Anda di halaman 1dari 131

KARYA ILMIAH AKHIR NERS (KIA-N)

PENERAPAN PERAWATAN LUKA MODERN DRESSING


DENGAN METODE MOIST WOUND HEALING PADA
OTITIS MEDIA DI RUANG THT RSUD DR. ACHMAD
MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2019

OLEH :

ANITA WIDIYASTUTI
1914901712

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES PERINTIS PADANG
TAHUN AJARAN 2020

1
KARYA ILMIAH AKHIR NERS (KIA-N)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ners Program Studi
Pendidikan Profesi Ners STIKes Perintis Padang

PENERAPAN PERAWATAN LUKA MODERN DRESSING


DENGAN METODE MOIST WOUND HEALING PADA
OTITIS MEDIA DI RUANG THT RSUD DR. ACHMAD
MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2019

OLEH :

ANITA WIDIYASTUTI
1914901712

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES PERINTIS PADANG
TAHUN AJARAN 2020

i
ii
iii
iv
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG
KARYA ILMIAH AKHIR NERS (KIAN), 02 September 2020

ANITA WIDIYASTUTI
1914901712

PENERAPAN PERAWATAN LUKA MODERN DRESSING DENGAN


METODE MOIST WOUND HEALING PADA OTITIS MEDIA DI RUANG
THT RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2019

xii + 102 halaman + 6 gambar + 3 tabel + 3 lampiran

ABSTRAK

Secara global World Health Organization (WHO) tahun 2013 menyebutkan 360 juta
orang atau 5,2 % diseluruh dunia memiliki gangguan pendengaran. Di Asia Tenggara,
Indonesia termasuk keempat negara dengan prevalensi gangguan telinga tertinggi (4,6%).
Tujuan dari karya ilmiah ini untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam
menerapkan perawatan luka dalam memberikan asuhan keperawatan pada An. A dengan
post operasi Otitis Media di Ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi kasus dengan pemberian
intervensi perawatan luka moist pada pasien post operasi. Intervensi diberikan sebanyak 1
kali sehari selama 3 hari. Penelitian ini menunjukkan bahwa setelah dilakukan perawatan
luka dengan menggunakan teknik modern dressing selama 3 hari didapatkan hasil bahwa
balutan luka sudah diganti, luka terpasang perban, luka tampak mulai mengering, tidak
terdapat pus dan jaringan nekrotik, warna kemerahan disekitar luka post operasi
berkurang dan pasien mengatakan nyeri berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
perubahan setelah dilakukan perawatan luka menggunakan teknik modern dressing pada
luka An. A. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan asuhan
keperawatan yang telah dilakukan pada An. A selama 3 hari, yaitu pada tanggal 09
Oktober sampai 11 Oktober dengan kasus Otitis Media, di Ruang THT RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi, sudah diterapkan salah satu intervensi dari jurnal terkait
dalam asuhan keperawatan pada An. A ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi. Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar
pengembangan menajemen asuhan keperawatan dan membantu perawat diruang
perawatan dalam meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan asuhan keperawatan
yang diberikan.

Kata Kunci : Perawatan Luka, Resiko Infeksi, Otitis Media


Kepustakaan : 60 (2000 – 2019)

v
NURSING SCIENCE PROFESSIONAL PROGRAM
PERINTIS COLLEGE OF HEALTH SCIENCE WEST SUMATERA
KARYA ILMIAH AKHIR NERS (KIA-N), 02 September 2020

ANITA WIDIYASTUTI
1914901712

APPLICATION OF MODERN DRESSING WOUND CARE WITH MOIST


WOUND HEALING METHOD IN OTITICAL MEDIA AT ENT ROOM
DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI IN 2019

xii + 102 pages + 6 pictures + 3 tables + 3 attachments

ABSTRACT

Globally, the World Health Organization (WHO) in 2013 stated that 360 million people
or 5.2% worldwide have hearing problems. In Southeast Asia, Indonesia is among the
four countries with the highest ear disorder prevalence (4.6%). The purpose of this
scientific work is to increase knowledge and ability in applying wound care in providing
nursing care to An. A with postoperative Otitis Media in the ENT Room Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi. The method used in this paper is a case study by providing moist
wound care interventions in postoperative patients. The intervention was given once a day
for 3 days. This study showed that after 3 days of wound care using modern dressing
techniques, the results showed that the wound dressing had been replaced, the wound was
attached to a bandage, the wound appeared to be drying, there was no pus and necrotic
tissue, the redness around the postoperative wound was reduced and the patient said less
pain. This shows that there are changes after being carried out by wound care using
modern dressing techniques on An's wound. A. Based on these results it can be concluded
that based on the nursing care that has been carried out on An. A for 3 days, from October
9 to October 11 with the Otitis Media case, in the ENT Room Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi, an intervention has been implemented from related journals in nursing care
to An. A ENT room Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. The results of writing scientific
papers are expected to be used as a basis for developing nursing care management and
assisting nurses in the care room in increasing patient satisfaction with the nursing care
services provided.

Keywords : Wound Care, Risk of Infection, Otitis Media


Bibliography : 60 (2000 - 2019)

vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Identitas Diri
Nama : Anita Widiyastuti

Umur : 25 Tahun

Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 01 Agustus 1995

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Inspektur Marzuki Lorong. Anggrek Nomor

2321, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Jumlah Saudara : 2 Orang

Anak Ke :1

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Akhmadan

Nama Ibu : Hairani

Alamat : Jalan Inspektur Marzuki Lorong. Anggrek Nomor 2321

Kecamatan Ilir Barat I, Palembang

Riwayat Pendidikan

2000 - 2001 : TK Nikita II Palembang

2001 - 2007 : Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Palembang

2007 - 2010 : Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Palembang

2010 - 2013 : Madrasah Aliyah Negeri 1 Palembang

2013 - 2017 : S1 Keperawatan STIK Bina Husada Palembang

2019 - 2020 : Profesi Ners STIKes Perintis Padang

vii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang selalu

tercurah sehingga memberikan penulis kekuatan dan kemampuan yang luar biasa

dalam menjalani hidup ini. Shalawat beserta salam penulis haturkan kepada

junjungan umat sepanjang zaman Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan

para sahabat yang memberikan tauladan terindah sehingga memberikan motivasi

kepada penulis dalam menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) dengan

judul “Penerapan Perawatan Luka Modern Dressing Dengan Metode Moist

Wound Healing Pada Otitis Media Di Ruang THT RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi Tahun 2019”. Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini

diajukan untuk menyelesaikan pendidikan Profesi Ners. Dalam penyusunan Karya

Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Yendrizal Jafri, S.Kp, M.Biomed selaku Ketua STIKes Perintis

Padang.

2. Ibu Ns. Mera Delima, M.Kep selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi

Ners STIKes Perintis Padang.

3. Ibu Ns. Dia Resti DND, M.Kep selaku pembimbing I yang telah banyak

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta memberikan masukan -

masukan yang bermanfaat bagi penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N)

ini dan juga memberi motivasi, semangat dan dukungan kepada penulis

selama proses penyelesaian Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini.

viii
4. Ibu Ns. Vera Sesrianty, M.Kep selaku pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta memberikan masukan-masukan

yang bermanfaat bagi penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini dan

juga memberi motivasi, semangat dan dukungan kepada penulis selama

proses penyelesaian Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini.

5. Bapak Ns. Andrye Fernandes, M.Kep, Sp.Kep.An selaku penguji yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, kritik maupun saran yang

bermanfaat dalam penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini.

6. Dosen dan staff pengajar Program Studi Pendidikan Profesi Ners STIKes

Perintis Padang yang telah memberikan bekal ilmu dan bimbingan selama

penulis dalam pendidikan.

7. Kepada perawat serta staff RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi yang

telah mendukung, memotivasi, dan mengarahkan selama stase Keperawatan

Dasar berlangsung.

8. Teristimewa untuk orang tua dan keluarga tercinta, yang telah dengan sangat

luar biasa memberikan dukungan baik secara moril maupun secara materil

serta do’a, perhatian dan kasih sayang yang tak terhingga sehingga membuat

penulis lebih bersemangat dalam menyelesaikan Studi Pendidikan Profesi

Ners dan pembuatan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini.

9. Kepada teman-teman seperjuangan Profesi Ners angkatan 2019, terima kasih

untuk kekompakan teman-teman semuanya dan telah memberikan banyak

masukan dan bantuan berharga dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir Ners

(KIA-N) ini, dan kepada pihak-pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu

persatu.

ix
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini

masih banyak terdapat kekurangan. Hal ini bukanlah suatu kesengajaan melainkan

karena keterbatasan ilmu dan kemampuan penulis. Untuk itu penulis

mengharapkan tanggapan, kritikan dan saran yang bersifat membangun dari

semua pihak demi kesempurnaan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepada

semua pihak yang telah membantu penulis. Semoga Karya Ilmiah Akhir Ners

(KIA-N) ini bermanfaat dalam memberikan informasi dibidang kesehatan

terutama di Bidang Pendidikan Profesi Ners.

Bukittinggi, 02 September 2020

Anita Widiyastuti

x
DAFTAR ISI
Halaman
HARD COVER ........................................................................................... i
COVER KERTAS BERWARNA ................................................................. ii
LEMBAR BEBAS PLAGIARISME ............................................................ iii
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................. vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 5
1.4 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 7
1.4.1 Bagi RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittingi .............................. 7
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan .............................................................. 7
1.4.3 Bagi Penulis .................................................................................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Otitis Media ................................................................................ 8
2.1.1 Definisi Otitis Media .................................................................... 8
2.1.2 Anatomi Fisiologi ......................................................................... 9
2.1.3 Klasifikasi Otitis Media ................................................................ 13
2.1.4 Etiologi Otitis Media ................................................................... 18
2.1.5 Faktor Resiko Otitis Media........................................................... 20
2.1.6 Tanda dan Gejala Otitis Media ..................................................... 22
2.1.7 Patofisiologi dan WOC Otitis Media ........................................... 23
2.1.8 Penatalaksanaan Otitis Media ....................................................... 28
2.2 Konsep Kebutuhan Dasar.......................................................................... 31
2.2.1 Gangguan Rasa Nyaman .............................................................. 32
2.2.2 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri .................................................... 33
2.3 Konsep Perawatan Luka ........................................................................... 37
2.3.1 Definisi Perawatan Luka ............................................................... 37
2.3.2 Tujuan Perawatan Luka ................................................................ 37
2.3.3 Alat dan Bahan Perawatan Luka ................................................... 38
2.3.4 Prosedur Perawatan Luka ............................................................. 38
2.3.5 Evaluasi ......................................................................................... 40
2.3.6 Proses Penyembuhan Luka ........................................................... 40

xi
2.4 Asuhan Keperawatan Teoritis .................................................................. 43
2.4.1 Pengkajian Keperawatan ............................................................... 43
2.4.2 Diagnosa Keperawatan ................................................................. 46
2.4.3 Intervensi ....................................................................................... 47
2.4.4 Implementasi ................................................................................. 51
2.4.5 Evaluasi ......................................................................................... 51

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KASUS KELOLAAN


3.1 Pengkajian Keperawatan .......................................................................... 52
3.2 Diagnosa Keperawatan ............................................................................. 71
3.3 Intervensi ................................................................................................. 72
3.4 Implementasi dan Evaluasi ....................................................................... 74

BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Analisis Asuhan Keperawatan dengan Konsep Terkait ........................... 85
4.2 Analisis Intervensi dengan Konsep Penelitian Terkait ............................. 96
4.3 Alternatif Pemecahan yang dapat dilakukan ............................................ 100

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 101
5.2 Saran ......................................................................................................... 103
5.2.1 Bagi RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi ............................ 103
5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan .............................................................. 103
5.2.3 Bagi Penulis .................................................................................. 103

Daftar Pustaka
Daftar Lampiran

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Skor OMA ....................................................................................... 23


Tabel 2.2 Klasifikasi nyeri ............................................................................... 34
Tabel 3.1 Data aktivitas sehari-hari ................................................................. 56

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi telinga tengah ................................................................ 9


Gambar 2.2 Membran timpani normal ............................................................. 13
Gambar 2.3 Membran timpani hiperemis ........................................................ 15
Gambar 2.4 Membran timpani bulging dengan pus purulen............................ 16
Gambar 2.5 Membran timpani perforasi .......................................................... 17
Gambar 2.6 Perbedaan antara tuba eustachius pada anak dan orang dewasa .. 26

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Standar Operasional Prosedur


Lampiran 2 : Lembar Konsul
Lampiran 3 : Jurnal Terkait Penelitian

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otitis media adalah infeksi pada telinga tengah yang menyebabkan

peradangan (kemerahan dan pembengkakan) dan penumpukan cairan di

belakang gendang telinga (Haryono, 2019). Otitis media dapat terjadi akibat

terganggunya tuba eusthacius, dimana paling sering disebabkan oleh infeksi

virus pada saluran pernapasan atas dan diperparah oleh infeksi sekunder oleh

bakteri (Shaikh & Hoberman, 2010). Gejala dan tanda klinik lokal atau

sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia,

demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi

perforasi membran timpani tengah (Buchman, 2003).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut telinga tengah. Penyakit

ini masih merupakan masalah kesehatan khususnya pada anak - anak.

Diperkirakan 70% anak mengalami satu atau lebih episode otitis media

menjelang usia 3 tahun. Penyakit ini terjadi terutama pada anak dari baru

lahir sampai umur sekitar 7 tahun (Healy & Rosbe, 2003).

Berdasarkan data World Health Organization (2012) terdapat 5,3% atau

360 juta penduduk di dunia yang mengalami gangguan pendengaran, 91%

atau 328 juta diantaranya orang dewasa dan 9% atau 32 juta adalah anak-

anak. Prevalensi gangguan pendengaran akan meningkat seiring dengan

pertambahan usia. Menurut Samuel dkk (2014) di Asia Tenggara, Indonesia

1
termasuk keempat negara dengan prevalensi gangguan telinga tertinggi yaitu

4,6%.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia (2013) menunjukkan bahwa penduduk Indonesia usia 5

tahun keatas 2,6 % mengalami gangguan pendengaran, 0,09 % mengalami

ketulian, 18,8 % ada sumbatan serumen dan 2,4 % ada sekret diliang telinga.

Data tersebut menunjukkan bahwa gangguan pendengaran masih menjadi

permasalahan kesehatan masyarakat.

Prevalensi gangguan pendengaran nasional didapatkan sebesar 2,6 %,

dimana angka tertinggi didapatkan di Nusa Tenggara Timur (3,7%) dan

terendah di Banten (1,6%). Data prevalensi gangguan pendengaran penduduk

usia diatas lima tahun di provinsi Sumatera Barat didapatkan sebesar 2,5 %

(KemenKes, 2013).

Berdasarkan data dari RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun

2019 didapatkan 192 pasien OMA dengan kejadian tertinggi, pada musim

hujan (65,6%), usia 6-12 tahun (30,7%), laki - laki (56,3%), keluhan otalgia

(57,3%), stadium hiperemis (unilateral) (46,7%) dan hiperemis – hiperemis

(bilateral, sinistra-dextra) (36,8%), serta riwayat infeksi saluran napas atan

(85,9%).

Otitis Media sering terjadi pada anak-anak dan berhubungan dengan

saluran pernapasan atas baik berasal dari virus atau bakteri. Dalam banyak

kasus Otitis Media merespon antibiotik, namun infeksi berulang biasanya

memerlukan operasi, yang memerlukan pembuatan sebuah lubang di gendang

telinga untuk mengurangi tekanan dan mengalirkan sekresi telinga tengah

2
(David, 2012). Biasanya setelah dilakukan operasi akan ditemukan keluhan

seperti demam, nyeri telinga, iritabilitas, muntah, resiko infeksi, dan juga

gejala saluran pernapasan akut lainnya (Lieberthal et al., 2013).

Pada umumnya anak – anak sangat rentan untuk memegang dan menekan

area luka, bahkan saat tidur tanpa sengaja mengenai luka. Hal ini

menyebabkan resiko infeksi menjadi masalah yang sering ditemui setelah

post operasi. Anak-anak yang mengalami infeksi akan menimbulkan

penyembuhan luka lambat. Beberapa faktor penyebab infeksi adalah lamanya

waktu terbuka setelah kejadian, peningkatan trauma kulit sekitar, kontaminasi

bakteri, adanya benda asing dan pencucian yang tidak adekuat (Arisanty,

2013). Untuk itu agar angka infeksi tidak meningkat, maka diperlukan

perawatan luka untuk mencegah terjadinya infeksi silang (Yusra & Aprilani,

2015).

Perawatan luka bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif

bagi jaringan yang menunjang proses penyembuhan luka (Tarigan, 2007).

Saat ini teknik perawatan luka yang berkembang adalah perawatan luka

konvensional dan modern (Fata dkk, 2016).

Perawatan luka konvensional saat ini masih cenderung menggunakan

bahan-bahan perawatan yang konvensional atau wet dry dan tidak

mendukung penyembuhan luka, seperti penggunaan povidone iodine, alkohol

70%. Cairan antiseptik ini akan menyebabkan luka mengering serta

menggunakan kasa lembab. Ketika kasa lembab menjadi kering, akan

menekan permukaan jaringan, yang berarti segera harus diganti dengan

balutan kering berikutnya. Hal ini mengakibatkan tidak hanya pertumbuhan

3
jaringan sehat yang terganggu, tetapi juga menimbulkan rasa nyeri yang

berlebihan. Luka dianggap telah sembuh walau akhirnya malah menimbulkan

bekas menghitam dan jaringan parut. Anggapan bahwa luka yang telah

mengering adalah kondisi luka yang telah sembuh inilah yang harus dirubah

karena tidak sesuai dengan prinsip penyembuhan luka (Baroroh, 2011 dalam

Naralia dan Ariani, 2018).

