Anda di halaman 1dari 7

Kamis, 07 Mei 2009

Bangunan Gedung Ramah Lingkungan

PERUBAHAN iklim global masih menentukan arah perkembangan desain arsitektur


ruang pada tahun 2008, bahkan menjadi suatu kepedulian semua pihak, terutama para
arsitek. Dengan demikian, arsitektur desain hijau (green architecture) dengan ciri
bangunan gedung atau kawasan berkonsep ramah lingkungan yang sering disebut green
building atau green development diperkirakan berkembang. Hal ini salah satu bentuk
partisipasi para arsitek interior ruang dan desain dapur dalam upaya perbaikan iklim,
peningkatan kawasan yang nyaman (comfort zone), dan pelestarian lingkungan.

Dengan kata lain, arsitektur interior dan desain kitchen set hijau dan semua hal yang
mengedepankan sustainable architecture atau arsitektur ruangan dan desain dapur yang
berkelanjutan akan tetap mendominasi konsep arsitektur dapur dan interior ruang pada
tahun depan dengan isu utama maksimalisasi penghijauan.

Arsitek interior desain dan desainer interior ruangan Samuel A. Budiono yang sekaligus
merupakan presdir PT Samuel A. Budiono & Associates misalnya, membuat desain
arsitektur ruang dan desain kitchen yang bersahabat dengan alam sekitarnya. Karya
arsitektur interiornya terutama interior kitchen set yang sangat memerhatikan lingkungan
dengan tetap mempertahankan unsur kemodernannya antara lain bangunan interior
kitchen agro-park yang terdapat di Pandaan, Jawa Timur. Arsitektur desain bangunan
utama dan interior ruangan agro-park dibuat tinggi, bertiang seperti interior kitchen set
rumah tradisional di Kalimantan yang ditopang balok-balok kayu berdiri, sebagai bentuk
desain arsitektur ruangan modern yang ekspresif dan desain ruangan melambangkan
kebangkitan yang optimistis dari suatu kondisi apa pun yang dirasa negatif.

Samuel menegaskan desain arsitektur dapur atau interior kitchen tahun depan lebih
dinamis dengan bentuk interior dapur yang progresif dan menekankan pada
pengembangan ruang dapur atau interior dapur sesuai dengan situasi sosial dan alam di
sekitarnya . "Nanti desain ruangan arsitektur lebih dinamis di mana bentuk desain kitchen
yang progresif dan yang menekankan pada movement desain kitchen set akan lebih
berbicara dan gaya kitchen set minimalis yang statis mulai ditinggalkan," katanya. Dia
mengatakan aliran ruang dapur minimalis memang masih tetap eksis di sejumlah negara
maju yang tingkat kesibukan warganya cukup tinggi. Tuntutan bentuk kitchen set yang
simplicity dalam desain arsitektur interior desain sangat sesuai dengan life style yang
supersibuk.

Mengenai unsur fungsi, kepraktisan dan bahkan kepolosan dari bentuk arsitektur
dianggap mewakili era masyarakat sibuk, dibanding dengan adanya keruwetan yang
ditimbulkan suatu ornamen. Namun, gaya minimalis tampaknya sekarang ini mulai
mencapai titik jenuh, terutama disebabkan kelatahan banyak pihak yang penggunaan
istilah minimalis pada hampir setiap desain arsitektur.

http://www.lampungpost.com/
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan lihat di Arsitektur Ruang - Arsitektur Interior -
Arsitektur Desain - Arsitektur Ruangan - Arsitektur Dapur - Interior Ruang - Interior
Desain - Interior Ruangan - Interior Kitchen - Interior Kitchen Set - Interior Dapur -
Ruang Dapur - Desain Ruangan - Desain Kitchen - Desain Kitchen Set – Kitchen Set -
Desain Dapur dan Arsitektur&Interior Ruang:Desain Ruangan-Desain Kitchen
Set&Dapur Jakarta Selatan di 88db.com

