Anda di halaman 1dari 16

Resume Fiqih Puasa

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (‫ )الصيام‬atau Ash Shaum (‫)الصوم‬. Secara
bahasa Ash Shiyam bermakna al imsaak (‫ )اإلمساك‬yaitu menahan diri. Sedangkan secara istilah, ash
shiyaam artinya beribadah kepada Allah dengan menahan diri dari makan, minum dan segala hal yang
dapat membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Puasa juga termasuk
dalam salah satu rukun islam, yaitu puasa Ramadhan sehingga hukumnya wajib. Dalilnya terdapat
dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya, “wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa”.

Sebagai seorang muslim, kita juga perlu mengetahui berbagai keutamaan puasa. Pertama,
puasa adalah amalan yang tidak ada tandingannya. Kedua, amalan ini dibalas oleh Allah dan untuk
Allah. Ketiga, puasa menggabungkan 3 jenis kesabaran, yaitu sabar dalam melakukan ketaatan kepada
Allah, sabar dalam menjauhi hal yang dilarang Allah dan sabar terhadap takdir Allah atas rasa lapar
serta kesulitan yang dirasakan selama berpuasa. Keempat, selain Al-Quran, puasa juga akan memberi
syafaat di hari kiamat bagi orang-orang yang membacanya. Kelima, pahala dan ampunan yang besar
juga diberikan bagi orang yang berpuasa. Hal ini terdapat dalam surah Al-Ahzab ayat 35. Keenam,
puasa menjaga (perisai) kita dari api neraka. Dan terakhir, salah satu pintu surga adalah puasa.

Disamping keutamaan melimpah yang Allah berikan untuk mereka yang berpuasa, terdapat
pula berbagai hikmah puasa. Diantara hikmah yang didapat adalah puasa sebagai (1) wasilah untuk
mengokohkan ketaqwaan kepada Allah, (2) membuat orang merasakan nikmat dan karunia Allah SWT,
(3) mendidik manusia dalam mengendalikan keinginan serta kesabaran dalam menahan hawa nafsu,
(4) menahan diri dari godaan setan, (5) menumbuhkan rasa iba dan saying kepada kaum fakir dan
miskin, (6) menyehatkan tubuh.

Setiap ibadah tentu memiliki tata cara masing-masing dalam mengerjakannya. Begitu juga
dengan puasa. Puasa memiliki beberapa rukun, syarat sah, dan sunnah yang perlu diperhatikan agar
puasa yang dikerjakan dapat diterima oleh Allah SWT. Rukun puasa ada dua yaitu (i) menahan diri dari
hal-hal yang membatalkan puasa, (ii) dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Allah SWT
berfirman:

ََ‫َب َما َوا ْبتَغُوَاْ بَاش ُِروهُنَ فَاآلن‬ َُ ‫ض ْال َخ ْي‬


َ ‫ط لَ ُك َُم يَتَبَينََ َحتى َوا ْش َربُوَاْ َو ُكلُوَاْ لَ ُك َْم‬
ََ ‫ّللاُ َكت‬ َُ َ‫َجْر مِ نََ األَس َْو َِد ْال َخيْطَِ مِ نََ األ َ ْبي‬
َِ ‫ْالف‬
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah:
187). Jadi, fajar yang dimaksud adalah fajar shadiq atau fajar kedua yang disebut juga khaythul abyadh
karena berwarna putih dan melintang di ufuk seperti benang. Adapun fajar kadzib atau fajar pertama
itu bentuknya seperti dzanabus sirhan (ekor serigala).

Syarat sah dari puasa ada enam, yaitu islam, baligh, berakal, muqim (tidak sedang safar atau
bepergian), suci dari haid dan nifas, mampu berpuasa, dan niat. Sedangkan sunnah-sunnah yang
dapat dilakukan bagi orang yang berpuasa diantaranya terbagi menjadi empat, yaitu:

1. Saat berbuka puasa

a. Menyegerakan berbuka
b. Berbuka beberapa butir ruthab (kurma segar), jika tidak ada maka dengan beberapa
butir tamr (kurma kering), jika tidak ada maka dengan beberapa teguk air putih

c. Berdoa ketika berbuka dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam:

‫هللا شاء إن األجر وثبت العروق وابتلت الظمأ ذهب‬


“telah hilang rasa haus, telah basah tenggorokan, dan telah diraih pahala, insya
Allah” (HR. Abu Daud, An Nasa-i, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

2. Terkait makan sahur

a. Hukumnya sunnah muakkadah. Dianggap sudah makan sahur jika makan atau
minum di waktu sahar, walaupun hanya sedikit. Karena pada waktu sahur terdapat
banyak keberkahan

b. Mengakhirkan makan sahur mendekati waktu terbitnya fajar, pada waktu yang tidak
dikhawatirkan datangnya waktu fajar ketika masih makan sahur.

c. Makan sahur dengan tamr (kurma kering).

3. Orang yang berpuasa wajib meninggalkan semua perbuatan yang diharamkan agama dan
dianjurkan untuk memperbanyak melakukan ketaatan seperti: bersedekah, membaca Al
Qur’an, shalat sunnah, berdzikir, membantu orang lain, i’tikaf, menuntut ilmu agama, dll

4. Membaca Al Qur’an adalah amalan yang lebih dianjurkan untuk diperbanyak di bulan
Ramadhan. Bahkan sebagian salaf tidak mengajarkan ilmu di bulan Ramadhan agar bisa
fokus memperbanyak membaca Al Qur’an dan mentadabburinya.

