Anda di halaman 1dari 19

1. Bagaimana dasar anatomi, histologi dan fisiologi dari organ terkait?

a. TELINGA
- ANATOMI

Secara anatomi dari fungsi telinga dibagi atas:


- Telinga luar
- Telinga tengah
- Telinga dalam
a. Telinga luar
Ialah bagian telinga yang terdapat sebelah luar membran timpani.
Terdiri dari:
* Daun telinga (aurikel)
* Meatus acusikus eksterna liang telinga luar
* Membrana timpani
Daun telinga merupakan suatu lempengan tulang rawan yang berlekuk-lekuk ditutupi oleh
kulit dan dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan ligamentum. Liang telinga luar 2/3
bagian dalam dibentuk oleh tulang. Kulit yang melapisi tulang rawan liang telinga luar sangat
longgar dan mengandung banyak folikel rambut, kelenjar serumen dan kelenjar sebasea.
Gendang telinga dan kulit liang telinga bagian dalam mempunyai sifat membersihkan sendiri
yang disebabkan oleh migrasi lapisan keratin epithelium dari membran timpani keluar,
kebagian tulang rawan.
Membran timpani terdiri 3 lapisan, yaitu:
o Lapisan squamosa
o Lapisan mukosa
o Lapisan fibrosa terdiri serat melingkar dan serat radial
Bagian membran timpani sebelah atas disebut pars flacida(membran shrapnel) bagian
yang lebih besar disebelah bawah disebut pars tensa membran timpani.
b. Telinga rengah
Terdiri dari:
o Membran timpani
o Cavum timpani
o Tulang-tulang pendengaran
o Tuba eustachius
o Sel-sel mastoid
Cavum timpani terbagi atas:
- Epitimpani
- Mesotimpani
- Hypotimpani
Tulang-tulang pendengaran terbagi atas:
- Maleus (palu) - Stapes (sanggurdi)
- Incus (landasan)
Tuba eustachius:
2/3 bagian terdiri dari tulang rawan kearah nasofaring dan 1/3 terdiri dari tulang. Pada anak-
anak tuba lebih pendek, lebih lebar dan lebih horizontal dari tuba orang dewasa.
c. Telinga dalam terdiri dari:
- Koklea (rumah siput)
- 3 buah kanalis semi sirkuler:
- Anterior
- Posterior
- Lateral

- FIOLOGI
Seseorang dapat mendengar melalui getaran yang dialirkan melalui udara atau
tulang langsung ke koklea. Aliran suara melalui udara lebih baik dibandingkan dengan
aliran suara melalui tulang. Getaran suara ditangkap oleh daun Telinga yang dialirkan ke
liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar.
Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.

b. HIDUNG
- ANATOMI
Hidung terdiri dari:
-Hidung bagian luar
-Rongga hidung
Hidung bagian luar
- Berbentuk pyramid
- Dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan.
Rongga hidung (cavum nasi)
-Berbentuk terowongan dari depan kebelakang
-Dipisahkan oleh septum di bagian tengah menjadi cavum nasi kanan dan kiri
-Cavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu:
o Dinding medial
o Dinding lateral
o Dinding inferior
o Dinding superior
Dinding medial hidung yaitu septum nasi, septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan,
pada dinding lateral terdapat konka yaitu;
a. Konka superior Kecil, dibagian atas
b. Konka media Lebih kecil, letaknya ditengah
c. Konka inferior Terbesar dan paling bawah letaknya
d. Konka suprema Terkecil dan rudimenter
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Ada 3 meatus, yaitu:
Meatus inferior terletak diantara konka superior dengan dasar hidung dengan rongga hidung.
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Meatus superior merupakan ruang diantara konka superior dan konka media.
Dinding superior merupakan merupakan dasar rongga hidung dengan superior atau atap
hidung sangat sempit.
 FISIOLOGI
 Jalan napas
Udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian
turun ke bawah ke arah nasofaring, dan seterusnya. Pada ekspirasi terjadi hal sebaliknya.
 Alat pengatur kondisi udara (air condition-ing)
Mukus pada hidung berfungsi untuk mengatur kondisi udara
 Penyaring udara
Mukus pada hidung berfungsi sebagai penyaring dan pelindung udara inspirasi dari debu dan
bakteri bersama rambut hidung, dan silia.
 Sebagai indra penghidu
Fungsi utama hidung adalah sebagai organ penghidu, dilakukan oleh saraf olfaktorius.
 Untuk resonansi udara
Fungsi sinus paranasal antara lain sebagai pengatur kondisi udara, sebgai penahan suhu,
membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, sebagai peredam perubahan
tekanan udara, membantu produksi mukus dan sebagainya.
 Turut membantu proses berbicara
 Refleksi nasal.
- HISTOLOGI
 -Epitel organ pernafasan yang biasa berupa toraks bersilia, bertingkat palsu, berbeda-beda
pada berbagai bagian hidung, bergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian
pula suhu, dan derajat kelembaban udara. Mukoa pada ujung anterior konka dan septum
sedikit melampaui internum masih dilapisi oleh epitel berlapis torak tanpa silia, lanjutan dari
epitel kulit vestibulum. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks bersilia
pendek dan agak ireguler. Sel-sel meatus media dan inferior yang terutama menangani arus
ekspirasi memiliki silia yang panjang dan tersusun rapi.
 -Lamina propria dan kelenjar mukosa tipis pada daerah dimana aliran udara lambat atau
lemah. Jumlah kelenjar penghasil secret dan sel goblet, yaitu sumber dari mucus, sebanding
dengan ketebalan lamina propria.
 -Terdapat dua jenis kelenjar mukosa pada hidung, yakni kelenjar mukosa respiratori dan
olfaktori. Mukosa respiratori berwarna merah muda sedangkan mukosa olfaktori berwarna
kuning kecoklatan.
 -Silia, struktur mirip rambut, panjangnya sekitar 5-7 mikron, terletak pada permukaan epitel
dan bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan
kembali tegak secara lambat.

