Anda di halaman 1dari 32

RINOSINUSITIS

Disusun oleh:
M. Hadi 17360063
Borni Isnandini 17360041
Vicki Jessika 17360075

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN BANDAR LAMPUNG

PERIODE 3 SEPTEMBER – 6 OKTOBER 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Rinosinusitis (RS) adalah suatu kondisi peradangan yang melibatkan hidung dan sinus

paranasal. Secara klinik RS adalah keadaan yang terjadi sebagai manifestasi adanya peradangan

yang mengenai mukosa rongga hidung dan sinus paranasal dengan terjadinya pembentukan

cairan atau adanya kerusakan pada tulang di bawahnya. Penyakit ini dapat mengenai semua

kelompok umur baik anak maupun dewasa. RS adalah salah satu keluhan yang paling sering

dialami oleh penderita yang datang berobat ke dokter umum maupun spesialis THT.

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan dampak signifikan

pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan dampak ekonomi pada mereka yang

produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di

Amerika Serikat untuk pengobatan rinosinusitis. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat,

dilaporkan bahwa angka kejadian rinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di Indonesia sendiri,

data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada

urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan

di rumah sakit. Rinosinusitis lebih sering ditemukan pada musim dingin atau cuaca yang sejuk

ketimbang hangat.

1
2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan

sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang

kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga

hidung.

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan

perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.

Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang

dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus

sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung.

Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. Pada orang sehat, sinus

terutama berisi udara. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami

modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga

hidung.

Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila

bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran

maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os

maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal

maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah

3
4

dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila

berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui

infindibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu

premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi

molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga

infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang

baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum

adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi

pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan

sinusitus.

Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus,

berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus

frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum

usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada

lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang

dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak

berkembang. Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya

2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya

gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan
5

adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa

serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal

berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian

dari sinus etmoid anterior.1,2

Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini

dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada

orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.

Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian

anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.1,2

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang

terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan

dinding medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-sel etmoid. Sel-sel ini jumlahnya

bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi

sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang

bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,

letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya

lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka

media.1,2

Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus

frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid.

Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat

bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
6

menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan

sisnusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.

Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid

dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid.

Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus

sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn

tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat

sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat

berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.1,2

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,

sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan

a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan

dengan fosa serebri posterior di daerah pons.1,2

Kompleks Ostio-Meatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara

saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit

dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat

di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior

dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.1,2


7

Gambar 1. sinus paranasal12

Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada

yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena

terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Namun ada beberapa pendapat yang

dicetuskan mengenail fungsi sinus paranasal yakni :1,2

1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban

udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati

pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa

sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa

serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

3. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan

tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
8

pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak

bermakna.

4. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi

kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak

memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada

korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak misalnya pada

waktu bersin atau membuang ingus

6. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan

partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus

medius, tempat yang paling strategis.

B. RHINOSINUSITIS

Definisi

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai

atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma

(common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi

bakteri. Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal. Sinusitis

diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut

multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis. Disekitar rongga
9

hidung terdapat empat sinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua

mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi).1,2

Dari 5 guidelines yakni European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps

2007 (EP3OS), British Society for Allergy and Clinical Immunology (BSACI) Rhinosinusitis

Initiative (RI), Joint Task Force on Practice Parameters (JTFPP), dan Clinical Practice

Guidelines : Adult Sinusitis (CPG:AS), 4 diantaranya sepakat untuk mengadopsi istilah

rinosinusitis sebagai pengganti sinusitis, sementara 1 pedoman yakni JTFFP, memilih untuk

tidak menggunakan istilah tersebut. Istilah rinosinusitis dipertimbangkan lebih tepat untuk

digunakan mengingat konka nasalis media terletak meluas secara langsung hingga ke dalam

sinus ethmoid, dan efek dari konka nasalis media dapat terlihat pula pada sinus ethmmoid

anterior. Secara klinis, inflamasi sinus (yakni, sinusitis) jarang terjadi tanpa diiringi inflamasi

dari mukosa nasal di dekatnya. Namun, para ahli yang mengadopsi istilah rinosinusitis tetap

mengakui bahwa istilah rinosinusitis maupun sinusitis sebaiknya digunakan secara bergantian,

mengingat istilah rinosinusitis baru saja digunakan secara umum dalam beberapa dekade

terakhir.10

Klasifikasi

Terdapat banyak subklasifikasi dari rinosinusitis, namun yang paling sederhana adalah

