Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

MOLA HIDATIDOSA

Oleh:
Dewi Nur Azizah
1102011077

Pembimbing:
dr. Adi Widodo, SpOG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RS. POLRI TK.I IR SAID SUKANTO
28 JANUARI 2019 – 06 APRIL 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak
ditemukan janin hampir seluruh villi korealis mengalami perubahan hidrofili dengan ciri-ciri
stroma villi korealis langka vaskularisasi dan edematus. Jaringan trofoblast pada villus
berploriferasi, dan mengeluarkan hormon yaitu hCG dalam jumlah yang lebih besar daripada
kehamilan biasa. Gambaran yang diberikan ialah seperti buah anggur.1

Mola hidatidosa adalah rare mass atau pertumbuhan yang terbentuk di dalam rahim
pada permulaan kehamilan. Mola hidatidosa atau kehamilan mola merupakan hasil dari
produksi jaringan berlebihan yang seharusnya berkembang menjadi plasenta. Mola hidatidosa
merupakan penyakit trofoblastik gestasional (PTG).2

Frekuensi mola banyak ditemukan di negara-negara asia, Afrika dan Amerika latin dari
pada di negara-negara barat. Mola hidatidosa merupakan penyakit wanita dalam masa
reproduksi antara umur 15 tahun sampai 45 tahun. Penderita dengan kehamilan mola
mempunyai risiko untuk terjadinya kehamilan mola juga pada kehamilan berikutnya. Insiden
molahidatidosa ulangan tersebut dilaporkan sebesar 0,6-2,0% dari seluruh kehamilan yang
terjadi setelahnya di Amerika Utara dan Asia. Penderita dengan kehamilan molahidatidosa
ulangan tersebut mempunyai risiko yang meningkat menjadi penyakit trofoblas ganas yang
persisten pada fase penyakit mola berikutnya.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak
ditemukan janin hampir seluruh villi korealis mengalami perubahan hidrofili dengan ciri-
ciri stroma villi korealis langka vaskularisasi dan edematus. Jaringan trofoblast pada villus
berploriferasi, dan mengeluarkan hormon yaitu hCG dalam jumlah yang lebih besar
daripada kehamilan biasa. Gambaran yang diberikan ialah seperti buah anggur.1

Mola hidatidosa adalah rare mass atau pertumbuhan yang terbentuk di dalam rahim pada
permulaan kehamilan. Mola hidatidosa atau kehamilan mola merupakan hasil dari produksi
jaringan berlebihan yang seharusnya berkembang menjadi plasenta. Mola hidatidosa
merupakan penyakit trofoblastik gestasional (PTG).2

B. Epidemiologi
Frekuensi mola banyak ditemukan di negara-negara asia, Afrika dan Amerika latin dari
pada di negara-negara barat. Mola hidatidosa merupakan penyakit wanita dalam masa
reproduksi antara umur 15 tahun sampai 45 tahun. Penderita dengan kehamilan mola
mempunyai risiko untuk terjadinya kehamilan mola juga pada kehamilan berikutnya.
Insiden mola hidatidosa ulangan tersebut dilaporkan sebesar 0,6-2,0% dari seluruh
kehamilan yang terjadi setelahnya di Amerika Utara dan Asia. Penderita dengan kehamilan
mola hidatidosa ulangan tersebut mempunyai risiko yang meningkat menjadi penyakit
trofoblas ganas yang persisten pada fase penyakit mola berikutnya.3

Dalam penelitian terbaru disebutkan bahwa insidensi mola hidatidosa bervariasi dari
0,57/1000 kehamilan hingga 2,0/1000 kehamilan. Insidensi tinggi berasal dari Asia
Tenggara dan Jepan. Sedangkan insidensi rendah berasal dari Amerika Utara, Australia,
Selandia Baru dan Eropa.4

Mola hidatidosa biasanya menyerang wanita pada usia reproduksi ekstrim. Wanita pada
masa remaja awal atau usia perimenopause adalah yang paling berisiko. Wanita yang
berusia lebih dari 35 tahun memiliki peningkatan risiko 2 kali lipat. Wanita yang berusia
lebih dari 40 tahun memiliki peningkatan risiko 5-10 kali dibandingkan dengan wanita yang
lebih muda. Jumlah paritas tidak mempengaruhi risiko.5
2
C. Klasifikasi
Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kehamilan mola parsial dan
kehamilan mola komplit. Pada kehamilan mola parsial, terdapat plasenta abnormal dan
sedikit perkembangan fetus. Pada kehamilan mola komplit terdapat plasenta abnormal
tetapi tanpa adanya fetus. Kedua bentuk mola tersebut disebabkan oleh masalah ketika
fertilisasi. Penyebab pasti dari masalah tersebut belum diketahui secara pasti.5

