Anda di halaman 1dari 33

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS

Tinjauan pustaka atau tinjauan teori merupakan konteks ilmu pengetahuan yang

berkaitan dengan permasalahan yang akan di teliti oleh peneliti. Tinjauan pustaka dapat

diambil dari hasil-hasil penelitian lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti

(Notoatmojo, 2012). Bab ini akan membahas mengenai promosi kesehatan, imunisasi dasar,

pengetahuan dan sikap, kerangka penelitian dan hipotesis penelitian.

2.1 Demam Berdarah Dengue

2.1.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus

dengue dengan manifestasi klinis demam 2- 7 hari, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang

disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik (Suhendro,

2009)

Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi DBD berat.

Ada yang hanya bermanifestasi demam ringan yang akan sembuh dengan sendirinya atau

bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit (asimtomatik). Sebagian lagi akan

menderita demam dengue saja yang tidak menimbulkan kebocoran plasma dan

mengakibatkan kematian (Kemenkes RI, 2013).

2.1.2 Etiologi

Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat serotipe virus

dengue yang disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 dapat dibedakan dengan

metodologi serologi. Infeksi pada manusia oleh


salah satu serotipe menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh

serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara dan parsial terhadap

serotipe yang lain (Soedarmo, 2012).

Virus-virus dengue menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus lain,

mempunyai genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukleotida ikosahedral dan

terbungkus oleh selaput lipid. Virionnya mempunyai panjang kira-kira 11 kb (kilobases), dan

urutan genom lengkap dikenal untuk mengisolasi keempat serotipe, mengkode nukleokapsid

atau protein inti (C), protein yang berkaitan dengan membrane (M), dan protein pembungkus

(E) dan tujuh gen protein nonstruktural (NS) (WHO 2009).


2.1.3 Patogenesis

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD

belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang

dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini

sebagian besar masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis yang

menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue

pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu

6 bulan sampai 5 tahun (Soedarmo, 2012). Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi

makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus

bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan

aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma.

Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi

seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan

terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma (Suhendro, 2009).

2.1.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa

demam yang tidak khas, demam dengue, DBD atau sindrom syok dengue (SSD). Pada

umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis 2-3

hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai faktor risiko

untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat (Suhendro, 2009).

a) Demam Dengeu (DD)


Gambaran klinis dari DD sering tergantung pada usia pasien. Bayi dan anak kecil

dapat mengalami penyakit demam, sering dengan ruam makropapuler. Anak yang lebih

besar dan orang dewasa dapat mengalami baik sindrom demam atau penyakit klasik yang

Anak-anak dengan DBD umumnya menunjukkan peningkatan suhu tiba-tiba yang disertai

kemerahan wajah dan gejala konstituional non spesifik yang menyerupai DD, seperti

anoreksia, muntah, sakit kepala, dan nyeri otot, atau tulang dan sendi. Beberapa pasien

mengeluh sakit tenggorok dan nyeri faring sering ditemukan pada pemeriksaan, tetapi

rhinitis dan batuk jarang ditemukan. Nyeri konjungtiva mungkin terjadi. Ketidak

nyamanan epigastrik, nyeri tekan pada margin kosta kanan, dan nyeri abdominal

generalisata umum terjadi. Suhu biasanya tinggi (>390C) dan menetap selama 2-7 hari.

Kadang suhu mungkin setinggi 40-410 C; konfulsi virus debris dapat terjadi terutama pada

bayi (Soedarmo, 2012).

Untuk penegakkan diagnosa DBD diperlukan sekurang-kurangnya kriteria klinis 1 dan 2

dan dua kriteria laboratorium. Kriteria klinis menurut WHO adalah :

1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.

2. Manifestasi perdarahan minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk

perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),

hematemesis dan atau melena.

3. Pembesaran hati.

4. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi

menurun (< 20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik < 80 mmHg)

disertai kulit teraba dingin dan lembab trutama pada ujung hidung, jari dan kaki,

pasien gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.


Untuk kriteria laboratoriumnya adalah trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang) dan

adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, yang ditandai adanya
hemokonsentrasi atau peningkatan hematrokit >20% atau adanya efusi pleura, asites atau

hipoalbuminemia (Kemenkes RI, 2013).

Gejala klinis DBD sendiri terdiri dari beberapa fase, fase demam, fase kritis dan fase

penyembuhan. Fase demam terjadi pada hari pertama dan kedua yang merupakan awal

terjadinya demam mendadak dengan suhu yang dapat mencapai 400 C. Pada fase ini juga

dapat disertai keluhan lain seperti kemerahan, sakit kepala, nyeri otot, dehidrasi, bahkan

kejang pada anak.

Fase kritis terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-6. Pada fase ini demam cenderung tidak

ada, suhu tubuh kembali normal, namun kejadian syok dapat terjadi di fase ini. Suhu pada

penderita sekitar 37,50 – 380 C. Namun pada fase ini terjadi kebocoran plasma, kenaikan

hematokrit dan penurunan kadar trombosit. Kegagalan organ juga dapat terjadi pada fase

ini karena kebocoran plasma yang terjadi. Jika penanganan pada fase ini tidak adequat

maka dapat terjadi syok (DSS).