a. TENGGOROKAN
 FARING
a. ANATOMI

o Kantong
fibromuskular
o Bentuk seperti corong.
o Dari dasar tengkorak
-Dinding faring dibentuk oleh:
o Selaput lendir.
o Fasia faringo basiler.
o Pembungkus otot.
o Sebagian fasia bukofaringeal.
-Unsur faring meliputi:
o Muksa.
o Palut lender.
o Otot.
-Faring terdiri atas:
o Nasofaring.
o Orofaring.
o Laringofaring (hipofaring).
1. Nasofaring
-Batas-batas:
- Superior: dasar tengkorak.
- Inferior: palatum mole.
- Anterior: rongga hidung.
- Posterior: vertebra servikal
-Struktur nasofaring:
- Adenoid.
- Jaringan limfa pada dinding nasofaring.
- Resesus faring --- fossa rosenmuleri.
- Muara tuba eustakhius.
- Tonus tubarius.
- Koana (pintu masuk rogga mulut ke nasofaring).
2. Orofaring (mesofaring)
-Batas-batas:
- Superior: palatum mole.
- Interior: tepi atas epiglotis.
- Anterior: rongga mulut.
- Posterior: vertebra servikal.
-Struktur penting di orofaring.
- Dinding posterior faring.
- Tonsilplatina.
- Fossa tonsil.
- Arkus anterior dan posterior.
- Uvula.
- Tonsil lingual (lidah).
- Foramen sekum.
3. Laringofaring (hipofaring).
-Batas-batas:
- Superior:tepi atas epiglottis.
- Anterior: laring.
- Inferior: esophagus.
- Posterior: vertebra servikal.
-Struktur penting:
- Valekuta atau kantong pil (pil pocket).
- Epiglotis.

b. Fisiologi faring:
o Untuk respirasi.
o Membantu pada waktu menelan.
o Resonansi sura.
o Untuk artikulasi.
Fungsi menelan:
Terdiri dari 3 fase proses menelan, yaitu:
o Fase oral.
Bolus makanan --- faring (voluntary / disadari.)
o Fase faringeal.
Transfer bolus makanan --- faring (involuntary / tidak disadari).
o Fase esofageal.
Bolus makanan --- esophagus --- lambung.

 LARING
a. ANATOMI

Bagian terbawah saluran napas atas.