Namun, meskipun wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk berpuasa, Allah memberikan
keringanan bagi orang-orang yang tidak mampu. Tentunya dengan adanya alasan syar’i. Diantara
orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa adalah:

1. Orang sakit yang dengan berpuasa akan membahayakan kesehatannya. Dalam hal ini, orang
sakit diwajibkan untuk mengqadha jika diperkirakan dapat sembuh dan mampu
menjalankannya. Jika sakitnya diperkirakan tidak bisa sembuh, maka diwajibkan untuk
membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.
2. Musafir (orang yang bepergian) baik dalam perjalanan yang sulit atau mudah. Namun
sebaiknya jika perjalanannya mudah, diusahakan untuk tetap berpuasa, terlebih jika berniat
mukim di tempat tujuannya.
3. Orang tua renta yang tidak mampu berpuasa. Wajib hukumnya membayar fidyah kepada
orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.
4. Wanita hamil atau sedang menyusui boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik karena ia
khawatir terhadap kesehatan dirinya maupun khawatir terhadap kesehatan si bayi. Mengenai
kewajiban wanita hamil atau menyusui yang meninggalkan puasa Ramadhan terdapat
khilafiyah, namun pendapat yang insyaAllah paling kuat adalah kewajiban mengqadha tanpa
perlu membayar fidyah.
5. Sebab-sebab lainnya yang diperbolehkan adalah orang yang pekerjaannya terasa berat, orang
yang merasa sangat kehausan dan kelaparan hingga dapat membuatnya binasa, orang yang
dipaksa berbuka, serta orang yang sedang berperang (mujahid fii sabilillah). Orang-orang
tersebut diwajibkan untuk mengqadha puasanya. Hadits yang menunjukkan kebolehan bagi
orang yang sedang berperan adalah hadits riwayat Muslim yang bunyinya,
‫عدوكم من دنوتم قد إنكم‬، ‫لكم أقوى والفطر‬، ‫رخصة فكانت‬
“sesungguhnya musuh kalian telah mendekati kalian, maka berbuka itu lebih menguatkan
kalian, dan hal itu merupakan rukhshah” (HR. Muslim).

Meskipun terdapat keringanan untuk tidak melaksanakan puasa, ada juga hal-hal yang dapat
membatalkan puasa, yaitu

1. Makan dan minum dengan sengaja

2. Keluar mani dengan sengaja

3. Muntah dengan sengaja

4. Keluarnya darah haid dan nifas

5. Menjadi gila atau pingsan

6. Riddah (murtad)

7. Berniat untuk berbuka

8. Merokok

9. Jima (bersenggama) di tengah hari puasa. Selain membatalkan puasa dan wajib meng-qadha
puasa, juga diwajibkan menunaikan kafarah membebaskan seorang budak. Jika tidak ada
maka puasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang
miskin.

10. Hijamah (bekam) diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Namun
jumhur ulama berpendapat bahwa hijamah tidak membatalkan puasa.

11. Donor darah merupakan turunan dari masalah bekam. Maka donor darah tidak membatalkan
puasa dengan men-takhrij pendapat jumhur ulama, dan bisa membatalkan puasa dengan
men-takhrij pendapat Hanabilah.

12. Inhaler dan sejenisnya, yaitu berupa aroma yang dimasukkan melalui hidung, masih
diperselisihkan terkait hukumnya (dapat membatalkan atau tidak). Pendapat jumhur ulama
ialah membatalkan puasa, sedangkan sebagian ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat
tidak membatalkan. Pendapat kedua ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.

Selain itu, hal-hal yang dibolehkan untuk dilakukan

1. Mengakhirkan mandi hingga terbit fajar, bagi orang yang junub atau wanita yang sudah
bersih dari haid dan nifas. Puasanya tetap sah.

2. Berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)


3. Mandi di tengah hari puasa atau mendinginkan diri dengan air

4. Menyicipi makanan ketika ada kebutuhan, selama tidak masuk ke kerongkongan

5. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang mampu mengendalikan birahinya

6. Memakai parfum dan wangi-wangian

7. Menggunakan siwak atau sikat gigi

8. Menggunakan celak

9. Menggunakan tetes mata

10. Menggunakan tetes telinga

11. Makan dan minum 5 menit sebelum terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh, yang
biasanya disebut dengan waktu imsak. Karena batas awal rentang waktu puasa adalah ketika
terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh.

Yang dimakruhkan ketika puasa

1. Terlalu dalam dan berlebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke
hidung)

2. Puasa wishal, yaitu menyambung puasa selama dua hari tanpa diselingi makan atau minum
sama sekali.

3. Menyicipi makanan tanpa ada kebutuhan, walaupun tidak masuk ke kerongkongan

4. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang tidak mampu mengendalikan birahinya

5. Bermalas-malasan dan terlalu banyak tidur tanpa ada kebutuhan

6. Berlebihan dan menghabiskan waktu dalam perkara mubah yang tidak bermanfaat

Beberapa kesalah-pahaman dalam ibadah puasa

1. Niat puasa tidak perlu dilafalkan, karena niat adalah amalan hati. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam juga tidak pernah mengajarkan lafal niat puasa. Menetapkan itikad di dalam hati
bahwa esok hari akan berpuasa, ini sudah niat yang sah.

2. Berpuasa namun tidak melaksanakan shalat fardhu adalah kesalahan fatal. Diantara juga
perilaku sebagian orang yang makan sahur untuk berpuasa namun tidak bangun shalat
shubuh. Karena dinukil bahwa para sahabat berijma tentang kafirnya orang yang
meninggalkan shalat dengan sengaja, sehingga tidak ada faedahnya jika ia berpuasa jika
statusnya kafir. Sebagian ulama berpendapat orang yang meninggalkan shalat tidak sampai
kafir namun termasuk dosa besar, yang juga bisa membatalkan pahala puasa.

3. Berbohong tidak membatalkan puasa, namun bisa jadi membatalkan atau mengurangi
pahala puasa karena berbohong adalah perbuatan maksiat.
4. Sebagian orang menahan diri melakukan perbuatan maksiat hingga datang waktu berbuka
puasa. Padahal perbuatan maksiat tidak hanya terlarang dilakukan ketika berpuasa, bahkan
terlarang juga setelah berbuka puasa dan juga terlarang dilakukan di luar bulan Ramadhan.
Namun jika dilakukan ketika berpuasa selain berdosa juga dapat membatalkan pahala puasa
walaupun tidak membatalkan puasanya.