Fase penyembuhan adalah fase dimana suhu tubuh kembali normal dan terjadi reabsorbsi

cairan setelah kebocoran plasma di fase kritis. Pada fase penyembuhan ini dapat terjadi

hipervolemia (hanya terjadi jika pemberian cairan berlebihan). Pada fase ini nafsu makan

akan
mulai membaik dan keadaan hemodinamik penderita mulai stabil (WHO, 2009).

2.1.5 Imunisasi Dasar

Vektor utama penularan DBD adalah nyamuk Aedes aegypti, yang biasanya aktif pada

pagi dan sore hari dan lebih suka menghisap darah manusia daripada darah hewan.

Nyamuk ini berkembang biak dalam air bersih pada tempat-tempat penampungan air yang

tidak beralaskan tanah. Sampai saat ini penyebaran DBD masih terpusat di daerah tropis

disebabkan oleh rata-rata suhu optimum pertumbuhan nyamuk adalah 25-270C. Namun,

dengan adanya pemanasan global, DBD diperkirakan akan meluas sampai ke daerah-

daerah beriklim dingin (Sembel, 2009). Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika

dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna

dasar hitam dengan bintik-bintik putih terutama pada kakinya. Morfologinya khas yaitu

mempunyai lira yang putih pada punggungnya. Telur Aedes aegypti mempunyai dinding

yang bergaris-garis dan menyerupai gambaran kain kasa. Larvanya mempunyai pelana

yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral.

Nyamuk betina meletakkan telurnya di dinding tempat perindukannya 1-2 cm di atas


permukaan air.setelah kira-kira 2 hari telur menetas menjadi larva lalu mengadakan
pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi dewasa
memerlukan waktu kira-kira 9 hari.
Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi air bersih yang
berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari
rumah. Tempat perindukan tersebut berupa tempat perindukan buatan manusia, seperti
tempayan atau gentong tempat penyimpanan air minum, bak mandi, pot bunga, kaleng, botol,
drum, dan lain sebaginya (Sungkar, 2008).

Tempat perindukan utama tersebut dapat dikelompokkan menjadi Tempat Penampungan Air
(TPA) untuk keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember, dan
sejenisnya, TPA bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat minuman hewan, ban
bekas, kaleng bekas, vas bunga, perangkap semut, dan sebagainya, dan TPA alamiah yang
terdiri dari lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang,
pangkal pohon pisang, dan lain-lain (Soegijanto, 2006).

Nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telurnya. Oleh karena itu, setelah
kawin nyamuk betina memerlukan darah untuk pemenuhan kebutuhan proteinnya. Nyamuk
betina menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali. Nyamuk betina menghisap darah pada
pagi dan sore hari dan biasanya pada jam 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 WIB. Untuk
mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari satu orang. Posisi
menghisap darah nyamuk Aedes
egypti sejajar dengan permukaan kulit manusia. Jarak terbang nyamuk Aedes aegypti sekitar
100 meter (Depkes RI, 2004).
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke
tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang
nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak, dengan demikian penguapan air dari tubuh
nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh dari
penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas. Aktifitas dan jarak terbang nyamuk
dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal.

2.2.5
2.3.5
2.4.5 Faktor eksternal meliputi kondisi luar tubuh nyamuk seperti kecepatan angin,

temperatur, kelembaban dan cahaya. Adapun faktor internal meliputi suhu tubuh

nyamuk, keadaan energi dan perkembangan otot nyamuk. Meskipun Aedes aegypti

kuat terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh, karena tiga macam kebutuhannya yaitu

tempat perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat ada dalam satu

rumah. Keadaan tersebut yang menyebabkan Aedes aegypti bersifat lebih menyukai

aktif di dalam rumah, endofilik. Apabila ditemukan nyamuk dewasa pada jarak terbang

mencapai 2 km dari tempat perindukannya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh

angin atau terbawa alat transportasi.


2.5.5
2.6.5
2.7.5
2.8.5
2.9.5 Setelah selesai menghisap darah, nyamuk betina akan beristirahat sekitar 2-3 hari

untuk mematangkan telurnya. Nyamuk Aedes aegypti hidup domestik, artinya lebih

menyukai tinggal di dalam rumah daripada di luar rumah. Tempat beristirahat yang

disenangi nyamuk ini adalah tempat-tempat yang lembab dan kurang terang seperti

kamar mandi, dapur, dan WC. Di dalam rumah nyamuk ini beristirahat di baju-baju

yang digantung, kelambu, dan tirai. Sedangkan di luar rumah nyamuk ini beristirahat

pada tanaman-tanaman yang ada di luar rumah (Depkes RI, 2004).

2.10.5
2.11.5
2.12.5 Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia,

nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun tempat-tempat umum. Nyamuk

ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ±1.000 m dari

permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m nyamuk ini tidak dapat berkembang

biak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak

memunginkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2005).