Bata-batas:
 Atas: rongga laring --- aditus laring.
 Bawah: rongga laring --- kaudal kartilago krokoid.

b. FISIOLOGI
Fungsi:
o Proteksi (epiglottis).
o Batuk.
o Respirasi.
o Sirkulasi.
o Menelan.
o Emosi.
o Fonasi (pembentukan suara).
o Menghasilkan bunyi
o Mencegah masuknya benda asing ke dalam trachea/bronchus (sphincter)
o respirasi

2. Faktor-faktor apa saja yang mempegaruhi gejala pilek?


a. Genetika
Seseorang dengan riwayat keluarga memiliki penyakit yang bergejala pilek memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk menderita penyakit yang sama
b. Lingkungan
Lingkungan juga sangat mempengaruhi timbulnya penyakit dengan gejala pilek.
Alergen lingkungan dapat berupa outdoor alergen dan indoor alergen. Outdoor alergen
berupa pollen,spora jamur,Bungan, dan rumput. Indoor alergen berupa debu, jamur, dan
binatang peliharaan
c. Sistem imun
Seseorang yang memiliki system imun yang baik tidak akan mudah terkena penyakit.
Akan tetapi sebaliknya seseorang yang memiliki sistem imun yang kurang baik akan mudah
terkena penyakit.
d. Kebugaran
Seseorang yang memiliki tubuh yang sehat dan bugar tidak akan mudah terkena
penyakit

3. Bagaimana patomekanisme dari gejala pilek?


Yang diawali dengan tahap sensitasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri
dari dua fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase
Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2 – 4 jam
dengan puncak 6 – 8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
sampai 24 – 48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah di proses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida
MHC kelas II (Major Histocompatibility Compleks) yang kemudian di presentasikan pada sel
T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin – 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Immunoglobulin E (Ig E). Ig E di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitasi. Bila mukosa yang sudah tersensitasi terpapar
dengan alergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL 6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas vaskuler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf vidianis, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa
hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL
3, IL 4, IL 5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM
1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator infalmasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP),
dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh
faktor nonspesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

4. Jelaskan perubahan histopatologi jaringan pada organ THT?


Perubahan histopatologs jaringan akibat penyakit dengan gejala pilek adalah secara
mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel
goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung.
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapaat terjadi terus menerus (persisten) sepanjang
tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang irreversible, yaitu terjadi proliferasi
jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.

5. Penyakit-penyakit apa saja yang memiliki gejala pilek?


 Influenza
Influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan terutama ditandai oleh
demam, gigil, sakit otot, sakit kepala dan sering disertai pilek, sakit tenggorokan dan batuk non
produktif. Lama penyakit berlangsung antara 2-7 hari dan biasanya sembuh sendiri.
Gejala : demam, sakit kepala, sakit otot, batuk, pilek, sakit tenggorokan (sakit pada waktu
menelan) dan suara serak.
 Rinitis alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986).
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Gejala : rinorea berair, obstruksi nasal, hidung gatal, dan konjungtivitis (mata berair, gatal atau
bengkak).
 Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular mukosa hidung yang
ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung
apabila terpapar oleh iritan spesifik.
Gejala : sulit dibedakan dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Gejala dapat
memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim,
udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok.
 Rinitis Medikamentosa
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung, berupa gangguan respon normal vasomotor,
sebagai akibat dari pemakaian vasokonstriktor topikal (obat tetes hidung) dalam waktu lama dan
jumlah yang berlebihan(drug abuse), sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
Gejala : hidung tersumbat dan berair serta sekret hidung yang berlebihan.
 Polip Nasi
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung. Kebanyakan polip berwarna
putih bening atau keabu – abuan, mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip
edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi kekuning – kuningan atau kemerah –
merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa).
Gejala : hidung tersumbat (sumbatan ini menetap, tidak hilang timbul dan makin lama semakin
berat keluhannya) sumbatan yang berat dapat menyebabkan hilangnya indra penciuman,
Gangguan drainase sinus dapat menyebabkan nyeri kepala dan keluarnya sekret hidung, bila
penyebabnya alergi penderita mengeluh adanya iritasi hidung yang disertai bersin-bersin.
 Sinusitis
Sinusitis adalah proses peradangan pada mukosa sinus paranasalis. Proses peradangan akan
menimbulkan edema mukosa disertai dengan pengeluaran sekret dari sel-sel kelenjar mukosa.
Keadaan ini akan menimbulkan gangguan ventilasi dan aliran sinus.
Gejala : Hidung tersumbat, sekret hidung yang kental berwarna hijau kekuningan atau jernih,
dapat pula disertai bau, nyeri tekan pada wajah di area pipi, di antara kedua mata,pipi dan di dahi,
batuk, demam tinggi, sakit kepala/migraine.
 Bronkhitis
Bronkhitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial. Peradangan tidak meluas
sampai alveoli. Bronkhitis diklasifikasikan sebagai bronkhitis akut dan kronik. Bronkhitis kronik
umumnya hanya dijumpai pada dewasa. Pada bayi penyakit ini dikenal dengan nama
bronkhiolitis. Bronkhitis akut umumnya terjadi pada musim dingin/hujan, kehadiran polutan yang
mengiritasi seperti polusi udara, dan asap rokok.
Gejala : Batuk menetap, Rhinorrhea, Sesak napas bila harus melakukan gerakan eksersi (naik
tangga, mengangkat beban berat), Lemah, lesu, Nyeri telan (faringitis), Nyeri kepala, Demam
pada suhu tubuh yang rendah yang dapat disebabkan oleh virus influenza, adenovirus ataupun
infeksi bakteri.
6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis!
1. Anamnesis
Anamnesis secara sistematis terdiri dari :
I.1. Keluhan Utama
I.2. Anamnesa Terpimpin
I.3. Anamnesa Sistematis
I.4. Anamnesa Pribadi
I.5. Anamnesa Keluarga
I.6. Anamnesa Penyakit terdahulu
I.7. Anamnesa Lainnya

