Oleh:
Luthfi Maullana Dicatama
NIM. 17174039
Pembimbing:
dr. Alam Hasinoan Siregar, Sp.Rad
0
KATA PENGANTAR
Penulis
BAB I
1
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Bronkiektasis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada usia muda,
69 % penderita berumur kurang dari 20 tahun. Gejala dimulai sejak masa kanak-
kanak, 60 % dari penderita gejalanya timbul sejak umur kurang dari 10 tahun.
Gejalanya tergantung dari luas, berat, lokasi ada atau tidaknya komplikasi.
Bronkiektasis merupakan penyakit yang jarang ditemui yang sering menyebabkan
kesakitan yang parah, termasuk infeksi pernapasan berulang yang memerlukan
antibiotik, batuk produktif yang menganggu, sesak napas, dan hemoptisis. Hal
yang menonjol dari sejarah bronkiektasis adalah gambaran hidup pasien yang
dingin dan supuratif yang tampak pada tulisan Rene Theophile Hyacinthe
Laennec pada awal abad ke 19, penjelasan pada tahun 1922 oleh Jean Athanase
Sicard dari bronkografi dengan kontras, yang memungkinkan pencitraan dari
perubahan destruktif pada saluran napas, penelitian yang dilakukan oleh Lynne
Reid pada tahun 1950an yang menghubungkan bronkografi dengan spesimen
patologis, dan selanjutnya terjadi pengurangan prevalensi yang mungkin hadir
dengan adanya terapi antituberkulosis dan imunisasi terhadap pertusis dan
campak. Pada artikel ini, saya mendikusikan perkembangan terakhir, termasuk
peranan infeksi, respon peradangan yang disederhanakan, dan defek pada
pertahanan inang, digantikannya bronkografi oleh CT scan resolusi tinggi sebagai
alat radiologi yang definitif, dan persamaan serta perbedaan antara bronkiektasis
dan cystic fibrosis dalam hal gambaran klinis dan strategi penatalaksanaannya.
BAB II
2
LAPORAN KASUS
BAB III
3
TINJAUAN PUSTAKA
4
- Sel bersilia, yang memiliki rambut getar untuk membantu menyapu
partikel-partikel dan lendir ke bagian atas atau keluar dari saluran
pernafasan.
- Sel-sel lainnya yang berperan dalam kekebalan dan sistem pertahanan
tubuh melawan organisme dan zat-zat yang berbahaya lainnya.
Struktur saluran pernafasan dibentuk oleh serat elastis, otot dan lapisan
kartilago (tulang rawan), yang memungkinkan bervariasinya diameter saluran
pernafasan sesuai kebutuhan. Pembuluh darah dan jaringan limfoid berfungsi
sebagai pemberi zat makanan dan sistem pertahanan untuk dinding bronkus.
Diagnosis penyakit didasarkan pada riwayat klinis dari gejala respirasi
yang bersifat kronik, seperti batuk setap hari, produksi sputum yang kental dan
penemuan radiografi seperti penebalan dinding bronkus dan dilatasi lumen yang
terlihat pada CT Scan.
5
Data terakhir yang diperoleh dari RSUD Dr. Soetomo tahun 1990
menempatkan bronkiektasis pada urutan ke-7 terbanyak. Dengan kata lain
didapatkan 221 penderita dari 11.018 (1.01%) pasien rawat inap.
III. ETIOLOGI
Etiologi bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga
bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat.
a. Kelainan kongenital
Dalam hal ini, bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam
kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan
memegang peranan penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya
mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus.
Selain itu, bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit
kongenital seperti Fibrosis kistik, Sindroma Kertagener, William Campbell
syndrome, Mounier-Kuhn syndrome, dll.
b. Kelainan didapat
Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan
merupakan proses berikut:
Infeksi
o Campak
o Pertusis
o Infeksi adenovirus
o Infeksi bakteri contohnya Klebsiella, Staphylococcus atau
Pseudomonas.
o Influenza
o Tuberkulosa
o Infeksi mikoplasma
Penyumbatan bronkus
o Benda asing yang terisap
6
o Pembesaran kelenjar getah bening
o Tumor paru
o Sumbatan oleh lendir
Cedera penghirupan
o Cedera karena asap, gas atau partikel beracun
o Menghirup getah lambung dan partikel makanan
Kelainan imunologik
o Sindroma kekurangan imunoglobulin
o Disfungsi sel darah putih
o Defisiensi komplemen
o Infeksi HIV
o Kelainan autoimun atau hiperimun tertentu seperti artritis
rematoid, kolitis ulcerativa
Keadaan lain
o Penyalahgunaan obat (misalnya heroin)
IV. ANATOMI
Gambar dibawah ini menunjukkan anatomi dari sistem respirasi.
7
Dari gambar dapat kita lihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan kiri akan
bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini
berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai
akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung
alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm. Bronkiolus
tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya
dapat berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini disebut saluran
penghantar udara karena fungsinya menghantarkan udara ke tempat pertukaran gas
terjadi.
Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari paru-
paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus
alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki diameter
0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari trakea sampai sakkus
alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh septum.
Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang memungkinkan komunikasi
antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun jika seluruh alveolus yang
berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan seluas satu lapangan tenis.
Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh
kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu
tegangan permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan
cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai
lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat
inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi.
Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh
kematangan sel-sel alveolus, enzim biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan
regenerasi, ventilasi yang adekuat serta perfusi ke dinding alveolus. Defisiensi
surfaktan, enzim biosintesis serta mekanisme inflamasi yang berjung pada pelepasan
produk yang mempengaruhi elastisitas paru menjadi dasar patogenesis emphysema,
dan penyakit lainnya.
8
Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra
dan bronchus sinistra.
- Bronkus Dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek dan
letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan oleh
desakan dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga
benda-benda asing mudah masuk ke dalam bronkus dextra.
Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan masuk kedalam hilus pulmonis setinggi
vertebra thoracalis VI. Vena Azygos melengkung di sebelah cranialnya.
Ateria pulmonalis pada mulanya berada di sebelah inferior, kemudian berada
di sebelah ventralnya.
Membentuk tiga cabang (bronkus sekunder), masing-masing menuju ke lobus
superior, lobus medius, dan lobus inferior.
Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior letaknya di sebelah
cranial a.pulmonalis dan disebut bronkus eparterialis. Cabang bronkus yang
menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di sebelah caudal
a.pulmonalis disebut bronkus hyparterialis. Selanjutnya bronkus sekunder
tersebut mempercabangkan bronkus tertier yang menuju ke segmen pulmo.
- Bronkus Sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya
lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae,
menyilang di sebelah ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta
thoracalis.
Pada mulanya berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah
dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah inferiornya sebelum bronkus
bercabang menuju ke lobus superior dan lobus inferior, disebut letak bronkus
hyparterialis.
Pada tepi lateral batas trachea dan bronkus terdapat lymphonodus
tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal)
terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior.
9
Bronkus memperoleh vascularisasi dari a.thyroidea inferior.
Innervasinya berasal dari N.vagus, n. Recurrens, dan truncus sympathicus
V. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan defenisinya, bronkiektasis menggambarkan suatu keadaan
dimana terjadi dilatasi bronkus yang ireversibel (> 2 mm dalam diameter) yang
merupakan akibat dari destruksi komponen muskular dan elastis pada dinding
bronkus. Rusaknya kedua komponen tersebut adalah akibat dari suatu proses
infeksi, dan juga oleh pengaruh cytokine inflamasi, nitrit okside dan netrophilic
protease yang dilepaskan oleh system imun tubuh sebagai respon terhadap
antigen.
10
Terlepas dari apakah kerusakan tersebut diakibatkan secara langsung atau
tidak langsung, daerah dinding bronkus mengalami kerusakan dan menjadi
inflamasi yang kronik. Bronkus yang mengalami inflamasi akan kehilangan
keelastisannya, sehingga bronkus akan menjadi lebar dan lembek serta
membentuk kantung atau saccus yang menyerupai balon yang kecil. Inflamasi
juga meningkatkan sekresi mukus. Karena sel yang bersilia mengalami kerusakan,
sekret yang dihasilkan akan menumpuk dan memenuhi jalan nafas dan menjadi
tempat berkembangnya bakteri. Yang pada akhirnya bakteri-bakteri tersebut akan
merusak dinding bronkus, sehingga menjadi lingkaran setan antara infeksi dan
kerusakan jalan nafas.
Gambar 2: Pada bronkiektasis, produksi mukus meningkat, silia mengalami kerusakan dan daerah
bronkus mengalami inflamasi kronik dan mengalami kerusakan.
VII. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi
sputum harian yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai
tahunan. Sputum yang bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi
akibat dari kerusakan jalan nafas dengan infeksi akut.
Variasi yang jarang dari bronkiektasis kering yakni hemoptisis
episodik dengan sedikit atau tanpa produksi sputum. Bronkiektasis kering
11
biasanya merupakan sekuele (gejala sisa) dari tuberculosis dan biasanya
ditemukan pada lobus atas.
Gejala spesifik yang jarang ditemukan antara lain dyspnea, nyeri
dada pleuritik, wheezing, demam, mudah lelah dan berat badan menurun.
Pasien relatif mengalami episode berulang dari bronkitis atau infeksi paru,
yang merupakan eksaserbasi dari bronkiektasis dan sering membutuhkan
antibiotik. Infeksi bakteri yang akut ini sering diperberat dengan onsetnya
oleh peningkatan produksi sputum yang berlebihan, peningkatan
kekentalan sputum, dan kadang-kadang disertai dengan sputum yang
berbau.
Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol.