Banyak teknik yang bisa dilakukan untuk perawatan luka salah satunya

perawatan luka modern dressing dengan metode moist wound healing.

Modern wound dressing merupakan salah satu metode perawatan luka

dengan cara tertutup dan lembab yang difokuskan untuk menjaga luka dari

dehidrasi dan meningkatkan proses penyembuhan luka (Dhivya, Padma, &

Santhini, 2015). Luka dengan suasana lembab dapat mempercepat

fibrinolisis, angiogenesis, menurunkan resiko infeksi, pembentukan growth

factor, dan pembentukan sel aktif (Handayani, 2016).

Gito dan Rochmawati (2018) menuliskan bahwa modern dressing dapat

mempercepat penyembuhan luka karena dalam beberapa jenis modern

dressing, mengandung antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan

bakteri gram positif dan gram negatif. Modern dressing dinilai efektif dan

efisien dalam proses penyembuhan luka klien dari segi biaya, waktu, dan

pencegahan infeksi. Oleh karena ini, hal ini penting untuk diketahui perawat

yang bertanggung jawab terhadap klien dalam masa proses penyembuhan

lukanya.

4
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penerapan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) dengan judul “Penerapan

Perawatan Luka Modern Dressing Dengan Metode Moist Wound Healing

Pada Otitis Media Di Ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

Tahun 2019”.

1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini adalah

“Bagaimana Penerapan Perawatan Luka Modern Dressing Dengan Metode

Moist Wound Healing Pada Otitis Media Di Ruang THT RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi Tahun 2019?”.

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu meningkatkan pengetahuan dan kemampuan

dalam menerapkan asuhan keperawatan pada An. A dengan post

operasi Otitis Media di Ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi Tahun 2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang konsep

dasar Otitis Media di ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi Tahun 2020.

5
2. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada An. A dengan

post operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi Tahun 2020.

3. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada An.

A dengan post operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2020.

4. Mahasiswa mampu melakukan intervensi pada An. A dengan post

operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi Tahun 2020.

5. Mahasiswa mampu menerapkan implementasi pada An. A dengan

post operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi Tahun 2020.

6. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada An. A dengan post

operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi Tahun 2020.

7. Mahasiswa mampu melakukan pendokumentasian pada An. A

dengan post operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2020.

8. Mahasiswa mampu menerapkan perawatan luka pada An. A

dengan post operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2020.

6
1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Bagi RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai

dasar pengembangan manajemen asuhan keperawatan dan membantu

perawat diruang perawatan dalam meningkatkan kepuasan pasien

terhadap pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan khususnya

dalam melakukan penerapan aplikasi modern wound care sebagai

salah satu intervensi perawatan luka.

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat menambah

wawasan dan juga sebagai acuan dalam mengembangkan ilmu

keperawatan dasar bagi peserta didik khususnya Prodi Profesi Ners

Stikes Perintis Padang. Hasil ini dapat diproses menjadi dasar atau

data yang mendukung untuk badan pengajaran ilmu keperawatan

dasar.

1.4.3 Bagi Penulis

Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan memberikan pengetahuan

dan memperkaya pengalaman bagi penulis dalam memberikan dan

menyusun asuhan keperawatan pada pasien Otitis Media sebagai

salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi

Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis Padang.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Otitis Media Akut

2.1.1 Definisi Otitis Media Akut

Otitis media akut adalah peradangan telinga tengah yang

gejalanya berlangsung cepat seperti tanda-tanda dari efusi telinga

tengah dan tanda inflamasi pada telinga tengah. Otalgia dan demam

adalah tanda paling klasik dari otitis media akut yang telah terjadi

pernanahan. Penemuan spesifik dari pemeriksaan otoskop adalah

hilangnya reflek cahaya, hilangnya bentuk normal membran timpani,

dan pembengkakan pada membran timpani (Toll & Nunez, 2012).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah

dengan gejala dan tanda - tanda yang bersifat cepat dan singkat.

Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara

lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,

muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran

timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga

tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau

inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran

timpani atau bulging, mobilitas yang terhadap pada membran timpani,

terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner,

2007).

8
2.1.2 Anatomi Fisiologi

1. Anatomi Telinga

Telinga tengah adalah suatu rongga yang terletak di tulang

tengkorak dan terdiri dari membran timpani, kavum timpani,

antrum mastoid dan tuba eustakhius (Ghanie, 2010).

Gambar 2.1. Anatomi telinga tengah


th
(Sumber : tortora 13 edition 2011)

a. Membran Timpani

Membran timpani dibagi menjadi dua bagian, yaitu pars

tensa (membran sharpnell) yang terletak dibagian atas dan

pars tensa (membran propria) yang terletak dibagian bawah

(Luklukaningsih, 2014). Pars tensa merupakan bagian paling

besar terdiri dari tiga lapisan. Lapisan luar disebut lapisan

kutaneus (cutaneous layer) terdiri dari lapisan epitel berlapis

semu halus yang normalnya mereflesikan cahaya. Lapisan

9
dalam disebut lapisan mukosa (mucosal layer) merupakan

lapisan yang berbatasan dengan cavum timpani serta lapisan

yang terletak diantara keduanya. Lapisan ini terdiri dari dua

lapis jaringan ikat fibrosa yang bersatu dengan cincin

fibrokartilago yang mengelilingi membran timpani. Pars

flaksida tidak memiliki lapisan fibrosa, sehingga bagian inilah

yang pertama kali akan mengalami retraksi bila terjadi tekanan

negatif dalam telinga (Shaikh & Hoberman, 2010).

b. Kavum Timpani

Kavum timpani dibagi menjadi tiga bagian yang

berhubungan dengan lempeng membran timpani, yaitu

epitimpanum, mesotimpanum dan hipotimpanum (Ghanie,

2010).

1) Epitimpanum, dibatasi oleh suatu penonjolan tipis, yaitu

tegmen timpani. Bagian anterior epitimpanum terdapat

ampula kanalis superior. Pada bagian anterior ampula

kanalis superior terdapat ganglion genikulatum yang

merupakan tanda ujung anterior ruang atik. Atik pada

bagian posterior menyempit menjadi jalan masuk ke

antrum mastoid yaitu aditus ad antrum (Budiyono, 2011).

2) Mesotimpanum, pada bagian medial dibatasi oleh kapsul

otik yang terletak lebih rendah daripada n.Fasialis pars

timpani. Promotorium berisi saraf-saraf yang membentuk

pleksus timpanikus. Promotorium pada bagian

10
posterosuperior terdapat foramen ovale (vestibuler), dan

pada bagian posteroinferior terdapat foramen rotundum

(koklear). Orificium timpani tuba eustakhius terletak pada

anterosuperior mesotimpanum (Luklukaningsih, 2014).

Hipotimpanum merupakan suatu ruang dangkal yang

terletak lebih rendah dari membran timpani.

Hipotimpanum membentang dari kanalis semisirkularis

lateralis sampai kanalis semisirkularis posterior disebelah

anteromedial sinus sigmoid. Sudut ini akan ditemukan

dengan membuang sebersih-bersihnya sel-sel pneumatisasi

mastoid diantara kanalis semisirkularis lateral dengan

sudut sinodura. Segitiga trautman adalah daerah yang

terletak dibalik antrum yang dibatasi oleh sinus sigmoid,

sinus lateral dan tulang labirin. Batas medialnya adalah

lempeng dura fossa posterior (Koksal & Reisli, 2002).

c. Tuba Eustakhius

Tuba eustakhius menghubungkan telinga tengah dengan

nasofaring. Panjang tuba eustakhius dewasa bervariasi antara

31 - 38 mm. Pada bayi dan anak-anak ukurannya lebih pendek

dan lebih horisontal sehingga sekret dari nasofaring lebih

mudah masuk ke telinga tengah. Dua pertiga bagian

anteromedial tuba (arah nasofaring) berdinding tulang rawan,

sedangkan sisanya (arah cavum timpani) berdinding tulang.

Dinding tulang rawan ini tidak lengkap, dinding bawah dan

11
lateral bawah merupakan jaringan ikat yang bergabung dengan

M. Tensor dan levator velli palatini. Tuba eustakhius akan

terus berkembang bertambah panjang dan akan membentuk

sudut yang lebih besar dari bidang horisontal pada usia 5-7

tahun (Budiyono, 2011).

2. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi

oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui

udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan

membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian

tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran Proses

mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara

atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran

timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang

pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya

ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas

membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah di

amplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan

tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak.

Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong

endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara

membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan

rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi

12
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi

pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini

menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga

melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan

menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan

ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus

temporalis (Soetirto, Hendarmin, & Bashiruddin, 2012).

2.1.3 Klasifikasi Otitis Media Akut

OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,

bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu

stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-

supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi

(Djaafar, 2007).

Gambar 2.2. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang

ditandai oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan

intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya

13
absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi

malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang.

Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya

tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap

normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat.

Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium

ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang

disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada

stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di

membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani

mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat

serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba

yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh

mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga

tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini

merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien

mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran

mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung

dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat

tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala

berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar,

2007; Dhingra, 2007).

14
Gambar 2.3. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat

purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel

mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi

makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya

eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran

timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.

Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan

suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien

selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai

dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam

tinggi dapat disertai muntah dan kejang.

Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan

baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat

timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani.

Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum

timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga

tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan

15
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna

kekuningan atau yellow spot.

Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan

miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan

insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari

telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada

membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila

terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup

kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali

jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 2.4. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani

sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan

mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang

pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering

disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya

virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi

lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.

16
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret

atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan

ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan

tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai

dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif

kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 2.5. Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali

dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi

ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi

membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan

berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal.

Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika

membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan

virulensi kuman rendah.

Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut

menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini

berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang

17
keluar secara terus-menerus atau hilang timbul (Djaafar, 2007;

Dhingra, 2007).

2.1.4 Etiologi Otitis Media Akut

1. Bakteri

Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering.

Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis

bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan

atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-

patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.

Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah

Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus

influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-

kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti

Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus

aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan

organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan

neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus

influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme

yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang

dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).

Sekitar 70% pasien dengan otitis media akut, bakteri

ditemukan pada kultur pada telinga tengah. Spesies yang paling

sering adalah haemophilus influenzae dan streptococcus

pneumoniae. Kultur pada nasofaring dapat memberikan informasi

18
berguna dalam keterlibatan bakteri pada otitis media akut.

Heikkinen dkk menemukan pada 25% dari pasiennya disebabkan

oleh steptococcus penumoniae, haemophilus influenzae pada 23%,

moraxella catarrhalis sekitar 15%. Telah didemostrasikan bahwa

kekambuhan dari otitis media akut memiliki hubungan positif

dengan hasil kultur bakteri yang positif pada nasofaring (Corbeel,

2007).

2. Virus

Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai

tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain.

Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu

respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus

(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza

virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak

buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun

lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat

antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya

(Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase

chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked

immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari

cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75%

kasus (Buchman, 2003).

Kebanyakan anak-anak terinfeksi oleh respiratory syncytial

virus (RSV) pada awal tahun kehidupan. Prevalensi virus saluran

19
pernafasan pada cairan pada telinga tengah dari 456 anak berumur

tujuh bulan sampai tujuh tahun dengan otitis media akut adalah

41%. RSV adalah yang paling sering ditemukan, diikuti dengan

parainfluenza, influenza, enterovirus dan adenovirus. Penemuan

ini dikonfirmasi dengan penelitian lain dan ditambahkan beberapa

virus ke dalam daftar seperti rhinovirus, coronavirus,

metapheumovirus (Corbeel, 2007).

2.1.5 Faktor Resiko Otitis Media

Faktor risiko dari otitis media pada populasi anak-anak (pediatric)

tergantung pada banyak faktor seperti faktor inang dan faktor

lingkungan. Faktor risiko ini adalah usia, kolonisasi bakteri,

menyusui, dan merokok pasif (Bardy dkk., 2014).

1. Usia

Puncak insiden dari otitis media akut adalah pada dua tahun

pertama kehidupan, khususnya pada 6-12 bulan. Peningkatan

kerentanan terhadap otitis media akut dapat dikaitkan dengan

keadaan anatomi, dimana tuba Eusthacius lebih pendek dan lebih

horizontal dibandingkan dengan dewasa dan juga karena faktor

imunitas (Shaikh & Hoberman, 2010).

2. Kolonisasi bakteri

Kolonisasi pada nasofaring oleh otopathogen memprediksi

onset awal dan frekuensi dari otitis media pada semua anak-anak.

Penelitian pada kelompok pribumi menunjukan bahwa kolonisasi

20
otopathogen ini lebih sering pada usia muda dan dengan jumlah

bakteri yang terkandung lebih tinggi (Bardy dkk., 2014).

3. Kondisi lingkungan

Risiko terkena otitis media meningkat dengan adanya kontak

dengan anak lain, rumah dengan jumlah anggota keluarga yang

melebihi seharusnya, kumuh, dan interaksi dengan individual

dengan otitis media akut. Beberapa studi meneliti antara kondisi

lingkungan yang tidak baik dengan risiko otitis media pada

komunitas pribumi. Lingkungan yang padat sudah dipastikan

sebagai masalah utama pada komunitas pribumi (Bardy dkk.,

2014).

4. ASI

Literatur internasional menyatakan bahwa kekurangan ASI

ekslusif pada enam bulan pertama kehidupan meningkatkan risiko

otitis media akut pada bayi di bawah satu tahun, tetapi pada

penilitan 280 anak - anak pribumi menunjukan bahwa kurangnya

ASI ekslusif tidak meningkatkan risiko otitis media pada enam

bulan awal kehidupan (Bardy dkk, 2014).

5. Merokok

Merokok pasif merupakan resiko yang penting terjadinya otitis

media pada anak-anak (Bardy dkk, 2014).

21
2.1.6 Tanda dan Gejala Otitis Media Akut

Menurut Smeltzer & Bare (2001) Gejala otitis media akut dapat

bervariasi antara lain : Nyeri telinga (otalgia), keluarnya cairan dari

telinga, demam, kehilangan pendengaran, tinitus, membran timpani

tampak merah dan menggelembung.

Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur

pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah

rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi.

Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang

lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat

gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang

mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu

tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak

gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,

kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit.

Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang

telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007).

Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau

ringannya suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran

temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan

menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan

dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari

(2005), skor OMA adalah seperti berikut:

22
Tabel 2.1. Skor OMA
Skor Suhu Gelisah Tarik Kemerahan Bengkak pada
(ºC) telinga pada membran membran timpani
timpani (bulging)
0 <38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 38,0-38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan
2 38,6-39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang
3 >39,0 Berat Berat Berat Berat termasuk
otore
Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan

angka 0 hingga 3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti

OMA berat.

Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat

otalgia berat atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39°C oral atau

39,5°C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam

kurang dari 39°C oral atau 39,5°C rektal (Titisari, 2005).

2.1.7 Patofisiologi Otitis Media Akut

Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting

pada otitis media. Tuba Eustachius adalah saluran yang

menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring, yang

terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan

sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).

Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan

baru terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau

pada saat mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba

dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini apabila terjadi

perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20

sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi

penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase sekret. Ventilasi

23
berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah

selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung

telinga tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret

atau cairan dari nasofaring ke telinga tengah. Drainase bertujuan

untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga tengah ke nasofaring

(Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).

Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh

infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi

kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk

nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit,

sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila

keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan

aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah

melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba

Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari

nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan

mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke

dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA

dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat,

drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi

akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi

mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran

pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang

dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus

24
respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri,

sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi

bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi

lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan

tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap

getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat

merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi

(Kerschner, 2007).

Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan

ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana

proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta

akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien

dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal

dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba

terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid

(Kerschner, 2007).

Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding

dengan orang dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih

pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba

orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih mudah

menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan

pada anak di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini

meningkatkan peluang terjadinya refluks dari nasofaring menganggu

drainase melalui tuba Eustachius. Insidens terjadinya otitis media

25
pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah

berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat,

sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem

pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA

lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ

di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh.

Pada anak, adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi

adenoid yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga

adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius.

Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar

ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).

Gambar 2.6. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan


Orang Dewasa

26
WOC Otitis Media
Bakteri Streptococcus pneumoniae, haemophilus influenzae dan moraxella Usia, kolonisasi bakteri, kondisi lingkungan, ASI,
catarhalis serta respiratory syncytial virus, influenza virus atau adenovirus. merokok.

Invasi bakteri

Infeksi virus ini akan menyebabkan pembengkakan dan menghasilkan penumpukan sekresi mukosa.

Akumulasi sputum di belakang gendang telinga

Otitis Media
Tindakan pembedahan

Perubahan status kesehatan Proses peradangan pada telinga tengah Tekanan udara pada telinga tengah
Luka terbuka
Kuman melepaskan endotoksin
Kurang informasi Mengaktivasi reseptor nyeri Retraksi membran timpani
Terputusnya
Merangsang tubuh mengeluarkan kontinuitas jaringan
Defisit pengetahuan zat pirogen oleh leukosit Melalui sistem Hantaran suara / udara
saraf ascenden yang diterima menurun
Infasi bakteri
Suhu tubuh meningkat
Gg komunikasi verbal
Merangsang thalamus
& korteks serebri Resiko infeksi
Hipertermia

Muncul sensasi nyeri

Sumber : Corbeel, 2007


Nyeri akut

27
2.1.8 Penatalaksanaan Otitis Media Akut

1. Pengobatan

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.

Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka

kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga

tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 %

dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl

efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas

12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan

pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).

Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes

hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan

penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan

kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi

awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya

adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis

terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan

kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila

pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak,

diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam

empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50

mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).

28
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien

harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran

timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi

ruptur (Djaafar, 2007).

Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar,

kadang secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga

(ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta

antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan

hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai

dengan 10 hari (Djaafar, 2007).

Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal

kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak

terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar

melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat

dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan,

mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).

2. Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat

menangani OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba

timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).

a. Miringotomi

Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa

membran timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga

tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan

29
secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga

membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi

miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi

yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu

dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar,

2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah

nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus

fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.

Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang

mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada

satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau

timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon

kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk

mengidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner,

2007).

b. Timpanosintesis

Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005),

timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani,

dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk

tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi

antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,

pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh

rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat

menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah,

30
gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan

plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial

yang telah dijalankan.

c. Adenoidektomi

Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi

otitis media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang

pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba

timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada

anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului

dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali

jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren

(Kerschner, 2007).

2.2 Konsep Kebutuhan Dasar

Kenyamanan atau rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya

kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan

yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah

terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah

dan nyeri). Kenyamanan harus dipandang secara holistik yang mencakup

empat aspek yaitu:

1. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.

2. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial.

3. Psikososial, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri

yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan.

31
4. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal

manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah

lainnya (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).

Dalam meningkatkan kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat lebih

memberikan kekuatan, harapan, dorongan, hiburan, dukungan dan bantuan.

Secara umum dalam aplikasinya pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah

kebutuhan rasa nyaman bebas dari rasa nyeri, dan hipo / hipertermia. Hal ini

disebabkan karena kondisi nyeri dan hipo / hipertermia merupakan kondisi

yang mempengaruhi perasaan tidak nyaman pasien yang ditunjukkan dengan

timbulnya gejala dan tanda pada pasien (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).

2.2.1 Gangguan Rasa Nyaman

1. Definsi gangguan rasa nyaman

Gangguan rasa nyaman adalah perasaan kurang senang, lega dan

sempurna dalam dimensi fisik, psikospiritual, lingkungan dan

emosional (SDKI PPNI, 2016).

2. Penyebab gangguan rasa nyaman

Gejala penyakit, kurang pengendalian situasional / lingkungan,

ketidakadekuatan sumber daya, kurangnya privasi, gangguan

stimulus lingkungan, efek samping terapi (misal medikasi, radiasi

dan kemoterapi).

3. Gejala dan tanda mayor

Subjektif : Mengeluh tidak nyaman

Objektif : Gelisah

32
4. Gejala dan tanda minor

Subjektif : Mengeluh sulit tidur dan mengeluh lelah, tidak mampu

rileks, mengeluh kedinginan/kepanasan, merasa gatal, mengeluh

mual.

Objektif : Menunjukkan gejala distres, tampak merintih/menangis,

pola eleminasi berubah, postur tubuh berubah, iritabilitas

5. Kondisi klinis terkait:

- Penyakit kronis dan Keganasan

- Distres psikologis, Kehamilan (SDKI PPNI, 2016).

2.2.2 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri

1. Pengertian nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan pengalaman emosional yang

tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang

aktual atau potensial yang dirasakan dalam kejadian dimana

terjadi kerusakan jaringan tubuh (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).

Nyeri adalah pengalaman sensori atau emosional yang berkaitan

dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset

mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang

berlangsung kurang dari 3 bulan (SDKI PPNI, 2016).

2. Fisiologi nyeri

Terdapat tiga komponen fisiologis dalam nyeri yaitu resepsi,

presepsi, dan relaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan

impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki

medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf

33
dan akhirnya sampai di dalam masa berwarna abu-abu di medula

spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel

saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai

otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral, maka

otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi

tentang pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta asosiasi

kebudayaan dalam upaya mempersiapkan nyeri (Wahyudi &

Abd.Wahid, 2016).

3. Klasifikasi nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.

Tabel 2.2 Klasifikasi Nyeri


Nyeri Akut Nyeri Kronis
Nyeri akut adalah pengalaman Nyeri kronis adalah
sensorik atau emosional yang pengalaman sensorik atau
berkaitan dengan kerusakan emosional yang berkaitan
jaringan aktual atau dengan kerusakan jaringan
fungsional, dengan onset aktual atau fungsional, dengan
mendadak atau lambat dan onset mendadak atau lambat
berintensitas ringan hingga dan berintensitas ringan hingga
berat yang berlangsung berat dan konstan, yang
kurang dari kurang 3 bulan. berlangsung lebih dari 3 bulan.
Penyebab nyeri akut : Penyebab nyeri kronis :
1. Agen pencedera fisiologis 1. Kondisi muskuloskeletal kronis
2. Kerusakan sistem saraf
(mis: inflamasi, iskemia, 3. Penekanan saraf
meoplasma) 4. Infiltrasi tumor
2. Agen pencedera kimiawi 5. Ketidakseimbangan
(mis: terbakar, bahan kimia neuromedulator dan reseptor
iritan) 6. Gangguan imunitas (mis:
neuropati terkait HIV, virus
3. Agen pencedera fisik (mis: vericella-zoster)
abses, amputasi, terbakar, 7. Gangguan fungsi metabolik
terpotong, mengangkat 8. Riwayat posisi kerja statis
berat, prosedur operasi, 9. Peningkatan indeks massa tubuh
trauma, latihan fisik 10. Kondisi pasca trauma
11. Tekanan emosional
berlebihan) 12. Riwayat penganiayaan (mis:
fisik, psikologis, seksual)
13. Riwayat penyalahgunaan obat /
zat.
Sumber: (SDKI PPNI, 2016).

34
4. Efek yang ditimbulkan oleh nyeri

Nyeri merupakan kejadian ketidaknyamanan yang dalam

perkembangannya akan mempengaruhi berbagai komponen dalam

tubuh. Efek nyeri dapat berpengaruh terhadap fisik, perilaku, dan

pengaruhnya pada aktivitas sehari-hari (Andarmoyo, 2017).

a. Tanda dan gejala

Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang

berupaya untuk tidak mengeluh atau mengakui

ketidaknyamanan. Sangat penting untuk mengobservasi

keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri akut, denyut

jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan meningkat

(Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).

b. Efek fisik

1) Nyeri akut

Pada nyeri akut, nyeri yang tidak diatasi secara adekuat

mempunyai efek yang membahayakan diluar

ketidaknyamanan yang disebabkannya. Selain merasakan

ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak

kunjung mereda dapat memengaruhi sistem pulmonary,

kardiovaskuler,gastrointestinal, endokrin, dan imunologik

(Andarmoyo, 2017).

35
2) Nyeri kronis

Seperti halnya nyeri akut, nyeri kronis juga mempunyai

efek negatif dan merugikan. Supresi atau penekanan yang

terlalu lama pada fungsi imun yang berkaitan dengan nyeri

kronis dapat meningkatkan pertumbuhan tumor

(Andarmoyo, 2017).

c. Efek perilaku

Pasien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah

dan gerakan tubuh yang khas dan berespons secara vokal serta

mengalami kerusakan dalam interaksi sosial. Pasien seringkali

meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah,

imobilisasi, mengalami ketegangan otot, melakukan gerakan

melindungi bagian tubuh sampai dengan menghindari

percakapan, menghindari kontak sosial dan hanya fokus pada

aktivitas menghilangkan nyeri (Wahyudi & Abd.Wahid,

2016).

d. Pengaruh pada aktivitas sehari-hari

Pasien mengalami nyeri setiap hari kurang mampu

berpartisipasi dalam aktivitas rutin, seperti mengalami

kesulitan dalam melakukan tindakan higiene normal dan dapat

mengganggu aktivitas sosial dan hubungan seksual (Wahyudi

& Abd.Wahid, 2016).

36
2.3 Konsep Perawatan Luka

2.3.1 Definisi Perawatan Luka

Perawatan luka adalah membersihkan luka, mengobati dan

menutup luka dengan memperhatikan teknik steril (Ghofar, 2012).

Perawatan luka merupakan salah satu teknik dalam pengendalian

infeksi pada luka karena infeksi dapat menghambat proses

penyembuhan luka. Infeksi luka post operasi merupakan salah satu

masalah utama dalam praktek pembedahan (Potter & Perry, 2006).

Moist Wound Care atau nama lain dari Moist Wound Healing

merupakan proses penyembuhan luka secara lembab atau moist

dengan mempertahankan isolasi lingkungan luka berbahan oklusive

dan semi oklusive (Fatmadona & Oktarina, 2016). Moist Wound Care

mendukung terjadinya proses penyembuhan luka sehingga terjadi

pertumbuhan jaringan secara alami yang bersifat lembab dan dapat

mengembang apabila jumlah eksudat berlebih, dan mencegah

kontaminasi bakteri dari luar (Ose, Utami, & Damayanti, 2018).

2.3.2 Tujuan Perawatan Luka

Menurut Ghofar (2012) tujuan perawatan luka adalah:

1. Mencegah masuknya kuman dan kotoran ke dalam luka.

2. Mencegah penyebaran oleh cairan dan kuman yang berasal dari

luka ke daerah sekitar.

3. Mengobati luka dengan obat yang telah di tentukan.

37
2.3.3 Alat dan Bahan Perawatan Luka

Menurut Ghofar (2012) alat dan bahan yang digunakan pada saat

perawatan luka :

1. Satu set perawatan luka steril / bak steril, terdiri dari:

Sarung tangan, pinset anatomis, pinset chirurgis, gunting jaringan,

kassa steril, kom berisi larutan pembersih (normal salin 0,9%).

2. Alat non steril, terdiri dari :

Sarung tangan non steril, cairan Nacl 0,9%, pengalas sesuai luas

luka, kapas alkohol, korentang, perlak atau penghalas, bengkok,

kom berisi lysol 1% , gunting verban / plester, verban, plester,

schort, masker, obat sesuai program terapi, tempat sampah.

2.3.4 Prosedur Perawatan Luka

Menurut Ghofar (2012), prosedur perawatan luka ialah:

1. Tahap pra interaksi.

a. Melakukan pengecekan pada care plan pasien.

b. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

c. Mencuci tangan.

d. Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar.

2. Tahap orientasi.

a. Memberikan salam dan menyapa pasien.

b. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan.

c. Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan.

38
3. Tahap kerja.

a. Menjaga privacy.

b. Mengatur posisi pasien sehingga luka dapat terlihat jelas.

c. Membuka peralatan.

d. Memakai sarung tangan.

e. Membasahi balutan dengan alkohol / swah bensin dan buka

dengan menggunakan pinset.

f. Membuka balutan lapisan terluar.

g. Membersihkan sekitar luka dan bekas plester.

h. Membuka balutan lapisan dalam.

i. Menekan tepi luka (sepanjang luka) untuk mengeluarkan pus.

j. Melakukan debridement.

k. Membersihkan luka dengan menggunakan NaCl.

l. Melakukan kompres desinfektan dan tutup dengan kassa.

m. Memasang plester atau verband.

n. Merapihkan pasien.

4. Tahap terminasi

a. Melakukan evaluasi tindakan yang dilakukan.

b. Berpamitan dengan klien.

c. Membereskan alat-alat.

d. Mencuci tangan.

e. Mencatat kegiatan dalam lembar / catatan keperawatan.

39
2.3.5 Evaluasi

Menurut Supartini (2009) untuk melihat perkembangan pasien

setelah dilakukan tindakan keperawatan luka : Tanda-tanda

penyembuhan luka, karakteristik drainage, tanda - tanda inflamasi,

tingkat nyeri.

2.3.6 Proses Penyembuhan Luka

Menurut Yasmara dkk (2017), saat terjadi luka, tubuh akan

memberikan respons melalui tiga fase proses penyembuhan luka.

Proses tersebut adalah :

1. Fase Inflamasi (devensif)

Fase ini terjadi 3-4 hari dengan adanya hemostasis dan

inflamasi. Hemostasis atau pengehentian perdarahan terjadi

dengan adanya vasokonstriksi pembuluh darah besar di daerah

yang terkena. Trombosit akan diaktivasi menjadi plug trombosit

dan menghentikan perdarahan. Selanjutnya akan terbentuk fibrin

dan jaringan fibrinosa yang akan menangkap trombosit dan sel

lainnya. Proses ini akan menghasilkan pembentukan gumpalan

fibrin yang akan menjadi penutup awal luka, mencegah

kehilangan darah dan cairan tubuh serta menghambat kontaminasi

luka oleh mikroorganisme. Inflamasi merupakan reaksi adaptasi

tubuh terhadap adanya cedera pada tubuh dan melibatkan respon

vaskuler dan sekuler. Pada respon vaskuler, akan dikeluarkan

histamin, serotonin, komplemen dan kinin. Zat-zat ini merupakan

substansi vasoaktif yang akan menyebabkan pembuluh darah

40
vasodilatasi dan lebih permeabel, sehingga aliran darah akan

meningkat dan cairan serosa akan keluar disekeliling jaringan.

Peningkatan suplay darah ini akan membawa nutrisi dan oksigen

yang sangat diperlukan untuk proses penyembuhan luka dan

membawa leukosit ke daerah luka untuk melakukan fagositosis

untuk membuang mikroorganisme. Peningkatan aliran darah ini

juga akan membuang kotoran termasuk sel mati, bakteria, eksudat

atau materi dan buangan sel dari pembuluh darah. Daerah ini akan

menjadi merah, edema, dan hangat ketika disentuh. Pada fase

selular, leukosit akan bergerak ke luar pembuluh darah, masuk ke

rongga interstisial. Neutrofil datang pada sel yang terluka dan

melakukan fagositosis. Mereka akan mati dan digantikan oleh

makrofag yang muncul dari monosit darah. Makrofag ini akan

berperan seperti neutrofil dan bekerja untuk jangka waktu yang

lebih lama. Makrofag ini juga sangat berperan dalam proses

penyembuhan luka karena mengeluarkan fibroblast activating

factor (FAF) dan angiogenesis factor (AGF). FAF membentuk

fibroblast yang kemudian akan membentuk kolagen atau prekusor

kolagen. AGF akan menstimulasi pembentukan darah baru.

2. Fase Rekontruksi

Fase ini mulai hari ketiga tau keempat setelah terjadinya luka

dan dapat bertahan hingga 2-3 minggu. Fase ini terdiri dari proses

deposisi kolagen, angiogenesis, perkembangan jaringan granulasi,

dan kontraksi luka. Fibrolast akan bermigrasi ke dalam luka

41
karena adanya mediator seluler. Pada fase ini terbentuk sistesi dan

sekresi dari kolagen. Kolagen ini akan saling menyilang untuk

membentuk jaring kolagen dan menguatkan tahanan luka. Jika

luka semakin kuat, risiko terjadinya luka terbuka akan semakin

kecil. Angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) dimulai

beberapa jam setelah terjadinya luka. Sel endotel mulai

membentuk enzim yang akan merusak membran dasar luka.

Membran terbuka dan sel endoteliat baru akan membentuk

pembuluh darah baru. Kapiler ini akan menuju luka dan

meningkatkan aliran pembuluh darah. Yang akan meningkatkan

suplai nutrisi dan oksigenasi. Proses penyembuhan dimulai

dengan adanya jaringan granulasi atau jaringan baru yang tumbuh

dari sekeliling jaringan yang sehat. Jaringan granulasi terdiri dari

pembuluh darah kapiler yang rapuh dan mudah berdarah,

sehingga berwarna merah. Setelah jaringan granulasi terbentuk,

akan mulai terjadi epitelisasi atau pertumbuhan jaringan epitel.

Sel epitel akan berpindah dari sisi luar jaringan yang luka ke

bagian dalam. Kontruksi luka merupakan tahap akhir dari fase

rekontruksi penyembuhan luka. Kontruksi akan terjadi dalam 6-12

hari setelah terluka dan luka akan ditutup.

3. Fase Maturasi

Fase ini dimulasi pada hari ke-21 dan akan terus berlanjut

hingga 2 tahun atau lebih bergantung pada kedalaman dan kondisi

luka. Selama fase ini akan terbentuk jaringan parut.

42
2.4 Asuhan Keperawatan Teoritis

2.4.1 Pengkajian Keperawatan

1. Identitas Klien

Kaji Data klien secara lengkap yang mencakup ; nama, umur,

jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, suku bangsa, status

perkawinan, alamat, diagnosa medis, No RM / CM, tanggal

masuk, tanggal kaji, dan ruangan tempat klien dirawat.

Data penanggung jawab mencakup nama, umur, jenis kelamin,

agama, pekerjaan, suku bangsa, hubungan dengan klien dan

alamat.

2. Keluhan

Klien dengan Otitis Media Akut datang dengan keluhan nyeri

pada telinga bagian tengah.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Kaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat di

anamnesa, seperti penjabaran dari riwayat adanya kelainan nyeri

yang dirasakan. Biasanya alasan klien Otitis Media Akut datang

memeriksakan diri ke rumah sakit yaitu adanya nyeri pada telinga

tengah disertai terganggunya fungsi pendengaran.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Apakah ada kebiasaan berenang, apakah pernah menderita

gangguan pendengaran (kapan, berapa lama, pengobatan apa yang

dilakukan, bagaimana kebiasaan membersihkan telinga, keadaan

lingkungan tenan, daerah industri, daerah polusi).

