Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Identitas Pasien
Nama : An. Q.K
Umur : 4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Papua
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Belakang Perhubungan baru, Kab. Teluk
bintuni
Pekerjaan :-
Tanggal MRS : 24/01/2019
Tanggal KRS : 29/01/2019
No. Rekam Medis : 006382

B. Anamnesa
Alloanamnesa diperoleh oleh ibu pasien

Keluhan utama
Kejang dan keterlambatan pertumbuhan
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang diantar oleh keluarga dengan keluhan kejang, terakhir
kejang pada bulan September sebanyak 1 kali, pada bulan oktober 1 kali,
kemudian kejang berulang pada saat di poli saraf. Pasien dengan riwayat
kejang, saat kejang terjadi hanya disebagian tubuh, pasien yaitu sebelah kiri
dan dalam keadaan tidak sadar, kelonjotan, tangan tertekuk, mata mendelik
ke atas, serta keluar banyak air liur (berbusa), kejang kurang lebih
berlangsung selama 10-15 menit ,sebelum kejang pasien seperti orang

1
bingung, diam dan setelah kejang pasien tidak sadar dan baru sadar setelah 2
menit setelah kejang, serta menurut ibunya, pasien merasa lemas dan ingin
tidur, kejang tidak disertai demam sebelumnya. Keluhan lainnya muntah (-).
Pasien terakhir kejang pada 5 bulan yang lalu dan sedang menjalani
rawat jalan serta hendak kontorl untuk pemeriksaan EEG. Pasien juga
mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan serta kelumpuhan
pada sisi sebelah kiri.

Riwayat penyakit dahulu


malaria disangkal, Trauma disangkal

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Riwayat sakit infeksi saat hamil : disangkal
Riwayat keguguran : disangkal
Persalinan : normal, lahir di bidan dengan BB 3,0 kg

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat sakit kencing manis : disangkal
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat sakit asma : disangkal

Riwayat Gizi
Pasien biasa makan nasi tanpa sayur dan kadang-kadang tidak disertai
lauk. Nafsu makan rendah. Pasien tidak dapat makan sendiri.

Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan


Penderita menggunakan pembayaran biaya rumah sakit dengan KPS

2
Status Imunisasi

Jenis Imunisasi : Umur pemberian


BCG : 1 bulan
Difteri : 2 bulan, 4 bulan
Pertusis : 2 bulan, 4 bulan
Tetanus : 2 bulan, 4 bulan
Polio : Lengkap sampai usia sekarang
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum sedang, compos mentis, gizi kesan kurang
Tanda Vital
Tensi : tidak dilakukan
Nadi : 80 x/ menit, isi cukup, irama teratur
Respirasi : 24 x/ menit, irama teratur
Suhu : 36,7 0C per aksiler
Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-)
Kepala
Bentuk Normochepal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam,
tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-)
Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak
langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-),
strabismus (-/-)
Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-), sekret (-)
Telinga
Deformitas (-), darah (-), sekret (-)

3
Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah tremor (-), stomatitis (-),
mukosa pucat (-), gusi berdarah (-)
Thoraks
a. Retraksi (-)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
c. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler), suara tambahan
(-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, nyeri tekan, hepar lien tidak teraba
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, udem (-), jejas (-)

D. Status Neurologis
Tingkat Kesadaran
Kualitatif : Compos Mentis
Kuantitatif GCS = 15 (E4V6M5)

4
Rangsang Meningeal:

Rangsang Meningeal Interptretasi

Kaku Kuduk -

Bruzinski I/II/III -/-/-

Kernig -/-

Laseque -/-

Nervus Cranialis : sulit dievaluasi


Motorik
Sistem Motorik
• Kekuatan otot :

5 4

5 4

• Tonus otot : normal


• Ukuran otot: hipertrofi/atrofi (-/+)

Refleks Fisiologis :

Refleks Fisiologi Ekstremitas Kanan Ekstremitas Kiri

Bisep ++ ++

Trisep ++ ++

Patella ++ ++

Achiles ++ ++

Refleks Patologis :

5
Refleks Patologi Ekstremitas Dekstra Ekstremitas Sinistra

Babinski + +

Chaddock - -

Oppenheim - -

Sensorik
Sensibilitas : Baik
Otonom Vegetatif
BAB/BAK : baik/baik
Makan/minum : malas makan/baik

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah Lengkap (Tanggal 24-01-2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


HGB 11,7 g/dl 13.3 – 16.6 g/dl
RBC 4.91x106/L 3.69 – 5.46 x 106/L
WBC 5,24x103/L 3.37 – 8.38 x 103/L
HCT 37.8 % 41.3– 52.1 %
PLT 242.000/L 140.000 – 400.000/L
DDR Negative (-)

b. Kimia Darah (24-01-2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Natrium 140.90 135 – 148 mEq/L
Kalium 3.90 3,5 – 5,3 mEq/L
Chlorida 102.80 98 – 106 mEq/L
Calcium Ion 1.21 1.15 – 1.35 mEq/L

6
GDS 95 <= 140 mg/dL
BUN 15,5 7-18 mg/dL
Creatinin - <= 0.95 mg/dL

b. CT-SCAN Kepala dengan Kontras

7
8
F. Diagnosa Kerja :
 Diagnosa Klinis : Hemiparese Sinistra + Epilepsi parsial Kompleks
 Diagnosa Topis : Intrakranial
 Diagnosa Etiologi : Cerebral Palsy ( meningoencephalitis )

G. Tatalaksana
Medikamentosa
 Asam Valvroat 2 x 5 ml
 Pro EEG
 Pro Ct-Scan kepala dengan kontras

Non- medikamentosa

 Edukasi terhadap keluarga tentang penyakitnya


 Rutin minum obat antiepilepsi jangan sampai putus selama 2 tahun
 Hindari pasien dari barang – barang berbahaya
 Bila terjadi kejang, longgarkan pakian pasien agar tidak sesak dan
awasi jalan napas pasien
 Fisioterapi untuk tumbuh kembangnya dan general exercise untuk
kekutan ototnya

H. Prognosis
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad functionam : dubia
 Quo ad sanationam : dubia

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi 1,3
Definisi fisiologi epilepsi masih belum berubah dari yang diberikan
oleh Hughlings Jackson pada abad ke-19 yaitu epilepsi adalah istilah untuk
cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu,
mendadak dan sangat cepat.
Secara klinis, epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan
berbagai macam etiologi, yang dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal
yang berkala, akibat lepas muatan listrik neuron-neuron serebral secara
eksesif.

