Bukusaku Malaria

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 24

HIPERTIROIDISME DAN TIROTOKSIKOSIS

Tirotoksikosis adalah sindroma klinis yang terjadi bila jaringan terpajan hormon tiroid beredar
dalam kadar tinggi. Pada kebanyakan kasus, tiroksikosis disebabkan hiperaktivitas kelenjar tiroid
atau hipertiroidisme. Kadang-kadang, tirotoksikosis bisa disebabkan sebab-sebab lain seperti
menelan hormon tiroid berlebihan atau sekresi hormon tiroid berlebihan dari tempat-tempat
ektopik.

 PENYAKIT GRAVES

Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respons jaringan-jaringan tubuh terhadap


pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau akibat
asupan hormon tiroid secara berlebihan.

Epidemiologi

Penyakit Graves biasanya terjadi pada usia sekitar 30 sampai 40 tahun dan lebih sering
ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Terdapat predisposisi familial terhadap penyakit ini
dan sering berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya.

Patofisiologi

Penyakit graves timbul sebagai manifestasi gangguan autoimun. Dalam serum pasien,
ditemukan antibodi immunoglobulin. Antibodi ini bereaksi dengan reseptor TSH atau membran
plasma tiroid. Sebagai akibat interaksi ini antibodi merangsang fungsi tiroid tanpa bergantung pada
TSH hipofisis yang dapat mengakibatkan hipertiroidisme. Imunoglobulin yang merangsang tiroid
ini (TSI) disebabkan suatu kelainan imunitas yang bersifat herediter, yang memungkinkan
kelompok limfosit tertentu dapat bertahan, berkembangbiak dan menyekresi immunoglobulin
stimulator sebagai respons terhadap beberapa faktor perangsang.

Manifestasi Klinis

Pada penyakit graves terdapat 2 kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal.
Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hyperplasia kelenjar tiroid, dan hipertiroidisme akibat sekresi
hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak
tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan turun, nafsu makan
meningkat, palpitasi, takikardia, kelemahan, dan atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa
oftalmopati dan infiltasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.

Pemeriksaan laboratorium

Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah ini :

Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun
tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan
ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftalmos unilateral
tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas.
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme
umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar
hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin
(T4) dan tri-iodo-tironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone
(TSH). Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika
kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid,
menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon
tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar
hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi.
Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap
hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH
sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T4 bebas
(free T4/FT4). Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk
menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi
tiroksin.

