Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawat merupakan tenaga kesehatan professional yang memiliki tugas
untuk mengembangkan praktek yang berkontribusi terhadap kesehatan
pasien. Profesionalisme diartikan sebagai tingkat komitmen individu untuk
nilai dan karakteristik perilaku terhadap identitas karir tertentu. Hal ini
merupakan karakteristik penting yang menekankan nilai dan komitmen dalam
pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat (Kim-Godwin, Baek, &
Wynd, 2010).Oleh karena itu, untuk memenuhi tanggung jawab peran
profesional tersebut, diperlukan suatu penelitian klinis yang dapat menjadi
bukti kuat bahwa suatu intervensi keperawatan tidak membahayakan dan
memiliki efek yang menguntungkan bagi pasien, baik ditinjau dari segi klinis
dan juga ekonomis (Forbes, 2009).
Salah satu metode dalam mendapatkan hasil penelitian klinis yang terbukti
manfaatnya adalah dengan melakukan kajian terkait evidence based practice
dan riset klinis keperawatan. Pemahaman dan penerapan hasil-hasil
riset/penelitian di tatanan pelayanan keperawatan akan membantu
meningkatkan mutu dan kualitas pemberian asuhan keperawatan. Namun,
dalam kenyataannya di tatanan klinis, masih banyak tindakan atau intervensi
keperawatan yang dilakukan hanya berdasarkan kepada kebiasaan yang turun
temurun tanpa berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan yang baru.
Kebiasaan seperti ini perlu dihilangkan dan digantikan dengan kebiasaan
tindakan yang berdasarkan pada bukti riset dan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, disusunlah makalah ini untuk membahas secara komprehensif
terkait evidence based practice dan penjaminan mutu asuhan keperawatan,
sehingga perawat dapat memahami dan mengaplikasikannya dengan baik.

B. Rumusan Masalah

1
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yaitu
“Bagaimana Konsep Teoritis Penjaminan Mutu Asuhan Keperawatan dan
Teoritis Praktik Keperawatan Berbasis Bukti”.

C. Tujuan
Untuk mengetahui tentang Konsep Teoritis Penjaminan Mutu Asuhan
KeperawatandanTeoritis Praktik Keperawatan Berbasis Bukti.

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Konsep Teoritis Penjaminan Mutu
1. Pelayanan Keperawatan
Penjaminan mutu adalah proses penetapan dan pemenuhan standar
mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen,
produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan.
Khusus pelayanan kesehatan penjaminan mutu pelayanan kesehatan adalah
proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan pelayanan
kesehatan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholders
memperoleh kepuasan (Suryadi,2009).
Berdasarkan kebijakan Depkes RI (1998), mutu pelayanan keperawatan
adalah pelayanan kepada pasien berdasarkan standar keahlian untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga pasien dapat
memperoleh kepuasan dan akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan
kepada rumah sakit, serta dapat menghasilkan keunggulan kompetitif
melalui pelayanan yang bermutu, efisien, inovatif dan
menghasilkan customer responsiveness.
Standar praktek keperawatan telah disahkan oleh MENKES Rl dalam
Surat Keputusan Nomor: 660/Menkes/SK/IX/1987. Kemudian diperbarui
dan disahkan berdasarkan SK DIRJEN YANMED Rl No: 00.03.2.6.7637,
tanggal 18 Agustus 1993. Pada tahun 1996,DPP PPNI menyusun standar
profesi keperawatan SK No: 03/DPP/SKI/1996 yang terdiri dari standar
pelayanan keperawatan, praktek keperawatan, standar pendidikan
keperawatan dan standar pendidikan keperawatan berkelanjutan.
Mutu pelayanan keperawatan merupakan suatu pelayanan keperawatan
yang komprehensif meliputi, kebutuhan biologis, psikologis, social, dan
spiritual yang diberikan oleh perawat profesional kepada pasien
(individu, keluarga, maupun masyarakat) baik sakit maupun sehat, dimana
perawatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan standar
pelayanan. Namun pada dasarnya, definisi mutu pelayanan keperawatan
itu dapat berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana mutu
tersebut dilihat (Rakhmawati, 2009).

