Anda di halaman 1dari 19

HEMATOMA SUBDURAL

Kasus 2
Nn. Noni (20 tahun) masuk UGD dengan kecelakaan lalu lintas sepeda motor, ditemukan
pingsan, GCS 10, gelisah, mata lebam dan luka pada frontal kanan. TD 130/90 mmHg, N =
110x/menit, S = 36,2oC. Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang cukup banyak
diantara otak dan durameter pada area frontal kanan. Nn. Noni diputuskan untuk dirawat
diruang intermediate care. Keesokkan harinya ditemukan klien GCS 7, N = 65x/menit, p =
10x/menit, TD = 160/100 mmHg, S = 38,5oC, refleks pupil kanan/kiri midriasis, ditemukan
kelemahan pada ekstrimitas kiri, dan klien gelisah sekali.
Pengkajian
• Pengkajian awal ditemukan pingsan, GCS 10, gelisah, mata lebam dan luka pada frontal
kanan. TD 130/90 mmHg, N = 110x/menit, S = 36,2oC. Hasil CT scan menunjukkan pada
perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan.
• Keesokkan harinya ditemukan klien GCS 7, N = 65x/menit, p = 10x/menit, TD = 160/100
mmHg, S = 38,5oC, refleks pupil kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada
ekstrimitas kiri, dan klien gelisah sekali.
Dari hasil pengkajian diatas Dx medis yang ditegakkan adalah “Hematoma subdural“.

PENDAHULUAN

Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak. Tetapi meskipun
memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Cedera kepala telah
menyebabkan kematian dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun, dan luka tembak pada
kepala merupakan penyebab kematian nomor 2 pada usisa dibawah 35 tahun. Hampir separuh
penderita yang mengalami cedera kepala meninggal. Otak bisa terluka meskipun tidak
terdapat luka yang menembus tengkorak.
Berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya
benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang
tidak bergerak.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan. Cedera
percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis untuk hit-
counterhit).Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan
saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan
pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat.
Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang
ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat
bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak.
Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah.
Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang
otak, keadaan ini disebut herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan
batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis.
Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut
jantung dan pernafasan).
Klasifikasi cedera kepala
1. Cedera kepala ringan (GCS : 13 – 15 )
2. Cedera kepala sedang (GCS : 9 - 12 )
3. Cedera kepala berat (GCS : =< 8 )
Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang hebat.
Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan
darah), sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak (hematoma subdural).

Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi
tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar
(difus).
Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan
dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur
penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.

HEMATOMA SUBDURAL

DEFINISI

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut
yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat
dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada
jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat
pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala
dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.

Gb. Hematoma Subdural

ETIOLOGI

Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang
mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat
terjadi pada:
• Trauma kapitis
• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan
subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.
• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.
• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang
spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

Gg. Perdarahan pada subdural

PATOFISIOLOGI

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan
sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang
bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan
terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena
halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan
menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan
ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari
sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan
intracranial yang berangsur meningkat

Gb. Lapisan pelindung otak

Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan
dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun
hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan
terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan
terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural
yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya
menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting,
karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam
penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan
dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke
axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial
terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi
serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar
melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui
incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural
kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian
didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang
mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan
berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor
angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik,
karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar
membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas
enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan subdural kronik.
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala-
gejala klinis yaitu:
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera
kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang
biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm
tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi
hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural
sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih
tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena
terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau
gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena
hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat
terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau
tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan
pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya
terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah
dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada
tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia
di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
Pembagian Subdural kronik:
Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural kronik
dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
1. Tipe homogen ( homogenous)
2. Tipe laminar
3. Tipe terpisah ( seperated)
4. Tipe trabekular (trabecular)
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang trabekular
adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya dalam bentuk
homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar. Sedangkan pada subdural
kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui
stadium trabekular selama penyerapan.
Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural kronik
dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
1. Tipe konveksiti ( convexity).
2. Tipe basis cranial ( cranial base ).
3. Tipe interhemisferik
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi, sedangkan
kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan subdural kronik
berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna untuk memperkirakan
resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.

GEJALA KLINIS

1.Hematoma Subdural Akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah
cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.

2. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga
disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-
lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik
yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan
bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang
disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
3.Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa
tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai
10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya
selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan
sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan
perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya
ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan
MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
• sakit kepala yang menetap
• rasa mengantuk yang hilang-timbul
• linglung
• perubahan ingatan
• kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
KERUSAKAN PADA BAGIAN OTAK TERTENTU
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi
kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri
biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera
menentukan jenis kelainan yang terjadi.
Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya
menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur
ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab
terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi
kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak,
biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan
kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati,
ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau
samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan
yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang
terjadi akibat perilakunya.
Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat
badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal
dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya
dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang
berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk
melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah
kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian
tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang
sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa
menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan
sehari-hari lainnya.
Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya
sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran,
menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan
suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan
pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita
dalam mengekspresikan bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami
perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak
biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

PENATALAKSANAAN

Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan tindakan
konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang
rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang
progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma.
Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita
perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat
dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang
paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy.
Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari
perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah
diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan
klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang
kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan
awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan
mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan
refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan
brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra
aksial.
Indikasi Operasi
• Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
• Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
• Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak
bisa dilakukan.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada
hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan
setelah 6-8 minggu kemudian.
Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi
perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural
empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension
pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya
reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan
sumber perdarahan harus ditiadakan.
Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan Markam .
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai
apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
PEN-KES UNTUK KELUARGA
keluarga diberikan penkes tentang perawatan pasien dengan masalah cedera kepala, diantara
yaitu :
• Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi cidera kepala
termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena itu perlu control dan berobat secara
teratur dan lanjut.
• Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama dirawat dan dirumah
nantinya
• Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-
hari pasien
• Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana agar tidak terjadi cidera
pada neuromuskuler
• Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila saatnya pulang, kapan harus
istirahat, aktifitas dan kontrol selama kondisi masih belum optimal terhadap dampak dari
cidera kepala pasien dan sering pasien akan mengalami gangguan memori maka mengajarkan
pada keluarga bagaimana mengorientasikan kembali pada realita pasien.

REHABILITASI
• Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti kontraktur,
osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi saluran kencing.
• Goal jangka pendek
1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan posture untuk
mobilitas dan keamanan.
2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi musculoskletal,
defisit neurologi
Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi seperti kontraktur
dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM (pergerakan sendi) dan
mobilisasi dini
Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang melibatkan lingkungan
dirumah
Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management dan program
sensory stimulation
Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis : dokter ,terapis, ahli gizi,
perawat, pasien dan keluarga.
Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang adekuat,
edukasi keluarga.
PROGNOSIS

Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena
sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi
parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai
sekitar 50 %.
DIAGNOSA BANDING
Dementia, stroke, TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs reactions, gangguan kejiwaan,
Tumor otak, perdarahan subarachnoid, Parkinson, hydrocephalusdengan tekanan normal.

ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN.
1. Hal penting yang harus diperhatikan :
• Saat kejadian
• Tempat
• Bagaimana posisi saat kejadian
• Serangannya
• Lamanya
• Faktor pencetus
• Adanya fraktur dan status kesadaran
2. Status neurologi
• Perubahan kesadaran
• Pusing kepala
• Vertigo
• Menurunnya refleks
• Malaise
• Kejang
• Iritabel
• Kegelisahan atau agitasi
• Pupil; ukuran, refleks terhadap cahaya.
• Hemiparesis
• Letargi
• Koma
3. Status gastrointestinal
• Mual- muntah
4. Status kardiopulmonal
• Kesukaran bernafas atau sesak
• Depresi nafas
• Nafas lambat
• Hipotensi
• Bradikardi
5. Glascow Coma Scale
Menggunakan 3 area pengkajian, yaitu :
Eyes (E)
Verbal response (V)
Motor response (M)
Normal = 15 dan ≤ 8 indikasi koma

