesar-besarkan masalah.

Keluarga memiliki koping yang baik dalam menyelesaikan masalah yang ada
dalam keluarga, termasuk dalam masalah kesehatan anggota keluarga. Keluarga
berusaha seoptimal mungkin dengan segala sumber yang ada dalam keluarga
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan keluarga dengan cara
memanajemen keuangan yang ada untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
termasuk gizi anggota keluarga.

Tidak ada adaptasi disfungsional yang terdapat dikeluarga Kakek A. Semua yang
terjadi merupakan hasil dari pengalaman yang bersifat rasional dan keluarga
melaporkan bahwa semua masalah yang diatasi dapat diselesaikan.

3.6 Harapan Keluarga


Keluarga berharap dengan adanya praktik mahasiswa ilmu keperawatan
komunitas, keluarga dapat mendapatkan berdiskusi tentang masalah kesehatan
sehingga keluarga dapat memperoleh informasi tentang kesehatan, terutama cara-
cara untuk mengatasi penyakit yang dialami keluarga sehingga dapat tercapai
19

peningkatan kesehatan dalam keluarga. Keluarga berharap semua anggota


keluarga sehat selalu.
20

3.7 Pemeriksaan Fisik


Tabel 3.2 Pemeriksaan Fisik Keluarga Kakek A

Komponen Kakek A Nenek I Ibu A Bapak F


Kepala Bulat, simetris, Lesi (-), Bulat, simetris, Lesi (-), Bulat, simetris, Lesi (-), Bulat, simetris, Lesi (-),
rambut tebal lurus pendek, rambut lurus panjang, rambut lurus panjang, rambut lurus pendek,
berwarna hitam dan sudah berwarna hitam beruban, berwarna hitam, terdistribusi berwarna hitam,
beruban, terdistribusi terdistribusi merata pada merata pada kulit kepala. terdistribusi merata pada
secara merata pada kulit kulit kepala. kulit kepala.
kepala.

Mata Alis mata simetris, sejajar, Alis mata simetris, sejajar, Alis mata simetris, sejajar, Alis mata simetris,
konjungtiva berwarna konjungtiva berwarna konjungtiva berwarna merah sejajar, konjungtiva
merah muda (tidak merah muda, sklera putih, muda (tidak anemis), sklera berwarna merah muda
anemis), sklera putih, tidak terdapat edema di putih, tidak terdapat edema di (tidak anemis), sklera
tidak terdapat edema di sekitar mata, sklera tidak sekitar mata, sklera tidak putih, tidak terdapat
sekitar mata, sklera tidak ikterik, pupil isokhor, mata ikterik, pupil isokhor, mata edema di sekitar mata,
ikterik, pupil isokhor, minus (-), positif (+) minus (-) sklera tidak ikterik, pupil
mata minus (-), positif (+) isokhor, mata minus (-)

Telinga Bentuk simetris antara Bentuk simetris antara Bentuk simetris antara telinga Bentuk simetris antara
telinga kanan dan kiri, telinga kanan dan kiri, kanan dan kiri, telinga sejajar telinga kanan dan kiri,
telinga sejajar mata, warna telinga sejajar mata, warna mata, warna telinga sama telinga sejajar mata,
telinga sama dengan kulit telinga sama dengan kulit dengan kulit wajah, bersih, warna telinga sama
wajah, bersih, serumen(-), wajah, bersih, serumen(-), serumen(-), lesi(-), nyeri(-), dengan kulit wajah,
lesi(-), nyeri(-), edema (-), lesi(-), nyeri(-), edema (-), edema (-), eritema (-), tidak bersih, serumen(-), lesi(-
eritema (-), gangguan eritema (-), tidak ada ada keluhan. ), nyeri(-), edema (-),
pendengaran pada keluhan. eritema (-), tidak ada
telinga kanan keluhan.

Universitas Indonesia
21

Komponen Kakek A Nenek I Ibu A Bapak F


Hidung Bentuk simetris, tidak ada Bentuk simetris, tidak ada Bentuk simetris, tidak ada Bentuk simetris, tidak
sumbatan di kedua lubang sumbatan di kedua lubang sumbatan di kedua lubang ada sumbatan di kedua
hidung, lesi (-), bersih, hidung, lesi (-), bersih, tidak hidung, lesi (-), bersih, tidak lubang hidung, lesi (-),
tidak ada sekret, tidak ada ada sekret, tidak ada ada sekret, tidak ada keluhan. bersih, tidak ada sekret,
keluhan. keluhan. tidak ada keluhan.

Mulut dan Mukosa mulut lembab, Mukosa mulut lembab, Mukosa mulut lembab, tidak Mukosa mulut lembab,
gigi tidak ada gangguan tidak ada gangguan ada gangguan menelan, tidak tidak ada gangguan
menelan, tidak ada lesi menelan, tidak ada lesi pada ada lesi pada mulut, gigi menelan, tidak ada lesi
pada mulut, ada dua gigi mulut, dua gigi depan atas masih utuh, tidak ada karies pada mulut, gigi masih
geraham di bagian dan geraham kan dan kiri gigi utuh, tidak ada karies
kanan bawah tanggal, sudah tanggal, terdapat gigi
dua gigi berwarna hitam karies gigi
dan belum ditambal,
terdapat karies gigi

Leher Tidak ada perbesaran Tidak ada perbesaran KGB Tidak ada perbesaran KGB Tidak ada perbesaran
KGB ataupun JVP ataupun JVP ataupun JVP KGB ataupun JVP

Dada Paru Paru Paru Paru


I : Simetris, I : Simetris, pembengkakan I : Simetris, pembengkakan (- I : Simetris,
pembengkakan (-), (-), penggunaan otot bantu ), penggunaan otot bantu pembengkakan (-),
penggunaan otot bantu napas (-)retraksi dinding napas (-) tretraksi dinding penggunaan otot bantu
napas, terdapar retraksi dada (-) lesi (-) dada (-) lesi (-) napas (-) tretraksi
dinding dada, lesi (-) A: vesikuler, wheezing -/-, A: vesikuler, wheezing -/-, dinding dada (-) lesi (-)
A: Ronkhi basah kasar ronkhi -/- ronkhi -/- A: vesikuler, wheezing -
di semua lapang paru, P: Tactile fremitus P: Tactile fremitus /-, ronkhi -/-
suara napas ronkhi P: Sonor P: Sonor P: Tactile fremitus

Universitas Indonesia
22

Komponen Kakek A Nenek I Ibu A Bapak F


sangat terdengar jelas Jantung : S1 & S2 normal, Jantung : S1 & S2 normal, P: Sonor
tanpa auskultasi, gallop (-), murmur (-) gallop (-), murmur (-)
wheezing -/- Jantung : S1 & S2
P: Tactile fremitus Payudara: terdapat spider normal, gallop (-),
P: Sonor nevi, areola experted dan murmur (-)
tidak ada pengeluaran
Jantung : S1 & S2 normal, kolostrum, benjolan (-)
gallop (-), murmur (-)

Abdomen I: tidak ada lesi, benjolan I: tidak ada lesi, benjolan I: tidak ada lesi, benjolan I: tidak ada lesi, benjolan
umbilikus (-), kontur umbilikus (-), kontur umbilikus (-), kontur umbilikus (-), kontur
abdomen cembung, abdomen datar, simetris abdomen cembung, simetris, abdomen datar, simetris
simetris A: BU= 8x/menit, bruit (-) striae (+), linea nigra (+) A: BU= 8x/menit, bruit (-
A: BU= 6x/menit, bruit (-) P : timpani A: BU= 8x/menit, bruit (-), )
P : pekak P : nyeri tekan (-), teraba DJJ (tidak terkaji) P : timpani
P : nyeri tekan (-), teraba lunak P : nyeri tekan (-), P : nyeri tekan (-), teraba
keras TFU: 25 cm lunak
leopold 1: kepala,
leopold 2: ekstremitas,
leopold 3: bokong

Ekstremitas Edema (-), rentang gerak Edema (-), rentang gerak Edema (-), rentang gerak Edema (-), rentang gerak
sempurna (+), reflek sempurna (+), reflek patella sempurna (+), reflek patella sempurna (+), reflek
patella (+) (+) (+) patella (+)
kekuatan otot: kekuatan otot: kekuatan otot: kekuatan otot:

5555 5555 5445 5555 5555 5555 5555 5555


5555 5555 5555 5555 5555 5555 5555 5555

Universitas Indonesia
23

Komponen Kakek A Nenek I Ibu A Bapak F


Kulit Warna sawo matang, tidak Warna sawo matang, utuh, Warna sawo matang, utuh, Warna sawo matang,
ada lesi, kering, tidak ada tidak ada luka, kulit lembab, tidak ada luka, kulit lembab, utuh, tidak ada luka, kulit
keluhan. tidak ada keluhan. tidak ada keluhan. lembab, tidak ada
keluhan.

Kuku Bersih, pendek Bersih, pendek Bersih, pendek Bersih, pendek

BB/TB BB : 55 kg BB: 52 kg BB: 54 kg BB: 65 kg


TB : 160 cm TB:145cm TB:146 cm TB:160 cm
IMT : 21,5 (normal) IMT: 24,7 (normal) IMT: 25,3 (normal) IMT: 25,3 (normal)
LILA: 27cm

TTV TD: 110/70 mmHg TD: 150/70 mmHg TD: 120/80mmHg TD: 150/70 mmHg
Nadi: 82 x/menit Nadi: 75 x/menit Nadi: 85 x/menit Nadi: 75 x/menit
Suhu: Afebris 36,5oC Suhu: Afebris 36 oC Suhu: Afebris 36,5 oC Suhu: Afebris 36 oC
RR: 28 x/menit RR: 20 x/menit RR: 20 x/menit RR: 20 x/menit
CRT < 2 detik CRT< 2 detik CRT < 2 detik CRT< 2 detik

3.8 Hasil Pemeriksaan Laboratorium/ Rontgen


3.8.1 Hasil Laboratorium:
BTA Positif (Pemeriksaan di PKM Cimanggis, Desember 2012)
BTA Negatif ( pemeriksaan di PKM Cimanggis, 03 Juni 2013)

Universitas Indonesia
24

3.8.2 Hasil Rontgen Thoraks : (pemeriksaan di RS Centra Medika, 02 Juli 2012)


Hasil: sinus difragma kiri normal, sinus kanan tumpul
jantung CTR < 50% ; aorta normal, paru: hili dan corakan bronkhovaskuler normal, tak tampak infiltrat, kavitas atau lesi patologis
lain, kesan: tak tampak pneumonia/ kelainan lain parenkim, kedua paru suspek pleuritis dextra, jantung normal.

3.9 Analisis Data


Tabel 2 Analisis Data

Data Masalah keperawatan


Data Subyektif :

- Riwayat meninggal akibat TB Paru pada Ibu dari Kakek A pada usia Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A
50 tahun dan kakak pertama Kakek A pada usia 65 tahun
- Sesak Kakek A sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu
- Sesekali batuk, biasanya dimalam hari dan mengeluarkan dahak
berwarna putih, jumlah sedikit, tidak bau.
- Sulit mengeluarkan dahak
- Kakek A mengatakan pernah memeriksakan dahaknya di puskesmas
Cimanggis pada Desember 2012 dan hasilnya BTA positif tetapi tidak
menjalani pengobatan sebelumnya mengeluh batuk-batuk lebih dari 3
minggu.
- Tidak ada riwayat alergi
- Riwayat merokok + 15 tahun dan menghabiskan 2 bungkus rokok
sehari, saat ini sudah tidak merokok sejak 3 bulan yang lalu
- Pada saat batuk-batuk lebih dari 3 minggu berobat ke dokter praktik
dan mendapatkan obat sanbutamol dan tyrosol yang diminum 3 × 1/
hari.