pembagian rinosinusitis berdasarkan durasi dari gejala. Rinosinusitis didefinisikan akut

menurut 3 guidelines (pedoman) yakni oleh RI, JTFPP, dan oleh CPG:AS yakni apabila durasi

gejala berlangsung selama 4 minggu atau kurang. Oleh CPG:AS rinosinusitis diklasifikasikan

sebagai subakut apabila gejala berlangsung antara 4 minggu hingga 12 minggu, sedangkan

definisi dari JTFPP menentukan durasi subakut mulai dari 4 minggu hingga 8 minggu. Lebih

jauh lagi CPG:AS mendefinisikan rinosinusitis akut berulang (recurrent) sebagai 4 episode atau

lebih rinosinusitis akut yang terjadi dalam setahun, tanpa gejala menetap di antara episode,
10

sementara JTFPP mendefinisikan rinosinusitis akut berulang sebagai 3 episode atau lebih

rinosinusitis akut per tahun. Untuk rinosinusitis kronik, hampir semua pedoman sepakat bahwa

rinosinusitis kronik merupakan gejala rinosinusitis yang menetap selama 12 minggu atau lebih,

kecuali JTFFP yang menetapkan gejala rinosinusitis yang menetap selama 8 minggu atau lebih

sebagai kriteria rinosinusitis kronik.10

Etiologi dan Faktor Predisposisi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam

rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan

anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osti-meatal (KOM),

infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskenesia silia seperti pada sindrom

Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling

lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga

hidung dan menyumbat sinus.1,2

Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga

perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan

rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta

kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak

silia. 1

Penyebab sinusitis dibagi menjadi:

1. Rhinogenik

Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang menyebabkan

sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis

alergi, polip, diaviasi septum dan lain-lain. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi
11

sinus karena terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak

menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan,

dan siklus seterusnya berulang.

2. Dentogenik/odontogenik

Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan sinusitis adalah

infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar). Bakteri penyebab adalah

Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Streptococcus viridans,

Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis dan lain-lain.

Penyebab yang yang cukup sering terjadinya sinusitis adalah disebabkan oleh adanya

kerusakan pada gigi.1,2

 Sinusitis Dentogen

Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik. Dasar sinus

maksila adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-kadang tulang tanpa

pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamasi

jaringan periondontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui

pembuluh darah dan limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis

maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas berbau

busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut dan dirawat,

pemberian antibiotik yang mencakup bakteria anaerob. Seringkali juga diperlukan

irigasi sinus maksila.1

 Sinusitis Jamur

Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang

jarang ditemukan. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya pemakaian

antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang

merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara lain diabetes mellitus,
12

neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis jamur yang

sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesis Aspergillus dan Candida.1

Perlu di waspadai adanya sinusitis jamur paranasal pada kasus seperti berikut :

Sinusitis unilateral yang sukar sembuh dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran

kerusakkan tulang dinding sinus atau adanya membran berwarna putih keabu-abu pada

irigasi antrum. Para ahli membagikan sinusitis jamur terbagi menjadi bentuk yang

invasif dan non-invasif. Sinusitis jamur yang invasif dibagi menjadi invasif akut

fulminan dan invasif kronik indolen. Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke

jaringan dan vaskular. Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien

dengan imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakain steroid yang lama

dan terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah

meyebabkan penyebaran jamur menjadi sangat cepat dan merusak dinding sinus,

jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum nasi, mukosa konka dan septum warna

biru-kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering kali berakhir

dengan kematian. 1

Sinusitis jamur inavasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan ganguan

imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronik progresif dan bisa

menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi gejala klinisnya tidak sehebat

gejala klinis pada fulminan kerana perjalanan penyakitnya berjalan lambat. Gejala-

gejalanya sama seperti sinusitis bakterial, tetapi sekret hidungnya kental dengan bercak-

bercak kehitaman yang bila dilihat dengan mikroskop merupakan koloni jamur.

Sinusitis jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam

ronggasinus tanpa invasi ke mukosa dan tidak mendestruksi tulang. Sering mengenai

sinus maksila. Gejala klinik merupai sinusitis kronik berupa rinore purulen, post nasal

drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada massa jamur di kavum nasi. Pada operasi bisa
13

ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor dengan atau tanpa pus di

dalam sinus.1

Epidemiologi

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan dampak signifikan

pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan dampak ekonomi pada mereka yang

produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di

Amerika Serikat untuk pengobatan rinosinusitis. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat,

dilaporkan bahwa angka kejadian rinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di Indonesia sendiri,

data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada

urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan

di rumah sakit. Rinosinusitis lebih sering ditemukan pada musim dingin atau cuaca yang sejuk

ketimbang hangat.1,6,11

Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens

mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel

epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan

viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk

membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat yang

berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara

pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya

berlebihan. 1

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu

apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan
14

terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel

mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan

menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ yang membentuk KOM

letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan, akan saling bertemu

sehingga silia tidak dpat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di

dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini

boleh dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam waktu beberapa

hari tanpa pengobatan. 1

Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan media baik

untuk pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut

sebagai rinosinusitis aku bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor,

yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor

ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis. 1

Manifestasi Klinis

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai dengan nyeri/rasa

tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip).

Dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan lesu. 1

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis

akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain) . nyeri pipi

menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata menandakan

sinusitis etmoida, nyeri di dahi atau kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis maksila

kadang-kadang terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga.


15

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang dapat

menyebabkan batuk dan sesak pada anak.

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1

atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini:

a. Sakit kepala kronik

b. Post-nasal drip

c. Batuk kronik

d. Ganguan tenggorok

e. Ganguan telinga akibat sumbatan di muara tuba Eustachius

f. Ganguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), brokietakasis, serangan asma yang

meningkat dan sulit diobati.

Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebakan gastroenteritis. 1

Working Diagonsis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan naso-

endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya

pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus

superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa

edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan pada kantus

medius.Untuk membantu diagnosis sinusitis, American Academy of Otolaryngology – Head

and Neck Surgery (AAO-HNS) membuat bagan diagnosis yang disebut Task Force on

Rhinosinusitis pada tahun 1996. Bagan ini didasarkan atas gejala klinis yang dibagi atas

kategori gejala mayor dan minor untuk diagnosis rhinosinusitis.3


16

RINOSINUSITIS

Major Symptoms Minor Symptoms

Facial pain/pressure Headache

Facial congestion/fullness Fever (non acute)

Nasal obstruction/blockage Halitosis

Nasal discharge/purulence/discolored Fatique

posterior drainage

Hyposmia/anosmia Dental pain

Purulence on nasal exam Cough

Fever (acute rhinosinusitis only) Ear pain/pressure/fullness

a. Facial pain/pressure alone does not constitute a suggestive history for diagnosis

in the absence of another symptom or sign.

b. Fever in acute sinusitis alone does not constitute a seggustive history for diangosis

in the absence of another symptom or sign.

Tabel 1: Bagan Task force on Rhinosinusitis 19963

Riwayat yang konsisten dengan rinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1 mayor

dan 2 faktor minor pada pasien dengan gejala lbih dari 7 hari. Ketika adanya 1 faktor mayor

atau 2 atau lebih faktor minor yang ada, ini menunjukkan kemungkinan di mana rinosinusitis

perlu di masukkan ke dalam diagnosa banding. 3

Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto polos posisi

Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus

maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan,air-fluid level , atau penebalan

mukosa. Rontgen sinus dapat menunjukkan kepadatan parsial pada sinus yang terlibat akibat

pembengkakan mukosa atau dapat juga menunjukkan cairan apabila sinus mengandung pus.
17

Pilihan lain dari rontgen adalah ultrasonografi terutama pada ibu hamil untuk menghindari

paparan radiasi. 3

Gambar 2. Foto rontgen sinus yang menunjukkan air-fluid level pada sinus etmoid 4

CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai

secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan

dan perluasannya. CT scan mampu memberikan gambaranyang bagus terhadap penebalan

mukosa, air-fluid level, struktur tulang, dan kompleks osteomeatal. Namun karena mahal hanya

dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronis yang tidak membaik dengan

pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.3,4

MRI sinus lebih jarang dilakukan dibandingkan CT scan karena pemeriksaan ini tidak

memberikan gambaran terhadap tulang dengan baik. Namun, MRI dapat membedakan sisa
18

mukus dengan massa jaringan lunak dimana nampak identik pada CT scan. Oleh karena itu,

