Anda di halaman 1dari 43

`BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis paru adalah salah satu penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat bahkan masih menjadi komitmen
global dalam penanggulangannya. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB di dunia terjadi pada negara negara berkembang
(Kepmenkes, 2009).
Melihat besarnya masalah yang ditimbulkan oleh TB, Indonesia telah
mengadopsi strategi DOTS yang telah direkomendasikan oleh WHO sejak
tahun 1995 (Kepmenkes, 2009). Salah satu indikator penting dalam strategi
DOTS yaitu penemuan kasus baru TB paru, karena penemuan kasus TB
merupakan awal untuk menentukan langkah pengobatan dan pengendalian
TB (Afrimelda dan Ekowati, 2010).
Puskesmas adalah suatu organisasi kesehatan fungsional yang merupakan
pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta
masyarakat disamping memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh
dan terpadu kepada masyarakat diwilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan
pokok. Sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten, puskesmas
(pusat kesehatan masyarakat) dalam urutan hierarki pelayanan kesehatan
berkedudukan pada tingkat pelayanan kesehatan pertama (Primary Health
Care/PHC) dan merupakan perangkat pemerintah kabupaten dan bertanggung
jawab langsung, baik teknis maupun administratif kepada kepala Dinas
Kesehatan yang bersangkutan.
Petugas pelaksana TB paru di puskesmas merupakan ujung tombak
dalam penemuan kasus TB (Maryun, 2007). Upaya peningkatan kinerja
petugas P2TB diharapkan dapat meningkatkan angka penemuan penderita TB
pada suatu puskesmas (Maryun, 2007). Menurut Gibson yang dikutip Maryun
(2007), ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kinerja seorang petugas,
yaitu (1) individu (2) psikologis, dan (3) organisasi.

1
2

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, variabel yang


penting untuk diteliti adalah pengetahuan dan keterampilan karena kedua
variabel tersebut merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan
kinerja individu (Maryun, 2007).
Berdasarkan data register temuan BTA positif di Puskesmas Bulu tahun
2012 sebanyak 46 temuan dari target 35 temuan kasus BTA positif dan pada
bulan Januari-September tahun 2013 sebanyak 16 temuan dari target 37
temuan kasus BTA positif. Hal ini berarti temuan BTA positif di Puskesmas
Bulu tahun 2013 tidak sesuai dengan target yang diharapkan.
Angka tersebut masih di bawah dari target yang diharapkan dari
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Maka dari itu pada laporan ini,
kami mencoba melakukan analisis untuk mengetahui penyebab dan alternatif
pemecahan masalah tersebut. Hasil makalah ini diharapkan dapat menjadi
masukan bagi usaha peningkatan kesehatan pada bidang Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit Menular di Puskesmas Bulu melalui peningkatan
kinerja petugas puskesdes terhadap penemuan suspek TB.

B. Perumusan Masalah
Bagaimana manajemen kinerja petugas puskesdes terhadap peningkatan
penemuan kasus suspek TB di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Meningkatkan penemuan kasus suspek TB di Kecamatan Bulu
Kabupaten Sukoharjo.
2. Tujuan Khusus
a. Mengoptimalkan puskesmas sebagai pelayanan kesehatan tingkat
dasar yang bersifat komprehensif dan holistik.
b. Mengoptimalkan peran petugas puskesdes terhadap peningkatan
penemuan kasus suspek TB di Kecamatan Bulu Kabupaten
Sukoharjo.
3

D. Manfaat
1. Membantu para dokter muda untuk lebih memahami manajerial dari
puskesmas dalam menangani suatu permasalahan.
2. Memberi masukan bagi Puskesmas Bulu tentang masalah-masalah yang
terjadi, serta alternatif upaya pemecahannya.
3. Menambah pengetahuan mengenai program penemuan suspek TB paru di
Puskesmas Bulu.
4. Mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan
program tersebut.
5. Memberikan informasi kepada penyusun kebijakan mengenai faktor-
faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan program peningkatan
penemuan suspek TB paru di Puskesmas Bulu.

E. Khalayak Sasaran
Petugas Puskesdes di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberculosis
1. Definisi Tuberculosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman
TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

2. Epidemiologi Tuberculosis
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban
TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah
sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000
kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000
kematian per tahunnya.
Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan
epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV
dinyatakan sebagai epidemik terkonsentrasi (a concentrated epidemic),
dengan perkecualian di provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah
mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi
prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%. Sejumlah 12 provinsi
telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV dan
estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-
400.000. Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah
2.8%.
Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB
baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20%
dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar
6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya.
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia
merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di

4
5

wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB


untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada
tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah
ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213
diantaranya terdeteksi BTA (+). Dengan demikian, Case Notification
Rate untuk TB BTA (+) adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate
73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun
terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%.
Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian
program pengendalian TB nasional yang utama.

