PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
c. hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal pankreas,
fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal
kiri.
d. lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan,
sebagian duodenum dan jejenum.
e. Umbilicalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
f. Lateralis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri,
sebagian jejenum dan ileum.
g. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan
ureter kanan.
h. Pubica meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
i. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium
kiri.5
Inervasi dinding abdomen oleh nervi (nn) torakalis ke-8 sampai dengan
12. Nervus (n) torakalis ke-8 setinggi margo kostalis ke-10 setinggi umbilikus,
n. torakalis ke-12 setinggi suprainguinal. Peritoneum parietalis yang menutup
dinding abdomen depan sangat kaya saraf somatik sementara peritoneum yang
menutup pelvis sangat sedikit saraf somatik sehingga iritasi peritoneum pelvis
pasien sulit menentukan lokasi nyeri. Peritoneum diafragmatika pars sentralis
disarafi nervi spinalis C5 mengakibatkan iritasi pars sentralis diafragma
mempunyai nyeri alih di bahu, yang disebut Kehr
sign.5
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak
disengaja sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Trauma
dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai organ. Penderita
trauma berat mengalami gangguan faal yang penting, seperti kegagalan fungsi
membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem imunologi, dan
dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC = diseminated
intravascular coagulation).5
3
Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul
dan trauma tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang
berbeda sehingga algoritma penanganannya berbeda. Trauma abdomen dapat
menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan tindakan
pertolongan dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan.
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis:
a. Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
b. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul.
Trauma ini diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme utama, yaitu tenaga
kompresi (hantaman), tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga kompresi
(compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau
kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat
kecelakaan, atau sabuk pengaman yang salah (seat belt injury). Hal yang
sering terjadi adalah hantaman, efeknya dapat menyebabkan sobek dan
hematom subkapsular pada organ padat visera. Hantaman juga dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga dan
menyebabkan ruptur.4
Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam kavum
abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh
pemeriksa, dan akhir-akhir ini kegagalan dalam mengenali perdarahan
intraabdominal adalah penyebab utama kematian dini pasca trauma. Selain itu,
sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat operatif dan perlu
tindakan segera dalam menegakan diagnosis dan mengirim pasien ke ruang
operasi.2,4
4
2.1.2 Trauma tumpul
Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas
pada permukaan tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa
kerusakan daerah organ sekitar, patah tulang iga, cedera perlambatan
(deselerasi), cedera kompresi, peningkatan mendadak tekanan darah,
pecahnya viskus berongga, kontusi atau laserasi jaringan maupun organ
dibawahnya.2,5
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan
adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai
kelenturan (non complient organ) seperti hati, lien, pankreas, dan ginjal.
Secara umum mekanisme terjadinya trauma tumpul abdomen yaitu:
a. Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara
struktur. Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan
robeknya organ berongga, organ padat, organ visceral dan pembuluh
darah, khususnya pada bagian distal organ yang terkena. Contoh pada
aorta distal yang mengenai tulang torakal mengakibatkan gaya potong
pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi
pada pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction.
b. Isi intra abdominal hancur diantara dinding abdomen anterior dan
columna vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat
menyebabkan ruptur, biasanya terjadi pada organ-organ padat seperti
lien, hati, dan ginjal.
c. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan
intra-abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya
menyebabkan ruptur organ berongga. Berat ringannya perforasi
tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena cedera.7
5
Penentuan skoring atau skala digunakan untuk memperoleh
informasi obyektif sehingga dapat menentukan tindakan selanjutnya
yang akan dilakukan. CT scan merupakan pemeriksaan penunjang yang
dapat membantu menentukan grading ruptur lien. Penentuan skala pada
ruptur lien sangat diperlukan, karena tidak semua grading memiliki
penanganan yang sama.4
Laserasi
mendevaskularisasi lien
6
2.2.2 Anatomi dan Fisiologi
Lien berasal dari diferensiasi jaringan mesenkimal mesogastrium
dorsal. Berat rata-rata pada manusia dewasa berkisar 75-100 gram,
biasanya sedikit mengecil setelah berumur 60 tahun sepanjang tidak
disertai adanya patologi lainnya, ukuran dan bentuk bervariasi, panjang
± 10-11cm, lebar + 6-7 cm, tebal + 3-4 cm.1
Lien terletak di kuadran kiri atas dorsal di abdomen pada
permukaan bawah diafragma, terlindung oleh iga ke IX, X, dan XI. Lien
terpancang ditempatnya oleh lipatan peritoneum yang diperkuat oleh
beberapa ligamentum suspensorium yaitu1,2 :
a. Ligamentum splenoprenika posterior (mudah dipisahkan secara
tumpul).
b. Ligamentum gastrosplenika, berisi vasa gastrika brevis
c. Ligamentum splenokolika terdiri dari bagian lateral omentum majus
d. Ligamentum splenorenal.