D. Etiologi
Etiologi penyakit trofoblas sampai saat ini belum juga diketahui dengan pasti. Namun ada
beberapa teori yang mencoba menerangkan terjadinya penyakit trofoblas yaitu teori
desidua, teori telur, teori infeksi dan teori hipofungsi ovarium.1

1. Teori desidua
Menurut teori ini terjadinya molahidatidosa ialah akibat perubahan-perubahan
degeneratif sel-sel trofoblas dan stroma vili korialis. Dasar teori ini adalah selalu
ditemukan desidual endometritis, pada binatang percobaan dapat terjadi molahidatidosa
bila pembuluh darah uterus dirusak sehingga terjadi gangguan sirkulasi pada desidua.

2. Teori telur
Menurut teori ini molahidatidosa dapat terjadi bila terdapat kelainan pada telur, baik
sebelum diovulasikan maupun setelah dibuahi.

3. Teori infeksi
Bagshawe, melaporkan bahwa ada sarjana yang dapat mengisolasi sejenis virus pada
molahidatidosa. Virus ini kemudian ditransplantasikan pada selaput korioalantoin
mudigah ayam, ternyata kemudian terjadi perubahan-perubahan khas menyerupai
molahidatidosa, baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Selain itu
molahidatidosa diduga disebabkan oleh toksoplasmosis, teori ini dikemukakan oleh
Bleier. Teori ini didasarkan pada penemuan toksoplasmosis Gondii dalam jumlah besar
pada darah penderita molahidatidosa.

4. Teori hipofungsi ovarium


Teori ini dikemukakan oleh Hasegawa, berdasarkan penelitian beberapa orang ahli
yaitu Courrier dan Gros yang melakukan kastrasi pada seekor kucing, 15-17 hari setelah
3
pembuahan. Ternyata kemudian pada plasentanya ditemukan perubahan-perubahan
yang menyerupai molahidatidosa. Karzafina melaporkan bahwa 60% penderita
molahidatidosa yang ditelitinya berumur 18–21 tahun, disertai oleh hipofungsi
ovarium. Smalbreak melaporkan bahwa dari hasil penelitiannya ditemukan angka
kejadian molahidatidosa yang tinggi pada perempuan muda, dimana fungsi seksualnya
masih imatur. Menurut Hasegawa molahidatidosa diduga disebabkan oleh teori
defisiensi estrogen, yang didukung oleh data-data penelitian yang melaporkan bahwa
60% penderita molahidatidosa berumur 18–21 tahun dan disertai hipofungsi ovarium.
Serta insidens molahidatidosa yang tinggi pada perempuan muda dan pada perempuan
tua dimana fungsi ovarium telah menurun.

Walaupun etiologi mola hidatidosa masih belum jelas, terdapat faktor-faktor yang
meningkatkan risiko terjadinya mola hidatidosa. Fator-faktor tersebut antara lain:6
1. Usia
Kehamilan mola komplit sering terjadi pada wanita pada usia remaja dan wanita berusia
lebih dari 45 tahun. Usia memiliki sedikit atau bahkan tidak ada pengaruh pada
kehamilan mola parsial.
2. Kehamilan mola sebelumnya
Apabila terdapat riwayat kehamilan mola sebelumnya, penderita memiliki
kemungkinan 1-2% dibandingkan 0,167% orang pada wanita yang tidak pernah
mengalami kehamilan mola. Apabila kehamilan mola terjadi dua kali atau lebih, maka
kemungkinananya meningkat menjadi 15-20%.
3. Ras
Kehamilan mola lebih sering terjadi di negara-negara Asia seperti Taiwan, Filipina dan
Jepang, serta beberapa Native American. Akan tetapi, pada beberapa tahun terakhir,
perbedaan insidensi pada komunitas tersebut dan populasi secara umum telah menjadi
lebih sedikit.

E. Patologi
Secara mikroskopik pada mola komplet terlihat trias:1,12
1. Proliferasi dari trofoblast bersifat difus.
2. Degenerasi hidrofik dari stroma villi bersifat difus.
3. Hilangnya pembuluh darah dan stroma bersifat difus.