3
2. Mutu Pelayanan
Pengertian mutu pelayanan kesehatan bersifat multi-dimensional yang
berarti mutu dilihat dari sisi pemakai pelayanan kesehatan dan
penyelenggara pelayanan kesehatan (Azwar, 1996). Dari pihak pemakai
jasa pelayanan, mutu berhubungan erat dengan ketanggapan dan
keterampilan petugas kesehatan dalam memenuhi kebutuhan klien,
komunikasi, keramahan dan kesungguhan juga termasuk didalamnya. Dari
pihak penyelenggara pelayanan kesehatan, mutu berhubungan dengan
dokter, paramedis, derajat mutu pemakaian dan pelayanan yang sesuai
dengan perkembangan teknologi.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1998), mutu pelayanan
didefinisikan sebagai suatu hal yang menunjukkan kesempurnaan
pelayanan kesehatan, yang dapat menimbulkan kepuasan klien sesuai
dengan tingkat kepuasan penduduk serta pihak lain, pelayanan yang sesuai
dengan kode etik dan standar pelayanan yang professional yang telah
ditetapkan.
Tappen (1995), menjelaskan bahwa mutu adalah penyesuaian terhadap
keinginan pelanggan dan sesuai dengan standar yang berlaku serta
tercapainya tujuan yang diharapkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
mutu pelayanan kesehatan merupakan suatu hal yang dapat meningkatkan
kepuasan dan kenyamanan klien dengan menyelenggarakan sebuah
pelayanan yang optimal sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan
professional yang berlaku serta selalu menerapkan pelayanan yang dinamis
berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Dimensi Mutu Pelayanan Keperawatan


Windy (2009), menyatakan bahwa dimensi mutu dalam pelayanan
keperawatan terbagi menjadi 5 macam, diantaranya:
a. Tangible (bukti langsung)
Merupakan hal-hal yang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh
pasien yang meliputi fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan staf
keperawatan. Sehingga dalam pelayanan keperawatan, bukti langsung

4
dapat dijabarkan melalui kebersihan, kerapian, kenyamanan ruang
perawatan, penataaan ruang perawatan, kelengkapan, kesiapan dan
kebersihan peralatan perawatan yang digunakan, kerapian serta
kebersihan penampilan perawat.

b. Reliability (keandalan)
Keandalan dalam pelayanan keperawatan merupakan kemampuan
untuk memberikan pelayanan keperawatan yang tepat dan dapat
dipercaya, dimana ‘dapat dipercaya’ dalam hal ini didefinisikan sebagai
pelayanan keperawatan yang ‘konsisten’. Oleh karena itu, penjabaran
keandalan dalam pelayanan keperawatan ialah prosedur penerimaan
pasien yang cepat dan tepat, pemberian perawatan yang cepat dan tepat,
jadwal pelayanan perawatan dijalankan dengan tepat dan konsisten
(pemberian makan, obat, istirahat, dan lain-lain), dan prosedur
perawatan tidak berbelit-belit.

c. Responsiveness (ketanggapan)
Perawat yang tanggap adalah yang bersedia atau mau membantu
pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat/tanggap.
Ketanggapan juga didasarkan pada persepsi pasien sehingga faktor
komunikasi dan situasi fisik disekitar pasien merupakan hal yang
penting untuk diperhatikan.

d. Assurance (jaminan kepastian)


Jaminan kepastian diartikan menjadi bagaimana perawat dapat
menjamin pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien
berkualitas sehingga pasien menjadi yakin akan pelayanan keperawatan
yang diterimanya. Untuk mencapai jaminan kepastian dalam pelayanan
keperawatan ditentukan oleh komponen ‘kompetensi’, yang berkaitan
dengan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam memberikan
pelayanan keperawatan, ‘keramahan’, yang juga diartikan kesopanan
perawat sebagai aspek dari sikap perawat, dan ‘keamanan’ yaitu
jaminan pelayanan yang menyeluruh sampai tuntas sehingga tidak

5
menimbulkan dampak yang negatif pada pasien dan menjamin
pelayanan yang diberikan kepada pasien aman.
Dimensi kepastian atau jaminan ini merupakan gabungan dari
dimensi:
1) Kompetensi (Competence), artinya keterampilan dan pengetahuan
yang dimiliki oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan.
2) Kesopanan (Courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian dan
sikap para karyawan.
3) Kredibilitas (Credibility), meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
kepercayaan kepada perusahaan, seperti reputasi, prestasi dan
sebagainya.

