Anda di halaman 1dari 12

A.

Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
Kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan
penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria
diatas usia 60 tahun (Brunner & suddart, 2015).
Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat
yang menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di

bawah kandung kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering


kencing dan retensi urine ( Aulawi, 2014).

Dimana prostat bertujuan untuk mengeluarkan dan menyimpan


sejenis cairan yang menjadi sebagian besar air mani. dan berfungsi untuk:
1. Memberi nutrisi dan perlindungan terhadap sperma agar dapat
bertahan lama dalam lingkungan vagina.
2. Prostat mengandung jaringan otot polos, sehingga turut
membantu untuk memompa air mani keluar melalui penis
dengan kekuatan yang cukup untuk masuk ke dalam vagina
untuk membantu sperma membuahi ovum.
3. Prostat yang mengelilingi bagian uretra dapat berfungsi sebagai
katup yang mencegah urin keluar kecuali apabila memang ada
rangsangan untuk buang air kecil
4. Sistem saraf prostat akan membantu proses terjadinya ereksi
penis.
Pembesaran terjadi dibagian tengah dari kelenjar prostat yang
mengelilingi saluran kencing uretra.
2. Etiologi
Mengapa kelenjar periurethal dapat mengalami hiperplasi, pada
umumnya dikemukakan beberapa teori, misalnya teori sel Stem (Isaacs
1984, 1987), berdasarkan teori ini pada keadaan normal kelenjar peri
urethral dalam keadaan keseimbangan antara yang tumbuh dengan yang
mati (steadystate). Sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena
sesuatu sebab seperti factor usia, gangguan keseimbangan hormonal, atau
factor pencetus yang lain, maka sel Stem tersebut dapat berpoliferasi
lebih cepat, sehingga terjadi hyperplasi kelenjar peri urethral.
Teori lain mengatakan bahwa hiperplasi disebabkan oleh karena
terjadinya perubahan keseimbangan antara testosteron dan estrogen.
Testosteron sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, sehingga
timbulnya pembesaran prostat memerlukan adanya testis yang normal
(Huggins 1947, Moore 1947). Testosteron dihasilkan oleh sel Leydig atas
pengaruh hormone Luteinizing hormone LH, yang dihasilkan kelenjar
Hifisis.
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan imbangan
Testosteron Estrogen, hal ini disebabkan oleh berkurangnya produksi
testosteron dan juga terjadinya konversi testosteron menjadi estrogen
pada jaringan adiposis di daerah perifer dengan pertolongan enzim
aromatase. Estrogen inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya
hiperplasi stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosterone diperlukan
untuk inisiasi terjadinya poliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang
berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah
perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan
produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat
menyebabkan pembesaran kelenjar prostat.
4. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering
dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih,
karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan
gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekananintraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesikourinaria akan membentuk batu
endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria.Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
5. Penatalaksanaan
Secara klinik biasanya derajat berat gejala klinik dibagi menjadi yaitu:
1. Derajat satu apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada derajad
satu ditemukan penonjolan prostat dan sisa urin kurang dari 50ml.
pada penderita derajat 1 biasanya belum memerlukan tindakan
operatif, dapat diberikan pengobatan secara konservatif misalnya
dengan diberikan alfa blocker sebaiknya yang selektif untuk (α1)
misalnya Parazosin, Terazosin 1-5 mg setiap hari. Pemberian obat ini
dapat menyebabkan penurunan tekanan darah.
2. Derajat dua apabila ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat
satu, prostat lebih menonjol, batas masih teraba dan sisa urin lebih
dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Pada penderita derajat dua
sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif,
dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah
Trans Urethral Resection (TURP). Cara pengobatan ini meskipun
masih memerlukan pembiusan dan merupakan tindakan yang
invasive masih dianggap aman dan menurut pengalaman di Jakarta
mortalitas TURP sekitar 1% dan morbiditas sekitar 7-8%. Kadang-
kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi,
dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan
konservatif.
3. Derajat tiga seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba
lagi dan sisa urin lebih dari 100ml. TURP masih dapat dikerjakan
oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh
karena biasanya pada derajat 3 ini besar prostat sudah lebih dari 60
gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga
reseksi diperkirakan tidak akan selesai dalam satu jam maka
sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Operasi terbuka dapat
dilakukan melalui rute transvesikal yaitu dengan membuka vesika
dan prostat dinukleasi dari dalam vesika. Keuntungan teknik ini
dapat sekaligus mengangkat batu vesika atau diverkulektomi apabila
ada divertikel yang cukup yang besar. Kerugian cara ini oleh karena
harus membuka vesika sehingga memerlukan memakai kateter lebih
lama sampai luka pada dinding vesika sembuh. Cara operasi terbuka
yang lain ialah cara retropubik menurut Terence Millin yaitu route
retropubik dengan jalan membuka kapsel prostat tanpa membuka
vesika dan kemudian prostat dienukleasi dari retropubik. Cara ini
mempunyai keunggulan tanpa membuka vesika sehingga
pemasangan kateter tidak usah selama bila membuka vesika,
kerugiannya tujuan tentu saja cara ini tidak dapat dipakai kalau
diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam
vesika.kedua cara operasi terbuka tersebut dibandingkan dengan cara
TURP masih kalah di dalam morbiditas yang lebih lama da nada
bekas sayatan, tetapi dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat-alat
yang istimewa, cukup dengan alat-alat bedah yang standart.
4. Pada derajat empat penderita mengalami retensi urine total sehingga
tindakan pertama yang harus dilakukan adalah memebaskan
penderita dari retensi urine total, dengan memasang kateter atau
memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebh
lanjut untuk melengkapi diagnostik kemudian terapi definitif dengan
TURP. Selain itu pada derajat ini juga dberikan obat-obatan alfa
blocker dan obat anti androgen misalnya pemberian Gn-RH anlogue
sehingga menekan produksi LH, yang menyebabkan produksi
tertosteron oleh sel Leydig berkurang.pengobatan lain dengan
memanaskan prostat dengan gelombang ultrasonik atau gelombang
radio kapasitif yang disalurkan dengan kelenjar prostat melalui anten
yang dipasang pada ujung kateter proksimal dari balon. Dengan suhu
47ºC selama 1 sampai 3 jam. Efek dari pemanasan ini akan
menyebabkan terjadinya vakuolisasi pada jaringan prostat dan
penurunan tonus jaringan sehingga tekanan urethra menurun
sehingga obstruksi mengurang.
Prosedur Trans Uretrhal Resection (TURP):
1. Resektoskop, dengan obtutator terpasang, dimasukkan ke dalam
uretra
2. Slang irigasi, slang pengisap, dan kabel sinar disambungkan,
dan ujung-ujung yang laindisalurkan keluar lapangan operasi.
3. Dilakukan penyambungan kabel lain ke elemen alat dan
dihubungkan ke sebuah unit bedah listrik. Arus listrik
diperlukan untuk jerat/lengkung pemotong
4. Obtutator dikeluarkan dan teleskop serta elemen alat
dimasukkan ke dalam selbung resektoskop.
5. Dilakukan pengangkatan jaringan prostat sedikit demi sedikit
ddengan jerat pemotong, dan daerah tersebut dikoalugasi.
6. Elemen alat dikeluarkan, dan scope disambungkan dengan
evakuator ellik.
7. Potongan-potongan jaringan prostat dikeluarkan dengan
evakuator Ellik. Setelah seua potongan dikeluarkan dan
perdarahan berhenti, keluarkan scope dan masukkan kateter
Foey 3 jalur 30 ml.
8. Kateter Foley dihubungkan dengan sistem drainase irigasi
tertutup.
9. Semua potongan jaringan prostat dikumpulkan dan dikirim ke
bagian patologi.
6. Pemeriksaan penunjang (diagnostik)
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang
mesti dilakukan pada pasien dengan BPH adalah laboraturium:
1) Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
2) Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukansensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
1. Persiapan BNO/IVP,USG Ginjal
a) Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau
kalkulosa prostat dankadang menunjukan bayangan buii-buli
yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
Sebelum dilakukan pemeriksaan, pasien wajib melakukan
pemeriksaan laboratorium darah: Ureum dan Creatinin dan
melaporkan hasil pemeriksaan tersebut pada petugas radiologi.
Satu hari sebelum pemeriksaan pasien hanya boleh makan bubur
kecap/ telur rebus/ roti tawar. pasien tidak boleh makan
makanan yang berserat seperti sayuran dan daging pukul 19:00
WIB adalah batas waktu makan terakhir, namun pasien masih
boleh minum, pukul 20:00 WIB pasien minum garam inggris 30
mg dicampur dalam satu gelas air hangat, kemudian pasien
dianjurkan minum air putih yang banyak untuk menghindari
dehidrasi. Pukul 23:00 WIB adalah batas minum terakhir,
kemudian pasien di puasa kan total sampai dilakukan
pemeriksaan sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien akan di
plan foto BNO untuk melihat hasil persiapan pasien, jika terlihat
masih kotor maka pemeriksaan ditunda keesokan harinya dan
pasien lakukan persiapan ulang
b) IVP ( Intra Vena Pielografi)
c) Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa
hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar
prostat, penyakit pada buli- buli.
d) Ultrasonografi (trans abdominal dantrans rektal )
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau
mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti
difertikel, tumor.
Dapat dilakukan tanpa persiapan. Namun, lebih baik pasien
puasa selama 6 jam.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a) Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan
suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi
urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis
sampai syok -septik.
b) Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehn ik bimanual
untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada
daerah suprasimfiser pada keadaan retensi akan menonjol.
Saat palpasi terasa
c) Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dariBPH, yaitu :
1) Derajat I: Ditemukan penonjolan prostat dan sisa urin kurang
dari 50ml.
2) Derajat II: prostat lebih menonjol, batas masih teraba dan sisa
urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
3) Derajat III: hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa
urin lebih dari 100ml.
4) Derajat IV: penderita mengalami retensi total.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan Eliminasi Urin b.d Sumbatan pengeluaran pada kandung
kemih
2) Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli,
distensikandung kemih.
3) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3. Rencana Tindakan
1) pre post
No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
(NOC) (NIC)
1 Gangguan Eliminasi Urin -urinary elimination 1. Lakukan penilaian
b.d sumbatan pengeluaran -urinary contiunence kemih yang
pada kandung kemih Kriteria hasil: komprehensif
-kandung kemih kosong secara berfokus pada
penuh inkontinensia (misal
-tidak ada residu urine >100 – output urin pola
200cc berkemih fungsi
- intake cairan dalam renta kognitif dan masalah
normal kencing presisten)
- bebas dari ISK 2. Memantau Intake dan
-tidak ada spasme bladder Output
3. Memantau distensi
- balance cair seimbang kandung kemih
4. Memasang Kateter
Kemih
2 Nyeri Akut b.d distensi -Pain Level 1. Kaji nyeri secara
kandung kemih -Pain Control komprehensif
-Comfort Level termasuk lokasi,
Kriteria Hasil : karakteristik, durasi,
Mampu mengontrol nyeri (tahu frekuensi, faktor
penyebab nyeri, mampu menggu presipitasi
nakan teknuk non farmakologi u 2. Observasi reaksi
ntuk mengurangi nyeri) nonverbal dari
ketidaknyamanan
Melaporkan bahwa nyeri sudah
3. Ajarkan teknik non
mulai berkurang
farmakologi dalam
mengurangi nyeri
Menyatakan rasa nyaman setelah
4. Kolaborasi dalam
nyeri berkurang
pemberian analgetik
Mampu mengenal nyeri (skala in untuk mengurangi
tensitas, frekuensi dan tanda nye nyeri
ri)
Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
3 Ansietas b.d perasaan -Anxiety self 1. Monitor vital sign
takut terhadap tindakan -control Anxiety 2. Gunakan pendekatan
pembedahan -level Coping yang menenagkan
3. Jelaskan semua
Kriteria hasil: prosedur dan apa
yang dirasakan
-Klien mampu mengidentifikasi selama prosedur
dan mengungkapkan gejala 4. Ajarkan pasien teknik
cemas relaksasi
-Mengidentifikasi, 5. Anjurkan keluarga
mengungkapkan dan untuk menemani
menunjukkan teknik untuk pasien
mengontrol cemas
-Vital sign dalam batas normal
Td: 120/80 mmhg
N: 60 – 100 x/m
RR: 16 – 20x/m
T: 36,5 – 37,5 c
-Postur tubuh, ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukan
berkurangnya kecemasan
2) Post op
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
No Diagnosa Keperawatan (NOC) (NIC)
1 Nyeri akut b.d agen injuri -Pain Level 1. Kaji nyeri secara
fisik(insisi pembedahan) -Pain Control komprehensif
-Comfort Level termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
Kriteria Hasil : frekuensi, faktor
presipitasi
-Mampu mengontrol nyeri (tahu 2. Observasi reaksi
penyebab nyeri, mampu nonverbal dari
menggunakan teknuk non ketidaknyamanan
farmakologi untuk mengurangi 3. Ajarkan teknik non
nyeri) farmakologi dalam
-Melaporkan bahwa nyeri sudah mengurangi nyeri
mulai berkurang 4. Kolaborasi dalam
-Menyatakan rasa nyaman pemberian analgetik
setelah nyeri berkurang untuk mengurangi
-Mampu mengenal nyeri (skala nyeri
intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
-Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
2 Resiko infeksi b.d faktor -Immune status 1. Monitor tanda –
resiko efek prodesur -Risk control tanda infeksi
invansif pembedahan Kriteria hasil: 2. Cuci tangan setiap
sebelum dan
-Klien bebas dari tanda gejala sesudah tindakan
infeksi 3. lakukan perawatan
-Menunjukkan kemapuan untuk kateter
mencegah timbulnya infeksi 4. lakukan irigasi dan
-Jumlah leukosit dalam batas spooling
normal (sesuai nilai rujukan) 5. ajarkan pasien
-Menunjukan prilaku hidup mengenai tanda –
sehat tanda infeksi
-Peralatan ivansif yang 6. ajanjurkan pasien
terpasang tetap bersih, terhindar untuk menjaga
dari sumbatan. kebersihan diri

Daftar Pustaka
Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., 1999,Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien, Edisi 3, AlihBahasa I Made Kariasa dan Ni Made
Sumarwati, EGC, Jakarta.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
KeperawatanJakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994.Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya,
FakultasKedokteran Airlangga / RSUD.Soetomo.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia.Airlangga University
Press.Surabaya
Ilmu Bedah, 1995. Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.

Anda mungkin juga menyukai