Lien merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350
L per hari dan berisi kirakira 1 unit darah pada saat tertentu.
Vaskularisasinya meliputi arteri lienalis, variasi cabang pankreas dan
beberapa cabang dari gaster (vasa Brevis). Arteri lienalis merupakan
cabang terbesar dari trunkus celiakus.
7
lambung di anteromedial, ginjal kiri dan kelenjar adrenal di
posteromedial, dan fleksura splenikus di inferior.2
Fisiologi. Fungsi lien dibagi menjadi 5 kategori 1,3 :
a. Filter sel darah merah
b. Produksi opsonin-tufsin dan properdin
c. Produksi Imunoglobulin M
d. Produksi hematopoesis in utero
e. Regulasi T dan B limfosit
2.2.3 Patogenesis
Berdasarkan penyebab, ruptur lien dapat dibagi berdasar trauma
pada lien yang meliputi1 :
a. Trauma Tajam
Trauma ini dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau
atau benda tajam lainnya. Pada luka ini biasanya organ lain ikut
terluka tergantung arah trauma. Yang sering dicederai adalah paru,
lambung, lebih jarang pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah
mesenterium.
Pemeriksaan splenografi yang dilakukan melalui pungsi
dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan pasca splenografi ini
jarang terjadi selama jumlah trombosit > 70.000 dan waktu
protrombin 20 % di atas normal.
b. Trauma Tumpul
Lien merupakan organ yang paling sering terluka pada
trauma tumpul abdomen atau trauma thoraks kiri bawah. Keadaan
ini mungkin disertai kerusakan usus halus, hati, dan pankreas.
Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung
karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada
olahraga luncur dan olahraga kontak seperti judo, karate dan silat.
Ruptur lien yang lambat dapat terjadi dalam jangka waktu
beberapa hari sampai beberapa minggu setelah trauma. Pada separuh
kasus masa laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini karena adanya
8
tamponade sementara pada laserasi kecil, atau adanya hematom
subkapsuler yang membesar secara lambat dan kemudian pecah.
c. Trauma Iatrogenik
Ruptur lien sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi
abdomen bagian atas, umpamanya karena retractor yang dapat
menyebabkan lien terdorong atau ditarik terlalu jauh sehingga hilus
atau pembuluh darah sekitar hilus robek. Cedera iatrogen lain dapat
terjadi pada punksi lien (splenoportografi).
Kelainan patologi dikelompokkan menjadi 1,3 :
a. Cedera kapsul
b. Kerusakan parenkim, fragmentasi, kutub bawah hampir lepas
c. Kerusakan hillus dilakukan splenektomi parsial
d. Avulsi lien dilakukan splenektomi total
e. Hematoma subkapsuler
9
Penderita umumnya berada dalam berbagai tingkat renjat
hipovolemi dengan atau tanpa (belum) takikardi dan penurunan tekanan
darah. Penderita mengeluh nyeri perut bagian atas, tetapi sepertiga kasus
mengeluh nyeri perut kuadran kiri atas atau punggung kiri. Nyeri di
daerah puncak bahu disebut tanda Kehr, terdapat pada kurang dari
separuh kasus. Mungkin nyeri di daerah bahu kiri baru timbul pada posisi
Tredenlenberg. Pada pemeriksaan fisik ditemukan masa di kiri atas dan
pada perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya hematom subkapsular
atau omentum yang membungkus suatu hematoma ekstrakapsular
disebut tanda Ballance. Kadang darah di perut dapat dibuktikan dengan
shifting dullness.1
10
CT digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma tumpul
tidak hanya sebagai awal, tetapi juga untuk tindak lanjut, ketika pasien
ditangani secara non-bedah. CT juga semakin banyak digunakan untuk
trauma tembus yang secara tradisional ditangani dengan operasi.2 CT
pada trauma abdomen:
1. Evaluasi awal dari:
a. Trauma tumpul
b. Trauma tembus
2. Follow up dari pengelolaan non-operatif
3. Menyingkirkan adanya cedera
Grading cedera lien menurut gambaran CT-Scan
11
• Hematoma subcapsular kurang dari 10% dari luas permukaan
• Capsular tear kedalamannya kurang dari 1 cm.
Grade II
• Hematoma Subkapsular sebesar 10-50% dari luas permukaan
• Hematoma intraparenkim kurang dari diameter 5 cm
• Laserasi dengan kedalaman dari 1-3 cm dan tidak melibatkan
pembuluh darah trabecular.