3. Etiologi Tuberculosis
Tuberculosis disebabkan oleh M.tuberculosis. Mycobacterium
tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm
dan panjang 1 – 4 μm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes),
trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacteria
lsulfolipids yang berperan dalam virulensi.
Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90)
yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang
terdapat pada diniding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks
tersebut menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna
tersebut dengan larutan asam – alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen
M.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi
6

monoklonal. Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat


molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada
juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok
antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).

4. Manifestasi Klinis
a. Gejala Utama
Batuk terus menerus dan berdahak selama 2 (dua) minggu atau
lebih.
b. Gejala Tambahan
1. Dahak bercampur darah
2. Batuk darah
3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada
4. Badan lemah nafsu makan menurun, berat badan turun rasa
kurang enak badan (malaise) berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan deman meriang lebih dari sebulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru
selain tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke UPK
dengan gejala tersebut diatas harus dianggap sebagai seorang
“Suspek Tuberkulosis” atau tersangka penderita TBC dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

5. Cara Penularan
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
7

kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan


yang gelap dan lembab.
d. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut.

6. Risiko Penularan
a. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan
dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru
dengan BTA negatif.
b. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk
of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang
berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti
10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
c. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
d. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif
menjadi positif.

7. Faktor Risiko Terjadinya Tuberculosis

Gambar 1. Faktor Risiko Terjadinya Tuberculosis


8

8. Penegakan Diagnosis
1. Diagnosis tuberkulosis pada orang dewasa
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis
hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga
spesimen SPS BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan
lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS
diulang.
a. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita TB positif.
b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB maka pemeriksaan
dahak SPS diulangi.
c. Apabila fasilitas memungkinkan maka dilakukan pemeriksaan
lain misalnya biakan.
Bila ketiga spemen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik
spektrum luas (misalnya Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-
2 minggu bila tida ada perubahan namun gejala klinis tetap
mencurigakan TB ulangi pemeriksaan dahak SPS.
a. Kalau hasil SPS positif diagnosis sebagai penderita TB BTA
positif.
b. Kalau hasil SPS tetap negatif lakukan pemeriksaan foto rontgen
dada untuk mendukung diagnosis TB.
c. Bila hasil rontgen mendukung TB didiagnosis sebagai penderita
TB BTA negatif rontgen positif.
d. Bila hasil rontgen tidak di dukung TB penderita tersebut bukan
TB.
UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen penderita dapat
dirujuk untuk foto rontgen dada.
9

Gambar 2 : Alur Diagnosis Tuberculosis Pada Orang Dewasa


2. Diagnosis tuberkulosis pada anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis
baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk
bukan merupakan gejala utama.
Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB
anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor. Unit Kerja
Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring
system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang
dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program
10

nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak. Lihat


tabel tentang sistem pembobotan (scoring system) gejala dan
pemeriksaan penunjang.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem
skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6),
harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi
lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan,
dan lain lainnya.
Tabel 1. Sistem Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Idak Jelas Laporan BTA positif
keluarga,
BTA
negatif atau
tidak tahu,
BTA tidak
jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm,atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat Bawah garis Klinis gizi
badan/Keadaan merah (KMS) buruk
Gizi atau BB/U (BB/U <
<80% 60%)
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab jelas
Batuk ≥ 3 minggu

Pembesaran ≥ 1 cm, jumlah


11

Kelenjar limfe > 1, tidak


koli, aksila, nyeri
inguinal
Pembengkakan Ada
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto Toraks Normal/tidak Kesan TB
jelas
Jumlah

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tuberkulin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (intrakutan)
dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang
dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter
transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam
milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm (pada gizi
baik), atau >5 mm pada gizi buruk.
Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TB dan
kemungkinan ada TB aktif pada anak. Namun uji tuberkulin dapat
negatif pada anak TB dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat
berat pemberian imunosupresif, dll). Jika uji tuberkulin meragukan
dilakukan uji ulang.
b. Foto Rontgen Dada
Gambar rontgen TB paru pada anak tidak khas dan interpretasi
foto biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis
atau underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat
dengan pembesar kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal.
12

Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai TB adalah :


1) Milier
2) Atelektasis/kolaps konsolidasi
3) Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
4) Konsolidasi (lobus)
5) Reaksi pleura dan atau efusi pleura
6) Kalsifikasi
7) Bronkiektasis
8) Kavitas
9) Destroyed lung
Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen
harus dicurigai TB. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA
(Postero-Anterior) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja.
Umumnya diagnosis TB paru ditegakkan dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis, namun pada kondisi tertentu perlu
dilakukan pemeriksaan rontgen. Namun terdapat indikasi bagi
pemeriksaan rontgen dada.
c. Suspek dengan BTA Negatif
Setelah diberikan antibiotik spektrum luas tanpa ada perubahan
periksa ulang dahak SPS. Bila hasilnya tetap negatif lakukan
pemeriksaan foto rontgen dada.
d. Penderita dengan BTA positif
Hanya pada sebagian kecil dari penderita dengan hasil
pemeriksaan BTA positif yang perlu dilakukan pemeriksaan
fotorontgen dada yaitu :
a. Penderita tersebut diduga mengalami komplikasi, misalnya
sesak nafas berat yang memelurkan penanganan khusus contoh
Pneumotorak (adanya udara didalam ronggo pleura), Pleuritis
eksudativa.
b. Penderita yang sering hemoptisis berat untuk menyingkirkan
kemungkinan bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat).
13

c. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif pada


kasus ini pemeriksaan foto rontgen dada diperlukan untuk
mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
e. Pemeriksaan Mikrobiologi dan Serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak
biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat
pada anak. Pemeriksaan BTA secara biakan (kultur) memerlukan
waktu yang lama cara baru untuk mendeteksi kuman TB dengan cara
PCR (Polymery Chain Reaction) atau Bactec masih belum dapat
dipakai dalam klinis praktis.
Demikian juga pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap,
Mycodot dan lain-lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut
untuk pemakaian dalam klinis praktis.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),
S (Sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
potdahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di UPK.
S (Sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
14

10. Upaya Penanggulangan Tuberculosis


Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan
strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai
strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-
efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik
(clinical trials), pengalaman pengalaman terbaik (best practices), dan
hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua
dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat
menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien,
prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan
memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens
TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik
dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan
strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun
1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu
intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan
kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci :
1. Komitmen politis.
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB
dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung
pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara
keseluruhan.
15

Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh kemitraan global


dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan memperluas
strategi DOTS sebagai berikut :
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS.
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya.
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan.
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah
maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat.
6. Melaksanakan dan mengembangkan riset.

11. Pengobatan
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Tabel 2. Jenis, Sifat dan Dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis yang
Direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 15
(12-18) (12-18)
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)
16

b. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut :
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
Tahap Awal (Intensif)
1. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
17

c. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia :
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan
kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT
kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk
paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
3. Terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep.
4. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
18

Paduan OAT dan peruntukannya


1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
a. Pasien baru TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Berat Tahap intensif Tahap lanjutan 3 kali
Badan tiap hari selama 56 hari seminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu
RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 4. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 1


Tahap Lama Dosis per hari/kali Jumlah
Pengobatan Pengobatan hari/kali
menelan
obat
Tablet Kaplet Tablet Tablet
Isoniazid rifampisin Pirazinamid etambutol
@ 300 mgr @ 450 mgr @ 500 mgr @250 mgr
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 45
19

2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang
telah diobati sebelumnya :
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default).

Tabel 5. Dosis Untuk Panduan OAT KDT Kategori 2


Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan
Badan (RHZE (150/75/400/275)+S 3 kali seminggu
RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4 KDT + 500 2 tab 4 KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
mg Streptomisin inj. Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 3 tab 4 KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
mg Streptomisin inj. Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 4 tab 4 KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
mg Streptomisin inj. Etambutol
≥ 71 kg 5 tab 4KDT + 1000 5 tab 4 KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
mg Streptomisin inj. Etambutol

Tabel 6. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Pengobatan Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptom Jumlah
Pengobatan Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet @ isin hari/kali
@300 @ 450 @ 500 mgr @250 400 mgr injeksi menelan
mgr mgr mgr obat
Tahap intensif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis harian) 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
Tahap lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu)
20

Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal
untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat
badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan
khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml
(1ml = 250mg).

3. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk
tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28
hari).
Tabel 7. Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 8. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
@300 @ 450 @ 500 mgr
@ 250 menelan
mgr mgr
mgr obat
Tahap intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis harian)
21

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan


aminoglikosida (misalnya Kanamisin) dan golongan kuinolon
tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi
yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah
daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
4. Tatalaksana TB Anak

Skor >6

Beri OAT selama 2 bulan


dan evaluasi

Respon (+) Respon (-)

Lanjut terapi Teruskan terapi


dan cari penyebab lain
Gambar 3. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak
Pada Unit Pelayanan Kesehatan Dasar

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan


cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik
klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak
merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologi tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
22

Kategori Anak (2RHZ/4RH)


Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan
diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik
pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan
dengan berat badan anak.

Tabel 9. Dosis OAT Kombipak Pada Anak


Jenis obat BB<10 kg BB 10-19 kg BB 20-32 kg
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Piracinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel 10. Dosis OAT KDT pada anak


Berat badan 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 kg 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
c. Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
digerus

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak
erat dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan
menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem
23

didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan
dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah
mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan
pencegahan selesai.

12. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakberhasilan Pengobatan


Banyak faktor yang mempengaruhi pemberantasan TB paru antara
lain sikap petugas kesehatan dalam menangani pasien, ketersediaan obat
dan faktor penderitanya sendiri.
Menurut Amira Permatasari (2005), mengemukakan disamping
faktor medis, faktor sosial ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku yang
sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan sebagaimana diuraikan di
bawah ini:
A . Faktor Sarana
1. Tersedianya obat yang cukup dan kontinu.
2. Dedikasi petugas kesehatan yang baik.
3. Pemberian regiment OAT yang adekuat.
B. Faktor penderita
1. Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru.
Cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat,
2. Cara menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi.
Cukup istirahat, hidup teratur dan tidak minum alcohol atau
merokok.
3. Cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak
membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan
sapu tangan, jendela rumah cukup besar untuk mendapat lebih
banyak sinar matahari.
4. Sikap tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru
adalah penyakit infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat
dengan benar.
5. Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh.
24

C. Faktor keluarga dan masyarakat lingkungan


Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan
seseorang dengan cara selalu mengingatkan penderita agar makan obat,
pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan
memberi semangat agar tetap rajin berobat.

D. Manajemen
1. Definisi Manajemen
Menurut Griffin (2000), manajemen diartikan sebagai sebuah proses
perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan
sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Efektif
berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara
efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar,
terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.

2. Manajemen Puskesmas
Untuk terselenggaranya berbagai upaya kesehatan yang sesuai
dengan azas penyelenggaraan puskesmas, perlu ditunjang oleh
manajemen puskesmas yang baik. Manajemen puskesmas adalah
rangkaian kegiatan yang bekerja secara sistematik untuk menghasilkan
luaran puskesmas yang efektif dan efisien. Rangkaian kegiatan sistematis
yang dilaksanakan oleh Puskesmas membentuk fungsi-fungsi
manajemen.
Ada tiga fungsi manajemen Puskesmas yang dikenal yakni
Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian, serta Pengawasan dan
Pertanggungjawaban (pada masa sebelumnya fungsi manajemen ini lebih
dikenal dengan P1, P2, P3 yaitu P1 sebagai Perencanaan, P2 sebagai
Penggerakan Pelaksanaan dan P3 sebagai Pengawasan, Pengendalian dan
Penilaian). Semua fungsi manajemen tersebut harus dilaksanakan secara
terkait dan berkesinambungan.
25

BAB III
METODE PENERAPAN KEGIATAN

A. Keadaan Umum Kecamatan Bulu


1. Wilayah Kecamatan Bulu
Kecamatan Bulu merupakan salah satu Kecamatan di Lingkungan
Kabupaten Sukoharjo dengan luas wilayah 41,06 Ha yang merupakan
9,40 persen dari luas Kabupaten Sukoharjo. Kecamatan Bulu terdiri dari
12 desa. Desa terluas adalah Desa Bulu dengan luas 493 Ha dan wilayah
terkecil adalah Desa Tiyaran dengan luas 136 Ha.
Luas wilayah menurut jenis penggunaan tanah di Kecamatan Bulu
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 11. Jenis Penggunaan Tanah Di Kecamatan Bulu
JENIS TANAH LUAS TANAH (Ha)
Tanah Sawah 1.117
Tanah Tegal 756
Pekarangan 1.439
Hutan Negara 378
Lain-lain 696

Dari data diatas terlibat bahwa penggunaan tanah untuk pekarangan


paling luas yaitu 1.439 Ha.

25
26

Gambar 4. Peta Wilayah Kecamatan Bulu

2. Keadaan Penduduk Kecamatan Bulu


a. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk
Jumlah penduduk Kecamatan Bulu pada pertengahan tahun
2012 adalah 51.611 jiwa dengan jumlah penduduk terbesar adalah
Desa Ngasinan yaitu 5.691 jiwa, sedangkan jumlah penduduk
terkecil Desa Karangasem yaitu 3.512 jiwa.
Rata-rata kepadatan penduduk 1177 jiwa setiap kilometer
persegi. Desa terpadat adalah Lengking 1.690 (jiwa/km2). Desa
dengan kepadatan terendah adalah Desa Sanggang yaitu 621
jiwa/km2.
Jumlah rumah tangga (KK) di Kecamatan Bulu pertengahan
tahun 2012 sebanyak 12.251 KK. Perbandingan penduduk laki-laki
dengan perempuan pada pertengahan tahun 2012 sebesar 0,971, hal
ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih kecil
dibandingkan penduduk perempuan. Dari jumlah seluruh penduduk
terdiri dari 25.425 laki-laki dan 26.186 perempuan.
27

b. Kondisi Sosial Ekonomi


Tabel 12. Kondisi Ekonomi
No MATA PENCAHARIAN JUMLAH
1 Petani 10.718 Jiwa
2 Buruh 2.634 Jiwa
3 TNI/POLRI 56 Jiwa
4 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 490 Jiwa
5 Lain-lain 9.408 Jiwa

Tabel 13. Sarana Perekonomian


No TEMPAT PEREKONOMIAN JUMLAH
1 Pasar umum 3
2 Bank 2
3 KUD 1
4 Badan-badan Kredit 2
5 Toko 41
6 Kios 157

