Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah manusia kecil yang memiliki potensi yang masih harus di
kembangkan dimana belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih
didalam kandungan, yang berarti segala kepentingan akan pengupayaan
perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada didalam
kandungan hingga berusia 18 tahun (Damayanti, 2010). Masa kanak-kanak
merupakan masa yang paling berpengaruh dari siklus kehidupan manusia,
karena pengalaman yang terjadi pada masa ini akan menjadi dasar pada tahap
berikutnya yaitu proses tumbuh kembang. Berbagai konsep dipelajari anak
pada masa ini, salah satunya konsep tentang sakit dan nyeri (Wong, 2009).

Penelitian Tarwoto (2011) bahwa terapi analgetik yang dikombinasi dengan


teknik latihan slow deep breathing dapat menurunkan nyeri. Latihan slow
deep breathing dapat dijadikan salah satu intervensi keperawatan mandiri.
Slow deep breathing ialah salah satu bagian dari latihan relaksasi dengan
teknik latihan pernapasan yang dilakukan secara sadar. Slow deep breathing
merupakan relaksasi yang dilakukan secara sadar untuk mengatur pernapasan
secara dalam dan lambat Terapi relaksasi banyak digunakan dalam kehidupan
sehari-hari untuk dapat mengatasi berbagai masalah, misalnya stress,
ketegangan otot, nyeri, hipertensi, gangguan pernapasan, dan lain-lain
Relaksasi secara umum merupakan keadaan menurunnya kognitif, fisiologi,
dan perilaku (Andarmoyo, 2013).

Latihan pernapasan dengan memanfaatkan bahan yang murah dapat


diterapkan dengan mudah di klinik. Slow deep breathing melalui penggunaan
tiupan gelembung dapat diterapkan pada anak usia 3 sampai 7 tahun. Slow
deep breathing dengan meniup difasilitasi dengan mengalihkan mainan dan
2

kegiatan. Instruksikan anak untuk mengambil napas dalam dan meniup keluar
perlahan-lahan. Untuk membantu memudahkan slow deep breathing pada
anak-anak dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu misalnya
gelembung, baling-baling dan balon (Taddio, 2009).

Penelitian tentang manfaat slow deep breathing dengan bermain meniup


baling-baling untuk menurunkan nyeri pada anak belum banyak
dikembangkan oleh perawat di masyarakat. Berdasarkan hasil observasi
dilapangan yang penulis lakukan ditemukan bahwa perawat yang melakukan
asuhan keperawatan pada anak yang dilakukan penyuntikan anestesi
sirkumsisi yang mengalami nyeri umumnya memberikan terapi farmakologik
berupa analgesik dan tidak pernah melakukan terapi komplementer seperti
terapi slow deep breathing dengan bermain meniup baling-baling yang dapat
menurunkan nyeri yang dialami pasien. Salah satu nyeri yang dapat dirasakan
pada anak adalah ketika akan dilakukan penyuntikan anastesi sirkumsisi
(Wahyuni H, 2015).

Sirkumsisi (circumcision/khitan) atau dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal


dengan istilah “sunat” atau “supit”, adalah operasi pengangkatan sebagian,
atau semua dari kulup (preputium) penis (WHO, 2009). Prosedur ini biasanya
dilakukan untuk alasan agama, kebersihan, ataupun kosmetik. Sirkumsisi juga
dapat mengurangi masalah yang timbul dari kondisi medis tertentu, seperti
phimosis. Secara medis, dikatakan bahwa sirkumsisi sangat menguntungkan
bagi kesehatan. Banyak manfaat dari sirkumsisi yang diidentifikasi untuk
mencegah infeksi saluran kemih, membuat penis menjadi bersih, penularan
HIV, serta mengurangi resiko terkena karsinoma penis (Blank, 2012).

Secara medis tidak ada batasan umur untuk dilakukan sirkumsisi, biasanya
sirkumsisi dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. Di Indonesia usia yang
3

paling sering mulai dilakukan sirkumsisi adalah usia 5 sampai 12 tahun.


Sebab, pada usia tersebut biasanya ukuran penis dan kesiapan emosional
menjadi pertimbangan. Selain itu, anak umumnya belum ereksi sehingga,
risiko perdarahannya akan minimal. Pada proses sebeluma dilakukannya
sirkumsisi terlebih dahulu anak akan dilakukan penyuntikan disekitar alat
kelamin untuk mengontrol respon nyeri ketika dilakukan sirkumsisi (Chairns,
2010). Berdasarkan studi pendahuluan diatas peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang Asuhan keperawatan anak yang akan dilakukan
penyuntikan anastesi sirkumsisi dalam pemberian Terapi Slow Deph
Breathing (Meniup baling-baling) di Kota Semarang

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah gambaran
aplikasi slow deep breathing pada anak terhadap nyeri penyuntikan anastesi
sirkumsisi dengan pendekatan asuhan keperawatan?”