5. Hadits “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” adalah hadits yang lemah. tidur
adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah
yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah.
Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau
tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah. Sebaliknya, tidak setiap
tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur
karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai
sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai
kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

6. Tidak ada hadits “berbukalah dengan yang manis“. Pernyataan yang tersebar di tengah
masyarakat dengan bunyi demikian, bukanlah hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

7. Tidak tepat mendahulukan berbuka dengan makanan manis ketika tidak ada kurma. Lebih
salah lagi jika mendahulukan makanan manis padahal ada kurma. Yang sesuai sunnah Nabi
adalah mendahulukan berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma maka dengan air minum.
Adapun makanan manis sebagai tambahan saja, sehingga tetap didapatkan faidah makanan
manis yaitu menguatkan fisik.

Resume Fiqih Wudhu dan Tayammum

Wudhu (Arab: ‫ ءوضوال‬al-wuḍū’) adalah mensucikan diri dari segala hadast kecil sesuai
dengan syariat islam. Wudhu merupakan salah satu cara mensucikan anggota tubuh dengan
air. Seorang muslim diwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan shalat, yaitu dengan
berwudhu. Wudhu juga dapat dilakukan menggunakan debu, hal ini disebut dengan
tayammum. Secara medis, wudhu dengan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung dan
dikeluarkan kembali) diakui dapat menghilangkan mikroba yang bersarang dalam hidung.
Mikroba ini cepat menyebar dan berkembang-biak yang dapat menyebabkan munculnya
berbagai penyakit. Maka, berbahagialah orang yang melazimkan diri berwudhu secara terus-
menerus karena hidung bersih dari debu, kuman, dan bakteri.
Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater sekaligus neurolog
berkebangsaan Austria, memeluk Islam lantaran berhasil menguak keajaiban yang ada dalam
wudhu karena mampu merangsang pusat syaraf dalam tubuh manusia. Adanya keselarasan
air dengan wudhu dan titik-titik syaraf menjadikan kondisi tubuh selalu sehat.

Syarat wudhu terbagi menjadi dua, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib
wudhu adalah syarat yang mewajibkan seorang mukallaf untuk berwudhu. Jika syarat itu tidak
terpenuhi maka ia tidak wajib melakukan wudhu. Syarat wajib wudhu ada empat, yaitu baligh
(dewasa), masuk waktu shalat, bukan orang yang mempunyai wudhu, mampu melaksanakan
wudhu. Sedangkan syarat sahnya ada tiga, yaitu air yang digunakan itu suci dan mensucikan,
orang yang berwudhu itu mumayyiz, tidak terdapat pengahalang yang dapat mengahalangi
sampainya air ke anggota wudhu yang hendak dibasuh. Ada juga syarat wajib dan sahnya
sekaligus, yaitu akil, sucinya perempuan dari darah haid dan nifas, tidak tidur atau lupa, dan
islam.

Rukun wudhu sendiri ada tiga, yaitu niat, membasuh / mengusap anggota wajib wudhu,
dan tertib. Dalam Al-Qur’an, surat Al-Maidah ayat 6, disebutkan 6 anggota wajib wudhu
antara lain:
 Seluruh bagian muka
 Kedua tangan sampai kedua siku – siku
 kepala, baik seluruhnya maupun sebagian dari padanya
 kedua kaki sampai dengan kedua mata kaki

Sunnah Wudhu
1. Membaca Basmalah. Ini adalah sunnah yang harus diucapkan saat memulai semua
pekerjaan. Rasulullah saw. bersabda, “Berwudhulah dengan menyebut nama Allah.”
(Al-Baihaqi)
2. Bersiwak. Ini sesuai dengan sabda Nabi saw., “Jika tidak akan memberatkan umatku,
akan aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali berwudhu.” (Malik, Asy Syaf’iy, Al-
Baihaqi, dan Al-Hakim). Disunnahkan pula bersiwak bagi orang yang berpuasa, seperti
dalam hadits Amir bin Rabi’ah r.a. berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. tidak
terhitung jumlahnya bersiwak dalam keadaan berpuasa.” (Ahmad, Abu Daud, At-
Tirmidzi). Menurut Imam Syafi’i, bersiwak setelah bergeser matahari bagi orang yang
berpuasa, hukumnya makruh.
3. Membasuh dua telapak tangan tiga kali basuhan di awal wudhu, sesuai hadits Aus bin
Aus Ats-Tsaqafiy r.a. berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. berwudhu dan membasuh
kedua tangannya tiga kali.” (Ahmad dan An Nasa’i)
4. Berkumur, menghisap [1] air ke hidung dan menyemburkannya keluar. Terdapat
banyak hadits tentang hal ini. Sunnahnya dilakukan secara berurutan, tiga kali,
menggunakan air baru, menghisap air ke hidung dengan tangan kanan dan
menyemburkannya dengan tangan kiri, menekan dalam menghisap kecuali dalam
keadaan puasa.
5. Menyisir jenggot dengan jari-jari tangan. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah
meriwayatkannya dari Utsman dan Ibnu Abbas r.a.
6. Mengulang tiga kali basuhan. Banyak sekali hadits yang menerangkannya
7. Memulai dari sisi kanan sebelum yang kiri, seperti dalam hadits Aisyah r.a., “Rasulullah
saw. sangat menyukai memulai dari yang kanan ketika memakai sandal, menyisir,
bersuci, dan semua aktivitasnya.” (Muttafaq alaih)
8. Menggosok, yaitu menggerakkan tangan ke anggota badan ketika mengairi atau
sesudahnya. Sedang bersambung artinya terus menerus pembasuhan anggota badan
itu tanpa terputus oleh aktivitas lain di luar wudhu. Hal ini diterangkan dalam banyak
hadits. Menggosok menurut madzhab Maliki termasuk dalam rukun wudhu, sedang
terus menerus termasuk dalam rukun wudhu menurut madzhab Maliki dan Hanbali.
9. Mengusap dua telinga, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan At-
Thahawiy dari Ibnu Abbas dan Al-Miqdam bin Ma’ di Kariba
10. Membasuh bagian depan kepala, dan memperpanjang basuhan di atas siku dan mata
kaki. Seperti dalam hadits Nabi saw., “Sesungguhnya umatku akan datang di hari
kiamat dalam keadaan putih berseri dari basuhan wudhu.”
11. Berdoa setelah wudhu, seperti dalam hadits Ibnu Umar r.a., Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak ada seorangpun di antara kalian yang berwudhu dan menyempurnakannya,
kemudian berdo’a: ‫سوله‬ُ ‫أن ُم َح همداً َع ْب ُدهُ َو َر‬ ‫ أَش َه ُد أ َ ْن َال إله اإال ه‬Aku Bersaksi
‫ وأ ْش َه ُد ه‬،‫َّللاُ َوحْ َدهُ ال ش َِريكَ له‬
bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Maha Esa tiada sekutu bagi-
Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Pasti
akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan itu, dan dipersilahkan masuk
dari mana saja.” (Muslim)
12. Sedangkan doa ketika berwudhu, tidak pernah ada riwayat yang menerangkan
sedikitpun.
13. Shalat sunnah wudhu dua rakaat, seperti dalam hadits Uqbah bin Amir r.a. berkata,
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorangpun yang berwudhu dan
menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua rakaat dengan menghadap wajah
dan hatinya, maka wajib baginya surga.” (Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Hal – hal makruh dalam Wudhu


