Anda di halaman 1dari 11

ASPEK MEDIKOLEGAL IDENTIFIKASI PADA KECELAKAAN

TRANSPORTASI

Kecelakaan merupakan serangkaian peristiwa dari kejadian-kejadian yang tidak


terduga sebelumnya, dan selalu mengakibatkan kerusakan pada benda, luka atau
kematian. Lebih dari 1,2 juta orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan di dunia,
cedera akibat kecelakaan menjadi penyebab utama kematian secara global. Kecelakaan
lalu lintas merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang mempengaruhi
semua sektor kehidupan, negara-negara dengan tingkat pengahasilan rendah dan
menengah kehilangan sekitar 3% dari APBN akibat kecelakaan lalu lintas.3
Di Indonesia, jumlah kematian pada kecelakaan lalu lintas sebanyak 6 dari
100.000 populasi pada tahun 2000. Pada tahun 2009, angka kematian meningkat menjadi
8,5 per 100.000 populasi (Gambar 9). Pengendara kendaraan roda dua atau roda tiga
memiliki angka kematian paling tinggi, sedangkan angka kematian terbanyak kedua dan
ketiga adalah penumpang bus, dan pejalan kaki, masing-masing (Gambar 10).2

Jumlahkecelakaanpesawatudarameningkatdua kali lipatdalamperiodeduatahunterakhir, atau


2014 hingga 2016.Informasitersebuttercantumdalam data yang
dirilisolehKomiteNasionalkeselamatanTransportasi (KNKT) pada November 2016 lalu.Menurut
KNKT, jumlahkecelakaanpesawatudarapada 2014 sebanyaksembilankejadian. Pada 2015,
angkanyanaikmenjadi 11 kejadian.Hinggaakhirnyapada 2016 inimenjadi 15 kejadian,
ataunaiklebihdaridua kali lipatdibanding 2014 saat era
menteriKabinetKerjaPresidenJokowidimulai.
data tahun 2017 hingga awaltahun 2018, sepertinyakasuskecelakaankonstruksibegitutinggi.
Tercatat 14 kecelakaankonstruksiterjadipadatahun 2017-2018 seperti yang
dirangkumoleh katigaku.top. Hinggaakhirnyapemerintahmemutuskanuntukmemberhentika
nsementaraPekerjaanKonstruksiJalanLayang yang
tertuangpadasuratdariMenteriPekerjaanUmumdanPerumahan Rakyat Republik Indonesia
bernomor IK.01.01-MN/248. Tak lama kemudian, pelayaran Indonesia
menjadisorotankarenadalamwaktudekatterjadikasuskecelakaantransportasipelayaran.Duac
ontoh yang menjadisorotanakhir-akhiriniadalahtenggelamnya KM SinarBangun di
perairanDanau Toba, Sumatera Utara padaSenin 18 Juni
2018.DirjenPerhubunganUdaraAgusSantosomengatakankorbanhilangpenumpang KM
SinarBangun yang tenggelamberjumlah 186.Sebanyak 94 orang teridentifikasi, sedangkan
92 orang belumdiketahuiidentitasnya.Kemudian yang kedua KM Lestari Maju yang kandas
di perairanSelayar, Sulawesi Selatan pada (3/7/2018)

Ilmu kedokteran kehakiman dan medikolegal (kedokteran forensik) memanfaatkan ilmu


kedokteran untuk membantu penegak hukum dalam menangani kasus hukum. Hukum dan
fungsinya mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam peristiwa
kecelakaan, haruslah dipisahkan antara pelanggaran dan kejahatan. Karena untuk melakukan
penuntutan didepan hukum maka kejadian yang terjadi haruslah merupakan kejahatan,
sementara pada kecelakaan , kejahatan yang terjadi merupakan kejahatan yang tidak
disengaja atau dikarenakan oleh tindakan kelalaian atau kealpaan.3

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Defenisi Identifikasi


Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup maupun mati,
berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut. Identifikasi juga diartikan sebagai suatu
usaha untuk mengetahui identitas seseorang melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak
dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan
orang yang hilang yang diperkirakan sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu.
Identifikasiforensik merupakan usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan
untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan proses peradilan.

Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah
yang rusak, membusuk, hangus terbakar dan kecelakaan masal, bencana alam, huru hara yang
mengakibatkan banyak korban meninggal, serta potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain
itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak,
bayitertukar, atau diragukan orangtua nya.Identitas seseorang yang dipastikan bila paling sedikit
dua metode yang digunakan memberikan hasil positif.

Dengan diketahuinya jati diri korban, penyidik akan lebih mudah membuat satu daftar dari
orang-orang yang patut dicurigai. Daftar tersebut akan lebih diperkecil lagi bila diketahui saat
kematian korban serta alat yang dipakai oleh tersangka pelaku kejahatan. -
https://caridokumen.com/download/makalah-identifikasi-_5a450dd7b7d7bc7b7a9f8c8e_pdf

II.2 Definisi Kecelakaan Masal

Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya
derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari
luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI,
bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi,
kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang
bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Undang-undang Nomor
24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Secara singkat, bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat
menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah cukup banyak [2, 3, 4, 5]. Berbagai
literatur memiliki patokan yang berbeda mengenai jumlah korban yang dapat dikatakan
massal. Dari sudut pandang medis, 25 orang, menurut Popzacharieva dan Rao, 10 orang [6,
7] Silver dan Souviron menyatakan patokan ini tentunya akan berbeda-beda tergantung dari
lokasi bencana, terkait dengan sumber daya dan fasilitas yang tersedia. Sebagai contoh,
jumlah lemari pendingin yang tersedia untuk menyimpan jenazah akan bervariasi dari 4
hingga 400 unit antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya [2] Dengan demikian,
menurut Hadjiiski, suatu bencana digolongkan sebagai bencana massal apabila jumlah korban
melebihi 10% dari kapasitas tempat yang tersedia di masing-masing rumah sakit [6]. Bencana
itu sendiri ada yang merupakan bencana alam, seperti banjir, gempa, longsor, gunung
meletus, tsunami, serta angin topan. Ada pula bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia,
misalnya ledakan bom dan kecelakaan transportasi seperti pesawat jatuh, atau kapal
tenggelam [2, 3, 4, 5, 6] Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah
memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi
terhadap mayat yang tidak dikenal [8]. Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi
hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan
keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum dengan meninggalnya seseorang seperti
waris, asuransi, serta pada kasus kriminal maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah
meninggal dunia [3, 4, 9].

II.3 aspek medikolegal identifikasi

DVI diterapkan pada bencana yang menyebabkan korban massal, seperti


kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal
laut dan aksi terorisme. Selain itu juga dapat diterapkan pada bencana alam, seperti
gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.

Rujukan Hukum :

a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
c. UU No.23 tentang kesehatan
d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim
Identification
f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004
g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003
II.4 DVI

1. Definisi DVI
DVI atau Disaster Victim Identification adalah satu definisi yang diberikan
sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal
secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu kepada standar baku
interpol.

Yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan DVI adalah polisi didukung oleh
para ahli seperti patologi forensik, odontologi forensik, ahli sidik jari, ahli DNA,
fotografer, dan tim bantuan lain. Prosedur DVI diperlukan dalam menegakkan
HAM, merupakan bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan,
serta untuk kepentingan hukum (asuransi, warisan, dan status perkawinan).

Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-
mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Tujuan penerapan DVI adalah dalam rangka mencapai identifikasi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum, sempurna dan paripurna dengan semaksimal
mungkin sebagai wujud dari kebutuhan dasar hak asasi manusia,dimana seorang
mayat pempunyai hak untuk dikenali.

DVI diterapkan pada bencana yang menyebabkan korban massal, seperti


kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal
laut dan aksi terorisme. Selain itu juga dapat diterapkan pada bencana alam, seperti
gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.

2. Tahap DVI
Proses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya mempunyai
keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut yaitu :

a. Fase I – TKP (The Scene)


Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa
(TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama
adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi
resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk
memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam
penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung
jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu
(kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini
mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :
1) Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat
untuk area bencana
2) Perkiraan jumlah korban
3) Keadaan mayat
4) Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI
5) Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI
6) Metode untuk menangani mayat
7) Transportasi mayat
8) Penyimpanan mayat
9) Kerusakan properti yang terjadi
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs
bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan
langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.

Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus


mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak.
Langkah – langkah tersebut antara lain adalah :

1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak


berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll),
misalnya dengan memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa
saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang
terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi korban.

Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI


mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga
langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label
dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.

b. Fase II – Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)


Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang
memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap–
lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah yang
dilakukan diantaranya meliputi :
1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban
2) Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam
jika diperlukan
3) Pemeriksaan sidik jari
4) Pemeriksaan rontgen
5) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan
ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang
yang berbeda
6) Pemeriksaan DNA
7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga
cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data
primer dan data sekunder sebagai berikut :

1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)


2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi medis)
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan
Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu minimal apabila
salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dari
identifikasi sekunder.

Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus
dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska kematian
pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin
untuk memperlambat pembusukan.

c. Fase III – Ante Mortem


Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum
kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang
yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban
semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas
luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa
hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi –
informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan
korban.
d. Fase IV – Rekonsiliasi
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data
ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses
identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai
dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila
data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau
telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka
identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan
sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem
jenazah.
e. Fase V – Debriefing
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan
kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk
dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem
jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai
dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi
tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah
dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi
tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.

3. Metode Identifikasi
Secara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan data ante
mortem dengan post mortem yang didapatkan dari :

a. Bukti sirkumstansial (pakaian, perhiasan, dan isi kantong)


b. Bukti fisik, yang diperoleh dari :
1) Pemeriksaan eksternal, misal : deskripsi secara umum, maupun sidik jari.
2) Pemeriksaan internal, misal : bukti medis, hasil pemeriksaan gigi geligi
(dental record), hasil labolatorium, dan identifikasi genetik.

4. Identifikasi Korban
Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data :Data orang
hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian namun terdaftar sebagai korban
selamat)

a. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian


Dalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk beberapa tim atau
unit, diantaranya :

a. Bagian Korban Hilang (Missing Brunch), terdiri dari :


1) Unit pengumpulan data ante-mortem (Ante-mortem record unit)
2) Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)
3) Daftar korban (Victim list)
b. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery), terdiri dari :
1) Koordinator tim pemulihan (Recovery Co-ordinatory)
2) Tim pencari (Search teams)
3) Tim dokumentasi (Photography)
4) Tim pemulihan jenazah (Body Recovery team)
5) Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property Recovery team)
6) Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue
Station)
c. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch), terdiri dari :
1) Unit keamanan (Security unit)
2) Unit transportasi jenazah (Body movement unit)
3) Unit pengumpul data post-mortem (Post-mortem record unit)
4) Unit pemeriksa jenazah (Body Examination unit), terdiri dari:
a) Unit dokumentasi (Post-mortem photography unit)
b) Unit sidik jari (Post-mortem property unit)
c) Unit barang-barang pribadi (Post-mortem property unit)
d) Unit media (Post-mortem medical unit)
e) Unit pemeriksa gigi geligi (Post-mortem dental unit)
d. Pusat Identifikasi (Identification Centre), terdiri dari :
1) Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre file section)
2) Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre specialized
section), terdiri dari :
a) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)
b) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print)
c) Bagian penyelidkan barang-barang pribadi (Property section)
d) Bagian penyelidikan medis (Medical section)
e) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)
f) Bagian analisis DNA (DNA analysis)
g) Badan identifikasi (Identification board)
h) Bagian pelepasan jenazah (Body realese section)

II.5 contoh kasus dan kesulitan

Proses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post Mortem Examination, Ante
Mortem Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing.

Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilahan antara korban
hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang dapat mengarahkan pada
pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia.
Pada korban mati diberikan label sebagai penanda. Label ini harus memuat informasi tim
pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam
proses penyidikan selanjutnya

Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini dapat
berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli
identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari
data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh,
dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan
untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar
Interpol.

Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang
menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan data
sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang
terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lainlain),
data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak
berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya.
Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari
keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar
Interpol.

Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase rekonsiliasi apabila
terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1
macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers.

Fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses
identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi
berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil
identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus dilakukan di masa yang akan datang, apa yang
bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa
yang ditemui dan apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan masalah yang sama di
kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib dibahas pada saat debriefing [10].
Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada setiap kasus
bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan kendala yang ditemui di lapangan
untuk menerapkan prosedur DVI.

Pada kasus tenggelamnya kapal Rimba III, mayat sudah dalam kondisi membusuk lanjut.
Proses identifikasi sesuai kelima fase tersebut menemui hambatan karena polisi mengirimkan
mayat ke instalasi kamar jenazah dengan Surat Permintaan Visum yang sudah berisi identitas
korban. Identifikasi dilakukan oleh pihak penyidik bersamasama dengan keluarga di TKP
berdasarkan properti (pakaian, tas, dompet, perhiasan) yang melekat pada tubuh korban.
Akibat tindakan tersebut, keluarga menolak dilakukan pemeriksaan terhadap korban dengan
alasan sudah dikenali. Properti yang ada pada jenazah juga sudah langsung diserahkan pada
keluarga di TKP, sehingga sempat terjadi insiden tertukarnya jenazah. Hal ini dapat diatasi
setelah dilakukan pemeriksaan fisik terhadap mayat korban.

Pada kasus jatuhnya pesawat hercules di Magetan, tim DVI mengalami kendala karena ada
kurang koordinasi antara fase TKP dengan fase II & III; pemeriksaan fase II dan fase III
dilakukan oleh orang yang sama secara bersama-sama dan melibatkan keluarga; ini
menimbulkan ketidakakuratan dalam proses identifikasi, sehingga pada akhir pemeriksaan
didapatkan 4 mayat yang tidak teridentifikasi terdiri dari 2 anak, 1 wanita dewasa, serta 1
laki-laki dewasa. Data antemortem yang tersisa terdiri dari 2 anak, 1 wanita dewasa, dan 1
laki-laki dewasa namun tidak cocok dengan data postmortem jenazah.

Pada kasus Identifikasi korban gempa di Padang, fasilitas menjadi kendala yang utama
dimana pada 3 hari pertama tidak ada listrik dan sarana lain untuk mempreservasi jenazah,
sehingga kondisi mayat membusuk pada saat telah teridentifikasi. Hal ini sempat
menimbulkan penolakan dari keluarga. Dari ketiga kasus tersebut, fase kelima (debriefing)
tidak dilaksanakan. Kesulitan yang dihadapi adalah mengumpulkan kembali para anggota tim
yang berasal dari seluruh wilayah di Indonesia untuk melakukan evaluasi kinerja.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Identifikasi dalam bidang forensik dilakukan untuk membantu penyidik dalam
melakukan penetapan identitas seseorang. Dalam proses identifikasi diperlukan dua
aspek, yaitu aspek pengumpulan data ante-mortem maupun post-mortem dan aspek
komparasi antara kedua data tersebut. Data yang digunakan untuk menentukan
identitas jenazah meliputi data identifikasi primer (sidik jari, odontologi, dan DNA)
dan data identifikasi sekunder (pakaian, perhiasan, kartu identitas, foto, data medis,
dll).
2. DVI adalah sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana
massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu kepada
standar baku interpol. Terdapat lima fase dalam prosedur DVI yaitu, TKP,
pengumpulan informasi post-mortem, ante-mortem, perbandingan data ante-mortem
dan post-mortem, dan debriefing. Seseorang positif teridentifikasi apabila memenuhi
salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dari
identifikasi sekunder.
3. Pelaksanaan DVI pada bencana letusan merapi dengan membuka posko pengaduan
di RS Sardjito. Metode identifikasi primer menggunakan foto gigi atau rekam gigi
dan sampel DNA dari seluruh jenazah sehingga bila ada keluarga yang melakukan
tes tersebut, tim DVI siap melakukannya. Identifikasi sekunder menggunakan
properti yang menempel pada tubuh korban. Sedangkan pelaksanaan DVI pada
bencana bom Bali 1, metode identifikasi sekunder sulit dilakukan sehingga
digunakan data identifikasi primer seperti odontologi, serologis, dan DNA.

Anda mungkin juga menyukai