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan tindakan Terapi Slow Deep Breathing (Meniup baling-
baling) untuk menurunkan rasa nyeri yang dirasakan anak ketika akan
dilakukan penyuntikan anastesi sirkumsisi di Kota Semarang
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan
1) Pengakajian (Assesment)
2) Masalah keperawatan yang ditemukan
3) Perencanaan untuk memecahkan masalah yan ditemukan
4) Tindakan dan penilaian outcome penerapan EBNP
b. Menggambarkan perbedaan nyeri sebelum dan setelah perlakukan
tindakan slow deep breathing (Meniup baling-baling)
4

c. Membahas kesenjangan antara teori dengan kondisi riil mengenai


kasus nyeri anak ketika akan dilakukan penyuntikan anastesi
sirkumsisi dalam pemberian tindakan Terapi Slow Deph Breathing
(Meniup baling-baling) .

D. Manfaat penelitian
1. Bagi pasien
Adanya pemberian asuhan keperawatan pada Anak akan dilakukan
penyuntikan anastesi sirkumsisi Hipertensi dalam pemberian tindakan
Terapi Slow Deph Breathing (Meniup baling-baling) dapat membantu
pasien untuk mengontrol atau mengurangi nyeri yang dirasakan dan
menambah ilmu pengetahuan pada pasien.
2. Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pihak
pelayanan kesehatan di Semarang terutama untuk perawat bahwa perawat
harus melakukan perannya sebagai health educator, promote healthdan
preventive illness khususnya pemberian asuhan keperawatan anak yang
akan dilakukan penyuntikan anastesi sirkumsisi dengan pemberian
tindakan Terapi Slow Deph Breathing (Meniup baling-baling).
3. Bagi Institusi Pendidikan
Memberikan informasi mengenai pemberian tindakan Terapi Slow Deph
Breathing (Meniup baling-baling) dapat menurunkan nyeri pasien anak
ketika akan dilakukan penyuntikan anastesi sirkumsisi dan pentingnya
pelaksanaan pada pasien. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang positif sebagai tambahan referensi tentang
pelaksanaan asuhan keperawatan.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian Sirkumsisi
Sirkumsisi (circumcision/khitan) atau dalam Bahasa Indonesia lebih
dikenal dengan istilah “sunat” atau “supit”, adalah operasi pengangkatan
sebagian, atau semua dari kulup (preputium) penis (WHO, 2009).
Prosedur ini biasanya dilakukan untuk alasan agama, kebersihan, ataupun
kosmetik. Sirkumsisi juga dapat mengurangi masalah yang timbul dari
kondisi medis tertentu, seperti phimosis. Secara medis, dikatakan bahwa
sirkumsisi sangat menguntungkan bagi kesehatan. Banyak manfaat dari
sirkumsisi yang diidentifikasi untuk mencegah infeksi saluran kemih,
membuat penis menjadi bersih, penularan HIV, serta mengurangi resiko
terkena karsinoma penis (Blank, 2012).

Sirkumsisi adalah prosedur pembedahan di mana kulup penis, termasuk


kulup bagian dalam akan dipotong. Sirkumsisi bayi adalah salah satu
prosedur bedah yang paling sering dilakukan (Cagno, 2012). Sirkumsisi
dapat dilakukan untuk berbagai alasan yang berbeda di masyarakat.
Alasan dapat diklasifikasikan seperti, medisterapi, pencegahan-higienis,
agama dan budaya. Dalam memutuskan melakukan sirkumsisi, faktor
yang berbeda-beda mungkin memainkan peran dalam kombinasi. Dalam
masyarakat yang hidup di Negara Barat, sirkumsisi biasanya dilakukan
pada masa bayi dan dalam masyarakat lain, dapat dilakukan pada berbagai
periode perkembangan (Yavuz, 2012).