4
Sedangkan pada mola parsialis struktur histologisnya bersifat:1,7-9
1. Campuran dari sel villi besar dan kecil; jumlahnya tidak menentu. Meningkatnya
inklusi pseudovilli. Kemudian akan terlihat pembuluh darah angioma melingkari villi
avaskular lainnya. stroma villi mempunyai struktur retikular, beberapa villi bersifat
fibrotik.
2. Proliferasi trofoblastik Lebih sedikit bila dibandingkan dengan mola hidatidosa
komplit, biasanya fokal dan kadang-kadang tidak ada.
3. Perubahan hidropik bersifat fokal, membesar pada trimester kedua. Pada trimester
pertama biasanya kecil, ireguler dan mempunyai villi fibrotik. Pada mola yang telah
lama terdapat sisterna yang besar, jarang terlihat pada aborsi hidropik.
4. Adanya fetus atau bagian janin yang nekrotik atau sel merah bernukleus juga amnion.

F. Patogenesis
Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis penyakit ini. Pertama,
teori missed abortion. Kematian mudigah pada usia kehamilan 3-5 minggu, saat di mana
seharusnya sirkulasi fetomaternal sudah terbentuk, menyebabkan gangguan peredaran
darah. Sekresi dari sel-sel yang mengalami hiperplasia dan menghasilkan substansi-
substansi yang berasal dari sirkulasi darah ibu, diakumulasikan ke dalam stroma villi
sehingga terjadi kista villi yang kecil-kecil. Cairan yang terdapat dalam kista tersebut
adalah cairan interstitial yang menyerupai cairan ascites atau edema, tetapi kaya akan
hCG.1

Kedua, adalah teori neoplasma dari Park, yang mengatakan bahwa yang abnormal adalah
sel-sel trofoblas, yang mempunyai fungsi yang abnormal pula, dimana terjadi resorpsi
cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan
gangguan peredaran darah dan kematian mudigah. Sebagian dari villi berubah menjadi
gelembung-gelembung berisi cairan jernih. Biasanya tidak ada janin, hanya pada mola
parsialis kadang-kadang ditemukan janin. Gelembung-gelembung ini sebesar butir kacang
hijau sampai sebesar buah anggur. Gelembung ini dapat mengisi seluruh kavum uterus.1

Pada pemeriksaan kromosom didapat poliploidi dan hampir pada semua kasus mola
susunan kromatin seksnya adalah wanita (46xx). Secara makroskopik, mola hidatidosa
mudah dikenal yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan
jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa millimeter sampai satu atau dua sentimeter.1
5
G. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul pada kehamilan mola adalah sebagai berikut.2
1. Pertumbuhan uterus abnormal, dimana ukuran uterus dapat lebih besar ataupun lebih
kecil daripada usia kehamilannya.
2. Mual dan muntah yang cukup berat sehingga memerlukan perawatan di Rumah Sakit.
3. Perdarahan pervaginam pada 3 bulan pertama kehamilan.
4. Gejalan hipertiroidisme seperti intoleransi panas, BAB cair, takikardia, gugup
berlebihan, kulit yang hangat dan lembab, tremor pada tangan, ataupun penurunan berat
badan yang sulit dijelaskan.
5. Gejala yang mirip dengan preeklampsia yang terjadi pada trimester pertama atau
permulaan trimester kedua seperti terkanan darah tinggi, pembengkakan pada kaki,
pergelangan kaki dan tungkai bawah (yang hampir selalu menjadi tanda mola
hidatidosa karena pada preeklampsia sangat jarang terjadi pada awal kehamilan).

H. Diagnosis
1. Anamnesis1,2,5
a. Terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari kehamilan
biasa.
b. Terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna tengguli tua atau
kecoklatan.
c. Pembesaran rahim yang tidak sesuai (lebih besar) bila dibandingkan dengan usia
kehamilan seharusnya.
d. Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada) yang
merupakan diagnosa pasti.

