Anda di halaman 1dari 8

STANDAR PEMBANGUNAN RUKO DI PEMUKIMAN

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU 28/2002”) dan lebih rinci
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“PP 36/2005”).

Persyaratan Bangunan Gedung

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai
dengan fungsi bangunan gedung. (Pasal 7 ayat (1) UU 28/2002)

Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi persyaratan status hak atas tanah, status
kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. (Pasal 7 ayat (2) UU 28/2002)

Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan
keandalan bangunan gedung. (Pasal 7 ayat (3) UU 28/2002)

Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung adat, bangunan gedung semi
permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada daerah lokasi
bencana ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kondisi sosial dan budaya setempat. ( Pasal 7
ayat (5) UU 28/2002)

Persyaratan Peruntukan dan Intensitas Bangunan Gedung

Ketentuan teknis tentang kepadatan dan ketinggian bangunan gedung yang dipersyaratkan pada
suatu lokasi atau kawasan tertentu, yang meliputi koefisien dasar bangunan (“KDB”), koefisien lantai
bangunan (“KLB”), dan jumlah lantai bangunan, yang meliputi: ( Pasal 10 ayat (1) dan penjelasannya
UU 28/2002)

a. Persyaratan peruntukan lokasi

b. Kepadatan

c. Ketinggian

Yaitu tinggi maksimum bangunan gedung yang diizinkan pada lokasi tertentu.

d. Jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan
Yaitu area di bagian depan, samping kiri dan kanan, serta belakang bangunan gedung dalam satu
persil yang tidak boleh dibangun.

Persyaratan Peruntukan Lokasi

Setiap mendirikan bangunan gedung, fungsinya harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang
ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (“RTRW”) kabupaten/kota,Rencana Detail Tata
Ruang Kawasan Perkotaan (“RDTRKP”), dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (“RTBL”).
(Pasal 18 ayat (1) PP 36/2005)

Dalam hal terjadi perubahan RTRW kabupaten/kota, RDTRKP dan/atau RTBL yang mengakibatkan
perubahan peruntukan lokasi, fungsi bangunan gedung yang tidak sesuai dengan peruntukan yang
baru harus disesuaikan.Terhadap kerugian yang timbul akibat perubahan peruntukan lokasi
pemerintah daerah memberikan penggantian yang layak kepada pemilik bangunan gedung sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 19 PP 36/2005)

Kepadatan dan Ketinggian

Persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan meliputi: (Pasal 12 ayat (1) UU 28/2002)

a. koefisien dasar bangunan,

b. koefisien lantai bangunan, dan

c. ketinggian bangunan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.

Persyaratan jumlah lantai maksimum bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang
dibangun di bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan keamanan, kesehatan, dan daya
dukung lingkungan yang dipersyaratkan. (Pasal 12 ayat (2) UU 28/2002)

Bangunan gedung tidak boleh melebihi ketentuan maksimum kepadatan dan ketinggian
yang ditetapkan pada lokasi yang bersangkutan. (Pasal 12 ayat (3) UU 28/2002)

Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh melebihi ketentuan maksimal kepadatan dan
ketinggian yang ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL. (Pasal 20 ayat (1)
PP 36/2005 jo. Bagian III.2.1.angka 2 huruf a poin i Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
29/PRT/M/2006 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung (“Permen PU
29/2006”))
Persyaratan kepadatan ditetapkan dalam bentuk KDB maksimal. Kepadatan bangunan sebagaimana
dimaksud, meliputi ketentuan tentang KDB yang dibedakan dalam tingkatan KDB padat, sedang, dan
renggang. (Pasal 20 ayat (2) PP 36/2005 jo. Bagian III.2.1.angka 2 huruf a poin ii Permen PU 29/2006)

Persyaratan ketinggian maksimal ditetapkan dalam bentuk KLB dan/atau jumlah lantai
maksimal. Ketinggian bangunan sebagaimana meliputi ketentuan tentang Jumlah Lantai Bangunan
(JLB), dan KLB yang dibedakan dalam tingkatan KLB tinggi, sedang, dan rendah. (Pasal 20 ayat (3) PP
36/2005 jo. Bagian III.2.1.angka 2 huruf a poin iii Permen PU 29/2006)