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi di hadapan
pemeriksa. Hamper 50% diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis saja. Gejala yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, aitu proses membersihkan sendiri. Bersin ini terutama
merupakan gejala pada RAFC dan kadang2 pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.

Gejala lain ialah kelur ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang2 disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali
gejala yg timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang2 keluhan hidung tesumbat
merupakan keluhan utama atau satu satunya gejala yg diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan Fisik
Tahapan pemeriksaan fisik :
1. Inspeksi
2. Palpasi
3. Perkusi
4. Auskultasi

Pada rinoskopi anterior tampakmukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Gejala
spesifik pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap didaerah bawah mata yg terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain dari itu sering juga anak tampak menggoso
gosok hidung karena gatal, keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, mulut sering terbuka dengan
lengkung langit2 yg tinggi sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi. Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema, serta dinding lateral faring Nampak menebal, lidah
tampak seperti gambaran peta.

3. Pemeriksaan Penunjang

Hitung eosinophil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total
seringkali menunjukan nilai normal. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan kemungkinan
jenis rhinitis yang dialami pasien.

7. Jelaskan DD dan DS? ( definisi, etiologi, epidimiologi, patomekanisme dan


gejala klinis)
 RINITIS ALERGI
DEFINISI
Rinitis alergi adalah inflamasi mukosa hidung dengan gejala bersin-bersin, rasa
gatal, hidung tersumbat yang dipicu oleh reaksi hipersensitivitas tipe I setelah mukosa
hidung terpapar dengan alergen.
EPIDEMIOLOGI

Rinitis alergi mempengaruhi sekitar 40% anak-anak dan 20%-30% orang dewasa.
Pada anak (<2 tahun) diagnosis rinitis alergi lebih sulit di tegakkan. Keluhan pertama
biasanya muncul pada usia sekolah

ETIOLOGI

Peningkatan kadar IgE terhadap alergen tertentu menyebabkan degranulasi sel


mast yang berlebihan. Degranulasi sel mast melepaskan mediator inflamasi (sebagai
contoh: histamin) dan sitokin yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal.

PATOFISIOLOGI

Rinitis alergi melibatkan inflamasi membran mukosa hidung, mata, tuba


Eustachius, telinga tengah, sinus dan faring. Hidung hampir selalu terlibat sedangkan
keterlibatan organ-organ lain dapat terjadi pada individu tertentu. Inflamasi membran
mukosa disebabkan interaksi kompleks mediator-mediator inflamasi yang dicetuskan oleh
repon yang dimediasi imunoglobulin E (IgE).

Kecenderungan untuk timbulnya alergi atau reaksi yang dimediasi IgE terhadap
alergen ekstrinsik memiliki komponen genetik. Pada individu yang rentan, pajanan
terhadap alergen tertentu menyebabkan sensitisasi. Hal itu ditandai dengan produksi IgE
spesifik terhadap alergen. IgE spesifik tersebut akan menempel pada permukaan sel mast
yang berada pada mukosa nasal. Ketika terhirup kedalam hidung, alergen akan berikatan
dengan IgE pada sel mast, menyebabkan pecahnya (degranulasi) sel tersebut dan lepasnya
mediator inflamasi.