2.13.5
2.14.5
2.15.5 Pada saat musim hujan tiba, tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti

yang pada musim kemarau tidak terisi air, akan mulai terisi air. Telur-telur yang

tadinya belum sempat menetas akan menetas. Selain itu, pada musim hujan semakin

banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan

sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk ini. Oleh karena itu, pada musim hujan
2.16.5
2.17.5
2.18.5
2.19.5
2.20.5 populasi nyamuk Aedes aegypti akan meningkat. Bertambahnya

populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan

peningkatan penularan penyakit dengue (Depkes RI, 2005).

2.1.6 Macam-macam Imunisasi Dasar

1. BCG (Bacille Calmette-Guerin)

Melindungi penyakit TBC / Tuberkulosis, vaksin BCG tidak dapat

mencegah infeksi tuberculosis, namun dapat mencegah komplikasinya atau

tuberculosis berat. Kandungan yang teradapat dalam vaksin BCG adalah

Mycobacterium bovis yang dilemahkan. Waktu pemberian vaksin BCG ini

adalah pada usia <2 bulan, apabila BCG diberikan di atas usia 3 bulan,

sebaiknya dilakukan uji tuberculin negative. Kontraindikasi pemberian BCG

jika reaksi uji tuberculin >5 mm, menderita infeksi Human Immunodeficiency

Virus (HIV) atau dengan resiko tinggi infeksi HIV, menderita gizi buruk,

menderita demam tinggi. Efek samping dari pemberian vaksin BCG setelah 2

minggu akan terjadi pembengkakan kecil dan merah di tempat suntikan.

Setelah 2-3 minggu kemudian pembengkakan menjadi abses kecil dan

kemudian menjadi luka dengan garis tengah ± 10 mm. Luka akan sembuh

sendiri dengan meninggalkan luka parut yang kecil (Departemen Kesehatan

RI. Jakarta 2004).

2. DPT/DT (Difteri, Pertusis, Tetanus)

9
10

DPT melindungi dari penyakit difteri, pertusis, dan tetanus:

a. Difteri adalah suatu infeksi bakteri gram positif yang menyerang

tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang fatal. Komplikasi

berupa destruksi jaringan setempat akibat adanya selaput/membran yang

dapat menyumbat jalan nafas.

b. Pertusis (batuk rejan) adalah infeksi bakteri pada saluran udara yang

ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang

melengking. Pertusis berlangsung selama beberapa minggu dan dapat

menyebabkan serangan batuk hebat sehingga anak tidak dapat bernafas,

makan atau minum. Pertusis juga dapat menmbulkan komplikasi serius,

seperti kejang dan kerusakan otak.

c. Tetanus adalah infeksi bakteri yang bisa menyebabkan kekakuan pada

rahang serta kejang. Waktu pemberian untuk imunisasi ini rutin pada

anak, dianjurkan pemberian 3 dosis pada 2, 3, 4 bulan, dilanjutkan

imunisasi ulangan satu (1) kali pada usia interval satu tahun setelah DPT3

dan diberikan ulangan lagi pada usia lima tahun atau saat masuk sekolah.

Kontraindikasi dari imunisasi DPT adalah riwayat anafilaksis pada

pemberian vaksin sebelumnya, Ensefalopati sesudah pemberian vaksin

sebelumnya. Efek samping pemberian imunisasi DPT yaitu kebanyakan

anak menderita panas pada waktu sore hari setelah mendapatkan

imunisasi DPT, tetapi panas akan turun dan hilang dalam waktu 2 hari.

Sebagian besar merasa nyeri, sakit, merah, atau bengkak di tempat

suntikan. Keadaan ini tidak berbahaya dan tidak perlu mendapatkan


11

pengobatan khusus, akan sembuh sendiri. Bila gejala tersebut tidak timbul

tidak perlu diragukan bahwa imunisasi tersebut tidak memberikan

perlindungan dan imunisasi tidak perlu diulang. Jika demam pakailah

pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres dengan air

dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila

diperlukan (CDC-ACIP, 2006).

3. Polio

Imunisasi polio memberikan perlindungan untuk penyakit

Poliomielitis/ Polio (lumpuh layuh) , waktu pemberian imunisasi ini adalah

pada saat bayi baru lahir sebagai dosis awal, kemudian diteruskan dengan

imunisasi dasar mulai umur 2,3,4 bulan yang diberikan tiga dosis terpisah

berturut- turut dengan interval waktu 6-8 minggu. Kontraindikasi dari

imunisasi polio adalah demam (>38,5oC) , muntah atau diare, keganasan, HIV

(Human Immunodeficiency Virus). Setelah dilakukan vaksin sebagian kecil

mengalami gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot (IDAI, 2008)