2. Gejala Klinis1,2,5,6
a. Perdarahan
Perdarahan uterus merupakan gejala mola hidatidosa yang paling umum ditemui.
Mulai dari sekedar spotting hingga perdarahan masif. Gejala perdarahan biasanya
terjadi antara bulan pertama sampai bulan ke tujuh dengan rata-rata minggu ke 12-
14. Dapat dimulai sesaat sebelum aborsi atau lebih sering dapat muncul secara
intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak hingga menyebabkan syok atau
kematian. Sebagai akibat dari perdarahan tersebut gejala anemia sering dijumpai
terutama pada wanita malnutrisi. Efek dilusi dari hipervolemia terjadi pada wanita
6
dengan mola yang lebih besar. Anemia defisiensi Fe sering ditemukan, demikian
pula halnya dengan kelainan eritropoiesis megaloblastik, diduga akibat asupan
yang tidak mencukupi karena adanya mual dan muntah disertai peningkatan
kebutuhan asam folat karena cepatnya proliferasi trofoblas. Perdarahan juga sering
disertai pengeluaran jaringan mola. Darah yang keluar berwarna kecoklatan.

b. Ukuran uterus bisa lebih besar atau lebih kecil (tidak sesuai usia kehamilan)
Pertumbuhan ukuran uterus sering lebih besar dan lebih cepat daripada
kehamilan normal, hal ini ditemukan pada setengah dari semua pasien mola. Ada
pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besarnya dengan kehamilan
normal, walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan
trofoblas tidak terlalu aktif sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya dying
mole. Uterus mungkin sulit untuk diidentifikasikan secara pasti dengan palpasi,
terutama pada wanita nullipara. Hal ini disebabkan karena konsistensinya yang
lembut di bawah dinding perut yang kaku. Pembesaran uterus karena kista theca
lutein multiple akan membuat sulit perbedaaan dengan pembesaran uterus biasa.

c. Tidak adanya aktifitas janin


Walaupun pembesaran uterus mencapai bagian atas simfisis, tidak ditemukan
adanya denyut jantung janin. Meskipun jarang, mungkin terdapat plasenta ganda
dengan kehamilan mola komplet yang bertumbuh bersamaan, sementara plasenta
yang satu dan janin terlihat normal. Juga walaupun jarang, mungkin terdapat mola
inkomplet pada plasenta yang disertai janin hidup.

d. Eklampsia dan preeklampsia


Preeklampsia pada kehamilan mola timbul pada trisemester ke 2. Eklamsia atau
preeklamsia pada kehamilan normal jarang terlihat sebelum usia kehamilan 24
minggu. Oleh karenanya preeklamsia yang terjadi sebelum waktunya harus
dicurigai sebagai mola hidatidosa.

e. Hiperemesis
Mual dan muntah yang signifikan dapat timbul sebagai salah satu gejala mola
hidatidosa.

7
f. Tirotoksikosis
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat,
namun gejala hipertiroid jarang muncul. Menurut Curry insidennya 1%, tetapi
Martaadisoebrata menemukan angka lebih tinggi yaitu 7,6%. Terjadinya
tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus.
Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadinya tirotoksikosis. Oleh
karena kasus mola dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka
Martaadisoebrata menganjurkan agar pada tiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-
tanda tirotoksikosis secara aktif. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai
prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun kemungkinan
terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid.
Peningkatan tiroksin plasma mungkin karena efek dari estrogen seperti yang
dijumpai pada kehamilan normal. Serum bebas tiroksin yang meningkat sebagai
akibat thyrotropin-like effect dari Chorionic Gonadotropin hormone. Terdapat
korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen tiroid tapi hanya kadar hCG yang
melebihi 100.000 IU/L yang bersifat tirotoksis.

Mola hidatidosa komplit:


a. Perdarahan pervaginam : gejala umum dari mola komplit. Jaringan mola terpisah
dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus mungkin membesar karena
sejumlah besar darah dan cairan gelap masuk ke dalam vagina. Gejala ini muncul
pada 97% kasus.
b. Hiperemesis : karena peningkatan secara ekstrem kadar hCG
c. Hipertiroidisme : kira-kira 7% pasien mengalami takikardi, tremor dan kulit yang
hangat.

Mola hidatidosa parsial


a. Pasien dengan mola hidatidosa parsial tidak memiliki gejala yang sama dengan
mola komplit. Pasien ini biasanya mempunyai gejala dan tanda seperti abortus
inkomplet atau missed abortion.
b. Perdarahan pervaginam
c. Adanya denyut jantung janin

8
3. Pemeriksaan Fisik1,5,6,7,9,12
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
a. Inspeksi
 Muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang
disebut muka mola (mola face).
 Kalau gelembung mola keluar dapat dilihat jelas.
b. Palpasi
 Uterus membesar tidak sesuai dengan usianya, terasa lembek.
 Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen dan juga gerak janin.
 Adanya fenomena harmonika: darah dan gelembung mola keluar, dan fundus
uteri turun, lalu naik lagi karena terkumpulnya darah baru.
c. Auskultasi
 Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin
 Terdengar bising dan bunyi khas
d. Pemeriksaan dalam
Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian janin,
terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina, serta
evakuasi keadaan serviks.

