Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan
membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak
teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal
dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.
Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
1. Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk
melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
2. Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-
ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat
bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
3. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi
dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.
ْ صفإئنن صلنم صتنسصتئطنع صفصعصلىَ صجنن ب، ً صفإئنن صلنم صتنسصتئطنع صفصقاًئعمدا، ًصلَل صقاًئئمما
ب ص
“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk.
Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.”[1]
“Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar
shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan
salam. ”[2]
Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir “Allahu Akbar”. Ucapan takbir
ini tidak bisa digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun semakna.
Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at
“Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.”[3]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya
(sampai ia disuruh mengulangi shalatnya beberapa kali karena tidak memenuhi rukun),
Keadaan minimal dalam ruku’ adalah membungkukkan badan dan tangan berada di
lutut.
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir
yang wajib dalam ruku’.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
حثصم اًنسحجند صحصتىَ صتنطصمئئصن صساً ئ
ًجمدا
Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan
dan kiri, [3,4] Lutut kanan dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus
dengan hidung.
صوُاًلطرنكصبصتنيِئن صوُأصنطصراً ئ، ظبْم صعصلىَ اًنلصجنبصهئة – صوُأصصشاًصر ئبصيِئدئه صعصلىَ أصننئفئه – صوُاًنلصيِصدنيِئن
ف اًنلصقصدصمنيِئن أ حئمنر ح
ت أصنن أصنسحجصد صعصلىَ صسنبصعئة أصنع ح
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk
juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan
kiri, [4,5] lutut kanan dan kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri. ”
Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah
حثصم اًنسحجند صحصتىَ صتنطصمئئصن صساً ئ، ً حثصم اًنرصفنع صحصتىَ صتنطصمئئصن صجاًلئمسا، ًجمدا
ًجمدا حثصم اًنسحجند صحصتىَ صتنطصمئئصن صساً ئ
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan
thuma’ninalah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika
sujud.”[8]
ت ئصئ
ل … صفإئصذاً صقصعصد أصصححدحكنم ئفىَ اًل ص
صلصئة صفنلصيِقحئل اًلصت ئ
حصيِاً ح
“Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at
tahiyatu lillah …”.”[9]
Bacaan tasyahud:
، حيِصن صاًلئ ئ
ائ اًل ص ك أصطيِصهاً اًلصنئبطىَ صوُصرنحصمحة ص
اًلصسلصحم صعصلنيِصناً صوُصعصلىَ ئعصباًئد ص، ائ صوُصبصرصكاًحتحه ت صوُاًلصطلَيِصباً ح
اًلصسلصحم صعصلنيِ ص، ت صصلصوُاً ح ت ئصئ
ل صوُاًل ص اًلصت ئ
حصيِاً ح
اح صوُأصنشصهحد أصصن حمصحصممداً صعنبحدهح صوُصرحسوُلحهح أصنشصهحد أصنن لص إئلصصه إئلص ص
“At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu
wa rohmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-
hadu an laa ilaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.” (Segala
ucapan penghormatan hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih.
Semoga kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan
segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-
hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba
dan Rasul-Nya) [10]
Apakah bacaan tasyahud “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti dengan bacaan
“assalaamu ‘alan nabi”?
“Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”
atau bacaan “assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa
para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka
mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”. Namun setelah beliau wafat, para
sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.
Jawab:
Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika
ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang
berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud
yang mesti diganti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika memang itu
benar riwayat yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad Ibnu Mas’ud dan tidak
bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada perbedaan hukum
bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat,
maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada
para sahabat.
(Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh
‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah bin
Ghodyan sebagai anggota)[11]
Dalilnya adalah hadits Fudholah bin ‘Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallampernah mendengar seseorang yang berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung
Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengatakan,
“Begitu cepatnya ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang
tadi, lalu berkata padanya dan lainnya,
إذاً صلىَ أحدكم فليِبدأ بتمجيِد ا وُاًلثناًء عليِه ثم يِصلي علىَ اًلنبي صلىَ ا عليِه وُسلم ثم يِدعوُ بعد بماً شاًء
“Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung
dan memuji Allah, lalu bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
berdo’a setelah itu semau kalian.”[13]
Bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala
Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala
Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm
innaka hamidun majiid.”[14]
“Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang
menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”[15]
Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama
Syafi’iyah, Malikiyah dan mayoritas ‘ulama.
Alasannya karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya, digunakan kata “tsumma“
dalam setiap rukun. Dan “tsumma” bermakna urutan.[17]
Semoga bermanfaat.
