Anda di halaman 1dari 54

1

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda dengan

TB pada orang dewasa. Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini sangat pesat.

Sekurang-kurangnya 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun.

Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara

semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun

2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan

variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB

anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan

dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada

kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus

BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak,

sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.

Untuk menangani permasalahan TB anak telah diterbitkan berbagai panduan

tingkat global. TB pada anak saat ini merupakan salah satu komponen penting dalam

pengendalian TB, dengan pendekatan pada kelompok risiko tinggi, salah satunya

adalah anak mengingat TB merupakan salah satu penyebab utama kematian pada

anak dan bayi di negara endemis TB.


2

BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas

1 Identitas Pasien

Nama : An. A

Umur : 3 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Ikan sepat, kelurahan kangkung, Sukaraja

Suku : Jawa

Agama : Islam

Status :-

Pendidikan : Belum sekolah

Pekerjaan :-

Tanggal Pemeriksaan : 27 Januari 2019

No RM : 2358xx

2 Identitas Orang Tua

Ayah

Nama : Tn. Y

Umur : 28 Tahun

Pekerjaan : Polisi

Pendidikan : Akademi Kepolisian


3

Ibu

Nama : Ny.

Umur : 27 Tahun

Pekerjaan : Guru

Pendidikan : Strata 1

B. Anamnesis

Dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu pasien pada hari Rabu tanggal 27

Januari 2019 di Ruang Poli Anak RSPBA Bandar Lampung.

1. Keluhan Utama

Sering demam sumer-sumer dan batuk sejak 3 minggu terakhir.

2. Keluhan Tambahan

Sering berkeringat malam, nafsu makan menurun, berat badan menurun

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Ibu pasien menjelaskan bahwa selama 3 minggu terakhir pasien sering

mengalami demam sumer. Demam dirasakan terutama lebih tinggi pada

malam hari dibandingkan dengan siang hari. Pada saat malam hari pasien juga

sering rewel. Pasien sering berkeringat dingin pada malam hari. Ibu pasien

mengatakan bahwa anaknya juga mengeluhkan batuk sejak 3 minggu terakhir,

batuk dirasakan terkadang kering dan terkadang ada dahaknya.

Ibu pasien sudah memberikan obat penurun panas pada pasien namun

sering kambuh lagi bila sudah tidak minum penurun panas. Demam tidak

disertai menggigil.
4

Selain itu ibu pasien juga mengeluhkan berat badan anaknya beberapa

bulan ini sulit naik. Kalaupun naik tidak secara signifikan. Nafsu makan

anaknya dirasa kurang dibandingkan sebelumnya. Sehari makan 3 kali. Sekali

makan pasien hanya memakan sekitar 2-3 sendok saja.

Ibu juga mengeluhkan terdapat benjolan pada leher kiri pasien yang baru

disadari 1 minggu terakhir ini. Benjolan keras, berukuran sekitar 0,5cm, teraba

lebih dari 1, dapat digerakkan, kulit diatasnya biasa, dan bila disentuh pasien

tidak merasakan sakit (rewel).

Ibu pasien menjelaskan jika di rumah terdapat kakek pasien yang sering

batuk namun dikatakan batuk biasa dan hanya diberi obat batuk dari

puskesmas. Belum pernah diperiksakan dahak maupun foto rotgen kakek

pasien.

Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) pasien normal tidak

ada keluhan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

 Satu minggu sebelum periksa ke poli pasien sempat dirawat di RS karena

diare. Pasien dirawat selama 4 hari di rumah sakit. Saat ini tidak terdapat

keluhan diare lagi.

 Tidak terdapat riwayat alergi

 Riwayat Asma (-)


5

5. Riwayat Penyakit Keluarga

 Dirumah pasien terdapat kakek pasien yang menderita batuk namun belum

pernah diperiksakan dahak dan foto rotgen. Dan hanya mendapat obat

batuk dari puskesmas.

 Riwayat Alergi (-)

 Riwayat Asma (-)

6. Riwayat Pengobatan

 Parasetamol syrup

 Antibiotik, namun ibu pasien tidak ingat nama antibiotiknya

7. Riwayat Persalinan

Pasien lahir dari ibu G1P0A0, dilahirkan spontan dibantu oleh bidan RS,

usia kehamilan cukup bulan, lahir langsung menangis, warna ketuban jernih,

berat badan lahir 3100 gr dan panjang badan bayi 49 cm

8. Riwayat Pasca Lahir

Tali pusat dirawat oleh bidan, bayi tidak kuning, tidak terjadi perdarahan

pasca kelahiran pada bayi, ibu rutin membawa pasien ke posyandu.