4. Pemeriksaan Penunjang1,2,5,6,7,9,12
a. Pemeriksaan sonde
Dengan perasat Hanifa Winkjosastro, kita masukkan sonde uterus. Jika sonde
masuk ke dalam kavum uteri tanpa tahanan dan dapat diputar 360o dengan deviasi
sonde kurang dari 10o, berarti merupakan kehamilan mola.

b. Pemeriksaan laboratorium
Pengukuran kadar β-hCG tidak lagi digunakan untuk menegakkan diagnosis mola
karena sudah digantikan oleh USG. Pemeriksaan serial diperlukan untuk
mendeteksi penyakit PTG yang persisten setelah pengeluaran mola. Yang harus
diperhatikan di sini adalah hormon β-hCG, karena karakteristik yang terpenting dari
penyakit ini adalah kemampuannya dalam memproduksi hormon β-hCG, sehingga
jumlah hormon ini lebih meningkat bila dibandingkan dengan kehamilan normal
pada usia kehamilan tersebut. Hormon ini dapat dideteksi di urin maupun dalam

9
serum penderita. Namun pemeriksaan yang dilakukan pada serum terpengaruh oleh
lebih sedikit variabel daripada yang di urin. Terdapat tiga jenis pemeriksaan β-hCG,
yaitu:
 β-hCG kualitatif serum, yang dapat mendeteksi kadar hCG > 5 – 10 mIU/ml.
 β-hCG kualitatif urin, yang dapat mendeteksi kadar hCG > 25-50 mIU/ml.
 β-hCG kuantitatif urin, yang dapat mendeteksi kadar hCG > 5-2 juta mIU/ml.

Hasilnya harus dibandingkan dengan kadar β-hCG serum kehamilan normal pada
usia kehamilan yang sama. Bila kadar β-hCG kuantitatif >100.000 mIU/L
mengindikasikan pertumbuhan ukuran yang berlebihan dari trofoblastik dan
meningkatkan kecurigaan adanya kehamilan mola namun kadang-kadang
kehamilan mola dapat memiliki nilai hCG normal. Biasanya tes β-hCG normal
setelah 8 minggu post evakuasi mola.

Bila jauh lebih tinggi dari rentangan kadar normal pada tingkat kehamilan tersebut,
suatu persangkaan diagnosa mola hidatidosa dibuat. Kadar hormon β-hCG sangat
tinggi dalam serum, 100 hari atau lebih setelah menstruasi terakhir. Pemantauan
secara hati-hati dari kadar β-hCG, penting untuk diagnosis, penatalaksanaan dan
tindak lanjut pada semua kasus penyakit trofoblastik. Jumlah hormon β-hCG yang
ditemukan pada serum atau urin berhubungan dengan jumlah sel-sel tumor yang
ada.

c. Ultrasonografi
Pada kehamilan mola, bentuk karakteristik yang ada berupa gambaran seperti
“badai salju” tanpa disertai kantong gestasi atau janin. Pemeriksaan USG sebaiknya
dilakukan pada setiap pasien yang pernah mengalami perdarahan pada trisemester
awal kehamilan dan memiliki ukuran uterus yang lebih besar daripada usia
kehamilannya.

USG dapat menjadi pemeriksaan yang spesifik untuk membedakan antara


kehamilan normal dengan mola hidatidosa. Namun harus diingat bahwa beberapa
struktur lainnya dapat memperlihatkan gambaran yang serupa dengan mola
hidatidosa termasuk myoma uteri dengan kehamilan ini dan kehamilan janin > 1.

10
Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik sehingga
seringkali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus
incomplitus atau mioma uteri. Pada kehamilan trimester II gambaran mola
hidatidosa umumnya lebih spesifik, kavum uteri berisi massa ekogenik bercampur
bagian-bagian anekhoik vesikuler berdiameter antara 5-10 mm. Gambaran tersebut
dapat dibayangkan seperti gambaran sarang tawon (honey comb) atau badai salju
(snow storm).