Penetapan KDB didasarkan pada luas kaveling/persil, peruntukan atau fungsi lahan, dan daya dukung
lingkungan. (Pasal 20 ayat (4) PP 36/2005)

Penetapan KLB dan/atau jumlah lantai didasarkan pada peruntukan lahan, lokasi lahan, daya
dukung lingkungan, keselamatan dan pertimbangan arsitektur kota. (Pasal 20 ayat (5) PP 36/2005)

Persyaratan kinerja dari ketentuan kepadatan dan ketinggian bangunan ditentukan oleh: (Bagian
III.2.1.angka 2 huruf a poin iv Permen PU 29/2006)

1. kemampuannya dalam menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan optimalnya intensitas
pembangunan;

2. kemampuannya dalam mencerminkan keserasian bangunan dengan lingkungan;

3. kemampuannya dalam menjamin kesehatan dan kenyamanan pengguna serta masyarakat pada
umumnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada ketentuan secara eksplisit menyebutkan berapa batas
maksimum ketinggian sebuat gedung tetapi tinggi sebuah gedung harus berdasakan pada Koefisien
Lantai Bangunan yaitu didasarkan pada peruntukan lahan, lokasi lahan, daya dukung lingkungan,
keselamatan dan pertimbangan arsitektur kota. Kemudian KLB tersebut ditetapkan dalam RTRW
kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.

Jarak Bebas Bangunan

Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh melanggar ketentuan minimal jarak bebas
bangunan gedung yang ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL. (Pasal 21
ayat (1) PP 36/2005)
Persyaratan jarak bebas ini meliputi: (Pasal 13 ayat (1) UU 28/2002)

1) garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, jalan kereta api,
dan/atau jaringan tegangan tinggi;

2) jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as jalan dan pagar
halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan.

Pada daerah intensitas bangunan rendah/renggang, maka jarak bebas samping dan belakang
bangunan harus memenuhi persyaratan: (Bagian III.2.1.angka 2 huruf f poin i Permen PU 29/2006)

1. jarak bebas samping dan jarak bebas belakang ditetapkan minimum 4 m pada lantai dasar, dan
pada setiap penambahan lantai/tingkat bangunan, jarak bebas di atasnya ditambah 0,50 m dari jarak
bebas lantai di bawahnya sampai mencapai jarak bebas terjauh 12,5 m, kecuali untuk bangunan
rumah tinggal, dan sedangkan untuk bangunan gudang serta industri dapat diatur tersendiri;

2. sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak dibangun pada kedua sisi
samping kiri dan kanan serta bagian belakang yang berbatasan dengan pekarangan.

Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk apapun. (Bagian
III.2.1.angka 2 huruf f poin ii Permen PU 29/2006) Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu
tapak diatur sebagai berikut: (Bagian III.2.1.angka 2 huruf f poin iii Permen PU 29/2006)

1. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan, maka jarak antara
dinding atau bidang tersebut minimal dua kali jarak bebas yang ditetapkan;

2. dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok tertutup dan yang
lain merupakan bidang terbuka dan/atau berlubang, maka jarak antara dinding tersebut minimal
satu kali jarak bebas yang ditetapkan;

3. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan, maka jarak dinding
terluar minimal setengah kali jarak bebas yang ditetapkan.