Berlebih – lebihan dalam menuangkan air, misalnya , sampai lebih dari cukup dan ini
apabila air tersebut mubah (boleh dipakai) atau milik orang yang berwudhu itu sendiri. Jika
air itu jelas hanya tersedia untuk wudhu, seperti air yang tersedia dimasjid, maka
menggunakanya dengan berlebih – lebihan adalah haram.

Yang Membatalkan Wudhu


1. Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan pembuangan (kencing, tinja, angin, madzi,
atau wadi), kecuali mani yang mengharuskannya mandi. Dalilnya adalah firman Allah
swt. “… atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan….”
(Al-Ma’idah: 6) dan sabda Nabi saw., “Allah tidak menerima shalat salah seorang di
antaramu ketika berhadats sehingga ia berwudhu.” (Muttafaq alaih). Hadats adalah
angin dubur baik bersuara atau tidak. Sedangkan madzi adalah karena sabda Nabi
saw., “Wajibnya wudhu.” (Muttafaq alaih). Sedangkan wadiy adalah karena ungkapan
Ibnu Abbas, “Basuhlah kemaluanmu, dan berwudhulah sebagaimana wudhu untuk
shalat.” (Al-Baihaqi dalam As-Sunan).
2. Tidur lelap yang tidak menyisakan daya ingat, seperti dalam hadits Shafwan bin ‘Assal
r.a. berkata, “Rasulullah saw. pernah menyuruh kami jika dalam perjalanan untuk
tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam, sebab buang air kecil, air besar
maupun tidur, kecuali karena junub.” (Ahmad, An Nasa’i, At-Tirmidzi dan
menshahihkannya). Kata tidur disebutkan bersama dengan buang air kecil dan air
besar yang telah diketahui sebagai pembatal wudhu. Sedang tidur dengan duduk tidak
membatalkan wudhu jika tidak bergeser tempat duduknya. Hal ini tercantum dalam
hadits Anas r.a. yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, Muslim, dan Abu Daud, “Adalah
para sahabat Rasulullah saw. pada masa Nabi menunggu shalat Isya’ sehingga kepala
mereka tertunduk, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.”
3. Hilang akal baik karena gila, pingsan, mabuk atau obat. Karena hal ini menyerupai tidur
dari sisi hilangnya kesadaran.

Tiga hal itu disepakati sebagai pembatal wudhu, tapi para ulama berbeda pendapat dalam
beberapa hal berikut ini:
1. Menyentuh kemaluan tanpa sekat, membatalkan wudhu menurut Syafi’i dan Ahmad,
seperti dalam hadits Busrah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang
menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” (Al-Khamsah dan disahihkan oleh
At-Tirmidziy dan Ibnu Hibban). Al-Bukhari berkata, “Inilah yang paling shahih dalam
bab ini.” Telah diriwayatkan pula hadits yang mendukungnya dari tujuh belas orang
sahabat.
2. Darah yang mengucur, membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah, seperti dalam
hadits Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang muntah atau
mengeluarkan darah, maka berpaling dan berwudhulah.” (Ibnu Majjah dan didhaifkan
oleh Ahmad, dan Al-Baihaqi). Dan menurut Asy-Syafi’i dan Malik bahwa keluarnya
darah tidak membatalkan wudhu. Karena hadits yang menyebutkannya tidak kuat
menurutnya, juga karena hadits Anas r.a., “Bahwa Rasulullah saw. dibekam dan shalat
tanpa wudhu lagi.” Hadits ini meskipun tidak sampai pada tingkat shahih, tapi banyak
didukung hadits lain yang cukup banyak. Al-Hasan berkata, “Kaum muslimin
melaksanakan shalat dengan luka-luka mereka.” (Al-Bukhari)
3. Muntah yang banyak dan menjijikkan, seperti dalam hadits Ma’dan bin Abi Thalahah
dari Abu Darda’, “Bahwa Rasulullah saw. muntah lalu berwudhu.” Ia berkata,
kemudian aku berjumpa dengan Tsauban di Masjid Damaskus, aku tanyakan
kepadanya tentang ini. Ia menjawab, “Betul, saya yang menuangkan air wudhunya.”
(At-Tirmidzi dan mensahihkannya). Demikiamlah Madzhab Hanafi. Dan menurut
Syafi’i dan Malik, muntah tidak membatalkan wudhu karena tidak ada hadits yang
memerintahkannya. Hadits Ma’dan di atas dimaknai istihbab/sunnah.
4. Menyentuh lawan jenis atau bersalaman, membatalkan wudhu menurut Mazhab
Syafi’i dengan dalil firman Allah swt. Al-Ma’idah ayat 6. Tidak membatalkan menurut
Jumhurul Ulama karena banyaknya hadits yang menyatakan tidak membatalkannya.
Diantaranya hadits Aisyah r.a., “Bahwa Rasulullah saw. mencium isterinya, kemudian
shalat tanpa berwudhu.” (Ahmad dan Imam empat). Juga ucapan Aisyah r.a., “Saya
tidur di hadapan Rasulullah dan kakiku ada di arah kiblatnya, jika ia hendak sujud ia
memindahkan kakiku.” (Muttafaq alaih). Tidak ada bedanya dalam pembatalan ini,
apakah wanita itu isteri atau bukan. Sedang jika menyentuh mahram, tidak
membatalkan wudhu.
5. Tertawa terbahak ketika shalat yang ada rukuk dan sujudnya, membatalkan wudhu
menurut Madzhab Hanafi karena ada hadits, “… kecuali karena tertawa terbahak-
bahak, maka ulangilah wudhu dan shalat semuanya.” Sedang menurut jumhurul
ulama, tertawa terbahak-bahak membatalkan shalat, tetapi tidak membatalkan
wudhu karena hadits tersebut tidak kuat sebagai hadits yang membatalkan wudhu.
Juga karena hadits Nabi saw., “Tertawa itu membatalkan shalat, dan tidak
membatalkan wudhu.” Demikian Imam Bukhari mencatatnya sebagai hadits mauquf
dari Jabir. Pembatalan wudhu karena tertawa membutuhkan dalil, dan tidak
ditemukan dalil yang kuat.
6. Jika orang yang berwudhu ragu apakah sudah batal atau belum? Tidak membatalkan
wudhu sehingga ia yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu.
Karena hadits Nabi saw. menyatakan, “Jika salah seorang diantaramu merasakan
sesuatu di perutnya, lalu dia ragu apakah sudah keluar sesuatu atau belum, maka
janganlah keluar masjid sehingga ia mendengar suara atau mendapati baunya.”
(Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi). Sedang jika ragu apakah sudah wudhu atau
belum, ia wajib berwudhu sebelum shalat.