e. Empati (empathy)
Berkaitan dengan memberikan perhatian penuh kepada konsumen
yang meliputi perhatian kepada konsumen, perhatian staf secara pribadi
kepada konsumen, pemahaman akan kebutuhan konsumen, perhatian
terhadap kepentingan, kesesuaian waktu pelayanan dengan kebutuhan
konsumen.
Dimensi empati ini merupakan penggabungan dari dimensi:
1) Akses (Acces), meliputi kemudahan untuk memafaatkan jasa yang
ditawarkan.
2) Komunikasi (Communication), merupakan kemapuan melakukan
komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan atau
memperoleh masukan dari pelanggan.
3) Pemahaman kepada pelanggan (Understanding the Customer),
meliputi usaha perusahaan untuk mengetahui dan memahami
kebutuhan dan keinginan pelanggan.

4. Penilaian Mutu Pelayanan keperawatan


Penilaian terhadap mutu dilakukan dengan menggunakan pendekatan-
pendekatan yang dikelompokkan dalam tiga komponen, yaitu:
a. Audit Struktur (Input)
Donabedian (1987, dalam Wijono 2000) mengatakan bahwa struktur
merupakan masukan (input) yang meliputi sarana fisik
perlengkapan/peralatan, organisasi, manajemen, keuangan, sumber daya
manusia dan sumber daya lainnya dalam fasilitas keperawatan.

6
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Tappen (1995), yaitu
bahwa struktur berhubungan dengan pengaturan pelayanan keperawatan
yang diberikan dan sumber daya yang memadai.
Aspek dalam komponen struktur dapat dilihat melalui:
1) Fasilitas, yaitu kenyamanan, kemudahan mencapai pelayanan dan
keamanan.
2) Peralatan, yaitu suplai yang adekuat, seni menempatkan peralatan.
3) Staf, meliputi pengalaman, tingkat absensi, ratarata turnover, dan
rasio pasien-perawat.
4) Keuangan, yaitu meliputi gaji, kecukupan dan sumber keuangan.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pendekatan struktur lebih
difokuskan pada hal-hal yang menjadi masukan dalam pelaksanaan
pelayanan keperawatan, diantaranya yaitu:
1) Fasilitas fisik, yang meliputi ruang perawatan yang bersih, nyaman
dan aman, serta penataan ruang perawatan yang indah.
2) Peralatan, peralatan keperawatan yang lengkap, bersih, rapih dan
ditata dengan baik.
3) Staf keperawatan sebagai sumber daya manusia, baik dari segi
kualitas maupun kuantitas.
4) Keuangan, yang meliputi bagaimana mendapatkan sumber dan
alokasi dana.
Faktor-faktor yang menjadi masukan ini memerlukan manajemen
yang baik, baik manajemen sumber daya manusia, keuangan maupun
logistik.

b. Proses (Process)
Donabedian (1987, dalam Wijono 2000) menjelaskan bahwa
pendekatan ini merupakan proses yang mentransformasi struktur (input)
ke dalam hasil (outcome). Proses adalah kegiatan yang dilaksanakan
secara profesional oleh tenaga kesehatan (perawat) dan interaksinya
dengan pasien.
Dalam kegiatan ini mencakup diagnosa, rencana perawatan, indikasi
tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Dengan kata lain penilaian
dilakukan terhadap perawat dalam merawat pasien. Dan baik tidaknya

7
proses dapat diukur dari relevan tidaknya proses bagi pasien,
fleksibelitas/efektifitas, mutu proses itu sendiri sesuai dengan standar
pelayanan yang semestinya, dan kewajaran (tidak kurang dan tidak
berlebihan).
Tappen (1995) juga menjelaskan bahwa pendekatan pada proses
dihubungkan dengan aktivitas nyata yang ditampilkan oleh pemberi
pelayanan keperawatan.. Penilaian dapat melalui observasi atau audit
dari dokumentasi.

c. Hasil (Outcome)
Pendekatan ini adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan perawat
terhadap pasien. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan
kepuasan baik positif maupun negatif. Sehingga baik tidaknya hasil
dapat diukur dari derajat kesehatan pasien dan kepuasan pasien
terhadap pelayanan perawatan yang telah diberikan (Donabedian, 1987
dalam Wijono 2000).
Sedangkan Tappen (1995) menjelaskan bahwa outcome berkaitan
dengan hasil dari aktivitas yang diberikan oleh petugas kesehatan. Hasil
ini dapat dinilai dari efektifitas dari aktivitas pelayanan keperawatan
yang ditentukan dengan tingkat kesembuhan dan kemandirian.
Sehingga dapat dikatakan bahwa fokus pendekatan ini yaitu pada hasil
dari pelayanan keperawatan, dimana hasilnya adalah peningkatan
derajat kesehatan pasien dan kepuasan pasien. Sehingga kedua hal
tersebut dapat dijadikan indikator dalam menilai mutu pelayanan
keperawatan.

