Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah Stunting atau balita pendek salah satu bentuk kegagalan pertumbuhan

(growth faltering) dimana panjang badan atau pertumbuhan panjang badan tidak sesuai

dengan pertambahan usia dan akibat dari ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama

mulai dari kehamilan sampai usia dua tahun. Hal ini disebabkan gizi ibu selama kehamilan

buruk, pola makan yang buruk, dan sering terpapar penyakit. Berdasarkan WHO, apabila

dihitung dari sejak hari pertama kehamilan, kelahiran bayi sampai anak usia dua tahun,

maka periode ini merupakan periode 1000 hari pertama kehidupan manusia yaitu 270 hari

selama kehamilan dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkan (WHO,

2015). Hal tersebut merupakan salah satu permasalahan gizi yang didasarkan pada indeks

tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U), dalam

standar antropometri status pengukuran berada pada ambang batas Z-score <-2SD

(Kemenkes, 2013).

Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak

langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu

hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth

retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan kurang gizi kemudian mengalami

gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Anak-anak yang mengalami hambatan dalam

pertumbuhan disebabkan oleh kurangnya asupan makanan yang memadai. Adanya

penyakit infeksi berulang dapat meningkatnya kebutuhan metabolik serta mengurangi


nafsu makan, sehingga meningkatnya kejadian kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini

semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang

terjadinya stunting (Depkes, 2012).

Kejadian stunting merupakan salah satu keadaan kekurangan gizi yang menjadi

permasalahan di dunia terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia. Stunting

disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu

dengan yang lainnya. Terdapat tiga faktor utama penyebab stunting yaitu asupan makanan

tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat,

protein, lemak, mineral, vitamin, dan air), berat lahir bayi dan riwayat penyakit. Penyebab

stunting dapat dikelompokan menjadi tiga tingkatan yaitu tingkat masyarakat, rumah

tangga (keluarga), dan individu. Pada tingkat masyarakat yaitu sistem ekonomi, sistem

pendidikan, sistem kesehatan, sistem sanitasi dan air bersih menjadi faktor penyebab

stunting. (Depkes, 2012).

Prevalensi dunia menunjukkan bahwa 28,5% anak mengalami stunting (Bappenas,

2012). Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia dengan jumlah 8,9 juta anak stunting.

Hal tersebut mendefinisikan bahwa lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun

di Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata (MCA Indonesia, 2015). Prevalensi

stunting di Indonesia lebih tinggi dari pada negara-negara lain di Asia Tenggara seperti

Myanmar (35%), Vietnam (23%), Thailand (16%), sedangkan angka kejadian stunting di

Indoneisa mengalami perubahan yaitu tahun 2007 sebesar 36, 8% tahun 2010 sebesar

35,6% dan menjadi 37,2% pada tahun 2013 (Depkes, 2015). Pada tingkat provinsi,

prevalensi stunting Provinsi Jawa Barat menempati urutan ke-12 tertinggi di Indonesia,
sedangkan angka kejadian stunting untuk Kabupaten Subang sendiri adalah sebesar

40,47% (Kemenkes, 2013).

Kekurangan gizi pada anak-apnak dipengaruhi berbagai faktor antara lain kualitas

makanan yang buruk, asupan makanan tidak cukup, dan penyakit infeksi yang berulang

(Kusharisupeni, 2012). Pada tingkat rumah tangga (keluarga) yaitu kualitas dan kuantitas

makanan yang tidak memadai, tingkat pendapatan, jumlah dan struktur keluarga, pola asuh

makan anak yang tidak memadai, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, sanitasi

dan air bersih tidak memadai menjadi faktor penyebab stunting. Faktor penyebab pada

tingkat rumah tangga akan mempengaruhi keadaan individu yaitu anak berusia dibawah

lima tahun dalam hal ini asupan makanan menjadi tidak seimbang, berat badan lahir

rendah, dan status kesehatan yang buruk (unicef framework, 2016).

Dampak stunting yang terjadi pada masa golden period (masa perkembangan) umur

0-3 tahun antara lain pertumbuhan dan perkembangan di umur selanjutnya terhambat,

penurunan kemampuan intelektual dan produktifitas, meningkatkan risiko terkena penyakit

dan kelahiran bayi dengan berat lahir rendah atau prematur di masa mendatang. Ibu dengan

gizi kurang sejak awal kehamilan akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah

(BBLR) yang kemudian akan tumbuh menjadi balita stunting (Kusharisupeni, 2012)..

Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat menghambat

perkembangan fisik dan mental anak. Stunting berkaitan dengan peningkatan risiko

kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan kemampuan motorik dan

mental.3 Balita yang mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan

kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di masa

mendatang. Pada tahun 2012, WHO dalam World Health Assembly mencanangkan Global
Nutrition Targets yang salah satunya adalah penurunan angka stunting sebesar 40% pada

tahun 2025. (WHO, 2012)

Perkembangan motorik adalah proses tumbuh kembang kemampuan gerak seorang

anak. Pada dasarnya, perkembangan ini sejalan dengan kematangan saraf dan otot anak.