2. Etiologi 1,4
Berikut ini adalah daftar penyebab/faktor resiko epilepsi:
a. Idiopatik: tidak terdapat lesi structural di otak atau deficit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya
berhubungan dengan usia.
b. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan
epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural
pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
metabolic, kelainan neurodegeneratif.

3. Klasifikasi Dan Manifestasi Klinis 1,4,8


A. Menurut Commision of Clasification and Terminology of the Internasional
League Against Epilepsy, 1981 untuk tipe serangan epilepsi:
1) Serangan Parsial

10
a. Serangan Parsial Sederhana dengan :
a) Manifestasi Motorik
Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot.
Sebagai contoh, seseorang mungkin mengalami gerakan abnormal
seperti jari tangan menghentak atau kekakuan pada sebagian
tubuh. Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap pada satu sisi
tubuh (berlawanan dengan area otak yang terganggu) atau meluas
pada kedua sisi. Contoh yang lain adalah kelemahan dimana dapat
berpengaruh pada saat berbicara. Penderita mungkin bisa atau
tidak menyadari gerakan ini.
b) Manifestasi Sensorik
Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang dengan
kejang sensori mungkin mencium atau merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada disitu, mendengar bunyi berdetak, bordering
atau suara seseorang ketika suara yang sebenarnya tidak ada, atau
merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau mati rasa (kebas).
Kejang mungkin terasa sangat menyakitkan pada beberapa pasien.
Mereka akan merasa seperti berputar. Mereka juga mungkin
mengalami ilusi. Untuk singkatnya mereka mungkin percaya
bahwa mobil yang sedang diparkir bergerak pergi atau suara
seseorang seperti teredam ketika seharusnya terdengar jelas.
c) Manifestasi Autonomic
Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system saraf
yang secara otomatis mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini
biasanya meliputi perasaan asing atau tidak nyaman pada perut,
dada dan kepala, perubahan pada denyut jantung dan pernafasan,
berkeringat.
d) Manifestasi Psikis
Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan
pengalaman akan sesuatu. Mereka mungkin bermasalah dengan

11
memori, kata yang terbalik saat berbicara, ketidakmampuan untuk
menemukan kata yang tepat atau bermasalah dalam memahami
percakapan atau tulisan. Mereka mungkin dengan tiba-tiba merasa
takut, depresi atau bahagia dengan alasan yang tidak jelas.
Beberapa pasien mungkin merasa seperti mereka berada diluar
tubuhnya atau merasa dejavu (pernah mengalami sebelumnya).

b. Serangan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)


dengan :
a) Gambaran parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran:
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun
b) Dengan penurunan kesadaran sejak serangan, kesadaran menurun
sejak permulaan serangan
c. Serangan parsial yang berkembang menjadi serangan umum
(tonik, klonik, tonik-klonik)
2) Serangan Umum
a. Tonic-clonic convulsion = grand mal
Kejang ini dimulai dengan suara jeritan yang tidak wajar.
Kemudian penderita akan jatuh dan setiap otot terlihat lebih aktif.
Giginya mencengkeram. Penderita terlihat pucat, dan dalam waktu
singkat akan berubah kebiruan. Sesaat setelah dia jatuh, tangan dan
badan bagian atas akan mulai menghentak sedangkan kakinya menjadi
lebih atau kurang kaku. Ini adalah bagian terlama dari kejang ini. Pada
akhirnya kejangnya berhenti dan dia jatuh kedalam tidur yang dalam.
Umumnya kejang tonik klonik terjadi selama 1-3 menit. Kejang
yang berakhir lebih dari 30 menit atau tiga kali kejang tanpa periode
jeda yang normal mengindikasikan kondisi yang berbahaya disebut
juga sebagai status epileptikus. Kejang ini disebut juga sebagai grand
mall. Seperti namanya kejang ini merupakan gabungan dari kejang
tonik dan kejang klonik. Fase tonik datang pertama ditandai dengan

12
semua otot menjadi kaku. Udara secara paksa dikeluarkan dari pita
suara yang menyebabkan tangisan atau erangan. Orang tersebut akan
kehilangan kesadaran dan jatuh kelantai. Lidah dan pipi bagian dalam
mungkin tergigit. Jadi ludah yang bercampur darah mungkin keluar
dari mulut. Wajah orang tersebut mungkin akan berubah jadi kebiruan.
Setelah fase tonik akan terjadi fase klonik. Tangan dan kaki biasanya
akan mulai menghentak dengan cepat dan berirama, gerakan menekuk
dan relaksasi pada siku, pangkal paha dan lutut. Setelah beberapa
menit gerakan menghentak akan melambat dan berhenti. Isi kandung
kemih dan perut terkadang ikut keluar saat tubuh relaksasi. Kesadaran
kembali perlahan dan orang tersebut mungkin mengantuk, bingung,
atau depresi. Penderita yang mengalami kejang ini dapat anak-anak
maupun orang dewasa.
b. Abscense attacks = petit mal
Jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak
atau awal remaja. Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran
mendadak (absence) dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana
motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya
timbul pada anak-anak atau awal remaja. Penderita tiba-tiba melotot,
atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai kejadiannya
cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari Pada waktu
kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita
tidak jatuh. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya
lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG
akan menunjukan gambaran yang khas yakni “spike wave” yang
berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh.
c. Myoclonic seizure
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar
sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya
hanya berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah

13
gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat.
d. Atonic seizure
Jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot dan jatuh tiba-
tiba.
e. Klonik seizure
Kejang dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik
fokal berlangsung 1– 3 detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan
kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini
dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi
besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
f. Tonik seizure
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum
dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau
ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
3) Serangan tidak tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan
bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang,
menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sementara.