MANIFESTASI KLINIS

1) Gejala yang mendukung diagnosis rinitis alergi (2 atau lebih gejala >1 jam hampir
setiap hari): rinorea berair, bersin paroksimal, obstruksi nasal, hidung gatal, dan
konjungtivitis (mata berair, gatal atau bengkak)
2) Gejala yang tidak mendukung diagnosis rinitis alergi: bersifat unilateral, obstruksi
nasal tanpa disertai gejala lainnya, rinorea mukopurulen, post nasal drip dengan
mukus tebal, tidak ditemui rinorea anterior, nyeri, epitaksis berulang, dan anosmia.

 Tanda klinis yang diasosiasikan dengan rinitis alergi:


- Allergic shiners : lingkaran hitam disekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi
atau kongesti nasal
- Nasal/allergic crease : suatu garis horizontal di dorsum hidung yang disebabkan oleh
gesekan berulang ke atas pada ujung hidung oleh telapak tangan (dikenal sebagai
allergic salute)
- Pemeriksaan hidung dengan spekulum hidung: mukosa hidung edematosa atau
hipertrofi, berwarna pucat atau biru-keabuan, dan sekret cair
- Pemeriksaan mata: injeksi dan pembengkakan kongjungtiva palpebra, garis Dennie-
Morgan (garis dibawah kelopak mata inferior)
- Pemeriksaan faring: penampakan cobblestone (pembengkakan jaringan limfoid pada
faring posterior) dan pembengkakan arkus faring posterior. Maloklusi dan lengkung
palatum yang tinggi dapat ditemukan pada pasien yang bernapas dengan mulut secara
berlebihan
- Pada anak dapat ditemukan hipertrofi adenoid (dari foto lateral leher)
 RINITIS VASOMOTOR
DEFINISI
Rinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular mukosa
hidungyangditandaidenganadanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada
mukosa hidung apabila terpaparolehiritanspesifik.Kelainaninimerupakankeadaanyang non-
infektifdan non-alergi.Rinitisvasomotordisebutjugadenganvasomotor catarrh,vasomotor
rinorrhea,nasalvasomotor instability, nonspesificallergicrhinitis,non- IgE
mediatedrhinitisatauintrinsicrhinitis.

ETIOLOGI
Etilogipastirinitisvasomotorbelumdiketahuidandidugaakibatgangguan
keseimbangansistemsarafotonomyangdipicuolehzat-zattertentu.
Beberapafaktoryangmempengaruhikeseimbanganvasomotor:
1. obat-obatanyangmenekandanmenghambatkerjasarafsimpatis,seperti
ergotamin,chlorpromazin, obatantihipertensidanobatvasokonstriktor topikal.
2. faktorfisik,sepertiiritasiolehasaprokok,udaradingin,kelembaban udara
yangtinggidanbauyangmerangsang.
3. faktorendokrin,sepeti keadaankehamilan,pubertas,pemakaianpil
antihamildanhipotiroidisme.
4. faktorpsikis,sepertistress,ansietasdanfatigue.
PATOFISIOLOGI
1. Neurogenik (disfungsi sistem saraf otonom)
Sistemsarafotonommengontrol alirandarahkemukosa hidung
dansekresi
darikelenjar.Diameterresistensipembuluhdarahdihidungdiaturolehsiste
msaraf simpatissedangkanparasimpatismengontrolsekresi
kelenjar.Padarinitisvasomotorterjadidisfungsisistemsarafotonomyangm
enimbulkan ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung
yang berupa bertambajnya aktivitas saraf parasimpatis.
2. Neuropeptida
Terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan
terhadap saraf sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf
sensoris ini akan diikuti dengan pelepasan neuropeptida yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar

3. Nitrik oksida
Kadar niktrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan epitel, sehingga rangsangan non spesifik
berinteraksi langsung ke sub-epitel akhirnya terjadi peningkatan reaktifitas fefleks
vaskular dan kelenjar mukosa hidung