Berdasarkan defenisi di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa


sirkumsisi adalah suatu tindakan memotong atau menghilangkan sebagian
6

atau seluruh kulit penutup depan dari penis dimana akan menghasilkan
respon nyeri.
2. Indikasi Sirkumsisi
Adapun indikasi dilakukannya tindakan sirkumsisi, antara lain :
a. Agama
Sirkumsisi merupakan tuntunan syariat Islam yang sangat mulia dan
disyariatkan baik untuk laki-laki. Mayoritas ulama Muslim
berpendapat bahwa hukum sirkumsisi bagi laki-laki adalah wajib.
Hadist Rasulullah s.a.w. bersabda, “Kesucian (fitrah) itu ada lima:
khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak,
memendekkan kumis dan memotong kuku” (H.R. Bukhari Muslim).
b. Sosial dan Budaya
Orang tua memilih melakukan khitan pada anaknya dengan alasan
sosial atau budaya seperti anak merasa malu jika belum melakukan
khitan, sehingga ingin segera melakukannya. Anak melakukan khitan
di usia 6-12 tahun atau ketika duduk dibangku kelas 3-6 Sekolah
Dasar. Selain itu, khitan dilakukan sebagai alasan motivasi menuju
kedewasaan pada anak (Miller, 2010).
c. Medis
Selain dilakukan karena alasan agama, budaya, dan tradisi. Sirkumsisi
juga dilakukan untuk meningkatkan higienis dan kesehatan seseorang,
karena penis yang sudah di sirkumsisi lebih mudah dibersihkan.
Indikasi medis sirkumsisi antara lain (Hutcheson, 2009) :
1) Fimosis
Dimana preputium tidak dapat ditarik ke proximal karena lengket
dengan gland penis diakibatkan oleh smegma yang terkumpul
diantaranya.
2) Parafimosis
7

Dimana preputium yang telah ditarik ke proximal, tidak dapat


dikembalikan lagi ke distal. Akibatnya dapat terjadi udem pada
kulit preputium yang menjepit, kemudian terjadi iskemi pada
glands penis akibat jepitan itu. Lama kelamaan glands penis dapat
nekrosis. Pada kasus parafimosis, tindakan sirkumsisi harus segera
dilakukan.
3) Balanitis
Balanitis merupakan penyakit peradangan pada ujung penis.
Kebanyakan kasus balanitis terjadi pada pria yang tidak melakukan
sirkumsisi dan mereka yang tidak menjaga kebersihan alat vital.
4) Kondiloma Akuminata
Kondiloma akuminata merupakan suatu lesi pre kanker pada penis
yang diakibatkan oleh HPV (human papiloma virus). Karsinoma
sel squamosa pada preputium penis, namun dilaporkan terjadi
rekurensi local pada 22-50% kasus.

3. Kontraindikasi Sirkumsisi
Adapun kontraindikasi dilakukannya tindakan sirkumsisi, antara lain :
a. Hipospadia
Hipospadia merupakan kelainan konginetal muara uretra eksterna.
Kelainan berada di ventral penis mulai dari glans penis sampai
perineum. Hipospadia terjadi karena kegagalan atau kelambatan
penyatuan lipatan uretra di garis tengah selama perkembangan
embriologi (Baskin & Ebbers , 20010).
b. Epispadia
Epispadia adalah kelainan kongenital dimana meatus uretra terletak
pada permukaan dorsal penis. Normalnya, meatus terletak di ujung
penis, namun nak laki-laki dengan epispadia, meatus terletak di atas
8

penis.Insiden epispadia yang lengkap sekitar 1 dalam 120.000 laki-


laki. Perbaikan dengan pembedahan dilakukan untuk memperluas
uretra ke arah glans penis. Preputium digunakan dalam proses
rekonstruksi, sehingga bayi baru lahir dengan epispadia tidak boleh di
sirkumsisi (Price, SA & Wilson, LM., 2009).
c. Kelainan hemostatis
Kelainan hemostasis merupakan kelainan yang berhubungan dengan
jumlah dan fungsi trombosit, faktor-faktor pembekuan, dan vaskuler.
Jika salah satu terdapat kelainan dikhawatirkan akan terjadi
perdarahan yang sulit diatasi selama atau setelah sirkumsisi. Kelinan
tersebut adalah hemophilia, trombositopenia dan penyakit kelainan
hemostasis lainnya (Seno, 2012).

4. Prinsip Sirkumsisi
Dalam melakukan sirkumsisi harus diingat beberapa prinsip dasar, yaitu
asepsis, pengangkatan kulit prepusium secara adekuat, hemostasis yang
baik, dan kosmetik. Sirkumsisi yang dikerjakan pada umur neonatus
(kurang dari satu bulan) dapat dikerjakan tanpa memakai anastesi,
sedangkan anak yang lebih besar harus dengan memakai anestesi umum
guna menghindari terjadinya trauma psikologis (Purnomo, 2011).
a. Persiapan pasien
1) Bila pasien sudah besar, maka dilakukan pencukuran rambut pubis
terlebih dahulu.
2) Melakukan pendekatan terhadap anak terlebih dahulu, agar anak
bisa kooperatif saat dilakukan tindakan.
3) Menanyakan riwayat penyakit anak, bila ada riwayat alergi obat
atau lainnya.
4) Menjelaskan kepada orang tua anak mengenai tindakan yang akan
dilakukan.
9