B. Menurut ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi


1) Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik (primer)
a) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik benigna)
b) Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
c) Epilepsi primer saat membaca
b. Simtomatik (sekunder)
a) Lobus temporalis

14
b) Lobus frontalis
c) Lobus parietalis
d) Lobus oksipitalis
e) Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome)
f) Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
c. Kriptogenik
2) Epilepsi Umum
a. Idiopatik (primer)
a) Kejang neonatus familial benigna
b) Kejang neonatus benigna
c) Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
d) Epilepsi absans pada anak
e) Epilepsi absans pada remaja
f) Epilepsi mioklonik pada remaja
g) Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
h) Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak
b. Kriptogenik atau simtomatik
a) Sindroma West (spasmus infantil dan hipsaritmia)
b) Sindroma Lennox Gastaut
c) Epilepsi mioklonik astatik
d) Epilepsi absans mioklonik
c. Simtomatik
a) Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression
 Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
b) Etiologi / sindrom spesifik

15
 Malformasi serebral
 Gangguan metabolisme

3) Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Serangan umum dan fokal
a) Serangan neonatal
b) Epilepsi mioklonik berat pada bayi
c) Sindroma Taissinare
d) Sindroma Landau Kleffner
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4) Epilepsi berkaitan dengan situasi (sindrom khusus)


a) Kejang demam
b) Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali
isolated
c) Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut,
atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi
nonketotik.
d) Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik).

4. Patofisiologi 2,3,4
Ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan suatu neuron
epileptogenik, yaitu eksitabilitas abnormal dari jaringan saraf sebagai akibat
dari gangguan depolarisasi dan repolarisasi serta sinkronisasi abnormal dari
jaringan saraf. Penjalaran impuls yang menyimpang dari biasanya akan
menyebabkan kekacauan sekelompok neuron sehingga dapat timbul serangan
epilepsi.
Eksitabilitas dari neuron dipengaruhi oleh :
a. Membran sel dan lingkungan mikro dari neuron.

16
Keduanya berperan dalam menjaga beda potensial elektris neuron
melalui permeabilitas selektif dan pompa ion. Kadar Kalium (K) adalah
lebih tinggi pada intraneuronal daripada ekstraneuronal. Sebaliknya kadar
Natrium (Na) adalah lebih tinggi pada ekstraneuronal daripada
intraneuronal. Dengan demikian maka bagian dalam dari sel itu
muatannya adalah negatif 5070mV bila dibandingkan dengan bagian luar.
Keadaan demikian hanyalah dapat dipertahankan selama pompa Na, K
dan ATPase bekerja dengan baik.
Pompa Na adalah suatu mekanisme, yang menggunakan ATP sebagai
sumber energi, untuk mengeluarkan ion Na keluar dari dalam sel setelah
proses depolarisasi. Maka dari itu apabila terjadi suatu keadaan
kekurangan ATP akan berakibat Pompa Na tidak mampu lagi untuk
mengeluarkan Na dari dalam sel setelah proses depolarisasi. Sehingga
kadar Na di dalam sel akan menjadi lebih tinggi dari semula. Dengan
demikian maka keadaan di dalam sel itu tidaklah pulih menjadi negatif
5070 mV tetapi menjadi misalnya hanya negatif 20 mV. Keadaan tersebut
akan mengakibatkan proses depolarisasi semakin mudah, sehingga suatu
rangsangan ringan yang dahulu tidak menimbulkan depolarisasi kini dapat
menimbulkan proses lepas muatan.
b. Proses-proses intraseluler.
Dikendalikan secara genetik. Proses-proses itu meliputi pembentukan
struktur sel, metabolisme energi, reseptor-reseptor, pelepasan transmiter,
dan saluran ion. Mekanisme sebenarnya berhubungan dengan komposisi
ionik terutama ion Ca2+. Ion Ca2+ berpengaruh dalam hal:
a) Sebagai mediator perubahan protein membran untuk memacu
pelepasan transmiter dan pembukaan saluran ion.
b) Aktivasi enzim yang mempengaruhi tempat-tempat reseptor sehingga
mempengaruhi sensitivitas neuron tersebut.