43
5. Riwayat Kesehatan Keluarga

Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami

penyakit yang sama. Ada atau tidaknya riwayat infeksi saluran

nafas atas yang berulang dan riwayat alergi pada keluarga.

6. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum klien

- Telinga : Lakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan di daerah

telinga dengan menggunakan senter ataupun alat-alat lain

nya apakah ada cairan yang keluar dari telinga, bagaimana

warna, bau, dan jumlahnya. Apakah ada tanda-tanda

radang.

- Kaji adanya nyeri pada telinga

- Leher : Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah

leher

- Dada / thorak, jantung, perut / abdomen, genitourinaria,

ekstremitas, sistem integumen, sistem neurologi.

b. Data pola kebiasaan sehari-hari

- Nutrisi

Bagaimana pola makan dan minum klien pada saat sehat

dan sakit,apakah ada perbedaan konsumsi diit nya.

- Eliminasi

Kaji miksi,dan defekasi klien

44
- Aktivitas sehari-hari dan perawatan diri

Biasanya klien dengan gangguan otitis media ini, agak

susah untuk berkomunikasi dengan orang lain karena ada

gangguan pada telinga nya sehingga ia kurang mendengar

/ kurang nyambung tentang apa yang di bicarakan orang

lain.

7. Pemeriksaan diagnostik

a. Otoskopi

- Perhatikan adanya lesi pada telinga luar

- Amati adanya oedema pada membran tympani Periksa

adanya pus dan ruptur pada membran tympani

- Amati perubahan warna yang mungkin terjadi pada

membran tympani

b. Tes bisik

- Dengan menempatkan klien pada ruang yang sunyi,

kemudian dilakukan tes bisik, pada klien dengan OMA

dapat terjadi penurunan pendengaran pada sisi telinga

yang sakit.

c. Tes garpu tala

d. Tes Rinne didapatkan hasil negatif

e. Tes Weber didapatkan lateralisasi ke arah telinga yang sakit

f. Tes Audiometri : AC menurun

g. Xray : terhadap kondisi patologi

45
2.4.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan pada pasien Otitis Media yaitu :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan

dengan mengeluh nyeri, meringis, gelisah, sulit tidur, diaforesis.

2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan

dengan suhu tubuh diatas nilai normal, kulit merah, kulit terasa

hangat.

3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan

pendengaran dibuktikan dengan tidak mampu mendengar,

menunjukkan respon tidak sesuai, sulit memahami komunikasi.

4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar

informasi dibuktikan dengan menunjukkan perilaku tidak sesuai

anjuran.

5. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.

46
2.4.3 Intervensi

No. Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan


keperawatan (SLKI) (SIKI)
1. Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi Manajemen nyeri
berhubungan selama 3 x 24 jam Observasi :
dengan agen diharapkan tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
pencedera menurun dengan kriteria nyeri.
fisik hasil : 2. Identifikasi skala nyeri.
dibuktikan - Keluhan nyeri menurun 3. Identifikasi respons nyeri non verbal.
dengan - Meringis menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
mengeluh - Sikap protektif menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
nyeri, - Gelisah menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
meringis, - Kesulitan tidur menurun 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
gelisah, sulit 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan.
tidur, 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik.
diaforesis. Terapeutik :
1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
3. Fasilitasi istirahat dan tidur.
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri.
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.

47
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermia
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
dengan jam diharapkan 1. Identifikasi penyebab hipertermia.
proses termoregulasi membaik 2. Monitor suhu tubuh.
penyakit dengan kriteria hasil: 3. Monitor kadar elektrolit.
dibuktikan - Suhu tubuh membaik 4. Monitor haluaran urine.
dengan suhu - Suhu kulit membaik 5. Monitor komplikasi akibat hipertermia.
tubuh diatas - Kadar glukosa darah Terapeutik :
batas membaik 1. Sediakan lingkungan yang dingin.
normal, kulit - Pengisian kapiler 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
merah, kulit membaik 3. Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
terasa - Ventilasi membaik 4. Berikan cairan oral.
hangat. - Tekanan darah membaik 5. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis.
6. Lakukan pendinginan eksternal.
7. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin.
8. Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu.
3. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Promosi komunikasi : defisit pendengaran
komunikasi keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
verbal jam diharapkan komunikasi 1. Periksa kemampuan pendengaran.
berhubungan verbal meningkat dengan 2. Monitor akumulasi serumen berlebihan.

48
dengan kriteria hasil: 3. Identifikasi metode komunikasi yang disukai pasien
gangguan - Kemampuan berbicara Terapeutik :
pendengaran meningkat 1. Gunakan bahasa sederhana.
dibuktikan - Kemampuan mendengar 2. Gunakan bahasa isyarat, jika perlu.
dengan tidak - Kesesuaian ekspresi wajah 3. Verifikasi apa yang dikatakan atau ditulis pasien.
mampu / tubuh meningkat 4. Fasilitasi penggunaan alat bantu dengar.
mendengar, - Kontak mata meningkat 5. Berhadapan dengan pasien secara langsung selama berkomunikasi.
menunjukka 6. Pertahankan kontak mata selama berkomunikasi.
n respon 7. Hindari merokok, mengunyah makanan atau permen karet dan menutup
tidak sesuai, mulut saat berbicara.
sulit 8. Hindari kebisingan saat berkomunikasi.
memahami 9. Hindari berkomunikasi lebih dari 1meter dari pasien.
komunikasi. 10. Lakukan irigasi telinga, jika perlu.
11. Pertahankan kebersihan telinga.
Edukasi :
1. Anjurkan menyampaikan pesan dengan isyarat.
2. Ajarkan cara membersihkan serumen dengan tepat.
4. Defisit Setelah dilakukan tindakan Edukasi kesehatan
pengetahuan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
berhubungan jam diharapkan tingkat 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi.
dengan pengetahuan meningkat 2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan
kurang dengan kriteria hasil: motivasi perilaku hidup bersih dan sehat.
terpapar - Perilaku sesuai anjuran Terapeutik :
informasi meningkat 1. Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan.
dibuktikan - Verbalisasi minat dalam 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan.
dengan belajar meningkat 3. Berikan kesempatan untuk bertanya.
menunjukka - Perilaku sesuai dengan Edukasi :
n perilaku pengetahuan meningkat 1. Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan.

49
tidak sesuai 2. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat.
anjuran. 3. Anjarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat.
5. Resiko Setelah dilakukan tindakan Perawatan Area Insisi
infeksi keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
dibuktikan jam diharapkan tingkat 1. Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak atau tanda-tanda
dengan efek infeksi menurun dengan dehisen atau eviserasi.
prosedur kriteria hasil: 2. Identifikasi karakteristik drainase.
invasif. - Demam menurun 3. Monitor proses penyembuhan area insisi.
- Kemerahan menurun 4. Monitor tanda dan gejala infeksi.
- Nyeri menurun Terapeutik :
- Bengkak menurun 1. Bersihkan area insisi dengan pembersih yang tepat.
2. Usap area insisi dari area yang bersih menuju area yang kurang bersih.
3. Bersihkan area disekitar tempat pembuangan atau tabung drainase.
4. Pertahankan posisi tabung drainase.
5. Berikan salep antiseptik, bila perlu.
6. Ganti balutan luka sesuai jadwal.
Edukasi :
1. Jelaskan prosedur kepada pasien, dengan menggunakan alat bantu.
2. Ajarkan meminimalkan tekanan pada tempat insisi.
3. Ajarkan cara merawat area insisi.

50
2.4.4 Implementasi

Pelaksanaan keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana

intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan

dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing

orders untuk membantu pasien mencapai tujuan yang diharapkan.

Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk

memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan

klien. Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu pasien dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan

kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan

memfasilitasi koping. Selama tahap pelaksanaan, perawat terus

melakukan pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan yang

paling sesuai dengan kebutuhan pasien (Nursalam, 2008).

2.4.5 Evaluasi

Evalusi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang

merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil

akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada

tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan

dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil

evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa

keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan

masuk kembali kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang

(reassessment) (Asmadi, 2008).

51
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS KELOLAAN

3.1 Pengkajian Keperawatan

3.1.1 Identitas Klien

Nama : An. A

Tempat/tgl lahir : Padang Panjang, 03 Januari 2012

Umur : 7 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status perkawinan : Belum menikah

Agama : Islam

Suku : Koto

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Komplek cendana 2 garageh Bukittinggi

Tanggal masuk : 07 Oktober 2019

Sumber informasi : Pasien dan keluarga pasien

No MR : 395384

Tanggal pengkajian : 09 Oktober 2019

Keluarga terdekat yang dapat dihubungi (orang tua) :

Nama : Tn. I

Umur : 42 Tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta

52
3.1.2 Riwayat Kesehatan Saat Ini

1. Keluhan Utama :

Pasien datang ke rumah sakit melalui IGD RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi pada tanggal 08 Oktober 2019 pukul 09.00

WIB dengan keluhan utama nyeri dibelakang telinga sebelah

kanan dan ketajaman pendengarannya menurun disertai dengan

keluarnya kotoran telinga yang berbau. Nyeri dirasakan sejak 5

hari yang lalu, skala nyeri 6. Telinga keduanya sering sakit

terutama yang kanan.

Keluhan lain : pusing (+), badan panas (+), mual (-), muntah (-).

BAB dan BAK tidak ada masalah, tidak ada kejang, pola makan

tidak ada gangguan. Keluarga mengatakan hidung sering

tersumbat sejak 6 bulan terakhir dan flu terus menerus. Ingus

berwarna bening.

Hasil pemeriksaan fisik : didapat kemerahan dan penonjolan pada

bagian belakang telinga sebelah kanan, panas (+).

2. Keluhan yang dirasakan saat ini

Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 09 Oktober 2019

didapatkan data bahwa keluarga mengatakan ada luka bekas

operasi dibagian belakang telinga sebelah kanan, tampak luka

memiliki jumlah jahitan 1, panjang ±3cm dan kedalaman ±1 cm,

keluarga mengatakan luka masih basah, terdapat pus dan tidak ada

nekrotik, luka terpasang perban dan kondisi perban tampak masih

basah. Keluarga mengatakan luka jahitan belum dilakukan

53
perawatan luka. Pasien juga mengeluh nyeri pada bagian belakang

telinga sebelah kanan, nyeri pada sekeliling area luka bekas

operasi, nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk jarum, skala nyeri 6,

nyeri terasa hilang timbul. Pasien tampak gelisah dan cemas. Pada

saat dilakukan pengkajian keluarga mengatakan pasien demam

naik turun sejak 3 hari yang lalu.

3. Faktor Pencetus

Keluarga pasien mengatakan pasien sering mengorek kuping

dengan cotton bud bahkan pernah sampai berdarah. Hasil

pemeriksaan otoskopis diperoleh membrane timpani tampak

merah, menggelembung.

4. Lama keluhan

Keluarga pasien mengatakan keluhan utama dirasakan sejak 5 hari

yang lalu sampai sekarang pada saat pengkajian. Keluarga pasien

mengatakan pasien sering mengalami batuk dan pilek sejak 6

bulan terkhir.

5. Timbulnya keluhan

Klien mengatakan keluhan dirasakan secara mendadak.

6. Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya

Sendiri : Keluarga mengatakan pasien meminta tolong ke keluarga

untuk di bawa berobat.

Oleh orang lain : Keluarga mengatakan langsung membawa

pasien ke pusat pelayanan kesehatan terdekat atau rumah sakit.

7. Diagnosa medik : Otitis Media tanggal 08 Oktober 2019

54
3.1.3 Riwayat Kesehatan Dahulu

1. Penyakit yang pernah dialami :

a. Anak – anak

Riwayat masa lalu pernah keluar cairan dari kedua telinga dan

berbau, sudah berobat ke Puskesmas.

b. Kecelakaan

Keluarga mengatakan sebelumnya pasien tidak pernah

mengalami kecelakaan.

c. Pernah dirawat : Tidak

Keluarga mengatakan sebelumnya pasien tidak pernah dirawat

di Rumah Sakit.

d. Alergi

Keluarga mengatakan pasien tidak memiliki alergi terhadap

makanan maupun obat-obatan.

2. Kebiasaan

Keluarga mengatakan pasien tidak memiliki kebiasan seperti

merokok, minum alkohol maupun mengkonsumsi obat-obatan

terlarang.

3.1.4 Riwayat Kesehatan Keluarga

1. Riwayat penyakit keluarga

Pada saat dilakukan pengkajian didapatkan data bahwa keluarga

mengatakan tidak ada anggota keluarga yang memilki riwayat

penyakit yang sama dengan pasien dan penyakit lain seperti

hipertensi, DM, asma, jantung koroner dll.

55
2. Genogram (3 Generasi)

X
X
A
A

Keterangan :
: Laki-laki : Tinggal serumah
: Perempuan : Menikah
X : Meninggal : Klien

3.1.5 Data Aktivitas Sehari – hari

Tabel 3.1 Data aktivitas sehari-hari


No Aktivitas Dirumah Dirumah Sakit
1 POLA NUTRISI
DAN CAIRAN
 Frekuensi Keluarga mengatakan Keluarga mengatakan
makan biasanya pasien selama dirumah sakit
dirumah makan pasien makan 3x sehari.
kadang 2x – 3x sehari.
 Porsi Keluarga mengatakan Keluarga mengatakan
biasanya pasien selama dirumah sakit
dirumah selalu pasien makan hanya
menghabiskan sedikit, hanya
makanan nya. menghabiskan ½ porsi saja.
 Intake cairan Keluarga mengatakan Keluarga mengatakan
biasanya pasien selama dirawat dirumah
dirumah sering sakit, pasien minum 5-7
minum, pasien minum gelas / hari. Pasien tampak
±8 gelas/ hari. terpasang infus RL 20 tts/i.
 Diet Keluarga mengatakan Keluarga mengatakan
biasanya dirumah selama dirumah sakit
pasien dibatasi makan pasien tidak boleh
yang manis seperti mengkonsumsi makanan
permen dan coklat. selain yang didapatkan dari
rumah sakit. Pasien diet
makanan lunak.

56
 Makanan dan Keluarga mengatakan Keluarga mengatakan
minuman yang dirumah pasien pasien tidak begitu
disukai menyukai ayam menyukai makanan rumah
goreng. sakit karena tidak enak dan
hambar.
 Makanan dan Keluarga mengatakan Keluarga mengatakan
minuman yang pasien tidak menyukai pasien tidak menyukai
tidak disukai sayuran makanan dari rumah sakit.
 Makanan Keluarga mengatakan Keluarga mengatakan
pantangan pasien tidak diberikan pasien makan sesuai
pantangan makanan. makanan yang didapatkan
dari rumah sakit.
 Napsu makan Keluarga mengatakan Keluarga mengatakan
napsu makan pasien selama dirawat napsu
dirumah baik. makan menurun, karena
makanan dirumah sakit
tidak disukai oleh pasien.
 Perubahan BB Keluarga mengatakan Keluarga mengatakan
3 bulan BB pasien 23 kg. pasien tidak mengalami
terakhir penurunan BB.
 Keluhan yang Keluarga mengatakan Keluarga mengatakan
dirasakan saat dirumah pasien tidak pasien merasa pusing dan
ini mengalami mual dan susah melakukan aktifitas.
muntah. Tidak ada
keluhan
2 POLA
ELIMINASI
BAB
 Frekuensi  BAB 1x sehari,  BAB tidak lancar kadang
biasanya di pagi hari sekali dua hari, waktu
tidak menentu
 Warna  Berwarna kuning,  Warna agak kehitaman,
konsistensi lembut konsistensi keras
 Bau  Bau tak sedap  Bau tak sedap
 Output  tidak pernah  tidak pernah
menggunakan menggunakan pencahar
pencahar dirumah selama dirumah sakit
BAK
 Frekuensi  BAK 6x sehari  BAK 7-8x sehari
 Warna  warna kuning  warna kuning
 Bau  seperti bau pesing  bau seperti bau obat
 Output  jumlah ±35 cc  jumlahnya ±40–50 cc
3 POLA TIDUR
DAN
ISTIRAHAT
 Waktu tidur  Jam tidur 21.00  Jam tidur 23.00
(jam)

57
 Lama / hari  10-11 jam sehari  8 jam sehari
 Kebiasaan  kebiasaan sebelum  Kebiasaan sebelum tidur
pengantar tidur tidur biasanya pasien mengobrol dengan
menonton tv orangtua.
 Kesulitan  kesulitan tidur tidak  Keluarga mengatakan
dalam hal tidur ada pasien dirumah sakit
sering tebangun karena
nyeri namun pasien dapat
tertidur lagi.

 Pola aktivitas dan latihan

Keluarga mengatakan pasien merasa kesulitan dalam melakukan

aktivitas selama perawatan seperti berjalan dan mandi karena

badan pasien lemas, keluarga mengatakan pasien sulit untuk

memasang pakaian dan harus dibantu oleh keluarga dan perawat

karena terpasang infus, pasien sulit untuk BAB. Keluarga

mengatakan pasien tidak mengalami sesak nafas setelah

melakukan aktivitas.

3.1.6 Data Lingkungan

Keluarga mengatakan rumah pasien bersih, tidak ada bahaya yang ada

disekitar rumah pasien, dan juga rumah berada dilingkungan yang

banyak pepohonan dan asri sehingga jauh dari polusi udara dan jalan

raya serta tidak ada polusi pabrik di lingkungan rumah pasien.