9. Riwayat Imunisasi

Imunisasi dilakukan di Posyandu dengan rincian seperti berikut ini

Tabel 1. Riwayat imunisasi

Usia Imunisasi

Saat lahir (0-7 hari) Hb0, BCG, Polio 0

2 bulan DPT/HB1, Polio 1

3 bulan DPT/HB2, Polio 2

4 bulan DPT/HB3, Polio 3


6

9 bulan Campak 1

18 bulan DPT/HB4, Polio 4

24 bulan Campak 2

Kesan: imunisasi sudah lengkap sesuai jadwal

10. Riwayat Makan dan Minum

 lahir – usia 6 bulan : ASI saja

 6 bulan – 9 bulan : ASI + Bubur Susu/biskuit/buah

 9 bulan – 1 tahun : ASI + Nasi Tim & lauk + sayur (diblender

 1 tahun – 2 tahun : ASI + Nasi kasar + lauk variasi

 2 tahun – sekarang : Nasi + sayur + lauk bervariasi

(ayam/daging/tahu/tempe/ikan) + susu sapi

 Saat ini napsu makan pasien menurun. Dalam sehari pasien makan 3 kali.

Sekali makan pasien hanya memakan sekitar 2-3 sendok saja.

11. Riwayat Tumbuh Kembang

Riwayat Pertumbuhan

BB lahir : 3,1 kg

BB sekarang : 11 kg

PB lahir : 49 cm

TB sekarang : 96 cm (posyandu)
7

Riwayat Perkembangan

PSIKOMOTOR

0 - 6 bulan : mampu tengkurap, mengangkat kepala dan dada bertopang

pada tangan

6 bulan : mampu untuk duduk

9 bulan : mampu merangkak

1 - 2 tahun : berjalan perlahan, memegang krayon, bisa makan sendiri

3 tahun : dapat berlari bebas, mulai belajar naik sepeda roda tiga

Kesan : riwayat perkembangan psikomotor sesuai dengan anak

seusianya.

BAHASA

0-3 bulan : Mengoceh spontan/merespon dengan mengoceh

3-6 bulan : tertawa dan menjerit jika diajak bermain

6-12 bulan : mengeluarkan kata-kata tanpa arti, menirukan suara

1-3 tahun : mampu menyusun kalimat singkat

SOSIAL

1 tahun : berpartisipasi permainan tepuk tangan, sembunyi-

sembunyian

1-3 tahun : memperlihakan minat kepada anak lain, bermain bersama

anak lain dan menyadari adanya lingkungan diluar

keluarganya
8

Mental/intelegensia

Sesuai anak seusianya

Emosi

Anak cenderung malu jika berkomunikasi dengan orang diluar keluarganya

Kesan: Pertumbuhan, perkembangan psikomotor, mental intelegensia

dan emosi sesuai anak seusianya.

12. Silsilah Keluarga

Gambar 1. Silsilah keluarga

13. Keadaan Sosial, Ekonomi, Kebiasaan dan Lingkungan

Keadaan Sosial

Pasien merupakan anak pertama yang tinggal bersama Ayah, Ibu, Kakek

dan Neneknya dalam satu atap


9

Ekonomi

Ayah pasien seorang polisi berusia 28 tahun dan ibu pasien bekerja

sebagai guru SD. Penghasilan orang tua pasien sekitar 8,4 juta rupiah perbulan.

Keadaan Lingkungan

Rumah orangtua pasien berukuran 10x15 meter, beralaskan keramik,

atap genteng, tembok semen. Memiliki ventilasi yang cukup dan sinar matahari

dapat masuk melalui jendela. Sumber air berasal dari sumur terbuka. Memiliki

WC yang disalurkan ke septiktank.

Kebiasaan

Ayah pasien merupakan perokok aktif

Kesan: keadaan sosial, ekonomi, dan lingkungan baik, namun kebiasaan ayah

pasien merokok

14. Anamnesis Sistemik

 Sistem serebrospinal : demam subfebris, kejang (-)

 Sistem kardiovaskuler : jantung tidak berdebar, pulsasi nadi normal

 Sistem pernafasan : sesak nafas (-), batuk (-), dahak (-),

 Sistem gastrointestinal : nafsu makan turun, berat badan sulit naik,

diare (-), tidak nyeri perut

 Sistem integumentum : turgor kulit normal, ptechiae (-), purpura (-),

 Sistem urogenital : BAK normal, nyeri (-), darah (-)


10

 Sistem muskuloskeletal : tidak ada sendi yang terasa bengkak maupun

panas

 Sistem KGB : pembesaran KGB regio colli sinistra

C. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Umum

1. Keadaan umum : tampak sakit ringan

2. Kesadaran : compos mentis

3. Vital Sign

 Frekuensi jantung : 100x/menit, regular,

 Nadi : kuat angkat (+),

 Frekuensi napas : 20x/menit, regular, tipe thorakal,

kedalaman normal

 Suhu : 37,60C (axilla)

 Waktu pengisian kembali kapiler : ≤2 detik

4. Berat Badan : 11 Kg

5. Tinggi badan : 96 cm (posyandu)

6. Status gizi :
11

Berdasarkan pengukuran BB/Usia didapatkan status gizi pasien:

-3SD < BB/U < -2SD yang berarti kondisi gizi pasien kurang (kurus).