Gambar USG mola Hidatidosa

d. Amniografi
Dengan menggunakan bahan radioopague yang dimasukkan ke dalam uterus secara
transabdominal, akan memberikan gambaran radiografik yang khas untuk mola
hidatidosa. Kavum uterus ditembus dengan jarum amniosentesis. Suntikan 20 ml
hypague segera. Dibuat foto anteroposterior 5-10 menit kemudian. Pola sinar X
yang terjadi seperti sarang tawon, yang ditimbulkan oleh bahan kontras yang
mengelilingi gelombang-gelombang korion. Amniografi ini sekarang sudah jarang
digunakan lagi semenjak adanya USG yang lebih mudah.

11
I. Penatalaksanaan1,7-9,12
Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu:
1. Perbaikan keadaan umum
Yang termasuk usaha ini misalnya transfusi darah pada anemia berat dan srok
hipovolemik karena perdarahan. Atau menghilangkan penyulit seperti preeklamsia dan
tirotoksikosis. Preeklamsia diobati seperti pada kehamilan biasa, sedangkan untuk
tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam, antara lain dengan inderal.

2. Pengeluaran jaringan mola


Ada dua cara evakuasi, yaitu: a) kuret hisap, b) histerektomi
a. Kuret hisap
Kuret hisap merupakan tindakan pilihan untuk mengevakuasi jaringan mola, dan
sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin dalam 500 ml
NaCl atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes/menit. Oksitosin diberikan untuk
menimbulkan kontraksi uterus mengingat isinya akan dikeluarkan Tindakan ini
dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan dengan terjadinya retraksi
miometrium, dinding uterus akan menebal dan dengan demikian resiko perforasi
dapat dikurangi. Bila sudah terjadi abortus maka kanalis servikalis sudah terbuka.
Bila belum terjadi abortus, kanalis servikalis belum terbuka sehingga perlu
dipasang laminaria atau servikalis dilator (setelah 10 jam baru terbuka 2-5 cm).
Setelah jaringan mola dikeluarkan secara aspirasi dan miometrium memperlihatkan
kontraksi dan retraksi, biasanya dilakukan kuretase yang teliti dan hati-hati dengan
menggunakan alat kuret yang tajam dan besar. Jaringan yang diperoleh diberi label
dan dikirim untuk pemeriksaan. Kuretase kedua dilakukan apabila kehamilan seusia
lebih dari 20 minggu, atau tidak diyakini bersih. Kuret ke-2 dilakukan kira-kira 10-
14 hari setelah kuret pertama. Pada waktu itu uterus sudah mengecil sehingga lebih
besar kemungkinan bahwa kuret betul-betul menghasilkan uterus yang bersih. Jika
terdapat mola hidatidosa yang besar (ukuran uterus >12 minggu, dan dievakuasi
dengan kuret hisap, laparatomi harus dipersiapkan, atau mungkin diperlukan ligasi
arteri hipogastrika bilateral bila terjadi perdarahan atau perforasi. Sebelum kuret
sebaiknya disediakan persediaan darah untuk menjaga kemungkinan terjadi
perdarahan masif selama kuretase berlangsung.

12
b. Histerektomi
Sebelum kuret hisap digunakan, histerektomi sering dipakai untuk pasien dengan
ukuran uterus di luar 12-14 minggu. Namun histerektomi tetap merupakan pilihan
pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk
melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi karena hal tersebut
merupakan predisposisi timbulnya keganasan. Batasan yang dipakai ialah umur 35
tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila
dilakukan pemeriksaan histopatologi sudah tampak adanya tanda-tanda mola
invasif. Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan
melalui histerektomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah ditinggalkan.
Walau histerektomi tidak dapat mengeliminasi sel-sel tumor trofoblastik, namun
mampu untuk mengurangi kekambuhan penyakit ini.

3. Terapi profilaksis dengan sitostatika


Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya keganasan di bawah
pengawasan dokter. Misalnya umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk
dilakukan histerektomi, atau kasus dengan hasil histopatologi yang mencurigakan.
Biasanya diberikan Methotrexate atau Actinomycin D. Tidak semua ahli setuju dengan
cara ini, dengan alasan jumlah kasus mola yang menjadi ganas tidak banyak dan
sitostatika merupakan obat yang berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian
sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan metastasis, serta mengurangi
terjadinya koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali. Kadar hCG >100.000 IU/L
praevakuasi dianggap sebagai resiko tinggi untuk perubahan ke arah keganasan,
pertimbangan untuk memberikan Methotrexate (MTX) 3-5 mg/kgBB atau 25 mg IM
dosis tunggal. Metastasis yang hanya ke paru dapat diobati dengan agen kemoterapi
tunggal sedangkan metastasis lainnya memerlukan 3 agen kemoterapi.