17
Perubahan–perubahan dalam eksitabilitas ini dapat dihasilkan dengan
mempengaruhi gen-gen yang bertanggung jawab terhadap influks ion
Ca2+.
c. Ciri struktural neuron
Dua regio utama pada otak yang berhubungan dengan epilepsi adalah
neokorteks dan hipokampus. Pada neokorteks, sinaps eksitatorik dibentuk
terutama pada duri dendrit (dendriric spines) dan tangkai dendrit (dendritic
shaft). Sedangkan sinaps inhibitorik lebih jelas terdapat pada soma atau
pangkal dendrit. Perubahan morfologi neuron, baik secara spontan
maupun sebagai respon terhadap trauma dapat meningkatkan eksitabilitas
dengan peningkatan jumlah sinaps eksitatorik yang bermakna atau
penurunan jumlah sinaps inhibitorik.
Lesi pada badan sel atau batang neuron akan menyebabkan degenerasi
dari ujung terminal akson, dan sebuah ujung terminal baru akan muncul
untuk berhubungan dengan membran postsinaptik yang kosong, yang
selanjutnya meningkatkan potensial eksitatorik dari neuron. Ion Kalsium
yang muncul terutama pada dendrit menyebabkan depolarisasi yang
diperpanjang, yang dapat memacu meningkatnya ion Na di dalam neuron.
Sehingga waktu hiperpolarisasi pun menjadi lebih panjang. Letupan ini
dipercaya berperan dalam periode depolarisasi paroksimal dan
hiperpolarisasi dalam eksperimental fokus epileptik.
d. Hubungan interneuron
Transmisi neurokimia di antara neuron dapat mempengaruhi
eksitabilitas neuron. Langkah ini menghasilkan pelepasan neurotransmiter
ke celah sinaps dan membran postsinaps, menghasilkan potensial
postsinaptik yang eksitatorik dan inhibitorik. Neurotransmiter eksitatorik
yang utama dalam sistem saraf pusat adalah asam amino glutamat dan
aspartat. Sedangkan neurotransmiter inhibitorik yang utama adalah gama
amino butiric acid (GABA) dan glisin. Neurotransmiter bekerja dengan
mempengaruhi reseptor spesifik yang ada di membran postsinaps.

18
Beberapa penyelidikan mengungkapkan bahwa neurotransmiter asetilkolin
merupakan hal yang merendahkan potensial membran postsinaptik dalam hal
terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu. Apabila sudah cukup
asetilkolin tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik
neuron-neuron kortikal dipermudah. Penimbunan asetilkolin setempat harus
mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial
membran sehingga lepas muatan dapat terjadi. Mungkin karena harus
menunggu waktu hingga mencapai konsentrasi tersebutlah maka fenomena
lepas muatan listrik epileptik terjadi secara berkala. Inilah ciri manifestasi
epilepsi yaitu timbulnya serangan secara berkala tetapi tidak teratur.
Pada epilepsi tipe grand mal mekanisme hilangnya kesadaran dapat
dijelaskan sebagai adanya pelepasan muatan listrik pada nuclei intralaminares
talami, yang dikenal juga sebagai inti centercephalic. Inti tersebut merupakan
terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan asendens
ekstralemniskal. Input dari korteks serebri melalui lintasan tersebut
menentukan derajat kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input, maka
timbulah koma. Pada grand mal terjadilah lepas muatan listrik dari inti
intralaminar talamik secara berlebihan. Perangsangan talamokortikal yang
berlebihan ini menghasilkan kejang otot seluruh tubuh (konvulsi umum)
sekaligus menghalangi neuron-neuron pembina kesadaran menerima impuls
aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.

5. Diagnosis 7,8,9,10
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis)
sudah dapat ditegakkan

19
1) Anamnesis
Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu . Anamnesis (auto dan
aloanamnesis), meliputi:
a. Gejala sebelum, selama dan paska serangan
b. Faktor pencetus
c. Frekuensi serangan
d. Pola / bentuk serangan
e. Lama serangan
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan terjadinya pertama
h. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
i. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
j. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
k. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2) Pemeriksaan Fisik Umum Dan Neurologis


Pemeriksaan fisik umum untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan congenital
- Kecanduan alcohol atau napza
- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis


fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan
dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka akan tampak

20
pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi, seperti:
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pascaiktal
- Afasia pascaiktal

3) Pemeriksaan Penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi
dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan
untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal.
 Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang
sama di kedua hemisfer otak.
 Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih
lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.
 Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-
ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu
mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi
petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3
siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai
gambaran EEG gelombang paku/ tajam/lambat dan paku
majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

21
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang
penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan
ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG
memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang
ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula
untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial
dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging
bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila
dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara
anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
d. Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium,
kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi
hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
 Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam
menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE
 Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi
efek samping OAE
 Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor
efek samping OAE, atau bila timbul gejala klinis
akibat efek samping OAE.

22
b) Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma
saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis
terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.

e. Gold standar :
a) EEG iktal dengan subdural atau depth EEG
b) Longterm video EEG monitoring

6. Diagnosis Banding3,4,8,9,10
a. Kejadian paroksismal
Diagnosis banding untuk kejadian yang bersifat paroksismal meliputi
sinkrop, migren, TIA (TransientIschaemic Attack), paralisis periodik,
gangguan gastrointestinal, gangguan gerak dan breath holding spells.
Diagnosis ini bersifat mendasar.
b. Epilepsi parsial sederhana
Diagnosis ini meliputi TIA, migren, hiperventilasi, tics, mioklonus, dan
spasmus hemifasialis. TIA dapat muncul dengan gejala sensorik yang
dibedakan dengan epilepsi parsial sederhana. Keduanya paroksimal,
bangkitan dapat berupa kehilangan pandangan sejenak, dan mengalami
penderita lanjut usia.
c. Epilepsi parsial kompleks
Diagnosis banding ini berkaitan dengan tingkat kehilangan kesadaran,
mulai dari drop attacks sampai dengan pola prilaku yang rumit. secara
umum diagnosis ini meliputi sinkrop, migren, gangguan tidur, bangkitan
non epileptik, narkolepsi, gangguan metabolik dan transient global
amnesia.

23
7. Penatalaksanaan5,6,8,9,10
a. Non Farmakologi
a) Amati faktor pemicu
b) Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya: stress, konsumsi kopi
atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.

b. Farmakologi
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni OAE mulai diberikan bila
diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali bangkitan
dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan
dan kemungkinan efek sampingnya. Terapi dimulai dengan monoterapi.
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat
mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah
mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-
lahan. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan
tidak dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE
pertama.

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi


a) Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
b) Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi ion: Na+, Ca2+, K+, dan
Cl- atau aktivitas neurotransmiter.