Universitas Indonesia
25

Data Masalah keperawatan


- Ketika tidur telentang menjadi lebih sesak.
- posisi tidur miring dengan menggunakan satu bantal
- Kakek A mengatakan hanya diam ketika sesak.
- Kakek A mengetahui TB dan tanda dan gejala penderita TB sehingga
merasa khawatir akan tanda-tanda TB pada dirinya.
- Sebelumnya Kakek A sudah mengikuti penyuluhan TB sebanyak 2
kali yang diadakan mahasiswa residen dan mahasiswa profesi
- Keluarga juga mengatakan pernah menjemur kasur dan karpet, namun
jarang-jarang dan setiap pagi membuka jendela dan pintu.
- Kakek A lebih menyukai berada di rumah lantai 2 karena sinar
matahari bisa masuk dan lebih suka tiduran di depan pintu karena
udara yang masuk banyak.

Data Obyektif:
- Pemeriksaan Fisik Paru:
I : Simetris, pembengkakan (-), penggunaan otot bantu napas, terdapar
retraksi dinding dada, lesi (-)
A: Ronkhi basah kasar di semua lapang paru, suara napas ronkhi tanpa
auskultasi, wheezing -/-
P: Tactile fremitus
P: Sonor

- Tanda-Tanda Vital (TTV):


TD: 110/70 mmHg
Nadi: 82 x/menit
Suhu: Afebris 36,5oC
RR: 28 x/menit
CRT < 2 detik

Universitas Indonesia
26

Data Masalah keperawatan


BB/TB:
- BB : 55 kg TB : 160 cm IMT : 21,5 (normal)

- Hasil pemeriksaan rontgen Thoraks (02 Juli 2012 di RS Centra


Medika) didapatkan hasil: sinus difragma kiri normal, sinus kanan
tumpul. Jantung CTR < 50% ; aorta normal, paru: hili dan corakan
bronkhovaskuler normal, tak tampak infiltrat, kavitas atau lesi patologis
lain, kesan: tak tampak pneumonia/ kelainan lain parenkim, kedua paru
suspek pleuritis dextra, jantung normal.

- Hasil Laboratorium: BTA Negatif (pemeriksaan di PKM Cimanggis,


03 Juni 2013)

- Halaman rumah terlihat kotor dan banyak jentik nyamuk digenangan


air depan rumah dan dikolam ikan
- Rumah tampak tidak berdebu
- Tidak terlihat adanya sampah yang berserakan baik di dalam ataupun
sekitar rumah
- Rumah terlihat gelap, pengap dan lembab
- Ventilasi rumah cukup, jendela rumah hanya t di bagian ruang tamu,
setiap kamar dan ruang tengah dan di belakang

Data Subyektif Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri


- Tidak menjalani pengobatan OAT saat terdiagnosis BTA positif pada Kakek A
- mengkonsumsi salbutamol dan tyrosol tanpa resep dokter
- mengatakan malas untuk mengunjung puskesmas karena malas
mengantri

Universitas Indonesia
27

Data Masalah keperawatan


- mengatakan mengerti tentang masalah TB mulai dari pengertian
sampai akibat bila tidak diobati
- tidak mengalami perbaikan kesehatan semenjak mengkonsumsi obat
salbutamol dan tyrosol.
- terkadang membuka jendela dan pintu dipagi hari dan berjalan-jalan
kecil di sekitar rumah.
- kebanyakan menghabiskan waktu buat tidur.
- Berinteraksi dengan anggota keluarga tanpa menggunakan masker
- membuang dahak di kamar mandi dan saluran pipa depan rumah.
- Alat makanan belum dipisahkan
- Kakek A menganggap dirinya tidak TB tetapi asma

Data Obyektif
- Mampu menyebutkan pengertian TB sampai akibat bila tidak diobati
- Halaman rumah terlihat kotor dan banyak jentik nyamuk digenangan
air depan rumah dan dikolam ikan
- Rumah tampak tidak berdebu
- Tidak terlihat adanya sampah yang berserakan baik di dalam ataupun
sekitar rumah
- Rumah terlihat gelap, pengap dan lembab
- Ventilasi rumah cukup, jendela rumah hanya di bagian ruang tamu,
setiap kamar dan ruang tengah dan di belakang
- belum menerapkan etika batuk yang baik dan benar

Universitas Indonesia
28

3.10 Skoring Masalah


Tabel 3
Diagnosis keperawatan : Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A

Angka
Kriteria Skor Bobot Perhitungan Pembenaran
Tertinggi
Sifat masalah : 3 3 1 3/3 x 1 = 1 Masalah sudah terjadi karena data subjektif dan objektif
aktual telah mendukung. suara ronchi sangat terdengar jelas tanpa
auskultasi dan Kakek A mengatakan sesak lebih dari 3
bulan.

Kemungkinan 2 2 2 2/2 x 2 = 2 Keluarga dapat dengan mudah menangkap penjelasan


masalah untuk perawat. Letak rumah keluarga cukup dekat dengan
diubah : mudah fasilitas pelayanan kesehatan (klinik dan Puskesmas).

Potensi masalah 1 3 1 1/3 x 1 = 1/3 Pencegahan dan perawatan belum diterapkan kepada
untuk dicegah : keluarga Kakek A dimana masih sering berinteraksi dengan
rendah anggota keluarga tanpa menggunakan masker, dan tidak
menggunakan etika batuk serta tidak menjalani pengobatan
OAT

Universitas Indonesia
29

Angka
Kriteria Skor Bobot Perhitungan Pembenaran
Tertinggi
Menonjolnya 2 2 1 2/2 x 1 = 1 Penyakit ini mudah menular dan aktual, maka perlu segera
masalah : perlu diatasi.
segera ditangani

Total skor 13/3

Tabel 4
Diagnosis keperawatan : Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A

Angka
Kriteria Skor Bobot Perhitungan Pembenaran
Tertinggi
Masalah sudah terjadi karena data subjektif dan objektif
Sifat masalah : 3 3 1 3/3 x 1 = 1 telah mendukung. pengobatan yang digunakan tidak sesuai
aktual dan tanpa resep dokter.

Keluarga dapat dengan mudah menangkap penjelasan


Kemungkinan 2 2 2 perawat. Letak rumah keluarga cukup dekat dengan
masalah untuk 2/2 x 2 = 2 fasilitas pelayanan kesehatan (klinik dan Puskesmas).
diubah : mudah

Universitas Indonesia
30

Angka
Kriteria Skor Bobot Perhitungan Pembenaran
Tertinggi
Potensi masalah 1 3 1 1/3 x 1 = 1/3 Pencegahan dan perawatan belum diterapkan kepada
untuk dicegah : keluarga Kakek A dimana masih sering berinteraksi dengan
rendah anggota keluarga tanpa menggunakan masker, dan tidak
menggunakan etika batuk serta tidak menjalani pengobatan
OAT

Menonjolnya 0 2 0 0/2 x 1 = 0/2 Pengobatan yang dilakukan oleh Kakek A dianggap sudah
masalah : masalah tepat oleh Kakek A, karena sebelumnya mengkonsumsi
tidak dirasakan obat yang sama sampai sekarang dan sedikit mengurangi
sesak yang dirasakan. Jadi Kakek A menganggap masalah
tidak dirasakan.

Total skor 10/3

Universitas Indonesia
31

3.11 Prioritas Diagnosis Keperawatan


Setelah dilakukan skoring maka didapatkan prioritas diagnosis keperawatan, yaitu yang pertama ketidakefektifan bersihan jalan napas
pada Kakek A dan kedua ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A.

Universitas Indonesia
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
(Berdasarkan diagnosa keperawatan yang sudah diprioritaskan)

Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A


Tanggal: Kamis, 30 Mei 2013/ 10.00-11.00 WIB Kunjungan ke-5/ Minggu ke-3

Implementasi Evaluasi
Sebelum melakukan kontrak dengan keluarga, mahasiswa:
 Mengucapkan salam S:
 Menyampaikan tujuan/maksud kedatangan  Kakek A dan An. R menjawab salam
 Memvalidasi keadaan keluarga  Kakek A menyetujui kunjungan saat ini selama 50 menit untuk
 Membuat kontrak dengan keluarga membahas masalah TB paru
 Menanyakan kembali yang didiskusikan pada pertemuan  Kakek A mengatakan sudah membaca kembali leaflet tentang TB paru
sebelumnya, yaitu TUK 1, 2 , dan sebagian TUK 3 dan mengatakan sudah mengerti dari pengertian, penyebab, tanda
gejala, akibat, cara pencegahan, cara perawatan TB paru.
TUK 3:  Kakek A mengatakan cara modifikasi lingkungan dengan membuka
 Mendemonstrasikan inhalasi sederhana jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk dan membuang
- Siapkan alat dan bahan (air panas, waskon, karton, minyak dahak pada tempat yang telah ditentukan
kayu putih)  Kakek A mengatakan akan memodifikasi lingkungan sesuai dengan
- Letakkan 1 liter air panas dalam waskom, ditambah 3-5 standar askep yang sudah diajarkan
tetes minyak kayu putih/minyak angin/balsam.  Kakek A mengatakan jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat
- Bentuk karton menjadi corong sehingga bagian atas digunakan, seperti puskesmas, RS, dan praktik mantri.
mengerucut dan menutupi bagian mulut dan hidung ,  Kakek A mengatakan manfaat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu
bagian bawah karton menutupi waskon untuk pemeriksaan dan mendapatkan obat untuk batuk pilek
- Hirup uapnya melalui hidung  Kakek A mengatakan akan berkunjung ke pelayanan kesehatan untuk
berobat
 Mendemontrasikan batuk efektif  Kakek A mengatakan sesak sedikit berkurang
- alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue  Kakek A mengatakan dahak menjadi encer dan mudah keluar
- Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan  Kakek A mengatakan batuk sesekali
mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan
pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas O:
selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan –  Kakek A dapat mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan batuk
lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga efektif
dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan  Kakek A mampu menjawab 2 dari 4 cara memodifikasi lingkungan
kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau untuk anggota keluarga yang mengalami TB PARU
tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benar-  Kakek A mampu menjawab 3 dari 5 jenis fasilitas pelayanan
benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian kesehatan yang dapat digunakan
diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal.  Kakek A mampu menjawab 2 dari 3 manfaat fasilitas pelayanan
Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat kesehatan
membersihkan mulut  TTV : TD: 110/70 mmHg, Nadi: 80 x/menit, Suhu: 36,5oC, RR: 26
x/menit
 Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum  Pemeriksaan paru: I : Simetris, pembengkakan (-), penggunaan otot
jelas bantu napas, terdapar retraksi dinding dada, lesi (-) A: Ronkhi basah
 Memotivasi keluarga untuk mendemontrasikan cara inhalasi kasar di semua lapang paru, suara napas ronkhi tanpa auskultasi,
sederhana dan batuk efektif wheezing -/- P: Tactile fremitus P: Sonor
 Memberikan positive reinforcement atas kemampuan
keluarga mendemontrasikan cara perawatan TB paru A: TUK 3 – 5 tercapai, namun bersihan jalan napas masih belum efektif
 mengevaluasi perasaan yang dirasakan setelah dilakukan ditandai dengan masih ada sesak dan suara napas ronkhi masih sangat
inhalasi sederhana dan batuk efektif terdengar jelas tanpa auskultasi

P:
TUK 4: - melanjutkan tindakan inhalasi sederhana selama 10-15 menit dilakukan
 Mendiskusikan cara memodifikasi lingkungan untuk penderita 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk efektif
TB paru - Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan 2 bantal
 Menjelaskan kepada keluarga tentang cara memodifikasi - Melanjutkan intervensi kedua untuk diagnosis keperawatan yang kedua
lingkungan untuk penderita TB paru dengan menggunakan yaitu ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A dengan
lembar balik TB paru.
- Membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat
masuk
- Menjemur kasur tiap minggu
- Membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan
- Tidak berganti-ganti alat makan dengan anggota keluarga.
 Memotivasi keluarga untuk menjelaskan kembali cara
memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru.
 Menanyakan kepada keluarga tentang materi yang belum
dimengerti.
 Menjelaskan kepada keluarga mengenai materi yang belum
dimengerti.
 Memberikan positive reinforcement terhadap kemampuan yang
dicapai oleh keluarga