4. Campak

Imunisasi campak bertujuan untuk melindungi anak dari penyakit

campak, penyakit campak adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus

campak yang sangat menular pada anak-anak, ditandai dengan panas, batuk,

pilek, konjungtivitis. Campak disebabkan oleh virus campak yang termasuk

dalam family paramyxovirus, virus ini sensitif terhadap panas, dan sangat

mudah rusak pada suhu 37o C. waktu pemberian imunisasi campak adalah

pada saat usia Sembilan (9) bulan, secara intramuskular. Efek samping yang
12

ditimbulkan dari pemberian imunisasi campak adalah mengalami demam

ringan dan kemerahan selama tiga hari yang dapat terjadi 8-12 hari setelah

pemberian, cara penanganan efek samping yaitu orangtua dianjurkan untuk

memberikan minum lebih banyak (ASI atau sari buah), kompres bekas

suntikan yang nyeri, jika demam berikan paracetamol 15mg/kgBB setiap 3-4

jam, maksimal 6 kali dalam 24 jam (Buku Ajar Imunisasi 2014 hal 24).

5. Hepatitis B

Imunisasi ini diberikan untuk melindungi dari penyakit Hepatitis B,

dosis pertama pemberiannya pada saat 0-7 hari atau saat bayi baru lahir, dosis

kedua interval minimum 4 minggu ( satu bulan ), dosis ketiga merupakan

penentu sespons antibody karena merupakan booster (3-6 bulan). Efek

samping dari hepatitis B adalah reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan

pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan, reaksi yang terjadi bersifat

ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari (Lok, 2004).

2.2 Promosi Kesehatan

2.2.1 Pengertian Promosi Kesehatan

Menurut WHO, Promosi kesehatan adalah proses atau upaya

pemberdayaan masyarakat untuk dapat memelihara dan meningkatkan

kesehatannya. Untuk mencapai keadaan sehat, seseorang atau kelompok harus

mampu mengidentifikasi dan menyadari aspirasi, mampu memenuhi kebutuhan

dan merubah atau mengendalikan lingkungan.


13

Promosi kesehatan adalah suatu proses yang memungkinkan individu

untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Termasuk di dalamnya adalah sehat

secara fisik, mental dan sosial sehingga individu atau masyarakat dapat

merealisasikan cita-citanya, mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, serta mengubah

atau mengatasi lingkungannya. Kesehatan adalah sumberdaya kehidupan bukan

hanya objek untuk hidup. Kesehatan adalah suatu konsep yang positif yang tidak

dapat dilepaskan dari social dan kekuatan personal. Jadi promosi kesehatan tidak

hanya bertanggungjawab pada sektor kesehatan saja, melainkan juga gaya hidup

untuk lebih sehat (Keleher, et.al, 2007).

2.2.2 Strategi Promosi Kesehatan

Strategi promosi kesehatan secara global ini terdiri dari 3 hal, yaitu:

1. Advokasi (Advocacy)

Pada dasarnya promosi kesehatan bertujuan untuk mengenalkan

kesehatan kepada masyarkat, untuk mencapai hal ini perlu adanya pendekatan

persuasif, dan menggunakan cara yang komunikatif serta inovatif yang

memerhatikan sasaran promosi kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran masyarakat terkait kesehatan. Advokasi berperan dalam mendukung

kegiatan promosi kesehatan yang dapat memfasilitasi adaptasi perilaku dan

lingkungan untuk memperbaiki kesehatan. Pelaku advokasi kesehatan ialah

orang yang peduli terhadap upaya kesehatan dan memandang perlu adanya

mitra untuk mendukung upaya tersebut (Maulana, 2009).


14

Yu Hu, Shuying Luo, Xuewen Tang, et al., (2014) di China

melakukan penelitian terhadap salah satu program imunisasi (Expanded

Program on Imunization) yang dilasanakan dari Oktober 2011 hingga Mei

2014, penelitian ini mengevaluasi cakupan vaksinasi yaitu dengan

memperpanjang waktu layanan EPI dan meningkatkan frekuensi layanan

vaksinasi, program pelatihan untuk vaksinator, mengembangkan alat skrining

untuk mengidentifikasi tuntutan vaksinasi di antara petugas klinik, Mobilisasi

sosial untuk imunisasi. Tingkat respons yang baik dan valid serta manajemen

efek samping di antara vaksinator adalah lebih dari 90% setelah pelatihan.

2. Dukungan Sosial (Social support)

Strategi dukungan sosial ini adalah suatu kegiatan untuk mencari

dukungan sosial melalui tokoh-tokoh masyarakat (toma), baik tokoh

masyarakat formal maupun informal. Tujuan utama kegiatan ini adalah agar

para tokoh masyarakat, sebagai jembatan antara sektor kesehatan sebagai

(pelaksana program kesehatan) dengan masyarakat (penerima program)

kesehatan. Dengan kegiatan mencari dukungan sosial melalui toma pada

dasarnya adalah mensosialisasikan program-program kesehatan, agar

masyarakat mau menerima dan mau berpartisipasi terhadap program

kesehatan tersebut. Oleh sebab itu, strategi ini juga dapat dikatakan sebagai

upaya bina suasana, atau membina suasana yang kondusif terhadap kesehatan.