Syarat umum untuk menghentikan OAE :


 Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau
keluarganya setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan
 Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis
semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan

24
 Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari
satu OAE yang bukan utama

Tabel 1: pemilihan obat anti epilepsi (OAE) berdasarkan jenis bangkitan:

Jenis OAE lini OAE lini OAE yang OAE yang


bangkitan pertama kedua dipertimbang dihindari
kan

Tonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine


Valproate Levetiracetam
Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate

Atonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine


Valproate Levetiracetam
Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate
Acetazolamide Phenytoin

Fokal Carbamazepine Clobazam Clonazepam


Dengan /
Tanpa Oxcarbazepine Gabapentin Phenobarbital
Umum Levetiracetam
Sekunder Sodium Acetazolamide
Valproate Phenytoin

Topiramate Tiagabine

Lamotrigine

Tonik Carbamazepine Clobazam Clonazepam


Klonik
Phenobarbital Levetiracetam Acetazolamide

Phenytoin Oxcarbazepine

Valproate Lamotrigine

Topiramate

25
Absance Sodium Clobazam Carbamazepine
Valproate
Topiramate Gabapentin
Lamotrigine
Oxcarbazepine

Mioklonik Sodium Clobazam Carbamazepi ne


Valproate
Topiramate Gabapentin
Topiramate
Levetiracetam Oxcarbazepine

Lamotrigine

Piracetam

Tabel 2: Mekanisme kerja OAE

Obat Mekanisme kerja

Karbamazepi Blok sodium channel konduktan pada neuro, bekerja juga pada
n reseptor NMDA, asetilkolin

Fenitoine Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida

Fenobarbital Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan konduktan


natrium, kalsium, kalium

Valproate Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang


konduktan kalsium

Gabapentine Modulasi kalsium channel

Lamotrigine Blok konduktan natrium

Topiramate Blok sodium channel, meningkatkan refluks GABA

26
Anti konvulsan utama :
a. Fenobarbital : dosis 2-4 mg/kgBB/hari
b. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari
c. Karbamasepin : 20 mg/kgBB/hari
d. Valproate : 30-80 mg/kgBB/hari

Gambar 1: Efek samping OAE

8. Komplikasi6,7,8,10
Komplikasi kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh stress
emosional. Pasien mungkin mengalami kesulitan kognitif dan kepribadian
seperti:
1. Personalitas : sedikit rasa humor, mudah marah

27
2. Hilang ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena adanya
gangguan pada hippocampus, anomia ( ketidakmampuan untuk
mengulang kata atau nama benda)
3. Kepribadian keras : agresif dan defensive
Komplikasi yang berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi:
a. Aspirasi atau muntah
b. Fraktur vertebra atau dislokasi bahu
c. Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit
d. Status epileptikus (SE)
Status epileptikus adalah suatu kedaruratan medis dimana kejang terus
menerus, berulang tanpa kembalinya kesadaran diantara kejang selama
lebih dari 30 menit. Kondisi ini dapat berkembang pada setiap tipe kejang
tetapi yang paling sering adalah kejang tonik klonik. Status epileptikus
mungkin menyebabkan kerusakan pada otak atau disfungsi kognitif dan
mungkin fatal. Dikenal dua tipe SE yaitu SE konvusif (terdapat bangkitan
motorik) dan SE non-konfusif (tidak terdapat bangkitan motorik).
1.Status Epileptikus Konvulsif
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi
lebih dari 5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa
pulihnya kesadaran diantara bangkitan.
2.Status Epileptikus Nonkonvulsif
Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat
aktivitas bangkitan elektrografik memanjang (EEG status) dan
memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk perubahan perilaku
atau “ awareness”.

9. Prognosis 6,7,9
Ketika pasien telah bebas kejang untuk beberapa tahun, hal ini
mungkin untuk menghentikan pengobatan anti kejang, tergantung pada umur
pasien dan tipe epilepsy yang diderita. Hampir seperempat pasien yang bebas

28
kejang selama tiga tahun akan tetap bebas kejang setelah menghentikan
pengobatan yang dilakukan dengan mengurangi dosis secara bertahap. Lebih
dari setengah pasien anak-anak dengan epilepsy dapat menghentikan
pengobatan tanpa perkembangan pada kejang.

CEREBRAL PALSY
1. A. Definisi
Cerebral palsy adalah ensefalopatistatis yang mungkin di definisikan
sebagai kelainan postur dan gerakan non-progresif, sering disertai dengan
epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan, dan kecerdasan akibat dari
cacat atau lesi otak yang sedang berkembang. ( Behrman : 1999, hal 67 – 70 )
Cerebral palsy ialah suatu gangguan nonspesifik yang disebabkan oleh
abnormalitas system motor piramida ( motor kortek, basal ganglia dan otak
kecil ) yang ditandai dengan kerusakan pergerakan dan postur pada serangan
awal. ( Suriadi Skep : 2006, hal 23 – 27 ).
Cerebral palsy adalah kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak
progresif, terjadi pada waktu masih muda ( sejak dilahirkan ) serta merintangi
perkembangan otak normal dengan gambaran klinik dapat berubah selama
hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai
kelainan neurologist berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia basal dan
sebelum juga kelainan mental. ( Ngastiyah : 2000, hal 54 – 56 ).
Jadi, Cerebral (otak) cpacry ( KeIumpuhan ) adalah suatu kelainan
otak yang ditandai dengan gangguan mengontrol hingga timbul kesulitan
dalam bergerak dan meletakkan posisi tubuh disertai gangguan fungsi tubuh
lainnya akibat kerusakan / kelainan fungsi bagian otak tertentu pada bayi /
anak dapat terjadi ketika bayi dalam kandungan, saat lahir atau setelah lahir,
sering disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan,
kecerdasan kurang, buruknya pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan
gangguan fungsi saraf lainnya.