TUK 5
 Mengkaji pengetahuan keluarga tentang fasilitas dan manfaat
fasilitas pelayanan kesehatan
 Mendiskusikan bersama dengan keluarga tentang jenis-jenis
fasilitas kesehatan yang dapat digunakan, yaitu :
a. Puskesmas
b. Rumah Sakit
c. Dokter praktik
d. Posbindu
e. Praktik perawat
 Memotivasi keluarga untuk menyebutkan kembali jenis-jenis
fasilitas kesehatan yang dapat digunakan.
 Mendiskusikan bersama keluarga tentang manfaat fasilitas
pelayanan kesehatan, yaitu sebagai sarana untuk pemeriksaan,
perawatan/pengobatan TB paru, sebagai sarana untuk
mendapatkan informasi yang akurat dan tepat untuk
mengatasi masalah TB paru
 Memotivasi keluarga untuk membawa anggota keluarga yang
sakit ke pelayanan kesehatan
 Memberikan positive reinforcement bahwa Kakek A ke
fasilitas kesehatan apabila masalah TB paru tidak dapat
ditangani dengan perawatan di rumah
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
(Berdasarkan diagnosa keperawatan yang sudah diprioritaskan)

Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A


Tanggal: Selasa, 28 Mei 2013/ 10.00-11.00 WIB Kunjungan ke-4 / Minggu ke-3

Implementasi Evaluasi
Sebelum melakukan kontrak dengan keluarga, mahasiswa: S:
 Mengucapkan salam  Kakek A dan Nenek I menjawab salam
 Menyampaikan tujuan/maksud kedatangan  Keluarga mengatakan kakek A masih merasa sesak napas
 Memvalidasi keadaan keluarga  Nenek I dan Kakek A menyetujui kunjungan saat ini selama 45 menit
 Membuat kontrak dengan keluarga untuk membahas masalah TB paru
 Kakek A mengatakan bahwa TB paru merupakan penyakit plek paru
TUK 1: yang menular,
Selama 1x45 menit, menggunakan lembar balik dan memberikan  Kakek A mengatakan penyebab TB paru adalah kuman TB
leaflet setelah diberikan pendidikan kesehatan mengenai TB paru  Kakek A mengatakan bahwa tanda dan gejala TB PARU adalah batuk
 Mendiskusikan bersama keluarga apa yang sudah diketahui lama, sesak nafas, nafsu makan menurun, berat badan menurun dan
keluarga mengenai pengertian TB paru suka berkeringat jika malam hari.
 Mendiskusikan dengan keluarga tentang pengertian TB paru  Kakek A mengatakan bahwa dirinya mengalami TB paru
merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh  Kakek A mengatakan bahwa akibat jika TB paru tidak ditangani
kuman yaitu kuman mycobacterium tuberculosis yang paling adalah kematian dan penyakit tidak dapat sembuh.
banyak menyerang di daerah paru-paru  Kakek A mengatakan bahwa akibat penderita TB paru jika putus obat
 Mendiskusikan dengan keluarga tentang penyebab TB paru, yaitu mengakibatkan pengobatan yang semakin lama, biaya semakin
yaitu: banyak
- Penyebab utama: kuman mycobacterium tuberculosis  Kakek A mengatakan cara mencegah TB paru dengan menutup hidung
- Penyebab lain: Tertular penderita lain melalui percikan dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker, tidak
dahak/bersin yang terhirup oleh orang lain meludah atau membuang dahak disembarang tempat dan buka jendela
 Memotivasi keluarga untuk menyebutkan kembali penyebab agar sinar matahasri masuk
TB paru  Nenek I mengatakan akan merawat anggota keluarga dengan TB paru
 Mendiskusikan dengan keluarga tentang tanda dan gejala TB  Nenek I dan Kakek A mengatakan cara merawat anggota keluarga
par, yaitu : dengan TB paru adalah batuk efektif dan inhalasi sederhana
 batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3  Kakek A mengatakan Alat untuk batuk efektif yaitu tempat dahak
minggu berisi 1 karbol: 9 air, tissue. Caranya yaitu posisi duduk dan rileks,
 demam/meriang lebih dari sebulan inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan
 nafsu makan dan BB menurun menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas
 mudah lelah selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui
 nyeri dada mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien
 sesak nafas untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang
mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benar-
 batuk berdahak disertai darah
benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali
 Mendorong keluarga untuk mengidentifikasi penyebab TB paru
untuk latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat
pada Kakek A
dahak dan tissue buat membersihkan mulut
 Membantu keluarga membandingkan apa yang telah dijelaskan
 Kakek A mengatakan cara inhalasi sederhana dengan menghirup uap
dengan kondisi Kakek A
air panas yang ditetesi minyak kayu putih.
 Memberikan positive reinforcement atas usaha yang dilakukan
keluarga.

TUK 2 :
 Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika
O:
tidak diobati, yaitu:
 Kakek A mampu menjawab pengertian TB paru sesuai standar
- tidak dapat sembuh,
 Kakek A mampu menjawab 1 dari 2 penyebab TB paru
- menular pada orang lain
 Kakek A mampu menjawab 5 dari 7 tanda dan gejala TB PARU
- kematian
 Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika  Kakek A mampu menjawab 2 dari 3 akibat jika TB paru yang tidak
diobati
putus obat, yaitu:
 kakek A mampu menjawab 2 dari 4 akibat jika penderita TB paru
- penyakit lebih sukar sembuh
putus obat.
- kuman tumbuh dan berkembang lebih banyak
 Kakek A mampu menjawab 3 dari 6 cara mencegah TB paru
- butuh biaya lebih besar
 Kakek A mampu menjawab menyebutkan 2 dari 2 cara merawat
- waktu pengobatan menjadi lebih lama
anggota keluarga dengan TB paru
 Mendiskusikan kembali dengan keluarga untuk merawat
anggota keluarga yang TB paru
 Memberikan positive reinforcement atas jawaban keluarga dan
keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan TB paru.
TUK 3: A:
 Menjelaskan kepada keluarga tentang cara pencegahan TB TUK 1, 2 dan sebagian TUK 3 tercapai
paru :
- menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau
menggunakan masker P:
- tidak meludah atau membuang dahak disembarang  Mengevaluasi TUK 1 dan 2
tempat  Melanjutkan TUK 3 dengan mendemontrasikan inhalasi sederhana dan
- makan-makanan yang bergizi batuk efektif
- imunisasi BCG pada bayi  Melanjutkan intervensi TUK 4 dan TUK 5
- buka jendela agar sinar matahasri masuk,
- jemur kasur paling sedikit seminggu sekali
 Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum
jelas
 Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat TB
paru di rumah
 Memberikan positive reinforcement atas kemampuan
keluarga menjelaskan cara perawatan TB paru
 Mendiskusikan bersama keluarga cara perawatan TB Paru
yaitu:
- melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan dahak
alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue
Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan
mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan
pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas
selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan –
lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga
dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan
kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau
tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benar-
benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian
diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal.
Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat
membersihkan mulut
- berikan inhalasi sederhana (pelega tenggorokan dan
pernapasan) dengan menggunakan air panas dalam
baskom dan menthol 3-5 tetes (minyak kayu putih)
 Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum
jelas
 Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat TB
paru di rumah
 Memberikan positive reinforcement atas kemampuan
keluarga menjelaskan cara perawatan TB paru
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
(Berdasarkan diagnosa keperawatan yang sudah diprioritaskan)

Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A


Tanggal: Selasa, 04 Juni 2013/ 10.00-11.00 WIB Kunjungan ke-6/ Minggu ke-4

Implementasi Evaluasi
Sebelum melakukan kontrak dengan keluarga, mahasiswa: S:
 Mengucapkan salam  Kakek A dan Nenek I menjawab salam
 Menyampaikan tujuan/maksud kedatangan  Keluarga mengatakan kakek A masih merasa sesak napas
 Memvalidasi keadaan keluarga  Nenek I dan Kakek A menyetujui kunjungan saat ini selama 45 menit
 Membuat kontrak dengan keluarga untuk membahas masalah TB paru
 Kakek A mengatakan bahwa TB paru merupakan penyakit plek paru
TUK 1: yang menular,
Selama 1x45 menit, menggunakan lembar balik dan memberikan  Kakek A mengatakan penyebab TB paru adalah kuman TB
leaflet setelah diberikan pendidikan kesehatan mengenai TB paru  Kakek A mengatakan bahwa tanda dan gejala TB PARU adalah batuk
 Mendiskusikan bersama keluarga apa yang sudah diketahui lama, sesak nafas, nafsu makan menurun, berat badan menurun dan
keluarga mengenai pengertian TB paru suka berkeringat jika malam hari.
 Mendiskusikan dengan keluarga tentang pengertian TB paru  Kakek A mengatakan bahwa dirinya mengalami TB paru
merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh  Kakek A mengatakan bahwa akibat jika TB paru tidak ditangani
kuman yaitu kuman mycobacterium tuberculosis yang paling adalah kematian dan penyakit tidak dapat sembuh.
banyak menyerang di daerah paru-paru  Kakek A mengatakan bahwa akibat penderita TB paru jika putus obat
 Mendiskusikan dengan keluarga tentang penyebab TB paru, yaitu mengakibatkan pengobatan yang semakin lama, biaya semakin
yaitu: banyak
- Penyebab utama: kuman mycobacterium tuberculosis  Kakek A mengatakan cara mencegah TB paru dengan menutup hidung
- Penyebab lain: Tertular penderita lain melalui percikan dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker, tidak
dahak/bersin yang terhirup oleh orang lain meludah atau membuang dahak disembarang tempat dan buka jendela
 Memotivasi keluarga untuk menyebutkan kembali penyebab agar sinar matahasri masuk
TB paru  Nenek I mengatakan akan merawat anggota keluarga dengan TB paru
 Mendiskusikan dengan keluarga tentang tanda dan gejala TB  Nenek I dan Kakek A mengatakan cara merawat anggota keluarga
par, yaitu : dengan TB paru adalah batuk efektif dan inhalasi sederhana
 batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3  Kakek A mengatakan Alat untuk batuk efektif yaitu tempat dahak
minggu berisi 1 karbol: 9 air, tissue. Caranya yaitu posisi duduk dan rileks,
 demam/meriang lebih dari sebulan inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan
 nafsu makan dan BB menurun menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas
 mudah lelah selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui
 nyeri dada mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien
 sesak nafas untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang
mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benar-
 batuk berdahak disertai darah
benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali
 Mendorong keluarga untuk mengidentifikasi penyebab TB paru
untuk latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat
pada Kakek A
dahak dan tissue buat membersihkan mulut
 Membantu keluarga membandingkan apa yang telah dijelaskan
 Kakek A mengatakan cara inhalasi sederhana dengan menghirup uap
dengan kondisi Kakek A
air panas yang ditetesi minyak kayu putih.
 Memberikan positive reinforcement atas usaha yang dilakukan
keluarga.