Tayammum
Pengertian : Tayammum adalah mengusap muka dan dua belah tangan dengan debu yang
suci. Tayammum dilakukan sebagai pengganti wudhu jika seseoarang yang akan
melaksanakan shalat tidak menemukan air untuk berwudhu.

Syarat – Syarat Tayammum


Seseoarang dibolehkan untuk bertayammum jika:
1. Islam
2. Tidak ada air dan telah berusaha mencarinya, tetapi tidak bertemu
3. Berhalangan mengguankan air, misalnya karena sakit yang apabila menggunakan air
akan kambuh sakitnya
4. Telah masuk waktu shalat
5. Dengan debu yang suci
6. Bersih dari Haid dan Nifas

Sebab – sebab disyari’atkannya Tayammum


1. Tidak ada air untuk dipakai bersuci.
2. Tidak mampu menggunakan air atau dalam keadaan membutuhkan air.

Rukun Tayammum
1. Niat:
2. Nawaitut-tayammuma li istibaahatish-shalaati fardhal lillaahi ta’aalaa.
3. Artinya: “Aku berniat bertayammum untuk dapat mengerjakan shalat, fardhu karena
Allah.”
4. Mengusap muka dengan debu tanah, dengan dua kali usapan
5. Mengusap dua belah tangan hingga siku-siku dengan debu tanah
6. Memindahkan debu kepada anggota yang diusap
7. Tertib

Sunat Tayammum
1. Membaca basmalah
2. Mendahulukan anggota yang kanan daripada yang kiri
3. Menipiskan debu

Hal – hal yang membatalkan Tayammum


1. Segala hal yang membatalkan wudhu
2. Melihat air sebelum shalat, kecuali yang bertayammum karena sakit
3. Murtad, keluar dari Islam

Tokoh Teladan/ Kisah


Salah satu suplemen tambahan dalam menyampaikan materi adalah menceritakan
kosah-kisah teladan baik untuk memotivasi mentee. Berikut ini adalah salah satu kisah
teladan yang berkaitan dengan materi :

Inilah Amalan Yang Membuat Langkah Bilal Bin Rabah Terdengar Di Surga

Salah satu sahabat yang disebutkan menjadi penghuni surga adalah Bilal bin Rabah.
Sosok budak hitam di jaman jahiliyah tersebut memiliki paras yang tidak menarik. Meskipun
begitu, hatinya diterangi cahaya iman sehingga dengan lantang ia mendeklarasikan
keislamannya. Muadzin di jaman Rasulullah tersebut telah mengalami berbagai macam
siksaan semenjak menjadi budak Umayyah bin Khalaf dan menyatakan diri sebagai muslim. Ia
mengalami siksaan dengan cara dipanggang di teriknya padang gurun yang tandus. Ia pun
ditindih dengan batu besar dan sejumlah siksaan lainnya. Akan tetapi, siksaan tersebut tidak
mampu meluluhkan keimanannya dan justru semakin bertambah. Terbukti ketika disiksa dan
disuruh kembali kepada kemusyrikan, ia berkata, “Ahad..Ahad…Ahad”. Sebuah ucapan yang
menyatakan keesaan Allah tanpa ada yang sebanding denganNya. Abu Bakar Ash Shidiq
kemudian memerdekakannya sehingga Bilal bisa memeluk agama islam tanpa ada siksaan lagi
dari sang majikan. Ternyata setelah merdeka, Bilal justru menjadi sosok yang mulia. Bahkan
ia digaransi masuk surga oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kisahnya berawal pada suatu hari selepas melaksanakan shalat subuh berjamaah,
Rasulullah bertanya kepada Bilal tentang amalan yang ia lakukan.
“Katakanlah kepadaku, apa amalanmu yang paling besar pahalanya yang kamu
kerjakan dalam islam?”
Bilal terheran-heran karena sesungguhnya Rasulullah sendiri yang lebih mengetahui
amalan mana yang besar pahalanya.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Tadi malam, aku
mendengar suara sandalmu di dalam surga.”
Sungguh sebuah kemuliaan dalam diri Bilal yang dahulu hanyalah seorang budak
hitam. Seseorang yang telah dimerdekakan oleh Abu Bakar dan dibina oleh Rasulullah, namun
langkahnya sudah terdengar di surga.
Dengan tertunduk hormat, Bilal berkata, “Saya bersuci dengan sempurna pada siang
dan malam hari. Setelah bersuci, saya shalat selain shalat yang telah diwajibkan oleh Allah
Ta’ala kepada saya.”
Ternyata itulah rahasia amalan yang dilakukan oleh Bilal bin Rabah sehingga
langkahnya terdengar di surga meski ia belum meninggal. Dengan pernyataan Rasul tersebut
menjamin bahwa Bilal akan menjadi penghuni surga.

