Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
.
Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke
atas (UU No. 13 Tahun 1998 BAB I Pasal 1 Ayat 2). Menurut WHO tahun 2013,
di kawasan Asia Tenggara populasi lansia sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) melaporkan bahwa 20%, maka jumlah umat
manusia yang mencapai lanjut usia semakin bertambah. Di Indonesia jumlah
lansia pada tahun 2000 sekitar 15 juta jiwa atau 7,2% dari total populasi. Pada
tahun 2006 jumlah lansia meningkat menjadi 19 juta jiwa atau 8,5% dari total
populasi. Pada tahun 2010 jumlah lansia meningkat menjadi 24 juta jiwa atau
9,7% dari total populasi dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta
orang atau 11,4 %. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah lansia meningkat secara
konsisten dari waktu ke waktu (Riskesdas, 2013 dan Kemenkes RI, 2014 ).
Berbagai gangguan fisik atau penyakit muncul pada lansia. Salah satu
diantaranya adalah penyakit persendian atau artritis. Artritis menempati urutan
pertama (44%) penyakit kronis yang yang dialami lansia. Selanjutnya hipertensi
(39%) berkurangnya pendengaran atau tuli 28%, dan penyakit jantung (27%).
Gangguan pada persendian merupakan penyakit yang sering dijumpai pada lansia,
dan termasuk empat penyakit yang sangat erat hubungannya dengan proses menua
an respon yang sering terjadi adalah nyeri, Penderita nyeri sendi di seluruh dunia
telah mencapai angka 355 juta jiwa, artinya 1 dari 6 orang di dunia ini menderita
nyeri sendi. Diperkirakan angka ini terus meningkat hingga tahun 2025 dengan
indikasi lebih dari 25% akan mengalami kelumpuhan. Arthritis Rheumotoid di
Kota Bengkulu pada tahun 2016 yang penderita arthritis menempati semua 5
tingkat mirip dengan Athritis Rheumotoid dengan 7.889 jiwa.
Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik
yang menyebabkan tulang sendi destruksi, deformitas, dan mengakibatkan
ketidakmampuan (Meiner&Luekenotte, 2006). Rheumathoid Arthritis (RA),
reaksi autoimun terutama terjadi dalam jaringan sinovial.
Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut
akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, poliferasi membran sinovial dan
akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang.
Gambaran klinis yang lazim ditemukan (Brunner&Suddarth, 2002). Gejala-
gejala konstitusional :nyeri, lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam.
Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya. Poliartritis simetris terutama pada
sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan
sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam dapat bersifat generalisasi terutama
menyerang sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada sartritis,
yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1
jam.
Komplikasi penyakit Artritis dapat mempersingkat hidup beberapa tahun pada
beberapa individu, meskipun rheumatoid arthritis itu sendiri tidak fatal. Secara
umum rheumatoid arthritis bersifat progresif dan tidak dapat disembuhkan, tetapi
pada beberapa pasien penyakit ini secarabertahap menjadi kurang agresif dan
gejala bahkan dapat membaik. Bagaimanapun, jika terjadi kerusakan tulang dan
ligamen serta terjadi perubahan bentuk, efeknya akan permanen. Kecacatan dan
nyeri sendi dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang umum. Sendi yang
terkena bisa menjadi cacat, kinerja tugas bahkan tugas biasa sekalipun mungkin
akan sangat sulit atau tidak mungkin. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi
kualitas hidup pasien. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang
akan menganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan
mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dengan
kekuatan kontraksi otot (Brunner&Suddarth, 2002. Menurut Meiner&Lueckenotte
(2006).
Terapi non-farmakologi untuk rheumatoid arthritis meliputi latihan, istirahat,
pengurangan berat badan dan pembedahan (Shiel, 2011). Untuk mengurangi nyeri
dan peradangan, seperti aspirin dan kortikosteroid sedangkan obat-obat slow
acting adalah obat antirematik yang dapat memodifikasi penyakit (DMARD),
seperti garam emas, metotreksat dan hidroksiklorokuin yang digunakan untuk
remisi penyakit dan mencegah kerusakan sendi progresif, tetapi tidak memberikan
efek anti-inflamasi (Shiel, 2011). Terapi non-farmakologi untuk rheumatoid
arthritis meliputi latihan, istirahat, pengurangan berat badan dan pembedahan
(Shiel, 2011).
Exercise therapy joint mobility adalah termasuk kedalam terapi non
farmakologi. Menurut McClokey dan Bulecheck (2008) dalam Nursing
Intervention Classification (NIC), exercise therapy joint mobility didefinisikan
sebagai penggunaan gerakan tubuh aktif atau pasif untuk mempertahankan atau
mengembalikan fleksibilitas sendi. Keuntungan fungsional dari terapi latihan
(mobilitas sendi) untuk meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan kesehatan,
memperlambat proses penyakit, khususnya penyakit degeneratif dan untuk
aktualisasi diri (harga diri dan citra tubuh) (Mubarak, Nurul Chayatin, 2007).