4. Pemeriksaan tindak lanjut (follow up)


Tujuan utama follow up untuk mendeteksi adanya perubahan yang mengarah
keganasan. Metode umum follow up adalah sebagai berikut.
 Mencegah kehamilan selama periode follow up, minimal 1 tahun, mematuhi jadwal
kontrol selama 2-3 tahun (1x pada triwulan pertama, tiap 2 minggu pada triwulan
kedua, tiap bulan pada 6 bulan berikutnya, tiap 2 bulan pada tahun berikutnya,
selanjutnya tiap 3 bulan.
13
 Pengukuran kadar serum B-hCG setiap 2 minggu.
 Mempertahankan terapi selama kadar serum menurun. Peningkatan atau pendataran
kadar membutuhkan evaluasi dan terapi lanjut.
 Jika kadar normal (mencapai batas rendah dari pengukuran, dilakukan pengukuran
setiap bulan sekali selama 6 bulan dan tiap 2 bulan selama 1 tahun
 Follow up dapat dihentikan dan kehamilan diijinkan 1 tahun kemudian.

Setiap periksa ulang penting diperhatikan:


 Gejala klinik: keadaan umum, perdarahan, dan lain-lain
 Lakukan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan inspekulo: tentang keadaan serviks,
uterus cepat bertambah kecil atau tidak, dan lain-lain
 Reaksi biologis atau imunologis air seni, 1x seminggu sampai hasil negatif, 1x 2
minggu selama triwulan selanjutnya, 1x sebulan dalam 6 bulan selanjutnya, 1x 3
bulan selama tahun berikutnya. Kalau reaksi titer tetap (+) maka harus dicurigai
adanya keganasan. Keganasan masih dapat timbul setelah 3 tahun pasca terkenanya
mola hidatidosa. Menurut Harahap tumor timbul 34,5% dalam 6 minggu, 62,1%
dalam 12 minggu, dan 79,4% dalam 24 minggu serta 97,2% dalam 1 tahun setelah
mola keluar.

Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat kemungkinan terjadi
keganasan setelah mola hidatidosa (20%). Gejala-gejala choriocarsinoma yang harus
diwaspadai setelah dilakukan kuretase mola: perdarahan yang terus menerus, involusi
rahim tidak terjadi, kadang-kadang malahan nampak metastasis di vagina berupa
tumor-tumor yang biru ungu, rapuh dan mudah berdarah. Selama pengawasan, secara
berkala dilakukan ginekologis, kadar -hCG dan ultrasonografi. Cara yang paling peka
saat ini adalah dengan pemeriksaan -hCG yang menetap untuk beberapa lama. Jika
masih meninggi, hal ini berarti masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara yang umum
dipakai sekarang ini adalah dengan radioimmunoassay terhadap -hCG sub-unit.
Pemeriksaan kadar -hCG diselenggarakan setiap minggu sampai kadar menjadi
negatif selama 3 minggu dan selanjutnya setiap bulan selama 6 bulan. Mungkin juga
timbul metastasis di paru-paru yang menimbulkan batuk dan haemoptoe, oleh karena
itu bila ada gejala-gejala yang mencurigakan harus dibuat foto rontgen paru.

