Oleh
HENNY APRIANI
C014172071
Kata kunci: Algoritma Airway, manajemen jalan napas, trauma jalan napas
PENDAHULUAN
Laporan kasus keselamatan lalu lintas global yang diterbitkan pada Mei 2011
oleh organisasi kesehatan dunia mencatat bahwa 125.000 kematian di In di a
di s eb ab k an k a r en a trauma di jalan. Laporan kasus tersebut juga menambahkan
bahwa sekitar 2,2 juta mengalami cedera serius setiap tahun. Sayangnya, mayoritas
korban trauma yang selamat mengalami kecacatan baik otak maupun cedera
tulang belakang sehingga mereka hanya terbaring selama sisa hidupnya.
Angka kejadian di India adalah 78% berjenis kelamin laki-laki pada kelompok usia 20
sampai 44 tahun, sehingga menyebabkan dampak yang signifikan pada produktivitas.
Mengapa korban trauma ini meninggal? Hal ini terutama disebabkan karena
hipoksia dan kesalahan tatalaksana jalan napas yang berkontribusi hingga 34% dari
kematian pra-rumah sakit pada pasien ini.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa 7-28% pasien dengan trauma
membutuhkan tatalaksana jalan napas definitif baik intubasi endotrakeal (ETI) atau
trakeostomi. Meskipun tatalaksana jalan napas definitif dalam keadaan darurat
mempunyai komplikasi , menghindari hal tersebut justru akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien trauma tersebut.
Teknik terbaik untuk menyelamatkan pasien trauma adalah dengan
memberikan pertolongan secara langsung, termasuk tatalaksana jalan napas pra-
rumah sakit dan perawatan trauma wajah dalam satu jam pertama dari trauma atau
biasa disebut Golden Hour.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk meninjau informasi teoritis dan praktis
yang terbaru berkaitan dengan tatalaksana jalan napas pada korban trauma. Hal ini
termasuk mengidentifikasi penyebab kesulitan dalam tatalaksana jalan napas,
prediksi kesulitan jalan napas dan strategi terbaik dalam hal perangkat saluran napas,
teknik atau manuver yang mungkin berguna dalam pengelolaan jalan napas dalam
penanganan trauma.
PENYEBAB KESALAHAN TATALAKSANA JALAN NAPAS
Kesalahan tatalaksana jalan napas pada korban trauma dapat dikaitkan dengan
salah satu atau kombinasi dari penyebab berikut :
1. Kegagalan untuk mengenali jalan napas yang tidak memadai pada korban
trauma.
2. Kegagalan untuk mempertahankan jalan napas dengan atau tanpa perangkat
saluran napas.
3. Kegagalan untuk mengakui kesalahan dalam menggunakan perangkat
saluran napas
4. Perubahan posisi jalan napas yang sudah dikoreksi sebelumnya.
5. Kegagalan untuk mengenali kebutuhan akan ventilasi.
6. Aspirasi isi lambung
Kesalahan tatalaksana jalan napas akan menyebabkan asfiksia yang dapat
berkembang menjadi hipoksia serebral, kerusakan otak dan akhirnya kematian.
Dimana lokasi kesalahan tatalaksana jalan napas sering terjadi ? kesalahan
tatalaksana jalan napas dapat terjadi di lokasi kecelakaan atau pusat trauma. Penyebab
kesalahan tatalaksana jalan napas di lokasi kecelakaan meliputi berikut ini:
1. Kondisi yang tidak menguntungkan (misalnya, kegelapan, ruang yang tidak
memadai, terbatasnya akses jalan napas pasien).
2. Posisi pasien yang buruk yang mungkin tergeletak di jalan, mobil dan kereta
yang hancur berantakan di sekitarnya.
3. Personil penolong yang tidak dikenal dengan tingkat pengetahuan
penatalaksanaan jalan napas yang berbeda-beda.
Penyebab kesalahan tatalaksana jalan napas di pusat trauma antara lain:
1. Orofaringeal atau perdarahan paru dan / atau trauma wajah menutupi jalan
napas pasien.
2. Imobilisasi tulang servikal dengan cervical collar
3. Kemungkinan lambung penuh dan asisten menerapkan tekanan krikoid yang
salah (manuver Sellick ).
4. Dilema tentang penggunaan farmakologis tambahan.
5. Hypoxaemia memberi tekanan pada operator.
6. Pasien yang tidak kooperatif atau agresif
Semua atau beberapa faktor tersebut, serta keterampilan penatalaksanaan jalan
napas operator sendiri, mengakibatkan kesulitan dalam mengelola jalan napas 7
sampai 10% dari pasien trauma. Untuk menghindari kesalahan manajemen jalan napas,
penting untuk dokter atau paramedis menjadi terlatih, tetap tenang dan tidak panik.