4. Trauma
Rhinitis vasimotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari truma hidung
melalui mekanisme neurogenik dan neuropeptida
Dengandemikian,patofisiologidapatmemandupenatalaksanaanrinitis
vasomotoryaitu:4,14
- meningkatkanperangsanganterhadapsistemsarafsimpatis
- mengurangiperangsanganterhadapsistemsarafparasimpatis
- mengurangipeptidevasoaktif
- mencaridanmenghindarizat-zatiritan
PATOGENESIS
Rinitisvasomotormerupakansuatukelainanneurovaskular pembuluh-
pembuluhdarahpadamukosahidung,terutamamelibatkan sistemsaraf parasimpatis. Tidak
dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang
dijumpaipadarinitisalergi.Keadaaninimerupakanreflekshipersensitivitasmukosa
hidungyangnon–spesifik.Serangandapatmunculakibatpengaruhbeberapafaktor pemicu.
1.Latar belakang
- adanyapaparanterhadapsuatuiritanmemicuketidakseimbangansistem
sarafotonomdalammengontrolpembuluhdarahdankelenjar padamukosa
- hidungvasodilatasidanedemapembuluhdarah mukosahidunghidung
- tersumbatdanrinore.
- disebutjuga“ rinitisnon-alergi(nonallergicrhinitis)“
- merupakanresponnon–spesifik terhadap perubahan–perubahan
lingkungannya,berbedadenganrinitisalergiyangmanamerupakan
- responterhadapproteinspesifikpadazatallergennya
- -tidakberhubungandenganreaksiinflamasiyangdiperantaraiolehIgE (IgE-
mediatedhypersensitivity)
2.Pemicu(triggers)
- alkohol
- perubahantemperatur/kelembapan
- makananyangpanasdanpedas
- bau–bauanyangmenyengat( strongodor)
- asaprokokataupolusiudaralainnya
- faktor–faktorpsikisseperti:stress,ansietas
- penyakit–penyakitendokrin
- obat-obatansepertiantihipertensi,kontrasepsioral
DIAGNOSIS
Dalamanamnesisdicarifaktoryangmempengaruhikeseimbanganvasomotor
dandisingkirkankemungkinanrinitisalergi.Biasanyapenderitatidakmempunyai riwayat alergi
dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa.
Beberapapasienhanyamengeluhkangejalasebagairesponterhadappaparanzat
iritantertentutetapitidakmempunyaikeluhanapabilatidakterpapar.
Padapemeriksaan rinoskopianteriortampakgambaranklasikberupaedema
mukosahidung,konkahipertrofidan berwarnamerahgelapataumerahtua(
karakteristik),tetapidapatjugadijumpaiberwarnapucat.Permukaan konkadapat
licinatauberbenjol(tidakrata).Padarongga hidungterdapat sekretmukoid,
biasanyasedikit.Akantetapipadagolonganrinore,sekretyangditemukan bersifat
serosadenganjumlahyangbanyak.Padarinoskopiposterior dapatdijumpai postnasaldrip.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rinitisalergi.Testkulit(skintest)biasanya negatif, demikian pulatestRAST,serta
kadarIgEtotaldalambatasnormal. Kadang-kadangditemukanjugaeosinofilpada
sekrethidung,akantetapidalamjumlah yangsedikit.
GEJALAKLINIS
Pada rhinitis vasomotor, gejala sering diceuskan oleh berbagai rangsangan non-
spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, udara dingin, makanan pedas.
Gejalayangdijumpaipadarinitisvasomotorkadang-kadang sulitdibedakan
denganrinitisalergisepertihidungtersumbat danrinore.Rinoreyanghebatdan bersifat mukus
atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangatbervariasiyangdapatbergantian
darisatusisikesisiyanglain,terutamasewaktu perubahanposisi.Keluhanbersin-bersin
tidakbegitunyatabiladibandingkan
denganrinitisalergidantidakterdapatrasagataldihidungdanmata. Gejala dapatmemburuk
padapagihariwaktubanguntidurolehkarenaadanyaperubahan suhu yang ekstrim, udara
lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya.Selainitujugadapatdijumpaikeluhanadanyaingusyangjatuhke
tenggorok(postnasaldrip).
Berdasarkangejalayangmenonjol,rinitis vasomotordibedakandalam3 golongan, yaitu 1)
golongan bersin (sneezers) dimana gejala biasanya memberikan respon yang baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal, 2) golongan obstruksi (
blockers) kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid
topikal dan vasokontriksi oral 3)golongan rinore( runners) dimana gejala dapat diatasi dengan
pemberian anti kolinergik topikal