TUK 2 :
 Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika
O:
tidak diobati, yaitu:
 Kakek A mampu menjawab pengertian TB paru sesuai standar
- tidak dapat sembuh,
 Kakek A mampu menjawab 1 dari 2 penyebab TB paru
- menular pada orang lain
 Kakek A mampu menjawab 5 dari 7 tanda dan gejala TB PARU
- kematian
 Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika  Kakek A mampu menjawab 2 dari 3 akibat jika TB paru yang tidak
diobati
putus obat, yaitu:
 kakek A mampu menjawab 2 dari 4 akibat jika penderita TB paru
- penyakit lebih sukar sembuh
putus obat.
- kuman tumbuh dan berkembang lebih banyak
 Kakek A mampu menjawab 3 dari 6 cara mencegah TB paru
- butuh biaya lebih besar
 Kakek A mampu menjawab menyebutkan 2 dari 2 cara merawat
- waktu pengobatan menjadi lebih lama
anggota keluarga dengan TB paru
 Mendiskusikan kembali dengan keluarga untuk merawat
anggota keluarga yang TB paru
 Memberikan positive reinforcement atas jawaban keluarga dan
keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan TB paru.
TUK 3: A:
 Menjelaskan kepada keluarga tentang cara pencegahan TB TUK 1, 2 dan sebagian TUK 3 tercapai
paru :
- menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau
menggunakan masker P:
- tidak meludah atau membuang dahak disembarang  Mengevaluasi TUK 1 dan 2
tempat  Melanjutkan TUK 3 dengan mendemontrasikan inhalasi sederhana dan
- makan-makanan yang bergizi batuk efektif
- imunisasi BCG pada bayi  Melanjutkan intervensi TUK 4 dan TUK 5
- buka jendela agar sinar matahasri masuk,
- jemur kasur paling sedikit seminggu sekali
 Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum
jelas
 Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat TB
paru di rumah
 Memberikan positive reinforcement atas kemampuan
keluarga menjelaskan cara perawatan TB paru
 Mendiskusikan bersama keluarga cara perawatan TB Paru
yaitu:
- melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan dahak
alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue
Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan
mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan
pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas
selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan –
lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga
dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan
kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau
tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benar-
benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian
diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal.
Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat
membersihkan mulut
- berikan inhalasi sederhana (pelega tenggorokan dan
pernapasan) dengan menggunakan air panas dalam
baskom dan menthol 3-5 tetes (minyak kayu putih)
 Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum
jelas
 Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat TB
paru di rumah
 Memberikan positive reinforcement atas kemampuan
keluarga menjelaskan cara perawatan TB paru
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
(Berdasarkan diagnosa keperawatan yang sudah diprioritaskan)

Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A


Tanggal: Kamis, 13 Juni 2013/ 10.00-11.00 WIB Kunjungan ke-7/ Minggu ke-4

Implementasi Evaluasi
Sebelum melakukan kontrak dengan keluarga, mahasiswa:
 Mengucapkan salam S:
 Menyampaikan tujuan/maksud kedatangan  Kakek A dan An. R menjawab salam
 Memvalidasi keadaan keluarga  Kakek A menyetujui kunjungan saat ini selama 50 menit untuk
 Membuat kontrak dengan keluarga membahas masalah TB paru
 Menanyakan kembali yang didiskusikan pada pertemuan  Kakek A mengatakan sudah membaca kembali leaflet tentang TB paru
sebelumnya, yaitu TUK 1, 2 , dan sebagian TUK 3 dan mengatakan sudah mengerti dari pengertian, penyebab, tanda
gejala, akibat, cara pencegahan, cara perawatan TB paru.
TUK 3:  Kakek A mengatakan cara modifikasi lingkungan dengan membuka
 Mendemonstrasikan inhalasi sederhana jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk dan membuang
- Siapkan alat dan bahan (air panas, waskon, karton, minyak dahak pada tempat yang telah ditentukan
kayu putih)  Kakek A mengatakan akan memodifikasi lingkungan sesuai dengan
- Letakkan 1 liter air panas dalam waskom, ditambah 3-5 standar askep yang sudah diajarkan
tetes minyak kayu putih/minyak angin/balsam.  Kakek A mengatakan jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat
- Bentuk karton menjadi corong sehingga bagian atas digunakan, seperti puskesmas, RS, dan praktik mantri.
mengerucut dan menutupi bagian mulut dan hidung ,  Kakek A mengatakan manfaat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu
bagian bawah karton menutupi waskon untuk pemeriksaan dan mendapatkan obat untuk batuk pilek
- Hirup uapnya melalui hidung  Kakek A mengatakan akan berkunjung ke pelayanan kesehatan untuk
berobat
 Mendemontrasikan batuk efektif  Kakek A mengatakan sesak sedikit berkurang
- alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue  Kakek A mengatakan dahak menjadi encer dan mudah keluar
- Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan  Kakek A mengatakan batuk sesekali
mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan
pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas O:
selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan –  Kakek A dapat mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan batuk
lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga efektif
dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan  Kakek A mampu menjawab 2 dari 4 cara memodifikasi lingkungan
kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau untuk anggota keluarga yang mengalami TB PARU
tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benar-  Kakek A mampu menjawab 3 dari 5 jenis fasilitas pelayanan
benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian kesehatan yang dapat digunakan
diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal.  Kakek A mampu menjawab 2 dari 3 manfaat fasilitas pelayanan
Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat kesehatan
membersihkan mulut  TTV : TD: 110/70 mmHg, Nadi: 83 x/menit, Suhu: 36,5oC, RR: 26
x/menit
 Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum  Pemeriksaan paru: I : Simetris, pembengkakan (-), penggunaan otot
jelas bantu napas, terdapat retraksi dinding dada, lesi (-) A: Ronkhi basah
 Memotivasi keluarga untuk mendemontrasikan cara inhalasi kasar di semua lapang paru, suara napas ronkhi tanpa auskultasi,
sederhana dan batuk efektif wheezing -/- P: Tactile fremitus P: Sonor
 Memberikan positive reinforcement atas kemampuan
keluarga mendemontrasikan cara perawatan TB paru A: TUK 3 – 5 tercapai, namun bersihan jalan napas masih belum efektif
 mengevaluasi perasaan yang dirasakan setelah dilakukan ditandai dengan masih ada sesak dan suara napas ronkhi masih sangat
inhalasi sederhana dan batuk efektif terdengar jelas tanpa auskultasi

P:
TUK 4: - melanjutkan tindakan inhalasi sederhana selama 10-15 menit dilakukan
 Mendiskusikan cara memodifikasi lingkungan untuk penderita 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk efektif
TB paru - Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan 2 bantal
 Menjelaskan kepada keluarga tentang cara memodifikasi - Melanjutkan intervensi kedua untuk diagnosis keperawatan yang kedua
lingkungan untuk penderita TB paru dengan menggunakan yaitu ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A dengan
lembar balik TB paru.
- Membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat
masuk
- Menjemur kasur tiap minggu
- Membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan
- Tidak berganti-ganti alat makan dengan anggota keluarga.
 Memotivasi keluarga untuk menjelaskan kembali cara
memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru.
 Menanyakan kepada keluarga tentang materi yang belum
dimengerti.
 Menjelaskan kepada keluarga mengenai materi yang belum
dimengerti.
 Memberikan positive reinforcement terhadap kemampuan yang
dicapai oleh keluarga

TUK 5
 Mengkaji pengetahuan keluarga tentang fasilitas dan manfaat
fasilitas pelayanan kesehatan
 Mendiskusikan bersama dengan keluarga tentang jenis-jenis
fasilitas kesehatan yang dapat digunakan, yaitu :
a. Puskesmas
b. Rumah Sakit
c. Dokter praktik
d. Posbindu
e. Praktik perawat
 Memotivasi keluarga untuk menyebutkan kembali jenis-jenis
fasilitas kesehatan yang dapat digunakan.
 Mendiskusikan bersama keluarga tentang manfaat fasilitas
pelayanan kesehatan, yaitu sebagai sarana untuk pemeriksaan,
perawatan/pengobatan TB paru, sebagai sarana untuk
mendapatkan informasi yang akurat dan tepat untuk
mengatasi masalah TB paru
 Memotivasi keluarga untuk membawa anggota keluarga yang
sakit ke pelayanan kesehatan
 Memberikan positive reinforcement bahwa Kakek A ke
fasilitas kesehatan apabila masalah TB PARU tidak dapat
ditangani dengan perawatan di rumah
FORMAT EVALUASI SUMATIF
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA

1. Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A

Hasil
No Kriteria Evaluasi Keterangan
Ya Tidak
1 Keluarga dapat menyebutkan pengertian TB paru adalah salah satu penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman yaitu kuman mycobacterium tuberculosis yang paling banyak √
menyerang di daerah paru-paru

2 Keluarga dapat menyebutkan 1 dari 2 penyebab TB paru,yaitu:



- Penyebab utama: kuman mycobacterium tuberculosis
- Penyebab lain: Tertular penderita lain melalui percikan dahak/bersin yang terhirup oleh
orang lain

3 Keluarga dapat menyebutkan 5 dari 7 tanda dan gejala TB paru, yaitu:


- Batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3 minggu
- Demam/meriang lebih dari sebulan
- Nafsu makan dan BB menurun
- Mudah lelah √
- Nyeri dada
- Sesak nafas
- Batuk berdahak disertai darah

4 Keluarga mampu menyebutkan minimal 2 dari 3 akibat TB paru tidak diobati:


- tidak dapat sembuh,
- menular pada orang lain √
- kematian
Hasil
No Kriteria Evaluasi Keterangan
Ya Tidak
5 Keluarga mampu menyebutkan minimal 2 dari 4 akibat TB paru putus obat:
- penyakit lebih sukar sembuh
- kuman tumbuh dan berkembang lebih banyak

- butuh biaya lebih besar
- waktu pengobatan menjadi lebih lama

6 Keluarga mampu menyebutkan 3 dari 6 cara pencegahan TB paru, yaitu :


- menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker
- tidak meludah atau membuang dahak disembarang tempat
- makan-makanan yang bergizi

- imunisasi BCG pada bayi
- buka jendela agar sinar matahasri masuk,
- jemur kasur paling sedikit seminggu sekali

7 Keluarga mampu menyebutkan 1dari 2 cara perawatan TB paru, yaitu :


- Batuk efektif √
- Inhalasi sederhana
8 Keluarga dapat mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan
- Siapkan alat dan bahan (air panas, waskon, karton, minyak kayu putih)
- Letakkan 1 liter air panas dalam waskom, ditambah 3-5 tetes minyak kayu
putih/minyak angin/balsam.

- Bentuk karton menjadi corong sehingga bagian atas mengerucut dan menutupi bagian
mulut dan hidung , bagian bawah karton menutupi waskon
- Hirup uapnya melalui hidung

9 Keluarga dapat mendemonstrasikan batuk efektif


- alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue

- Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan
pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5
Hasil
No Kriteria Evaluasi keterangan
Ya Tidak
detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia
ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari
dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang
benar-benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk
latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat
membersihkan mulut
10 Keluarga dapat menyebutkan 2 dari 4 cara memodifikasi lingkungan yang menjadi penyebab
TB paru:
- Membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk
- Menjemur kasur tiap minggu

- Membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan
- Tidak berganti-ganti alat makan dengan anggota keluarga

11 Keluarga dapat menyebutkan 3 dari 5 fasilitas kesehatan yang dapat dikunjungi:


- Puskesmas
- Rumah Sakit
- Dokter praktik

- Posbindu
- Praktik perawat

12. Keluarga dapat menyebutkan 2 dari 3 manfaat kunjungan ke fasilitas kesehatan :


- Mendapatkan pemeriksaan

- Mendapatkan perawatan.
- Mendapatkan penyuluhan atau pendidikan kesehatan

13. Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk menangani TB paru bila gejala tidak
hilang √
FORMAT EVALUASI SUMATIF
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA

2. Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A dengan masalah TB paru

Hasil
No Kriteria Evaluasi Keterangan
Ya Tidak
1 Keluarga dapat menyebutkan pengertian TB paru adalah salah satu penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman yaitu kuman mycobacterium tuberculosis yang paling banyak √
menyerang di daerah paru-paru

2 Keluarga dapat menyebutkan 1 dari 2 penyebab TB paru,yaitu:



- Penyebab utama: kuman mycobacterium tuberculosis
- Penyebab lain: Tertular penderita lain melalui percikan dahak/bersin yang terhirup oleh
orang lain

3 Keluarga dapat menyebutkan 5 dari 7 tanda dan gejala TB paru, yaitu:


- Batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3 minggu
- Demam/meriang lebih dari sebulan
- Nafsu makan dan BB menurun
- Mudah lelah √
- Nyeri dada
- Sesak nafas
- Batuk berdahak disertai darah

4 Keluarga mampu menyebutkan minimal 2 dari 3 akibat TB paru tidak diobati:


- tidak dapat sembuh,
- menular pada orang lain √
- kematian
Hasil
No Kriteria Evaluasi Keterangan
Ya Tidak
5 Keluarga mampu menyebutkan minimal 2 dari 4 akibat TB paru putus obat:
- penyakit lebih sukar sembuh
- kuman tumbuh dan berkembang lebih banyak

- butuh biaya lebih besar
- waktu pengobatan menjadi lebih lama

6 Keluarga mampu menyebutkan 3 dari 6 cara pencegahan TB paru, yaitu :


- menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker
- tidak meludah atau membuang dahak disembarang tempat
- makan-makanan yang bergizi

- imunisasi BCG pada bayi
- buka jendela agar sinar matahasri masuk,
- jemur kasur paling sedikit seminggu sekali

7 Keluarga mampu menyebutkan 1dari 2 cara perawatan TB paru, yaitu :


- Batuk efektif √
- Inhalasi sederhana
8 Keluarga dapat mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan
- Siapkan alat dan bahan (air panas, waskon, karton, minyak kayu putih)
- Letakkan 1 liter air panas dalam waskom, ditambah 3-5 tetes minyak kayu
putih/minyak angin/balsam.