[2] HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301.
[3] HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394, dari ‘Ubadah bin Ash Shomit
[5] HR. Ad Darimi no. 1329. Syaikh Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih.
[7] Idem
[8] Idem
[9] HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402, dari Ibnu Mas’ud.
[11] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 8571, juz 7, hal. 11,
Mawqi’ Al Ifta’.
[12] Point ini adalah tambahan dari Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, ‘Abdul
‘Azhim bin Badawi Al Kholafiy, hal. 89, Dar Ibni Rojab, cetakan ketiga, tahun 1421 H.
[13] Riwayat ini disebutkan oleh Syaikh Al Albani dalam Fadh-lu Shalat ‘alan Nabi, hal.
86, Al Maktabah Al Islamiy, Beirut, cetakan ketiga 1977.
[14] HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh.
[15] HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301.
[16] Lihat Sifat Shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 188,
Maktabah Al Ma’arif.
17 Pembahasan rukun shalat ini banyak disarikan dari penjelasan Syaikh Abu Malik
dalam kitab Shahih Fiqh Sunnah terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
Fiqh Shalat
Shalat adalah salah satu dari lima rukun Islam. Shalat merupakan tiang agama yang tidak
akan tegak tanpanya. Shalat adalah ibadah pertama yang Allah wajibkan. Shalat adalah
amal pertama yang diperhitungkan di hari kiamat. Shalat adalah wasiat terakhir
Rasulullah saw. kepada umatnya ketika hendak meninggal dunia. Shalat adalah ajaran
agama yang terakhir ditinggalkan umat Islam.
Allah swt. menyuruh memelihara shalat setiap saat, ketika mukim atau musafir, saat
aman atau ketakutan. Firman Allah:
{ ً فإذا أمنتم فاذكُرَوا ا كُما،صلَّةا الوسطى وقوموا صلل قانتين * فإن لخفِتم ففرَجالل أو رركُبانلا
صلوات وال ص
حافظوا على ال ص
ص
[ }علمكم ما لم تكونوا تعلمون239 ،238 :]البقرَةا
Sebagaimana Allah telah menjelaskan cara shalat di waktu perang, yang menegaskan
bahwa shalat tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi yang paling genting sekalipun.
Firman Allah:
{ صلَّةا إن خفِتم أن فيفِلتنركم الذين فكُفِرَوا إصن الكافرَين كُانواضرَبتم في الرض فليس عليكم رجناح أن فتقصرَوا من ال ص وإذا ف
ل ف
سجَردوا فليكونوا ل ة ل ف ف
ً فإذا ف،ت لهرم الصلَّةا فلتقم طائفِة منهم فمعك ولفيأخذوا أسلفحفتهم ف
ت فيهم فأقم ف لركم عدووال رمبينا ل * وإذا ركُن ف
صولوا فللريصللوا معك ولليأخرذوا لحذرهم وأسللفحتهم وود الذين فكُفِرَوا لو تفلغرفِلون عن ر ف ي لمف أخرَى ً وللفتأت طالئفِةة،من ورالئكم
ضعوا ى لمن فمطرَ أو ركُنتم مرَضى أن تف ف فأسللفحتكم وألملتعتكم ففيميلون فعليكم فميلة والحدةال ول جناح عليكم إلن كُان بركلم أذ ل
ل
أسللفحتكم وخذوا لحلذركُم إن ا أعصد للكالفرَين عذابا ل رمهينا ل * فإذا فقضيرتم الصلَّةا فالذكُرَوا ا لقياما ل ورقعودال وعلى رجنوبلركم
[ }فإذا اطمأنفلنرتم ففأقيموا ال و103 – 101 :]النساء
صلَّةا إصن الصلَّةاف كُافنت على المؤلمنين لكُتابا ل فموقوتا ل
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-
orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. Dan apabila kamu berada di tengah-
tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama
mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan
menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan seraka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka
bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah
terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.
Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu
kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir
itu. Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat-(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman,
maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa: 101-
103)
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat
dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui
kesesatan.” (Maryam: 59). Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Ma’un: 4-5)
Ada beberapa hadits dari Rasulullah saw. tentang kafirnya orang yang meninggalkan
shalat, antara lain:
1. Hadits Jabir r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda, صلة “ بيِن اًلرجئل وُاًلحكفر تر حBatas
ك اًل ص
antara kufur dengan seseorang adalah shalat.” (Muslim, Abu Daud, At Tirmidziy, Ibnu
Majah, dan Ahmad)
3. Hadits Abdullah bin Syaqiq Al-‘Uqailiy, berkata, “Para shahabat Nabi Muhammad saw.
tidak pernah menganggap amal yang jika ditinggalkan menjadi kafir selain shalat.