B. Profil Puskesmas Bulu


1. Dasar
Melalui UU no 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah
menetapkan bidang kesehatan merupakan salah satu kewenangan wajib
yang harus dilaksanakan Kabupaten. Sebagai pedoman teknis telah
banyak disusun peraturan antara lain : Kepmenkes RI Nomor
574/Menkes/SK/VI/2000 tentang Kebijakan Pembangunan Kesehatan
Menuju Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi
Sehat dan Kabupaten Sehat dan Kepmenkes RI Nomor
1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah.
28

2. Visi
Visi merupakan cita-cita dan arah atau tujuan dari suatu organisasi.
Adapun Visi Puskesmas Bulu adalah “Menjadikan Puskesmas Bulu
Sebagai Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat yang Adil, Bermutu dan
Profesional Agar Tercapai Kecamatan Bulu yang Sehat Dan Mandiri
Menuju Millenium Development Goals Tahun 2015”.
3. Misi
Misi mencerminkan peran, fungsi, dan kewenangan Puskesmas Bulu
yang secara teknis bertanggung jawab terhadap pencapaian tujuan dan
sarana. Adapun misi Puskesmas Bulu adalah :
1. Melaksanakan upaya pelayanan kesehatan dasar yang bermutu.
2. Memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan.
3. Meningkatkan mutu profesionalisme dengan semangat kekeluargaan
dan bertanggung jawab.
4. Mengelola dan meningkatkan sumber daya yang ada untuk mencapai
tujuan secara efektif efisien.
5. Menggerakan pembangunan berwawasan kesehatan.
6. Mendorong dan membina peran serta masyarakat menjadi hidup
sehat.
4. Motto
Pelayanan cepat tindakan cepat dan penganan profesional.
5. Strategi
Strategi pelaksanaan pembangunan kesehatan dengan memperhatikan
faktor-faktor kunci penentu keberhasilan sebagai berikut :
1. Komitmen semua pihak yang meliputi kesamaan pemahaman
tentang pentingnya kesehatan sesuai dengan prinsip paradigma sehat.
2. Meningkatkan citra positif pelayanan kesehatan diberbagai lapisan
masyarakat.
3. Kelangsungan dan keselarasan pembangunan kesehatan antara lintas
program dan lintas sektoral.
29

4. Ketersediaan, pemerataan dan meningkatkan kemampuan sumber


daya manusia yang berkualitas dan sesuai kebutuhan.
5. Kecukupan proporsi alokasi pembiayaan kesehatan dan tersedianya
pembiayaan kesehatan bagi kelompok rentan/miskin serta pelayanan
yang bersifat Public Good termasuk pembiayaan kejadian luar biasa
dan penanggulangan bencana.
6. Upaya Pembangunan Puskesmas Bulu
Puskesmas Bulu berusaha untuk mewujudkan hal tersebut dengan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan merencanakan dan
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mendukung tujuan tersebut dengan
mengembangkan konsep mutu di lingkungan kerja puskesmas. Kegiatan
tersebut secara garis besar meliputi :
1. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pemenuhan terhadap prosedur atau
pedoman yang seharusnya dilaksanakan oleh setiap Puskesmas.
2. Memberdayakan staf puskesmas sesuai dengan Tupoksi masing-
masing karyawan sesuai dengan profesi dan kemampuannya.
Untuk melaksanakan hal tersebut, sebagai perwujudan upaya
peningkatan mutu pelayanan kesehatan dasar dipuskesmas, maka
Puskesmas Bulu mencoba untuk menyususn perencanaan uaya
pembangunan strategis di puskesmas, yaitu 9 Upaya Kesehatan Berbasis
Masyarakat dan 10 Program Pengembangan.
1. Sembilan upaya kesehatan berbasis masyarakat
a) Jumlah PKD : 11 PKD
b) Jumlah Poskestren :1 Poskestren
c) Jumlah Desa Siaga : 12 Desa
d) Jumlah Forum komunikasi Desa : 12 FKD
e) Jumlah Posyandu Aktif Pratama :- Pos
f) Jumlah Posyandu Aktif Madya : 12 Pos
g) Jumlah Posyandu Aktif Mandiri :5 Pos
h) Jumlah Posyandu Aktif Purnama : 43 Pos
30

i) Jumlah Pos Obat :- Pos


j) Jumlah Pos Upaya Kesehatan Kerja :- pos
2. Program pengembangan yang dilaksanakan
a) Upaya Kesehatan Sekolah : ya
b) Upaya Kesehatan Olahraga : ya
c) Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat : ya
d) Upaya Kesehatan Kerja : ya
e) Upaya Kesehatan Gigi Dan Mulut : ya
f) Upaya Kesehatan Jiwa : ya
g) Upaya Kesehatan Indera : ya
h) Upaya Kesehatan Usia Lanjut : ya
i) Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional : tidak
7. Sarana dan Prasarana Puskesmas
Wilayah kerja Puskesmas Bulu meliputi wilayah Kecamatan.
Puskesmas mempunyai tanggung jawab terhadap wilayahnya artinya
Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas
pemeliharaan kesehatan diwilayah kerjanya.
a. Wilayah Kerja
Puskesmas Kecamatan Bulu mempunyai wilayah 12 Desa :
 Desa Sanggang - Desa Tiyaran
 Desa Kamal - Desa Karangasem
 Desa Puron - Desa Gentan
 Desa Malangan - Desa Kedungsono
 Desa Kunden - Desa Ngasinan
 Desa Bulu - Desa Lengking
Dengan batas-batas wilayah kerja sebagai berikut :
 Sebelah utara : Kecamatan Nguter
 Sebelah Selatan : Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri
 Sebelah Barat : Kecamatan Tawangsari
 Sebelah Timur : Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri
31