3.1.7 Data Psikososial

1. Pola pikir dan persepsi

a. Alat bantu yang digunakan

Pasien tidak menggunakan alat bantu untuk melihat seperti

kacamata dan alat bantu mendengar.

58
b. Kesulitan yang dialami

[ √ ] kadang kadang pusing

[ ] menurunnya sesitifitas terhadap sakit

[ ] menurunnya sensitifitas terhadap panas / dingin

[ ] membaca / menulis

2. Persepsi diri

 Hal yang dipikirkan saat ini

Keluarga mengatakan pasien ingin cepat sembuh dan segera

pulang kerumah.

 Harapan setelah menjalani perawatan

Keluarga berharap agar cepat sembuh total dan dapat

menjalani aktifitas sehari-hari seperti biasa dan bermain

bersama teman-temannya.

 Perubahan yang dirasa setelah sakit

Keluarga mengatakan setelah sakit pasien mengalami

perubahan dalam beraktifitas dan bermain, pola makan dan

pola tidur.

 Kesan terhadap perawat

Keluarga mengatakan percaya kepada perawat tentang

kesembuhannya.

3. Suasana hati

Pada saat pengkajian keluarga mengatakan pasien dalam suasana

atau mood yang baik namun keluarga mengatakan pasien cemas

dengan kondisi kesehatannya saat ini.

59
4. Hubungan / komunikasi

a. Bicara

Bahasa utama : bahasa minang

Bahasa daerah : bahasa minang

Pasien tampak mampu berbicara dengan jelas dan dapat

dimengerti oleh orang lain serta dapat mengekpresikan apa

yang disampaikan.

b. Tempat tinggal

Pasien tinggal bersama orangtua nya.

c. Kehidupan keluarga

 Adat istiadat yang dianut : pasien menganut adat

minangkabau

 Pembuatan keputusan dalam keluarga : dilakukan dengan

cara bermusyawarah

 Pola komunikasi : komunikasi terbuka

 Keuangan : dipegang oleh ibu

d. Kesulitan dalam keluarga

Tidak ada kesulitan dalam keluarga pada saat pengkajian

dilakukan. keluarga mengatakan hubungan dengan orang tua

dan semua sanak saudara baik.

5. Kebiasaan seksual

Pasien masih termasuk dalam tahap perkembangan remaja awal

dan belum menikah.

60
6. Pertahanan koping

a. Pengambilan keputusan

Dalam hal pengambilan keputusan keluarga mengatakan

diambil oleh ayah.

b. Yang disukai tentang diri sendiri

Pasien menyukai semua hal yang ada pada dirinya.

c. Yang ingin dirubah dari kehidupan

Pasien mengatakan tidak mau lagi terlalu sering menggunakan

cottonbud untuk membersihkan telinga.

d. Yang dilakukan jika stress

Pasien selalu pergi bermain atau menonton tv.

e. Apa yang dilakukan perawat agar anda nyaman

Pasien mengatakan perawat selalu memberikan support dan

motivasi untuk cepat sembuh dan mengajarkan teknik

relaksasi napas dalam.

7. Sistem nilai kepercayaan

a. Siapa atau apa sumber kekuatan

Allah SWT.

b. Apakah Tuhan, Agama, Kepercayaan penting untuk anda

Pasien mengatakan Tuhan, Agama, Kepercayaan penting

untuknya.

c. Kegiatan agama atau kepercayaan yang dilakukan

Pasien melaksanakan solat dan mengaji.

61
d. Kegiatan agama atau kepercayaan yang ingin dilakukan

selama dirumah sakit, sebutkan :

Pasien mengatakan ingin bisa shalat dengan rajin.

3.1.8 Pengkajian Fisik

1. Tingkat kesadaran : composmentis (GCS : 15, E:4, M:6, V:5)

2. Keadaan umum : sedang

3. Tanda-tanda Vital :

Tekanan darah : - mmHg

Nadi : 98 x/i

Respiratory Rate : 22 x/i

Suhu : 38,1’C

4. BB : 23 Kg

TB : 122 cm

Pemeriksaan Head To Toe

1. Kepala

Tampak tidak ada benjolan / pembengkakan, bentuk bulat, rambut

tampak berwarna hitam, pertumbuhan rambut lebat, subur dan

merata, rambut tampak lepek dan berminyak, mengakibatkan

rambut pasien ada ketombe dan rontok. Pasien mengatakan sakit

kepala dan pusing.

2. Mata

Ukuran pupil berdiameter 3mm, bereaksi pada mata kanan dan

kiri, mata isokor, tidak ada nyeri tekan, kedua mata simetris

kanan dan kiri, sklera tidak ikterus, reaksi pupil terhadap cahaya

62
isokor, tidak ada benjolan atau massa, visus 6 ml, conjungtiva

anemis, tidak ada menggunakan alat bantu penglihatan, dan fungsi

penglihatan baik. Pasien tidak pernah melakukan operasi mata.

3. Hidung

Tampak tidak ada abses pada batang hidung, tidak ada pus, tidak

terasa nyeri pada saat ditekan. Tampak tidak ada reaksi alergi

pada hidung pasien, tidak ada sinusitis, tidak ada polip, tampak

tidak ada perdarahan pada hidung, hidung berfungsi dengan baik

dan pasien mengatakan tidak ada keluhan pada hidung. Pasien

tidak terpasang O2.

4. Telinga

Telinga tampak ada kotoran, tampak ada luka bekas operasi di

bagian belakang telinga sebelah kanan, tampak luka memiliki

jumlah jahitan 1, panjang ±3cm dan kedalaman ±1 cm, luka

tampak masih basah dan dibalut dengan perban, kondisi perban

tampak basah, terdapat pus dan tidak ada nekrotik, tampak telinga

tidak terpasang anting.

5. Mulut dan tenggorokan

Mulut pasien tidak berbau dan gigi tampak bersih, masih terdapat

gigi susu, mukosa bibir kering dan merah, tidak ada

pembengkakan pada gusi pasien. Pasien tampak sedikit kesulitan

dalam berbicara serta sulit menelan karena nyeri. Mukosa bibir

kering.

63
6. Leher

Pada leher pasien teraba arteri carotis, dan tidak ada pembesaran

yang terjadi pada kelenjar tyroid, tidak ada kelainan pada leher

pasien, tidak ada nyeri tekan dibagian leher. Tidak ada

pembesaran getah bening. Tidak ada keluhan pada leher.

7. Dada

 Inspeksi : bentuk dada flat, dada tampak simetris antara kiri

dan kanan, warna kulit sama, tampak frekuensi nafas 22 x/i,

pola nafas teratur.

 Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada bunyi krepitasi, vokal

premitus normal kiri dan kanan.

 Perkusi : terdapat bunyi sonor pada lapang paru pada saat

dilakukan perkusi.

 Auskultasi : pada pemeriksaan auskultasi suara paru vesikuler,

dan nafas teratur, tidak ada suara napas tambahan.

8. Kardiovaskuler

 Inspeksi : tampak denyutan arteri carotis, dan tidak ada

tampak denyutan vena jugularis, tidak ada edema, dan tidak

ada perubahan warna pada kulit atau sianosis, kuku maupun

pada bibir pasien.

 Palpasi : pada pemeriksaan palpasi terdapat ada denyutan pada

vena jugularis dan arteri carotis, dan pada tes capilllary refill

kembali dalam 3 detik, tidak ada nyeri tekan atau nyeri lepas.

64
 Perkusi : batas jantung kiri melakukan perkusi dari arah lateral

ke medial bunyi sonor dari paru-paru ke redup, terdapat batas

jantung normal sebelah kanan disekitar ruang interkostal III-

IV kanan, di linea parasternalis kanan, batas atas diruang

interkostal II kanan linea parastemalis kanan, pada saat

diketuk terdapat suara pekak pada daerah aorta. Tidak ada

pembesaran pada jantung.

 Auskultasi : terdengar suara jantung S1 suara getaran akibat

menutupnya katup mitral dan katup trikuspid, terdengar pada

sisi sternum kiri bawah (lup) dan SII suara penutup katup

aorta dan katup pulmonal terdengar pada inspirasi suaranya

terdengar (dup), tidak ada bunyi jantung tambahan, irama

jantung teratur, murmur tidak ada.

9. Abdomen

 Inspeksi : bentuk abdomen flat, tidak ada massa atau benjolan

pada perut, tidak tampak bayangan pembuluh darah pada

abdomen, tidak ada luka atau lesi.

 Auskultasi : Pada auskultasi terdapat bising usus 6 x/menit,

irama reguler.

 Perkusi : saat di perkusi terdengar timpani bunyi bernada lebih

tinggi daripada resonan lokasinya diatas viscera yang terisi

oleh udara, teraba batas hepar pada kuadran kanan atas

abdomen, tidak ada keluhan pada saat dilakukan perkusi.

65
 Palpasi : hepar tidak teraba, abdomen teraba lembek, tidak ada

pembengkakan atau massa, tidak ada nyeri tekan maupun

nyeri lepas.

10. Punggung

Punggung terlihat tulang belakang sejajar, lurus ke bawah dan

sedikit melengkung, tidak ada kelainan tulang seperti scoliosis

dan lordosis.

11. Genitourinaria

Tidak ada lesi atau kemerahan, terdapat bagian-bagian labia

mayora dan monira dengan lengkap. Pasien tidak merasakan nyeri

saat berkemih, pasien tampak tidak ada menggunakan kateter, dan

tidak ada kelainan yang ditemui. Pasien tampak berjalan ke kamar

mandi dengan bantuan keluarga.

12. Ekstremitas

 Atas

Pasien terpasang infuse dengar cairan Ringer Laknat 20 tetes /

menit pada ekstremitas atas sebelah kiri. Jari-jari tangan

lengkap, tidak ada sianosis, pergerakan sendi sesuai perintah

dari perawat.

 Bawah

Kedua kaki dapat bergerak bebas, jari-jari kaki lengkap,

tampak tidak ada edema pada kedua kaki. Tidak ada

gangguan.

66
Kekuatan otot :

5555 5555

5555 5555

13. Kulit

Kulit pasien berwarna sawo matang, turgor kulit elastis, kulit

teraba hangat, kulit tampak lembab dan tampak tidak sianosis

pada bibir dan juga kuku, kuku pendek dan bersih. Pasien tampak

berkeringat berlebihan.

3.1.9 Hasil Pemeriksaan Penunjang

Tanggal pemeriksaan : 08-10-2019

Jam pemeriksaan : 10.10 WIB

No Nama pemeriksaan Hasil Nilai normal


1. LED 22mm/jam 0-10/jam
2. WBC 15.77x10^3/Ul 4.00-12.00
3. RBC 5.65x10^6/Ul 3.50-5.20
4. HGB 12.7 g/Dl 12.0-16.0

3.1.10 Pengobatan / Therapy

Nama obat Frekuensi Dosis Cara


pemberian
Ibuprofen 3x1 hari 3x200 mg Oral
Cefadroxil 2x1 hari 2x250 mg Oral
Tarivid 2x1 hari 2xV Diteteskan
Iliadin 2x1 hari 2x2 (0,025) Diteteskan
Gentamicyn 2x1 hari 2x40 mg Injeksi

67
DATA FOKUS

Nama Klien : An. A

Tempat Praktek : RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Ruang THT

DATA SUBJEKTIF

1. Keluarga mengatakan ada luka bekas operasi dibagian belakang telinga

sebelah kanan.

2. Keluarga mengatakan luka masih basah dan terdapat nanah.

3. Keluarga mengatakan luka terpasang perban dan kondisi perban basah.

4. Keluarga mengatakan luka jahitan belum dilakukan perawatan luka.

5. P : Pasien mengeluh nyeri pada sekeliling area luka bekas operasi.

6. Q : Pasien mengatakan nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk jarum.

7. R : Pasien mengeluh nyeri pada bagian belakang telinga sebelah kanan.

8. S : Skala nyeri 6

9. T : Pasien mengatakan nyeri terasa hilang timbul.

10. Keluarga mengatakan pasien deman naik turun sejak 3 hari yang lalu.

11. Keluarga mengatakan pasien sering terbangun namun dapat tertidur lagi.

DATA OBJEKTIF

1. Tampak ada luka insisi pada bagian belakang telinga sebelah kanan dengan

jumlah jahitan 1, panjang ±3 cm dan kedalaman ±1cm.

2. Luka tampak masih basah, terdapat pus dan tidak ada nekrotik.

3. Luka tampak terpasang perban dan kondisi perban masih tampak basah.

4. Pasien tampak meringis.

68
5. Pasien tampak bersikap protektif terhadap nyeri.

6. Pasien tampak berkeringat berlebihan.

7. Tanda – tanda vital

TD : - mmHg

N : 98x /i

RR : 22x / i

T : 38,1ºC

8. Pasien tampak gelisah.

9. Pasien tampak cemas.

10. Kulit pasien teraba hangat.

11. Mukosa bibir kering.

12. Hasil pemeriksaan laboratorium

LED : 22mm/jam

WBC : 15.77 gr/dl

13. Tampak tangan kiri pasien terpasang infus RL 20 tetes/i.

69
ANALISA DATA

DATA Etiologi Masalah Keperawatan


Data Subjektif Agen pencedera Nyeri akut
1. P : Pasien mengeluh nyeri pada
sekeliling area luka bekas fisik
operasi.
2. Q : Pasien mengatakan nyeri
terasa seperti tertusuk-tusuk
jarum.
3. R : Pasien mengeluh nyeri pada
bagian belakang telinga sebelah
kanan.
4. S : Skala nyeri 6
5. T : Pasien mengatakan nyeri
terasa hilang timbul.
6. Keluarga mengatakan pasien
sering terbangun namun dapat
tertidur lagi.

Data Objektif
1. Pasien tampak meringis.
2. Pasien tampak bersikap
protektif terhadap nyeri.
3. Pasien tampak gelisah.
4. Pasien tampak berkeringat
berlebihan.
5. Tanda – tanda vital
N : 98x /i
RR : 22x / i
Data Subjektif Proses penyakit Hipertermia
1. Keluarga mengatakan pasien
deman naik turun sejak 3hari
yang lalu

Data Objektif
1. Kulit pasien teraba hangat
2. Pasien tampak berkeringat
berlebihan.
3. Mukosa bibir kering
4. Tanda – tanda vital
S : 38,1ºC
Data Subjektif Efek prosedur Infeksi
1. Keluarga mengatakan ada luka
bekas operasi dibagian belakang invasif
telinga sebelah kanan.
2. Keluarga mengatakan luka
masih basah dan terdapat nanah.

70
3. Keluarga mengatakan luka
terpasang perban dan kondisi
perban basah.
4. Keluarga mengatakan luka
jahitan belum dilakukan
perawatan luka.

Data Objektif
1. Tampak ada luka insisi pada
bagian belakang telinga sebelah
kanan dengan jumlah jahitan 1,
panjang ±3 cm dan kedalaman
±1 cm.
2. Luka tampak masih basah,
terdapat pus dan tidak ada
nekrotik.
3. Luka tampak terpasang perban
dan kondisi perban masih
tampak basah.
4. Hasil pemeriksaan laboratorium
WBC : 15.77 gr/dl

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan dengan

mengeluh nyeri, meringis, gelisah, sulit tidur, diaforesis.

2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan

suhu tubuh diatas nilai normal, kulit merah, kulit terasa hangat.

3. Infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.

71
INTERVENSI

No. Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan


keperawatan (SLKI) (SIKI)
1. Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi Manajemen nyeri
berhubungan selama 3x24 jam diharapkan Observasi :
dengan agen tingkat nyeri menurun dengan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
pencedera fisik kriteria hasil : nyeri.
dibuktikan - Keluhan nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri.
dengan - Meringis menurun Terapeutik :
mengeluh - Sikap protektif menurun 1. Berikan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi rasa nyeri.
nyeri, meringis, - Gelisah menurun 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
gelisah, sulit - Kesulitan tidur menurun 3. Fasilitasi istirahat dan tidur.
tidur, Edukasi :
diaforesis. 1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri.
2. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
3. Anjurkan menggunakan ibuprofen secara tepat.
4. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian ibuprofen.
2. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermia
berhubungan keperawatan selama 3x24 jam Observasi :
dengan proses diharapkan termoregulasi 1. Identifikasi penyebab hipertermia.
penyakit membaik dengan kriteria hasil: 2. Monitor suhu tubuh.
dibuktikan - Menggigil menurun Terapeutik :
dengan suhu - Suhu tubuh membaik 1. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
tubuh diatas - Suhu kulit membaik 2. Berikan cairan oral.
nilai normal, 3. Lakukan pendinginan eksternal (kompres).

72
kulit merah, Edukasi :
kulit terasa 1. Anjurkan tirah baring
hangat. Kolaborasi :
1. Pemberian obat ibuprofen.
3. Infeksi Setelah dilakukan tindakan Perawatan Area Insisi
dibuktikan keperawatan selama 3x24 jam Observasi :
dengan efek diharapkan tingkat infeksi 1. Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak atau tanda-tanda
prosedur menurun dengan kriteria hasil: dehisen atau eviserasi.
invasif. - Demam menurun 2. Monitor proses penyembuhan area insisi.
- Kemerahan menurun 3. Monitor tanda dan gejala infeksi.
- Nyeri menurun Terapeutik :
- Bengkak menurun 1. Ganti balutan luka sesuai jadwal.
Edukasi :
1. Jelaskan prosedur kepada pasien, dengan menggunakan alat bantu.
2. Ajarkan meminimalkan tekanan pada tempat insisi.
3. Ajarkan cara merawat area insisi.