MRI akan sangat membantu untuk membedakan sinus yang terisi tumor dengan yang diisi oleh

sekret. 3,4

Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Hal

ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah,karena akan nampak

perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit. Pemeriksaan ini sudah jarang

dilakukan karena sangat terbatas kegunaannya. Endoskopi nasal kaku atau fleksibel dapat

digunakan untuk pemeriksaan sinusitis. Endoskopi ini berguna untuk melihat kondisi sinus

ethmoid yang sebenarnya, mengkonfirmasi diagnosis, mendapatkan kultur dari meatus media

dan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. Ketika dilakukan dengan hati-hati

untuk menghindari kontaminasi dari hidung, kultur meatus media sesuai dengan aspirasi sinus

yang mana merupakan baku emas. Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah

kepada organisme penyebab, maka kultur dianjurkan. 3,4

Differential Diagnosis

Dokter perlu memahami keluhan pasien yang menggambarkan sinus mereka

bermasalah karena keluhan tersebut mungkin tidak melibatkan sinus. Banyak kondisi yang

mempunyai keluhan nyeri wajah atau sakit kepala yang harus dipertimbangkan. Sindrom sakit

kepala bisa termasuk tension headache, migrain, cluster headache atau arteritis temporal. Pada

keluhan sakit mata harus dipertimbangkan glaukoma, kesalahan refraksi dan strabismus.

Neuralgia tengkorak, nyeri leher kronis, penyakit gigi dan gangguan temporomandibular juga

harus dipertimbangkan. Sakit kepala mungkin disebabkan dari kontak septum hidung dengan

salah satu konka, disebut sakit kepala rhinologic(rhinologic headache). Kontak tersebut bisa

dikurangkan dengan pengobatan vasomotor atau rinitis alergi, dapat memperbaiki sakit kepala

pada beberapa pasien. Pasien yang mempunyai sinus sejati mungkin memiliki rhinitis alergi
19

atau oklusi sinus karena neoplasma. Neoplasma yang sering adalah karsinoma epitel nasofaring

yang biasanya berasal dari sel skuamosa. Kejadian ini lebih banyak di negara Mediterania dan

Timur Jauh. Faktor genetik dan lingkungan juga mungkin memainkan peranan. DNA virus

Epstein-Barr telah dideteksi pada tumor dan kondisi premaligna, dan beberapa kelompok

antigen limfosit manusia(HLA) juga telah diidentifikasi.5

Beberapa penyakit lain yang memiliki manifestasi atau keterkaitan dengan rinosinusitis

yaitu :6

 Granulomatosis Wegener melibatkan angiitis yang dikaitkan dengan nekrosis fokal dan

reaksi granulomatosa. Penyakit ini pada awalnya mempengaruhi saluran pernapasan,

tetapi dapat juga berkembang melibatkan organ lain.

 Ataksia - telangiektasia merupakan gangguan autosomal resesif yang berhubungan

dengan sinusitis berulang, infeksi paru, bronkiektasis, fibrosis paru, tracheomegalli,

berkurangnya jaringan limfoid dan atrofi cerebellar.

 Cystic fibrosis adalah gangguan autosomal resesif yang berhubungan dengan

pernapasan, GI, kelainan jantung dan sinus.

 Sindrom silia imotil (immotile cilia syndrome) adalah gangguan autosomal resesif yang

terkait dengan infeksi paru berulang dan/atau konsolidasi paru, sinusitis, bronkiektasis

dan sindrom Kartagener.

 Sindrom Kartagener adalah penyakit autosomal resesif yang berhubungan dengan

sinusitis, situs inversus, infeksi pernafasan berulang dan bronkiektasis.

 Pasien yang hiperalergik mungkin memiliki polip yang tidak terhitung mengisi rongga

hidung dan menghalangi sinus paranasal, hal ini dapat memberikan penampilan

berkarakteristik pada pemeriksaan imaging. Penyakit ini sangat berkait erat dengan

asma.
20

 Sindrom Wiskott - Aldrich merupakan penyakit genetik yang bersifat X-linked, resesif

dan penyakit defisiensi imun tubuh yang dikaitkan dengan infeksi berulang saluran

pernapasan dan atau pneumonia, sinusitis dan mastoiditis.

 Sindrom Kuku Kuning (Yellow-nail syndrome) dikaitkan dengan efusi pleura

berulang,efusi perikardial, chylothorax, bronkiektasis dan sinusitis.

 Sindrom Muda (Young Syndrome) dikaitkan dengan azoospermia sekunder pada

obstruksi epididimis dan infeksi saluran pernapasan berulang dan sinusitis.

Penatalaksanaan

Pengobatan tergantung pada etiologi dari gejala rhinosinus. Tujuan terapi sinusitis

adalah:

a) Mempercepat penyembuhan,

b) Mencegah komplikasi

c) Mencegah perubahan menjadi kronik.

Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-

sinus pulih alami.6,1

Medika Mentosa

1. Kebanyakan infeksi sinus akut disebabkan oleh virus, di mana mayoritas pasien dapat

membaik dalam 2 minggu tanpa pengobatan antibiotik.7

2. Gejala awal dari infeksi saluran pernapasan atas dapat diobati dengan obat-obatan lokal

atau obat-obatan over-the-counter (OTC).