b. Sarana
 Puskesmas Induk Bulu : 1 Unit
 Puskesmas Pembantu :3 Unit
 Puskesmas Rawat Inap : 1 Unit
 Pusling : 12 Unit
 PKD : 11 Unit
 Mobil Pusling :2 Buah
 Sepeda Motor : 10 Buah
 Posyandu Balita : 61 Pos
 Posyandu Lansia : 67 Pos
 Posyandu Pratama :0 pos
 Posyandu madya : 13 pos
 Posyandu purnama : 44 pos
 Posyandu mandiri :4 pos
 Komputer : 8 buah + 1 laptop + 1 Notebook
c. Ketenagaan
Klasifikasi pegawai berdasarkan fungsi :
Jumlah pegawai puskesmas bulu ada 63 :
1) Kepala puskesmas : 1 orang
2) Dokter umum : 3 orang (2 PNS, 1 PTT)
3) Dokter gigi : 1 orang
4) Paramedis : 11 orang
5) Bidan : 26 orang (bidan PNS 13 orang,
Bidan Desa 13 orang)
6) Sanitarian/penyehatan lingkungan : 1 orang
7) Laboratorium : 1 orang
8) SAA : 1 orang
9) SPAG : 1 orang
10) TU : 1 orang
11) Pekarya : 2 orang
32

12) Gizi : 1 orang


13) Pembantu paramedis : 2 orang
14) Tenaga fisioterapi : 1 orang
15) Tenaga radiologi : 1 orang
16) Tenaga rekammedik : 1 orang
17) Tenaga kebersihan : 1 orang
18) Tenaga jaga malam : 1 orang
19) Sopir : 1 orang
20) Masak cuci : 1 orang
21) Tenaga magang : 5 orang
d. Gedung dan Tempat Pelayanan
1) Gedung Puskesmas Induk (rawat jalan) dan rawat jalan
Di tanah kas desa Bulu dengan luas tanah 1.028 m2, Jalan
Laks. Yos Sudarso No. 2 Bulu Telp. (0271) 7002098
Kabupaten Sukoharjo.
2) Gedung puskesmas pembantu
 Desa Sanggang (Selasa, Sabtu)
 Desa Lengking (Senin, Rabu, Jumat)
 Desa Karangasem (Senin, Kamis)
3) Puskesmas Keliling
 Desa Sanggang
 Desa Kamal
 Desa Gentan
 Desa Kedungsono
 Desa Tiyaran
 Desa Bulu
 Desa Kunden
 Desa Puron
 Desa Malangan
 Desa Lengking
33

 Desa Ngasinan
 Desa Karangasem
4) Poliklinik Desa/PKD
 Desa Sanggang
 Desa Kamal
 Desa Gentan
 Desa Kedungsono
 Desa Tiyaran
 Desa Bulu
 Desa Kunden
 Desa Puron
 Desa Malangan
 Desa Lengking
 Desa Ngasinan
 Desa Karangasem
8. Tugas Pokok dan Fungsi
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan, yang
merupakan perangkat kabupaten untuk melaksanakan tugas pokok
dalam menyelenggarakan pelayanan pembinaan dan pengembangan
upaya kesehatan secara paripurna kepada masyarakat di wilayah
kerjanya.
Untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi Puskesmas
tersebut diatas, puskesmas mempunyai fungsi :
1. Sebagai pusat pembangunan wilayah berwawasan kesehatan.
2. Sebagai pusat pemberdayaan masyarakat.
3. Pelayanan kesehatan masyarakat primer.
4. Pusat pelayanan kesehatan perorangan.
Dalam melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan tingkat pertama
pada masyarakat, Puskesmas melaksanakan Progam Kesehatan Dasar
dan Progam Kesehatan Pengembangan.
34

Adapun progam kesehatan dasar yang dilaksanakan adalah :


1. Promosi kesehatan
2. Kesehatan lingkungan
3. Kesehatan ibu dan anak
4. Perbaikan gizi
5. Pencegahan dan pemberantasan penyakit
6. Pengobatan
9. Susunan Organisasi
Susunan organisasi Puskesmas Bulu, terdiri dari:
a. Kepala Puskesmas
b. Sub. Bag. Tata Usaha
c. Unit P2PL
d. Unit Informasi dan Data
e. Unit Promizi
f. Unit Pelayanan Kesehatan
g. Team Desa
(Data kepegawaian terlampir)

C. Daftar Masalah
1. Cakupan suspek TB paru yang rendah.
2. Kurangnya pemberian ASI eksklusif.
3. Kasus gizi buruk.
4. Perilaku hidup bersih dan sehat.
5. Penemuan kasus kusta yang masih rendah.
6. Banyaknya warga yang belum memiliki jamban.