 RINITIS MEDIKAMENTOSA

DEFINISI
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal
vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau
semprot hidung ) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung
yang menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang
berlebihan (drug abuse)
ETIOLOGI
Penyebab rinitis medikamentosa adalah pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse)
PATOMEKANISME
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan atau iritan,
sehingga harus hati-hati memakai topikal vasokontriktor. Obat topikal vasokonstriktor dari
golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasi terganggu dan akan berfungsi
normal kembali apabila pemakaian obat itu di hentikan.
Pemakaian topikal vasokontriktor yang berulang dan dalam waktu yang lama akan
menyebabkan fase dilatasi berulag (rebound dilatation) setelah vasokontriksi, sehingga timbul
gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih
banyak lagi memakai obat tersebut. Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa-adrenergik
yang tinggi di mukosa hidung. Hal ini akan diikuti dengan penurunan sensitivitas reseptor
adre-energik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus simpatis
yang menyebabkan vasokonstriksi (dekongesti mukosa hidung ) menghilang. Akan terjadi
dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Keadaan ini disebut juga sebagai rebound
kongestion.
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung pada
pemkaian obat tetes hidung dalam waktu lama ialah :
1) silia rusak,
2) sel goblet berubah ukurannya
3) membran basal menebal
4) pembuluh darah melebar
5) stroma tampak edema
6) hipersekresi kelenjar mucus dan perubahan pH sekret hidung,
7) lapisan submukosa menebal dan
8) lapisan periostium menebal.
Oleh karena itu pemakaian obat topikal vasokonstriktor sebaiknya tidak lebih dari satu
minggu dan sebaiknya bersifat isotonik dengan sekret hidung normal (pH antara 6,3 dan 6,5)

GEJALA DAN TANDA


Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan
tampak edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan apabila diberi tampon
adrenalin, edema konka tidak berkurang.

8. Jelaskan penatalaksaan farmako dan non farmako dari DS?


PENATALAKSANAAN RINITIS ALERGI

Dalam pengobatan rinitis alergi, krouse menemukan konsep faktor dinamik dan
adinamik. Alergi meruoakan salah satu faktor dinamik yang penting di samping infeksi
(bakteri,virus atau jamur), iritasi mukosa dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi
mukosa seperti suhu,kelembapan dan pengendapan partikel-partikel yang ada di udara.

Dari faktor adinamik umumnya berhubungan dengan kelaianan anatomi, sikatriks pasca
operasi, diskinesia silier, polip, benda asing atau keganasan. Kedua faktor tersebut harus selalu
menjadi pertimbngan dalam memberikan terapi.

Bila gejala rinitis alergi menetap lebih dari 7 hari, besar kemungkinan oenyebabnya
bakteri. Antibiotik sebaiknya diberikan pada pasien yang mempunyai gejala sedang atau berat,
sementara pada kasus yang ringan umumnya dapat sembuh tanpa antibiotik. Meksipun
demikian secara keseluruhan pasien yang mendapat antibiotik lebih cepat sembuh dibanding
plasebo.

Pada rinosinusitis akut lama pemberian antibiotik 10-14 hari, sedangkan jenisnya
tergantung harga,keamanan dan pola resistensi kuman di daerah tersebut. Amoksilin dosis
tinggi,atau kombinasi amoksilin- asam klavulanat, klaritromisin dan azitromisin dapat dipakai
sebagai lini ke 3 (sefuroksin, sefpodoksim atau sefprozil) yang mempunyai spektrum
levofloksasin dipakai pada pasien dewasa, sebagai cadangan bila obatyang terdahulu tidak
memuaskan . pada rinosinusitis kronik ada yang menganjurkan pemberikan antibiotik sampai 4-
6 minggu.

Dekongestan oral atau topikal diapakai untuk mengurangi pembengkakakan mukosa


rongga hidung, sehungga melebarkan rongga hidung. Pemakian dekongestal topikal dianjurkan
tidak melebihi 5-7 hari, untuk menghindari rinitis medika mentosaa.

Kortikosteroid oral atau nasal mengurangi inflamasi. Irigasi atau semprotan air garam
faali dapat mengurangi kekentalan sekret hidung serta memperbaiki bersihan mukosilier.
Nc Nally melaporkan dari 200 kasus rinosinusitis kronik, dengan terapi medis yang
agresif yang terdiri dari antibiotik oral selama 4 minggu, kortikosteroid nasal, lavase rongga
hidung dan dekongestan topikal, ternyata hanya 6% (12 kasus) yang kurang memberikan
respons sehingga memerlukan operasi FESS (functional endoscopic sinus surgery).
Disimpulkan terapi medik cukup memadai dan efektif untuk pengobatan rinosinusitis.

Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang dilepaskan oleh
sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada
reseptornya di permukaan sel tersebut.

Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :


1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan.
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan terhadap
penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah gaya hidup seperti pola makanan yang bergizi,
olahraga dan menghindari stres.
5. Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal.

Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat diberikan obat-obatan sebagai berikut6 :

1. Antihistamin

Antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi.


Secara garis besar dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 golongan baru.
Antihistamin H1 klasik seperti Diphenhydramine, Tripolidine, Chlorpheniramine dan lain-lain.
Sedangkan antihistamine generasi baru seperti Terfenadine, Loratadine, Desloratadine dan lain-
lain.
Desloratadine memiliki efektifitas yang sama dengan montelukast dalam mengurangi gejala
rinitis yang disertai dengan asma. Levocetirizine yang diberikan selama 6 bulan terbukti
mengurangi gejala rinitis alergi persisten dan meningkatkan kualitas hidup pasien rinitis alergi
dengan asma.

2. Dekongestan hidung

Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya pada reseptor-


reseptor α-adrenergik. Efek Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8
vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit, berlangsung selama 1 sampai 12 jam.
Pemakaian topikal sangat efektif menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak efektif
untuk keluhan bersin dan rinore. Pemakaiannya terbatas selama 10 hari. Kombinasi
antihistamin dan dekongestan oral dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang
tidak dipengaruhi oleh antihistamin.

3. Kortikosteroid

Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo


steroid intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung relatif sedikit dan tidak ada
penelitian komparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan hubungannya dengan
dose response. Kortikosteroid oral sangat efektif dalam mengurangi gejala rinitis
alergi terutama dalam episode akut.
Efek samping sistemik dari pemakaian jangka panjang kortikosteroid sistemik
baik peroral atau parenteral dapat berupa osteoporosis, hipertensi, memperberat
diabetes, supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis, obesitas, katarak, glukoma,
cutaneous striae. Efek samping lain yang jarang terjadi diantaranya sindrom Churg-
Strauss. Pemberian kortikosteroid sistemik dengan pengawasan diberikan pada kasus
asma yang disertai tuberkulosis, infeksi parasit, depresi yang berat dan ulkus peptikus.
Pemakaian kortikosteroid topikal (intranasal) untuk rinitis alergi seperti
Beclomethason dipropionat, Budesonide, Flunisonide acetate fluticasone dan
Triamcinolone acetonide dinilai lebih baik karena mempunyai efek antiinflamasi yang
kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya, serta memiliki efek
samping sitemik yang lebih kecil. Tapi pemakaian dalam jangka waktu yang lama
dapat menyebabkan mukosa hidung menjadi atropi dan dapat memicu tumbuhnya
jamur.

4. Antikolinergik

Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan sekresi


kelenjar. Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor muskarinik
sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan vasodilatasi.
Ipratropium bromida, yang merupakan turunan atropin secara topikal dapat
mengurangi hidung tersumbat atau bersin.

5. Natrium Kromolin

Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru. Mekanisme kerja belum


diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat penglepasan mediator dari
sel mastosit, atau mungkin melalui efek terhadap saluran ion kalsium dan klorida.

6. Imunoterapi

Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya penghindaran alergen dan
terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi gejala klinis rinitis alergi. Terdapat
beberapa cara pemberian imunoterapi seperti injeksi subkutan, pernasal, sub lingual,
oral dan lokal.
Pemberian imunoterapi dengan menggunakan ekstrak alergen standar selama 3
tahun, terbukti memiliki efek preventif pada anak penderita asma yang disertai
seasonal rhinoconjunctivitis mencapai 7 tahun setelah imunoterapi dihentikan.
Sumber :
Effy Huriyati dan Al Hafiz.Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang
Disertai Asma Bronkial. Sumatera Barat: Bagian Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr. M.
Djamil Padang

9. Jelaskan prognosis dan komplikasi dari DS?


PROGNOSIS

Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa


komplikasi yang respondengan pen gobatan memiliki prognosis
b a i k . P a d a p a s i e n y a n g d i k e t a h u i a l e r g i terhadap serbuk sari, maka
kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit
diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yangberulang.
Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk
statuskekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit
rinitis alergi dapatbertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap
bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan
jarang ditemukan karena menurunnyasistem kekebalan tubuh

KOMPLIKASI RINITIS ALERGI

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:


a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan
limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).

Anda mungkin juga menyukai