7. Kulit : turgor kulit normal

8. Kelenjar limfe : pembesaran KGB regional (+)

9. Otot : nyeri otot seluruh tubuh, tidak ada atrofi pada

keempat ekstermitas.

10. Tulang : Tidak ada deformitas, tidak terdapat tanda radang

11. Sendi : Tidak ada deformitas dan tidak terdapat tanda-tanda

peradangan

Kesan : pasien tampak sakit ringan, demam

subfebris, gizi kurang terdapat pembesaran KGB

regio colli sinistra

Pemeriksaan Khusus

1. Kepala dan Leher

 Bentuk : bulat lonjong, simetris

 Rambut : hitam, lurus, tipis, tidak mudah dicabut


12

 Mata : Konjungtiva anemis : -/-

Sklera ikterus : -/-

Oedem palpebra : -/-

 Hidung : sekret (-), bau (-), perdarahan (-), pernafasan cuping hidung (-)

 Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)

 Mulut : sianosis (-), bau (-)

 Kelenjar limfe : terdapat pembesaran KGB regio colli sinistra, multi

nodular, diameter ± 0,5 cm, mobile, konsistensi padat, tidak

ada nyeri tekan, teraba hangat, warna seperti kulit

sekitarnya

Gambar 3. Pemeriksaan KGB regio colli


 Tiroid : Tidak ada pembesaran

 Kaku kuduk : (-)

 JVP : Tidak meningkat


13

 Tidak tampak retraksi suprasternal dan kontraksi m.sternocleidomastoideus

2. Dada

Jantung :

 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

 Palpasi : ictus cordis tidak teraba

 Perkusi : Redup pada ICS II PSL D s/d ICS II PSL S

Redup pada ICS III PSL D s/d ICS IV MCL S

 Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, ekstra sistole (-), gallop (-),

murmur (-)

Paru :

Tabel 2. Pemeriksaan Fisik Paru

Kanan Kiri

Depan I = simetris, retraksi (-) I = simetris, retraksi (-)

P = fremitus raba (+), dBN P = fremitus raba (+), dBN


P = sonor P = sonor
A = Ves (+), Rh (-). Wh (-) A = Ves (+), Rh (-). Wh (-)
Belakang I = simetris, retraksi (-) I = simetris, retraksi (-)
P = fremitus raba (+), dBN P = fremitus raba (+), dBN
P = sonor P = sonor
A = Ves (+), Rh (-). Wh (-) A = Ves (+), Rh (-). Wh (-)

3. Perut

o Inspeksi : permukaan dinding cembung,

o Auskultasi : bising usus (+) Normal

o Perkusi : redup
14

o Palpasi : soepel, turgor dan elastisitas kulit normal, hepatomegali (-),

splenomegali (-), nyeri tekan (-)

4. Anggota Gerak

Atas : akral hangat -/-, odema -/-, tidak ditemukan pembengkakan sendi

Bawah : akral hangat -/-, odema -/-, tidak ditemukan pembengkakak sendi

5. Anus dan kelamin

Anus : dalam batas normal, tidak ada kelainan

Kelamin : jenis kelamin perempuan, dalam batas normal, tidak ada kelainan

D. Pemerisaan Penunjang

Laboratorium

Tabel 3. Hasil Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Nilai Normal


Hematologi
1. Hemoglobin 13,4 12 -16 gr/dL
2. Leukosit 7,8 4,3-10,3 x109/L

Limfosit 47,9 20 – 40 %
4. Hematokrit 31,5 38-42%
5. Trombosit 350 150-450 x109/L
6. LED 50/65
15

Gambar 4. Foto Thorak AP

Expertise:

Trakea di tengah.

Cor : tidak ada pembesaran jantung

Pulmo : terlihat gambaran infiltrat pada parahilus

Sinus kostofrenikus kanan dan kiri tajam.

Hemidiafragma kanan dan kiri baik.

Kesimpulan : Pembesaran KGB parahilus

E. Resume

Anak perempuan usia 3 tahun dengan keluhan batuk dan demam sumer-sumer.