Grade III
• Hematoma subcapsular lebih besar dari 50% dari luas permukaan
atau meluas dan terdapat ruptur hematoma subcapsular atau
parenkim
• Hematoma Intraparenkim lebih besar dari 5 cm atau mengalami
perluasan
• Laserasi yang lebih besar dari 3 cm kedalamannya atau melibatkan
pembuluh darah trabecular.
Grade IV
• Laserasi melibatkan pembuluh darah segmental atau hilar
dengan devascularisasi lebih dari 25% dari lien.
Grade V
• Shattered spleen atau cedera vaskuler hilar.
a. Gambaran yang paling sering ditemui yaitu fraktur tulang iga kiri
bawah. Fraktur iga menunjukkan adanya tekanan yang kuat pada
kuadran kiri atas yang menyebabkan keadaan patologi pada lien.
Fraktur iga kiri bawah terdapat pada 44 % pasien dengan ruptur lien
dan perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan lebih lanjut.6
b. Tanda klasik yang menentukan adanya ruptur lien akut (tingginya
diafragma sebelah kiri, atelektasis lobus bawah kiri, dan efusi
pleura) tidak selalu ada dan tidak bisa dijadikan tanda yang pasti.
Namun, tiap pasien dengan diafragma sebelah kiri yang meninggi
disertai dengan trauma tumpul abdomen harus dipikirkan sebagai
trauma lien sampai dibuktikan sebaliknya. 6
12
c. Tanda yang lebih dapat dipercaya dari trauma pada kuadran kiri atas
yaitu perpindahan ke medial udara gaster dan perpindahan inferior
dari pola udara lien. Gambaran ini menunjukkan adanya massa pada
kuadran kiri atas dan menunjukkan adanya hematom subkapsular
atau perisplenik.
o Hematom kuadran kiri atas, jika besar, dapat menggeser
bayangan dari tepi caudal bawah lien, menjadi gambaran
splenomegali.
o Hematom subkapsular dapat memberikan gambaran yang
hampir sama, dan massa yang ada memiliki batas yang tegas.
o Pergeseran gambaran ginjal kiri juga mungkin ditemukan.
Gambaran yang dapat menunjang yaitu ketika adanya
perdarahan retroperitonial atau darah bebas intraabdominal
terlihat kontras dengan yang disebutkan diatas. Darah
retroperitoneal dapat menghapus gambaran ginjal kiri dan
batas otot psoas.
o Kumpulan darah bebas di sekitar kolon kiri, menggeser pola
udara pada kolon desenden ke medial.
o Pendarahan yang banyak pada abdomen dapat menghilangkan
garis flank. o Pola udara usus yang sedikit dapat digeser keluar
pelvis oleh kumpulan darah.
o Gambaran midpelvik yang opak dengan tepi lateral yang
konveks dan tajam dapat ditemukan.
o Tepi kandung kemih bertambah dan dibatasi oleh gambaran
lusen yang tipis membentuk kubah dan seperti ekstraperitonial
fat.
d. Hematom lien kronik memberikan gambaran yang berbeda dan lebih
komplek karena diikuti dengan daftar panjang diagnosis banding.
Perubahan dari hematom subkapsuler atau parenkimal yaitu
menetap, menjadi cair, dan biasanya terserap lagi.2
e. Kadang, degenerasi kistik dari hematom intrasplenik menyebabkan
formasi yang salah dari kista.
13
o Sekitar 80 % dari kista lien diperkirakan berasal dari
posttrauma. Sekitar 80 % terbentuk dari kista hemoragik, dan
20 % dari kista serous dan kemungkinan adanya darah telah
diserap kembali semuanya.
o Tipis, teratur dan annular kalsifikasi terbentuk sebagai garis
fibrosis pada sekitar 30 % kista.
o Bentuk kista simetris dan unilokal, dan terdapat garis
kalsifikasi di dalam dan luar batas..
o Satu buah, besar, annular kalsifikasi lien mirip seperti sebuah
kista residual traumatik pada area tindak endemic untuk
organisme Echinococcus.
o Penyebab utama dari penyebaran kalsifikasi kista lien yaitu
infeksi dari Echinococcus granulosus, tapi organisme ini
jarang ada di normal geografik. 2
f. Hematom subkapsular merupakan hasil yang umum terjadi dari
trauma lien dan karakteristik gambarannya berbeda dari patologi
parenkim. Dalam penyembuhan hematom, kalsifikasi dari batas
kavitas dapat muncul. Tergantung pada proyeksi, kalsifikasi kavitas
dapat muncul linear atau diskoid. Derajat dari efek masa tergantung
dari ukuran regresi hematom. 2
g. Banyak kelainan patologi lain yang dapat memberikan gambaran
yang hampir sama, seperti pada penyakit sickle sel. Infark lien
kronik dapat berkembang menjadi kalsifikasi yang mirip dengan
hematom subkapsular.