ARSITEK, JASA KONSTRUKSI DAN BANGUNAN GEDUNG

Dr. Ir. Danang Priatmodjo M.Arch


Kepala Bagian Arsitektur Kota dan Lingkungan – Jurusan Arsitektur FT Untar
Sekretaris III Majelis Pertimbangan LPJK Nasional
E-mail: danangpri@yahoo.com

Pengantar
Sebagai arsitek, akhir-akhir ini kita merasa terusik atas banyaknya kasus kegagalan
bangunan yang berakibat fatal. Dalam waktu beberapa bulan, empat bangunan parkir di
gedung-gedung megah di Jakarta telah mencelakai dan menewaskan para pengguna
bangunan. Ironisnya, salah satu gedung megah dimaksud adalah Kantor Walikota. Di
Banda Aceh, sebuah bangunan rumah sakit roboh sebelum diserahterimakan. Di
Surabaya, seorang anak kecil tewas karena jatuh dari lantai atas ke lantai dasar sebuah
shopping mall. Gedung sekolah dasar roboh sudah tak terhitung banyaknya. Kasus
terakhir di Bandung bahkan mencelakai anak-anak SD yang sedang belajar di kelas.
Dalam kasus-kasus di atas, di mana posisi arsitek? Mungkinkah kesalahan ada di pihak
arsitek? Meski dalam kasus-kasus yang menewaskan pengguna bangunan kita dengar
pihak kepolisian menyelidiki, sampai saat ini belum ada pihak yang diajukan sebagai
terdakwa di pengadilan. Barangkali bahkan belum ada pihak yang dijadikan tersangka.
Apakah UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan UU No. 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung (yang masing-masing telah dilengkapi dengan beberapa PP)
tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk menjerat penanggung jawab kegagalan
bangunan-bangunan tersebut?
Bila ditilik dari hulu ke hilir, kemungkinan kesalahan dalam kasus-kasus tersebut bisa
terjadi pada arsitek, perencana struktur, perencana ME, pemberi ijin membangun,
pelaksana konstruksi, pengawas konstruksi, pemilik/pengelola bangunan, atau pengguna
bangunan. Bila diusut dengan seksama, salah satu atau beberapa pihak tersebut harus bisa
dinyatakan sebagai penanggung jawab terjadinya kasus kegagalan sebuah bangunan.
Sambil menunggu UU Arsitek yang sedang diolah di DPR, marilah kita meneropong
posisi arsitek terkait dengan jasa konstruksi dan penyelenggaraan bangunan gedung.
Meski aparat hukum belum cukup sigap untuk memejahijaukan penanggung jawab
bencana akibat kelalaian dalam penyelenggaraan konstruksi bangunan, seyogyanya para
arsitek mawas diri. Jangan sampai arsitek punya andil dalam kasus kegagalan bangunan
yang berakibat fatal.
Profesi Arsitek
Adalah fakta bahwa profesi arsitek belum cukup difahami oleh kalangan awam di negeri
ini. Masih banyak orang yang menyebut “arsitek” dengan sebutan “arsitektur” (rancu
dengan “instruktur” dan “kondektur”). Para wakil rakyat di DPR pun terlihat kikuk ketika
memulai pembahasan tentang RUU Arsitek. Bagi mereka “arsitek” tampak bagaikan
makhluk asing yang tiba-tiba harus diatur kehadiran dan kiprahnya. Jangan heran bila
kita harus lama menunggu RUU Arsitek disahkan sebagai UU, karena memang bukan
prioritas.
Di dalam kalangan para arsitek sendiri, pemahaman tentang profesi arsitek pun bisa
beragam. Ada arsitek “tipe seniman”, ada arsitek “tipe pedagang”. Terlepas dari itu
semua, perlu disadari bahwa profesi arsitek memiliki konsekuensi yang terkait dengan
kepentingan orang banyak. Produk akhir (bangunan atau lingkungan buatan) yang
dihasilkan oleh profesi arsitek harus memenuhi persyaratan keselamatan manusia
pengguna produk akhir tersebut.
Karena UU Arsitek belum kita miliki, maka sementara ini payung hukum profesi
arsitek masih mengandalkan kedua UU yang berkaitan dengan praktek profesi
arsitek beserta penjabarannya dalam PP, yaitu:
(1) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK), yang dijabarkan dalam:
- PP No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
- PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
- PP No. 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
(2) UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG), yang dijabarkan dalam:
- PP No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung

Profesi Arsitek dan Jasa Konstruksi


UUJK tidak menyebut secara eksplisit profesi arsitek, namun dapat ditafsirkan bahwa
arsitek adalah bagian dari “perencana konstruksi”, sebagaimana tercantum dalam pasal-
pasal dan ayat-ayat berikut:
Pasal 4 ayat (2): Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan
dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari
kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak
kerja konstruksi.
Pasal 9 ayat (1): Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan
harus memiliki sertifikat keahlian.
Selanjutnya, dalam penjabaran di PP 28/2000 disebutkan wilayah kerja profesi arsitek
(yang disebut sebagai “bidang pekerjaan arsitektural”) serta lingkup layanan jasa
perencanaan, sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal dan ayat-ayat berikut:
Pasal 4 ayat (2): Usaha jasa perencanaan pekerjaan konstruksi memberikan layanan jasa
konsultansi perencanaan yang meliputi bidang pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal,
elektrikal, dan atau tata lingkungan.
Pasal 5 ayat (1): Lingkup layanan jasa perencanaan konstruksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) dapat terdiri dari:
a. survei;
b. perencanaan umum, studi makro dan studi mikro;
c. sudi kelayakan proyek, industi dan poduksi
d. perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan;
e. penelitian
Dalam UUJK juga dicantumkan ketentuan tentang tanggung jawab perencana konstruksi
bila terjadi kegagalan bangunan serta sanksi pidana maupun denda yang harus
ditanggung, sebagaimana dimuat dalam pasal-pasal dan ayat-ayat berikut:
Pasal 26 ayat (1): Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan
perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian
bagi pihak lain, maka perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab
sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi.
Pasal 43 ayat (1): Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang
tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan
konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara
atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
Penjabaran mengenai kegagalan bangunan dan tanggung-jawab perencana konstruksi
diatur dalam PP 29/2000 sebagaimana dimuat dalam pasal-pasal dan ayat-ayat berikut:
Pasal 34: Kegagalan Bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik
secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan
kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan
atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi.
Pasal 40 ayat (2): Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan
perencana konstruksi, maka perencana konstruksi hanya bertanggung-jawab atas ganti
rugi sebatas hasil perencanaannya yang belum/tidak diubah.
Berdasarkan cuplikan butir-butir pengaturan dalam UUJK serta PP yang merupakan
penjabarannya, dapat disimpulkan bahwa UU ini lebih banyak mengatur aspek “bisnis”
jasa konstruksi. Secara keseluruhan payung hukum ini lebih menekankan pada
administrasi penyelenggaraan pekerjaan di sektor konstruksi, khususnya menyangkut
hubungan antara pemberi tugas (yang disebut “pengguna jasa”) dan penerima tugas (yang
disebut “penyedia jasa”). Masalah kegagalan bangunan yang terbukti sangat rawan dan
akhir-akhir ini banyak terjadi, hanya dipandang sebagai “kerugian” yang harus ditebus
dengan “ganti rugi” atau “denda”. Bahkan terjadi kemunduran dalam penjabaran di PP,
karena sanksi pidana bagi pelaku kesalahan pada kasus kegagalan bangunan telah dimuat
di UUJK namun tidak ada penjabarannya di PP 29/2000. PP ini hanya mengatur tentang
ganti rugi dan denda.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa UUJK dan ketiga PP yang menjabarkannya
tidak cukup untuk mencari pertanggungjawaban atas terjadinya kasus-kasus kegagalan
bangunan yang mencelakai dan menewaskan pengguna bangunan. UUJK dan ketiga PP
tersebut tidak memberi perhatian pada aspek keselamatan jiwa manusia, melainkan hanya
terfokus pada aspek bisnis di bidang konstruksi.
Dalam kaitan perhatian pada keselamatan pengguna bangunan, tampaknya payung
hukum yang lebih memadai adalah UUBG dan PP penjabarannya, yang mengatur tentang
tatacara serta persyaratan penyelenggaraan bangunan gedung (mulai dari perencanaan
teknis, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, pelestarian, sampai dengan pembongkaran).
Oleh karenanya, para arsitek seyogyanya mencermati butir-butir pengaturan UUBG dan
PP-nya agar dalam berpraktek profesi dapat melahirkan karya yang mampu menjamin
keselamatan jiwa manusia.
Profesi Arsitek dan Penyelenggaraan Bangunan Gedung
UUBG juga tidak menyebut “profesi arsitek”, namun bisa ditafsirkan bahwa profesi ini
merupakan bagian dari “perencana teknis” dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Butir-butir pengaturan UUBG yang penting untuk menjadi perhatian para arsitek antara
lain adalah yang mengatur tentang “persyaratan bangunan gedung”, khususnya
menyangkut “persyaratan keandalan bangunan gedung” yang termuat dalam pasal-pasal
dan ayat-ayat berikut:
Pasal 7 ayat (1): Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
Pasal 7 ayat (3): Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.
Pasal 9 ayat (1): Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan
gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 16 ayat (1): Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan.
Pasal 17 ayat (1): Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk
mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.
Pasal 17 ayat (2): Persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban
muatannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan struktur
bangunan gedung yang stabil dan kokoh dalam mendukung beban muatan.
Penjabaran dalam PP 36/2005 memuat uraian tentang “perencanaan teknis” di mana
profesi arsitek berperan di dalamnya. Butir-butir dalam PP ini yang mengatur tentang hal
tersebut antara lain adalah:
Pasal 62 ayat (1): Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan
perencanaan teknis dan pelaksanaan beserta pengawasannya.
Pasal 63 ayat (1): Perencanaan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan bangunan gedung yang
memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 63 ayat (2): Lingkup pelayanan jasa perencanaan teknis bangunan gedung meliputi:
a) penyusunan konsep perencanaan; b) prarencana; c) pengembangan rencana; d) rencana
detail; e) pembuatan dokumen pelaksanaan konstruksi; f) pemberian penjelasan dan
evaluasi pengadaan jasa pelaksanaan; g) pengawasan berkala pelaksanaan konstruksi
bangunan gedung; dan h) penyusunan petunjuk pemanfaatan bangunan gedung.

Selanjutnya, PP tentang Bangunan Gedung ini mengatur perangkat penjaminan keandalan


teknis bangunan melalui mekanisme Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Sertifikat
Laik Fungsi Bangunan Gedung (Pasal 14 dan Pasal 71). IMB dipersyaratkan untuk
membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan
gedung. Sertifikat laik fungsi harus diperbarui setiap 20 tahun untuk rumah tinggal dan
setiap 5 tahun untuk bangunan lainnya.
Pada saat ini persyaratan IMB telah diterapkan di semua kota, namun keterbatasan SDM
yang dimiliki pemerintah kota (terutama di daerah) mengakibatkan lemahnya
pengawasan atas penyimpangan pelaksanaan pembangunan. Sertifikat laik fungsi masih
belum banyak dikenal. Kondisi yang menyedihkan adalah masih cukup banyak instansi
dan aparat pemerintah kota yang memandang IMB sekedar sebagai sumber “pendapatan
asli daerah” (PAD). Fungsi IMB sebagai perangkat pengendali keandalan bangunan
dinomorduakan, sehingga sering terjadi kompromi atau toleransi terhadap penyimpangan
persyaratan bangunan dengan imbalan pembayaran retribusi. Hal ini juga berimbas pada
pandangan umum di masyarakat bahwa IMB mudah diperoleh asal membayar sejumlah
uang yang ditentukan.
Guna meluruskan dan mengembalikan fungsi IMB sebagai perangkat pengendali
keandalan bangunan, perlu diusulkan agar proses perolehan IMB digratiskan. Gagasan ini
tidak mengada-ada, mengingat bahwa PP tentang Bangunan Gedung juga menyatakan
bahwa masyarakat dapat memperoleh Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung tanpa
dipungut biaya. Pemerintah kota hendaknya lebih kreatif mencari sumber pendapatan
lain, bukan mengharap pemasukan dari retribusi IMB. Bila hal ini dapat dilaksanakan,
niscaya IMB akan lebih berwibawa sebagai sarana penjamin keselamatan jiwa manusia.
Adalah menjadi tugas para arsitek untuk ikut mewujudkan tatacara dan prosedur
penyelenggaraan bangunan gedung yang baik dan benar, agar segala persyaratan yang
ditujukan untuk melindungi kepentingan pengguna bangunan dapat dipenuhi, sehingga
keselamatan pengguna bangunan dapat dijamin.