3. Irigasi dengan larutan salin normal direkomendasikan.

4. Dekongestan topikal, seperti oxymetazoline, dikombinasikan dengan dekongestan oral,

seperti pseudoephedrine, dapat membantu hidung tersumbat dan untuk drainase. Pasien
21

dinasihatkan tidak menggunakan vasokonstriktor nasal topikal untuk jangka masa yang

panjang karena adanya risiko rinitis medikamentosa. Drainase medis dicapai dengan

vasokonstriktor topikal dan sistemik. Vasokonstriktor alpha-adrenergik per oral

termasuk pseudoefedrin dan fenilefrin bisa digunakan selama 10-14 hari untuk

mengembalikan fungsi mukosiliar dan drainase menjadi normal. Vasokonstriktor alpha-

adrenergik per oral bisa menyebabkan hipertensi dan takikardi, maka mereka

dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Obat ini juga

dikontraindikasikan pada atlit yang mau berkompetisi karena peraturan

pertandingannya. Vasokonstriktor topikal (Oxymetazoline hydrochloride) membantu

drainase menjadi baik, tetapi harus digunakan maksimal 3-5 hari, dengan peningkatan

risiko rebound congestion, vasodilatasi dan rinitis medikamentosa bila digunakan untuk

periode yang lama.5,6,7

5. Untuk rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri didapatkan dari komunitas

(community-acquired bakteri), antibiotik mengurangi durasi penyakit dan membantu

membasmi infeksi. Berdasarkan uji klinis, amoksisilin, doxycycline, atau trimethoprim-

sulfametoksazol merupakan antibiotik yang disukai dan direkomendasikan selama 10

sampai 14 hari. Pilihan lain termasuk macrolide seperti azitromisin atau klaritromisin,

atau sefalosporin generasi kedua/ketiga.5 Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi

pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan

mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Pada sinusitis, antibiotik diberikan

selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. 1

Antibiotik harus disediakan untuk pasien dengan gejala yang disebabkan oleh

bakteri. Namun, gejala rinosinusitis bakteri biasanya tidak berbeda dari yang

disebabkan oleh virus. Simptom yang menunjukkan rinosinusitis bakteri termasuk

demam, malaise seluruh badan dan sakit kepala pada bagian frontal unilateral. Selain
22

itu rinosinusitis bakteri juga merupakan tanda komplikasi dini dan terjadi pada pasien

berisiko (immunodeficiency, usia lanjut, dll). Infeksi bakteri harus dipertimbangkan jika

gejala memburuk atau gagal untuk membaik dalam 7-10 hari. Karena adanya

peningkatan resistensi penisilin pada bakteri patogen utama pada rinosinusitis, jadi

pemilihan antibiotik harus dipertimbangkan. Pada pasien yang tidak beresiko resisten,

amoksisilin merupkan terapi lini pertama. Alternatif lini pertama yang lain termasuk

trimethoprimsulfamethoxazole atau doxycycline.7

6. Flurokuinolon mungkin juga berguna, tetapi belum disetujui untuk populasi anak.

Penggunaan selama 10 hari dapat memberikan pemberantasan 90 %.5

7. Jika tidak ada perbaikan gejala klinis seperti penurunan batuk, penurunan nanah

hidung, resolusi demam atau berkurangnya hidung tersumbat, standar pendekatan

adalah dengan antibiotik lini kedua dengan spektrum yang lebih luas dan diberikan lebih

lama. Jika responnya kurang pada antibiotik lini pertama, maka antibiotik harus beralih

ke cakupan yang lebih luas. Antibiotik lini kedua termasuk amoksisilin-asam

klavulanat, sefalosporin dan makrolida.5,7

8. Respons klinis dan pengobatan biasanya tergantung individual.5

9. Parameter praktis oleh Joint Task Force on Practice Parameters for Allergy and

Immunology menetapkan penilaian respons gejala setelah 3-5 hari terapi dan diteruskan

untuk tambahan 7 hari jika ada perbaikan. Namun, jika tiada respon, antibiotik

seharusnya ditukar.7

10. Tambahan steroid hidung dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan lebih tinggi.

Kortikosteroid yang digunakan intranasal bisa efektif dengan melemahkan respon

inflamasi, meskipun pada saat ini manfaat mereka masih tidak menyakinkan.

Penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin memiliki kelebihan dibandingkan dengan

penggunaan intranasal, seperti tingkat terapeutik yang tinggi dan tidak ada risiko
23

pelepasan buruk disebabkan oleh penyumbatan hidung. Review Cochrane baru-baru ini

yang mengenai terapi kortikosteroid sistemik untuk rinosinusitis akut, melaporkan obat

ini mempunyai efek mengguntungkan jangka pendek.5,8

11. Pengobatan tambahan lainnya termasuk mucoevacuants untuk menipis sekresi lendir.

Ini termasuk guaifenesin dan kalium iodida. Golongan mukolitik (guaifenesin) secara

teori mempunyai manfaat seperti menipiskan sekresi mukus dan memperbaiki drainase.

Ia jarang digunakan untuk praktek klinis pengobatan sinusitis akut.6,7

12. Belum data tersedia yang menunjukkan bahwa antihistamin bermanfaat pada sinusitis

akut. Antihistamin mungkin berbahaya karena ia mengeringkan membran mukus dan

menurunkan klirens sekresi. Antihistamin bermanfaat untuk mengurangkan obstruksi

ostiomeatal pada pasien dengan alergi dan sinusitis akut; tetapi ia tidak

direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien sinusitis akut. Antihistamin

mungkin memburukkan drainase dengan terjadinya penebalan dan

tertumpuknya(pooling) sekresi sinonasal.6 Antihistamin tidak diberikan rutin karena

sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Bila ada alergi

berat, sebaiknya diberikan antihistamin generasi kedua.1

13. Peran antibiotik pada rinosinusitis kronis(CRS) masih dipertanyakan. Pada penyakit ini

sangat penting untuk mengidentifikasikan faktor penyebab seperti rinitis alergi,

kelainan struktur, immunodeficiency, asap tembakau dan faktor lingkungan atau kerja.

Menurut Kelompok Kerja 2008 tentang CRS pada Dewasa, antibiotik harus disediakan

untuk pasien dengan sinus drainase yang purulen. Lama pengobatan antibiotik masih

kontroversial, tapi pengobatan antibiotik untuk jangka panjang selama 3-6 minggu

mungkin lebih efektif daripada jangka waktu yang lebih pendek. Seperti pada

rinosinusitis akut, perawatan lain termasuk steroid topikal dan irigasi sinus. Steroid oral

jangka pendek mungkin bermanfaat dalam mengobati CRS terutama CRSwNP(chronic


24

rhinosinusitis with nasal polyps). Evaluasi lebih lanjut diperlukan pada pasien yang

gagal terapi medis dan mungkin memerlukan intervensi bedah.

14. Pada AFRs(allergic fungal rhinosinusitis), operasi biasanya diperlukan untuk

menegakkan diagnosis dan menghapuskan mukus yang menebal. Setelah intervensi

bedah, diberikan kortikosteroid oral yang biasanya ditampering off secara bertahap ke

dosis terendah yang diperlukan untuk mengendalikan simptom. Selain itu, semprotan

hidung kortikosteroid topikal digunakan untuk mengendalikan peradangan.

15. Pengobatan antibiotik kronis mungkin memerlukan cakupan anaerobik, seperti

klindamisin, amoksisilin/klavulanat, metronidazole yang dikombinasikan dengan

macrolide, atau moksifloksasin. Lamanya pengobatan adalah 4 sampai 6 minggu. 7

16. Pasien sinusitis dengan penyebabnya dental atau mereka dengan discharge yang berbau

busuk, pengobatan anaerobik diperlukan dengan menggunakan klindamisin atau

amoksisilin dengan metronidazole.

17. Pasien dengan sinusitis nosokomial akut memerlukan pengobatan intravena yang

adekuat untuk organisme gram negatif. Antibiotik aminoglikosida biasanya merupakan

drug of choice karena mempunyai cakupan yang baik pada gram negatif dan penetrasi

sinus. Seleksi antibiotik biasanya berdasarkan hasil kultur yang diambil dari sekresi

maksila.

18. Selain dari pembedahan, komplikasi sinusitis akut ditangani dengan antibiotik

intravena. Sefalosporin generasi ketiga (cefotaxime, ceftriaxone) dengan kombinasi

vancomycin yang memberikan penetrasi intrakranial yang adekuat, merupakan pilihan

pertama.6

19. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.1
25

Non Medika Mentosa

1. Pembedahan umumnya dicadangkan untuk pasien dengan kelainan anatomi dan hanya

setelah terapi medis maksimal gagal. Kriteria mutlak untuk operasi meliputi setiap

perluasan infeksi atau adanya tumor di rongga hidung atau sinus. Indikasi relatif

termasuk sinusitis bakteri akut berulang, obstruksi oleh poliposis hidung, rinosinusitis

kronis yang tidak responsif terhadap pengobatan dan penyakit penyerta seperti asma