(Tirmidzi, Hakim, dan menshahihkannya dengan standar Bukhari Muslim)
Para sahabat dan para imam telah berijma’ bahwa barangsiapa yang meninggalkan
shalat karena mengingkari kewajibannya atau melecehkannya, hukumnya kafir murtad.
Sedangkan jika meninggalkannya dengan sengaja, tidak mengingkari kewajibannya,
hukumnya kafir juga menurut sebagian shahabat, antara lain Umar bin Khaththab,
Abdullah ibnu Mas’ud, Abdullah ibnu Abbas, Mu’adz bin Jabal, demikian juga menurut
Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan menurut jumhurul ulama, bahwa orang yang
meninggalkan shalat dengan tidak mengingkari kewajibannya, tidak membuatnya kafir,
akantetapi fasik yang disuruh bertaubat. Jika tidak mau bertaubat, maka dihukum mati,
bukan kafir murtad menurut Asy-Syafi’i dan Malik. Abu Hanifah berkata, “Tidak dibunuh,
tetapi dita’zir dan disekap (dipenjara) sampai mau shalat.”
Meskipun shalat tidak diwajibkan kecuali kepada muslim yang berakal dan baligh, hanya
saja shalat dianjurkan untuk diperintahkan kepada anak-anak yang sudah berumur tujuh
tahun. Dan dipukul jika tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun. Ini agar
shalat menjadi kebiasaannya. Seperti dalam hadits, “Perintahkan anakmu shalat ketika
berusia tujuh tahun, dan pukullah ia jika berusia sepuluh tahun, pisahkan tempat tidur
mereka.” (Ahmad, Abu Daud, dan Hakim, yang mengatakan hadits ini shahih sesuai
dengan persyaratan Imam Muslim)
WAKTU SHALAT
Shalat yang diwajibkan atas setiap muslim sehari semalam adalah lima waktu, sesuai
dengan hadits seorang A’rabiy yang menemui Rasulullah saw. dan bertanya, “Ya
Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang shalat fardhu yang telah Allah wajibkan
kepadaku?” Jawab Nabi, “Shalat lima waktu, kecuali jika kamu beribadah sunnah.”
Kemudian orang itu bertanya dan Rasulullah memberitahukan beberapa syariat Islam.
Orang itu berkata, “Demi Allah yang telah memuliakanmu, saya tidak akan beribadah
sunnah sedikitpun dan tidak akan mengurangi kewajiban sedikitpun.” Lalu Rasulullah
bersabda, «َصصدق
“ »أفلصح اًلعراًبطي إنن صOrang A’rabiy itu beruntung jika ia benar (dengan
ucapannya).” (Bukhari dan Muslim)
Allah swt. telah menetapkan waktu setiap shalat fardhu, dan memerintahkan kita untuk
berdisiplin memeliharanya. Firman Allah, “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An Nisa: 103). Dan waktu
shalat adalah:
1. Shalat fajar, waktunya sejak terbit fajar shadiq sehingga terbit matahari, disunnahkan
pelaksanaannya di awal waktu menurut Syafi’iyah[1], inilah yang lebih shahih, dan
disunnahkan melaksanakannya di akhir waktu menurut madzhab Hanafi.[2]
2. Shalat zhuhur, waktunya sejak tergelincir matahari dari pertengahan langit, sehingga
bayangan benda sama dengan aslinya. Disunnahkan mengakhirkannya ketika sangat
panas, dan di awal waktu di selain itu. Seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas
r.a.[3]
3. Shalat ashar, waktunya sejak bayangan benda sama dengan aslinya, di luar bayangan
waktu zawal, sampai terbenam matahari. Disunnahkan melaksanakannya di awal waktu,
dan makruh melaksanakannya setelah matahari menguning. Shalat ashar disebut shalat
wustha.
4. Shalat maghrib, waktunya sejak terbenam matahari, sehingga hilang rona merah.
Disunnahkan melaksanakannya di awal waktu,[4] dan diperbolehkan mengakhirkannya
selama belum hilang rona merah di langit.
5. Shalat isya’, waktunya sejak hilang rona merah sehingga terbit fajar. Disunnahkan
mengakhirkan pelaksanaannya hingga tengah malam. Diperbolehkan juga
melaksanakannya setelah tengah malam, dan makruh hukumnya tidur sebelum shalat
isya’ dan berbincang sesudahnya.