Batuk dan demam sudah 3 minggu, demam turun degan obat penurun panas namun

seringkali kambuh lagi. Berat badan sulit naik dan napsu makan menurun. Terdapat

benjolan di sekitar leher kiri.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan status gizi kurang, demam subfebris,

benjolan pada regio colli sinistra, multinodul, tidak nyeri tekan.

Pemeriksaan penunjang ditemukan gambaran mengarah ke TB pada foto

thorak AP, peningkatan LED, peningkatan persentase limfosit pada darah.

Screening Skor TB Anak


16

Tabel 4. Hasil Skoring TB Anak

No. Parameter Skor


1 Riwayat Kontak 2
2 Uji Tuberkulin -
3 Berat Badan 1
4 Demam 1
5 Batuk 1
6 Pembesaran KGB 1
7 Pembengkakan sendi 0
8 Foto Thorak AP 1
Skor Total 7

F. Diagnosis Kerja

Tuberkulosis Paru

G. Tatalaksana

Pemeriksaan Anjuran:

- Uji tuberkulin

- FNAB (konsul Sp. A)

- Evaluasi Foto polos dada dan laboratorium darah pada bulan ke VI pengobatan

Medikamentosa

 OAT KDT Anak 2RHZ 2 – 0 – 0 (Fase intensif)

 Ambroxol syrup 3x1/2 cth

 Lycalvit Syr 2 dd cth I

 Paracetamol syrup 3x1/2 cth

Edukasi

 Menjelaskan kepada Ibu pasien bahwa anaknya menderita infeksi TB, hal ini

kemungkinan didapatkan karena tertular dari anggota keluarga yang lain.


17

 Menyarankan untuk memeriksakan anggota keluarga yang sering mengalami

batuk yang kambuh ke poli paru RSPBA untuk pemeriksaan dahak dan foto

thorak

 Pengobatan pasien direncakan selama 6 bulan dan akan dievaluasi pada akhir

pengobatan

 Obat harus diminumkan secara rutin setiap pagi hari saat perut masih kosong

dan harus segera kontrol sebelum obat habis

 Obat sementara diberikan selama 2 minggu untuk mengevaluasi kepatuhan

minum obat

 Perbaikan gizi anak untuk menunjang kesembuhan dari anak.

 Menjelaskan bahwa penyakit ini bisa disembuhkan asal rutin minum obat dan

orang disekitar rumah yang dicurigai menderita TB paru segera diperiksakan

dan mendapat terapi yang sesuai untuk mengurangi resiko kekambuhan pada

anak

H. Prognosis

Ad Vitam : dubia ad bonam

Ad Sanationam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam


18

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tuberkulosis pada Anak

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi

pada anak usia 0-14 tahun.

B. Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB

dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan

terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat

dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak

terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak

seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan


19

seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar

dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan

akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis

makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang

dinamakan fokus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi

fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer

terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar

limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang

akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,

dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi

TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu.

Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah

103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.

Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang

dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji

tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian

besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun
20

selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil

kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk,

kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh

imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap

selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau

di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan

pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian

tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga

di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada

awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga

bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal

menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-

valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang

mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi

dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.

Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga

menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai

lesi segmental kolaps-konsolidasi.


21

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar

ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar

secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu

kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya

penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit

sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,

kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di

seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering

di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang

di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman

di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan

proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di

kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,

sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh

tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara

akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu

2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan

virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.

Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
22

dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama

di bawah dua tahun.

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.

Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah

dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan

beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat

dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.

Gambar 5. Patogenesis Infeksi Tuberkulosis

Sumber: Petunjuk teknis tatalaksana TB anak

*Catatan:
23

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult

hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di

berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi

mengalami reaktivasi di kemudian hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan

limfadenitis regional (3).

3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.

4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB

(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar

(eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type TB)

C. Diagnosis TB pada Anak

1 Penemuan Pasien TB Anak

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan

pada :

1) Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.

Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal

serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB

menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya

BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan

kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada

bab profilaksis TB pada anak.

2) Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
24

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang

paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa

gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa

gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat

disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

1) Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik

dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya

perbaikan gizi yang baik.

2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan

demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam

umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala

spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala

sistemik/umum lain.

3) Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda

atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah

dapat disingkirkan.

4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh

(failure to thrive).

5) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.


25

6) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan

pengobatan baku diare.

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang

konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu

kalender terjadinya TB di berbagai organ seberi pada gambar d bawah ini.