Tatalaksana

Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam patogenesis
terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk
mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap
hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium
Radioaktif.
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis,
usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta
penyakit lain yang menyertainya.
A. Obat-obatan
a. Obat Antitiroid: Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang
isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi
intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan
cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,
mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan
mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan
perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T 4
ke T3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera
hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan
biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis
tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu
pengobatan yang optimal dengan obat anti tiroid (OAT). Beberapa kepustakaan menyebutkan
bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan metimazol) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang
biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya
diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis
pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam.
Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2 kali sehari.
PTU mempunyai kelebihan dibandingkan metimazol karena dapat menghambat konversi
T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut
dari penyakit Graves.
Metimazol mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali
sehari. Terapi dimulai dengan dosis metimazol 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari.
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada
beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan
metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama.
Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia.
Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari
dan metimazol/tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis
eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan
efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal,
tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum
obat, aktivitas fisis dan psikis.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu
agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil),
gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian
terapi dengan OAT dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif..
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah
infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan OAT antara
lain ikterus kholestatik, angioneurotic edema, hepatocellular toxicity dan atralgia Akut. Untuk
mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan
laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada
bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan
obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih
modalitas pengobatan yang lain seperti I131 atau operasi.
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan
obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah
penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan
paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga
dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan
hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi
pada hampir 80% penderita yang diobati dengan OAT bila ditemukan keadaan-keadaan
sebagai berikut :
1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian OAT dosis rendah.
3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila terdapat T3 toksikosis),
karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan
tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid
tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan
darah, kelenjar tiroid, dan mata.
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat untuk
mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi,
tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping
efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar
T3 melalui penghambatannya terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya
berkisar 80 mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja
lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50
mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang
dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih
jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan
penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal
jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada
keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi
penghambat monoamin oksidase.
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potasium
perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid,
tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat
tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi
atau setelah terapi iodium radioaktif.
B. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara kombinasi
OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka
kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada kelompok penderita yang mendapat terapi
kombinasi metimazol dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang
hanya mendapatkan terapi metimazol.
Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :
Pertama kali penderita diberi metimazol 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan, selanjutnya 10
mg perhari ditambah tiroksin 100 μg perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya diberi
tiroksin saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol juga diberi metimazol dengan dosis dan cara
yang sama namun tanpa tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah pada
kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal ini
mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan dengan OAT akan merangsang pelepasan
molekul antigen tiroid yang bersifat antigenik, yang pada gilirannya akan merangsang
pembentukan antibodi terhadap reseptor TSH. Dengan kata lain, dengan mengistirahatkan
kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin eksogen (yang menekan produksi TSH), maka reaksi
imun intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi antigen.
Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar penyesuaian
dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak perlu dilakukan terlalu sering, terutama
bila digunakan OAT dosis tinggi.
C. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang besar.
Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT
(biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan lugol
atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi
kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai
seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat. Tiroidektomi total biasanya tidak
dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila
terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan
ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih
memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi
pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
D. Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang lalu.
Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan
penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi lokal pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang
berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respon inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan
dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang
terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar
tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau
lebih lama yaitu setelah 1 tahun. Iodine-131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran
cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan
pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman, tidak mengganggu fertilitas, serta tidak
bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang
dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui. Pada pasien
wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang
bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut
pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat,
bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk
pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh
dengan OAT. Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh.
Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis
I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8-12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama
menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan/atau OAT.
Respon terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131
dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan
sehari-hari.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme.
Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan
makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme.
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan tiroid, didapatkan angka
kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun
berikutnya.
Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah :
- Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid dan
peningkatan kadar antibodi terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan pemberian
kortikosteroid sebelum pemberian I131
- Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang terjadi)
- Gastritis radiasi (jarang terjadi)
- Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage)
pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum yodium
radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi
jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6 bulan
pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6 sampai 12 bulan
sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme.
E. Pengobatan oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam menangani
oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan
larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati keratitis. Hal lain
yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat
terang dan debu, penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk
mengurangi edema periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat
yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin,
disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan
rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata.
Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien yang eutiroid;
pada keadaan ini pemeriksaan antibodi anti-TPO atau antibodi antireseptor TSH dalam serum
dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau MRI digunakan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita lainnya.
F. Pengobatan krisis tiroid
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi
hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian
kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatik (koreksi
cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.
G. Penyakit Graves Dengan Kehamilan
Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan
hipertiroidismenya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada hipertiroidisme
yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status eutiroidisme yang belum tercapai,
perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT4 pada kisaran
angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada
wanita hamil dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan
tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan
memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan masuk ke
janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester ketiga. Pada
periode tersebut, kadang-kadang - dengan mekanisme yang belum diketahui- terdapat penurunan
kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan
keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan
yang masih memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman.

Komplikasi

1) Krisis tiroid (Thyroid storm)


Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat
mengancam kehidupan penderita.
Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain :
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain
- Terapi yodium radioaktif
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat.
- Stres yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut, alergi obat
yang berat atau infark miokard.

Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat dan
respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :
- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C disertai dengan
flushing dan hiperhidrosis.
- Takhikardi hebat , atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah, diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon tiroid
didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3
didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya
pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi
triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi
peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih
sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi.
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh kehamilan
dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran
prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan
preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis
pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta peningkatan angka kematian
perinatal.