73
IMPLEMENTASI
Nama pasien : An. A Ruangan : THT
No MR : 395384

SDKI Hari / Tanggal Implementasi Jam Evaluasi Paraf


Nyeri Rabu 09-10-19 Manajemen nyeri 14.00 Subjektif : Anita
Widiyastuti
Observasi : 1. Keluarga mengatakan An. A sering
akut 09.30 1. Mengidentifikasi nyeri diarea WIB mengeluh nyeri pada bagian bekas
luka operasi, nyeri terasa operasi.
seperti tertusuk jarum, nyeri P : nyeri di area luka operasi.
berada di belakang telinga Q : seperti tertusuk-tusuk jarum
sebelah kanan, nyeri terasa R : nyeri di belakang telinga sebelah
hilang timbul. kanan.
09.33 2. Mengukur skala nyeri dengan S : skala nyeri 5
instrumen Visual Analog Scale T : hilang timbul.
: nyeri sedang. 2. Keluarga mengatakan sudah melakukan
Terapeutik : teknik relaksasi napas dalam.
09.35 3. Mengkontrol lingkungan Objektif :
dengan membatasi tamu. 1. Pasien tampak meringis.
09.39 4. Memfasilitasi istirahat dengan 2. Pasien tampak melakukan teknik
posisi semi fowler. relaksasi napas dalam.
Edukasi : 3. Pasien tampak duduk dengan posisi
09.40 5. Mengajarkan teknik relaksasi semi fowler.
napas dalam untuk mengurangi 4. Pasien tampak tidak nyaman karena
rasa nyeri. nyeri.
Kolaborasi : 5. RR 22 x/ menit
09.42 6. Memberikan obat ibuprofen Analisis :
3x1 hari dengan dosis 200mg Tingkat nyeri An. A sedang

74
melalui oral. Planning :
Intervensi 1,2,3,4,5,6 dilanjutkan
1. Mengukur lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
dengan cara memeriksa luka pasien.
2. Mengukur skala nyeri dengan teknik
skala nyeri numerik.
3. Mengkontrol lingkungan dengan
membatasi tamu.
4. Memfasilitasi istirahat dengan posisi
semi fowler.
5. Mengajarkan teknik relaksasi napas
dalam untuk mengurangi rasa nyeri.
6. Memberikan obat ibuprofen 3x1 hari
dengan dosis 200mg melalui oral.
Hiperter Rabu 09-10-19 Manajemen hipertermia 14.00 Subjektif : Anita
Widiyastuti
Observasi : 1. Keluarga mengatakan badan An. A
mia 09.50 1. Mengukur suhu tubuh dibagian WIB masih panas tinggi.
aksila. 2. Keluarga mengatakan An. A tidak mau
Terapeutik : dilonggarkan bajunya.
09.52 2. Melonggarkan pakaian pasien. 3. Keluarga mengatakan An. A sudah
09.55 3. Memberikan cairan oral diberikan kompres hangat.
(banyak minum air putih). 4. Keluarga mengatakan An. A mau
09.57 4. Melakukan pendinginan minum air putih namun hanya sedikit.
eksternal dengan menggunakan 5. Keluarga mengatakan An. A nyaman
kompres air hangat. dengan tidur miring ke kanan dan kiri.
Edukasi : Objektif :
09.59 5. Menganjurkan tirah baring 1. Kulit pasien teraba hangat.

75
(miring kanan kiri). 2. Pasien tampak terbaring.
Kolaborasi : 3. Pasien tampak nyaman saat dikompres
10.02 6. Memberikan obat ibuprofen 4. Pasien tampak minum obat ibuprofen
3x1 hari dengan dosis 200mg 5. S : 38,0ºC
melalui oral. Analisis :
Termoregulasi An. A sedang
Planning :
Intervensi 1,2,3,4,5,6 dilanjutkan
1. Mengukur suhu tubuh dibagian aksila.
2. Melonggarkan pakaian pasien.
3. Memberikan cairan oral (banyak minum
air putih).
4. Melakukan pendinginan eksternal
dengan menggunakan kompres air
hangat.
5. Menganjurkan tirah baring (miring
kanan kiri).
6. Membemberian obat ibuprofen 3x1 hari
dengan dosis 200mg melalui oral.
Infeksi Rabu 09-10-19 Perawatan Area Insisi 14.00 Subjektif : Anita
Widiyastuti
Observasi : 1. Keluarga mengatakan luka An. A
WIB
10.05 1. Memonitor adanya gatal, terpasang perban dan kondisi perban
kemerahan, sakit, bengkak, basah.
panas. 2. Keluarga mengatakan An. A sering
Terapeutik : memegang dan menekan luka nya.
10.07 2. Mengganti balutan luka sesuai Objektif :
jadwal. 1. Tampak luka terpasang perban dan
Edukasi : kondisi perban masih tampak basah.

76
10.09 3. Menjelaskan tujuan dan 2. Kulit sekitar area luka post operasi
manfaat dilakukan perawatan tampak kemerahan.
luka kepada pasien. Analisis :
10.11 4. Mengajarkan untuk tidak Tingkat infeksi An. A sedang
memegang dan menekan area Planning :
luka. Intervensi 1,2,3,4 dilanjutkan
10.13 5. Mengajarkan cara merawat 1. Memonitor adanya gatal, kemerahan,
area luka. sakit, bengkak, panas.
2. Mengganti balutan luka sesuai jadwal.
3. Menjelaskan tujuan dan manfaat
dilakukan perawatan luka kepada
pasien.
4. Mengajarkan untuk tidak memegang
dan menekan area luka.

77
IMPLEMENTASI
Nama pasien : An. A Ruangan : THT
No MR : 395384

SDKI Hari / Tanggal Implementasi Jam Evaluasi Paraf


Nyeri Kamis 10-10-19 Manajemen nyeri 13.30 Subjektif : Anita
Widiyastuti
Observasi 1. Keluarga mengatakan An. A masih
akut 08.10 1. Mengidentifikasi nyeri diarea WIB sering mengeluh nyeri namun tidak
luka operasi, nyeri terasa
seperti kemarin.
seperti tertusuk jarum, nyeri
berada di belakang telinga P : nyeri di area luka operasi.
sebelah kanan, nyeri terasa Q : seperti ditusuk-tusuk jarum
hilang timbul. R : nyeri di belakang telinga sebelah
08.13 2. Mengukur skala nyeri dengan kanan.
instrumen Visual Analog Scale S : skala nyeri 3
: nyeri sedang. T : hilang timbul
Terapeutik : 2. Keluarga mengatakan An. A sudah
08.15 3. Mengkontrol lingkungan melakukan teknik relaksasi napas
dengan membatasi tamu. dalam.
08.19 4. Memfasilitasi istirahat dengan 3. Keluarga mengatakan hanya menerima
posisi semi fowler.
2 tamu.
Edukasi
08.20 5. Mengajarkan teknik relaksasi Objektif :
napas dalam untuk mengurangi 1. Pasien tampak meringis.
rasa nyeri. 2. Pasien tampak lebih tenang.
Kolaborasi : 3. Pasien tampak nyaman duduk dengan
08. 22 6. Memberikan obat ibuprofen posisi semi fowler.
3x1 hari dengan dosis 200mg

78
melalui oral. 4. RR 22x/menit
Analisis :
Tingkat nyeri An. A cukup menurun
Planning :
Intervensi 2,3,4,5,6 dilanjutkan
1. Mengukur skala nyeri dengan teknik
skala nyeri numerik.
2. Mengkontrol lingkungan dengan
membatasi tamu.
3. Memfasilitasi istirahat dengan posisi
semi fowler.
4. Mengajarkan teknik relaksasi napas
dalam untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
5. Memberikan obat ibuprofen 3x1 hari
dengan dosis 200mg melalui oral.
Hiperter Kamis 10-10-19 Manajemen hipertermia 13.30 Subjektif : Anita
Widiyastuti
Observasi : 1. Keluarga mengatakan badan An. A
mia 08.30 1. Mengukur suhu tubuh dibagian WIB panas nya sudah mulai turun.
aksila. 2. Keluarga mengatakan An. A mau
Terapeutik : dilonggarkan bajunya.
08.32 2. Melonggarkan pakaian pasien. 3. Keluarga mengatakan An. A sudah
08.35 3. Memberikan cairan oral diberikan kompres hangat.
(banyak minum air putih). 4. Keluarga mengatakan An. A sudah
08.37 4. Melakukan pendinginan mulai banyak minum air putih.
eksternal dengan menggunakan 5. Keluarga mengatakan An. A nyaman
kompres air hangat. dengan tidur miring ke kanan dan kiri.

79
Edukasi : Objektif :
08.39 5. Menganjurkan tirah baring 1. Pasien tampak terbaring.
(miring kanan kiri). 2. Badan pasien tidak terlalu hangat.
Kolaborasi : 3. Pasien tampak nyaman saat dikompres
08.41 6. Membemberian obat ibuprofen 4. Pasien tampak minum obat ibuprofen
3x1 hari dengan dosis 200mg tepat waktu.
melalui oral. 5. S : 37,7ºC
Analisis :
Termoregulasi An. A cukup membaik
Planning :
Intervensi 1,3,4,6 dilanjutkan
1. Mengukur suhu tubuh dibagian aksila.
2. Memberikan cairan oral (banyak minum
air putih).
3. Melakukan pendinginan eksternal
dengan menggunakan kompres air
hangat.
4. Membemberian obat ibuprofen 3x1 hari
dengan dosis 200mg melalui oral.
Infeksi Kamis 10-10-19 Perawatan Area Insisi 13.30 Subjektif : Anita
Widiyastuti
Observasi : 1. Keluarga mengatakan luka An. A
08.43 1. Memonitor adanya gatal, WIB terpasang perban dan kondisi perban
kemerahan, sakit, bengkak, mulai mengering.
panas. 2. Keluarga mengatakan An. A tidak lagi
Terapeutik : memegang dan menekan luka nya.
08.45 2. Mengganti balutan luka sesuai Objektif :
jadwal. 1. Tampak luka terpasang perban dan
Edukasi : kondisi perban mulai mengering.

80
08.47 3. Menjelaskan tujuan dan 2. Kulit sekitar area luka post operasi
manfaat dilakukan perawatan tampak kemerahan.
luka kepada pasien. Analisis :
08.49 4. Mengajarkan untuk tidak Tingkat infeksi An. A cukup membaik
memegang dan menekan area Planning :
luka. Intervensi 1,2,4 dilanjutkan
1. Memonitor adanya gatal, kemerahan,
sakit, bengkak, panas.
2. Mengganti balutan luka sesuai jadwal.
3. Mengajarkan untuk tidak memegang
dan menekan area luka.

81
IMPLEMENTASI
Nama pasien : An. A Ruangan : THT
No MR : 395384

SDKI Hari / Tanggal Implementasi Jam Evaluasi Paraf


Nyeri Jum’at 11-10-19 Manajemen nyeri 11.00 Subjektif : Anita
Widiyastuti
Observasi : 1. Keluarga mengatakan An. A sudah
akut 08.10 1. Mengukur skala nyeri dengan WIB jarang mengeluh nyeri.
instrumen Visual Analog Scale
P : nyeri di area luka operasi.
: nyeri ringan.
Terapeutik : Q : nyeri seperti tertusuk-tusuk jarum
08.13 2. Mengkontrol lingkungan R : nyeri di belakang telinga sebelah
dengan membatasi tamu. kanan.
08.15 3. Memfasilitasi istirahat dengan S : skala nyeri 1
posisi semi fowler. T : hilang timbul.
Edukasi : 2. Keluarga mengatakan An. A sudah
08.19 4. Mengajarkan teknik relaksasi dapat bermain.
napas dalam untuk mengurangi Objektif :
rasa nyeri. 1. Pasien tampak lebih rileks.
Kolaborasi : 2. Pasien tampak bermain dan tertawa.
08.21 5. Memberikan obat ibuprofen Analisis :
3x1 hari dengan dosis 200mg
Tingkat nyeri An. A menurun
melalui oral.
Planning :
Intervensi 1,4,5 dilanjutkan
1. Mengukur skala nyeri dengan teknik
skala nyeri numerik.
2. Mengajarkan teknik relaksasi napas

82
dalam untuk mengurangi rasa nyeri.
3. Memberikan obat ibuprofen 3x1 hari
dengan dosis 200mg melalui oral.
Hiperter Jum’at 11-10-19 Manajemen hipertermia 11.00 Subjektif : Anita
Widiyastuti
Observasi : 1. Keluarga mengatakan badan An. A
mia 08.30 1. Mengukur suhu tubuh dibagian WIB tidak panas lagi.
aksila. 2. Keluarga mengatakan kompres hangat
Terapeutik : mampu mengatasi demam An. A.
08.32 2. Memberikan cairan oral 3. Keluarga mengatakan An. A sudah
(banyak minum air putih). banyak minum air putih.
08.35 3. Melakukan pendinginan Objektif :
eksternal dengan menggunakan 1. Badan pasien tidak hangat.
kompres air hangat. 2. Pasien tampak minum obat ibuprofen
Kolaborasi : tepat waktu.
08.37 4. Membemberian obat ibuprofen 3. S : 36,9ºC
3x1 hari dengan dosis 200mg Analisis :
melalui oral. Termoregulasi An. A membaik
Planning :
Intervensi dihentikan
Infeksi Jum’at 11-10-19 Perawatan Area Insisi 11.00 Subjektif : Anita
Widiyastuti
Observasi : 1. Keluarga mengatakan luka An. A
08.43 1. Memonitor adanya gatal, WIB terpasang perban.
kemerahan, sakit, bengkak, 2. Keluarga mengatakan perban sudah
panas. diganti.
Terapeutik : 3. Keluarga mengatakan An. A tidak lagi
08.45 2. Mengganti balutan luka sesuai memegang dan menekan luka nya.
jadwal. Objektif :
Edukasi : 1. Tampak luka terpasang perban

83
08.47 3. Mengajarkan untuk tidak 2. Tampak luka mulai mengering.
memegang dan menekan area 3. Kemerahan disekitar kulit area luka
luka. tampak berkurang.
Analisis :
Tingkat infeksi An. A membaik
Planning :
Intervensi 1,2,3 dilanjutkan
1. Memonitor adanya gatal, kemerahan,
sakit, bengkak, panas.
2. Mengganti balutan luka sesuai jadwal.
3. Mengajarkan untuk tidak memegang
dan menekan area luka.

84
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Analisis Asuhan Keperawatan Dengan Konsep Terkait

Langkah pertama yang dilakukan penulis dalam melakukan pengkajian

terhadap pasien adalah mengkaji identitas pasien, keluhan yang dialami

pasien, gejala klinis faktor resiko, menetapkan diagnosa keperawatan,

membuat intervensi, melakukan implementasi sampai pada evaluasi pada

pasien Otitis Media.

4.1.1 Pengkajian

Dimulai dari data yang didapatkan saat pengkajian An. A masuk

dengan diagnosa medis Otitis Media dengan keluhan nyeri pada

bagian belakang telinga sebelah kanan, nyeri pada sekeliling area luka

bekas operasi, nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk jarum, skala nyeri 6,

nyeri terasa hilang timbul. Hal ini sesuai dengan teori bahwa gejala

otitis media yaitu nyeri telinga (otalgia), keluarnya cairan dari telinga,

demam, kehilangan pendengaran, tinitus, membran timpani tampak

merah dan menggelembung (Smeltzer & Bare, 2001).

Menurut Silbernagl & Lang (2000) hal ini terjadi karena

rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas

tinggi maupun rendah seperti perenggangan dan suhu serta oleh lesi

jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K + dan protein

intraseluler . Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan menyebabkan

depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan

85
akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan

peradangan / inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti

leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang akan merangasng

nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat

menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia).

Pada saat pengkajian keluarga mengatakan An. A badan nya

panas sejak 3 hari yang lalu, di dapatkan data bahwa suhu tubuh

pasien 38,10C, kulit pasien teraba hangat, mukosa bibir kering,

konjungtiva anemis. Hal ini sesuai dengan teori Otitis media akut

didiagnosis jika ditemukan cairan pada telinga tengah dan anak

mengalami demam, sakit telinga, iritabilitas, bersamaan dengan gejala

gangguan sistem pernafasan akut (Anonim, 2014).

Pada saat pengkajian keluarga mengatakan ada luka bekas operasi

dibagian belakang telinga sebelah kanan, tampak luka memiliki

jumlah jahitan 1, panjang ±3cm dan kedalaman ±1 cm, keluarga

mengatakan luka masih basah, terdapat pus dan tidak ada nekrotik,

luka terpasang perban dan kondisi perban tampak masih basah.

Keluarga mengatakan luka jahitan belum dilakukan perawatan luka.

Pada umumnya luka dapat sembuh dengan sendirinya. Luka akan

mengalami kegagalan penyembuhan jika ada faktor yang

menghambat sehingga luka yang awalnya biasa menjadi luar biasa

sulit untuk sembuh. Beberapa faktor penyebab infeksi diantaranya

adalah lamanya waktu terbuka setelah kejadian, peningkatan trauma

86
kulit sekitarnya, kontaminasi bakteri, adanya benda asing dan

pencucian yang tidak adekuat (Arisanty, 2013).

4.1.2 Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan data yang diperoleh penulis merumuskan masalah

keperawatan pada An. A yaitu : Nyeri akut berhubungan dengan agen

pencedera fisik, hipertermia berhubungan dengan proses penyakit,

resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif. Diagnosis

keperawatan yang tidak ada sesuai dengan teori pada An. A

diantaranya gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan

gangguan pendengaran, defisit pengetahuan berhubungan dengan

kurang terpapar informasi dibuktikan dengan menunjukkan perilaku

tidak sesuai anjuran.