Gambar 6. Kalender perjalanan penyakit tuberkulosis primer


Sumber: Miller FJW. Tuberculosis in children, evolution, epidemiology, treatment,
prevention. New York. Churchill Livingstonne, 1982, dengan modifikasi

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin

biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Paa

awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema
26

nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang

terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.

Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung

dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi Tb, begitu juga dengan meningitis TB.

Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.

Tuberkuloma sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi

pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama,

yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit

Tb terjadi pada 5 tahun pertama, terutama 1 tahun pertama, dan 90% kematian

karena TB terjadi pada tahn pertama setelah diagnosis TB.

Secara Singkat resiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat

pada tabel dibawah ini.

Tabel 5. Resiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis

Resiko Sakit
Umur saat infeksi
TB Diseminata
Primer (tahun) Tidak Sakit TB Paru
(milier, meningitis)

<1 50% 30 – 40% 10 – 20%

1–2 75 – 80% 10 – 20% 2 – 5%

2–5 95% 5% 0,5%

5 – 10 98% 2% <0,5%

>10 80 – 90% 10 – 20% <0,5%

Tabel 6. Tahapan Tuberkulosis pada anak

Tahapan
27

Pajanan Infeksi Penyakit

Uji tuberkulin Negatif Positif Positif (90%)

Pemeriksaan fisik Normal Normal Biasanya tidak normal*

Foto polos dada Normal Biasanya normal1 Biasanya tidak norma2

Profilaksis/terapi TB Selalu Pada imunokompremais Selalu

Jumlah obat Satu Satu Tiga atau empat

* pada 50% anak dengan tuberkosis paru didapatkan pemeriksaan fisik yang normal
1
kalsifikasi atau granuloma kecil diartikan infeksi, bukan penyakit
2
pada beberapa anak dengan tuberkulosis paru tidak didapatkan kelainan pada foto polos dada

2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak

TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang

cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular

yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman

Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan

serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.

Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi

yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung

atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman

TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan

mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak

direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB

dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada

bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk

penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak


28

karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi

sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila

fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah

pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan

gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma

dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel

datia langhans dan atau kuman TB.

Perkembangan Terkini Diagnosis TB

Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk

meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan

dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line

Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert

MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara karena

membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.

WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah

mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert

MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan

Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak, dan

dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi

tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert

MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari

pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari


29

pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang

negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.

Cara Mendapatkan sampel pada Anak

1) Berdahak

Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan

untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak

yang mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil

positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.

2) Bilas lambung

Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan

pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen

dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.

3) Induksi Sputum

Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak

semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama

apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan

secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang

memadai untuk melaksanakan metode ini.

Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan

sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB

sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas

(inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan untuk

menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam


30

sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak

melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya

jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.

Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak

dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala

klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat

kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi

penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu

dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan

uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi

hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal

ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang

masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular

(hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh

pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk

melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien

tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut

sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan

tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita

TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan

radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat

menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan

ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto

toraks.
31

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan

diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan

melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di

Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute

Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di

semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin

terdapat pada lampiran.

Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah

pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas

karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian

pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis

TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang

menunjang TB adalah sebagai berikut:

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks

lateral)

b. Konsolidasi segmental/lobar

c. Efusi pleura

d. Milier

e. Atelektasis

f. Kavitas

g. Kalsifikasi dengan infiltrat

h. Tuberkuloma
32

3 Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring

Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat

dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang

tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem

skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap

penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan

disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis

TB anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini

membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data

klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat

mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai

berikut:

• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular

mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.

• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan

diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB

dan mendapat OAT.

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan

OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan

secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap

pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan


33

respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas

pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.


Tabel 7. Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang
TB

Parameter 0 1 2 3 Skor
Laporan
keluarga, BTA (-)
Kontak TB Tidak jelas - BTA (+)
/ BTA tidak jelas/
tidak tahu
Positif ≥10 mm
Uji tuberkulin
Negatif - - atau ≥5 mm pada
(Mantoux)
imunokompromais
Klinis gizi
BB/TB<90%
Berat Badan/ buruk atau
- atau -
Keadaan Gizi BB/TB<70%
BB/U<80%
atau BB/U<60%
Demam yang
tidak
- ≥2 minggu - -
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran
≥1 cm, lebih
kelenjar limfe
- dari 1 KGB, - -
kolli, aksila,
tidak nyeri
inguinal
Pembengkaka
n tulang/sendi Ada
- - -
panggul, lutut, pembengkakan
falang
Gambaran
Normal/
sugestif
Foto toraks kelainan - -
(mendukung)
tidak jelas
TB
Skor Total
34

Catatan:

Parameter Sistem Skoring:

o Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti

tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh

dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.

o Penentuan status gizi:

 Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang

(moment opname).

 Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi

untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,

sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000.

 Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama

1 bulan.

o Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah

diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas

o Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:

pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,

atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,

tuberkuloma.
35

4 Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus

Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal

dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun


36

menimbulkan kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala klinis yang

berat seperti TB meningitis, TB milier, dll.

1) TB dengan konfirmasi bakteriologis

Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena

sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat

paucibacillary (kuman sedikit). Sehingga tidak ditemukannya kuman TB

pada pemeriksaan dahak tidak menyingkirkan diagnosis TB anak. TB

dengan konfirmasi bakteriologis terdiri dari hasil positif baik dengan

pemeriksaan BTA, biakan maupun tes cepat.

2) Tuberkulosis Meningitis

Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada

Sistem Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB

dengan gejala klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau

meninggalkan gejala sisa pada anak.

Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit

kepala, diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika

terdapat bukti bahwa anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA

positif. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk ke

fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis dengan

sistem skoring tidak direkomendasikan.

3) TB Milier

Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala

klinis berat dan merupakan 3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka

kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi
37

oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa ke

seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara kasat

mata pada foto torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor,

yaitu

a. Kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),

b. Status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi

HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal

ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama

c. Faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang

padat, polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta

sosioekonomi).

4) Tuberkulosis Tulang/ Sendi

Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB

ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi

berkisar 1—7% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah:

tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi lutut

(gonitis).

5) Tuberkulosis Kelenjar

Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan

skrofula, merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling

sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus

timbul 6—9 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi beberapa

kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi pembesaran kelenjar


38

limfe yang sering adalah di servikal anterior, submandibula,

supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau daerah aksila.

Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium

awal penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras,

discrete, dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada

jaringan di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi

unilateral, tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik

di daerah dada dan leher-bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin

biasanya menunjukkan hasil positif, Gambaran foto toraks terlihat normal.

6) Tuberkulosis Pleura

Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga

pleura. Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus

efusi pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan

dalam 2 bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak

dijumpai ; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer yang

gagal mengalami resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.

7) Tuberkulosis Kulit

Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas

dan paling sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat

penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB.

Manifestasi klinis skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak.

Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat yang

mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis,

submandibula, supraklavikula, dan daerah lateral leher. Selain itu,


39

skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang

disebabkan oleh TB tulang dan sendi.

8) Tuberkulosis Abdomen

TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di

peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M

tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen ataupun

penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang

jarang dijumpai, yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya

terjadi pada dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari

laki-laki (2:1).

D. Pengobatan TB Anak

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan

profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan

profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak

yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).

Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:

o Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.

o Pemberian gizi yang adekuat.

o Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

15. Prinsip pengobatan TB anak:

o OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk

mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman

intraseluler dan ekstraseluler


40

o Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka

panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya kekambuhan

o Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

• Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan

minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan

berat ringannya penyakit.

• Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil

pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap

hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering

terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.

o Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun

ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain

dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.

o Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,

TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan

kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3

dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian

kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off

dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk

mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

o Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian

Tuberkulosis di Indonesia adalah:

• Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR


41

• Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR

o Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat

Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari

kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan

berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

o OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk

digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Gambar 8. Skema Panduan OAT Anak


42

Tabel 8. Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya

Dosis harian Dosis maksimal


Nama Obat Efek samping
(mg/kgBB/ hari) (mg /hari)

Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitis

Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gangguan gastrointestinal, reaksi kulit,

hepatitis, trombositopenia, peningkatan

enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye

kemerahan

Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia, gangguan

gastrointestinal

Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman mata berkurang,

buta warna merah hijau, hipersensitivitas,

gastrointestinal

Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

Tabel 9. Panduan OAT Kategori Anak

Jenis Fase intensif Fase lanjutan Prednison Lama

TB Ringan 2HRZ 4HR - 6 bulan

2 mgg dosis penuh-kemudian


Efusi pleura TB
tappering off

TB BTA positif 2HRZE 4HR -


43

TB paru dengan 2HRZ+E atau S 7-10HR 4 mgg dosis penuh-kemudian 9-12 bulan

tanda-tanda tappering off

kerusakan luas:

TB milier

TB + destroyed lung

10HR 4 mgg dosis penuh-kemudian 12 bulan


Meningitis TB
tappering off

2 mgg dosis penuh-kemudian


Peritonitis TB
tappering off

2 mgg dosis penuh-kemudian


Perikarditis TB
tappering off

Skeletal TB -

5 Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan

keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/

FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket

KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H)

50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan

H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel

berikut.
44

Tabel 10. Dosis kombinasi pada TB anak

Berat badan 2 bulan 4 bulan

(kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa

Keterangan:

R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid

o Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk

kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan

o Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,

menyesuaikan berat badan saat itu

o Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai

umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran

o OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh

digerus)

o Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum

(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).