 ADENOMA TOKSIK (PENYAKIT PLUMMER)


Adenoma fungional yang mensekresi T3 dan T4 berlebihan akan menyebabkan hipertiroidisme.
Lesi-lesi ini mulai sebagai "nodul panas" pada scan tiroid, pelan-pelan bertambah dalam ukuran
dan bertahap mensupresi lobus lain dari kelenjar tiroid. Pasien yang khas adalah individu tua
(biasanya lebih dari 40 tahun) yang mencatat pertumbuhan akhir-akhir ini dari nodul tiroid yang
telah lama ada. Terlihat gejala-gejala penurunan berat badan, kelemahan napas sesak, palpitasi,
takikardi dan intoleransi terhadap panas. Tingkat 2-4 oftalmopati infiltratif tidak pernah dijumpai.
Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya nodul berbatas jelas pada satu sisi dengan sangat sedikit
jaringan tiroid pada sisi lain. Pemeriksaan laboratorium biasanya memperlihatkan TSH tersupresi
dan kadar T3 serum yang sangat meningkat, dengan hanya peningkatan kadar tiroksin yang
"border-line". Scan menunjukkan bahwa nodul ini "panas". Adenoma-adenoma toksik hampir
selalu adalah adenoma folikuler dan hampir tidak pernah ganas. Mereka mudah ditangani dengan
pemberian obat-obat antitiroid seperti propel tiourasil 100 mg tiap 6 jam atau metimazol 10 mg
tiap 6 jam diikuti aleh lobektomi unilateral atau dengan iodin radioaktif. Natrium iodida 131I
dalam dosis 20-30 mCi biasanya, dibutuhkan untuk menghancurkan neoplasma jinak. Iodin
radioaktif lebih dipilih untuk nodul toksik yang lebih kecil tetapi yang lebih besar terbaik ditangani
dengan operasi.
 GOITER TOKSIK MULTINODULAR
Kelainan ini terjadi pada pasien-pasien tua dengan goiter multinodular yang lama. Oftalmopati
sangatlah jarang. Klinis pasien menunjukkan takikardi, kegagalan jantung atau aritmia dan
kadang-kadang penurunan berat badan, nervous, tremor dan berkeringat. Pemeriksaan fisik
memperlihatkan goiter multinodular yang dapat kecil atau cukup besar dan bahkan membesar
sampai substernal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan TSH tersupresi dan kadar T3
serum yang sangat meningkat, dengan peningkatan kadar T4 serum yang tidak terlalu menyolok.
Scan radioiodin menunjukkan nodul fungsional multipel pada kelenjar atau kadang-kadang
penyebaran iodin radioaktif yang tidak teratur dan bercak-bercak. Hipertiroidisme pada pasien-
pasien depgan goiter multinodular sering dapat ditimbulkan dengan pemberian iodin (efek
"jodbasedow" atau hipertiroidisme yang diinduksi oleh iodida). Beberapa adenoma tiroid tidak
mengalami efek Wolff-Chaikoff dan tidak dapat beradaptasi terhadap muatan iodida. Jadi, efek
efek ini didorong oleh kelebihan produksi hormon karena kadar iodida sirkulasi yang tinggi. Ini
adalah mekanisme untuk berkembangnya hipertiroidisme setelah pemberian obat antiaritmia
amiodaron . Penanganan goiter nodular toksika cukup sukar. Penanganan keadaan hipertiroid
dengan hipertiroid dengan obat-obat antitiroid diikuti dengan tiroidektomi subtotal tampaknya
akan menjadi terapi pilihan, namun sering pasien-pasien ini sudah tua dan memiliki penyakit lain
sehingga pasien-pasien ini seringkali merupakan pasien dengan risiko operasi yang buruk. Nodul
toksik dapat dihancurkan dengan 131I, tapi goiter multinodular akan tetap ada, dan nodulnodul
lain dapat menjadi toksik, sehingga dibutuhkan dosis ulangan 131I. Amiodaron adalah obat
antiaritmia yang mengandung 37,3% iodin. Dalam tubuh, obat ini disimpan dalam lemak,
miokardium, hepar dan paru-paru dan memiliki waktu paruh kira-kira 50 hari. Kira-kira 2% pasien
diobati dengan amiodaron mengalami tirotoksis. Hal ini menimbulkan masalah yang paling sukar.
Pasien yang mendapat amiodaron mempunyai penyakif jantung serius yang mendasari, dan pada
banyak kasus obat ini tidak dapat dihenitkan. Jika tirotoksikosis ringan, dapat dikendalikan dengan
metimazol 40-60 mg sehari, sementara terapi amiodaron diteruskan. Jika penyakit berat, KClO4
dengan dosis 250 mg tiap 6 jam dapat ditambahkan untuk menjenuhkan iodida trap dan mencegah
ambilan iodida lebih lanjut. KClO4 jangka panjang telah dihubungkan dengan anemia aplastik dan
butuh pemamtauan. Satu-satunya jalan untuk
menghilangkan cadangan hormon tiroid yang besar adalah pembedahan untuk mengangkat goiter.
Hal ini dapat hanya dapat dilakukan jika pasien mampu mengatasi sires tiroidektomi.