- Bentuk karton menjadi corong sehingga bagian atas mengerucut dan menutupi bagian
mulut dan hidung , bagian bawah karton menutupi waskon
- Hirup uapnya melalui hidung

9 Keluarga dapat mendemonstrasikan batuk efektif


- alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue

- Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan
pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5
Hasil
No Kriteria Evaluasi keterangan
Ya Tidak
detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia
ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari
dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang
benar-benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk
latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat
membersihkan mulut
10 Keluarga dapat menyebutkan 2 dari 4 cara memodifikasi lingkungan yang menjadi penyebab
TB paru:
- Membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk
- Menjemur kasur tiap minggu

- Membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan
- Tidak berganti-ganti alat makan dengan anggota keluarga.

11 Keluarga dapat menyebutkan 3 dari 5 fasilitas kesehatan yang dapat dikunjungi:


- Puskesmas
- Rumah Sakit
- Dokter praktik

- Posbindu
- Praktik perawat

12. Keluarga dapat menyebutkan 2 dari 3 manfaat kunjungan ke fasilitas kesehatan :


- Mendapatkan pemeriksaan

- Mendapatkan perawatan.
- Mendapatkan penyuluhan atau pendidikan kesehatan

13. Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk menangani TB paru bila gejala tidak
hilang √
TINGKAT KEMANDIRIAN

Nama keluarga : Kakek A


Alamat : RT 06 RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Cimanggis, Depok

KESIMPULAN:
Dari hasil pengkajian, intervensi, implementasi dan evaluasi yang dilakukan selama sembilan
minggu, keluarga dapat bekerjasama dengan mahasiswa dalam mengatasi masalah kesehatan
yang ditemukan. Selama melakukan pembinaan dan kunjungan rutin di keluarga, mahasiswa
banyak memperoleh informasi dari keluarga mengenai masalah kesehatan yang dialami
keluarga. Selama sembilan minggu mahasiswa melakukan pembinaan dan kunjungan rutin ke
keluarga dan menemukan lima masalah kesehatan dan dapat disimpulkan bahwa keluarga
termasuk ke dalam “Keluarga mandiri tingkat III” dengan alasan:

Kriteria Ya Tidak Pembenaran


Keluarga Selama praktek dan melakukan kunjungan rumah,
menerima petugas keluarga selalu menerima kehadiran perawat dengan
perawatan sikap ramah dan terbuka. Keluarga dan mahasiswa
kesehatan hampir selalu menyepakati kontrak yang telah
masyarakat ditentukan. Keluarga mengatakan selalu menerima

mahasiswa kapan saja. Apabila keluarga ada acara
dan kegiatan pada saat kontrak yang telah
disepakati, keluarga memberitahukan kepada
mahasiswa terlebih dahulu.

Keluarga Hasil pengkajian yang dilakukan mahasiswa kepada


menerima dan bersama keluarga kemudian dianalisis untuk
pelayanan menentukan masalah keperawatan. Masalah atau
kesehatan yang diagnosis keperawatan yang ada disusun secara
diberikan sesuai √ prioritas bersama keluarga dan direncanakan
dengan rencana intervensi untuk mengatasinya. Dua diagnosis
keperawatan keperawatan yang ditemukan telah diselesaikan
semuanya.

Keluarga Saat proses pengkajian, keluarga selalu menjawab


mengungkapkan pertanyaan mahasiswa dengan benar yang kemudian
masalah kesehatan √ di klarifikasi dengan pemeriksaan fisik dan
yang dialami pemeriksaan penunjang lainnya. Keluarga dengan
secara benar terbuka mau membicarakan masalah kesehatan yang
Kriteria Ya Tidak Pembenaran
ada dengan mahasiswa. Keluarga merasa yakin
bahwa kehadiran mahasiswa adalah untuk membantu
keluarga mengatasi masalah kesehatan yang ada.

Keluarga Keluarga sudah memanfaatkan fasilitas kesehatan


memanfaatkan secara berkala ke dokter praktik.
fasilitas kesehatan √
sesuai anjuran

Keluarga Keluarga sudah mampu melakukan perawatan


melaksanakan sederhana sesuai anjuran, diantaranya:
perawatan  Melakukan inhalasi sederhana

sederhana sesuai  Melakukan batuk efektif
anjuran

Keluarga Keluarga sudah mampu melakukan pencegahan


melakukan terhadap masalah kesehatan yang dialami,
tindakan diantaranya:
pencegahan  Membuka jendela dan pintu agar sinar
matahari dapat masuk

 Membuang dahak pada tempat yang telah
ditentukan
 Tidak berganti-ganti alat makan dengan
anggota keluarga.

Keluarga √ Keluarga belum mampu melakukan promosi


melakukan kesehatan secara aktif, dengan:
promosi kesehatan  Menjaga kesehatan anggota keluarga
secara aktif  Memberikan makanan keluarga dengan gizi
seimbang
 Istirahat yang cukup
 Melakukan pengobatan TB
1

PENGARUH INHALASI SEDERHANA DAN BATUK EFEKTIF TERHADAP


KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS PADA
TUBERKULOSIS PARU LANSIA

Andi Amalia Wildani1, Sukihananto2

Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok, 16424


Telp. (+6281388180154) E-mail: andi.amalia81@ui.ac.id / andiwildha@gmail.com

Abstrak

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru, disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis. TB merupakan masalah global dan salah satu dampak dari urbanisasi terhadap kesehatan
masyarakat. faktor kependudukan dan faktor lingkungan merupakan penyebab terjadinya tuberkulosis di perkotaan.
Manifestasi klinis TB pada lansia salah satunya adalah sesak nafas. Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk memberikan
gambaran penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas pada
tuberkulosis paru lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Intervensi
keperawatan yang diberikan adalah inhalasi sederhana dan batuk efektif. Pemberian inhalasi sederhana dan batuk efektif
bermanfaat dan dapat diterapkan untuk mengeluarkan dahak, menurunkan frekuensi napas, dan mengurangi sesak napas
pada lansia. Pemecahan masalah yang dilakukan ketika inhalasi sederhana dan batuk efektif tidak efektif yaitu
pemberian posisi semi fowler untuk meningkatkan ekspansi paru dan mencukupi kebutuhan oksigen sehingga
memberikan kenyamanan dan mengurangi sesak.

Kata kunci: asuhan keperawatan keluarga; ketidakefektifan bersihan jalan napas; lansia, tuberkulosis

The Influence of Simple Inhalation and Effective Cough to Ineffective Airway Clearance in
Elderly Pulmonary Tuberculosis

Abstract

Tuberculosis (TB) is an infectious disease that primarily affects the lung parenchyma, caused by mycobacterium
tuberculosis. TB is a global problem and one of the impacts of urbanization on public health. Demographic factors and
enviromental factors are the cause of TB in urban areas. One of clinical manifestations of elderly TB is shortness of
breath.The aim of this final assignment is provide descriptive management of family nursing care with the ineffective
airway clearance in elderly pulmonary tuberculosis at RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis,
Kota Depok. Nursing interventions provided are simple inhalation and effective cough. The simple inhalation and
effective cough is still useful and can be applied to remove sputum, lower respiratory rate, and reduce shortness of
breath in elderly. The problem solving when simple inhalation and effective cough does not effectively address the
problem ineffective airway clearance in elderly pulmonary is the provision of semi fowler position to improve lung
expansion and sufficient of oxygen so as to provide comfort and reduce shortness of breath.

Keywords: family nursing care; ineffective airway clearance; elderly; tuberculosis

1
Mahasiswa Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan 2012
2
Dosen Keilmuan Keperawatan Komunitas
Universitas Indonesia
2

1. Pendahuluan
Masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Hal ini
dibuktikan dengan masih banyak ditemukannya penderita TB di masyarakat. TB bisa menyerang
siapa pun, warga miskin perkotaan adalah kelompok masyarakat paling rentan terserang
tuberkulosis. Lingkungan tempat tinggal yang kumuh dan rendahnya mutu asupan nutrisi membuat
kuman tuberkulosis dalam tubuh gampang menjadi aktif (Health Kompas, 2012). Penularan TB
yang cepat, menjadikan TB sebagai salah satu masalah global dan Indonesia menempati urutan ke
lima dengan terbesar kasus insiden pada tahun 2009 (Kemenkes, 2011).

Indonesia terdiri dari berbagai provinsi, salah satunya adalah Jawa Barat. Estimasi jumlah orang
dengan TB tertinggi berada di Jawa Barat dan Depok yang merupakan salah satu kota yang berada
di Jawa Barat. Penemuan kasus baru (Case Detection Rate) di kota Depok dari tahun 2011 sampai
dengan tahun 2012 terus meningkat. Penderita TB di Depok khususnya di kelurahan Cisalak pasar,
berdasarkan hasil pengkajian di Puskesmas Cimanggis, selama tahun 2012 sampai Mei 2013
terdapat 32 orang berobat TB, jumlah tersebut masih jauh diatas dari target nasional, dimana target
untuk kelurahan Cisalak Pasar dalam menemukan kasus TB baru adalah sebanyak 20 kasus. Dari 32
orang pasien yang terdapat di kelurahan Cisalak pasar, 10 orang atau 32.1% diantaranya terdapat di
RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok (Puskesmas Cimanggis,
2012).

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru dan dapat
juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang dan nodus limfe
(Smeltzer & Bare, 2002). TB disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Kemenkes, 2011).
Tuberkulosis ini sendiri bukan penyakit keturunan dan dapat disembuhkan bila berobat teratur.
Penderita TB aktif jika tidak diobati dapat menularkan sepuluh sampai lima belas orang lainnya
dalam satu tahun. TB ini sendiri menyerang kelompok usia produktif (15-54 tahun) dan ekonomi
lemah, namun TB juga dapat menyerang usia lanjut (Nugroho, 2007).

Pasien lansia yang menderita TB paru menunjukkan gejala agak berbeda dari orang muda. Gejala
batuk yang merupakan gejala penting pada TB pada orang muda ternyata pada usia lanjut kurang
menonjol. Biasanya yang lebih sering dikeluhkan adalah gejala sesak. Perlu juga diingat pada orang
berusia lanjut fungsi organ tubuh menurun sehingga dalam pemberian obat keadaan fungsi organ
harus dipertimbangkan (Kompas, 2008). Lansia dengan TB paru akan mengalami berbagai masalah
keperawatan baik secara biologis, psikologis dan sosial, salah satunya yaitu bersihan jalan nafas

Universitas Indonesia
3

yang tidak efektif. Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik,
kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak
berjalan secara adekuat normal, sehingga mukus ini banyak tertimbun dan bersihan jalan nafas akan
tidak efektif. Intervensi keperawatan yang diberikan pada pasien lansia dengan TB paru yaitu
inhalasi sederhana dan batuk efektif. Hough (2001) menyatakan bahwa penggunaan penguapan atau
inhalasi sederhana untuk mengencerkan dahak tergantung dari kekuatan pasien untuk membatuk
atau batuk efektif sehingga mendorong lendir keluar dari saluran pernapasan dan seseorang akan
merasa lendir atau dahak di saluran napas hilang dan jalan nafas akan kembali normal. Berdasarkan
data tersebut di atas, mahasiswa tertarik untuk membahas bagaimana pengaruh inhalasi sederhana
dan batuk efektfif terhadap ketidakefektifan bersihan jalan napas pada tuberkulosis paru lansia di
RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.