29
Derajat Keparahan Cerebral Palsy

(Gross Motor Function Classification System/GMFCS)


Derajat I : berjalan tanpa hambatan, keterbatasan terjadi pada gerakan
motorik kasar
yang lebih rumit.
Derajat II : berjalan tanpa alat bantu, keterbatasan dalam ber-jalan di luar
rumah dan
di lingkungan masyarakat.
Derajat III : berjalan dengan alat bantu mobilitas, keterbatasan dalam
berjalan di luar
rumah dan di lingkungan masyarakat.
Derajat IV : kemampuan bergerak sendiri terbatas, menggunakan alat
bantu gerak
yang cukup canggih untuk berada di luar rumah dan di
lingkungan
masyarakat.
Derajat V : kemampuan bergerak sendiri sangat terbatas, walaupun sudah
menggunakan alat bantu yang canggih

B. Klasifikasi
Cerebral Palsy dibagi menjadi 4 kelompok :
1. Tipe spastic atau pyramidal ( 50% dari semua kasus CP, otot-otot menjadi
kaku dan lemah. Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah :
2. Tipe disginetik ( koreatetoid, 20% dari semua kasus CP ), otot lengan,
tungkai dan badan secara spontan bergerak perlahan, menggeliat dan tak
terkendali, tetapi bisa juga timbul gerakan yang kasar dan mengejang.
Luapan emosi menyebabkan keadaan semakin memburuk, gerakan akan
menghilang jika anak tidur.

30
3. Tipe ataksik, ( 10% dari semua kasus CP ), terdiri dari tremor, langkah
yang goyah dengan kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi dan
gerakan abnormal.
4. Tipe campuran ( 20% dari semua kasus CP ), merupakan gabungan dari 2
jenis diatas, yang sering ditemukan adalah gabungan dari tipe spastic dan
koreoatetoid. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional :
C. Etiologi
A.1Pranatal
 Infeksi yang terjadi pada masa kehamilan menyebabkan kelainan
pada janin, misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubela dan
penyakit infeksi sitomegalik, Radiasi sinar X, Malformasi
kongenital
A.2Perinatal
a. Anoreksia/Hipoksia
b. Perdarahan otak
c. Prematuritas
d. Ikterus
e. Meningitis purulenta

A.3 Post natal / Pasca natal


a. Trauma Kapitis
b. Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses serebri,
tromboplebitis, ensefalomielitis.
c. Luka Parut pada otak pasca bedah.
D. Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP
semakin besar antara lain adalah :
1. Letak sungsang.
2. Proses persalinan sulit
3. Apgar score rendah.

31
Apgar score yang rendah hingga 10 – 20 menit setelah kelahiran.
4. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir 
5. Kehamilan ganda.

E. Manifestasi klinis

Manifestasi klinik Cerebral palsy bergantung pada lokalisasi dan


luasnya jaringan otak yang mengalami kerusakan, apakah pada korteks
serebri, ganglia basalis atau serebelum. Dengan demikian secara klinik
dapat dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada Cerebral palsy,
yaitu : spastisitas, atetosis dan ataksia.
1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan
klonus dan reflek Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu
menetap dan tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur.
Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otot,
karena itu tampak sifat yang khas dengan kecenderungan terjadi
kontraktur, misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi siku dan
pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga
posisi ibu jari melintang di telapak tangan.

Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki
dalam flesi plantar dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex
dan refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya
terletak di traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas
tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan yaitu monoplegia/
monoparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi salah satu
anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya; hemiplegia/ hemiparesis
adalah kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama; diplegia/
diparesis adalah kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih

32
hebat daripada lengan; tetraplegia/ tetraparesis adalah kelimpuhan
keempat anggota gerak, lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan
dengan tungkai. Golongan spastitis ini meliputi 3 – ¾ penderita cerebral
palsy. Bentuk kelumpuhan spastitis tergantung kepada letak dan besarnya
kerusakan, yaitu:

b. Monoplegia/ Monoparesis
c. Hemiplegia/ Diparesis
d. Diplegia/ Diparesis
e. Tetraplegia/ Tetraparesis
2. Tonus otot yang berubah
Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak fleksid
(lemas) dan berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti
kelainan pada lower motor neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah
terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan
berbaring tampak fleksid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi bila
dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi spastis,
Refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas
ialah refleks neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya
terletak di batang otak dan disebabkan oleh afiksia perinatal atau ikterus.
3. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan
yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan
pertama tampak flaksid, tetapa sesudah itu barulah muncul kelainan
tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus
otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia, kerusakan terletak
diganglia basal disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa
neonatus.
4. Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini
biasanya flaksid dan menunjukan perkembangan motorik yang lambat.

33
Kehilangan keseimbangan tampak bila mulai belajar duduk. Mulai
berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku.
Kerusakan terletak di serebelum.
5. Gangguan pendengaran, gangguan bicara, gangguan mata,
kejang,gangguan perkembangan mental

F. Patofisiologi

Adanya malformasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atropi,


hilangnya neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrower
gry, saluran sulci dan berat otak rendah. Anoxia merupakan penyebab yang
berarti dengan kerusakan otak, atau sekunder dari penyebab mekanisme yang
lain. CP (Cerebral Palsy) dapat dikaitkan dengan premature yaitu spastic
displegia yang disebabkan oleh hypoxic infarction atau hemorrhage dalam
ventrikel.
Type athetoid / dyskenetik  disebabkan oleh kernicterus dan penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, adanya pigmen berdeposit dalam basal ganglia
dan beberapa saraf nuclei cranial. Selain itu juga dapat terjadi bila gangsal
banglia mengalami injury yang ditandai dengan idak terkontrol; pergerakan
yang tidak dosadari dan lambat. Type CP himepharetic,karena trauma pada
kortek atau CVA pada arteri cerebral tengah. Cerebral hypoplasia;
hipoglicemia neonatal dihubungkan dengan ataxia CP.
Spastic CP yang paling sering dan melibatkan kerusakan pada motor
korteks yang paling ditandai dengan ketegangan otot dan hiperresponsif.
Refleks tendon yang dalam akan meningkatkan dan menstimulasi yang dapat
menyebabkan pergerakan sentakan yang tiba-tiba pada sedikit atau semua
ektermitas. Ataxic CP adanya injury dari serebelum yang mana mengatur
koordinasi, keseimbangan dan kinestik. Akan tampak pergerakan yang tidak
terkoordinasi pada ekstremitas aras bila anak memegang / menggapai benda.
Ada pergerakan berulang dan cepat namun minimal. Rigid / tremor / atonic