Bentuk kegiatan dukungan sosial ini antara lain: pelatihan-pelatihan para

tokoh masyarakat, seminar, lokakarya, bimbingan kepada toma, dan


15

sebagainya. Dengan demikian maka sasaran utama dukungan sosial atau bina

suasana adalah para tokoh masyarakat di berbagai tingkat (WHO, 1994).

Abdul Rahman, Al-Dabbagh, Al-Habeeb (2013 ) di Iraq melakukan

penelitian terhadap 30 desa yang kemudian 15 desa di lakukan kampanye

pendidikan kesehatan oleh pemimpin spiritual, secara signifikan meningkat

(95,5%, 90,0%, 84,4% dan 80,3% masing-masing) dibandingkan dengan

periode pra-intervensi (masing-masing 55,9%, 42,7%, 21,5% dan 27,6%).

Angka dropout dari vaksin tersebut juga menurun secara signifikan.

3. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)

Pemberdayaan merupakan strategi promosi kesehatan yang ditujukan

kepada masyarakat langsung. Tujuan utama pemberdayaan adalah

mewujudkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan

kesehatan untuk diri mereka sendiri. Bentuk kegiatan ini antara lain

penyuluhan kesehatan, keorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam

bentuk koperasi, pelatihan-pelatihan untuk kemampuan peningkatan

pendapatan keluarga (Notoatmodjo, 2007).

Owais, Hanif, Siddiqui, Agha, dan Zaidi (2008) di Pakistan

melakukan penelitian terhadap 179 ibu yang buta huruf yang diberikan

edukasi oleh petugas kesehatan, meningkatkan tingkat penyelesaian vaksin

DPT-3 / Hepatitis B sebesar 39%.

Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di Ottawa-Canada pada

tahun 1986 menghasilkan piagam Ottawa (Ottawa Charter). Di dalam piagam


16

Ottawa tersebut dirumuskan pula strategi baru promosi kesehatan, yang

mencakup 5 butir, yaitu :

1) Kebijakan Berwawasan Kebijakan (Health Public Policy)

Adalah suatu strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada

para penentu atau pembuat kebijakan, agar mereka mengeluarkan

kebijakan-kebijakan publik yang mendukung atau menguntungkan

kesehatan. Dengan perkataan lain, agar kebijakan-kebijakan dalam

bentuk peraturan, perundangan, surat-surat keputusan dan sebagainya,

selalu berwawasan atau berorientasi kepada kesehatan publik.

Misalnya, ada peraturan atau undang-undang yang mengatur adanya

analisis dampak lingkungan untuk mendirikan pabrik, perusahaan,

rumah sakit, dan sebagainya. Dengan kata lain, setiap kebijakan yang

di keluarkan oleh pejabat publik, harus memperhatikan dampaknya

terhadap lingkungan (kesehatan masyarakat).

2) Lingkungan yang mendukung ( Supportive Environment)

Strategi ini ditujukan kepada para pengelola tempat umum,

termasuk pemerintah kota, agar mereka menyediakan sarana-prasarana

atau fasilitas yang mendukung terciptanya perilaku sehat bagi

masyarakat, atau sekurang-kurangnya pengunjung tempat-tempat

umum tersebut. Lingkungan yang mendukung kesehatan bagi tempat-

tempat umum antara lain tersedianya tempat sampah, tersedianya

tempat trempat buang air besar/kecil, tersedianya air bersih,

tersedianya ruangan bagi perokok dan non-perokok, dan sebagainya.


17

Dengan perkataan lain, para pengelola tempat-tempat umum, pasar,

terminal, stasiun kereta api, bandara, pelabuhan, mall dan sebagainya,

harus menyediakan sarana dan prasarana untuk mendukung perilaku

sehat bagi pengunjungnya.

Mira Johri, Dinesh Chandra, Georges K Kone, et al., (2014) di

India melakukan penelitian terhadap 12 desa yang diberikan intervensi

yaitu fasilitas pelayanan berupa kunjungan rumah oleh relawan, dan

melalui internet. Semua desa yang dihubungi setuju untuk

berpartisipasi dan menerima pelayanan.

3) Reorientasi Pelayanan Kesehatan (Reorientasi Health Service)

Sudah menjadi pemahaman masyarakat pada umumnya bahwa

dalam pelayanan kesehatan itu ada “provider” dan “consumer”.

Penyelenggaraan (penyedia) pelayanan kesehatan adalah pemerintah

dan swasta, dan masyarakat adalah sebagai pemakai atau pengguna

pelayanan kesehatan. Pemahaman semacam ini harus diubah, harus

diorientasi lagi, bahwa masyarakat bukan sekedar pengguna atau

penerima pelayanan kesehatan, tetapi sekaligus juga sebagai

penyelenggara, dalam batas-batas tertentu. Realisasi dari reorientasi

pelayanan kesehatan ini, adalah para penyelenggara pelayanan

kesehatan baik pemerintrah maupun swasta harus melibatkan diri,

bahkan memberdayakan masyarakat agar mereka juga dapat berperan

bukan hanya sebagai penerima pelayanan kesehatan, tetapi juga

sekaligus sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan. Dalam


18

meorientasikan pelayanan kesehatan ini peran promosi kesehatan

sangat penting.