2. Metode
Karya ilmiah akhir ini ditulis dengan menggunakan metode studi kasus terhadap keluarga dengan
tuberkulosis paru pada lansia yang dikelola selama tujuh minggu dengan masalah keperawatan
ketidakefektifan bersihan jalan napas.

3. Hasil
Data pengkajian yang kemudian dikelompokkan oleh mahasiswa dijadikan dasar dalam
menegakkan diagnosis keperawatan pada kasus kelolaan utama dan diperoleh diagnosis
keperawatan utama yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas. Setelah diagnosa keperawatan
dirumuskan, mahasiswa kemudian melakukan perencanaan tindakan keperawatan untuk
menyelesaikan masalah keperawatan pada pasien kelolaan dengan menetapkan juga tujuan dan
kriteria hasil yang akan dicapai dari masing-masing tindakan. Mahasiswa kemudian menerapkan
tindakan keperawatan sesuai rencana yang telah dibuat. Implementasi dilakukan sebanyak empat
kali kunjungan rumah selama empat puluh lima menit untuk mengatasi diagnosis keperawatan
ketidakefektifan bersihan jalan napas. Implementasi yang dilakukan berdasarkan lima tugas
kesehatan keluarga yaitu TUK 1 mengenal masalah TB, dengan menyebutkan pengertian,
penyebab, tanda dan gejala, serta cara penularan, TUK 2 mengambil keputusan untuk mengatasi
masalah TB dengan menyebutkan akibat TB bila tidak diobati dan tidak minum obat secara teratur,
memutuskan untuk mengatasi masalah TB pada penderita TB, TUK 3 melakukan perawatan untuk
mengatasi masalah TB dengan menyebutkan cara pencegahan penularan TB Menyebutkan cara
perawatan sederhana untuk mengatasi TB, TUK 4 memodifikasi lingkungan untuk mencegah TB,
dan TUK 5 pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan. Evaluasi dilakukan untuk membandingkan

Universitas Indonesia
4

antara hasil implementasi untuk mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada kakek A
dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya.

Evaluasi Subyektif yaitu Kakek A mengatakan masih merasa sesak napas. Mengatakan bahwa TB
paru merupakan penyakit plek paru yang menular, penyebab TB paru adalah kuman TB, tanda dan
gejala TB paru adalah batuk lama, sesak nafas, nafsu makan menurun, berat badan menurun dan
suka berkeringat jika malam hari. Mengatakan bahwa dirinya mengalami TB paru. Kakek A
mengatakan bahwa akibat jika TB paru tidak ditangani adalah kematian dan penyakit tidak dapat
sembuh, akibat penderita TB paru jika putus obat yaitu mengakibatkan pengobatan yang semakin
lama, biaya semakin banyak, cara mencegah TB paru dengan menutup hidung dan mulut saat batuk
atau bersin atau menggunakan masker, tidak meludah atau membuang dahak disembarang tempat
dan buka jendela agar sinar matahari masuk. Nenek I mengatakan akan merawat anggota keluarga
dengan TB paru dan mengatakan cara merawat anggota keluarga dengan TB paru adalah batuk
efektif dan inhalasi sederhana. Kakek A mengatakan Alat untuk batuk efektif yaitu tempat dahak
berisi 1 karbol: 9 air, tissue. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut.
Kakek A mengatakan cara inhalasi sederhana dengan menghirup uap air panas yang ditetesi minyak
kayu putih. Kakek A mengatakan cara modifikasi lingkungan dengan membuka jendela dan pintu
agar sinar matahari dapat masuk dan membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan dan
mengatakan akan memodifikasi lingkungan sesuai dengan standar askep yang sudah diajarkan.
Kakek A mengatakan jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan, seperti puskesmas,
RS, dan praktik mantri, manfaat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu untuk pemeriksaan dan
mendapatkan obat untuk batuk pilek dan akan berkunjung ke pelayanan kesehatan untuk berobat.
Setelah diberikan inhalasi sederhana dan batuk efektif, Kakek A mengatakan sesak sedikit
berkurang, napas sedikit lega. dahak menjadi encer dan mudah keluar, mengatakan batuk sesekali.

Evaluasi subyektif yaitu kakek A mampu menjawab pengertian TB paru sesuai standar, mampu
menjawab 1 dari 2 penyebab TB paru, mampu menjawab 5 dari 7 tanda dan gejala TB paru, mampu
menjawab 2 dari 3 akibat jika TB paru yang tidak diobati, mampu menjawab 2 dari 4 akibat jika
penderita TB paru putus obat, mampu menjawab 3 dari 6 cara mencegah TB paru, mampu
menjawab menyebutkan 2 dari 2 cara merawat anggota keluarga dengan TB paru. Kakek A dapat
mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan batuk efektif, mampu menjawab 2 dari 4 cara
memodifikasi lingkungan untuk anggota keluarga yang mengalami TB paru, mampu menjawab 3
dari 5 jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan dan mampu menjawab 2 dari 3
manfaat fasilitas pelayanan kesehatan. Setelah dilakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif

Universitas Indonesia
5

didapatkan TTV : TD: 110/70 mmHg, Nadi: 80 x/menit, Suhu: 36,5oC, RR: 23 x/menit.
Pemeriksaan paru: Inspeksi: simetris, pembengkakan (-), otot bantu napas (-),retraksi dinding dada
(-), lesi (-) Auskultasi: ronchi basah kasar di semua lapang paru, suara napas ronkhi tanpa
auskultasi, wheezing -/- Palpasi: tactile fremitus Perkusi: sonor.

Evaluasi secara keseluruhan didapatkan bahwa keluarga telah dapat mengenal masalah kesehatan
pada anggota keluarga, telah menyatakan kesediaan untuk merawat, telah dapat melakukan
perawatan sederhana bagi penderita TB, telah mengerti bagaimana melakukan modifikasi
lingkungan, dan telah bersedia membawa Kakek A ke Pelayanan kesehatan. Perawat menyarankan
untuk melanjutkan tindakan inhalasi sederhana selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari di
rumah dan kemudian batuk efektif. Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan 2
bantal atau pemberian posisi semi fowler untuk mengurangi sesak. Mengevaluasi pengetahuan
tentang TB paru dan memfasilitasi untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan dengan
mengkoordinasikan ke mahasiswa residen yang sedang praktik di RW 01, ke kader RW 01 dan ke
puskesmas Cimanggis.

Hasil pengkajian, intervensi, implementasi dan evaluasi yang dilakukan selama tujuh minggu,
keluarga dapat bekerjasama dengan mahasiswa dalam mengatasi masalah kesehatan yang
ditemukan. Selama melakukan pembinaan dan kunjungan rutin di keluarga, mahasiswa banyak
memperoleh informasi dari keluarga mengenai masalah kesehatan yang dialami keluarga. Selama
sembilan minggu mahasiswa melakukan pembinaan dan kunjungan rutin ke keluarga dan
menemukan lima masalah kesehatan dan dapat disimpulkan bahwa keluarga termasuk ke dalam
keluarga mandiri tingkat III yaitu menerima petugas puskesmas, menerima yankes sesuai rencana,
menyatakan masalah kesehatan secara benar, memanfaatkan yankes sesuai anjuran dan
melaksanakan perawatan sederhana sesuai anjuran.

4. Pembahasan
Analisis Masalah Masalah Keperawatan Terkait Konsep Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan
Kelurahan Cisalak Pasar, khususnya RW 01 merupakan daerah kawasan perkotaan (urban). Hal ini
dibuktikan oleh pendapat Bintarto (2000) bahwa Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial,
dan kegiatan ekonomi.

Universitas Indonesia
6

Masalah TB paru merupakan masalah kesehatan yang paling menonjol di RW 01 dan merupakan
masalah epidemi yang merupakan keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya penyakit)
yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat berada dalam frekuensi yang
meningkat, (Budiarto, 2003). Mengatasi masalah TB paru ini perawat melakukan pendekatan
menggunakan model konsep Betty Neuman.

Sesuai dengan konsep Betty Neuman, RW 01 ini merupakan klien dan penggunaan proses
keperawatan sebagai pendekatan. Kumpulan individu/ keluarga di RW 01 merupakan “core“ dari
asuhan keperawatan komunitas yang diberikan oleh perawat. Konsep antara at risk dan
vulnerability terkadang sulit untuk dipahami secara keseluruhan oleh perawat karena banyaknya
faktor yang mempengaruhi keduanya (Fitzpatrick, Villaruel, & Porter, 2004 ).

Konsep at risk disini merupakan kondisi kesehatan warga RW 01 merupakan hasil dari interaksi
dengan berbagai macam faktor, seperti faktor genetik, gaya hidup, serta kondisi lingkungan fisik
dan lingkungan sosial dimana individu tersebut tinggal atau bekerja. Risk factor merupakan
karakteristik warga RW 01 seperti umur, jenis kelamin, dan genetik. Population at factor
merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki beberapa kemungkinan yang telah jelas
teridentifikasi atau telah ditentukan meskipun sedikit atau kecil terhadap munculnya suatu
peristiwa, misalnya penderita TB di RW 01. Vulnerable population group disini merupakan
sekelompok orang dari RW 01 yang memiliki masalah kesehatan yang lebih kompleks
dibandingkan dengan masalah TB di RW 01.

Masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting sama seperti
halnya masalah TB di RW 01. Faktor yang mempengaruhi sehat sakit di RW 01 diadaptasi dari
teori gordon and le rich, dimana pejamu (host)/inang yaitu segala faktor yang terdapat dalam diri
manusia yg mempengaruhi timbulnya penyakit, misalnya imunitas, aktivitas, gaya hidup. Bibit
penyakit (agent) yaitu substansi atau elemen yang apabila ia ada atau tidak ada dapat menimbulkan
atau menggerakkan timbulnya penyakit, misalnya bakteri, jamur, dan virus. Lingkungan
(environment) yaitu seluruh kondisi yang mempengaruhi (Rekawati, 2011).

Masalah TB paru di RW 01 disebabkan oleh faktor risiko yang berperan penting dalam penularan
penyakit TB diantaranya faktor kependudukan dan faktor lingkungan. Faktor kependudukan
diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status gizi, dan kondisi sosial ekonomi, sedangkan faktor
lingkungan diantaranya lingkungan dan ketinggian wilayah untuk lingkungan meliputi kepadatan

Universitas Indonesia
7

penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah
(Ahmadi, 2005). Penelitian Chapman et al (1993, dalam Nelson 2005) mengatakan bahwa faktor
lingkungan dan sosial, kepadatan penghuni, serta kemiskinan berperan dalam timbulnya kejadian
TB di perkotaan.

Faktor kependudukan di RW 01 yaitu jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya TB di RW 01.
Sesuai dengan yang dipaparkan oleh WHO (2005, dalam Hiswani 2009) yang menyatakan bahwa
penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Warga RW 01 mayoritas penduduknya rata-rata usia produktif (15-50 tahun). Hal ini juga
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB paru di RW 01 yang didukung oleh pendapat
Hiswani (2009) penyakit tuberkulosis yang paling sering ditemukan pada usia muda atau usia
produktif 15-50 tahun, dengan ini terjadinya transisi demografi saat ini menyebabkan usia harapan
hidup lansia menjadi lebih tinggi. pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang
menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit tuberkulosis paru.
Penduduk RW 01 yang mayoritas berada pada usia produktif yang kebanyakan usia tersebut
digunakan untuk bekerja.