Exercise therapy joint mobility berpengaruh terhadap kualitas tingkat nyeri sendi
lutut dan tingkat mobilitas yang dialami lansia. Mobilitas sendi sangat penting
untuk meningkatkn kemandirian diri, menningkatkan kesehatan, memperlambat
proses penyakit , khususnya penyakit degeneratif dan untuk aktualisasi diri (harga
diri dan citra tubuh). Untuk pasien nyeri sendi, latiahan mobilitas ditujukan untuk
mengurangi kekakuan, meningkatkan mobilitas sendi, dan mencegah kontraktur
jaringan lunak therapi latiahan mobilitas sendi tersebut antara lain adalah
mengenai percepatan gerak sendi, luas lingkup gerak sendi (runge of motion) dan
jenis kekuatan yang di hasilkannya (pemendekan atau pemanjangan otot) (hadi –
martono, 2004).
Apabila kemampuan otot semakin sering di latih sesuai dengan waktu yang
ditentukan maka cairan sinovial akan meningkat dan bertmabah. Artinya,
penambahan cairan sinovial pada sendi dapat mengurangi resiko cidera pada
lansia dan mencegah timbulnya seri sendi lutut pada lansia (talsim,2001).
Hasil penelitian studi pendahuluan yang dilakukan oleh Yuliastati (2011),
pada lansia di Rumah Asuh Anak dan Lansia Griya Asih Lawang diketahui bahwa
dari 16 lansia usia di atas 50 tahun didapatkan data ketika mengalami nyeri sendi
9 lansia mengkonsumsi obat, 6 lansia memijat, dan 1 lansia membiarkan ketika
mengalami nyeri sendi. Exercise therapy joint mobility kurang diperhatikan dan
tidak diterapkan dalam menangani nyeri sendi lutut pada lansia. Dalam hal ini
adalah sebagai care giver, advocad,counselor, collaboratot dan change agent,
diantaranya adalah meberikan informasi kepada lansia tentang exercise therapi
joint mobility sesuai intervensi keperawatan dan mengadakan perencanaan serta
perubahan yang sistematis dan terarah kepada lansia untuk mengatasi nyeri sendi.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti
pengaruh exercise therapy joint mobility terhadap tingkat nyeri sendi Artritis pada
lansia di Puskesmas Pasar Ikan kota bengkulu.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh exercise therapy joint mobility terhadap tingkat
nyeri sendi Artritis pada lansia di puskesmas pasar ikan kota bengkulu ?
C. Tujuan Penelitian
i. Tujuan Umum
Mengetahu pengaruh exercise therapy jiont mobility terhadap tingkat
nyeri sendi Artritis pada lansia di puskesmas.
ii. Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik umur dan jenis kelamin penderita nyeri
sendi Artritis penderita di Puskesmas pasar ikan kota bengkulu.
2. mengetahui gambaran tingkat nyeri sendi Artritis sebelum dan
sesudah pemeberian exercise therapy joint mobility pada lansia di
puskesmas pasar ikan kota bengkulu.
3. Mengetahui pengaruh exercise therapy joint mobility terhadap
tingkat nyeri sendi Artritis pada lansia di puskesmas pasar ikan kota
bengkulu.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Mengaplikasikan mata kuliah riset keperawatan khususnya tentang
pengaruh exercise therapy joint mobility terhadap tingkat nyeri sendi
Artritis, sehingga dapat menambah wawasan serta pengetahuan peneliti
dalam memecahkan masalah secara ilmiah dan analitik.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan dasar atau rujukan untuk
melakukan penelitian selanjutnya secara berkesinambungan mengenai
pengaruh exercise therapy joint mobility terhadap tingkat nyeri sendi Artritis
pada lansia di berbagai wilayah dengan memberikan informasi terlebih
dahulu mengenai peran keluarga sebagai pemberi layanan keperawatan
(care giver).
3. Bagi institusi pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi institusi
pendidikan untuk bisa dijadikan suatu referensi dan pengambilan kebijakan
dalam memilih kurikulum dan pengguan Nursing Intervention Clasification
(NIC). Untuk disosialisasikan sehingga dapat diterapkan oleh institusi
pendidikan.
4. Bagi Lansia
Lansia mengetahui pentingnya exercise therapy joint mobility yang
tepat dan sesuai kondisi fisik masing-masing. Meningkatkan kesejahteraan
lansia dengan cara mendapatkan perawatan yang lebih optimal khususnya
dalam pememuhan kebutuhan aktivitasnya.
5. Bagi Panti
` Sebagai pemberi bahan informasi dan sasaran untuk mengetahui
pengaruh exercise therapy joint mobility terhadap tingkat nyeri sendi Atritis
pada lansia sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk membina lansia
menuju hidup yang lebih sehat.

Anda mungkin juga menyukai