Abhijit, Esther, Rachel, et al., (2010) di Rajasthan India melakukan

penelitian 134 desa yang memiliki sebuah tempat imunisasi tiap bulan.

Meningkatkan pelayanan meningkatkan tingkat imunisasi, tetapi

efeknya tetap sederhana. Insentif kecil memiliki dampak positif yang

besar pada penerimaan layanan imunisasi di daerah miskin sumber

daya dan lebih hemat biaya dari pada murni meningkatkan pasokan.

4) Keterampilan Individu (Personnal Skill)

Kesehatan masyarakat adalah kesehatan agregat yang terdiri

dari individu, keluarga, dan kelompok-kelompok. Oleh sebab itu,

kesehatan masyarakat akan terwujud apabila kesehatan individu-

individu, keluarga-keluarga dan kelompok- kelompok tersebut

terwujud. Strategi untuk mewujudkan keterampilan individu-individu

(personal skill) dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan

adalah sangat penting. Langkah awal dari peningkatan keterampilan

dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka ini adalah

memberikan pemahaman-pemahaman kepada anggota masyarakat

tentang cara-cara memelihara kesehatan, mencegah penyakit,

mengenal penyakit, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan

profesional, meningkatkan kesehatan, dan sebagainya. Metode dan

teknik pemberian pemahaman ini lebih bersifat individual dari pada

massa.
19

Hussain, Mohammad H. Rahbar, Sibylle Kristensen et al.,

(2010) di Pakistan melakukan penelitian terhadap 378 ibu yang

diberikan kartu imuniasi, 376 ibu diberikan edukasi, 374 ibu diberikan

kartu dan diberikan edukasi. Keduanya efektif dalam meningkatkan

kunjungan imunisasi.

5) Gerakan masyarakat (Community Action)

Untuk mendukung perwujudan masyarakat yang mau dan

mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya seperti tersebut

dalam visi promosi kesehatan ini, maka di dalam masyarakat itu

sendiri harus ada gerakan atau kegiatan-kegiatan untuk kesehatan.

Oleh karena itu, promosi kesehatan harus mendorong dan memacu

kegiatan-kegiatan di masyarakat dalam mewujudkan kesehatan

mereka. Tanpa adanya kegiatan masyarakat di bidang kesehatan, maka

akan terwujud perilaku yang kondusif untuk kesehatan atau

masyarakat yang mau dan mampu memelihara serta meningkatkan

kesehatan mereka.

Derajat kesehatan masyarakat akan efektif apabila unsur-unsur

yang ada di masyarakat tersebut bergerak bersama-sama. Dari kutipan

piagam Ottawa, dinyatakan bahwa: Promosi Kesehatan adalah upaya

yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan

mampu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan sendiri.

Keoprasith, Kizuki, dan Watanabe (2012) melakukan penelitian

di daerah yang dihuni oleh berbagai kelompok etnis terbatas,


20

penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi dampak kegiatan

lokakarya dalam berbagai dialek lokal yang dipandu oleh fasilitator,

masyarakat dipilih dan dilatih untuk membantu dalam pertemuan desa

untuk membahas masalah-masalah kesehatan dan mengembangkan

serta melaksanakan rencana aksi. Keterampilan diajarkan melalui

demonstrasi oleh spesialis, cakupan vaksinasi di antara anak-anak dan

perempuan meningkat secara signifikan setelah 1 tahun.

2.2.3 Sasaran Promosi Kesehatan

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2011, dalam

pelaksanaan promosi kesehatan dikenal adanya 3 (tiga) jenis sasaran, yaitu (1)

sasaran primer, (2) sasaran sekunder dan (3) sasaran tersier:

1. Sasaran Primer

Masyarakat pada umumnya menjadi sasaran langsung segala upaya

pendidikan atau promosi kesehatan. Sesuai dengan permasalahan kesehatan,

maka sasaran ini dapat dikelompokkan menjadi, kepala keluarga untuk

masalah kesehatan umum, ibu hamil dan menyusui untuk masalah KIA

(kesehatan ibu dan anak), anak sekolah untuk kesehatan remaja, dan

sebagainya. Upaya promosi yang dilakukan terhadap sasaran primer ini

sejalan dengan strategi pemberdayaan masyarakat. Agnes Widyani Palupi

(2011) di desa Mancon Nganjuk, melakukan penelitian terhadap 60 ibu yang

di berikan penyuluhan kesehatan tentang imunisasi dasar lengkap. Didapatkan


21

hasil bahwa adanya pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap kelengkapan

pengetahuan ibu.