14
Gambar 3. Gambaran trauma lien
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of
Illinois School of Medicine, Department of Radiology.
15
9. Sarkoidosis
10. Amiloidosis
11. Infeksi
12. Trauma sekunder
2.2.8 Penatalaksaan1,7,8,9
Penatalaksanaan secara tradisional adalah splenektomi. Akan
tetapi, splenektomi sedapat mungkin dihindari, terutama pada anak-
anak, untuk menghindari kerentanan permanen terhadap infeksi.
Kebanyakan laserasi kecil dan sedang pada pasien stabil, terutama anak-
anak, ditatalaksana dengan observasi dan transfusi. Kegagalan dalam
penatalaksanaan obsevatif lebih sering terjadi pada trauma grade III, IV,
dan V daripada grade I dan II. Tindakan bedah yang dapat dilakukan
pada keadaan rupture lien meliputi splenorafi dan splenektomi.1,5
a. Splenorafi
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan
lien yang fungsional dengan teknik bedah. Tindakan ini dapat
dilakukan pada trauma tumpul maupun tajam. Tindak bedah ini
terdiri atas membuang jaringan nonvital, mengikat pembuluh darah
yang terbuka, dan menjahit kapsul lien yang terluka. Jika penjahitan
laserasi saja kurang memadai, dapat ditambahkan dengan
pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan
omentum.1
b. Splenektomi7,8
Splenektomi adalah adalah sebuah metode operasi
pengangkatan limpa, yang mana organ ini merupakan bagian dari
system getah bening. Splenektomi biasanya dilakukan pada trauma
limpa, penyakit keganasan tertentu pada limpa (hodkin`s disease dan
non-hodkin`s limfoma, limfositis kronik, dan CML), hemolitik
jaundice, idiopatik trombositopenia purpura, atau untuk tumor, kista
dan splenomegali. Indikasi lainnya dilakukan splenektomi ialah
16
pada keadaan luka yang tidak disengaja pada operasi gaster atau
vagotomy dimana melibatkan flexura splenika di usus.
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang
tidak dapat diatasi dengan splenorafi, splenektomi parsial, atau
pembungkusan. Splenektomi parsial bisa terdiri dari eksisi satu
segmen yang dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan
bagian yang tidak cedera masih vital. Tapi splenektomi tetap
merupakan terapi bedah utama dan memiliki tingkat kesuksesan
paling tinggi.1
C. Komplikasi splenektomi7,8,9
I. Komplikasi sewaktu operasi
1. Trauma pada usus.
17
• Karena flexura splenika letaknya tertutup dan dekat
dengan usus pada lubang bagian bawah dari limpa, ini
memungkinkan usus terluka saat melakukan operasi.
• Perut. Perlukaan pada gaster dapat terjadi sebagai trauma
langsung atau sebagai akibat dari devascularisasi ketika
pembuuh darah pendek gaster dilepas.
2. Perlukaan vaskular adalah komplikasi yang paling sering
pada saat melakukan operasi. dapat terjadi sewaktu
melakukan hilar diseksi atau penjepitan capsular pada saat
dilakukan retraksi limpa.
3. Trauma pancreas terjadi pada 1%-3% dari splenektomi
dengan melihat tigkat enzim amylase. Gejala yang paling
sering muncul adalah hiperamilase ringan, tetapi tidak
berkembang menjadi pankreatitis fistula pankeas, dan
pengumpulan cairan dipankreas.
4. Trauma pada diafragma. Telah digambarkan selama
melakukan pada lubang superior tidak menimbulkan kesan
langsung jika diperbaiki. Pada laparoskopi splenektomi,
mungkin lebih sulit untuk melihat luka yang ada di
pneomoperitoneum. Ruang pleura meruapakan hal utama
dan harus berada dalam tekanan ventilasi positf untuk
mengurangi terjadinya pneumotoraks.
II. Komplikasi setelah operasi
1. Komplikasi pulmonal hampir terjadi pada 10% pasien
setelah dilakukan open splenektomi, termasuk didalamnya
atelektasis, pneumonia dan efusi pleura.
2. Abses subprenika terjadi pada 2-3% pasien setelah dilakukan
open splenektomi. Tetapi ini sangat jarang terjadi pada
laparoskopi splenektomi (0,7%). Terapi biasanya dengan
memasang drain di bawak kulit dan pemkaian antibiotic
intravena.
18
3. Akibat luka seperti hematoma, seroma dan infeksi pada luka
yang sering terjadi setelah dilakukan open splenektomi
adanya gangguan darah pada 4-5% pasien. Komplikasi
akibat luka pada laparoskpoi splenektomi biasanya lebih
sedikit (1,5% pasien).