34
CP ditandai dengan kekakuan pada kedua otot fleksor dan ekstensor. Type ini
mempunyai prognosis yang buruk karena ada deformitas multiple yang terkait
dengan kurangnya pergerakan aktif. Secara umum cortical dan antropy
cerebral menyebabkan beratnya kuadriparesis dengan retardasi mental dan
microcephaly.

G. Gejala
Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada kasus
yang berat,bisa muncul pada saat anak berumur 3 bulan.

Gejalanya bervariasi,mulai dari kejanggalan yang tidak tampak nyata


sampai kekakuan yang berat,yang menyebabkan bentuk lengan dan tungkai
sehingga anak harus memakai kursi roda. Gejalanya selalu mengiringi tipe
dari cerebral palsy. Gejala lain yang mungkin muncul adalah :

 Kecerdasan dibawah normal


 Keterbelakangan mental
 Kejang/epilepsy (trauma pada tipe spastik)
  Gangguan menghisap atau makan
 Pernafasan yang tidak teratur
 Gangguan perkembangan kemampauan motorik (misalnya menggapai
sesuatu, duduk , berguling ,merangkak , berjalan)
 Gangguan berbicara (disatria)
 Gangguan penglihatan
 Gangguan pendengaran
 Kontraktur persendian
 Gerakan menjadi terbatas

H. Diagnosis

35
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap tentang riwayat
kehamilan, perinatal dan pascanatal, dan memperhatikan faktor risiko
terjadinya cerebral palsy. Juga pemeriksaan fisik lengkap dengan
memperhatikan perkembangan motorik dan mental dan adanya refleks
neonatus yang masih menetap.
Pada bayi yang mempunyai risiko tinggi diperlukan pemeriksaan
berulang kali, karena gejaladapat berubah, terutama pada bayi yang dengan
hipotoni, yang menandakan perkembangan motorik yang terlambat; hampir
semua cerebral palsy melalui fase hipotoni.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan adalah foto polos
kepala, pemeriksaan pungsi lumbal. Pemeriksaan EEG terutama pada
penderita yang memperlihatkan gejala motorik, seperti tetraparesis,
hemiparesis, atau karena sering disertai kejang. Pemeriksaan ultrasonografi
kepala atau CT Scan kepala dilakukan untuk mencoba mencari etiologi.

I. Penatalaksanaan

Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi :


a. Medik
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini
perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim dokter anak,
neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog,
fisioterapi, occupatiional therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar
biasa dan orangtua pasien.
b. Aspek non medis yang dilakukan
Untuk mengatasi kecacatan motorik yang disertai kecacatan mental
memerlukan pendidikan yang khusus. Kesembuhan dalam arti
regenerasi otak yang sehat dapat diraih dengan pengobatan dan
perawatan yang tepat.
c. Fisioterapi

36
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut
membantu program latihan dirumah. Untuk mencegah kontraktur perlu
diperhatikan posisi pasien pada waktu istirahat atau tidur. Bagi pasien
yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal dipusat latihan.
Fisioterapi ini dilakukan sepanjang pasien hidup.
d.  Tindakan bedah
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan otot, tendon atau tulang untuk reposisi kelainan
tersebut. Pembedahan stereotatik dianjurkan pada pasien dengan
pergerakan koreotetosis yang berlebihan.
Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot
yang antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas.
Tindakan operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastik dari pada
tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah
dibanding -dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang
dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya, apakah operasi itu
dilakukan pada saraf motorik, tendon, otot atau pada tulang.

f. Obat-obatan
Pasien cereebral palsy (CP) yang dengan gejala motorik ringan
adalah baik, makin banyak gejala penyertaannya dan makin berat
gejala motoriknya makin buruk prognosisnya. Bila di negara maju
ada tersedia institute cerebral palsy untuk merawat atau untuk
menempung pasien ini.
Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki
gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk mengontrol
serangan kejang.
Pada penderita CP yang kejang. pemberian obat anti kejang
memberikan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada
CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian

37
pula obat muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot
pada CP tipe spastik dan atetosis. Pada penderita dengan kejang
diberikan maintenanceanti kejang yang disesuaikan dengan
karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin dan sebagainya.
Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat golongan
benzodiazepine, misalnya : valium, librium atau mogadon dapat
dicoba. Pada keadaanchoreoathetosis diberikan artane. Tofranil
(imipramine) diberikan pada keadaan depresi. Pada penderita yang
hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 – 10 mg pada pagi
hari dan 2,5 – 5 mg pada waktu tengah hari.