Terjadi hampir 90% pasien. Beberapa pasien hanya menghasilkan sputum
dengan infeksi saluran pernafasan atas yang akut. Tetapi sebaliknya,
pasien-pasien itu mengalami infeksi yang diam. Sputum yang dihasilkan
dapat berbagai macam, tergantung berat ringannya penyakit dan ada
tidaknya infeksi sekunder. Sputum dapat berupa mukoid, mukopurulen,
kental dan purulen. Jika terjadi infeksi berulang, sputum menjadi purulen
dengan bau yang tidak sedap. Dahulu, jumlah total sputum harian
digunakan untuk membagi karakteristik berat ringannya bronkiektasis.
Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan sebagai bronkiektasis ringan,
sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan sebagai
bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan sebagai
bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya bronkiektasis
dikalsifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien fibrosis
kistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding penyakit
penyebab bronkiektasis lainnya.
Hemoptisis terjadi pada 56-92% pasien dengan bronkiektasis.
Homoptisis mungkin terjadi masif dan berbahaya bila terjadi perdarahan
pada arteri bronkial. hemoptisis biasanya terjadi pada bronkiektasis
12
kering, walaupun angka kejadian dari bronkiektasis tipe ini jarang
ditemukan.
Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis tapi
bukan merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada pasien
dengan bronkiektasis luas yang terlihat pada gambaran radiologisnya.
Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalan
nafas yang diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea, ini
juga mungkin merupakan kondisi yang mengiringi, seperti asma.
Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi pada 46%
pasien pada sekali observasi. Paling sering merupakan akibat sekunder
pada batuk kronik, tetapi juga terjadi pada eksaserbasi akut.
Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan
bronkiektasi yang berat. Hal ini terjadi sekunder akibat peningkatan
kebutuhan kalori berkaitan dengan peningkatan kerja pada batuk dan
pembersihan sekret pada jalan nafas. Namun, pada umumnya semua
penyakit kronik disertai dengan penurunan berat badan.
Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang.
2. Gambaran Radiologis
a. Foto thorax
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat
ditemukan gambaran seperti dibawah ini:
Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat
mencapai diameter 1 cm). dengan jumlah satu atau lebih bayangan cincin
sehingga membentuk gambaran ‘honeycomb appearance’ atau ‘bounches
of grapes’. Bayangan cincin tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi
pada bronkus.
13
Gambar 3. Tampak Ring Shadow yang
Gambar 4. Tampak dilatasi bronkus
pada bagian bawah paru yang
yang ditunjukkan oleh anak panah
menandakan adanya dilatasi bonkus
Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru-paru.
Bayangan ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal
yang dipisahkan oleh daerah berwarna hitam. Gambaran seperti ini
sebenarnya normal ditemukan pada daerah parahilus. Tramline
shadow yang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah
parahilus.
14
Tubular shadow
Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya dapat
mencapai 8 mm. gambaran ini sebenarnya menunjukkan bronkus
yang penuh dengan sekret. Gambaran ini jarang ditemukan, namun
gambaran ini khas untuk bronkiektasis.
Glove finger shadow
Gambaran ini menunjukkan bayangan sekelompok tubulus
yang terlihat seperti jari-jari pada sarung tangan.
b. Bronkografi
Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media
kontras ke dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP,
Lateral, Oblik). Pemeriksaan ini selain dapat menentukan adanya
bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis yang
dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis), sakuler (kistik) dan
varikosis.
15
Pemeriksaan bronkografi juga dilakukan pada penderita bronkiektasis
yang akan di lakukan pembedahan pengangkatan untuk menentukan
luasnya paru yang mengalami bronkiektasis yang akan diangkat.
Pemeriksaan bronkografi saat ini mulai jarang dilakukan oleh karena
prosedurnya yang kurang menyenangkan terutama bagi pasien dengan
gangguan ventilasi, alergi dan reaksi tubuh terhadap kontras media.
c. CT-Scan thorax
CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang
terbaik untuk mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari
foto thorax dan melihat letak kelainan jalan nafas yang tidak dapat terlihat
pada foto polos thorax. CT-Scan resolusi tinggi mempunyai sensitivitas
sebesar 97% dan spesifisitas sebesar 93%.
CT-Scan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus dan
penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus
mana yang terkena, terutama penting untuk menentukan apakah
diperlukan pembedahan.
16
Gambar 8. CT-Scan Thorax menunjukkan adanya dilatasi bronkus pada lobus inferior
kiri.
DAFTAR PUSTAKA
4. Anonymous. Bronkiektasis.
http://medicastore.com/penyakit/421/Bronkientasis.html, 2013
6. Rahmatullah P. Bronkiektasis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Editor
17
Slamet Suyono. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2015. hal 861-871.
14. Patel PR. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta. 2015. hal 40-
41
15. Eng P, Cheah FK. Interpreting Chest X-rays. Cambridge Univesrsity Press. New
York. 2015. hal 67-68.
17. Ketai LH. Infectious Lung Disease. Fundamental of Chest Radiology, 2nd Edition,
Loren H. Ketai Richard Lofgren, Andrew J. Meholic, Elseiver Inc. hal
18