5. Strategi Mutu Pelayanan Keperawatan


a. Quality Assurance (Jaminan Mutu)
Quality Assurance mulai digunakan di rumah sakit sejak tahun 1960-
an implementasi pertama yaitu audit keperawatan. Strategi ini
merupakan program untuk mendesain standar pelayanan keperawatan
dan mengevaluasi pelaksanaan standar tersebut (Swansburg, 1999).
Dengan demikian quality assurance dalam pelayanan keperawatan

8
adalah kegiatan menjamin mutu yang berfokus pada proses agar mutu
pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan standar.
Dimana metode yang digunakan adalah:
1) Audit internal dan surveilan untuk memastikan apakah proses
pengerjaannya (pelayanan keperawatan yang diberikan kepada
pasien) telah sesuai dengan standar operating procedure (SOP)
2) Evaluasi proses
3) Mengelola mutu
4) Penyelesaian masalah

b. Continuous Quality Improvement (Peningkatan Mutu


Berkelanjutan)
Continuous Quality Improvement dalam pelayanan kesehatan
merupakan perkembangan dari Quality Assurance yang dimulai sejak
tahun 1980-an. Menurut Loughlin dan Kaluzny (1994, dalam Wijono
2000) bahwa ada perbedaan sedikit yaitu Total Quality
Management dimaksudkan pada program industri sedangkan
Continuous Quality Improvement mengacu pada klinis.
Wijonon (2000) mengatakan bahwa Continuous Quality
Improvement itu merupakan upaya peningkatan mutu secara terus
menerus yang dimotivasi oleh keinginan pasien. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan mutu yang tinggi dalam pelayanan keperawatan
yang komprehensif dan baik, tidak hanya memenuhi harapan aturan
yang ditetapkan standar yang berlaku.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Continuous Quality
Improvement dalam keperawatan adalah upaya untuk meningkatkan
mutu pelayanan keperawatan secara terus menerus yang memfokuskan
mutu pada perbaikan mutu secara keseluruhan dan kepuasan pasien.
Oleh karena itu perlu dipahami mengenai karakteristik-karakteristik
yang dapat mempengaruhi mutu dari outcome yang ditandai dengan
kepuasan pasien.

c. Total quality manajemen (TQM)


Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh) adalah
suatu cara meningkatkan performansi secara terus menerus pada setiap

9
level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu
organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan
modal yang tersedia dan berfokus pada kepuasan pasien dan perbaikan
mutu menyeluruh (Windy, 2009).

B. Teoritis Praktek Keperawatan Berbasis Bukti (Evidence Based Practice)


1. Konsep POA (Plan Of Action)
Perencanaan adalah menetapkan hal-hal yang akan datang dan tidak
akan dilakukan pada menit, jam atau waktu yang akan datang.
Perencanaan merupakan jembatan antara dimana kita sekarang dengan
dimana kita saat yang akan datang. Perencanaan merupakan proses
intelektual yang didasarkan pada fakta dan informasi, bukan emosi dan
harapan (Douglas, 1992; Gillies, 1994).
Perencanaan adalah proses penyusunan rencana yang digunakan untuk
mengatasi masalah kesehatan di suatu wilayah tertentu. Suatu perencanaan
kegiatan perlu dilakukan setelah suatu organisasi melakukan analisis
situasi, menetapkan prioritas masalah, merumuskan masalah, mencari
penyebab masalah dengan salah satunya memakai metode fishbone, baru
setelah itu melakukan plan of action.
Planning of Action (POA) atau disebut juga Rencana Usulan Kegiatan
(RUK) merupakan sebuah proses yang ditempuh untuk mencapai sasaran
kegiatan. Rencana kegiatan dapat memiliki beberapa bentuk, antara lain:
a. Rangkaian sasaran yang lebih spesifik dengan jangka waktu lebih
pendek,
b. Rangkaian kegiatan yang saling terkait akibat dipilihnya alternatif
pemecahan masalah
c. Rencana kegiatan yang memiliki jangka waktu spesifik, kebutuhan
sumber daya yang spesifik, dan akuntabilitas untuk setiap tahapannya.
Menurut Supriyanto dan Nyoman (2007), Perlu beberapa hal yang
dipertimbangkan sebelum menyusun Plan of Action (POA), yaitu dengan
memperhatikan kemampuan sumber daya organisasi atau komponen
masukan (input), seperti Informasi, Organisasi atau mekanisme, Teknologi
atau cara, dan Sumber Daya Manusia (SDM).

10
Tujuan dariplanning of action, ialah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi apa saja yang harus dilakukan
b. Menguji dan membuktikan bahwa:
1) Sasaran dapat tercapai sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan
2) Adanya kemampuan untuk mencapai sasaran
3) Sumber daya yang dibutuhkan dapat diperoleh
4) Semua informasi yang diperlukan untuk mencapai sasaran dapat
diperoleh
5) Adanya beberapa alternatif yang harus diperhatikan
c. Berperan sebagai media komunikasi
Hal ini menjadi lebih penting apabila berbagai unit dalam organisasi
memiliki peran yang berbeda dalam pencapaian dan dapat memotivasi
pihak yang berkepentingan dalam pencapaian sasaran.

2. Kriteria Planning of Action (POA) yang Baik


Dalam penerapannya, Plan of Acton (POA) harus baik dan efektif agar
kegiatan program yang direncanakan dapat dijalankan sesuai dengan
tujuan. Berikut ini beberapa kriteria Plan of Acton (POA) dikatakan baik,
antara lain:
a. Spesific (Spesifik)
Rencana kegiatan harus spesifik dan berkaitan dengan keadaan yang
ingin dirubah. Rencana kegiatan perlu penjelasan secara pasti berapa
Sumber Daya Manusia (SDM) yang dibutuhkan, siapa saja mereka,
bagaimana dan kapan mengkomunikasikannya.
b. Measurable (Terukur)
Rencana kegiatan harus dapat menunjukkan apa yang sesungguhnya
telah dicapai.
c. Attainable/achievable (dapat dicapai)
Rencana kegiatan harus dapat dicapai dengan biaya yang masuk
akal. Ini berarti bahwa rencana tersebut harus sederhana tetapi efektif,
tidak harus membutuhkan anggaran yang besar. Selain itu teknik dan
metode yang digunakan juga harus yang sesuai untuk bisa dilakukan.

d. Relevant (sesuai)

11
Rencana kegiatan harus sesuai dan bisa diterapkan di suatu
organisasi atau di suatu wilayah yang ingin di intervensi. Harus sesuai
dengan pegawai atau masyarakat di wilayah tersebut.
e. Timely (sesuai waktu)
Rencana kegiatan harus merupakan sesuatu yang dibutuhkan
sekarang atau sesuatu yang segera dibutuhkan. Jadi waktu yang sesuai
sangat diperlukan dalam rencana kegiatan agar kegiatan dapat berjalan
efektif.

3. Langkah Planning of Action (POA)


a. Mengidentifikasi masalah dengan pernyataan masalah (Diagram 6 kata:
What, Who, When, Where, Why, How), sebagai berikut:
1) Masalah apa yang terjadi?
2) Dimana masalah tersebut terjadi?
3) Kapan masalah tersebut terjadi?
4) Siapa yang mengalami masalah tersebut?
5) Mengapa masalah tersebut terjadi?
6) Bagaimana cara mengatasi masalah tersebut?
b. Setelah masalah diidentifikasi, tentukan solusi apa yang bisa dilakukan.
c. Menyusun Rencana Usulan Kegiatan (RUK)
Menurut Supriyanto dan Nyoman (2007), beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam menyusun Plan of Action atau Rencana Usulan
Kegiatan (RUK), antara lain:
1) Pembahasan Ulang Masalah
Setelah menentukan masalah dan melakukan analisis penyebab
masalah, dapat dilihat keadaan atau situasi yang ada saat ini dan
mencoba menggambarkan keadaan tersebut nantinya sesuai dengan
yang diharapkan.