Dari Jabir bin Abdillah r.a, bahwa Rasulullah saw. kedatangan Malaikat Jibril a.s., dan
berkata, “Bangun lalu shalatlah”, maka Rasulullah shalat zhuhur ketika matahari bergeser
ke arah barat. Kemudian Jibril a.s. datang kembali di waktu ashar dan mengatakan,
“Bangun dan shalatlah.” Maka Rasulullah saw. shalat ashar ketika bayangan benda sudah
sama dengan aslinya. Kemudian Jibril a.s. mendatanginya di waktu maghrib ketika
matahari terbenam, kemudian mendatanginya ketika isya’ dan mengatakan bangun dan
shalatlah. Rasulullah shalat isya’ ketika telah hilang rona merah. Lalu Jibril
mendatanginya waktu fajar ketika fajar sudah menyingsing. Keesokan harinya Jibril
datang waktu zhuhur dan mengatakan, “Bangun dan shalatlah.” Rasulullah shalat zhuhur
ketika bayangan benda telah sama dengan aslinya. Lalu Jibril mendatanginya waktu ashar
dan berkata, “Bangun dan shalatlah.” Rasulullah saw. shalat ashar ketika bayangan benda
telah dua kali benda aslinya. Jibril a.s. mendatanginya waktu maghrib di waktu yang
sama dengan kemarin, tidak berubah. Kemudian Jibril mendatanginya di waktu isya’
ketika sudah berlalu separuh malam, atau sepertiga malam, lalu Rasulullah shalat isya’.
Kemudian Jibril mendatanginya ketika sudah sangat terang, dan mengatakan, “Bangun
dan shalatlah.” Maka Rasulullah shalat fajar. Kemudian Jibril a.s. berkata, “Antara dua
waktu itulah waktu shalat.” (Ahmad, An-Nasa’i dan Tirmidzi. Bukhari mengomentari
hadits ini, “Inilah hadits yang paling shahih tentang waktu shalat.”)
Waktu-waktu yang dijelaskan dalam hadits di atas adalah waktu jawaz (boleh), dan
dalam kondisi udzur dan darurat, waktu shalat itu membentang sampai datang waktu
shalat berikutnya. Kecuali waktu shalat fajar yang habis dengan terbitnya matahari.
Seperti yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash bahwa Rasulullah saw.
bersabada, “Waktu zhuhur itu ketika matahari telah bergeser sampai bayangan
seseorang sama dengan tingginya, selama belum datang waktu ashar; dan waktu ashar
itu selama matahari belum menguning; waktu maghrib selama belum hilang awan
merah; waktu isya’ hingga tengah malam; dan waktu shubuh dari sejak terbit fajar
sehingga terbit matahari.” (Muslim)
Jika seorang muslim tertidur sebelum melaksanakan shalat fardhu atau lupa belum
melaksanakannya, maka ia wajib melaksanakannya ketika ingat, seperti yang pernah
disebutkan dalam hadits Rasulullah saw.
Makruh hukumnya shalat sunnah setelah shubuh sehingga terbit matahari, dan sesudah
ashar sehingga terbenam matahari. Sedangkan shalat fardhu, maka sah hukumnya tanpa
makruh. Dan menurut madzhab Syafi’i tidak makruh shalat sunnah pada dua waktu ini
jika ada sebab tertentu seperti tahiyyatul masjid. Sedangkan ketika matahari terbit,
terbenam, dan ketika tepat di tengah, maka hukum shalat di waktu itu tidak sah menurut
madzhab Hanafi, baik shalat fardhu maupun sunnah, baik qadha maupun ada’ (bukan
qadha). Dan menurut madzhab Syafi’i makruh hukumnya shalat sunnah tanpa sebab.
Kecuali jika sengaja shalat ketika sedang terbit atau saat terbenam, maka haram. Dan
menurut madzhab Maliki haram hukumnya shalat sunnah pada waktu itu meskipun ada
sebab. Tetapi diperbolehkan shalat fardhu baik qadha maupun ada’ pada saat terbit atau
terbenam matahari. Sedang ketika saat matahari berada tepat di tengah, maka
hukumnya tidak makruh dan tidak haram.
Adzan artinya pemberitahuan tentang telah datang waktu shalat. Lafadhnya sebagai
berikut.