45

o Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah

makan

o Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak

boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

6 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak

1) Pemantauan pengobatan pasien TB Anak

Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk

melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat.

Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2

bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan

dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat,

berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila

respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan

6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik

maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke

sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk

diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan

dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang

lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan

sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin

yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun

gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi


46

apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat

dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.

Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan

dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan

melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan

pengobatan pasien TB BTA pos.

2) Efek Samping pengobatan TB Anak

Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan

asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka

dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.

Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10

mg/ hari direkomendasikan diberikan pada

o Bayi yang mendapat ASI eksklusif,

o Pasien gizi buruk,

o Anak dengan HIV positif.

Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada

buku Pedoman Nasional Pengendalian TB.

3) Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab

kegagalan terapi.
47

o Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan

di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan

kembali mulai dari awal.

o Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan

di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa

pengobatan sampai selesai.

Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan

meningkatkan risiko terjadinya TB kebal obat.

4) Pengobatan ulang TB anak

Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang

kembali dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut

benar-benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara

pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring

harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil

pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan

sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat

pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

E. Imunisasi BCG

Pengontrolan penyakit TB bergantung pada pencegahan dengan imunisasi

Bacille-Calmete-Guerin (BCG) atau terapi kemoprofilaksis, serta pengobatan tepat

dengan sistem pendekatan directly observed therapy short course (DOTS). Vaksin

BCG berasal dari bakteri Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan .


48

1 Prosedur Pemberian Imunisasi

Vaksin BCG diberikan secara intrakutan. Suntikan dilakukan didaerah deltoid

kanan, sehingga apabila terjadi reaksi limfadenitis di aksila akan mudah dideteksi.

BCG tidak boleh diberikan secara subkutan karena beresiko terjadi ulkus dan abses

yang seius. Dosis untuk neonatus dan bayi < 1 tahun adalah 0,05 ml sedangkan untuk

anak dan dewasa adalah 0,1 ml. Vaksin BCG harus disimpan pada suhu 2-8 OC, tidak

boleh beku dan tidak boleh terkena sinar matahari . setelah dibuka, botol BCG tidak

boleh disimpan lebih dari 4 jam karena dapat kemungkinan kontaminasi dan

berkurangnya potensi.

Imunisasi BCG sebaiknya diberikan pada usia < 2 bulan. Agar cakupan

imunisasi lebih luas, pada jadwal Program Pengembangan Imunisasi (PPI) BCG

dapat diberikan pada usia 0 – 12 bulan. Pada neonatal – bayi berusia < 3 bulan, karena

belum mengalami paparan lama terhadap penyakit , pemberian BCG tidak perlu

didahului oleh uji tapis (uji tuberklin). Sebaliknya, pada usia > 3 bulan, sebaiknya

dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi

komplikasi yang terjadi akibat pemberian BCG, akibat telah adanya imunitas

terhadap antigen Mycobacterium. Pada bayi kontak erat dengan pasien TB BTA

positif, sebaiknya diberikan isoniazid (INH) profilaksis terlebih dahulu, lalu bila

kontak sudah tenang dilakukan uji tuberkulin dan apabila hasilnya negatif, dapat

diberikan BCG.

2 Efektivitas

Vaksinasi BCG dapat diberikan secara bersamaan dengan vaksin hidup

lainnya, tetapi bila kedua vaksin tersebut tidak diberikan pada saat yang bersamaan,

maka sebaiknya diberikan jarak minimal 4 minggu antara BCG dan vaksin virus
49

hidup lainnya. Vaksinasi lain tidak boleh diberikan pada lengan yang sama dengan

BCG, paling sedikit selama 3 bulan, karena dapat meningkatkan resiko limfadenitis.

Banyak penelitian yang telah menunjukan hasil yang konsisten akan peranan

BCG dalam proteksi terhadap meningitis TB dan TB milier. Proteksi BCG

ditemukan bervariasi antara 0% - 80%. Sebuah meta-analisis menunjukkan proteksi

yang sama untuk vaksinasi saat bayi. Bukti-bukti untuk kemampuan proteksi BCG

terhadap penyakit TB paru anak tidak terlalu konsisten, tetapi ditemukan hasil yang

cukp baik, yaitu berkisar 60-80%, baik dinegara berkembang maupu negara maju,

baik untuk TB paru maupun TB ekstrapulmoner; meskipun ditemukan tingkat

proteksi yang lebih rendah pada daerah tropis.