4. Komplikasi tromsbositosis dan dan trombotik. Dapat terjadi
setelah dilakukan laparoskopt splenektomi.
5. Ileus dapat terjadi setelah dilakukan open splenektomi, juga
pada berbagai jenis operas intra-abdominal lainnya.
6. infeksi pasca splenektomi (Overwhelming Post
Splenektomy Infection) adalah komplikasi yang lambat
terjadi pada pasien splenektomi dan bisa terjadi kapan saja
selama hidupnya.
7. Splenosis, terlihat adanya jaringan limpa dalam abdomen
yang biasanya terjadi pada setelah trauma limpa.
8. Pancreatitis dan atelectasis.
19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
No. DM : 42 44 91
20
3.3 Secondary survey
1. Anamnesa (Autoanamnesis)
Keluhan Utama: Nyeri Perut kiri atas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kiri atas
sejak 3 hari sebelum masuk RS dan nyeri dirasakan semakin
memberat. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusung, terus menerus
dan bertambah berat. Perut dirasakan kembung dan penuh. Saat ini
pasien mengeluh ada mual (+), muntah tidak ada. Pusing tidak ada.
Nafsu makan menurun. BAB dan BAK lancar. Pasien mengaku
mengalami kecelakaan lalu lintas 1 minggu sebelum perut terasa
sakit.
Mekanisme jatuh dari motor: pasien mengendarai sepeda motor
seorang diri tidak menggunakan helm, pasien mengaku tidak sedang
mabuk/tidak sedang dibawah pengaruh minuman beralkohol.
Menurut pasien, motor yang dikendarainya mengalami rem blong
sehingga menabrak tiang listrik. Ban depan menabrak tiang listrik
sehingga pasien terlempar kearah depan dan perut kiri pasien
membentur stang motor yang dikendarainya.
Riwayat Penyakit Dahulu
HIV reaktif : dalam pengobatan dengan ARV sejak tahun2016
di puskesmas
Riw. Hipertensi (disangkal), diabetes melitus (disangkal)
Riwayat Alergi makanan, obat, udara disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga: penyakit stroke, kelainan jantung,
diabetes melitus tidak ada.
Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan Minum Alkohol (-), Merokok (-)
2. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Kompos mentis
21
c. Tanda vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 97 x/menit
Pernapasan : 21 x/menit
Suhu : 36,8 0C
Kepala
Leher
Thorax
Abdomen
22
Ekstremitas
Pemeriksaan penunjang
23
Masa perdarahan 2’00”
Pemeriksaan Hasil
SGOT 46,0
SGPT 51,2
Kalium 3,66
Natrium 136,70
Klorida 107,20
LED 34-53
Protein +1
Glukosa negatif
24
Urobilin Normal
bilirubin negatif
Keton ada
Leukosit 3-8
Eritrosit 2-6
Epitel +2
Bakteri +3
4. Pemeriksaan Penunjang
4.1 Thorax PA
25
4.2 CT Scan Abdomen
26
3.4 Resume
Pasien Wanita, 26 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kiri atas sejak 3
hari yang lalu. Nyeri seperti ditusuk-tusuk, awalnya hanya di kiri, kemudian
menjalar hapir keseluruh perut. Nyeri memberat saat berbaring (posisi
terlentang) dan berkurang saat duduk. Keluhan lain Kembung (+), Mual (+).
Pasien post KLL 1 minggu sebelum keluhan. Mengaku terbentur stang
motor (+). Pasien merupakan pasien HIV on ARV sejak 2016.
Kesadaran compos mentis. GCS E4V5M6. Tanda-tanda vital: Tekanan
Darah: 110/80 N: 97x/m, RR:21x/m, SB: 36,80C. Pemeriksaan fisik
ditemukan konjungtiva anemis +/+. Nyeri tekan abdomen bagian
hipokondrium kanan (+). Pemeriksaan laboratorium: Hemoglobin: 6,8
g/dL Leukositosis: 11.280/mm3
3.7 Planning
Penatalaksanaan non medikamentosa:
- Tirah baring
- Pro Foto thoraks PA
- Pro CT scan Abdomen
- Cek DL (Hb) serial/24 jam
27
3.8 Tindakan & Terapi
Penatalaksanaan medika mentosa.
