Anda di halaman 1dari 4

PERS, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DAN KORUPSI

Oleh : Dr. Jonas KGD Gobang, S.Fil.,M.A.


Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Nipa

Peran pers dan sistem politik hendaknya memperkuat eksistensi warga


masyarakat untuk menggapai kesejahteraan. Jangan sampai media dan sistem politik
di Indonesia hanya bermanfaat untuk kalangan elit baik elit media maupun elit
penguasa untuk meraup untung sebesar-besarnya, sementara rakyat terus terpuruk
dalam penderitaan dan kemiskinan.
Realitas politik Indonesia telah menjadi komoditi dalam sistem pers. Namun
antara realitas (sistem) politik Indonesia dan sistem media, keduanya dapat saling
mempengaruhi. Fenomena kepemilikan institusi pers di Indonesia menjadi objek
kajian yang tetap menarik untuk dianalisis lebih lanjut.
Pers di Indonesia hendaknya tetap berperan sebagai instrumen sosial yang
mencerahkan masyarakat agar menjadi warga yang cerdas dan kritis sehingga bisa
membangun demokrasi yang substantif dalam sistem pemerintahan kita. Bila pers
mengingkari perannya ini, rakyatpun akan semakin kritis menilai pemberitaan dan
informasi yang disajikan pers sehingga hal itu akan menjadi taruhan.
Pers menjadi kekuatan super di masyarakat, apapun peristiwa yang terjadi
bebas diberitakan, tanpa ada ketakutan dibreidel. Di sana-sini muncul fenomena
“jurnalisme anarki”, “jurnalisme pelintir”, “jurnalisme preman”, “jurnalisme
penghujatan”, “jurnalisme porno”, dan lainnya. Jelas hal ini tidak boleh diteruskan
berkepanjangan.
Pers dan Keterbukaan Informasi Publik
Pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat harus dapat menjadi pemberi
informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk tahu (right to
know), hak untuk diberi informasi (right to be informed), dan hak untuk didengar
aspirasinya (right to be heard and to be listened to).
UU No 14 tahun 2008 bagian kedua pasal 3 menyatakan “menjamin hak warga
negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan
publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu
keputusan publik; serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang
transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan”