Sehingga, setiap gerakan sesederhana apapun, adalah merupakan hasil pola interaksi yang

kompleks dari berbagai bagian dan system dalam tubuh yang dikontrol oleh otak. (Hurlock,

1998). Semakin meningkat status gizi balita, semakin meningkat pula perkembangan

motorik kasarnya. Selain dipengaruhi oleh status gizi, perkembangan motorik juga

dipengaruhi oleh perkembangan motorik halus. Setiap penambahan satu persen tingkat

perkembangan motorik halus balita, akan menambah tingkat perkembangan motorik kasar

balita sebesar 0,46 persen (Solihin, Anwar, Sukandar, 2013)

Rendahnya kemampuan motorik pada anak stunting merupakan akibat dari

terhambatnya proses kematangan otot sehingga kemampuan mekanik otot

berkurang.(Solihin, Anwar, Sukandar, 2013). Kekurangan zat gizi jangka panjang,

khususnya energi, lemak, dan protein akan menghambat proses pembentukan dan

pematangan jaringan otot. Anak dengan tinggi badan yang tinggi dan otot yang kuat akan

lebih cepat menguasai gerakan-gerakan motorik dibandingkan dengan anak yang memiliki

tinggi badan kurang diantara anak-anak seusianya.( Solihin, Anwar, Sukandar, 2013)

Sejumlah penelitian memperlihatkan keterkaitan antara stunting dengan

perkembangan motorik dan mental yang buruk dalam usia kanak-kanak dini, serta prestasi

kognitif dan prestasi sekolah yang buruk dalam usia kanak-kanak lanjut. Prevalensi

stunting secara nasional tahun 2013 adalah 37,2%, yang berarti terjadi peningkatan

dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) (Pantaleon, dkk, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Ruth Hanani dengan judul Perbedaan

Perkembangan motorik Kasar, Motorik Halus, Bahasa dan Personal Sosial Pada Anak

Stunting Dan Non Stunting menunjukkan hubungan yang signifikan dengan nilai p- value

<0,05. (Hanani, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Maria, dkk di kecamatan Sedayu,

Banyul, Yogyakarta, didpatkan hubungan yang signifikan antara stunting dengan

perkembangan motorik anak dengan nilai p-value 0.002 (Maria, dkk 2015).

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara kejadian

stunting dengan perkembangan motorik pada balita di Puskesmas Pamanukan Kabupaten

Subang Jawa Barat Tahun 2018.

1.2 Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara kejadian stunting dengan perkembangan motorik pada

balita di Puskesmas Pamanukan Kabupaten Subang Jawa Barat Tahun 2018?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui adakah hubungan antara kejadian stunting dengan

perkembangan motorik pada balita di Puskesmas Pamanukan kabupaten Subang Jawa

Barat Tahun 2018?

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi stunting pada Puskesmas Pamanukan

kabupaten Subang Jawa Barat Tahun 2018.

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi perkembangan motorik kasar pada balita

di Puskesmas Pamanukan kabupaten Subang Jawa Barat Tahun 2018.


c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi perkembangan motorik halus pada balita

di Puskesmas Pamanukan kabupaten Subang Jawa Barat Tahun 2018.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Mahasiswa/i Universitas Malahayati

Sebagai referensi dan menambah daftar kepustakaan bagi mahasiswa/i fakultas

Sebagai referensi dan menambah daftar kepustakaan bagi mahasiswa/i fakultas

kedokteran Universitas Malahayati.

1.4.2 Bagi Peneliti

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta

pengalaman bagi peneliti tentang adakah hubungan antara kejadian stunting dengan

perkembangan motorik pada balita di Puskesmas Pamanukan kabupaten Subang

Jawa Barat Tahun 2018.

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai data awal untuk penelitian

selanjutnya tentang adakah hubungan antara kejadian stunting dengan

perkembangan motorik pada balita di Puskesmas Pamanukan kabupaten Subang

Jawa Barat Tahun 2018.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Jenis penelitian adalah kuantitatif, desain penelitian menggunakan deskriptif

analitik korelasi dengan pendekatan crossectional. Populasi penelitian ini adalah semua anak

balita stunting yang terdaptar di Puskesmas Pamanukan kabupaten Subang Jawa Barat Tahun
2018. Variabel yang diteliti adalah perkembangan motorik kasar dan motorik halus dengan stunting.

Data yang dikumpulkan adalah Panjang badan balita dengan pengukuran antropometri. Data tingkat

perkembangan motorik kasar dan motorik halus dengan metode wawancara menggunakan Kuesioner

Pra Skrining Perkembangan (KPSP). Analisis dilakukan secara univariat dan bivariat. Teknik

sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Uji statistik yang digunakan

adalah chi-square (X2).

Anda mungkin juga menyukai