Paramedis harus memberikan tatalaksana mengikuti A, B, C sesuai aturan pedoman
Advanced Trauma Life Support (ATLS) .
Laringeal tube
LT adalah perangkat saluran napas supraglottic dengan kemampuan serupa dengan
LMA. Seperti halnya LMA, LT tidak dianggap sebagai perangkat salura napas
definitif. LT ditempatkan tanpa visualisasi langsung glotis dan tidak memerlukan
manipulasi kepala dan leher yang signifikan. Berbeda dengan combitube dan ETI, LT
memberikan peningkatan keberhasilan pemasangan dan waktu penempatan yang lebih
singkat.
Combitube
Combitube masih direkomendasikan sebagai perangkat saluran napas semi-definitif
yang akan digunakan pada pasien trauma jika perangkat saluran napas definitif tidak
ada atau gagal. Ini adalah perangkat yang dapat menghemat waktu dan semua upaya
yang telah dilakukan sebelumnya dengan perangkat saluran napas definitif. Berbeda
dengan LT, combitube mungkin jarang masuk ke dalam trakea. Dalam keadaan
seperti itu, pemasukan langsung ke lumen proksimal lainnya harus dilakukan untuk
memulai ventilasi yang benar.
Masalah lain yang biasa ditemukan selama tatalaksana jalan napas pada pasien
trauma meliputi: peran tekanan krikoid dan imobilisasi servikal, berurusan dengan
pasien agresif dan dilema pada intubasi sadar.
Imobilisasi servikal
Dalam evaluasi komparatif non-acak dari tiga teknik imobilisasi tulang servikal
(servikal collar yang kaku, pita di dahi di kedua sisi leher dan manual-in-line
stabilisation) pada tampilan laringoskopi glotis selama laringoskopi, Heath mencatat
pandangan laringoskopi yang jelek (kelas 3 atau 4 dari Cormack dan Lehane) pada
64% pasien saat imobilisasi servikal dicoba menggunakan collar neck atau pita di dahi
dibandingkan dengan menggunakan MILS tercatat hanya 22%. Oleh karena itu, MILS
tentunya menjadi teknik yang disukai dari imobilisasi tulang servikal pada pasien
dengan dugaan trauma leher.
Intubasi Sadar
Pada tahun 1970-an sampai 1980-an dipercaya bahwa tatalaksana jalan napas definitif
pada pasien sadar dapat menjaga tulang servikal yang terluka ketika tonus otot leher
yang tidak lumpuh bertindak seperti bidai. Tidak ada bukti yang mendukung asumsi
tersebut. Faktanya, tindakan tatalaksana jalan napas definitif pada pasien tersebut
secara signifikan dapat memperparah cedera servikal mereka karena batuk, bucking,
tersedak atau struggling. Dalam National Emergency Airway Registry, sebuah
penelitian multisenter lebih dari 15.000 intubasi darurat, analisis fase-dua data intubasi
trauma menunjukkan bahwa 80% dari pasien menjalani intubasi dan induksi cepat
menggunakan relaksan otot tanpa kerusakan servikal.
Intubasi Cepat
Intubasi dan induksi cepat anestesi, obat penenang dan obat yang memblok
neuromuskular masih dianggap berbahaya. Namun, jika situasi membenarkan risiko
pemberian obat ini, yang harus dipastikan bahwa tersedia tenaga terampil untuk
melakukan intubasi trakea.
Langkah-langkah berikut harus diikuti secara ketat saat melakukan intubasi yang
cepat:
1. Pastikan adanya seseorang dengan keterampilan melakukan tatalaksanan
pembedahan jika intubasi gagal.
2. Pastikan bahwa suction dan perangkat untuk ventilasi pasien sudah tersedia.
3. Pre-oksigenasi dengan 100% oksigen dan menerapkan teknik penekanan
krikoid (manuver Sellick ).
4. Berikan etomidate 0,3 mg / kg atau 20 mg dan kemudian mengelola 1-2 mg /
kg suksinilkolin intravena. Hindari suksinilkolin di pasien dengan cedera berat,
luka bakar dan luka bakar listrik , gagal ginjal kronis, kelumpuhan kronis dan
penyakit neuromuskuler kronis karena memiliki potensi hiperkalemia berat.
Thiopental dan obat-obatan penenang (midazolam dan diazepam) harus
dihindari pada pasien dengan hipovolemia.
5. Lakukan intubasi setelah pasien rileks.
6. Kembangkan cuff dari tabung endotrakeal kemudian mengkonfirmasi
penempatan pipa trakea sudah benar dengan auskultasi dan adanya CO2 saat
ekspirasi.
7. Lepaskan tekanan krikoid.
8. Ventilasi pasien.
9. Amankan posisi tabung trakea dengan baik.