Secara eksplisit memang tidak diatur jarak bangunan tinggi dengan permukiman warga, tetapi dalam
pembangunan suatu gedung ada yang dinamakan jarak bebas, yaitu area di bagian depan, samping
kiri dan kanan, serta belakang bangunan gedung dalam satu persil yang tidak boleh dibangun,
dimana jarak gedung atau bangunan tinggi harus sesuai dengan ketentuan minimal jarak bebas
bangunan gedung yang ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL kemudian
persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam Permen PU 29/2006.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU 28/2002”) dan lebih rinci
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“PP 36/2005”)
Persyaratan Bangunan Gedung

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai
dengan fungsi bangunan gedung. ( Pasal 7 ayat (1) UU 28/2002)

Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi persyaratan status hak atas tanah, status
kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan.( Pasal 7 ayat (2) UU 28/2002)

Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan
keandalan bangunan gedung. ( Pasal 7 ayat (3) UU 28/2002)

Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung adat, bangunan gedung semi
permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada daerah lokasi
bencana ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kondisi sosial dan budaya setempat. ( Pasal 7
ayat (5) UU 28/2002)

Persyaratan Peruntukan dan Intensitas Bangunan Gedung

Hal ini menyangkut persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, yaitu ketentuan teknis
tentang kepadatan dan ketinggian bangunan gedung yang dipersyaratkan pada suatu lokasi atau
kawasan tertentu, yang meliputi koefisien dasar bangunan (“KDB”), koefisien lantai bangunan
(“KLB”), dan jumlah lantai bangunan, yang meliputi: ( Pasal 10 ayat (1) dan penjelasannya UU
28/2002)

a. Persyaratan peruntukan lokasi

b. Kepadatan

c. Ketinggian

Yaitu tinggi maksimum bangunan gedung yang diizinkan pada lokasi tertentu.

d. Jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan

Yaitu area di bagian depan, samping kiri dan kanan, serta belakang bangunan gedung dalam satu
persil yang tidak boleh dibangun.
Ketinggian serta jarak bebas bangunan gedung

Persyaratan Peruntukan Lokasi

Setiap mendirikan bangunan gedung, fungsinya harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang
ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (“RTRW”) kabupaten/kota,Rencana Detail Tata
Ruang Kawasan Perkotaan (“RDTRKP”), dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (“RTBL”). (
Pasal 18 ayat (1) PP 36/2005)

Dalam hal terjadi perubahan RTRW kabupaten/kota, RDTRKP dan/atau RTBL yang mengakibatkan
perubahan peruntukan lokasi, fungsi bangunan gedung yang tidak sesuai dengan peruntukan yang
baru harus disesuaikan.Terhadap kerugian yang timbul akibat perubahan peruntukan lokasi
pemerintah daerah memberikan penggantian yang layak kepada pemilik bangunan gedung sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. ( Pasal 19 PP 36/2005)

Kepadatan dan Ketinggian

Persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan meliputi: (Pasal 12 ayat (1) UU 28/2002)

a. koefisien dasar bangunan,

b. koefisien lantai bangunan, dan

c. ketinggian bangunan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.

Persyaratan jumlah lantai maksimum bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang
dibangun di bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan keamanan, kesehatan, dan daya
dukung lingkungan yang dipersyaratkan. (Pasal 12 ayat (2) bersangkutan.

Bangunan gedung tidak boleh melebihi ketentuan maksimum kepadatan dan ketinggian
yang ditetapkan pada lokasi yang bersangkutan. (Pasal 12 ayat (3) UU 28/2002)

Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh melebihi ketentuan maksimal kepadatan dan
ketinggian yang ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL. (Pasal 20 ayat (1)
PP 36/2005 jo. Bagian III.2.1.angka 2 huruf a poin i Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
29/PRT/M/2006 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung (“Permen PU
29/2006”))

Persyaratan kepadatan ditetapkan dalam bentuk KDB maksimal. Kepadatan bangunan sebagaimana
dimaksud, meliputi ketentuan tentang KDB yang dibedakan dalam tingkatan KDB padat, sedang, dan
renggang. (Pasal 20 ayat (2) PP 36/2005 jo. Bagian III.2.1.angka 2 huruf a poin ii Permen PU 29/2006)
Persyaratan ketinggian maksimal ditetapkan dalam bentuk KLB dan/atau jumlah lantai
maksimal. Ketinggian bangunan sebagaimana meliputi ketentuan tentang Jumlah Lantai Bangunan
(JLB), dan KLB yang dibedakan dalam tingkatan KLB tinggi, sedang, dan rendah. (Pasal 20 ayat (3) PP
36/2005 jo. Bagian III.2.1.angka 2 huruf a poin iii Permen PU 29/2006)