Resume Fiqih Shalat

Shalat merupakan rukun Islam dan tiang agama. Keutamaan shalat sangat banyak.
Diantaranya, shalat adalah ibadah pertama yang Allah wajibkan dan juga merupakan amal pertama
yang diperhitungkan di hari kiamat. Shalat juga menjadi salah satu wasiat terakhir Rasulullah saw.
kepada umatnya ketika hendak meninggal dunia. Allah SWT memerintahkan setiap muslim untuk
memelihara shalat setiap saat, ketika mukim atau musafir, saat aman atau ketakutan melalui
firmannya yang berbunyi,

‫ فإذا أمنتم فاذكروا هللا كما علَّمكم ما لم‬،ً‫{حافظوا على الصَّلوات والصَّالة الوسطى وقوموا ََّّللِ قانتين * فإن خِ فتم فَرجاالً أو ُركبانا‬
]239 ،238 :‫تكونوا تعلمون} [البقرة‬

“Peliharalah segala shalat-(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyuk. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan
atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah),
sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Al-Baqarah:
238-239)

Allah juga telah menjelaskan cara shalat di waktu perang dalam QS. An-Nisa ayat 101-103, yang
menegaskan bahwa shalat tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi yang paling genting sekalipun.
Bahkan Allah SWT mengancam orang-orang yang mengabaikan shalat,

‫ {فَ َو ْي ٌل للمصلّين الذين هُم عَن‬:‫ وقال‬،]59:‫ت فَسوف يَلقَون غيّاً} [مريم‬ ٌ ‫{فَ َخلف ِمن بَ ْعدِهم َخ ْل‬
ِ ‫ف أضاعوا الصَّالة وات َّبعوا الشهوا‬
]5 ،4 :‫صالتِهم ساهون } [الماعون‬

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59). Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-
Ma’un: 4-5). Bahkan terdapat beberapa hadits yang
Shalat memiliki keutamaan dapat menghapus kesalahan. Rasulullah saw bersabda,
“Bagaimana pendapatmu jika ada sungai di depan pintu rumah di antaramu, mandi di sana lima kali
sehari, apakah masih ada daki di tubuhnya?” Mereka menjawab, “Tidak ada, ya Rasulallah.” Sabda
Nabi, “Itulah perumpamaan shalat lima waktu, Allah menghapus kesalahan dengan shalat.” (Bukhari
dan Muslim) .Ada beberapa hadits dari Rasulullah saw. tentang kafirnya orang yang meninggalkan
َِ ‫الصالة تركَُ وال ُكفر الرج‬
shalat, salah satunya Hadits dari Jabir r.a. berkata Rasulullah saw. bersabda, ‫ل بين‬
“Batas antara kufur dengan seseorang adalah shalat.” (Muslim, Abu Daud, At Tirmidziy, Ibnu Majah,
dan Ahmad). Sedangkan menurut jumhurul ulama, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan
tidak mengingkari kewajibannya, tidak membuatnya kafir akan tetapi fasik yang disuruh bertaubat.
Jika tidak mau bertaubat, maka dihukum mati, bukan kafir murtad menurut Asy-Syafi’i dan Malik. Abu
Hanifah berkata, “Tidak dibunuh, tetapi dita’zir dan disekap (dipenjara) sampai mau shalat.”

Meskipun shalat tidak diwajibkan kecuali kepada muslim yang berakal dan baligh, hanya saja
shalat dianjurkan untuk diperintahkan kepada anak-anak yang sudah berumur tujuh tahun. Dan
dipukul jika tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun. Ini agar shalat menjadi
kebiasaannya. Seperti dalam hadits, “Perintahkan anakmu shalat ketika berusia tujuh tahun, dan
pukullah ia jika berusia sepuluh tahun, pisahkan tempat tidur mereka.” (Ahmad, Abu Daud, dan Hakim,
yang mengatakan hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim)

Shalat yang diwajibkan atas setiap muslim sehari semalam adalah lima waktu. Allah swt telah
menetapkan waktu setiap shalat fardhu dan memerintahkan hambaNya untuk berdisiplin
memeliharanya. Waktu shalat tersebut adalah:

1. Shalat fajar, waktunya sejak terbit fajar shadiq sehingga terbit matahari, disunnahkan
pelaksanaannya di awal waktu menurut Syafi’iyah, inilah yang lebih shahih, dan disunnahkan
melaksanakannya di akhir waktu menurut madzhab Hanafi.

2. Shalat zhuhur, waktunya sejak tergelincir matahari dari pertengahan langit hingga bayangan benda
sama dengan aslinya. Disunnahkan mengakhirkannya ketika sangat panas, dan di awal waktu di selain
itu.

3. Shalat ashar, waktunya sejak bayangan benda sama dengan aslinya, di luar bayangan waktu zawal,
sampai terbenam matahari. Disunnahkan melaksanakannya di awal waktu, dan makruh
melaksanakannya setelah matahari menguning. Shalat ashar disebut juga shalat wustha.

4. Shalat maghrib, waktunya sejak terbenam matahari hingga hilang rona merah. Disunnahkan
melaksanakannya di awal waktu dan diperbolehkan mengakhirkannya selama belum hilang rona
merah di langit.

5. Shalat isya’, waktunya sejak hilang rona merah hingga terbit fajar. Disunnahkan mengakhirkan
pelaksanaannya hingga tengah malam. Diperbolehkan juga melaksanakannya setelah tengah malam,
dan makruh hukumnya tidur sebelum shalat isya’ dan berbincang sesudahnya.