yang recalcitrant. Kerjasama yang erat dengan otolaryngologist berpengalaman sangat

penting dalam kasus-kasus yang sulit. Bedah sinus endoskopi fungsional(BSEF/FESS)

merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan

ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan

hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.1,5

2. Jika perlu, dapat diberikan terapi seperti analgetik, pencucian rongga hidung dengan

NaCl atau pemanasan (diatermi).1

Selain itu, simptomnya juga dapat dikurangkan dengan humidifikasi/vaporizer, kompresi

hangat, hidrasi yang adekuat dan nutrisi seimbang.6

Pencegahan

1. Menghindari penularan infeksi saluran pernapasan atas dengan menjaga kebiasaan cuci

tangan yang ketat dan menghindari orang-orang yang menderita pilek atau flu .

2. Disarankan mendapatkan vaksinasi influenza tahunan untuk membantu mencegah flu

dan infeksi berikutnya dari saluran pernapasan bagian atas .

3. Obat antivirus untuk mengobati flu, seperti zanamivir (Relenza), oseltamivir (Tamiflu),

rimantadine (Flumadine) dan amantadine (Symmetrel), jika diambil pada awal gejala,

dapat membantu mencegah infeksi .


26

4. Dalam beberapa penelitian, lozenges seng karbonat telah terbukti mengurangi durasi

gejala pilek.

5. Pengurangan stres dan diet yang kaya antioksidan terutama buah-buahan segar dan

sayuran berwarna gelap, dapat membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh .

6. Rencana serangan alergi musiman .

a. Jika infeksi sinus disebabkan oleh alergi musiman atau lingkungan, menghindari

alergen sangat penting. Jika tidak dapat menghindari alergen, obat bebas atau obat

resep dapat membantu. OTC antihistamin atau semprot dekongestan hidung dapat

digunakan untuk serangan akut.

b. Orang-orang yang memiliki alergi musiman dapat mengambil obat antihistamin

yang tidak sedasi(non sedative) selama bulan musim-alergi.

c. Hindari menghabiskan waktu yang lama di luar ruangan selama musim alergi.

Menutup jendela rumah dan bila mungkin, pendingin udara dapat digunakan untuk

menyaring alergen serta penggunaan humidifier juga dapat membantu.

d. Suntikan alergi, juga disebut "imunoterapi", mungkin efektif dalam mengurangi

atau menghilangkan sinusitis karena alergi. Suntikan dikelola oleh ahli alergi secara

teratur selama 3 sampai 5 tahun, tetapi sering terjadi pengurangan remisi penuh

gejala alergi selama bertahun-tahun.

7. Menjaga supaya tetap terhidrasi dengan:

a. Menjaga kebersihan sinus yang baik dengan minum banyak cairan supaya sekresi

hidung tipis.

b. Semprotan hidung saline (tersedia di toko obat) dapat membantu menjaga saluran

hidung agar lembab, membantu menghilangkan agen infeksius. Menghirup uap dari

semangkuk air mendidih atau mandian panas beruap juga dapat membantu.
27

c. Hindari perjalanan udara. Jika perjalanan udara diperlukan, gunakan semprotan

dekongestan nasal sebelum keberangkatan untuk menjaga bagian sinus agar terbuka

dan sering menggunakan saline nasal spray selama penerbangan.

8. Hindari alergen di lingkungan: Orang yang menderita sinusitis kronis harus

menghindari daerah dan kegiatan yang dapat memperburuk kondisi seperti asap rokok

dan menyelam di kolam diklorinasi.9

Komplikasi

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan

eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi infeksi rinosinusitis

sangat jarang dan paling sering terjadi pada anak dan imunocompromised. Perluasan yang tidak

terkendali dari penyakit bakteri atau jamur mengarah kepada invasi struktur sekitarnya terutama

orbital dan otak.5,6

Komplikasi mungkin timbul dengan cepat. Komplikasi yang sering adalah selulitis atau

abses pada daerah preseptal atau orbita. Infeksi preseptal diobati dengan antibiotik dan tidak

diperlukan pembedahan. Komplikasi yang lain mungkin memerlukan pengobatan pembedahan

segera. Perluasan pada postseptal mungkin terjadi dari penyebaran infeksi melalui lamina

papyracea(lapisan kertas), tulang tipis lateral pada sinus ethmoid. Sinus yang paling sering

terkena adalah sinus ethmoid, kemudian sinus frontal dan maksila. Penyebaran infeksi melalui

tromboflebitis dan perkontinuitatum. Perluasan ini dapat melibatkan pembuluh darah ethmoid