( ا أكبر4x)، ( أشهد أن ل إله إل ا2x)، ( أشهد أن محمداا رسول ا2x) ( حيي على الصلةا2x) حيي على الفلحا
(2x)، ( ا أكبر2x) ل إله إل ا.
Adzan dan iqamat hukumnya sunnah muakkadah untuk melaksanakan shalat fardhu,
bagi munfarid maupun berjamaah, menurut jumhurul ulama. Keduanya hukumnya wajib
di masjid menurut imam Malik dan fardhu kifyaah menurut imam Ahmad.
Disunnhkan bagi yang mendengar adzan untuk mengucapkan seperti yang diucapkan
oleh muadzdzin kecuali dalam bacaan ( حيي علىَ اًلصلة2x) ( حيي علىَ اًلفلح2x) yang dijawab
dengan : ل حوُصل وُل قوُة إصل باًل اًلعلي اًلعظيkemudian bershalawat atas Nabi sesudah adzan dan
mengucapkan : وُاًبعثه مقاًماً م محموُداًم،ت حمحيمداًم اًلوُسيِلة وُاًلفضيِلة
ب هذئه اًلدعوُئة اًلتاًصمئة وُاًلصلئة اًلقاًئمئة آ ئ
اًللهصم ر ص
اًلذي وُعدته
“Ya Allah Pemilik panggilan yang sempurna ini, dan shalat yang tegak. Berikan kepada
Nabi Muhammad wasilah dan keutamaan, berikan kepadanya tempat yang terpuji yang
telah Engkau janjikan.” (Bukhari)
Disunnahkan berdoa antara adzan dan iqamat. Di antara doa ma’tsur dalam hal ini
adalah yang diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqas, dari Rasulullah saw, “Barangsiapa yang
mengucapkan ketika mendengar mu’adzdzin:
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa, Tiada sekutu baginya. Dan
bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusannya. Aku ridha Allah sebagai Tuhanku,
Islam agamaku, Nabi Muhammad saw, sebagai utusan. Akan diampuni dosa-dosanya.”
(Muslim dan Tirmidzi)
Disunnahkan ada jarak antara adzan dan iqamat untuk memberi kesempatan orang hadir
ke masjid. Diperbolehkan juga iqamat selain orang yang adzan[5]. Disunnahkan bagi yang
mendengar qamat untuk mengucapkan seperti yang dikatakan oleh orang yang qamat.
Sebagaimana disunnahkan pula berdiri ketika orang yang qamat mengucapkan قد قاًمت
اًلصلة
Diajarkan bagi orang yang mengqadha shalat yang terlewatkan untuk adzan dan iqamat.
Dan jika shalat yang ditinggalkan itu banyak, maka adzan untuk shalat pertama dan
qamat untuk setiap shalat.
Diperbolehkan berbicara antara qamat dan shalat; dan tidak mengulang iqamat
meskipun penghalang itu panjang. Hal ini ditetapkan dalam As-Sunnah seperti dalam
riwayat Bukhari.
Wanita tidak disunnahkan adzan dan iqamat. Tetapi tidak apa-apa jika melakukannya.
Aisyah r.a. pernah melakukannya seperti yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi.
[1] Hujjah Imam Syafi’i adalah hadits Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. shalat shubuh
pertama di awal waktu, lalu shalat hari berikutnya di akhir waktu, kemudian shalat
Rasulullah pada saat masih gelap setelah itu sampai wafat (Al-Baihaqi, dengan sanad
shahih). Juga hadits Aisyah r.a., “Bahwasannya para wanita mukminah kembali ke
rumahnya setelah shalat shubuh bersama Nabi Muhammad saw., mereka tidak dapat
dikenali karena masih gelap.” (Al-Jama’ah).
[2] Dalil madzhab Hanafi adalah hadits: Akhirkan shalat fajar, sesungguhnya ia lebih
besar pahalanya.” (Al-Khamsah dan disahihkan oleh Tirmidzi).
[3] Adalah Rasulullah jika di saat sangat dingin menyegerakan shalat dan jika di waktu
sangat panas menunda sehingga agak dingin ketika shalat.
[4] Hadits Rafi’ bin Khudaij, “Kami shalat maghrib bersama Rasulullah saw., ketika selesai
shalat di antara kami masih melihat letak sandalnya.” (Muslim)
Sumber: https://www.dakwatuna.com/2008/11/10/1389/fiqih-shalat/#ixzz55X5tFJjS
https://www.youtube.com/watch?v=MsKq1czjACg
https://www.youtube.com/watch?v=S3txrmyYgEI
https://www.youtube.com/watch?v=z6mWfsmqnRs