 TIROIDITIS SUBAKUT ATAU KRONIS


tiroiditis, baik subakut atau kronis dapat berupa perlepasan akut T4 dan T3 menimbulkan gejala-
gejala tirotoksikosis dari ringan sampai berat. Penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari bentuk
tirotoksikosis lain di mana ambilan radioiodin jelas tersupresi, dan biasanya gejala-gejala
menghilang spontan dalam waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

 TIROTOKSIKOSIS FACTITIA
Ini adalah gangguan psikoneurotik di mana tiroksin atau hormon tiroid dimakan dalam jumlah
berlebihan, biasanya untuk tujuan mengendalikan berat badan. Individu biasanya adalah seseorang
yang berhubungan dengan obat-obatan sehingga mudah mendapatkan obat-obatan tiroid.
Gambaran tirotoksikosis termasuk penurunan berat badan, nervous, palpitasi, takikardi dan tremor
bisa didapatkan, tetapi tidak ada tanda-tanda atau goiter. Karakteristik adalah TSH
disupresi, kadar T4 dan T3 serum yang meningkat dan tidak adanya arnbilan iodine radioaktif.
Penanganan membutuhkan diskusi yang berhati-hati tentang bahaya terapi tiroid jangka panjang,
terutama kerusakan kardiovaskuler dan hilangnya otot, dan osteoporosis. Psikoterapi formal
mungkin diperlukan.

 BENTUK-BENTUK JARANG DARI TIROTOKSIKOSIS


A. Struma Ovari : Pada sindroma ini, teratoma ovarium mengandung jaringan tiroid yang
menjadi hiperaktif. Terjadi gambaran tirotoksikosis ringan, seperti penurunan berat badan,
takikardi, tetapi tidak didapatkan goiter atau tandatanda mata. FT4 dan T3 serum sedikit naik, TSH
serum tersupresi dan ambilan radioiodin di leher akan tidak ada sama sekali. Scan tubuh
menunjukkan ambilan radioiodin pada pelvis. Penyakit ini dapat disembuhkan dengan
pengangkatan teratoma.
B. Karsinoma Tiroid : Karsinoma tiroid, terutama karsinoma folikular dapat mengkonsentrasikan
iodin radioaktif, tetapi hanya jarang, jarang karsinoma ini mempertahankan kemampuannya untuk
mengkonversi iodida ini menjadi hormon aktif. Terdapat beberapa kasus kanker tiroid metastatik
yang disertai hipertiroidisme. Gambaran klinis terdiri dari kelemahan, penurunan berat badan, dan
palpitasi, nodul tiroid tapi tidak ada oftalmopati. Scan tubuh dengan 131I menunjukkan daerah-
daerah dengan ambilan yang biasanya jauh dari tiroid, contoh : tulang atau paru. Terapi dengan
dosis besar iodin radioaktif dapat menghancurkan deposit metastasik.
C. Mola Hidatidosa : Mola hidatiform menghasilkan gonadotropin korionik, yang mempunyai
aktivitas seperti TSH yang intrinsi k. Ini bisa menginduksi hiperplasia tiroid, turn-over iodin yang
meningkat, TSH tersupresi dan peningkatan ringan kadar T4 dan T3 serum. Ini jarang dikaitkan
dengan tirotoksikosis ringan kadar T4 dan T3 serum. Ini jarang dikaitkan dengan tirotoksikosis
yang jelas dan dapat disembuhkan total dengan pengangkatan mola.
D. "Tirotoksikosis Hamburger" : Suatu tirotoksikosis epidemik di USA barat tengah yang
ditelusuri pada pembuatan hamburger dari "otot leher", otot dari pengantung leher pada ternak
yang mengandung jaringan tiroid sapi. Departemen Pertanian Amerika Serikat sekarang telah
melarang penggunaan bahan ini.