Penetapan KDB didasarkan pada luas kaveling/persil, peruntukan atau fungsi lahan, dan daya dukung
lingkungan. (Pasal 20 ayat (4) PP 36/2005)

Penetapan KLB dan/atau jumlah lantai didasarkan pada peruntukan lahan, lokasi lahan, daya
dukung lingkungan, keselamatan dan pertimbangan arsitektur kota. (Pasal 20 ayat (5) PP 36/2005)

Persyaratan kinerja dari ketentuan kepadatan dan ketinggian bangunan ditentukan oleh: (Bagian
III.2.1.angka 2 huruf a poin iv Permen PU 29/2006)

1. kemampuannya dalam menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan optimalnya intensitas
pembangunan;

2. kemampuannya dalam mencerminkan keserasian bangunan dengan lingkungan;

3. kemampuannya dalam menjamin kesehatan dan kenyamanan pengguna serta masyarakat pada
umumnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada ketentuan secara eksplisit menyebutkan berapa batas
maksimum ketinggian sebuat gedung tetapi tinggi sebuah gedung harus berdasakan pada Koefisien
Lantai Bangunan yaitu didasarkan pada peruntukan lahan, lokasi lahan, daya dukung lingkungan,
keselamatan dan pertimbangan arsitektur kota. Kemudian KLB tersebut ditetapkan dalam RTRW
kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.

Jarak Bebas Bangunan

Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh melanggar ketentuan minimal jarak bebas
bangunan gedung yang ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL. (Pasal 21
ayat (1) PP 36/2005)

Persyaratan jarak bebas ini meliputi: (Pasal 13 ayat (1) UU 28/2002)

1) garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, jalan kereta api,
dan/atau jaringan tegangan tinggi;
2) jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as jalan dan pagar
halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan.

Pada daerah intensitas bangunan rendah/renggang, maka jarak bebas samping dan belakang
bangunan harus memenuhi persyaratan: (Bagian III.2.1.angka 2 huruf f poin i Permen PU 29/2006)

1. jarak bebas samping dan jarak bebas belakang ditetapkan minimum 4 m pada lantai dasar, dan
pada setiap penambahan lantai/tingkat bangunan, jarak bebas di atasnya ditambah 0,50 m dari jarak
bebas lantai di bawahnya sampai mencapai jarak bebas terjauh 12,5 m, kecuali untuk bangunan
rumah tinggal, dan sedangkan untuk bangunan gudang serta industri dapat diatur tersendiri;

2. sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak dibangun pada kedua sisi
samping kiri dan kanan serta bagian belakang yang berbatasan dengan pekarangan

Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk apapun. (Bagian
III.2.1.angka 2 huruf f poin ii Permen PU 29/2006) Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu
tapak diatur sebagai berikut: (Bagian III.2.1.angka 2 huruf f poin iii Permen PU 29/2006)

1. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan, maka jarak antara
dinding atau bidang tersebut minimal dua kali jarak bebas yang ditetapkan;

2. dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok tertutup dan yang
lain merupakan bidang terbuka dan/atau berlubang, maka jarak antara dinding tersebut minimal
satu kali jarak bebas yang ditetapkan;

3. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan, maka jarak dinding
terluar minimal setengah kali jarak bebas yang ditetapkan.

Secara eksplisit memang tidak diatur jarak bangunan tinggi dengan permukiman warga, tetapi dalam
pembangunan suatu gedung ada yang dinamakan jarak bebas, yaitu area di bagian depan, samping
kiri dan kanan, serta belakang bangunan gedung dalam satu persil yang tidak boleh dibangun,
dimana jarak gedung atau bangunan tinggi harus sesuai dengan ketentuan minimal jarak bebas
bangunan gedung yang ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL kemudian
persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam Permen PU 29/2006.

Anda mungkin juga menyukai