Suatu meta-analisis lain terhadap lia studi prospektif dan 11 studi kasus kontrol

mendapatkan bahwa vaksinasi BCG pada saat bayi dapat menurunkan resiko TB

paru, Meningitis TB, TB milier, dan kematian akibat TB.

Efek proteksi BCG timbul 8 – 12 minggu setelah vaksinasi. Lamanya proteksi

BCG juga belum dapat diketahui dengan pasti. Suatu studi oleh Sterne dkk,

menemukan bahwa efektivitas BCG mennurun seiring dengan berjalannya waktu

sejak vaksinasi. Selain itu juga tidak ditemukan bahwa BCG dapat memberikan

perlindungan setelah lebih dari 10 tahun sejak vaksinasi. Akan tetapi, studi terakhir

di Amerika berhasil menemukan bahwa efektivitas dosis tunggal BCG dapat

bertahan hingga 50 – 60 tahun.

3 Keamanan dan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Vaksin BCG relatif aman, sangat jarang sekali terjadi komplikasi serius mauun

jangka panjang. Meskipun demikian, setiap orangtua harus mendapatkan penjelasan

yang lengkap mengenai manfaat, prosedur, serta kemungkinan efeksamping

pascavaksinasi. Vaksinasi BCG seringkali menimbulkan efeksamping lokal.


50

Penyuntikan yang benar akan menyebabkan timbulnya bisul kecil dalam 2-6 minggu,

yang akan membesar dan dapat terjadi ulku yang tertutup krusta selama 2-4 bulan,

kemudian menyembuh tanpa harus diobati dan menimbulkan bekas parut

berdiameter 4-8 mm. Orangtua dianjurkan untuk mengkompres ulkus dengan cairan

antiseptik bila ulkus mengeluarkan cairan dan diminta untuk datang ke dokter apabila

cairan bertambah banyak, koreng membesar, atau terjadi pembesaran kelenjar limfe

regional (aksila). Apabila pada lei terjadi infeksi sekunder dapat diberikan

eritromisin.

Limfadenitis supuratif di aksila atau leher dapat terjadi, tetepi biasanya sembuh

sendiri sehinga tidak perlu diobati bila timbul fistula harus dilakukan drainase dan

pemberian OAT langsung ke lesi. BCG juga mungkin menyebabkan abses lokal

akibat kesalahan teknik penyuntikan.

Efeksamping sistemik seperti BCG-itis diseminasi, osteomielitis, dan eritema

multiformis merupakan efeksamping yang parah, tetapi sangat jarang terjadi dan

biasanya berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Efeksamping ini harus diatasi

dengan kombinasi OAT.

4 Kontraindikasi

Di Indonesia, vaksin BCG tidak boleh diberikan pada mereka yang :

1. Pernah menderita TB

2. Uji tuberkulin > 5 mm

3. Sedang hamil

4. Dalam keadaan imunokompremais (atau keungkinan imunokompremais)

seperti pasien HIV atau beresiko tinggi infeksi HIV, dalam pengobatan
51

imunosupresan, kortikosteroid, radiasi, penyakit keganasan pada sumsum

tulang atau sistem limfe.

5. Gizi buruk

6. Sedang demam tinggi

7. Infeksi kulit yang luas

BCG boleh diberikan pada bayi-bayi pramature, karena didapatkan efikasi

yang baik pada bayi-bayi pramature dan divaksinasi pada umur gestasi 34-35 minggu

(umur rata-rata pemulangan bayi pramature), serta tidak didapatkan perbedaan

bermakna tingkat reaksi BCG antara bayi-bayi dengan berbagai tingkat umur gestas
52

DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak, Jakarta : Kementerian Kesehatan RI;

2013.

2. Nastiti N.R., Bambang S., Darmawan B.S., penyunting. Buku Ajar Respirologi

Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2008.

3. Mardjanis S., I. Budiman. Imunisasi BCG pada Anak. Dalam : Nastiti N.R.,

Bambang S., Darmawan B.S., penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta :

Badan Penerbit IDAI; 2008. Hal 252-258.

4. Nastiti N.R., Darmawan B.S. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. Dalam : Nastiti

N.R., Bambang S., Darmawan B.S., penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2008.

5. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI 2014. http://idai.or.id/public-

articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html diakses: 28 Juli 2016

6. Miller FJW. Tubeculosis in children, evolition, epidemiology, treatment,

prevention. New York; Churchill Livingstone; 1982


53
54

Anda mungkin juga menyukai