PENDAHULUAN
Masalah Stunting atau balita pendek salah satu bentuk kegagalan pertumbuhan
(growth faltering) dimana panjang badan atau pertumbuhan panjang badan tidak sesuai
dengan pertambahan usia dan akibat dari ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama
mulai dari kehamilan sampai usia dua tahun. Hal ini disebabkan gizi ibu selama kehamilan
buruk, pola makan yang buruk, dan sering terpapar penyakit. Berdasarkan WHO, apabila
dihitung dari sejak hari pertama kehamilan, kelahiran bayi sampai anak usia dua tahun,
maka periode ini merupakan periode 1000 hari pertama kehidupan manusia yaitu 270 hari
selama kehamilan dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkan (WHO,
2015). Hal tersebut merupakan salah satu permasalahan gizi yang didasarkan pada indeks
tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U), dalam
standar antropometri status pengukuran berada pada ambang batas Z-score <-2SD
(Kemenkes, 2013).
Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak
langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu
hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth
retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan kurang gizi kemudian mengalami
Kejadian stunting merupakan salah satu keadaan kekurangan gizi yang menjadi
disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu
dengan yang lainnya. Terdapat tiga faktor utama penyebab stunting yaitu asupan makanan
tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat,
protein, lemak, mineral, vitamin, dan air), berat lahir bayi dan riwayat penyakit. Penyebab
stunting dapat dikelompokan menjadi tiga tingkatan yaitu tingkat masyarakat, rumah
tangga (keluarga), dan individu. Pada tingkat masyarakat yaitu sistem ekonomi, sistem
pendidikan, sistem kesehatan, sistem sanitasi dan air bersih menjadi faktor penyebab
2012). Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia dengan jumlah 8,9 juta anak stunting.
Hal tersebut mendefinisikan bahwa lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun
stunting di Indonesia lebih tinggi dari pada negara-negara lain di Asia Tenggara seperti
Myanmar (35%), Vietnam (23%), Thailand (16%), sedangkan angka kejadian stunting di
Indoneisa mengalami perubahan yaitu tahun 2007 sebesar 36, 8% tahun 2010 sebesar
35,6% dan menjadi 37,2% pada tahun 2013 (Depkes, 2015). Pada tingkat provinsi,
prevalensi stunting Provinsi Jawa Barat menempati urutan ke-12 tertinggi di Indonesia,
sedangkan angka kejadian stunting untuk Kabupaten Subang sendiri adalah sebesar
Kekurangan gizi pada anak-apnak dipengaruhi berbagai faktor antara lain kualitas
makanan yang buruk, asupan makanan tidak cukup, dan penyakit infeksi yang berulang
(Kusharisupeni, 2012). Pada tingkat rumah tangga (keluarga) yaitu kualitas dan kuantitas
makanan yang tidak memadai, tingkat pendapatan, jumlah dan struktur keluarga, pola asuh
makan anak yang tidak memadai, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, sanitasi
dan air bersih tidak memadai menjadi faktor penyebab stunting. Faktor penyebab pada
tingkat rumah tangga akan mempengaruhi keadaan individu yaitu anak berusia dibawah
lima tahun dalam hal ini asupan makanan menjadi tidak seimbang, berat badan lahir
Dampak stunting yang terjadi pada masa golden period (masa perkembangan) umur
0-3 tahun antara lain pertumbuhan dan perkembangan di umur selanjutnya terhambat,
dan kelahiran bayi dengan berat lahir rendah atau prematur di masa mendatang. Ibu dengan
gizi kurang sejak awal kehamilan akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) yang kemudian akan tumbuh menjadi balita stunting (Kusharisupeni, 2012)..
Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat menghambat
perkembangan fisik dan mental anak. Stunting berkaitan dengan peningkatan risiko
mendatang. Pada tahun 2012, WHO dalam World Health Assembly mencanangkan Global
Nutrition Targets yang salah satunya adalah penurunan angka stunting sebesar 40% pada
anak. Pada dasarnya, perkembangan ini sejalan dengan kematangan saraf dan otot anak.
Sehingga, setiap gerakan sesederhana apapun, adalah merupakan hasil pola interaksi yang
kompleks dari berbagai bagian dan system dalam tubuh yang dikontrol oleh otak. (Hurlock,
1998). Semakin meningkat status gizi balita, semakin meningkat pula perkembangan
motorik kasarnya. Selain dipengaruhi oleh status gizi, perkembangan motorik juga
dipengaruhi oleh perkembangan motorik halus. Setiap penambahan satu persen tingkat
perkembangan motorik halus balita, akan menambah tingkat perkembangan motorik kasar
khususnya energi, lemak, dan protein akan menghambat proses pembentukan dan
pematangan jaringan otot. Anak dengan tinggi badan yang tinggi dan otot yang kuat akan
lebih cepat menguasai gerakan-gerakan motorik dibandingkan dengan anak yang memiliki
tinggi badan kurang diantara anak-anak seusianya.( Solihin, Anwar, Sukandar, 2013)
perkembangan motorik dan mental yang buruk dalam usia kanak-kanak dini, serta prestasi
kognitif dan prestasi sekolah yang buruk dalam usia kanak-kanak lanjut. Prevalensi
stunting secara nasional tahun 2013 adalah 37,2%, yang berarti terjadi peningkatan
dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) (Pantaleon, dkk, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Ruth Hanani dengan judul Perbedaan
Perkembangan motorik Kasar, Motorik Halus, Bahasa dan Personal Sosial Pada Anak
Stunting Dan Non Stunting menunjukkan hubungan yang signifikan dengan nilai p- value
<0,05. (Hanani, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Maria, dkk di kecamatan Sedayu,
perkembangan motorik anak dengan nilai p-value 0.002 (Maria, dkk 2015).
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara kejadian
pengalaman bagi peneliti tentang adakah hubungan antara kejadian stunting dengan
analitik korelasi dengan pendekatan crossectional. Populasi penelitian ini adalah semua anak
balita stunting yang terdaptar di Puskesmas Pamanukan kabupaten Subang Jawa Barat Tahun
2018. Variabel yang diteliti adalah perkembangan motorik kasar dan motorik halus dengan stunting.
Data yang dikumpulkan adalah Panjang badan balita dengan pengukuran antropometri. Data tingkat
perkembangan motorik kasar dan motorik halus dengan metode wawancara menggunakan Kuesioner
Pra Skrining Perkembangan (KPSP). Analisis dilakukan secara univariat dan bivariat. Teknik
sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Uji statistik yang digunakan