1
Keterbukaan informasi merupakan syarat bagi pers untuk mencari dan
memperoleh informasi. Untuk memperoleh informasi, pers sering kali terbentur oleh
masalah-masalah birokrasi atas nama rahasia negara, rahasia jabatan dan
sebagainya. Ketika berhadapan dengan masalah itu, pers gagal menjalankan fungsi
tersebut.
Lahirnya Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik diharapkan bisa mengatasi masalah tersebut. Dari segi pers, kini memiliki
jaminan hukum untuk mencari dan memperoleh informasi. Dari segi pemerintah,
kekhawatiran akan bocornya rahasia negara dan rahasia jabatan tak perlu ada, sebab
bab V (pasal 17-20) mengenai Informasi yang Dikecualikan.
Pembatasan dalam pasal 17 UU tersebut sangat komprehensif, dan detail.
Informas-informasi yang dikecualikan dari informasi menurut pasal 17 tersebut
meliputi:
1. Informasi yang dapat mengganggu proses penegakan hukum;
2. Informasi yang dapat menggangu perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual;
3. Informasi yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
4. Informasi yang dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia;
5. Informasi yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional;
6. Informasi yang dapat merugikan hubungan luar negeri Indonesia;
7. Informasi yang dapat mengungkap informasi pribadi dalam akta otentik atau
kemauan terakhir dalam wasiat seseorang;
8. Informasi yang dapat mengungkap rahasia pribadi;
9. Memorandum atau surat-surat badan publik yang menurut sifatnya rahasia
sebatas tidak dikecualikan oleh Komisi Informasi; dan
10. Informasi yang tidak boleh diungkap berdasarkan undang-undang.
Butir satu hingga sepuluh diatas sudah mencakup semua informasi yang layak
dirahasikan, mulai dari rahasia negara hingga rahasia pribadi.
Korupsi sebagai Masalah Utama
Korupsi di daerah menjadi masalah utama yang segera harus diselesaikan oleh
pemerintah daerah. Namun sebagian besar publik, sesuai hasil survei Litbang
Kompas, 74, 6 persen meragukan pemerintah daerah mampu menangani korupsi di
wilayah masing-masing (Purwantari, 2015: 4).
Di Provinsi NTT, terdapat fenomena orang yang diketahui telah terindikasi
korupsi justru mendapat kepercayaan untuk menduduki posisi penting dalam
2
pemerintahan daerah. Akibatnya, hak konstitusional warga NTT yang tertuang dalam
UUD 1945 seperti hak atas pendidikan, hak atas kesehatan dan hak atas pelayanan
dasar lainnya menjadi terabaikan akibat korupsi. Korupsi telah menjadi kejahatan luar
biasa yang menambah penderitaan rakyat dan tantangan bagi pembangunan di
Provinsi NTT.
Berhadapan dengan kondisi Provinsi NTT seperti tersebut di atas, dipandang
perlu adanya upaya serius dari berbagai pihak dalam pemberantasan korupsi di
Provinsi NTT. Pemberantasan korupsi perlu melibatkan semua pihak. Hal ini sejalan
dengan ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Pencegahan dan
Penindakan Tindak Pidana Korupsi yang pada Pasal 1 butir 3 menyatakan :
“Pemberantasan korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas Tindak Pidana Korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi,
monitor, penyelidikan–penyidikan – penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dengan peran serta masyarakat”.
Selain itu, ketentuan lain yang mengatur tentang partisipasi semua pihak
dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia diatur di dalam Peraturan
Pemerintah No. 71 Tahun 2000 yang menyatakan : “Peran serta masyarakat adalah
peran aktif perorangan, Ormas, atau LSM dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi”.
Atas dasar ketentuan hukum normatif tersebut di atas, masyarakat di Provinsi
NTT baik secara perorangan maupun kelompok diharapkan dapat berperan aktif
dalam upaya pemberantasan korupsi. Peran aktif masyarakat di Provinsi NTT dalam
upaya pemberantasan korupsi, menurut peneliti belum berjalan optimal bahkan
masyarakat cenderung bersifat apatis terhadap persoalan korupsi. Masyarakat NTT,
khususnya di berbagai pelosok kecamatan dan desa lebih sibuk mengurusi kebutuhan
domestik sehari-harinya ketimbang mempersoalkan atau ikut mengontrol tata kelola
pemerintahan daerahnya.
Kondisi Provinsi NTT seperti tersebut di atas oleh Sarah Lery Mboeik, Direktris
LSM PIAR-NTT (2012) menyebut Provinsi NTT sebagai “surga”nya para koruptor, dan
NTT diplesetkan menjadi “Nusa Tetap Terkorup”. Selain itu pula lembaga-lembaga
resmi baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif semuanya tidak luput dari praktik
korupsi.
Kondisi Provinsi NTT yang digambarkan di atas mendorong peneliti sekaligus
menarik perhatian peneliti untuk melihat bagaimana upaya media lokal sebagai
3
kekuatan alternatif atau oleh Edmund Burke disebut sebagai kekuatan keempat
(fourth estate) selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam mengonstruksi realitas
korupsi di dalam berita-berita tentang korupsi di Provinsi NTT.

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:

Pertama, keterbukaan informasi merupakan prasyarat bagi adanya pers yang


merdeka. Tanpa keterbukaan informasi, pers tidak dapat mencari dan memperoleh
informasi yang dibutuhkan masyarakat, sehingga akhir juga tak dapat menyebarkan
informasi tersebut.

Kedua, terdapat pertentangan antara kebebasan pers di satu sisi dengan pembatasan
informasi publik di sisi yang lain. Bagaimana kita mengatasi pertentangan ini ?

Ketiga, pembatasan terhadap informasi publik dapat dikesampingkan apabila


informasi tersebut terkait dengan kepentingan publik.

Anda mungkin juga menyukai