2. Sasaran Sekunder

Para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan sebagainya. Disebut

sasaran sekunder, karena dengan memberikan pendidikan kesehatan kepada

kelompok ini diharapkan untuk selanjutnya kelompok ini akan memberikan

pendidikan kesehatan kepada masyarakat di sekitamya. Di samping itu dengan

perilaku sehat para tokoh masyarakat sebagai hasil pendidikan kesehatan yang

diterima, maka para tokoh masyarakat ini akan memberikan contoh atau acuan

perilaku sehat bagi masyarakat sekitarnya. Upaya promosi kesehatan yang

ditujukan kepada sasaran sekunder ini adalah sejaian dengan strategi

dukungan sosial.

3. Sasaran Tersier

Para pembuat keputusan atau penentu kebijakan baik di tingkat pusat, maupun

daerah adalah sasaran tersier pendidikan kesehatan. Dengan kebijakan-

kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh kelompok ini akan

mempunyai dampak terhadap perilaku para tokoh masyarakat (sasaran

sekunder), dan juga kepada masyarakat umum (sasaran primer). Upaya

promosi kesehatan yang ditujukan kepada sasaran tersier ini sejalan dengan

strategi advokasi (advocacy) kesehatan, maka sasaran ini dapat

dikelompokkan menjadi, kepala keluarga untuk masalah kesehatan umum, ibu

hamil dan menyusui untuk masalah KIA (kesehatan ibu dan anak), anak

sekolah untuk kesehatan remaja, dan sebagainya. Upaya promosi yang


22

dilakukan terhadap sasaran primer ini sejalan dengan strategi pemberdayaan

masyarakat.

2.3 Pengetahuan dan Sikap

2.3.1 Pengertian Sikap

Menurut Bimo Walgito (2001) pengertian sikap adalah keyakinan atau

pendapat seseorang terkait situasi, subjek atau objek yang disertai dengan

munculnya perasaan tertentu. Perasaan inilah yang akan dijadikan sebagai dasar

orang tersebut untuk berperilaku dan merespon menggunakan cara tertentu sesuai

dengan pilihannya.

Menurut Randi dalam Imam (2011) mengungkapkan bahwa “Sikap

merupakan sebuah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri

atau orang lain atas reaksi atau respon terhadap stimulus (objek) yang

menimbulkan perasaan yang disertai dengan tindakan yang sesuai dengan

objeknya”.

2.3.2 Komponen Sikap

Menurut Azwar S (2012) struktur sikap dibedakan atas tiga (3) komponen

yang saling menunjang, yaitu:

1. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh

individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype

yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamarkan penanganan


23

(opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang

kontroversal.

2. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional.

Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai

komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap

pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang

komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang

terhadap sesuatu.

3. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu

sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau

kecenderungan untuk bertindak/ bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara

tertentu dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk

mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk

tendensi perilaku.

Selvia Emilya, Yuniar Lestari, Asterina (2014) di kota Padang melakukan

penelitian terhadap 40 ibu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebanyak

29 dari 40 responden (72,5%) memiliki sikap yang positif tentang imunisasi

dasar lengkap, pemberian imunisasi dasar lengkap lebih banyak pada ibu

yang sikap positif (51,7%) dibandingkan dengan yang bersikap negatif (0%).

2.3.3 Tingkatan Sikap

Tingkatan sikap menurut Notoatmodjo (2003) :

1. Menerima (Receiving)
24

Menerima diartikan bahwa seseorang ingin dan memperhatikan stimulus

yang diberikan oleh obyek.

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan sesuatu dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (Valuting)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan/mendiskusikan suatu masalah

adalah suatu indikasi sikap.

4. Bertanggung jawab (Responsile)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

2.3.4 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Menurut Azwar (2013) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap

objek sikap antara lain:

1. Pengalaman pribadi

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah

meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah

terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang

melibatkan faktor emosional.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis

atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini
25

antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk

menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

3. Pengaruh kebudayaan

Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita

terhadap berbagai masalah.Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota

masyarakatnya, karna kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman

individu-individu masyarakat asuhannya.

4. Media massa

Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi

lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara objektif

cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh

terhadap sikap konsumennya.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama

sangat menentukan sistem kepercayaa tidaklah mengherankan jika pada

gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.

6. Faktor emosional

Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi

yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk

mekanisme pertahanan ego.

1.3.5 Pengetahuan
26

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan atau

kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang atau overt behavior. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif

mempunyai 6 tingkatan (Notoadmodjo, 2007).

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam)

tingkatan :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk tingkat ini adalah mengingat (recall) seluruh bahan

yang dipelajari atau yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan

tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur orang

tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyarankan dan sebagainya.

b. Paham ( Comprehension )

Paham diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi

tersebut secara benar. Orang yang paham terhadap obyek atau materi dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan meramalkan

terhadap obyek yang dipelajari.

c. Aplikasi ( Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi realita (sebenarnya).