Waktu shalat itu membentang sampai datang waktu shalat berikutnya, kecuali waktu shalat
fajar yang berakhir ketika matahari terbit. Jika seorang muslim tertidur sebelum melaksanakan shalat
fardhu atau lupa belum melaksanakannya, maka ia wajib melaksanakannya ketika ingat. Waktu
pelaksanaan shalat sunnah yang makruh adalah setelah shubuh hingga matahari terbit dan sesudah
ashar hingga matahari terbenam. Sedangkan shalat fardhu tidak makruh hukumnya meski dilakukan
pada waktu-waktu tersebut. Dan menurut madzhab Syafi’i tidak makruh shalat sunnah pada dua
waktu ini jika ada sebab tertentu seperti tahiyyatul masjid. Sedangkan ketika matahari terbit,
terbenam, dan ketika tepat di tengah, maka hukum shalat di waktu itu tidak sah menurut madzhab
Hanafi, baik shalat fardhu maupun sunnah, baik qadha maupun ada’ (bukan qadha). Dan menurut
madzhab Syafi’i makruh hukumnya shalat sunnah tanpa sebab. Kecuali jika sengaja shalat ketika
sedang terbit atau saat terbenam, maka haram. Dan menurut madzhab Maliki haram hukumnya shalat
sunnah pada waktu itu meskipun ada sebab. Tetapi diperbolehkan shalat fardhu baik qadha maupun
ada’ pada saat terbit atau terbenam matahari. Sedang ketika saat matahari berada tepat di tengah,
maka hukumnya tidak makruh dan tidak haram.

Sebuah panggilan yang menunjukkan telah masuknya waktu shalat adalah adzan. Sedangkan
panggilan sebagai tanda dimulainya shaat adalah iqamah. Adzan dan iqamah hukumnya sunnah
muakkadah untuk melaksanakan shalat fardhu, bagi munfarid maupun berjamaah, menurut jumhurul
ulama. Keduanya hukumnya wajib di masjid menurut imam Malik dan fardhu kifyaah menurut imam
Ahmad. Selain itu, bagi yang mendengar adzan disunnahkan untuk menjawabnya dengan
mengucapkan seperti yang diucapkan oleh muadzdzin kecuali dalam bacaan َ‫( الصالة على حي‬2x) َ‫على حي‬
‫( الفالح‬2x) yang dijawab dengan : ‫ل ال‬
ََ ‫ العظي العلي باهلل إالَ قوة وال حو‬kemudian bershalawat atas Nabi sesudah
adzan dan mengucapkan doa: َ‫ت القائم َِة والصالةَِ التام َِة الدعوَةِ هذَِه ربَ اللهم‬
َِ ‫والفضيلة الوسيلة ُمحمداَ آ‬، ‫محموداَ مقاماَ وابعثه‬
‫وعدته الذي‬
“Ya Allah Pemilik panggilan yang sempurna ini, dan shalat yang tegak. Berikan kepada Nabi
Muhammad wasilah dan keutamaan, berikan kepadanya tempat yang terpuji yang telah Engkau
janjikan.” (Bukhari)

Sunnah lainnya adalah berdoa antara adzan dan iqamah serta ada jarak antara adzan dan
iqamah untuk memberi kesempatan orang hadir ke masjid. Disunnahkan bagi yang mendengar
iqamah untuk mengucapkan seperti yang dikatakan oleh orang yang iqamah. Sebagaimana
disunnahkan pula berdiri untuk melaksanakan shalat ketika orang yang iqamah mengucapkan ‫قامت قد‬
‫الصالة‬. Selain itu dianjurkan bagi orang yang mengqadha shalat yang terlewat untuk adzan dan iqamat.
Dan jika shalat yang ditinggalkan itu banyak, maka adzan untuk shalat pertama dan iqamah untuk
setiap shalat. Untuk wanita tidak disunnahkan untuk adzan dan iqamah, namun tetap diperbolehkan.

Rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat.
Sehingga shalat tidak dapat dianggap secara syar’i dan tidak bisa diganti dengan sujud sahwi jika rukun
shalat ditinggalkan. Rukun shalat dapat ditinggalkan dengan sengaja atau karena lupa atau tidak tahu.
Menurut kesepakatan ulama, meninggalkan rukun shalat secara sengaja dapat mebatalkan shalat atau
shalatnya dianggap tidak sah. Sedangkan jika rukun shalat ditinggalkan karena lupa atau tidak tahu,
terdapat tiga rincian:

1. Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal
ini berdasarkan kesepakatan para ulama.

2. Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah.
Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan
rukun tadi menjadi hilang.

3. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi
karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.

Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َْ ِ ‫ فَقَاعِدا ت َ ْستَطِ َْع لَ َْم فَإ‬، ‫ن‬


َ ‫ قَائِما‬، ‫ن‬
َ‫ص ِل‬ َْ ِ ‫َج ْنبَ فَعَلَى ت َ ْستَطِ َْع لَ َْم فَإ‬
“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak
mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.”

Rukun kedua: Takbiratul ihram

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ور الصالَةَِ مِ ْفت َا ُح‬ ُّ ‫ير َوتَحْ ِري ُم َها‬


َُ ‫الط ُه‬ َُ ِ‫الت ْسلِي َُم َوتَحْ لِيلُ َها الت ْكب‬
“Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah
ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”

Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir “Allahu Akbar”. Ucapan takbir ini tidak bisa
digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun semakna.

Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


َ‫ال‬
َ َ ‫صالََة‬ َْ ‫ب بِفَاتِ َح َِة يَ ْق َرَأْ لَ َْم ِل َم‬
َ ‫ن‬ َِ ‫ْال ِكت َا‬
“Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.”