D. Analisis Masalah
Masalah yang akan dianalisa adalah kurangnya cakupan penemuan BTA
Positif yang rendah. Masalah tersebut kami pilih dikarenakan kasus TB
merupakan penyakit menular yang membutuhkan deteksi dini serta
pengobatan intensif untuk mencegah terjadinya komplikasi dan menurunkan
35

angka penderita TB. Oleh karena itu Rekapitulasi pasien TB di Puskesmas


Bulu tahun 2013 didapatkan dari data sekunder register TB Upaya Pelayanan
Kesehatan Puskesmas Bulu tahun 2013.
Tabel 14. Laporan Register TB Upaya Pelayanan Kesehatan
Puskesmas Bulu Tahun 2013

No. Desa Jumlah Jumlah suspek yang Jumlah Suspek Target Jumlah
penduduk harus diperiksa yang diperiksa BTA (+) BTA ( +)

1. Sanggang 3.334 40 12 4 1

2. Kamal 3.724 40 18 4 2

3. Gentan 4.673 40 22 4 2

4. Kedungsono 4.853 50 20 5 2

5. Tiyaran 5.136 50 17 5 1

6. Bulu 3.465 40 28 4 3

7. Kunden 4.114 40 11 4 -

8. Puron 3.799 40 7 4 1

9. Malangan 4.758 40 12 4 1

10. Lengking 3.631 40 8 4 -

11. Ngasinan 5.379 50 17 5 2

12. Karangasem 3.465 40 12 4 1

Luar wilayah - 2 - -

TOTAL 50.997 510 187 51 16


36

Di Puskesmas Bulu, jumlah suspek TB yang telah diperiksa sejumlah 187


dari target jumlah suspek TB yang seharusnya diperksa sebanyak 510 dari 12 desa
di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo. Temuan TB BTA (+) dari bulan
Januari - September 2013 tercatat 16 penderita TB BTA (+) dari target temuan TB
BTA (+) sebanyak 51.
Penyebab masih kurangnya angka penemuan tuberculosis di Kecamatan Bulu
tahun 2013 antara lain dikarenakan :
1. Man
Kurangnya jumlah petugas dalam upaya penemuan kasus suspek TB paru
a. Kurangnya informasi yang diberikan kepada masyarakat tentang
bahaya TB paru.
b. Kurangnya kompetensi dan kesadaran petugas puskesdes tentang
pentingnya penemuan kasus suspek TB paru.
c. Kurangnya kerjasama antar tenaga kesehatan untuk menemukan kasus
suspek TB paru.
2. Method
Kegagalan program penemuan kasus suspek TB paru
a. Kurang tegasnya komitmen politik dari pemerintah baik pusat maupun
daerah terhadap penemuan kasus suspek TB paru.
b. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan
pemantauan, pencatatan, dan pelaporan yang standar).
c. Pelaksanaan yang kurang optimal dari rencana penemuan kasus suspek
TB paru.
3. Material
Kurangnya fasilitas yang mendukung untuk mendiagnosis TB BTA (+)
a. Kurangnya pemeriksaan laboratorium yang memadai untuk
mendiagnosis TB.
b. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada derah yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat.
37

4. Money
Kurangnya biaya untuk membantu proses penemuan kasus suspek TB paru
a. Kurangnya dana dari pemerintah daerah setempat untuk menjalankan
program penemuan kasus suspek TB paru di setiap desa yang ada di
kecamatan Bulu.

Tabel 15. Matrikulasi Daftar Masalah


Efektifitas Efisiensi Jumlah
No. Daftar Masalah M I V (C) MxIxV
C
Kurangnya jumlah petugas dalam upaya 3 3 3
1. 5 5,4
penemuan kasus suspek TB paru.
2. Kurangnya kompetensi dan kesadaran 4 5 4 2 40
petugas puskesdes tentang pentingnya
penemuan kasus suspek TB paru.
3. Kurangnya kerjasama antar tenaga kesehatan 4 5 3 3 20
untuk menemukan kasus suspek TB paru.
4. Kurang tegasnya komitmen politik dari 3 3 4 4 9
pemerintah baik pusat maupun daerah
terhadap penemuan kasus suspek TB paru.
5. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB 4 5 3 2 30
(kurang terakses oleh masyarakat, penemuan
kasus /diagnosis yang tidak standar, obat
tidak terjamin penyediaannya, tidak
dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar).
6. Pelaksanaan yang kurang optimal dari 4 4 3 3 16
rencana penemuan kasus suspek TB paru.
7. Kurangnya pemeriksaan laboratorium yang 3 5 3 3 15
memadai untuk mendiagnosis TB.
38

8. 3 3 3 4 6,75
Infrastruktur kesehatan yang buruk.