Warga RW 01 sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh pabrik, dan wiraswasta yang
memiliki pendapatan < Rp 1.000.000. Keluarga dengan pendapatan rendah akan cenderung sulit
memperoleh makanan yang begizi dan memelihara kesehatan secara baik, sehingga sangat rentan
tertular penyakit TB (Amira, 2005). Jenis pekerjaan ini juga mempengaruhi keadaan perekonomian
seseorang dan kemudian akan berdampak terhadap pola makan setiap hari, dan pemeliharaan
kesehatan.

Status ekonomi warga RW 01 mayoritas ekonomi menengah ke bawah. Kondisi ekonomi warga
RW 01 ini juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB paru. WHO (2008) menyebutkan
90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Pendapatan
keluarga sangat erat juga dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak
dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.

Faktor lingkungan kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban,
dan ketinggian wilayah juga berpengaruh terjadinya TB di perkotaan. Pemukiman warga di RW 01

Universitas Indonesia
8

tampak padat, mayoritas merupakan rumah pribadi, dan merupakan bangunan permanen. Terdapat
beberapa rumah kontrakan satu pintu yang seluruhnya dihuni oleh warga pendatang. Sebagian besar
memiliki halaman depan atau teras walaupun tidak luas. Padatnya perumahan, dan wilayah yang
tidak terlalu luas, pencahayaan sinar matahari tidak masuk pada sebagian besar rumah. Penyakit TB
paru yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama lingkungan dalam rumah serta perilaku
penghuni dalam rumah karena dapat mempengaruhi kejadian penyakit, kontruksi dan lingkungan
rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko sumber penularan berbagai penyakit
infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan TB Paru (Depkes, 2007). Rumah
yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB seperti hasil
penelitian Dahlan (2000) mengatakan bahwa pencahayaan, ventilasi yang buruk dan kepadatan
penghuni yang tinggi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB.

Hunian rumah yang padat pada RW 01 menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen bila salah satu
anggota hunian terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan
semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA
positif. Daerah perkotaan (urban) seperti RW 01 Cisalak Pasar yang lebih padat penduduknya
dibandingkan di pedesaan (rural), peluang terjadinya kontak dengan penderita TB akan lebih besar,
sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil kemungkinannya. Selain hunian yang padat, kebiasaan
warga untuk membuka jendela juga mempengaruhi angka kejadian TB.

Kebiasaan warga RW 01 yang tidak membuka jendela tiap pagi karena berbagai alasan jika jendela
dibuka udara akan terasa panas, takut rumahnya kecurian dan dimasuki oleh kucing. Beberapa
rumah juga tampak tidak dibuka jendelanya dikarenakan sudah dimatikan dan jendela permanen
yang hanya sebagai hiasan sehingga tidak bisa dibuka kembali. Kebiasaan warga RW 01 ini sangat
mempengaruhi terjadinya TB di RW 01. Ventilasi cukup menjaga agar aliran udara di dalam rumah
tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga dan
menjaga dalam kelembaban (humidity) yang optimum (Slamet, 2000). Ventilasi yang kurang
tersebut mempengaruhi cahaya matahari yang masuk.

Cahaya matahari juga kurang di RW 01 dikarenakan kebiasan warga RW 01 jarang membuka


jendela. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di
rumah yang gelap. Hal ini sependapat dengan penelitian Yoga (2007), TB juga mudah menular pada
mereka yang tinggal di perumahan padat, kurang sinar matahari dan sirkulasi udaranya

Universitas Indonesia
9

buruk/pengap, namun jika ada cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman TB hanya bisa bertahan
selama 1-2 jam. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian TB ini juga tidak lepas dari
pengetahuan warga RW 01 terhadap penyakit TB.

Warga RW 01 belum pernah mendapatkan penyuluhan sebelumnya terkait penyakit TB baik oleh
pihak puskesmas atau instansi terkait lainya. Kurangnya informasi tentang penyakit TB paru
menyebabkan kurangnya pengertian kepatuhan penderita terhadap pengobatan atau berhenti bila
gejala penyakit tidak dirasakan lagi (Anugerah, 2007). Hal ini juga merupakan salah satu penyebab
tingginya angka kejadian TB di RW 01 dan tidak terlepas dari upaya penanganan dan
penanggulangan TB dari Puskesmas Cimanggis.

Upaya penanganan dan pemberantasan TB paru telah dilakukan oleh Puskesmas Cimanggis
berdasarkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS. Program TB di
Puskesmas Cimanggis yang sudah berjalan yaitu pelayanan langsung ke penderita TB di poli TB
dan mengingatkan penderita TB melalui pesan singkat apabila tidak mengambil obat pada waktu
yang telah ditentukan. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, dengan
prioritas pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan diharapkan
menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara
terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes, 2007).

Penderita TB yang berobat ke Puskesmas Cimanggis khususnya yang berasal dari Cisalak Pasar
diberikan obat dengan gratis. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat
secara lengkap dan teratur. Obat disediakan oleh pemerintah secara gratis di sarana pelayanan
kesehatan yang telah menerapkan strategi Dots (Directly Observed Tretment Short course) seperti
di Puskesmas, Balai pengobatan Penyakit Paru dan beberapa rumah sakit (Depkes, 2003).

Program TB yang sudah dicanangkan oleh Puskesmas Cimanggis dengan memberikan pengobatan
gratis ini juga kemungkinan belum terlalu diketahui oleh warga RW 01, sehingga banyak RW 01
yang tidak berobat. Program pemberantasan TB yang telah dilaksanakan melalui paket program,
namun di puskesmas belum secara efektif dapat menjangkau seluruh masyarakat atau penderita. Hal
ini sependapat dengan Helper, dkk (2009) juga mengemukakan bahwa sampai saat ini masih ada
anggota masyarakat yang belum mengetahui ada program pelayanan kesehatan TB paru gratis di
Puskesmas. Hasil survei prevalensi tuberculosis (2004) menunjukkan bahwa lebih dari 80 %
responden ternyata tidak mengetahui adanya program obat anti TB gratis dan hanya 19 % yang

Universitas Indonesia
10

mengetahui adanya pemberian obat anti TB gratis (Depkes. 2004). Rendahnya pengetahuan ini akan
menghambat penderita TBC mencari pengobatan gratis atau menjadi penyebab putus berobat. Hal
ini juga yang meningkatkan angka kejadian TB khususnya di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar,
Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.

Analisis Inhalasi Sederhana dan Batuk Efektif untuk Mengatasi Ketidakefektifan Bersihan
Jalan Napas
intervensi keperawatan unggulan yang diberikan berupa inhalasi sederhana dan batuk efektif. Sesuai
dengan Prince (2000) bahwa pengeluaran dahak dapat dilakukan dengan membatuk akan lebih
mudah dan efektif bila diberikan penguapan atau inhalasi sederhana.

Inhalasi sederhana adalah menghirup uap hangat dari air mendidih telah ditetesi minyak
penghangat, misalnya minyak kayu putih (Akhavani, 2005). Inhalasi merupakan salah satu cara
yang diperkenalkan dalam penggunaan metode terapi yang paling sederhana dan cepat. Inhalasi
sederhana ini diberikan ke kakek A dengan tujuan mengencerkan sputum yang kental, susah
dikeluarkan oleh kakek A dan juga mengurangi sesak. Hal ini sejalan dengan Rasmin, dkk (2001)
yang menyatakan bahwa terapi inhalasi biasanya ditujukan umtuk mengatasi bronkospasme,
mengencerkan sputum, menurunkan hipereaktivitas bronkus serta mengatasi infeksi. Penggunaan
terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),
tuberkulosis, fibrosis kistik, keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket,
pasien sesak nafas dan batuk. Kontraindikasi mutlak pada inhalasi tidak ada. Indikasi relatif pada
pasien dengan alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan (Rasmin dkk, 2001).

Teknik pemberian inhalasi sederhana yang diajarkan ke kakek A diadaptasi dari beberapa literatur
yaitu terlebih dahulu membuat corong dari sebuah kertas yang digulung, adalah cara yang baik
untuk menghirup uap dari mangkuk. kemudian menempatkan air mendidih dengan suhu 42oC -44oC
dalam mangkuk, dihirup selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari dan minyak kayu putih
ditambahkan ke air panas tersebut untuk meningkatkan efektifitas (Wong, 2008). Penelitian yang
dilakukan Singh (2004) bertujuan untuk menilai efek dari menghirup uap air panas dengan bantuan
sebuah alat yang dirancang untuk memberikan uap air panas ke rongga hidung. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa pemberian inhalasi sederhana efektif, akan tetapi penelitian lain terkait
pemberian inhalasi sederhana diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Handley, Abbott,
Beasley dan Gwaltney ( dalam Nuraeni, 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian
inhalasi uap melalui hidung tidak berpengaruh pada pelepasan virus yang dilakukan pada kelompok
intervensi. Hal ini juga didukung oleh penyataan Karnaen (2011) bahwa penguapan secara
Universitas Indonesia
11

tradisional atau inhalasi sederhana ini hanya berfungsi untuk melonggarkan saluran napas, bukan
untuk mengeluarkan lendir, karena bahan-bahan dalam minyak kayu putih yang terhirup melalui
uap air panas itu tidak mengandung zat penghancur lendir, sehingga tindakan inhalasi terbukti
kurang efektif untuk mengeluarkan dahak sehingga bersihan jalan napas menjadi efektif, sehingga
tindakan inhalasi sederhana dikombinasikan dengan batuk efektif untuk mengatasi ketidakefektifan
bersihan jalan napas pada kakek A.

Batuk efektif adalah tindakan yang diperlukan untuk membersihkan dahak (Hudak & Gallo, 2000).
Batuk efektif ini juga merupakan bagian tindakan keperawatan untuk pasien dengan gangguan
penapasan akut dan kronis (Kisner & Colby, 1999 dalam Nugroho 2011). Indikasi batuk efektif
adalah pada pasien seperti bronkitis kronik, asma, TB paru, pneumonia dan emfisema. Batuk efektif
ini diajarkan ke kakek A karena tidak terdapat kontraindikasi seperti yang dijelaskan oleh Wilson
(2006), dimana kontraindikasi batuk efektif adalah tension pneumotoraks, hemoptisis, gangguan
sistem kardiovaskuler seperti hipotensi, hipertensi, infark miokard akut infark dan aritmia, edema
paru dan efusi yang luas.

Batuk efektif yang baik dan benar dapat mempercepat pengeluaran dahak pada pasien dengan
gangguan saluran pernafasan. Teknik batuk efektif yang diajarkan ke kakek A merupakan tindakan
yang dilakukan untuk membersihkan sekresi dari saluran nafas. Caranya batuk efektif diadaptasi
dari Depkes (2007) adalah sebelum dibatukkan, klien dianjurkan untuk minum air hangat dengan
rasionalisasi untuk mengencerkan dahak namun minum air hangat ini diganti menjadi tindakan
inhalasi sederhana menggunakan minyak kayu putih dengan rasionalisasi untuk mengencerkan
dahak, setelah itu dianjurkan untuk inspirasi dalam. Hal ini dilakukan selama dua kali, kemudian
setelah inspirasi yang ketiga, anjurkan klien untuk membatukkan dengan kuat (Depkes, 2007).