Rukun keempat dan kelima: Ruku’ dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya (sampai ia
disuruh mengulangi shalatnya beberapa kali karena tidak memenuhi rukun). Keadaan minimal dalam
ruku’ adalah membungkukkan badan dan tangan berada di lutut. Sedangkan yang dimaksudkan
thuma’ninah adalah keadaan tenang di mana setiap persendian juga ikut tenang. Sebagaimana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya sehingga ia
pun disuruh untuk mengulangi shalatnya, beliau bersabda,
َ‫ال‬ َ ‫ض َُع فَيَ ْر َك َُع يُ َكبِ َُر ثُمَ … يُ ْسبِ ََغ َحتى َأ َ َح ِد ُك َْم‬
َ ‫صالََة ُ تَتِ َُّم‬ ْ ‫َاصلُ َهُ ت‬
َ ‫َط َمئِنَ َحتى ُر ْكبَت َ ْي َِه‬
َ َ‫علَى كَف ْي َِه فَي‬ ََ ِ‫َوت َ ْست َْرخ‬
ِ ‫ى َمف‬
“Shalat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, …
kemudian bertakbir, lalu melakukan ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai
persendian yang ada dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.”

Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir yang wajib
dalam ruku’.

Rukun keenam dan ketujuh: I’tidal setelah ruku’ dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,

‫ارفَ َْع ث َُم‬ ََ ‫قَائِما ت َ ْعت َ ِد‬


ْ ‫ل َحتى‬
“Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan thuma’ninalah.”
Rukun kedelapan dan kesembilan: Sujud dan thuma’ninah

Hendaknya sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan sesuai dengan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َُ‫ن أُمِ ْرت‬


َْ َ ‫علَى أ َ ْس ُج ََد أ‬
َ ‫س ْبعَ َِة‬ َ ‫َار – ْال َج ْب َه َِة‬
ُ ‫علَى أ َ ْع‬
َ َ‫ظم‬ ََ ‫علَى بِيَ ِدَِه َوأَش‬ َِ ‫ َو ْاليَ َدي‬، ‫ْن‬
َ ‫ْن – أ َ ْن ِف َِه‬ َِ ‫الر ْكبَتَي‬ ْ َ ‫ْن َوأ‬
ُّ ‫ط َرافَِ َو‬ َِ ‫ْالقَ َد َمي‬

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk juga hidung,
beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan dan
kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri. ”

Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ْ ‫اجدا ت‬
َ‫َط َمئِنَ َحتى ا ْس ُج َْد ثُم‬ ِ ‫س‬َ ، َ‫ارفَ َْع ثُم‬ ْ ‫ َجالِسا ت‬، َ‫َط َمئِنَ َحتى ا ْس ُج َْد ثُم‬
ْ ‫َط َمئِنَ َحتى‬ ْ ‫اجدا ت‬
ِ ‫س‬َ
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan thuma’ninalah
ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.”[8]

Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk tasyahud

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َِ ُ‫لِلِ التحِ ياتَُ فَ ْليَق‬


‫ل الصالَةَِ فِى أ َ َح ُد ُك َْم قَعَ ََد فَإِذَا‬ َِ …

“Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah
…” Atau secara lengkap, bunyi bacaam tasyahud adalah,

َُ‫لِل التحِ يات‬ َ ‫ى أَيُّ َها‬


َِ ِ َُ‫ َوالطيِبَاتَُ َوالصلَ َوات‬، ‫علَيْكََ السالَ َُم‬ َُّ ِ‫ َوبَ َركَات ُ َهُ ّللاَِ َو َرحْ َم َةُ النب‬، ‫علَ ْينَا السالَ َُم‬ َ ‫ الصالِحِ ينََ ّللاَِ ِعبَا َِد ََو‬، ‫ن أ َ ْش َه َُد‬
َ ‫علَى‬ َْ َ ‫الَ أ‬
َ َ‫إِلَ َه‬
َ ‫ع ْب ُدَهُ ُم َحمدا أَنَ َوأ َ ْش َه َُد‬
َ‫ّللاُ ِإال‬ َ ُ ‫َو َرسُولُ َه‬
“Segala ucapan penghormatan hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga
kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan segenap karunia-
Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”

Rukun keempatbelas: Shalawat kepada Nabi setelah mengucapkan tasyahud akhir

Dalilnya adalah hadits Fudholah bin ‘Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendengar seseorang yang berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung Allah dan bershalawat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengatakan, “Begitu cepatnya ini.” Kemudian
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang tadi, lalu berkata padanya dan lainnya, “Jika
salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung dan memuji Allah,
lalu bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdo’a setelah itu semau kalian.”

Sedangkan bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.

‫ل الل ُه َم‬ َ ‫علَى‬


َِ ‫ص‬ َ َ‫علَى ُم َحمد‬ َ ‫ل َو‬ َ ‫علَى‬
َِ ‫ ُم َحمدَ آ‬، ‫صليْتََ َك َما‬ َ ‫ل‬
َِ ‫ِيم آ‬
ََ ‫ ِإب َْراه‬، ََ‫ َم ِجيدَ َحمِ يدَ ِإنك‬، َ‫ك الل ُهم‬ ِ ‫علَى َب‬
َْ ‫ار‬ َ َ‫علَى ُم َحمد‬ َِ ‫ ُم َحمدَ آ‬، ‫َك َما‬
َ ‫ل َو‬
ْ
ََ‫اركت‬ َ
َ َ‫على ب‬ َ ‫ل‬
َِ ‫ِيم آ‬
ََ ‫ إِب َْراه‬، ََ‫َم ِجيدَ َحمِ يدَ إِنك‬
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala
aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad
kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.”

Rukun kelimabelas: Salam

Yang termasuk dalam rukun disini adalah salam yang pertama berdasarkan pendapat ulama Syafi’iyah,
Malikiyah dan mayoritas ‘ulama. Terdapat empat model salam:

1. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa


rahmatullah”.

2. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh”, salam ke kiri “Assalamu


‘alaikum wa rahmatullah”.

3. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum”.

4. Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.

Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang ada

Hal ini dikarenakan dalam hadits dalam hadits yang menjelaskan tata cara shalat digunakan kata
“tsumma“ dalam setiap rukun. Dan “tsumma” bermakna urutan.

Anda mungkin juga menyukai