Gb. Contoh Glasgow Coma Scale

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko tidak efektif bersihan jalan nafas dan tidak efektif pola nafas berhubungan dengan,
gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, meningkatnya tekanan intrakranial,
penurunan kesadaran.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral, peningkatan
tekanan intrakranial
3. Kurangnya perawatan din berhubungan dengan tirah baring,menurunnya kesadaran.
4. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
5. Risiko injury berhubungan dengan menurunnya kesadaran meningkatnya tekanan
intrakranial
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala
7. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya injury
8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala
9. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Data subjektif :
• Masuk UGD dengan kecelakaan lalu lintas sepeda motor.
Data objektif
• Pengkajian awal ditemukan pingsan, GCS 10, gelisah, mata lebam dan luka pada frontal
kanan. TD 130/90 mmHg, N = 110x/menit, S = 36,2oC. Hasil CT scan menunjukkan pada
perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan.
• Keesokkan harinya ditemukan klien GCS 7, N = 65x/menit, p = 10x/menit, TD = 160/100
mmHg, S = 38,5oC, refleks pupil kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada
ekstrimitas kiri, dan klien gelisah sekali.
Diagnosa keperawatan
1. Tidak efektif pola nafas berhubungan dengan penurunan kesadaran.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan perdarahan serebral, peningkatan
tekanan intrakranial.
No Data Etiologi Masalah
1 Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan
durameter pada area frontal kanan.
GCS 7, N = 65x/menit, p = 10x/menit, klien gelisah sekali. Penurunan kesadaran. Tidak
efektif pola nafas.
2 Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan
durameter pada area frontal kanan.

Mata lebam dan luka pada frontal kanan.


GCS 7, N = 65x/menit, p = 10x/menit, TD = 160/100 mmHg, S = 38,5oC, refleks pupil
kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada ekstrimitas kiri, dan klien gelisah sekali.
Perdarahan dan edema cerebral
Perubahan perfusi jaringan cerebral dan resiko peningkatan TIK

Rencana keperawatan
1. Tidak efektif pola nafas berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali efektif.
Kritera hasil : - Pola nafas normal 12-22 x/menit.
- Kesadaran meningkat.
- Klien tampak nyaman.
Mandiri
Kaji A,B,C.
Kaji apakah ada fraktur servikal dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi
dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra. jika ditemukan ada fraktur
servikal 8 posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 - 30 derajat
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan
pengisapan.
Kaji status pernafasan; kedalamannya, usaha dalam bernafas.
Kaji tanda-tanda vital setiap 2 - 4 jam
Kolaborasi
Pemberian oksigen sesuai program

2. Perubahan perfusi jaringan serebral dan resiko peningkatan TIK b.d perdarahan dan edema
cerebral
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan perubahan perfusi jarinagn serebral dan
resiko peningkatan TIK tidak terjadi.
Kriteria hasil : - Perfusi jaringan jaringa baik.
- Tidak terjadi penurunan kesadaran
- GCS meningkat (13-15)
- Perdarahan teratasi.
- Edema berkurang/tidak ada.
Mandiri :
Memonitor/obs tanda vital tiap 4 jam dan memonitor/obs kesadaran / GCS setiap 4 jam
Memberikan posisi Elevasi kepala 30 derajat setiap 4 jam untuk menurunkan tekanan vena
jugularis
Menentukan faktor2 penyebab penurunan perfusi jaringan otak/resiko TIK meningkat.
Memantau/mencatat status neurologis secara teratur dan membandingkan dg nilai normal
Mempertahankan tirah baring miring kiri/kanan dengan posisi kepala netral
Mengkaji kondisi vaskular (suhu, warna, pulsasi dan capillary refill) tiap 8 jam
mencatat intake dan output.
Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver
menurunkan stimulasi eksternal yang dapat meningkatkan TIK dan berikan kenyamanan
dengan menciptakan lingkungan tenang dan suhu ruangan dalam kondisi normal (mengatur
suhu ruangan menyalakan AC). Memasang pagar pengaman tempat tidur dan memasang
retrain pada daerah ekstermitas
Penkes pada keluarga dan selalu bicara dan komunikasi dengan pasien.
Kolaborasi :
Memberikan O2 kanul 4 l/mnt
Memberi pertimbangan pemeriksaan AGD, LED, Leukosit setelah 3 hari perawatan
Pemasangan cairan IV NaCl 0,9% /12 jam
Memberikan obat-obatan injeksi :
- Citicolin 2 x 500 mg - Ranitidin 2 x 1 ampl
- Vit C 1 x 400 mg - Kaltropen 3 x 1 ampl
- Dexametason 4 x 1 ampl - Cefriaxon 2 x 2 gr

Anda mungkin juga menyukai