2) Perumusan Tujuan Umum


Dengan melihat situasi yang ada saat ini dengan gambaran situasi
yang diharapkan nantinya dan juga atas dasar tujan umum
pembangunan kesehatan, maka dapat dirumuskan tujuan umum
program atau kegiatan yang akan dilaksanakan.Tujuan umum adalah
suatu pernyataan yang bersifat umum dan luas yang menggambarkan
hasil akhir (outcome atau dampak) yang diharapkan.
3) Perumusan Tujuan Khusus

12
Tujuan khusus merupakan pernyataan yang bersifat spesifik,
dapat diukur (kuantitatif) dengan batas waktu pencapaian untuk
mencapai tujuan umum. Bentuk pernyataan dalam tujuan khusus
sifatnya positif, merupakan keadaan yang diinginkan. Penentuan
indikator tujuan khusus program dapat menggunakan kriteria
SMARTS (Smart, Measurable, Attainable, Realistic, Time-bound,
Sustainable).
4) Penentuan Kriteria Keberhasilan
Penentuan kriteria keberhasilan atau biasa disebut indikator
keberhasilan dari suatu rencana kegiatan, perlu dilakukan agar
organisasi tahu seberapa jauh program atau kegiatan yang
direncanakan tersebut berhasil atau tercapai. Menentukan kriteria
atau indikator keberhasilan disesuaikan dengan tujuan khusus yang
telah ditentukan.Pada program kegiatan yang diusulkan harus
mengandung unsur 5W+1H, yaitu:
a) Who : Siapa yang harus bertanggung jawab untuk melaksanakan
rencana kegiatan?
b) What : Pelayanan atau spesifik kegiatan yang akan dilaksanakan
c) How Much : Berapa banyak jumlah pelayanan atau kegiatan yang
spesifik?
d) Whom : Siapa target sasaran atau populasi apa yang terkena
program?
e) Where : Dimana lokasi atau daerah dimana aktivitas atau program
dilaksanakan?
f) When : Kapan waktu pelaksanaan kegiatan atau program?
Rencana Usulan Kegiatan (RUK) disusun dalam bentuk matriks
(Gantt Chart) yang berisikan rincian kegiatan, tujuan, sasaran, target,
waktu, besaran kegiatan (volume), dan hasil yang diharapkan.
d. Bersama-sama dengan pihak yang berkepentingan menguji dan
melakukan validasi rencana kegiatan untuk mendapatkan kesepakatan
dan dukungan (Yuan,2016).

4. Konsep Evidence Based Practice


Evidence Based Practice (EBP) adalah proses penggunaan bukti-bukti
terbaik yang jelas, tegas dan berkesinambungan guna pembuatan

13
keputusan klinik dalam merawat individu pasien. Dalam penerapan EBP
harus memenuhi tiga kriteria yaitu berdasar bukti empiris, sesuai keinginan
pasien, dan adanya keahlian dari praktisi.
a. Model Evidence Based Practice
1) Model Stetler
Model Stetler dikembangkan pertama kali tahun 1976 kemudian
diperbaiki tahun 1994 dan revisi terakhir 2001. Model ini terdiri dari
5 tahapan dalam menerapkan Evidence Base Practice Nursing.
a) Tahap persiapan
Pada tahap ini dilakukan identifikasi masalah atau isu yang
muncul, kemudian menvalidasi masalah dengan bukti atau
landasan alasan yang kuat.
b) Tahap validasi
Tahap ini dimulai dengan mengkritisi bukti atau jurnal yang
ada (baik bukti empiris, non empiris, sistematik review),
kemudian diidentifikasi level setiap bukti menggunakan table
“level of evidence”. Tahapan bisa berhenti di sini apabila tidak ada
bukti atau bukti yang ada tidak mendukung.
c) Tahap evaluasi perbandingan/pengambilan keputusan
Pada tahap ini dilakukan sintesis temuan yang ada dan
pengambilan bukti yang bisa dipakai. Pada tahap ini bisa muncul
keputusan untuk melakukan penelitian sendiri apabila bukti yang
ada tidak bisa dipakai.
d) Tahap translasi atau aplikasi
Tahap ini memutuskan pada level apa kita akan melakukan
penelitian (individu, kelompok, organisasi). Membuat proposal
untuk penelitian, menentukan strategi untuk melakukan
diseminasi formal dan memulai melakukan pilot projek.
e) Tahap evaluasi
Tahap evaluasi bisa dikerjakan secara formal maupun non
formal, terdiri atas evaluasi formatif dan sumatif, yang di
dalamnya termasuk evaluasi biaya.

2) Model IOWA
Model IOWA diawali dengan adanya trigger atau masalah.
Trigger bisa berupa knowledge focus atau problem focus. Jika

14
masalah yang ada menjadi prioritas organisasi, maka baru
dibentuklah tim. Tim terdiri atas dokter, perawat dan tenaga
kesehatan lain yang tertarik dan paham dalam penelitian. Langkah
berikutnya adalah minsintesis bukti-bukti yang ada. Apabila bukti
yang kuat sudah diperoleh, maka segera dilakukan uji coba dan
hasilnya harus dievaluasi dan didiseminasikan.

3) Model konseptual Rosswurm & Larrabee


Model ini disebut juga dengan model Evidence Based Practice
Change yang terdiri dari 6 langkah yaitu:
Tahap 1: mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis
Tahap 2: tentukkan evidence terbaik
Tahap 3: kritikal analisis evidence
Tahap 4: design perubahan dalam praktek
Tahap 5: implementasi dan evaluasi perubahan
Tahap 6: integrasikan dan maintain perubahan dalam praktek
Model ini menjelaskan bahwa penerapan Evidence Based Nursing
ke lahan paktek harus memperhatikan latar belakang teori yang ada,
kevalidan dan kereliabilitasan metode yang digunakan, serta
penggunaan nomenklatur yang standar.

b. Pentingnya Evidence Based Practice


Mengapa EBP penting untuk praktik keperawatan:
1) Memberikan hasil asuhan keperawatan yang lebih baik kepada
pasien
2) Memberikan kontribusi perkembangan ilmu keperawatan
3) Menjadikan standar praktik saat ini dan relevan
4) Meningkatkan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan
5) Mendukung kebijakan dan rosedur saat ini dan termasuk menjadi
penelitian terbaru
6) Integrasi EBP dan praktik asuhan keperawatan sangat penting untuk
meningkatkan kualitas perawatan pada pasien

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mutu pelayanan keperawatan merupakan suatu pelayanan keperawatan
yang komprehensif meliputi, kebutuhan biologis, psikologis, social, dan
spiritual yang diberikan oleh perawat profesional kepada pasien
(individu, keluarga, maupun masyarakat) baik sakit maupun sehat, dimana
perawatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan standar
pelayanan.
Namun dalam pelaksanaan penerapan Evidence Based Practice ini sendiri
tidaklah mudah, hambatan utama dalam pelaksanaannya yaitu kurangnya
pemahaman dan kurangnya referensi yang dapat digunakan sebagai pedoman
pelaksanaan penerapan EBP itu sendiri.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ayun, Q., 2014. Peran Komite Keperawatan dalam Pengawasan Mutu dan Audit
Keperawatan. http://www.slideshare.net/ayunannaim/audit-mutu (Diakses
tanggal 09 Februari 2019).
Azwar, A. 1996. Menuju pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Jakarta:
Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Nasution, M., 2004. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management),
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rakhmawati, Windy. 2009. Pengawasan Dan Pengendalian Dalam Pelayanan
Keperawatan (Supervisi, Manajemen Mutu & Resiko).
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/03/pengawasan_dan_pengendalian_dlm_pelayanan_k
eperawatan.pdf, (diakses 09 Februari 2019)
Suryadi, T., 2009. Pengertian dan Pelaksanaan Penjaminan Mutu Pelayanan
Kesehatan. https://www.scribd.com/doc/17381263/Pengertian-Dan-
Pelaksanaan-Mutu-Pelayanan-Kesehatan (Diakses tanggal 09 Februari
2019)
Tjiptono, F. & Anastasia, D., 2003. Total Quality Management Edisi Kedua.,
Yogyakarta: Andi Offset. http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-
total-quality-management-tqm.html. (Diakses tanggal 09 Februari 2019).
Yuan, H., 2016. Planning Of Action (POA) & Implementasi Manajemen
Keperawatan. https://id.scribd.com/document/330652316/Makalah-Plan-of-
Action-Manajemen (Diakses tanggal 09 Februari 2019).
Wijono, D. 2000. Manajemen mutu pelayanan kesehatan. Teori, Strategi
dan Aplikasi. Volume.1. Cetakan Kedua. Surabaya : Airlangga Unniversity
Press

17

Anda mungkin juga menyukai