27

d. Analisis ( Analysis )

Analisis adalah suatu kemampuan untuk mempertahankan materi atau suatu

obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam struktur

organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis

dapat dilihat dari kata kerja, seperti menggambarkan, membedakan,

memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

e. Sintesis ( Synthesis )

Sintesis menunjuk kepada kemampuan meningkatkan atau menghubungkan

bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain

sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi

yang ada. Sebagai contoh dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan,

menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan

yang telah ada.

f. Evaluasi ( Evaluation )

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau obyek penilaian-penilaian itu

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan

kriteria yang telah ada ( Notoadmojo,2007).

Riyanto tahun 2013 di kota Serang, melakukan penelitian terhadap 76 ibu

yang mempunyai anak balita. Berdasarkan hasil penelitian ini dan data

yang menunjukkan bahwa hasil uji statistik menyatakan adanya hubungan

yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu dengan perilaku


28

pelaksanaan imunisasi dasar pada balita di Kampung Cantilan Kelurahan

Kagungan dengan nilai p=0.00.

2.4 Teori keperawatan Commented [s1]: Mana model dari teori ini?

Teori keperawatan yang menjadi penuntun kerangka penelitian ini adalah

Behavioral System Model atau model sistem perilaku dari Dorothy Jhonson

(Masters, 2015). Model keperawatan menurut Jhonson adalah dengan pendekatan

sistem prilaku, dimana individu dipandang sebagai sistem prilaku yang selalu

ingin mencapai keseimbangan dan stabilitas, baik di lingkungan internal maupun

eksternal, juga memiliki keinginan dalam mengatur dan menyesuaikan dari

pengaruh yang ditimbulkannya. Menurut Masters (2015) teori Dorothy Johnson

memiliki asumsi dasar, yaitu :

1. Konsep Manusia, manusia merupakan sistem perilaku utuh yang terdiri dari 2

sistem yaitu biologi dan prilaku. Ada 7 subsistem perilaku menurut Jhonson

yaitu attachement dan affiliative (merupakan pemeliharaan ikatan sosial, yang

kuat dalam kelangsungan dan keamanan diri), achievement (kemampuan

meanipulasi lingkungan), dependence (ketergantungan pada diri), aggressive

(mengenai perlindungan dan pemeliharaan diri), eliminative/ ingestive

(mengenai kebutuhan biologis dan eliminasi seseorang), restorative (mengenai

penggunaan obat) dan sexual (mengenai perkembangan identitas jenis

kelamin).

2. Konsep lingkungan, berhubungan dengan lingkungan tempat individu berada,

lingkungan dapat mempengaruhi perilaku seseorang.


29

3. Konsep keperawatan, dalam hal ini perawat merupakan pengatur eksternal

dalam keadaan tidak stabil.

4. Konsep kesehatan, hai ini merupakan proses adaptif secara fisik, mental,

emosional, sosial, dan internal, untuk mencapai kestabilan dan kenyamanan.

2.5 Kerangka Penelitian

Keberhasilan program imunisasi dasar salah satunya dipengaruhi oleh

pengetahuan dan sikap ibu dan ada beberapa faktor lain yang turut berperan.

Merespons panggilan tugas utama perawat yaitu memberikan promosi kesehatan

dalam upaya pencegahan penyakit maka peneliti ingin memberikan solusi yaitu

dengan melakukan promosi kesehatan yang ditujukan kepada ibu-ibu di RW.06

desa Sukajaya.. Penelitian ini akan dimulai dengan menilai pengetahuan dan sikap

ibu tentang imunisasi dasar dengan membagikan questioner lalu peneliti akan

memberikan promosi kesehatan tentang imunisasi dasar anak, setelah itu peneliti

akan membagikan kembali questioner yang sama untuk mengetahui perbandingan

sikap ibu sebelum promosi kesehatan dan sesudah diberikan promosi kesehatan.

Gambar 1. Kerangka Penelitian

Pengetahuan dan Promosi Kesehatan Pengetahuan dan Sikap


Sikap Sebelum Setelah Promosi
Promosi Kesehatan Kesehatan
30

2.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara dari penelitian yang

dilakukan oleh seorang peneliti yang kebenarannya masih akan dibuktikan dari

hasil penelitian yang dilakukan (Notoadmojo, 2012).

Penelitian ini membentuk 2 hipotesis yaitu :

1. Hipotesis Nol (Ho), berisi :

1) Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam pengetahuan ibu

tentang imunisasi dasar pada batita antara sebelum dan sesudah

promosi kesehatan tentang Imunisasi di RW.06 desa Sukajaya.

2) Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam sikap ibu tentang

imunisasi dasar pada batita antara sebelum dan sesudah promosi

kesehatan tentang Imunisasi di RW.06 desa Sukajaya.

2. Hipotesis Kerja (Ha), berisi :

1) Terdapat perbedaan yang signifikan dalam pengetahuan ibu tentang

imunisasi dasar pada batita antara sebelum dan sesudah promosi

kesehatan tentang Imunisasi di RW.06 desa Sukajaya.

2) Terdapat perbedaan yang signifikan dalam sikap ibu tentang imunisasi

dasar pada batita antara sebelum dan sesudah promosi kesehatan

tentang Imunisasi di RW.06 desa Sukajaya


31

Anda mungkin juga menyukai