14
J. Diagnosis Banding1,2,7-12
 Kehamilan normal
 Kehamilan dengan mioma uteri
 Abortus
 Kehamilan ektopik terganggu

K. Komplikasi1-12
 Perforasi uterus selama kuret hisap sering muncul karena uterus yang membesar. Jika
hal ini terjadi prosedur penanganannya harus dalam bimbingan laparaskopi.
 Perdarahan sering pada evakuasi mola, karenanya oksitosin IV harus diberikan sebelum
prosedur dimulai. Methergin atau Hemabase dapat juga diberikan.
 Penyakit trofoblastik ganas terjadi pada 20 % kehamilan mola, karenanya pemeriksaan
kuantitatif hCG serial dilakukan selama 1 tahun post evakuasi sampai hasilnya negatif.
 DIC, karena jaringan mola melepaskan faktor yang bersifat fibrinolitik. Semua pasien
harus diperiksa kemungkinan adanya koagulopati.
 Emboli trofoblastik dapat menyebabkan insufisiensi pernafasan akut. Faktor resiko
terbesar ialah pada ukuran uterus yang lebih besar dari yang diharapkan pada usia
kehamilan 16 minggu. Kondisi ini dapat berakhir fatal.
 kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Kista lutein dapat menyebabkan
pembesaran pada satu atau kedua ovarium dengan ukuran yang beragam, dari diameter
mikroskopik sampai ukuran 10 cm atau lebih. Hal ini terjadi pada 25-60% penderita
mola. Kista teka lutein multiple pada 15-30% penderita mola menyebabkan
pembesaran satu atau kedua ovarium dan menjadi sumber rasa nyeri. Ruptur,
perdarahan atau infeksi mudah terjadi.
 Kista lutein ini diperkirakan terjadi akibat rangsangan elemen lutein yang berlebihan
oleh hormon korionik-gonadotropin dalam jumlah besar yang disekresi oleh trofoblas
yang berproliferasi dengan pemeriksaan klinis, insiden kista lutein + 10,2%, tetapi bila
menggunakan USG angkanya meningkat sampai 50%. Kasus mola dengan kista lutein
mempunyai resiko empat kali lebih besar untuk mendapat degenerasi keganasan di
kemudian hari daripada kasus-kasus tanpa kista. Involusi dari kista terjadi setelah
beberapa minggu yang biasanya seiring dengan penurunan kadar B-hCG. Tindakan
bedah hanya dilakukan bila ada ruptur dan perdarahan atau ovarium yang membesar
tadi mengalami infeksi. umumnya ukuran kembali normal dalam 12 minggu.

15
 Anemia, karena perdarahan yang berulang-ulang
 Perdarahan dan syok. Penyebab perdarahan ini mungkin disebabkan oleh pelepasan
jaringan mola tersebut dengan lapisan desidua, perforasi uterus oleh karena keganasan,
atonia uteri atau perlukaan pada uterus karena evakuasi jaringan mola.
 Infeksi sekunder

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Winkjosastro H. Mola Hidatidosa. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1999.
2. White CD. Hydatidiform mole. 2014. Tersedia dari: https://www.nlm.nih.gov/
medlineplus/ency/article/000909.htm [diakses pada 3 Maret 2019].
3. Igwegbe AO dan Eleje GU. Hydatidiform mole: A Review of Management Outcomes in a
Tertiary Hospital in South-East Nigeria. Ann Med Health Sci Res. 2013; 3(2): 210-4.
4. Heidarpour M dan Khanahmadi M. Diagnostic value of P63 in differentiating normal
gestation from molar pregnancy. J Res Med Sci. 2013; 18(6): 462-6.
5. Moore LE dan Hernandez E. Hydatidiform Mole. 2014. Tersedia dari: http://
emedicine.medscape.com/article/254657-overview#showall [diakses pada 3 Maret 2019].
6. NHS. Molar pregnancy. 2014. Tersedia dari: http://www.nhs.uk/conditions/ Molar-
pregnancy/Pages/Introduction.aspx [diakses pada 3 Maret 2019].
7. Bagian Obstetri Ginekologi FK UNPAD. Penyakit Trofoblas Gestasional; Obstetri
Patologi; 1983; 28-33.
8. Berek AS, Adashi EY, Hillard PA. Novak’s Gynecology. 20th ed, Wiliams & Wilkins,
Baltimore, 1996.
9. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Gestational Trophoblastic Disease: Williams
Obstetrics.21th ed. Conneticut, Appleton & Lange, 2001; 835-43.
10. Martaadisoebrata. D, & Sumapraja, S. Penyakit Serta Kelainan Plasenta & Selaput Janin.
ILMU KEBIDANAN. Yayasan Bina pustaka SARWONO PRAWIROHARDJO. Jakarta.
2002. Hal 341-8.
11. Rustam Muchtar. Penyakit Trofoblas: Sinopsis Obstetri. Edisi 2, Jilid 1. Penerbit buku
Kedokteran. EGC. Hal. 238-43.
12. Sastrawinata, S.R. Mola Hidatidosa. OBSETETRI PATOLOGIK. Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. ELSTAR OFFSET. Bandung.
1981. Hal 38-42.

17

Anda mungkin juga menyukai