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan

dengan nyeri terasa dibagian belakang telinga sebelah kanan,

nyeri pada sekeliling area luka bekas operasi, nyeri terasa seperti

tertusuk-tusuk jarum, skala nyeri 6, nyeri terasa hilang timbul,

RR: 22x / menit. Nyeri terjadi akibat dari proses peradangan.

Pasien tampak meringis dan gelisah. Nyeri adalah pengalaman

sensori dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan

berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial

yang dirasakan dalam kejadian dimana terjadi kerusakan jaringan

tubuh (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016). Nyeri akut

mengidentifikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi.

Nyeri ini umumnya kurang dari enam bulan dan biasanya kurang

87
dari satu bulan. Untuk tujuan definisi, nyeri akut dapat dijelaskan

sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam

bulan (Brunner & Suddarth, 2016).

2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan

dengan suhu pasien meningkat, badan teraba hangat, mukosa bibir

kering. Demam atau Hipertermi, pathogenesis demam berasal dari

toksin bakteri. Misalnya : Endotoxin yang bekerja pada monosit,

makrofag dan sel-sel kupffer untuk menghasilkan beberapa

macam sitoksin yang bekerja sebagai pirogen endogen kemudian

mengaktifkan daerah preptik hipotalamus, sitokin juga dihasilkan

dari sel-sel SSP (system syaraf pusat) apabila terjadi rangsangan

oleh infeksi dan sitoksin tersebut mungkin bekerja secara

langsung pada pusat - pusat pengatur suhu. Demam yang

ditimbulkan oleh sitoksin mungkin disebabkan oleh pelepasan

prostaglandin ke dalam hipotalamus yang menyebabkan demam

(Suzanne, 2001).

3. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif dibuktikan

dengan adanya luka bekas operasi dibagian belakang telinga

sebelah kanan dengan jumlah jahitan 1, panjang ±3 cm dan

kedalaman ±1 cm. , luka terpasang perban dan kondisi perban

basah. Umumnya, luka terinfeksi polymicrobial dan

terkontaminasi oleh patogen yang ditemukan di lingkungan

terdekat. Bakteri adalah penyebab utama infeksi luka di antara

mikroorganisme lain yang hadir pada kulit. Tahap awal

88
pembentukan luka kronis ditandai dengan munculnya organisme

Gram-positif seperti Staphylococcus Aureus dan Escherichia coli.

Pada tahap selanjutnya, Gram-negatif spesies Pseudomonas yang

umum dan cenderung menyerang lapisan yang lebih dalam pada

luka (Sarheed et al., 2016).

Diagnosa pada teori yang tidak ditemukan di kasus :

1. Gangguan komunikasi verbal

Gangguan komunikasi verbal adalah penurunan, perlambatan atau

ketiadaan kemampuan untuk menerima, memproses, mengirim

dan menggunakan sistem simbol (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,

2016). Menurut analisa penulis tidak munculnya diagnosa

gangguan komunikasi verbal pada An. A karena tidak ditemukan

data mayor maupun data minor yang didapatkan pada saat

pengkajian. Data mayor seperti tidak mampu berbicara atau

mendengar, menunjukkan respon tidak sesuai. Begitu pula dengan

data minor yaitu tidak ada kontak mata, sulit memahami

komunikasi, sulit mempertahankan komunikasi, sulit

menggunakan ekspresi wajah atau tubuh.

2. Defisit pengetahuan

Pengetahuan adalah suatu struktur pengetahuan yang terkait

dengan struktur fakta prosedur yang jika dilakukan akan

memenuhi suatu kinerja. Pengetahuan adalah ingatan-ingatan

yang telah dipelajari dan suatu proses mengingat kembali

sekumpulan hal yang telah dipelajari (Ngatimin, 2012). Defisit

89
pengetahuan adalah ketiadaan atau kurangnya informasi kognitif

yang berkaitan dengan topik tertentu (Tim Pokja SDKI DPP

PPNI, 2016). Menurut analisa penulis tidak munculnya diagnosa

defisit pengetahuan pada An. A karena tidak ditemukan data

mayor maupun data minor yang didapatkan pada saat pengkajian.

Data mayor seperti menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran,

menunjukkan persepsi yang keliru terhadap masalah, menanyakan

masalah yang dihadapi. Begitu pula dengan data minor yaitu

menjalani pemeriksaan yang tidak tepat, menunjukkan perilaku

berlebihan semisal apatis, agitasi, bermusuhan dan histeria tidak

ditemukan.

4.1.3 Intervensi

Intervensi Keperawatan adalah semua tindakan asuhan yang

perawat lakukan atas nama klien. Tindakan ini termasuk intervensi

yang di prakarsai oleh perawat, dokter, atau intervensi kolaboratif

(Mc. Closky & Bulechek, 2010).

Dalam menyusun rencana tindakan keperawatan kepada klien

berdasarkan prioritas masalah yang ditemukan tidak semua rencana

tindakan pada teori dapat ditegakkan pada tinjauan kasus. Karena

tindakan pada tinjauan kasus disesuaikan dengan keluhan dan

keadaan klien pada saat pengkajian.

1. Diagnosa pertama

Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah nyeri akut

berhubungan dengan agen pencedera fisik yang tujuannya setelah

90
mendapatkan tindakan intervensi keperawatan 3x24 jam

diharapkan masalah pada tingkat nyeri dapat teratasi dengan

kriteria hasil yaitu keluhan nyeri menurun, meringis menurun,

sikap protektif menurun, gelisah menurun, kesulitan tidur

menurun. Tindakannya adalah dengan identifikasi lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri,

identifikasi skala nyeri bertujuan untuk membantu dalam

mengidentifikasi derajat ketidaknyamanan, berikan teknik

relaksasi napas dalam bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri,

kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri dengan cara

membatasi tamu, fasilitasi istirahat dan tidur bertujuan untuk

menghilangkan stress pada otot-otot punggung, anjurkan

menggunakan ibuprofen secara tepat.

2. Diagnosa Kedua

Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah hipertermi

berhubungan dengan proses penyakit. Tujuannya setelah

mendapat tindakan intervensi keperawatan 3 x 24 jam diharapkan

termoregulasi membaik dengan kriteria hasil menggigil menurun,

suhu tubuh membaik dan suhu kulit membaik. Tindakannya

adalah dengan identifikasi penyebab hipertermi bertujuan untuk

mengetahui penyebab demam, monitor suhu tubuh bertujuan

untuk mengetahui kenaikan suhu, longgarkan atau lepaskan

pakaian bertujuan untuk membantu dan mempermudah

penguapan panas, berikan cairan oral bertujuan untuk mencegah

91
terjadinya dehidrasi, melakukan pendinginan eksternal dengan

cara kompres hangat bertujuan untuk mempercepat dalam

penurunan produksi panas dan anjurkan tirah baring bertujuan

untuk meminimalisir produksi panas yang diproduksi oleh tubuh

dan pemberian obat ibuprofen bertujuan untuk membantu dalam

penurunan panas secara farmakologi.

3. Diagnosa Ketiga

Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah resiko

infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif. Tujuannya

setelah mendapat tindakan intervensi keperawatan 3 x 24 jam

tingkat infeksi menurun dengan kriteria hasil demam menurun,

kemerahan menurun, nyeri menurun, bengkak menurun.

Tindakannya adalah dengan periksa lokasi insisi adanya

kemerahan, bengkak atau tanda-tanda dehisen atau eviserasi,

monitor proses penyembuhan area insisi, monitor tanda dan gejala

infeksi, ganti balutan luka sesuai jadwal, jelaskan prosedur kepada

pasien dengan menggunakan alat bantu, ajarkan meminimalkan

tekanan pada tempat insisi, ajarkan cara merawat area insisi.

4.1.4 Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang

dilakukan oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu

pasien dalam proses penyembuhan dan perawatan serta masalah

kesehatan yang dihadapi pasien yang sebelumnya disusun dalam

rencana keperawatan (Nursallam, 2011).

92
Setelah rencana tindakan ditetapkan, maka dilanjutkan dengan

melakukan rencana tersebut dalam bentuk nyata. Terlebih dahulu

penulis menulis strategi agar tindakan keperawatan dapat

terlaksanakan, yang dimulai dengan melakukan pendekatan pada

pasien dan keluarga agar nantinya pasien mau melaksanakan apa yang

perawat anjurkan, sehingga seluruh rencana tindakan keperawatan

yang dilaksanakan sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien.

1. Diagnosa pertama

Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.

Dilakukan implementasi manajemen nyeri dengan

mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,

intensitas nyeri, mengidentifikasi skala nyeri bertujuan untuk

membantu dalam mengidentifikasi derajat ketidaknyamanan,

memberikan teknik relaksasi napas dalam bertujuan untuk

mengurangi rasa nyeri, mengontrol lingkungan yang memperberat

rasa nyeri dengan cara membatasi tamu, memfasilitasi istirahat

dan tidur bertujuan untuk menghilangkan stress pada otot-otot

punggung, menganjurkan menggunakan ibuprofen 200 mg

melalui oral secara tepat.

2. Diagnosa kedua

Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit. Dilakukan

implementasi manajemen hipertermia dengan mengidentifikasi

penyebab hipertermi bertujuan untuk mengetahui penyebab

demam, memonitor suhu tubuh bertujuan untuk mengetahui

93
kenaikan suhu, melonggarkan atau melepaskan pakaian bertujuan

untuk membantu dan mempermudah penguapan panas,

memberikan cairan oral bertujuan untuk mencegah terjadinya

dehidrasi, melakukan pendinginan eksternal dengan cara kompres

hangat bertujuan untuk mempercepat dalam penurunan produksi

panas dan menganjurkan tirah baring bertujuan untuk

meminimalisir produksi panas yang diproduksi oleh tubuh dan

memberian obat ibuprofen bertujuan untuk membantu dalam

penurunan panas secara farmakologi.

3. Diagnosa Ketiga

Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.

Dilakukan implementasi perawatan area insisi dengan memeriksa

lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak atau tanda-tanda dehisen

atau eviserasi, memonitor proses penyembuhan area insisi,

memonitor tanda dan gejala infeksi, ganti balutan luka sesuai

jadwal, menjelaskan prosedur kepada pasien dengan

menggunakan alat bantu, mengajarkan meminimalkan tekanan

pada tempat insisi, mengajarkan cara merawat area insisi.

4.1.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari asuhan keperawatan,

dimana pada tahapan ini dilihat apakah tindakan yang dilakukan

sudah efektif atau belum untuk mengatasi masalah keperawatan

pasien atau dengan kata lain, tujuan tercapai atau tidak (Purwanto,

2016).

94
Setelah penulis melakukan tindakan keperawatan maka langkah

terakhir dari proses keperawatan adalah mengevaluasi sejauh mana

tindakan-tindakan yang telah diberikan pada pasien berhasil atau

tidak. Hal ini didukung dengan kerjasama antara tenaga kesehatan dan

keluarga, keberhasilan tersebut dapat dilihat dari evaluasi yang telah

dicapai antara lain hasil evaluasi pada ketiga masalah keperawatan

tersebut yang meliputi nyeri akut berhubungan dengan agen

pencedera fisik, hipertermi berhubungan dengan proses penyakit,

resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.

Pada kasus ini menunjukkan bahwa adanya kemajuan atau

keberhasilan dalam mengatasi masalah pasien. Pada kasus An. A

yang dirawat di ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan sebagai metode

pemecahan masalah, hasil evaluasi akhir yaitu 09 Oktober – 11

Oktober 2019 dari diagnosa keperawatan yang ditemukan dalam

kasus sebagian diagnosa telah teratasi dan ada beberapa diagnosa

yang masih teratasi sebagian.

Pada diagnosa pertama setelah dilakukan asuhan keperawatan

selama 3x24 jam masalah nyeri akut , masalah teratasi sebagian.

Dibuktikan dengan teknik relaksasi napas dalam dengan hasil An. A

tampak lebih rileks, pasien tampak bermain dan tertawa.

Pada diagnosa kedua setelah dilakukan asuhan keperawatan

selama 3x24 jam masalah hipertermia, masalah teratasi. Dibuktikan

95
dengan hasil badan An. A tidak lagi hangat, suhu tubuh membaik,

suhu 36,9ºC.

Pada diagnosa ketiga setelah dilakukan asuhan keperawatan

selama 3x24 jam masalah resiko infeksi, masalah teratasi sebagian.

Dibuktikan dengan perawatan luka, dengan hasil tidak terdapat tanda-

tanda infeksi, perban sudah diganti, kemerahan disekitar kulit area

luka tampak berkurang, luka tampak mengering dan tidak ada

nekrotik, An. A tidak memegang dan menekan lukanya.

4.2 Analisis Intervensi Dengan Konsep Penelitian Terkait

Setelah mendapatkan ketiga masalah keperawatan pada tinjauan kasus,

salah satu intervensi yang dilakukan penulis yaitu sehubungan dengan

masalah keperawatan yaitu resiko infeksi, penulis melakukan salah satu

intervensi yang dapat dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan

luka insisi yang salah satunya yaitu perawatan luka dengan menggunakan

metode modern dressing.

Salah satu asuhan perawatan pada penderita post operasi Otitis Media

adalah teknik perawatan luka. Perawatan luka merupakan asuhan

keperawatan yang dilakukan perawat di bangsal, terutama pada ruang

perawatan medical surgincal. Perawat dituntut untuk mempunyai

pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan

luka yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan

intervensi yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan

selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis (Agustina, 2009).

96
Perawatan luka merupakan salah satu teknik dalam pengendalian infeksi

pada luka karena infeksi dapat menghambat proses penyembuhan luka.

Infeksi luka post operasi merupakan salah satu masalah utama dalam praktek

pembedahan (Potter & Perry, 2006). Teknik perawatan luka terkini di dunia

keperawatan yaitu dengan menggunakan prinsip lembab dan tertutup,

suasana lembab mendukung terjadinya proses penyembuhan luka (Blackley,

2004). Teknik perawatan luka lembab dan tertutup atau yang dikenal moist

wound healing adalah metode untuk mempertahankan kelembaban luka

dengan menggunakan bahan balutan penahan kelembaban sehingga

menyembuhkan luka, pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara alami.

Munculnya konsep moist wound healing, menjadi dasar munculnya

pembalutan luka modern (Mutiara, 2009).

Sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa balutan yang dapat

menjaga kelembaban pada permukaan luka akan memfasilitasi proses

angiogenesis, pada angiogenesis terjadi pembentukan kapiler darah baru

dimana suplai oksigen dan nutrisi mengalami peningkatan. Proses lain adalah

peningkatan autolitik debridemen, pada kondisi moist neutrophil meningkat

sehingga jaringan nekrotik dapat diangkat dan tidak menimbulkan respon

nyeri. Proses ini pula menstimulasi makrofag untuk menghasilkan hormon

pertumbuhan yang dapat merangsang pertumbuhan sel baru (Keast & Orsted,

2008).

Pada saat dilakukan asuhan keperawatan didapatkan hasil bahwa sebelum

dilakukan perawatan menggunakan moist wound healing luka tampak

terpasang perban, kondisi perban masih basah, kulit sekitar area luka post

97
operasi tampak kemerahan dan pasien merasakan nyeri saat luka dibersihkan.

Namun setelah dilakukan perawatan luka menggunakan teknik moist wound

healing selama 3 hari tampak kemerahan disekitar kulit area luka berkurang,

tampak luka mulai mengering, pada saat dilakukan perawatan luka, pasien

meringis menahan sakit dan pasien mengatakan nyeri berkurang. Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat perubahan setelah dilakukan perawatan luka

menggunakan teknik moist wound healing pada luka An. A.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria Imaculata

Ose, dkk (2018) tentang Efektivitas Perawatan Luka Teknik Balutan Wet-Dry

Dan Moist Wound Healing Pada Penyembuhan Ulkus Diabetik yang

mendapatkan hasil bahwa perawatan luka pada ulkus diabetik dengan teknik

moist healing lebih cepat proses penyembuhannya sehingga pasien

mendapatkan perawatan lebih efektif dan efisien baik dari segi waktu dan

biaya.

Penelitian yang dilakukan oleh Angriani, Sri dkk tahun 2019 dengan

judul efektifitas perawatan luka modern dressing dengan metode moist

wound healing pada ulkus diabetik di klinik perawatan luka etn centre

makassar. Adapun hasil yang didapatkan pada penelitian ini adalah

perawatan luka modern dengan metode moist wound healing efektif terhadap

proses penyembuhan luka ulkus diabetik.

Santoso dan Purnomo (2017) menuliskan bahwa perawatan luka

menggunakan metode modern dressing merupakan metode yang efektif

dalam penyembuhan luka pasien rawat jalan di daerah Mojokerto (p=0,001).

Lebih lanjut lagi peneliti menuliskan bahwa perawatan luka menggunakan

98
modern dressing membuat kondisi area luka menjadi lembab sehingga

membantu mempercepat proses granulasi sel kulit.

Fife et al (2012) mendapatkan hasil penelitian bahwa modern wound

dressing atau balutan luka modern yang digunakan untuk perawatan luka

pada saat ini dapat merangsang pertumbuhan dan sitokin sehingga

penyembuhan luka terjadi begitu cepat. Dalam penelitian yang telah

dilakukan sekitar 50,8 % setengah dari luka yang telah sembuh menggunakan

perawatan luka lembap tanpa memerlukan terapi lanjutan.