28
FOLLOW UP RUANGAN
29
Abdomen : Tampak datar, bising usus (+) Pro CT scan Abdomen
Normal, supel, nyeri tekan (+),
hepar:teraba 2 jari BAC, Lien: Scuffner I
Ekstremitas :Dalam batas normal
Vegetatif : ma/mi (+/+), Bab/Bak (+/+)
A:
Abdominal pain etcausa hematom
Lien etcausa Trauma Tumpul
Abdomen
Anemia
HIV on ARV
11-09-2018 S : Nyeri perut kiri atas, mual (-), IVFD RL 500cc 20 tpm makro
kembung (+) Transfusi PRC 2 kolf/hari
O : KU: TSS Kes CM, GCS 15 Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr
TTV: TD: 110/70 mmhg, N:84x/mnt, R : Injeksi ketorolac 3 x 1 ampul
o
21 x/mnt, SB : 36,7 C Injeksi ranitidine 2 x50mg
Status generalis: ampul
K/L : Conjungtiva anemis (+/+), Awasi Keadaan umum dan
Sklera ikterik (-/-), P>KGB (-) tanda-tanda vital
Thorax : Simetris IGN, V/F: D=S, sonor,
SN: Vesikuler, Rhonki (-/-), whezing (-/-)
Abdomen : Tampak datar, bising usus (+)
Normal, supel, nyeri tekan (+),
hepar:teraba 2 jari BAC, Lien: Scuffner I
Ekstremitas :Dalam batas normal
Vegetatif : ma/mi (+/+), Bab/Bak (+/+)
A:
- Abdominal pain etcausa hematom
Lien etcausa Trauma Tumpul
Abdomen
- Anemia
HIV on ARV
12-09-2018 S : Nyeri perut kiri atas, mual (+), IVFD RL 500cc 20 tpm makro
kembung (+) Transfusi PRC 2 kolf/hari
30
O : KU: TSS Kes CM, GCS 15 Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr
TTV: TD: 110/80 mmhg, N:80x/mnt, R : Injeksi ketorolac 3 x 1 ampul
o
22 x/mnt, SB : 36,7 C Injeksi ranitidine 2 x50mg
Status generalis: ampul
K/L : Conjungtiva anemis (+/+), Awasi Keadaan umum dan
Sklera ikterik (-/-), P>KGB (-) tanda-tanda vital
Thorax : Simetris IGN, V/F: D=S, sonor,
SN: Vesikuler, Rhonki (-/-), whezing (-/-)
Abdomen : Tampak datar, bising usus (+)
Normal, supel, nyeri tekan (+),
hepar:teraba 2 jari BAC, Lien: Scuffner I
Ekstremitas :Dalam batas normal
Vegetatif : ma/mi (+/+), Bab/Bak (+/+)
A:
- Abdominal pain etcausa hematom
Lien etcausa Trauma Tumpul
Abdomen
- Anemia
- HIV on ARV
13-09-2018 S : Nyeri perut kiri atas, mual (+), IVFD RL 500cc 20 tpm makro
kembung (+) Transfusi PRC 2 kolf/hari
O : KU: TSS Kes CM, GCS 15 Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr
TTV: TD: 110/80 mmhg, N:80x/mnt, R : Injeksi ketorolac 3 x 1 ampul
o
22 x/mnt, SB : 36,7 C Injeksi ranitidine 2 x50mg
Status generalis: ampul
K/L : Conjungtiva anemis (+/+), Awasi Keadaan umum dan
Sklera ikterik (-/-), P>KGB (-) tanda-tanda vital
Thorax : Simetris IGN, V/F: D=S, sonor,
SN: Vesikuler, Rhonki (-/-), whezing (-/-)
Abdomen : Tampak datar, bising usus (+)
Normal, supel, nyeri tekan (+),
hepar:teraba 2 jari BAC, Lien: Scuffner I
Ekstremitas :Dalam batas normal
Vegetatif : ma/mi (+/+), Bab/Bak (+/+)
A:
31
- Abdominal pain etcausa hematom
Lien etcausa Trauma Tumpul
Abdomen
- Anemia HIV on ARV
14-09-2018 S : Nyeri perut kiri atas berkurang, mual IVFD RL 500cc 20 tpm makro
(+), kembung (+) Transfusi PRC 2 kolf/hari
O : KU: TSS Kes CM, GCS 15 Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr
TTV: TD: 110/70 mmhg, N:86x/mnt, R : Injeksi ketorolac 3 x 1 ampul
o
22 x/mnt, SB : 36,0 C Injeksi ranitidine 2 x50mg
Status generalis: ampul
K/L : Conjungtiva anemis (+/+), Awasi Keadaan umum dan
Sklera ikterik (-/-), P>KGB (-) tanda-tanda vital
Thorax : Simetris IGN, V/F: D=S, sonor,
SN: Vesikuler, Rhonki (-/-), whezing (-/-)
Abdomen : Tampak datar, bising usus (+)
Normal, supel, nyeri tekan (+),
hepar:teraba 2 jari BAC, Lien: Scuffner I
Ekstremitas :Dalam batas normal
Vegetatif : ma/mi (+/+), Bab/Bak (+/+)
A:
- Abdominal pain etcausa hematom
Lien etcausa Trauma Tumpul
Abdomen
- Anemia
- HIV on ARV
15-09-2018 S : Nyeri perut kiri atas berkurang, mual IVFD RL 500cc 20 tpm makro
(-), kembung (-) Transfusi PRC 2 kolf/hari
O : KU: TSS Kes CM, GCS 15 Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr
TTV: TD: 120/70 mmhg, N:81/mnt, R : Injeksi ketorolac 3 x 1 ampul
o
22 x/mnt, SB : 36,3 C Injeksi ranitidine 2 x50mg
Status generalis: ampul
K/L : Conjungtiva anemis (+/+), Awasi Keadaan umum dan
Sklera ikterik (-/-), P>KGB (-) tanda-tanda vital
32
Thorax : Simetris IGN, V/F: D=S, sonor,
SN: Vesikuler, Rhonki (-/-), whezing (-/-)
Abdomen : Tampak datar, bising usus (+)
Normal, supel, nyeri tekan (-),
hepar:teraba 2 jari BAC, Lien: Scuffner I
Ekstremitas :Dalam batas normal
Vegetatif : ma/mi (+/+), Bab/Bak (+/+)
A:
- Abdominal pain etcausa hematom
Lien etcausa Trauma Tumpul
Abdomen
- Anemia HIV on ARV
16-09-2018 S : Nyeri perut kiri atas berkurang, mual IVFD RL 500cc 20 tpm makro
(-), kembung (-) Transfusi PRC 2 kolf/hari
O : KU: TSS Kes CM, GCS 15 Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr
TTV: TD: 120/70 mmhg, N:81/mnt, R : Injeksi ketorolac 3 x 1 ampul
o
22 x/mnt, SB : 36,3 C Injeksi ranitidine 2 x50mg
Status generalis: ampul
K/L : Conjungtiva anemis (+/+), Awasi Keadaan umum dan
Sklera ikterik (-/-), P>KGB (-) tanda-tanda vital
Thorax : Simetris IGN, V/F: D=S, sonor,
SN: Vesikuler, Rhonki (-/-), whezing (-/-)
Abdomen : Tampak datar, bising usus (+)
Normal, supel, nyeri tekan (-),
hepar:teraba 2 jari BAC, Lien: Scuffner I
Ekstremitas :Dalam batas normal
Vegetatif : ma/mi (+/+), Bab/Bak (+/+)
A:
- Abdominal pain etcausa hematom
Lien etcausa Trauma Tumpul
Abdomen
- Anemia
- HIV on ARV
33
17-09-2018 S : Nyeri perut kiri atas berkurang, mual Aff infus
(-), kembung (-) Cefadroxil 2x500mg (p.o)
O : KU: TSS Kes CM, GCS 15 Asam Mefenamat 3x500mg
TTV: TD: 120/70 mmhg, N:81/mnt, R : (p.o)
o
22 x/mnt, SB : 36,3 C Ranitidine 2x150mg (p.o)
Status generalis: BPL
K/L : Conjungtiva anemis (+/+),
Sklera ikterik (-/-), P>KGB (-)
Thorax : Simetris IGN, V/F: D=S, sonor,
SN: Vesikuler, Rhonki (-/-), whezing (-/-)
Abdomen : Tampak datar, bising usus (+)
Normal, supel, nyeri tekan (-),
hepar:teraba 2 jari BAC, Lien: Scuffner I
Ekstremitas :Dalam batas normal
Vegetatif : ma/mi (+/+), Bab/Bak (+/+)
A:
- Abdominal pain etcausa hematom
Lien etcausa Trauma Tumpul
Abdomen
Anemia HIV on ARV
34
BAB IV
PEMBAHASAN
35
atau kontusio dinding perut dapat menyerupai tanda-tanda peritonitis.
Karena manifestasi utama dari trauma tumpul organ padat adalah
perdarahan, pasien harus dipantau secara ketat selama penilaian awal, dan
adanya syok refrakter dianggap akibat perdarahan masif. Pasien harus
diperiksa dari kepala sampai kaki untuk tanda tanda trauma tumpul dan
luka tembus. Lecet kecil atau ekimosis menunjukkan cedera
intraabdominal lokal yang signifikan. Dinding dan belakang perut harus
diperiksa secara hati-hati, dan adanya ekimosis posterior meningkatkan
kemungkinan cedera retroperitoneal. Tidak adanya bising usus
berhubungan dengan ileus, dalam konteks unit gawat darurat, adanya
bising usus tidak sensitif untuk membedakan antara pasien yang
memerlukan laparotomy atau tidak.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini didapatkan
konjungtiva anemis. Abdomen tampak datar, tidak ditemukan jejas, nyeri
tekan didapatkan pada regio hipokondrium sinistra, hepar teraba 2 jari
bawah arcus costae, Lien scuffner 1, menunjukkan adanya pembesaran
hepar dan lien yang dapat terjadi pada hematom lienalis.
Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan tanda-tanda perdarahan
dan tanda-tanda syok hipovolemi. Pada kasus ini perlu diperhatikan
penyebab anemis adalah perdarahan akut akubat internal bleeding atau
penyebab lainnya. Adanya nyeri tekan kiri atas abdomen, lien scuffner 1,
dan riwayat trauma pada anamnesa dapat membuktikan bahwa telah
terjadi trauma pada lien.
Untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat
pada pasien ini, selain dilakukannya anamnesia dan pemeriksaan fisik,
maka dilakukan juga beberapa pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan
darah dan urin lengkap, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan
penunjang diagnostik. Pada pemeriksaan laboratorium darah, didapatkan
hasil Hemoglobin (Hb) yang rendah, serta leukositosis. Penurunan kadar
Hb dapat menunjukkan tanda-tanda perdarahn intra abdominal karena
trauma tumpul. Namun pada klinis pasien didapatkan hemodinamik stabil
berdasarkan pemeriksaan tanda-tanda vital. Selain itu pada pemeriksaan
36
status lokalis abdmonen tidak ditemukan tanda-tanda kegawatan seperti
defense muscular, nyeri pada seluruh lapang perut, kern’s sign, dll.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan Hb tidak disebabkan oleh
perdarahan. Pada pemeriksaan lab lainnya ditemukan PITC reaktif dan
telah melakukan pengobatan selama 2 tahun. Sehingga kemungkinan
anemia disebabkan oleh penyakit kronis.
Sedangkan pada hasil pemeriksaan urin lengkap, didapatkan epitel
+, eritrosit +, leukosit +, dan bakteri +. Sehingga pasien ini juga
didiagnosa sebagai Infeksi Saluran Kemih. Hal ini juga ditunjang dengan
leukosit yang meningkat.
Pemeriksaan Radiologi screening untuk trauma tumpul yang
dilakukan pada pasien ini hanya pemeriksaan thoraks foto saja. Jika
disesuaikan dengan teori, seharusnya pada kasus-kasus trauma, terutama
trauma tumpul abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan abdomen 3 posisi
(telentang, setengah tegak, dan lateral decubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara diluar lumen
diretroperitoneum, jika ada pada keduanya, maka menjadi petunjuk untuk
dilakukan laparotomi.
Kemudian pada pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada
pasien ini adalah pemeriksaan CT scan abdomen. Teori mengatakan,
untuk pemeriksaan diagnostik pada trauma tumpul dapat dilakukan
pemeriksaan DPL, USG FAST, dan CT Scan. Untuk algoritma alur
pemeriksaan yang seharusnya pada trauma tumpul abdomen dapat dilihat
pada tinjauan pustaka. Masing-masing pemeriksaan memiliki kelebihan
dan kekurangan. Pada pasien ini didapatkan adanya gambaran hematom
lien pada meperiksaan CT scan Abdomen.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang laboratorium serta radiologis yang dilakukan pada pasien
ditemukan data-data yang menunjang diagnosis hematom lien ec trauma
tumpul abdomen. Temuan klinis dan radiologis yang didapatkan pada
pasien ini sesuai dengan teori ruptur lien akibat trauma tumpul abdomen.
37
Untuk penatalaksanaan rupture lien dapat dilakukan pembedahan,
namun, pada pasien ini hanya dilakukan pengobatan konservatif untuk
meningkatkan hemoglobin dan perbaikan keadaan umum, karena tidak
kondisi hemodinamik pasien stabil.
38
BAB V
KESIMPULAN
39
DAFTAR PUSTAKA
1. R. Syamsuhidat, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 608-612.
4. Beers, Mark Porter, Robert Jones, Thomas. The Merck Manual of Diagnosis
and Therapy (18th ed.). New Jersey: Merck Research Laboratories. 2006.
Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Blunt_splenic_trauma
6. Hassan, R., et. Al., Computed Tomography of Blunt Spleen Injury: A Pictorial
Review, Malaysian J Med Sci. Jan-Mar 2011; 18(1): 60-67, diakses dari
www.mjms.usm.my
9. Morris, Peter J. Oxford Tetbook of Surgery 2nd Edition. Oxford Press: London
10. Davidson RN, Wall RA. Prevention and management of infections in patients
without a spleen. Clin Microbial Infect 2001; 7:657-60.
40