38
BAB III
PEMBAHASAN

Telah dilaporkan kasus seorang pasien perempuan usia 4 tahun yang


datang ke poli syaraf RSUD Jayapura pada tanggal 24 Januari 2019 untuk
kontrol kejang. Pasien mengalami kejang 3 bulan yang lalu, kejang terjadi
sekali dalam semalam, kejang berlangsung <10-15 menit. Ketika kejang
pasien terjatuh lalu sadar kembali. Pada saat kejang pasien tidak sadar, setelah
2 menit kejang selesai barulah pasien sadar, Kejang terjadi karena pasien
kelelahan, kejang sebagian tubuh yaitu pada sisi kiri tubuh dan mata pasien
mendelik keatas, serta mengeluarkan liur yang banyak. Pasien langsung
dibawa ke Rumah Sakit dan diberi obat. Setelah meminum obat pasien sudah
tidak ada mengalami kejang lagi. Pasien juga tidak mengalami demam
sebelumnya. Pasien menyangkal adanya mual, muntah.
Dari gejala tersebut pasien mengarah pada epilepsi serangan parsial
kompleks (disertai gangguan kesadaran) dimana pasien mengalami kejang
pada salah satu sisi tubuh, serta mengalami banyak liur yang keluar. Menurut
teori, kejang parsial yaitu lesi yang terdapat dari otak atau satu hemisfer
cerebrum. Kejang terjadi pada satu sisi tubuh atau satu bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya masih baik, gejala dari kejang parsial
kompleks sendiri yaitu gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang
parsial sederhana (gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, fenomena
halusinatorik, psikoolusi, atau emosional kompleks) namun sudah diikuti
dengan penurunan kesadaran.
Keluarga pasien juga mengatakan memgalami kejang sejak 5 bulan yang
lalu dan kejang muncul tanpa demam. Saat itu pasien tidak berobat ke rumah
sakit dan tidak mengkonsumsi obat rutin untuk epilepsy, sebulan kemudian
kejang muncul kembali satu kali dan dibawa oleh ibunya ke rumah sakit, Hal

39
ini mendukung diagnosis epilepsi karena adanya riwayat kejang yang terjadi
yang berulang dalam jangka waktu satu tahun.
Pasien ini juga mengalami gangguan tumbuh kembang dan keterlambatan
bicara sejak lahir.
Menurut teori, Cerebral palsy adalah kerusakan jaringan otak yang
kekal dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda ( sejak dilahirkan )
serta merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik dapat
berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan
pergerakan, disertai kelainan neurologist berupa kelumpuhan spastis,
gangguan ganglia basal dan sebelum juga kelainan mental. ( Ngastiyah :
2000, hal 54 – 56 ).
Jadi, Cerebral (otak) cpacry ( KeIumpuhan ) adalah suatu kelainan
otak yang ditandai dengan gangguan mengontrol hingga timbul kesulitan
dalam bergerak dan meletakkan posisi tubuh disertai gangguan fungsi tubuh
lainnya akibat kerusakan / kelainan fungsi bagian otak tertentu pada bayi /
anak dapat terjadi ketika bayi dalam kandungan, saat lahir atau setelah lahir,
sering disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan,
kecerdasan kurang, buruknya pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan
gangguan fungsi saraf lainnya.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tidak ada rangsang meningeal,
peningkatan tekanan intrakranial maupun kelainan pada nervus kranialisnya.
Namun pada reflex patologis didapatkan babinski positif, ini merupakan salah
satu gejala klinis dari Cerebral Palsy.
Pada pasien direncanakan pemeriksaan EEG. Hal ini dilakukan sesuai
dengan teori bahwa pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien
epilepsi terutama dengan epilepsi berulang dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Pemeriksaan neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan
melengkapi data EEG.

40
Penatalaksanaan farmakologis yang diberikan pada pasien ini adalah asal
valfroat 2 x 50 mg, untuk antikonvulsan yang efektif dalam mengatasi
epilepsi. Mekanisme kerja utamanya pada korteks motoris yaitu menghambat
penyebaran aktivitas kejang.
Edukasi juga diberikan kepada pasien dan keluarga sebagai suatu bentuk
penatalaksaanaan non farmakologis seperti hindari pasien dari benda-benda
tajam dan berbahaya, terutama pada saat terjadi serangan, bila terjadi kejang
longgarkan pakaian pasien seperti ikat pinggang, dan lain-lain, awasi jalan
nafas pasien pada saat serangan, dengan cara memiringkan pasien agar tidak
terjadi aspirasi. Selain itu pasien juga sebaiknya menghindari faktor pencetus
epilepsi seperti kebisingan, kurang tidur, stress, kelelahan, alkohol, dan lain-
lain.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Priguna Sidharta M D Phd. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, Dian


Rakyat
2. Sylvia A Price, Lorraine M Wilson . Patofisiologi, Edisi 6, EGC
3. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2009
4. Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes Neurologi. Jakarta : Erlangga
5. Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. 6th ed. Jakarta:
Appleton and Lange.
6. Mansjoer, A., 2009, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2, Penerbit
Aesculapius : Jakarta
7. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gadjah Mada University Press. 2005
8. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI). Pedoman Tatalaksana Epilepsi. PERDOSSI, 2012
9. Kusuma, W, 2007. Diagnosia Epilepsi. Jurnal ilmiah kedokteran, volume 1,
nomor 1.
10. Stefan, H, 2003. Differential diagnosis of epileptic seizures and non epileptic
attacks.
11. Johnston MV. Encephalopaties: Cerebral Palsy dalam Kliegman: Nelson
Textbook of Pediatrics, 18th ed. eBook Nelson Textbook of Pediatrics, 2007.
12. Abdel-Hamid HZ, Kao A, Zeldin AS, et al. Cerebral Palsy. diakses dari
http://emedicine.medscape.com pada tanggal 03 Februari 2019
13. Saharso D. Cerebral Palsy Diagnosis dan Tatalaksana dalam Naskah Lengkap
Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI Kapita Selekta Ilmu
Kesehatan Anak VI. Surabaya: RS DR. Soetomo, 2006
14. Adnyana IMO. Cerebral Palsy Ditinjau dari Aspek Neurologi. Cermin Dunia
Kedokteran 1995, No.104; 37-4

42

Anda mungkin juga menyukai