9. Kurangnya dana dari pemerintah daerah 4 5 3 4 15


setempat untuk menjalankan program
penemuan kasus suspek TB paru.
Keterangan: M: magnitude, V: vunerability, I: importancy, C: cost
Skala :
1. Sangat Rendah
2. Rendah
3. Sedang
4. Tinggi
5. Sangat Tinggi (Azwar, 2003).

Tabel 16. Matrikulasi Alternatif Pemecahan Masalah


Prioritas Masalah
Kurangnya kompetensi dan kesadaran petugas puskesdes tentang pentingnya penemuan
kasus suspek TB paru.
Efektifitas Efisiensi Jumlah
No. Daftar Alternatif Pemecahan Masalah M I V (C) MxIxV
C
Penyelenggaraan In House Training tentang 4 5 4 2 40
1.
penemuan kasus suspek TB paru.
2. Mengikutsertakan petugas Puskesdes pada 4 5 3 4 15
seminar tentang TB paru.
3. Mengadakan studi banding petugas Puskesdes 4 5 3 3 20
ke wilayah lain.
4. Penguatan komitmen dengan dokter praktek 3 3 4 4 9
swasta/klinik bersama dalam penemuan kasus
suspek TB paru.
39

Tabel 17. Analisis SWOT Prioritas Jalan Keluar


Penyelenggaraan In House Training tentang Penemuan Kasus Suspek TB Paru
(MxIxV:C= 40)
S: W:
− Petugas puskesdes mendapatkan ilmu − Kurangnya kesadaran petugas
mengenai penemuan kasus suspek TB puskesdes untuk aktif dalam upaya
paru. menemukan kasus suspek TB paru.
− Petugas puskeskes lebih memahami
pentingnya upaya penemuan kasus
suspek TB paru.
O: T:
− Adanya peraturan khususnya penyakit − Ketidakpatuhan pasien terhadap
menular (TB paru). edukasi yang diberikan petugas.
− Dukungan dari pihak terkait.
40

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Usulan kegiatan yang akan dilaksanakan adalah mengadakan In House


Training petugas Puskesdes tentang TB paru serta menanamkan kesadaraan yang
tinggi pada petugas bahwa TB merupakan penyakit menular sehingga harus
mendapatkan perhatian lebih. Berikut adalah rincian pelaksanaan In House
Training yaitu :
1. Tujuan umum
Meningkatkan penemuan kasus suspek TB di Kecamatan Bulu
Kabupaten Sukoharjo.
2. Tujuan khusus
a. Mengoptimalkan puskesmas sebagai pelayanan kesehatan tingkat dasar
yang bersifat komprehensif dan holistik.
b. Mengoptimalkan peran petugas puskesdes terhadap peningkatan
penemuan kasus suspek TB di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo.
3. Sasaran
a. Bidan desa
b. Petugas PKD
c. Pokja
4. Metode
Pelatihan In House Training untuk petugas puskesdes dalam penemuan
kasus suspek TB paru.
5. Materi
a. Materi untuk penemuan kasus suspek TB paru
b. Materi tentang konseling TB paru pada masyarakat
6. Pelaksana
a. Kepala Puskesmas dan Koordinator bidang P2PL
b. Tenaga kesehatan

40
41

7. Waktu dan lokasi


a. Tanggal
Disesuaikan agenda rapat puskesmas
b. Lokasi
Poliklinik Desa (PKD)
8. Biaya
Diperoleh dari dana pemerintah atau APBD
42

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Untuk meningkatkan cakupan penemuan kasus suspek TB paru di
Puskesmas Bulu Kabupaten Sukoharjo maka perlu dilakukan peningkatan
kompetensi petugas dengan In House Training untuk menemukan suspek TB
yang diikuti oleh bidan desa, petugas PKD, pokja. Hal ini diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan serta kesadaran petugas akan penemuan kasus TB.

B. Saran
Dalam pelaksanaan pelatihan tersebut dibutuhkan tenaga kesehatan
yang memiliki ketekunan dan komitmen tinggi, serta diperlukan adanya
pembiayaan yang sesuai sehingga program-program tersebut dapat berjalan
dengan lancar.

42
43

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Tjandra Yoga, dkk., 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberculosis Edisi II. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Afrimelda&Ekowati, 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Case
Detection Rate Program Tuberkulosis Paru Puskesmas Propinsi Sumatera
Selatan Tahun 2009. Jurnal Kesehatan Bina Husada. Diakses pada
www.amarmuntaha.com/wp-content/uploads/2012/02/Afrimelda.pdf
Azwar A., 2005. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara
Sumber Widiya
Griffin, Ricky W.,2000. Manajemen Personalia.Jakarta : Erlangga
Mubarak, 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas, Konsep dan Aplikasi, Salemba
Medika
Mustika, Diaeri, 2010. Panduan Pengelolaan Logistik. Jakarta : Departemen
Keehatan RI

43

Anda mungkin juga menyukai