HIPOTIROIDISME

Hipotiroidisme merupakan istilah yang menunjukkan adanya defisiensi hormone tiroid.


Hipotiroidisme merupakan akibat dari produksi hormon tiroid yang inadekuat untuk memenuhi
kebutuhan tubuh yang diperlukan untuk semua jaringan. Produksi hormon tiroid bisa normal,
tetapi bisa timbul hipotiroidisme karena adanya gangguan pada aktivitas reseptor hormon tiroid.

Etiologi

Hipotiroidisme dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus.
Apabila disebabkan oleh malfungsi kelenjar tiroid, maka kadar HT yang rendah akan disertai
oleh peningkatan kadar TSH dan TRH karena tidak adanya umpan balik negatif oleh HT pada
hipofisis anterior dan hipotalamus. Apabila hipotiroidisme terjadi akibat malfungsi hipofisis,
maka kadar HT yang rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH. TRH dari hipotalamus
tinggi karena tidak adanya umpan balik negatif baik dari TSH maupun HT. Hipotiroidisme
yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akan menyebabkan rendahnya kadar HT, TSH,
dan TRH. Berikut ini etiologi hipotiroid secara umum.
Berbagai gangguan pada hipotiroid ini sangat terkait dengan kelainan atau etiologi
yang mendasarinya yang membentuk jenis atau tipe hipotiroid tertentu. Untuk itu perlu
dibahas masing-masing bagaimana tipe-tipe dari hipotiroid ini, baik itu dari gejala dan
ciri khas, perjalanan penyakit diagnosis serta penatalaksanaannya. Berikut ini beberapa
jenis hipotiroid berdasarkan etiologinya yang umumnya paling banyak ditemukan dalam
praktik kesehatan sehari-hari.
CONGENITAL HYPOTHYROID
Prevalensi Kejadian
‐ Hipotiroid kongenital umumnya terjadi pada sekitar 1:4000 kelahiran di Amerika Serikat
‐ Kondisi paling sering bersifat hipotiroidisme permanen, sedangkan pada beberapa kasus
bersifat transien, khususnya pada anak dengan ibu yang memiliki TSH-R antibody blocker
atau mendapatkan pengobatan antitiroid.
‐ Angka kejadian terkait etiologi dasarnya, pada disgenesis kelenjar tiroid sekitar 80-85%,
gangguan sintesis hormon tiroid sekitar 10-15% kasus, dan kerusakan terkait TSH-R antibody
menyebabkan kejadian sekitar 5%.
Etiologi
Penyebab tersering dari kondisi hipotiroid kongenital ini adalah disgenesis dari kelenjar tiroid
dan gangguan sintesisnya, akan tetapi terdapat juga beberapa kelainan lain yang ikut berpartisipasi
terhadap terbentuknya kelainan kongenital ini, walaupun dalam jumlah sedikit. Berikut ini
beberapa kelainan yang mendasari hipotiroid kongenital:
‐ Disgenesis kelenjar tiroid
‐ Defek sintesis dari tiroksin
‐ Thyrotropin receptor-blocking antibody (TSH-R antibody blocer)
‐ Defek dari transport iodine
‐ Defek pada thyroid peroxisade yang menggangu proses coupling
‐ Defek dari sintesis tiroglobulin
‐ Defek dari proses deiodinasi
‐ Defek dalam transport hormon tiroid
‐ Penggunaan radioiodine
‐ Defisiensi tirotropin
‐ Thyrotropin hormone unresponsiveness
‐ Abnormal dari reseptor TRH

Manifestasi Klinis

Sebagian besar infan, umumnya menunjukkan penampakan yang normal saat lahir, dan
<10% yang dapat didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis, dimana beberapa kondisi yang
dapat ditemukan ketika lahir ini antara lain perpanjangan jaundice, terdapat masalah dalam makan
(tidak mau makan), hipotonia, pembesaran lidah, keterlambatan maturasi tulang, dan umbilical
hernia. Selain itu kerusakan neurologis juga sering didapatkan khususnya pada anak yang tidak
mendapatkan terapi yang adekuat. Kelainan tipikal seperti yang sering ditemukan pada orang
dewasa juga beberapa dapat ditemukan sebagai berikut:

Tabel di atas menunjukkan beberapa kondisi yang juga dapat ditemukan pada masa infan
yang mendukung diagnosis kearah hipotiroid kongenital. Sedangkan gambar dibawahnya,
memperlihatkan contoh anak dengan hipotiroid kongenital, dimana pada gambar A terlihat
serorang anak yang menunjukkan beberapa gejala seperti puffy face (wajah bengkak), dull
expression (tidak ada ekspresi), dan hirsute forehead. Kemudian gambar B, menunjukkan
perkembangan setelah pengobatan selama 4 bulan.
Seandainya kondisi hipotiroid ini tidak terdeteksi atau tidak mendapatkan pengobatan, maka
progresifitas gangguannya dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan, yang
umumnya nanti akan menyebabkan kelambatan pertumbuhan dan retradasi mental.

Diagnosis

Hampir sama dengan hipotiroid secara umum, terapi diagnosis definitifnya dapat dilakukan
dengan pemeriksaan kadar T4 atau F T4, dan juga pemeriksaan kadar TSH, untuk membedakan
apakah kelainannya bersifat primer ataupun sekunder.
Untuk diagnosis penunjang, dapat dilakukkan dengan pemeriksaan radiologi untuk melihat
perkembangan tulang. Dimana biasanya terjadi retardasi pertumbuhan pada anak dengan
hipotiroid kongenital yang tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat. Beberapa temuan antara
lain pada distal femoral epiphysis, yang normalnya ditemukan ketika lahir, tidak ditemukan.
Seiring perkembangan juga terjadi epiphyses dysgenesis. Berikut ini gambaran radiologis yang
dimaksud;

Gambar A menunjukkan tidak ditemukannya distal femoral epiphyses pada anak usia 3 bulan.
Sedangkan gambar B menunjukkan anak pada usia 9 tahun yang sudah mendapatkan pengobatan
tiroid yang adekuat menunjukkan adanya epiphyseal disgenesis pada kepala humerusnya.

Tatalaksana

Setelah diagnosis dapat ditegakkan, selanjutnya dilakukan pemberian T4 pada dosis awal
sekitar 10-15 mcg/kg per hari, dan dosis terus disesuaikan dengan monitoring ketat pada
kadar TSHnya. Kebutuhan T4 umumnya sangat tinggi selama tahun pertama kehidupan, dan
T4 sirkulasi ini biasanya dibutuhkan untuk menormalisasi kadar TSH. Tatalaksana awal dengan
T4 ini dapat menghasilkan IQ dalam batasan normal, akan tetapi abnormaliatas dalam
neurodeplovemental dapat terjadi pada kondisi hipotiroid yang berat.

HIPOTIROID AUTOIMUNE

Klasifikasi
Pada tahap awal umumnya hipotiroid autoimun ini terkait dengan goiter (hasimoto/goitrous
thyroiditis), yang pada tahapan selanjutnya akan menjadi minimal residual thyroid tissue
(atropihic thyroiditis).
Angka Kejadian
‐ 4:1000 wanita, 1:1000 laki-laki
‐ Rata-rata usia untuk penegakan diagnosis biasanya pada usia 60 tahun, dengan
angka kejadian semakin meningkat seiring meningkatnya usia
‐ Kondisi subclinical hypothyroid (6-8% pada wanita, dan 3% pada laki-laki)
Patogenesis
Penyebab Tiroiditis otoimun tidak diketahui, tetapi tampaknya terdapat kecenderungan
genetik untuk mengidap penyakit ini. Penyebab yang paling sering ditemukan adalah tiroiditis
Hashimoto. Pada tiroiditis Hashimoto, kelenjar tiroid seringkali membesar dan hipotiroidisme
terjadi beberapa bulan kemudian akibat rusaknya daerah kelenjar yang masih berfungsi.

Manifestasi Klinis

Bagaimana ringkasan gejala dan tanda yang ditemukan pada pasien hipotiroid dapat dilihat
pada bagan gejala dan tanda sebelumnya di hipotiroid kongenital. Onset dari gangguan ini
biasanya berisifat tersembunyi dan membahayakan, dan pasien baru mulai khawatir dengan
gejalanya apabila kondisi eutiroid telah dilalui. Yang perlu menjadi pusat perhatian disini yaitu
biasanya pasien Hashimoto tiroiditis dapat terlihat karena goiter (gondok) daripada gejala
hipotiroidnya. Goiter yang terbentuk tidak selalu besar, akan tetapi umumnya bersifat irregular
dan konsintensi yang keras, dan jarang disertai nyeri.
Kemudian ditemukan juga gejala-gejala hipotiroid berupa:
‐ Kulit yang kering
‐ Keringat kurang
‐ Penipisan epidermis
‐ Hiperkeratosis dari stratum korneum menyebabkan kulit tampak pucat dan kuning
‐ Penumpukan glycosaminoglycan yang menyebabkan trap water (terperangkapnya air) yang
akan meningkatkan ketebalan kulit [mixedema (edema non-pitting)]
‐ Konstipasi dan peningkatan berat badan
‐ Penurunan libido
‐ Diffuse alopecia
‐ Gangguan kardiovaskular berupa peningkatan myocardial contractility, yang ditandai
dengan (↓ pulse rate, ↓ stroke volume yang menyebabkan bradicardia, ↑ peripheral resistance
menyebabkan hipertensi, cool extremitas, 30% pasien terjadi pericardial effusion)
‐ Carpa Tunel Syndrome (rasa kaku, kejang dan sakit pada otot) dan juga delayed
tendon reflex relaxation.
Berikut ini ringkasan bagaimana proses timbulnya beberapa gejala utama pada hipotiroid;
Diagnosis

Gambar diatas memperlihatkan bagaimana proses investigasi yang dilakukan dalam


pemeriksaan laboratorium. Nilai TSH yang normal dapat mengeksklusi penyebab primer dari
hipotiroid. Sebaliknya, seandainya terjadi peningkatan kadar TSH, maka perlu dilihat nilai FT4
untuk benar-benar memastikan terjadinya hipotiroid klinis, akan tetapi nilai T4 ini tidak dapat
digunakan untuk menentukan kondisi hipotiroid subklinis. Hipotiroid subklinis merujuk kepada
fakta-fakta bikemikal dari defisiensi hormon tiroid pada pasien yang memiliki manifestasi
hiporitoid yang sedikit bahkan tak ada sama sekali.
Sirkulasi T3 juga dapat diperiksa dimana menunjukkan angka normal pada 25% pasien,
menunjukkan mekanisme adaptasi dari proses deiodinasi pada hipotiroid, untuk itu pemeriksaan
T3 tidak terlalu bermakna.
Setelah kondisi klinis atau subklinis dari hipotiroid dapat ditegakkan, selanjutnya kita perlu
memikirkan etiologi yang mendasari kelainan tersebut. Yang paling sering terutama yaitu karena
kejadian autoimmune, untuk itu diperlukan pemeriksaan untuk mendeteksi TPO antibodi, dimana
ditemukan pada >90% pasien dengan autoimun hipotiroid. Apabila terdapat kasus dimana masih
terdapat keraguan pada pasien goiter setelah pemeriksaan ini dilakukan, maka FNA biopsy dapat
digunakan untuk melihat terjadinya tiroiditis autoimun. Beberapa kondisi abnormal lain
terkait dengan hipotiroid ini yaitu peningkatan creatine phosphokinase, peningkatan kolesterol
dan trigliserida, dan anemi (normoytic atau macrocytic).

Tatalaksana

Secara umum digunakan livelong levothyroxone (T4), kecuali pada beberapa kondisi seperti
(transient hypothyroid dan reversible hypothyroid). Tujuan terapi ini yaitu untuk mencapai
kondisi eutiroid, dimana ditandai dengan nilai normal dari T4 dan TSH.

Jam TD Nadi Respirasi Suhu His

09.10 150/90 80 20 36,6

10.30 150/90 84 22 36,5

20.00

22.30
3/7/17 120/80 84 22

06.00

Anda mungkin juga menyukai