yang mengakibatkan terjadinya trombosis . Gejalanya meliputi edema kelopak mata yang

progresif, eritema, chemosis dan proptosis, yang jika tidak diobati, dapat berkembang menjadi

oftalmoplegia dan kebutaan. Perluasan pada intrakranial termasuk terjadinya meningitis, abses

epidural atau subdural, abses otak atau sagital, atau trombosis sinus cavernosus. Setiap pasien
28

dengan sejarah rinosinusitis dan demam tinggi, peningkatan sakit kepala atau terjadi perubahan

status mental harus dicurigai memiliki komplikasi intrakranial.1,5

Osteomielitis dapat menyebabkan komplikasi lokal. Pada tumor Pott bengkak(Pott’s

puffy tumor), osteomyelitis dari plate anterior dari tulang frontal menyebabkan dahi edema. Hal

ini merupakan komplikasi akut yang membutuhkan bedah drainase. Osteomelitis dan abses

subperiostal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-

anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.1,5

Komplikasi lokal juga dapat terjadi dari mucoceles atau mucopyoceles. Mereka

merupakan lesi kronis, dimana terjadinya cystic pada sinus. Sinus frontal adalah yang paling

sering terlibat. Mereka lambat tumbuh dan mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun

sebelum gejala terjadi. Keterlibatan sinus frontal dapat menyebabkan perubahan pada mata,

mengakibatkan diplopia. Dekompresi sering menyebabkan hilangnya gejala. Erosi posterior

oleh mucopyocele dapat menyebabkan infeksi . Mucoceles terlihat pada anak-anak dengan

cystic fibrosis.5

Komplikasi lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis.

Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut sinobronkitis. Selain itu

juga dapat menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum

sinusitisnya disembuhkan.1

Prognosis

Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya. Namun,

sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam kasus yang jarang

dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut membaik secara spontan tanpa

antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus adalah 98 %. Pasien dengan sinusitis akut,

jika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat
29

kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5 %. Jika tidak adanya respon

dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi kembali. Rinosinusitis yang

tidak diobati atau diobati dengan tidak adekuat dapat menyebabkan komplikasi seperti

meningitis, tromboflebitis sinus cavernous, selulitis orbita atau abses, dan abses otak.6

Pada pasien dengan rhinitis alergi , pengobatan agresif gejala hidung dan tanda-tanda

edema mukosa yang dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar sinus, dapat mengurangkan

sinusitis sekunder. Jika kelenjar gondok secara kronis terinfeksi, pengangkatan mereka dapat

menghilangkan nidus infeksi dan dapat mengurangi infeksi sinus.6


DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,

tenggorok, kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2010.h.150-4.

2. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar penyakit

tht. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.h.173-240

3. Mark A. Zacharek, Preeti N. Malani, Michael S. Benninger. An approach to the

diagnosis and management of acute bacterial rhinosinusitis. 2005. Diunduh dari

informahealthcare.com/doi/pdf/10.1586/14787210.3.2.271 . 24 April 2014.

4. Cummings CW. Radiology of nasal cavities and paranasal. Cumming otolaryngology

head and neck surgery. 4th edition. USA: Mosby; 2006.p.201.

5. Hallet R, Naguwa SM. Severe rhinosinusitis. Clinical reviews in allergy and

immunology. California : Human Press Inc. 2003; 5(3):177-90.

6. Brook I, Benson BE, Riauba L, Cunha BA. Acute sinusitis. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview. 23 April 2014.

7. Georgy MS, Peters AT. Chapter 8: rhinosinusitis. Allergy Asthma Proc. 2012 ;33

Suppl 1:24-7

8. Venekamp RP, Bonten MJM, Rovers MM, Verheij TJM, Sachs APE. Systemic

corticosteroid monotherapy for clinically diagnosed acute rhinosinusitis: a

randomized controlled trial. CMAJ. 2012; 184: 751-7

9. Cunha J P, Stoppler M C, Doerr S. Sinus infection. Diunduh dari

http://www.emedicinehealth.com/sinus_infection/page12_em.htm#sinus_infection_pr

evention, 23 April 2014.

30
10. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for the clinician:

a synopsis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 2011; 86 (5): 427-43

11. Desrosiers M, Evans GA, Keith PK. Canadian clinical practice guidelines for acute

and chronic rhinosinusitis. Allergy Asthma Clin Immunol. 2011;7(1):2

12. Rhinosinusitis, diunduh dari : https://www.aaaai.org/conditions-and-

treatments/conditions-a-to-z-search/sinuses,-sinusitis,-rhinosinusitis.aspx , 23 April

2014.

31

Anda mungkin juga menyukai