Terapi Inhalasi sederhana dan batuk efektif dilakukan selama 4 minggu dan diharapkan bersihan
jalan napas kakek A menjadi efektif yang ditandai dengan sesak berkurang atau hilang, mudah
mengeluarkan dahak, Respiratory Rate (RR) dalam rentang normal (20 kali/menit), tidak ada
penggunaan otot bantu napas, tidak ada retraksi dinding dada, dan bunyi napas ronchi berkurang
atau hilang (Wilkinson, 2012). Pemberian terapi inhalasi sederhana dan batuk efektif pada Kakek A
selama 4 minggu didapatkan evaluasi terakhir yaitu sesak sedikit berkurang, dahak menjadi encer
dan mudah dikeluarkan, dahak berwarna putih, jumlah dahak banyak, batuk sesekali, RR: 23
kali/menit, pemeriksaan paru didapatkan pada saat inspeksi dinding dada simetris, tidak ada
pembengkakan, tidak ada penggunaan otot bantu napas, tidak terdapat retraksi dinding dada dan

Universitas Indonesia
12

tidak ada lesi. Auskultasi paru didapatkan ronchi basah kasar di semua lapang paru, suara napas
ronchi tanpa auskultasi, tidak ada wheezing, Hasil palpasi paru yaitu tactile fremitus dan perkusi
paru yaitu sonor.

Hasil evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian, karena bersihan jalan
napas belum efektif yang ditandai masih ada sesak sedikit namun berkurang. Sesak yang berkurang
ini dikarenakan tindakan inhalasi sederhana bekerja langsung pada sumber pernapasan yaitu paru-
paru (Karnaen, 2011). Cara kerja inhalasi sederhana ini adalah uap masuk dari luar tubuh ke dalam
tubuh, dengan mudah akan melewati paru-paru dan dialirkan ke pembuluh darah melalui alveoli
(Buckle, 1999 dalam Nuraeni 2012). Inhalasi sederhana yang telah dilakukan kemudian dilakukan
batuk efektif seperti yang telah diajarkan ke kakek A yang merupakan tindakan yang dilakukan
untuk membersihkan sekresi dari saluran nafas. Jumlah dahak yang dikeluarkan oleh kakek A disini
sudah banyak dan mudah dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan efek teraupetik dari inhalasi sederhana
yang berguna untuk mengencerkan lendir yang menyumbat saluran pernapasan dan berguna sebagai
ekspektoran alami dan penekan batuk (Crinion, 2007). Lendir yang encer kemudian dibatukkan agar
dahak yang keluar lebih banyak dan dengan batuk efektif penderita tuberkulosis paru tidak harus
mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan sekret (Subrata, 2006). Hal ini juga sependapat
dengan hasil penelitian Nugroho (2011) ada pengaruh sebelum dan sesudah batuk efektif terhadap
pengeluaran dahak pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Bunyi ronchi basah
kasar masih terdengar jelas di semua lapang paru tanpa auskultasi pun juga masih terdengar, hal ini
disebabkan akumulasi sekret di dalam paru masih sangat banyak. Hal ini membuktikan inhalasi
sederhana tidak terlalu efektif dalam pengeluaran sekret yang berlebihan sehingga hal ini masih
mempengaruhi frekuensi napas.

Frekuensi napas/ RR kakek A masih belum dalam rentang normal, namun RR sebelum diberikan
intervensi dan setelah diberikan intervensi mengalami penurunan. Penurunan RR/ frekuensi napas
pada kakek A sesuai dengan penelitian Nuraeni (2012) bahwa pemberian inhalasi sederhana dapat
menurunkan frekuensi napas walaupun tidak bermakna. Hal ini dikarenakan pelaksanaan inhalasi
sederhana hanya dilakukan satu kali selama sepuluh menit sedangkan penelitian Singh (2004)
dilakukan sebanyak empat kali sehari selama 10-15 menit. Hal ini juga sesuai dengan yang
dijelaskan dalam panduan inhalasi (Wong, 2008). Penelitian terbaru dengan menggunakan
arformoterol inhalation solution pada jenis nebulizer jet standar adalah 6 menit (Cipla, 2010),
sehingga inhalasi sederhana ini menjadi tidak bermakna yaitu dapat disebabkan oleh alat, tempat
yang digunakan dan prosedur yang kurang tepat.

Universitas Indonesia
13

Keberhasilan inhalasi sederhana dan batuk efektif pada kakek A juga terlihat dengan tidak adanya
penggunaan otot bantu napas dan retraksi dinding dada, berbeda dengan sebelum dilakukan
intervensi. Hal ini dikarenakan sesak sudah berkurang sehingga tidak ada ada penggunaan otot
bantu napas ataupun retraksi dinding dada, sebagai usaha yang dilakukan oleh kakek A untuk
bernapas lebih efektif.

Tindakan inhalasi sederhana dan batuk efektif pada lansia ini hanya tidak seefektif seperti pada usia
muda. Hal ini dikarenakan berbagai perubahan fisik yang terjadi pada lansia yang meliputi
perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh. Salah satu diantaranya yaitu sistem
pernapasan. Perubahan sistem pernapasan pada lansia yaitu otot pernapasan kaku dan kehilangan
kekuatan, penurunan aktivitas silia jumlah udara pernapasan yang masuk keparu mengalami
penurunan, alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang kemampuan batuk berkurang,
sehingga pengeluaran sekret berkurang dan mengalami sumbatan atau obstruksi (Stanley, 2006).
Pemberian inhalasi sederhana dan batuk efektif ini tetap bermanfaat dan dapat diterapkan untuk
mengeluarkan dahak, menurunkan frekuensi napas, dan mengurangi sesak pada lansia, karena
inhalasi sederhana langsung bekerja pada paru-paru dan pada saat dibatukkan efektif tidak harus
menggunakan banyak tenaga. Selama pemberian terapi inhalasi sederhana menggunakan minyak
kayu putih tidak terdapat reaksi alergi ataupun komplikasi yang ditunjukkan oleh kakek A yang bisa
disebabkan oleh aerosol yang diberikan dalam jumlah besar, maka dapat menyebabkan
penyempitan pada saluran pernapasan (bronkospasme), disamping itu bahaya iritasi dan infeksi
pada jalan napas, terutama infeksi nosokomial juga dapat terjadi (Rab, 2000).

Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan untuk Mengatasi ketidakefektifan Bersihan


Jalan Napas
Mahasiswa Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan dua bantal dengan
rasionalisasi didapatkan posisi semi fowler untuk meningkatkan ekspansi paru dan mencukupi
kebutuhan oksigen sehingga memberikan kenyamanan. Hal ini dilakukan karena Kakek A masih
merasa sesak napas. Keefektifan posisi semi fowler dapat dilihat dari Respiratory Rates yang
menunjukkan angka normal yaitu 16-24x per menit pada usia dewasa (Ruth, 2002: 812). Wilkison
(1998 dalam Supadi, dkk 2008) bahwa posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikkan 45º
membuat oksigen didalam paru–paru semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran napas.
Hasil penelitian Setiawati (2008) menyatakan bahwa penggunaan posisi semi fowler dapat efektif
untuk mengurangi sesak napas pada klien TB.

Universitas Indonesia
14

Selain pemberian posisi semi fowler, mahasiswa menganjurkan adanya tindak lanjut dan motivasi
dari petugas kesehatan yang bertugas di RW 01 termasuk kader-kader kesehatan yang sudah diberi
pelatihan terkait TB paru. Pemberian terapi inhalasi sederhana harus rutin dilakukan di rumah
selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk efektif. Memotivasi
keluarga kakek A untuk memeriksakan diri ke Puskesmas Cimanggis sehingga mendapatkan
pengobatan.

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis kasus kelolaan utama dengan implementasi tindakan keperawatan
inhalasi sederhana dan batuk efektif untuk mengatasi masalah keperawatan ketidakefektifan
bersihan jalan napas diperoleh kesimpulan bahwa pemberian inhalasi sederhana dan batuk efektif
ini tetap bermanfaat dan dapat diterapkan untuk mengeluarkan dahak, menurunkan frekuensi napas,
dan mengurangi sesak pada lansia, karena inhalasi sederhana langsung bekerja pada paru-paru,
aman untuk segala usia dan tidak terdapat reaksi alergi yang ditunjukkan oleh klien serta pada saat
dibatukkan efektif tidak harus menggunakan banyak tenaga.

Mengacu kepada kesimpulan hasil penelitian ini, maka peneliti menyampaikan beberapa saran bagi
pihak yang terkait dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut: kepada keluarga penderita TB
paru tetap memberikan motivasi kepada anggota keluarga untuk melakukan pengobatan dan tetap
melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga dan melakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif
sebagai perawatan keluarga pada penderita TB. Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi masukan
dan sumber informasi bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan komunitas dan
keluarga yang holistik bagi pasien TB paru. diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas
Cimanggis dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB paru tidak hanya di puskesmas
saja, tetapi bisa dilakukan kunjungan rumah bagi penderita TB paru. Karya ilmiah ini dapat
dijadikan bahan pembelajaran dan pengembangan ide untuk penelitian untuk mengetahui masalah
keperawatan lainnya yang bisa terjadi pada pasien dengan TB paru lansia dan tindakan efektif untuk
mengatasi masalah keperawatan yang dialami oleh penderita TB paru pada lansia.

6. Daftar Pustaka
Akhavani, M. A. (2005). Steam inhalation treatment for children. British Journal of General
Practice.
Bintarto. (2000). Pengantar geogarafi kota. Yogyakarta: LIP SPRING.
Departemen Kesehatan.(2003). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI.

Universitas Indonesia
15

Departemen Kesehatan. (2007). Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. (edisi 2). Jakarta:
Depkes RI.
Helper,M,. dkk. (2009). Faktor sosial budaya yang mempengaruhi ketaatan berobat penderita tb
paru. laporan penelitian. Pusat Penelitian Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan,
Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI.
Hidayati, R. (2009). Asuhan keperawatan pada tuberkulosis. Jakarta: Salemba Medika.
Hiswani. (2009). Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Http://librarv.usu.ac.id/download/fkmhiswani6.pdf 2009).
Hudak & Gallo. (2000). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Hough, Alexandra. ( 2001 ). Physiotherapy in respiratory care: an evidence-based approach to
respiratory and cardiac management. Washington : Nelson Thornes.
Kemenkes. (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI.
Kompas (2008). Tuberkulosis pada usia lanjut.
www.lipsus.kompas.com/jalanjalan/read/2008/10/19/13371682/Tuberkulosis.pada.Usia.Lanju
t. Juni, 15, 2013.
Nugroho, A. Y. (2011). Batuk efektif dalam pengeluaran dahak pada pasien dengan ketidakefektifan
bersihan jalan napas di instalasi rehabilitasi medik Rumah sakit Baptis kediri. Jurnal STIKES RS.
Baptis Kediri. Volume 4. No. 2 Desember 2011.
Nuraeni. (2012). Pengaruh steam inhalation terhadap usaha bernapas pada balita dengan
pneumonia di puskesmas Kebupaten Subang Provinsi Jawa Barat. Depok: Program Magister
Ilmu Keperawatan, FIK UI.
Puskesmas Cimanggis. (2012). Profile kesehatan UPT (Unit Pelaksanaan Teknis) Puskesmas Kec.
Cimanggis Th. 2012. Depok: Puskesmas Cimanggis.
Rab, T. (2000). Ilmu penyakit paru. (Ed Hipokrates). Jakarta: Qlintang S.
Rekawati. (2011). Bahan ajar kuliah epidemiologi. Depok: FIK UI.
Singh, M. (2004). Heated, humidified air for the common cold. Cochrame Database Syst. Rev (2):
CD001728.

Slamet, J.S. (2000). Kesehatan lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan medikal bedah. (edisi 8). Alih bahasa: Agung Waluyu.
Jakarta: EGC.
Stanhope, M and Lancaster, J. (2004). Community and Public Health Nursing. The Mosby Year
Book. St Louis.
Wong, D. L., Hockenberry, & M., Wilson, D., Winkelsein, M., L., & Schwatrz, P. (2008). Buku
ajar keperawatan pediatrik. (edisi 6). (Monika Ester penterjemah). Jakarta: EGC.
World Health Organization. (2008). Indonesian Strategic Plan to Stop TB 2006-2010. Jakarta:
Depkes RI.
Yoga, T (2007). Diagnosis TB pada anak lebih sulit. Mediakom info sehat untuk semua:
Departemen Kesehatan.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai