Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kolestasis adalah terganggunya aliran empedu bahkan sampai berhentinya


aliran empedu tersebut. Secara klinis dapat diketahui dengan adanya ikterus.
Penyakit yang menyebabkan perlambatan atau berhentinya aliran empedu cukup
banyak sehingga sering menyebabkan kesukaran dalam diagnosa. Sedangkan
kepastian diagnosa adalah penting sekali karena berhubungan dengan pengobatan
yang berbeda, apakah memerlukan tindakan operasi atau hanya medikamentosa.1
Kolestasis masih merupakan permasalahan di bidang ilmu kesehatan pada
saat sekarang ini dikarenakan spektrum penyebabnya sangat luas dengan gejala
klinis serupa. Kemajuan di bidang teknik diagnosa dengan adanya ultrasonografi,
skintigrafi, pemeriksaan histopatologis, dan biologi molekuler tidak serta merta
dapat menegakkan diagnosa dengan cepat sebab pada kelainan ini tidak ada
satupun pemeriksaan yang superior. Penyebab utama kolestasis adalah hepatitis
yang berupa proses inflamasi nonspesifik jaringan hati karena gangguan
metabolik, endokrin, dan infeksi intra-uterin. Penyebab lainnya adalah obstruksi
saluran empedu ekstraheptik dan sindroma paucity intrahepatik. Kerusakan
fungsional dan struktural dari jaringan hati disamping disebabkan primer oleh
proses penyakitnya, juga disebabkan sekunder oleh adanya kolestasis itu sendiri
dimana dalam hal ini yang sangat berperan adalah asam empedu hidrofobik
dengan kapasitas detergenik. Salah satu tujuan diagnostik adalah membedakan
dengan segera apakah kolestasis disebabkan proses intrahepatik atau
ekstrahepatik. Pada kelainan intrahepatik dapat dilakukan tindakan konservatif
dan medikamentosa sedang pada kelainan ekstrahepatik terutama atresia bilier,
usia saat dilakukan pembedahan sangat menentukan prognosis.

A. Tujuan
1. Mengetahui definisi kolestasis

1
2. Mengetahui klasifikasi kolestasis
3. Mengetahui patofisiologi dan etiologi kolestasis
4. Mengetahui penatalaksanaan kolestasis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI SISTEM HEPATOBILIER

2
B. DEFINISI
Kolestasis adalah gangguan pembentukan, sekresi dan pengaliran empedu
mulai dari hepatosit, saluran empedu intrasel, ekstrasel dan ekstra-hepatal. Hal ini
dapat menyebabkan perubahan indikator biokimia, fisiologis, morfologis, dan
klinis karena terjadi retensi bahan-bahan larut dalam empedu. Dikatakan
kolestasis apabila kadar bilirubin direk melebihi 2.0 mg/dl atau 20% dari bilirubin
total.2
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam
jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari
hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi
klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu
seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol di dalam darah dan jaringan tubuh.
Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu
pada sel hati dan sistem bilier.

Kolestasis merupakan respon alternatif atau bersamaan terhadap jejas.


Kolestasis ini didefinisikan sebagai akumulasi dari bahan-bahan dalam serum

3
yang secara normal diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, kolesterol, asam
empedu, dan elemen renik. Biopsi hati menampakkan akumulasi empedu dan
pigmen empedu di parenkim. Pada obstruksi ekstrahepatik, pigmen empedu
mungkin bisa dilihat di duktus biliaris intralobularis atau seluruh parenkim
sebagai danau-danau empedu atau infark. Kolestasis bisa juga terlihat tanpa bukti
adanya obstruksi duktus biliaris apabila ada jejas hepatosit atau perubahan pada
fisiologi hati menyebabkan pengurangan kecepatan sekresi larut dan air. Agaknya
penyebab dapat meliputi perubahan pada ultrastruktur atau sitoskeleton hepatosit,
perubahan pada organela yang menyebabkan sekresi empedu, perubahan dalam
aktivitas enzim, atau perubahan pada permeabilitas aparatus kanalikuler empedu.
Hasil akhirnya tidak bisa dibedakan secara klinis dari kolestasis obstruktif.2,3

C. PATOFISIOLOGI

Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan


merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu
mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi,
elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu
merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonyugasi merupakan
bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari
asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan basolateralnya
berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)
berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai
filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme
dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut ke dalam
empedu. Salah satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin
tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonjugasi yang larut
dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran basolateral,
dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi
bilirubin terkonjugasi yang larut air dan dikeluarkan ke dalam empedu oleh
transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran
bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit ke dalam
empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan

4
dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga
terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di
hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan
gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu
dan hiperbilirubinemi terkonjugasi.2
Terdapat 4 mekanisme dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi :
1. Pembentukan bilirubin berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati
3. Gangguan konyugasi bilirubin
4. Pengurangan eksresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intra
hepatik dan ekstra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional/mekanik.

Metabolisme Bilirubin
ERITROSIT Hemoglobin

Heme

 Hemoksigenase

Biliverdin

5
 Biliverdin - reductase

Bilirubin indirek (bebas)  Lipofilik

 kompleks bilirubin - albumin

Ambilian : protein - y ; protein – z


HATI
Konjugasi (glukuronil transferase)

Bilirubin direk (conjugated)  Hidrofilik


EMPEDU

Hidrolisis bakteri usus


USUS

SIKLUS
Bilirubin : enterohepatik

ENTEROHEPATIK
Sterkobilin

Urobilinogen

Metabolisme Bilirubin

6
Penyebab ikterus kholestatik bisa intrahepatik atau ekstra hepatik. Penyebab
intra hepatik adalah inflamasi, batu, tumor, kelainan kongenital duktus biliaris.
Kerusakan dari sel paremkim hati menyebabkan gangguan aliran dari garam
bilirubin dalam hati akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan ke dalam
duktus hepatikus karena terjadinya retensi dan regurgitasi. Jadi akan terlihat
peninggian bilirubin terkonyugasi dan bilirubin tidak terkonjugasi dalam serum.
Penyumbutan duktus biliaris yang kecil intrahepatal sudah cukup menyebabkan
ikterus. Kadang-kadang kholestasis intra hepatal disertai dengan obstruksi
mekanis di daerah ekstra hepatal. Obstruksi mekanik dari aliran empedu intra
hapatal yang disebabkan oleh batu/hepatolith biasanya menyebabkan fokal
kholestasis, keadaan ini biasanya tidak terjadi hiper bilirubinemia karena
dikompensasi oleh hepar yang masih baik. Kholangitis supuratif yang biasanya
disertai pembentukan abses dan ini biasanya yang menyebabkan ikterus. Infeksi
sistemik dapat mengenai vena porta akan menyebabkan invasi ke dinding
kandung empedu dan traktus biliaris. Pada intra hepatik kholestasis biasanya
terjadi kombinasi antara kerusakan sel hepar dan gangguan metabolisme
(kholestasis dan hepatitis).2,3
Ekstra hepatik kholestatik disebabkan gangguan aliran empedu ke dalam
usus sehingga akibatnya terjadi peninggian bilirubin terkonyugasi dalam darah.
Penyebab yang paling sering dari ekstra hepatik kholestatik adalah batu di duktus

7
kholedekhus dan duktus sistikus, tumor duktus kholedekus, kista duktus
kholeskhus, tumor kaput pankreas, sklerosing kholangitis.

Perubahan Fungsi Hati pada Kolestasis


Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan
struktural:
A. Proses Transpor Hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas
dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonjugasi, asam
empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan
sinusoid terganggu.

B. Transformasi dan Konjugasi dari Obat dan Zat Toksik


Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan
menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi
dan konjugasi akan terganggu.

C. Sintesis Protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang
produksi serum protein albumin-globulin akan menurun.

D. Metabolisme Asam Empedu dan Kolesterol


Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam
empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi
menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan
penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi
bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar
kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan
eliminasi di usus menurun.

E. Gangguan pada Metabolisme Logam

8
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang
menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit
oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.

F. Metabolisme Cysteinyl Leukotrienes


Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif
dimetabolisir dan dieliminasi di hati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses
sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan
progresifitas kolestasis. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan
vaksokonstriksi pada ginjal.

G. Mekanisme Kerusakan Hati Sekunder


1. Asam Empedu
Terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati melalui
aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan kolesterol
dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan terganggu.
Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na+, K+-ATPase, Mg++-
ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu,
sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu.
Sistem transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang
mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl
leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah
asam empedu.
2. Proses Imunologis
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal
pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu
sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit.
Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier.

D. ETIOLOGI

9
Kolestasis Intrahepatik

a. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Lain-lain : Sindrom Zellweger

b. Anatomik
1. Hepatik fibrosis kongenital/ penyakit polikistik infantil
2. Penyakit Caroli
3. Sepsis
4. Hepatitis virus dan hepatitis karena obat
5. Mutasi transpor empedu
6. Sirosis bilier primer
7. Reaksi penolakan transplantasi hati

Gambar 1. Penyebab ikterus obstruksi secara anatomi


c. Kelainan Metabolik
1. Kelainan metabolisme asam amino, lipid, karbohidrat, asam
empedu
2. Penyakit metabolik lain : def α1 – antitripsin, hipotiroid,
hipopituitarisme
d. Infeksi
1. Hepatitis virus A, B, C
2. TORCH, reovirus, dll
e. Genetik/ kromosomal
1. Sindrom Alagile
2. Sindrom Down, Trisomi E
f. Lain-lain

10
Nutrisi parenteral total, histiositosis x, renjatan, obstruksi intestinal, sindrom
polisplenia, lupus neonatal.

Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik dan upaya diagnostiknya

Penyakit Strategi Diagnostik Utama


IgM-anti toksoplasma
1. Infeksi IgM-anti rubella
Kultur virus urin, IgM-anti CMV
*Infeksi congenital Mikroskop elektron/ kultur virus vesikel
- Toksoplasma STS, VDRL, FTA-ABS, Ro Tulang panjang
- Rubella Serologi
- Cytomegalovirus HBsAg, IgM-antiHBc, HBV-DNA
- Herpes simpleks HCV-RNA (RT-PCR)
- Sifilis Anti-HIV, immunoglobulin, CD4
- Human herpesvirus-6, herpes IgM antibody
zoster Giant cell hepatitis pada biopsi hati
- Hepatits B Mantoux, radiologi toraks
- Hepatitis C Kultur darah
- Human immunodeficiency virus Serologik, kultur virus cairan likuor
- Parvovirus B19
- Syncytial giant cell hepatitis
* Infeksi lain
- Tuberkulosis
- Sepsis
- Sepsis virus enterik (echoviruses,
Coxsackie A dan B, adenovirus)
2. Kelainan genetik Kariotip
- Trisomi 18 (21), cat eye syndrome GGT, tes genetik
- Penyakit Byler

3. Kelainan endokrin Kortisol, TSH ↓, T4↓


- Hipopituitarism (displasia septo- TSH↑, T4↓, free T4↓, T3↓
optik)

11
- Hipotiroidism

4. Paucity duktus biliaris Ekokardiogram, embriotokson posterior, “butterfly


- Sindrom Alagille vertebrae”
Paucity pada biopsi
- Paucity duktus non sindromik

5. Kelainan struktur USG, kolangiografi


- Carolli disease
6. Kelainan metabolik Kadar alfa 1 antitripsin serum, tipe PI
- Def. alfa 1 antitripsin Sweat chloride, immunoreactive trypsin
- Fibrosis kistik Galaktose 1-6 phospate uridyltransferase
- Galaktosemia Tirosin serum, methionin, AFP, suksinilaseton urin
- Tirosinemia Biopsi hati: mik.elektron, aktivitas enzim
Biopsi hati
- Fruktosemia herediter Aspirasi sum –sum tulang, spingomielinase
- Glycogen storage disease tipe IV Storage cells pada aspirasi sum-sum tulang, hati; biopsi
- Niemann-Pick Tipe A rektum
- Niemann-Pick tipe C Radiologi kel.adrenal
As.empedu urin
- Penyakit Wolman Gambaran very long chain fatty acid
- Kel.sintesis as.empedu primer
- Sindrom Zellweger

7. Imunologik Antibodi anti-Ro (bayi dan ibu)


- L.E. neonatal Coombs’ test, giant cell hepatitis
- Hepatitis neonatal dengan AHA

8. Toksik Riwayat TPN


- TPN obat
- Obat

Kolestasis Ekstrahepatik

12
a. Atresia bilier
b. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
c. Massa (kista, neoplasma, batu)
d. Inspissated bile syndrome , dll

Saluran empedu ekstrahepatik


Biliary atresia
Choledochal cyst dan choledochocele
Biliary hipoplasia
Choledocholithiasis
Bile duct perforation
Neonatal sclerosing cholangitis
Saluran empedu intrahepatik
Syndromic paucity
(sindrom Alagille, mutasi pada JAGGED1)
Nonsyndromic Paucity
Hypothyroidism
Bile duct disgenesis
Congenital hepatic fibrosis
Ductal plate malformation
Polycystic kidney disease
Caroli’s disease
Hepatic cyst
Cystic fibrosis
Langerhans cell histiocytosis
Hyper-Ig-M syndrome
Hepatocytes
Sepsis-associated cholestasis
Neonatal hepatitis
Viral infections
Hepatitis B
Cytomegalo virus (juga menginfeksi cholangiocytes)

E. Klasifikasi4,6

Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi :


1. Kolestasis Ekstrahepatik, Obstruksi Mekanis Saluran Empedu
Ekstrahepatik
Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat.
Merupakan kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya
pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu

13
intrahepatik. Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis,
infeksi virus terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik,
iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan
berat badan lahir, aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah
berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang
lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi dini dari
kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan
hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2
bulan. Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik
disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu
intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin
dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak
menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier.
Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus
dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus
empedu didalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan
dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum
dilakukan operasi Kasai.
Jika terjadi obstruksi empedu, perubahan hepar dapat terjadi dengan cepat
dan ikterus dapat terlihat dalam 36 jam. Setelah 2 minggu akan ditemukan ruptur
dari duktus interlobuler. Pada kolangitis akan ditemukan lekosit polimorfonuklear
pada kandung empedu dan sinusoid. Ikterus obstruktif ekstrahepatik kemungkinan
disebabkan oleh adanya obstruksi fisik pada saluran empedu pada umumnya
diluar hati, menimbulkan gejala kolestasis akut.
Kolestasis ekstrahepatik disebabkan oleh :
· Batu empedu
· Carsinoma pancreas dan ampula
· Striktur saluran empedu
· Cholangiocarsinoma
· Sklerosing Cholangitis primer atau sekunder
Ikterus obstruksi ekstra hepatik memberikan 3 perubahan klasik pada traktus
portal :

14
1. Oedema jaringan ikat
2. Proliferasi duktus
3. Infiltrasi neutrofil
Gambaran ini dinamakan “ductular reaction”. Pada gambaran mikroskopik
ikterus obstruktif selalu ditemukan cairan empedu karena adanya peningkatan
tekanan di traktus porta, sehingga terjadi reaksi duktuler yang salah satunya
adalah proliferasi duktus bilier yang baru. Proliferasi duktus dipengaruhi oleh
peningkatan perfusi di daerah perivaskuler pleksus bilier, stimulasi reseptor
adrenergik dan dopaminergik yaitu taurocholate dan taurolithocholate dan
peningkatan AMP siklik dan interleukin 6. Infiltrasi netrofil akan terjadi pada
ikterus obstruksi dengan adanya reaksi sitokin kompleks dan chemokine.
Gambaran periduktus dan fibrosis seperti kulit bawang (onion-skin fibrosis) dapat
ditemukan pada kolestasis ekstrahepatik dimana terjadi obstruksi aliran empedu
dalam waktu yang lama. Keadaan ini dapat juga terjadi pada Primary Sclerosing
Cholangitis. Pada keadaan ikterus obstruktif yang disebabkan oleh batu empedu,
striktur empedu atau karsinoma pankreas, gambaran klinik jelas dengan ikterus
progresif dan peningkatan kadar alkali fosfatase serum dan bilirubin serum.
Diagnosis umumnya tegak dengan pemeriksaan Ultrasonografi dengan konfirmasi
pada saat tindakan operasi.

Primary Sclerosing Cholangitis


Primary sklerosing cholangitis terjadi penyempitan dari saluran empedu
karena adanya stenosis dan dilatasi duktus bilier intrahepatik dan ekstrahepatik.
Karakteristik Sklerosis kolangitis primer adalah peradangan/inflamasi kronik pada
saluran empedu (periduktus ekstra hepatik) yang menyebabkan fibrosis obliterasi
dan striktur pada sistem bilier. Gambaran patologi anatomi tampak infiltrasi pada
zona portal oleh limfosit besar, sel polimorfonuklear, kadang makrofag dan
eosinofil. Pada duktus interlobuler tampak inflamasi periduktus. Tahap lanjut
gambaran fibrosis pada traktus portal sampai duktus bilier yang kecil (“onion skin
appearance”). Diagnosis pasti jika ditemukan pengurangan jumlah duktus bilier,
proliferasi duktus dan deposisi substansi cooper dengan “piecemeal necrosis”.

15
2. Kolestasis Intrahepatik
a. Saluran Empedu
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan (b)
Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran empedu
intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik
(foregut) maka kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya saluran
intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja. Beberapa kelainan intrahepatik
seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai saluran
ekstrahepatik. Kelainan yang disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing
kolangitis, Caroli’s disease mengenai kedua bagian saluran intra dan ekstra-
hepatik. Karena primer tidak menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai
dengan gangguan fungsi hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal
koagulasi masih dalam batas normal. Serum alkali fosfatase dan GGT akan
meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai saluran empedu yang
besar dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda
hipertensi portal.
Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat
neonatal dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik.
Dinamakan paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract.
Contoh dari sindromik adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal
dominan disebabkan haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1. Sindroma ini
ditemukan pada tahun 1975 merupakan penyakit multiorgan pada mata (posterior
embryotoxin), tulang belakang (butterfly vertebrae), kardiovaskuler (stenosis
katup pulmonal), dan muka yang spesifik (triangular facial yaitu frontal yang
dominan, mata yang dalam, dan dagu yang sempit). Nonsindromik adalah paucity
saluran empedu tanpa disertai gejala organ lain. Kelainan saluran empedu
intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis neonatal, sindroma hiper IgM,
sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan kerusakan pada saluran empedu.

b. Kelainan Hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan
pembentukan dan aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam

16
empedu yang sedikit, fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa
asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi merupakan
penyebab utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya kolestasis
merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada
sepsis.
Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari
neonatal hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan
genetik, endokrin, metabolik, dan infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran
histologis yang serupa yaitu adanya pembentukan multinucleated giant cell
dengan gangguan lobuler dan serbukan sel radang, disertai timbunan trombus
empedu pada hepatosit dan kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya
tidak dipakai sebagai diagnosa akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus,
bakteri, parasit, gangguan metabolik tidak dapat ditemukan.

F. MANIFESTASI KLINIK

Tanpa memandang etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis adalah


ikterus, tinja akholis, dan urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul
manifestasis klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu dan
bilirubin. Dibawah ini bagan yang menunjukkan konsekuensi akibat terjadinya
kolestasis.

17
G. DIAGNOSIS2,3,4

Tujuan utama diagnosis kolestasis adalah membedakan antara kolestasis


intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini obstruksi bilier
ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis intrahepatik
seperti sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan
medikamentosa.

Anamnesis

a. Adanya ikterus, tinja akolis yang persisten harus dicurigai adanya penyakit hati
dan saluran bilier.

b. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau
berat badan lahir rendah. Sedang pada atresia bilier sering terjadi pada anak

18
perempuan dengan berat badan lahir normal, dan memberi gejala ikterus dan
tinja akolis lebih awal.

c. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning.

d. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar


merupakan suatu kelainan genetik/metabolik (fibro-kistik atau defisiensi α1-
antitripsin).

Pemeriksaan fisik
Ikterus merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada pasien dengan
kolestasis, dan merupakan pertanda awal untuk mendiagnosis kolestasis. Pada
umumnya gejala ikterik akan muncul pada pasien apabila kadar bilirubin sekitar 7
mg/dl. Pemeriksaan abdomen bisa ditemukan adanya hepatomegali, apabila
didapatkan kosistensi hepar keras, tepi tajam, dan permukaan noduler, hal tersebut
dapat diperkirakan hepar sudah mengalami fibrosis atau sirosis.

Hepar yang teraba pada daerah epigastrium maka dapat dicerminkan sebagai
sirosis. Rasa nyeri tekan pada palpasi merupakan mekanisme peregangan dari
kapsula Glissoni yang disebabkan karena edema. Pasien dengan kolestasis dapat
dijumpai juga adanya splenomegali, perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin K, urin berwarna gelap seperti teh, tinja warnanya pucat (akholik), sampai
bisa didapatkan pasien dengan gagal tumbuh.

Pemeriksaan Penunjang

Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu


pemeriksaan :

A. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Rutin

Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen


bilirubin untuk membedakannya dari hiper-bilirubinemia fisiologis. Selain itu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar
bilirubin direct < 4mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan peningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah

19
ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5 kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier.

Data laboratorik awal kolestasis pada

Kolestasis Kolestasis Intrahepatik


Ekstrahepatik
Bilirubin Total (mg/dl) 10,2±4,5 12,1±9,6
Bilirubin Direk (mg/dl) 6,2±2,6 8,0±6,8
SGOT <5XN >10 X N />800U/l
SGPT <5XN >10 X N />800U/l
GGT >5X N / >6000U/l < 5 X N/N

2) Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang


cukup sensitif, tetapi penulis lain mengatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih
baik dari pemeriksaan visualisasi tinja.

B. Pencitraan

1) Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang
menyebabkan kholestasis.meriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus
biliaris intra/ekstra hepatal sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah
ada ikterus onstruksi atau ikterus non obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah
duktus biliaris yang paling sering adalah bagian distal maka akan terlihat duktus
biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian diikuti pelebaran bagian
proximal. Untuk membedakan obstruksi letak tinggi atau letak rendah dengan
mudah dapat dibedakan karena pada obstruksi letak tinggi atau intrahepatal tidak
tampak pelebaran dari duktus biliaris komunis. Apabila terlihat pelebaran duktus
biliaris intra dan ekstra hepatal maka ini dapat dikategorikan obstruksi letak
rendah (distal). Pada dilatasi ringan dari duktus biliaris maka kita akan melihat
duktus biliaris kanan berdilatasi dan duktus biliaris daerah perifer belum jelas
terlihat berdilatasi. Gambaran duktus biliaris yang berdilatasi bersama-sama

20
dengan vena porta terlihat sebagai gambaran double vessel, dan imajing ini
disebut “double barrel gun sign” atau sebagai “paralel channel sign”. Pada
potongan melintang pembuluh ganda tampak sebagai gambaran cincin ganda
membentuk “shot gun sign”. Pada dilatasi berat duktus biliaris maka duktus
biliaris intra hepatal bagian sentral dan perifer akan sangat jelas terlihat berdilatasi
dan berkelok-kelok.

2) Schintigrafi Hati
Pemeriksaan skintigrafi ini berguna untuk mengevaluasi kelainan
obstruktif sistem bilier termasuk atresia bilier.

3) Pemeriksaan Kolangiografi
Kolangiografi intra-operatif dilakukan saat laparatomi eksplorasi pada
kasus yang kemungkinan atresia bilier tidak dapat disingkirkan dengan cara lain.
Pemeriksaan ERCP jarang dilakukan karena memerlukan anestesi umum, alat
yang canggih, serta keterampilan yang khususdan kemungkinan positif palsu yang
tinggi.

B. Biopsi Hati

Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat


diandalkan. Di tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi
diagnostiknya mencapai 95% sehingga dapat membantu pengambilan keputusan
untuk melakukan la-paratomi eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan
operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh
diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus 100-
200 u atau 150-400 u maka aliran empedu dapat terjadi.

Kriteria Klinik Intrahepatik dan Ekstrahepatik4

21
H. DASAR TERAPEUTIK KOLESTASIS

Tujuan tatalaksana kolestasis adalah2 :

A. Memperbaiki aliran empedu dengan cara :


 Mengoreksi/mengobati etiologi kolestasis dengan operasi pada kolestasis
obstruktif dan medikamentosa pada kolestasis hepatoseluler yang dapat
diobati. Operasi portoenterostomi kasai untuk atresia bilier seyogyanya
dikerjakan pada umur < 6-8 minggu karena angka keberhasilannya
mencapai 80-90 %, sementara bila dilakukan pada umur 10-12 minggu
angka keberhasilannya hanya sepertiga.
 Menstimulasi aliran empedu dengan :
 Fenobarbital : dapat menginduksi enzim glukoronil transferase, sitokrom
P-450 dan NaKATPase. Dosisnya 3 – 10 mg/ kgBB/ hr dibagi dalam dua
dosis.

22
 Asam ursodeoksikolat : asam empedu tersier yang mempunyai sifat
hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu
primer serta sekunder. Jadi asam ursodeoksikolat merupakan competitive
binding terhadap asam empedu toksik, sebagai suplemen empedu,
hepatoprotektor serta bile flow inducer. Dosis : 10-30 mg/kgbb/hari.
 Kolestiramin  0,25 – 0,5 g/ kgBB/ hr
- Menyerap empedu toksik
- Menghilangkan gatal
 Rifampisin  10 mg/ kgBB/ hr
-  aktivitas mikrosom
- Menghambat ambilan empedu

B. Menjaga tumbuh kembang seoptimal mungkin dengan :


 Terapi nutrisi
- Formula MCT ( medium chain trigyceride ), menghindarkan
makanan yang banyak mengandung kuprum.
 Vitamin yang larut lemak A,D,E,K
- A 5.000 – 25.000 U/ hr
- D3 0,05 – 0,2 μg/ kgBB/ hr
- E 25 – 50 IU/ kgBB/ hr
- K1 2,5 – 5 mg/ 2 – 7 x/ mig
 Mineral dan trace element  Ca, P, Mn, Zn, Se, Fe

C. Terapi komplikasi yang sudah terjadi misalnya Hiperlipidemia/ xantelasma


dengan kolestipol dan pada gagal hati adalah transplantasi. Transplantasi
hati pada anak 50-70 % disebabkan oleh atresia bilier.

I. PROGNOSIS

Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat


dioperasi,gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan
pengalaman ahli bedahnya sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu
maka angka keberhasilannya 71-86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia
> 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34-43,6%. Sedangkan bila operasi
tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan
meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami operasi
Kasai berusia 76 jam. Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi
adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada

23
sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan
bila terjadi penyulit hipertensi portal.

BAB III

KESIMPULAN

Dengan ditemukannya peningkatan kadar bilirubin terkonyugasi maka


proses diagnosa untuk mencari penyebab harus segera dilakukan agar
mendapatkan hasil yang optimal dalam pengobatan maupun pembedahan.
Kegagalan dalam deteksi dini etiologi kolestasis menyebabkan terlambatnya
tindakan sehingga mempengaruhi pgrognosis. Pada evaluasi diagnostik
selanjutnya harus segera dibedakan antara kolestasis hepatoseluler ( intrahepatik )
dan kolestasis obstruktif terutama atresia bilier agar terapi dini yang
tepat(berdasarkan etiologinya)yaitu tindakan bedah maupun medikamentosa yang
tepat dapat dilakukan sehingga kerusakan hati yang lanjut dapatdicegah dan

24
dipertahankan optimal. Evaluasi diagnostik ini seringkali tidak mudah karena
memerlukan berbagai sarana pemeriksaan penunjang yang canggih/mutakhir dan
mahal, bahkan kadangkala memerlukan tindakan laparatomi percobaan dan
akhirnya penderita dilabel sebagai hepatitis idiopatik. Dalam tatalaksana suportif,
tidak boleh dilupakan terapi nutrisi serta simtomatik gejala komplikasi yang sudah
terjadi. Pada stadium yang lanjut, pilihan terapi adalah transplantasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Desmet VJ, Callea F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood.


Dalam: Zakim D, Boyer TD, penyunting. Hepatology. A Textbook of liver
disease; edisi ke-2. Philadelphia: Saunders. 1990: 1355-95.
2. Juffrie,M. Buku ajar gastroenterology-hepatologi. Jakarta : Balai Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. p.374-87.
3. Mews C, Sinarta FR. Cholestasis in infancy. Pediatr Rev. 1994; 15: 233-
40.
4. Alagille D, 1992, Cholestasis in the newborn and infant. In: Alagille D,
Odievre M. Liver and biliary tract disease in children. Paris: Flammarion.
PP:426-38.

5. Nazer, H. Cholestasis.http://emedicine.medscape.com/article/927624-
overview. Update at June 6th, 2012. Accessed at May 10th, 2014.

25
6. Arce DA, Costa H, Schwarz SM. Hepatobiliary disease in children.
Clinics in Family Practice. 2000; 2: 1-36.
7. Roberts EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting. Diseases
of the liver and biliary system in children, edisi ke-1. Oxford: Blackwell
Science. 1999: 11-45.

26

Anda mungkin juga menyukai