Balutan Modern dressing bersifat lembut dan dapat mengembang apabila

luka mempunyai jumlah eksudat yang banyak dan tetap memberikan kesan

lembab dan mencegah kontaminasi dari bakteri yang ada diluar luka. Untuk

balutan basah kering apabila luka memiliki eksudat dalam jumlah banyak

maka harus segera diganti balutannya. Terutama apabila eksudat tersebut

sampai merembes keluar dari balutan yang menyebabkan balutan tampak

kotor. Selain itu teknik moist healing tidak memberikan nyeri maupun

perdarahan saat balutan diangkat dari luka. Sedangkan untuk penggunaan

perawatan luka balutan basah kering akan sangat sulit saat ingin membuka

balutan tersebut dikarenakan balutan tersebut menjadi kering dan akan

menimbulkan nyeri dan juga perdarahan apabila balutan tersebut diangkat

(Abun, 2013).

99
4.3 Alternatif Pemecahan Yang Dapat Dilakukan

Dari implementasi yang dilakukan selama 3 hari penulis tidak ada

mendapatkan kendala apapun. Hal ini dikarenakan tidak adanya biaya yang

besar ataupun peralatan khusus yang digunakan untuk melakukan perawatan

luka dengan metode moist wound healing. Intervensi ini juga sangat mudah

dilakukan oleh perawat dan keluarga.

Selain dengan teknik perawatan luka metode moist wound healing, ada

juga teknik lain yaitu perawatan luka modern dressing salep tribee banyak

dilakukan untuk perawatan luka. Modern dressing salep tribee merupakan

salah satu perawatan luka modern yang dapat meringankan komplikasi dan

mempercepat lama hari rawatan (Tusyanawati, Sutrisna & Tohri, 2019).

100
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada An. A

selama 3 hari, yaitu pada tanggal 09 Oktober sampai 11 Oktober 2019

dengan kasus post operasi Otitis Media, di ruang THT RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi, maka dapat diketahui hal-hal seperti berikut :

1. Penulis sudah mampu memahami konsep teori Otitis Media : definisi,

etiologi, klasifikasi, patofisiologi, tanda dan gejala, komplikasi,

penatalaksanaan.

2. Setelah dilakukan pegkajian didapatkan bahwa pasien An. A mengalami

Otitis Media dengan post operasi pada bagian belakang telinga sebelah

kanan terdapat luka, tampak luka memiliki jumlah jahitan 1, panjang

±3cm dan kedalaman ±1 cm, keluarga mengatakan luka masih basah,

terdapat pus dan tidak ada nekrotik, luka terpasang perban dan kondisi

perban tampak masih basah.

3. Masalah keperawatan yang muncul pada kasus yaitu :

- Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan

dengan mengeluh nyeri, meringis, gelisah, sulit tidur, diaforesis.

- Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan

suhu tubuh diatas nilai normal, kulit merah, kulit terasa hangat.

- Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.

101
4. Untuk mengatasi masalah keperawatan yang muncul tersebut maka

disusunlah rencana asuhan keperawatan sesuai dengan teoritis dan kasus

yang ditemukan pada An. A dengan post operasi Otitis Media di ruangan

THT RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.

5. Implementasi keperawatan yang telah dilakukan sesuai dengan intervensi

keperawatan yang telah disusun dan disesuaikan dengan kondisi An. A

dengan post operasi Otitis Media di ruangan THT RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi.

6. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 hari pada An. A dengan

post operasi Otitis Media di ruangan THT RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi selama 3 hari didapatkan bahwa sudah memperlihatkan

adanya perbaikan.

7. Penulis telah mampu menerapkan perawatan luka menggunakan metode

moist wound healing dalam meningkatkan penyembuhan luka post

operasi Otitis Media pada An. A di ruangan THT RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi

8. Hasil implemetasi perawatan luka menggunakan metode moist wound

healing An. A selama 3 hari didapatkan hasil bahwa balutan luka sudah

diganti, luka terpasang perban, luka tampak mulai mengering, tidak

terdapat pus dan jaringan nekrotik, warna kemerahan disekitar luka post

operasi berkurang dan pasien mengatakan nyeri berkurang.

102
5.2 Saran

5.2.1 Bagi RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi

Diharapkan pihak RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dapat

mengembangkan standar operasional prosedur dalam penerapan

perawatan luka modern dressing dengan metode moist wound healing

khususnya pada pasien Otitis Media. Dan juga dapat memberikan

pelatihan bersertifikat ataupun house training di rumah sakit. Bagi

perawat diharapkan dapat menjadi acuan dan informasi dalam

penambahan skill pada perawatan luka dengan diadakannya worshop

pelatihan perawatan luka dengan metode moist wound healing di

RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.

5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat digunakan oleh institusi pendidikan sebagai

bahan ajar pratikum di laboratorium untuk penerapan perawatan luka

modern dressing dengan metode moist wound healing serta masukkan

dan perbandingan untuk karya ilmiah.

5.2.3 Bagi Penulis

Diharapkan penulis mampu menambah pengetahuan dan

memperkaya pengalaman dalam memberikan dan menyusun asuhan

keperawatan khususnya pada pasien Otitis Media.

103
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofar. (2012). Pedoman lengkap keterampilan perawatan klinik. Yogyakarta:


Mitramedia

Agustina, H. R. (2009). Perawatan Luka Modern, diperoleh tanggal 15 Agustus 2013,


dari http://www.unpad.ac.id

Andarmoyo . 2017. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta: AR-RUZZ


MEDIA

Angriani S, Hariani, Dwianti U. 2019. Efektifitas Perawatan Luka Modern Dressing


Dengan Metode Moist Wound Healing Pada Ulkus Diabetik Di Klinik Perawatan
Luka Etn Centre Makassar. Jurnal Media Keperawatan : Politeknik Kesehatan
Makassar

Anonim . 2014. Clinical Practice Guideline : The Diagnosis and Management of Acute
Otitis Media. The American Academy of Pediatric.

Arisanty, Irma P. (2013). Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. Jakarta : EGC.
Jakarta

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Edisi 1. EGC. Jakarta.

Blackley, P. (2004). Practical Stoma Wound and Continence Management. Australia:


Research Publications Pty Ltd 27A Boronia, Vermont, Victoria, Australia.

Brunner, & Suddarth. (2016). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Buchman, C.A., 2003. Infection of The Ear. In: Lee, K.J., ed. Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 8 th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511.

Budiyono, Setiadi. 2011. Anatomi Tubuh Manusia. Bekasi : Laskar Aksara

Corbeel, L. What Is New with Otitis Media. Eur J Pediatr, 2007 ;166: 511-519

David EL, David LB. Anesthesia for Otorhinolaryngologic (Ear, Nose, Throat) Surgery.
Anesthesiology. 2nd. 2012.

Djaafar ZA, 2007. Kelainan Telinga Tengah, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung, Tenggorok Kepala Leher. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.

Dhingra PL, Dhingra S (2007). Diseases of ear, nose and throat, 4th ed, India: Elsevier,
pp: 4-5, 70.

Dhivya S, Padma VV, Santhini E. Wound dressings - a review. BioMedicine.


2015;5(4):24–8.

Fata U. H, Rahmawati A, Wulandari N, Fanani Z & Prayogi B .2016. Pusat Perawatan


Luka Patricia Care Blitar Unit Pelayanan Perawatan Luka, Konseling, Produk Salep
Luka dan Pelatihan Luka. Jurnal Dedikasi : 9-15.
Fatmadona, R., & Oktarina, E. (2016). Aplikasi modern wound care pada perawatan luka
infeksi di rs pemerintah kota padang. Ners Jurnal Keperawatan, 12 (2), 159-165.
Diakses dari http://ners.fkep.unand.ac.id/index.php/ners/article/download/147/120

Fife., & Carter. (2012). Wound care outcomes and associated cost among patients treated
in US outpatient wound centers: Data from the US wound registry. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25875947

Ghanie, A. (2010). Penatalaksanaan otitis media pada anak. palembang : Fakultas


kedokteran universitas sriwijaya

Gito & Rochmawati, E. (2018). Efektifitas kandungan modern wound dressing terhadap
perkembangan bakteri staphylococcus aureus. Jurnal Keperawatan, 9(2), 88-99.
https://doi.org/10.22219/jk.v9i2.5160

Handayani, L. T. (2016). Studi Meta Analisis Perawatan Luka Kaki Diabetes Dengan
Modern Dressing. The Indonesian Journal Of Health Science, 6(2).

Haryono, R. (2019). Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogjakarta: Pustaka Baru Press.

Healy GB, Rosbe KW. Otitis media and middle ear effusions. In: Snow JB, Ballenger
JJ,eds. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th edition. New
York: BC Decker; 2003. p.249-59.

Jervis-Bardy, J, Sanchez, L. and Carney, A. S. Otitis Media in Indigenous Australian


Children : Review of Epidemiology and Risk Factor. The Journal of laryngology &
Otology, 2013 ;128 : S16-S27.

Keast dan Orsted. (2008). The Basic Principles of Wound Healing, (online)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Telinga Sehat Investasi Masa Depan. Biro
Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Available
from:http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20180302/4725111/telinga-
sehat-investasi-masa-depan/

Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.

Koksal, V. & Reisli, I. (2002). Acute otitis media in children. J Ank. Med Sch56, 19–24

Lieberthal, A. S., Carroll, A. E., Chonmaitree, T., Ganiats, T. G., Hoberman, A., Jackson,
M. A., Joffe, M. D., Miller, D. T., Rosenfeld, R. M., Sevilla, X. D., Schwartz, R. H.,
Thomas, P. A., & Tunkel, D. E. (2013). The diagnosis and management of acute
otitis media. Pediatrics, 131(3). https://doi.org/10.1542/peds.2012-3488

Luklukaningsih, Zuyina. 2014. Anatomi Fisiologi dan Fisioterapi. Yogyakarta: Nuha


Medika.

McCloskey, J. C. & Bulechek, G. M. 2010. Nursing Intervention Clasification (NIC).


Mosby.
Mutiara. (2009). Peranan serat alam untuk bahan tekstil medis pembalut luka (wound
dressing), Jurnal area tekstil. (Vol. 24, no2), diakses dari
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/242097993.pdf

Naralia,T.W & Ariani, Y.(2018). Pengetahuan Perawat Tentang Perawatan Luka Dengan
Metode Moist Wound Healing di RSUD H.Adam Malik Medan.

Ngatimin. 2012. Pengertian Pengetahuan Menurut Para Ahli. dari GloryCorner :


http://glorycorner.blogspot.com/2012/10/pengertian-pengetahuan-menurut-para-
ahli.html.

Nurarif A.H & Kusuma H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc ed 1. Jogjakarta : Penerbit Mediaction

Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan.


Jakarta : Salemba Medika

Ose, M. I., Utami, P. A., & Damayanti, A. (2018). Efektivitas Perawatan Luka Teknik
Balutan Wet-Dry dan Moist Wound Healing Pada Penyembuhan Ulkus Diabetik.
Journal of Borneo Holistic Health, 1(1), 108-120.

Potter, Perry. 2006. Fundamental Keperawatan. Volume 2 Edisi. 4 Jakarta: EGC

Purwanto .2016. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Samuel S, Kardinan B, Soeng S. 2014. Karakteristik Pasien Rawat Inap Otitis Media
Akut di Rumah Sakit Immanuel Bandung Periode Januari-Desember 2013.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha.

Santoso, W., Purnomo, J. (2017). Effectiveness wound care using modern dressing
method to diabetic wound healing process of patient with diabetes mellitus in home
wound care. International Journal of Nursing and Midwifery, 1(2), 172- 181.
Diakses dari http://ijnms.net/index.php/ijnms/article/view/68/33

Sarheed, O., Ahmed, A., Shouqair, D., & Boateng, J. (2016). Antimicrobial Dressings for
Improving Wound Healing. In V. A. Alexandrescu (Ed.), Wound Healing - New
insights into Ancient Challenges. InTech.

Shaikh, N. And Hoberman. A. Update: Acute Otitis Media. Pediatric Annal. 2010; 39:1

Silbernagl & Lang, 2000, Pain in Color Atlas of Pathophysiology , Thieme New York.
320-321

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., 2001, “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
&Suddarth. Vol. 2. E/8”, EGC, Jakarta.

Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J (2012). Gangguan pendengaran. Dalam: Soepardi


EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi ke 7. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Press. pp: 10 – 22

Supartini. (2009). Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta. EGC
Suzanne, C. Smeltzer. (2001). Keperawatan medikal bedah, edisi 8. Jakarta : EGC

Tarigan, R. (2007). Perawatan luka. ( http://Moistwoundhealingtrend.html diakses


tanggal 18 September 2020).

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI

Titisari, H. 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media
Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.

Toll, E. C., and Nunez, D. A. Diagnosis and Treatment of Acute Otitis Media : Review.
The Journal of laryngology & Otology, 126: 976-983.

Tortora, GJ, Derrickson, B. 2011. Principles of Anatomy & Physiology 13th Edition.
United States of America: John Wiley & Sons, Inc.

Wahidin Abun. 2013. Perawatan luka modern dressing. ( http://Mediacostore.com )

Wahyudi, Andri Setiya & Wahid, Abd. (2016). Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Mitra
Wacana Media.

World Health Organization. 2012. Situation Review and Update on Deafnes, Hearing
Loss dan Intervention Program. Geneva: Regional Office for Geneva.

Yasmara, D., Nursiswati, & Arafat, R. (2017), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-
Bedah: Diagnosis NANDA-I 2015-2017 Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: EGC.

Yusra, S & Aprilani, I. 2015. Perawatan Luka Kaki Diabetik Pada Pasien Diabetes
Mellitus Di Cindara Wound Care Center Jepara. Jurnal Profesi Keperawatan : 117.
Lampiran 1

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)


Sumber : POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III, 2019

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR


PERAWATAN LUKA
PENGERTIAN Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk merawat luka agar dapat mencegah
terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran
mukosa atau jaringan lain.
TUJUAN Tujuan diberikan perawatan luka yaitu :
1. Mencegah terjadinya infeksi
2. Mengurangi nyeri dan mempercepat proses
penyembuhan luka
3. Mengobservasi drainase
4. Menghambat atau membunuh mikroorganisme
5. Mecegah perdarahan dan meningkatkan
kenyamanan fisik
PERSIAPAN ALAT 1. Seperangkat set perawatan luka steril
2. Larutan pembersih yang di resepkan
3. Gunting verban/plester
4. Sarung tangan sekali pakai
5. Plester, pengikat atau balutan sesuai kebutuhan
6. Bengkok
7. Perlak pengalas
8. Kantong untuk sampah
9. Troli
PROSEDUR
Tahap pra interaksi
1. Membaca rekam medis pasien dan catatan untuk rencana perawatan luka
2. Mengeksplorasi perasaan, analisis kekuatan dan keterbatasan
profesional pada diri sendiri
3. Menyiapkan alat :
a. Seperangkat set perawatan luka steril
b. Larutan pembersih yang diresepkan
c. Gunting verban/plester
d. Sarung tangan sekali pakai
e. Plester, pengikat atau balutan sesuai kebutuhan
f. Bengkok
g. Perlak penghalas
h. Kantong untuk sampah
i. Troli
Tahap Orientasi
1. Memberikan salam, memasukkan dengan menanyakan nama, alamat,
dan umur pasien
2. Memanggil nama pasien sesuai dengan persetujuan pasien
3. Menjelaskan tujuan, prosedur dan lamanya tindakan pada
pasien/keluarga pasien
4. Memberikan kesempatan pada pasien untuk bertanya sebelum tindakan
dimulai
5. Meminta persetujuan
6. Menjaga privacy pasien dengan menutup tirai
7. Mencuci tangan sebelum melakukan tindakan
Tahap Kerja
1. Menyusun semua peralatan yang diperlukan di troli dekat pasien (tidak
membuka peralatan steril dulu)
2. Meletekkan bengkok didekat pasien
3. Memasangkan perlak penghalas
4. Mengatur posisi klien dan mengintruksikan klien untuk tidak
menyentuh area luka atau peralatan steril
5. Menggunakan sarung tangan sekali pakai dan melepaskan plester,
ikatan atau balutan dengan menggunakan pinset
6. Jika balutan lengket pada luka, melepaskan balutan dengan
memberikan larutan steril/NaCl
7. Observasi karakter dan jumlah drainnase pada balutan
8. Buang balutan kotor pada bengkok, lepaskan sarung tangan dan bulang
pada tempatnya
9. Buka bak instrumen balutan steril. Balutan, gunting dan pinset, harus
tetap pada bak intrumen steril.
10. Kenakan sarung tangan steril
11. Inspeksi luka. Perhatikan kondisinya, letak drain, integritas balutan
atau penutup kulit, dan karakter drainase.
12. Membersihkan luka dengan larutan antiseptic yang diresepkan
13. Menggunakan satu kassa untuk satu kali usapan
14. Membersihkan luka dari area kurang terkontiminasi ke area
terkontaminasi
15. Gunakan kassa baru untuk mengeringkan luka atau insisi
16. Berikan salep antiseptic bila dipesankan
Tahap Terminasi
1. Mengevaluasi perasaan klien setelah dilakukan tindakan
2. Menyimpulkan hasil tindakan
3. Melakukan kontrak untuk tindakan selanjutnya
4. Mencuci dan membereskan alat setelah digunakan
5. Mencuci tangan setelah melakukan tindakan
Dokumentasi
1. Mencatat tanggal dan jam perawatan luka
2. Mencatat nama, alamat dan umur klien
3. Mencatat hasil tindakan sesuai dengan SOAP
4. Paraf dan nama petugas/perawat yang melakukan tindakan Standar
Operasional Prosedur
Catatan :
Perawat menggunakan teknik bersih dalam melakukan perawatan luka.
Lampiran 2

Anda mungkin juga menyukai