Kegagalan Bangunan dan Bencana Akibat Kelalaian


Kasus-kasus kegagalan bangunan yang telah disebutkan di awal tulisan ini, yang terjadi
di Jakarta, Surabaya dan Banda Aceh (juga kasus kebakaran hotel di Bandung dan
gedung karaoke di Palembang di tahun-tahun sebelumnya yang menewaskan sejumlah
pengguna bangunan) menunjukkan adanya kelalaian dalam penyelenggaraan bangunan
atau proses konstruksi bangunan.
Pada kasus jebolnya dinding pembatas gedung parkir, jelas bahwa dinding pembatas
lantai parkir atau pembatas ramp parkir tidak cukup kuat sehingga tidak mampu menahan
beban dinamis mobil yang bergerak dengan kecepatan rendah. Sesuai dengan persyaratan
keandalan bangunan, dalam kasus mobil menabrak dinding pembatas parkir, mobil boleh
ringsek tapi dinding tidak boleh jebol. Pada kasus anak jatuh dari lantai atas shopping
mall, dinding pembatas lantai atas tidak cukup tinggi sehingga bisa dipanjat anak usia 6
tahun. Semua kasus di atas adalah pelanggaran terhadap pasal-pasal UUBG.
Dalam kasus-kasus di atas harus diusut siapa yang bersalah dan diteruskan ke proses
peradilan. Kesalahan bisa terletak pada perencana arsitektur, struktur atau mekanikal-
elektrikal; pelaksana pembangunan (kontraktor) dan pengawas; pemberi ijin membangun
(pemerintah kota setempat); pengguna atau pengelola bangunan.
Kepada masyarakat perlu diberikan pembelajaran bahwa kelalaian dalam
penyelenggaraan bangunan berpotensi mengancam keselamatan jiwa manusia, dan
perangkat hukum telah tersedia untuk menjerat pelakunya. Masalah pertama yang
dihadapi dalam penegakan aturan hukum di sektor konstruksi adalah sikap masyarakat
kita yang masih permisif menghadapi kasus kecelakaan dalam bangunan. Banyak orang
menganggap hal semacam itu adalah musibah. Bentuk tanggung jawab pemilik bangunan
berupa pemberian santunan kepada keluarga korban dianggap sudah mencukupi. Kiranya
hal ini perlu diluruskan. Kata “musibah” hanya tepat diterapkan untuk bencana yang
datang dari alam, di luar kekuasaan manusia. Kecelakaan karena bangunan tidak
memiliki keandalan (sebagaimana disyaratkan) bukan musibah, melainkan bencana
akibat kelalaian manusia. Karenanya, pihak yang lalai dan mengakibatkan jatuhnya
korban harus dihukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Masyarakat juga sering dibodohi oleh pemilik atau pengelola gedung. Pada kasus mobil
jatuh dari gedung parkir, pengelola gedung dengan lantang membuat pernyataan di
televisi bahwa konstruksi bangunan telah memenuhi persyaratan. Pernyataan pengelola
gedung itu tentu saja menyesatkan masyarakat, karena semua pelaku bidang konstruksi
bangunan tahu bahwa gedung parkir itu tidak memenuhi syarat keandalan bangunan.
Sekali lagi, para arsitek memiliki tugas menjamin keselamatan jiwa manusia yang
menggunakan bangunan hasil karya mereka.

Rujukan:
- UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK), yang dijabarkan dalam:
- UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG), yang dijabarkan dalam:
- PP No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
- PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
- PP No. 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
- PP No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung

Anda mungkin juga menyukai