5) Penis dan sekitarnya dibersihkan dengan antiseptic


b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang diperlukan untuk melakukan sirkumsisi, meliputi:
1) Kain kasa yang steril.
2) Cairan disinfekstans.
3) Kain steril untuk mempersempit daerah operasi.
4) Tabung suntik beserta jarumnya serta obat anastesi lokal.
5) Satu set peralatan bedah minor.
6) Handscone steril.
7) Selimut dan handuk.
8) Sabun cuci tangan.
9) Alkohol
c. Hal yang pertama kali dilakukan sebelum sirkumsisi, meliputi
1) Disinfeksi lapangan operasi.
2) Daerah operasi ditutup dengan kain steril.
3) Dilakukan pembiusan dengan menggunakan anastesi lokal,
misalnya lidokain 2 %. Kemudian, ditunggu beberapa saat dan
dinyakinkan bahwa penis sudah terbius.
4) Lakukan dilatasi pada preputium dulu dengan klem sehinggga
preputium dapat ditarik ke proksimal. Selanjutnya prepusium
dibebaskan dari perekatannya dengan glands penis dan dibersihkan
dari smegma atau kotoran lain.
5) Pemotongan preputium
5. Metode Sirkumsisi
Adapun metode dalam tindakan sirkumsisi, antara lain : (Manakijsirisuthi,
2012).
a. Metode konvensional
Metode ini merupakan metode standar yang banyak digunakan tenaga
kesehatan hingga saat ini. Pada metode ini, semua prosedur telah
10

mengacu kepada aturan atau standar medis, sehingga meningkatkan


keberhasilan sirkumsisi. Hal yang umumnya ada atau dilakukan saat
melaksanakan metode ini adalahpembiusan lokal, penggunaan pisau
bedah yang lebih akurat, tenaga medis yang professional, teknologi
benang jahit yang bisa menyatu dengan jaringan disekitarnya,
sehingga meniadakan keperluan untuk melepas benang jahit. Metode
ini bisa digunakan untuk semua kelompok usia, pilihan utama bagi
pasien dengan kelainan fimosis serta biaya yang dibutuhkan
terjangkau
b. Metode Dorsumsisi
Dorsumsisi adalah teknik sirkumsisi dengan cara memotong
preputium pada jam 12, sejajar dengan sumbu panjang penis kearah
proksimal, kemudian dilakukan petongan melingkar ke kiri dan ke
kanan sepanjang sulkus koronarius glandis. Dengan sering berlatih
melakukan cara ini, maka akan semakin terampil, sehingga hasil yang
didapat juga lebih baik
c. Metode electrocauter
Metode ini menggunakan alat seperti pisau dengan ujung terdiri dari
sepotong logam panas seperti kawat. Panas pada alat ini dihasilkan
oleh suatu tegangan tinggi serta frekuensi tinggi yang berasal dari arus
bolak-balik yang melewati elektroda. Daya koagulasi Cautery
ditetapkan antara 25 sampai 50 Watt. Kelebihan dari alat ini adalah
perdarahan yang minimal pasca sirkumsisi, tidak perlu dilakukan
penjahitan luka karena luka telah tertutup cukup kuat. Kerugiannya
antara lain dapat menimbulkan bau menyengat seperti “daging bakar”
serta dapat menyebabkan luka bakar.
6. Perawatan pasca sirkumsisi
Setelah seseorang disirkumsisi, biasanya akan membutuhkan waktu
sekitar satu minggu sampai sepuluh hari agar bekas lukanya kering dan
11

dapat menutup dengan sempurna. Ada beberapa perawatan yang harus


dilakukan pasca sirkumsisi yaitu: (Silvagnanam, 2014).
a. Segeralah minum obat Analgesik
Setelah sirkumsisi biasanya daerah sekitar penis sering menimbulkan
rasa nyeri, sehingga setelah sirkumsisi sebaiknya dianjurkan untuk
minum obat analgesik (penghilang nyeri) yang diberikan dokter untuk
menghindarkan rasa sakit setelah obat anestesi lokal yang disuntikkan
habis efeknya. Umumnya obat anestesi mampu bertahan antara satu
jam sampai satu setengah jam setelah disuntikkan. Harapannya,
setelah obat bius habis masa kerjanya maka dapat tergantikan dengan
obat Analgesik. Obat analgetik yang biasa digunakan adalah
parasetamol, antalgin, asam mefenamat, asam asetilsalisilat, dan
lainnya
b. Menjaga kebersihan daerah penis
Usahakan celana yang digunakan anak lebih longgar untuk
menghindari gesekan. Apabila sudah buang air besar, ujung lubang
penis dibersihkan secukupnya secara perlahan, usahakan jangan
mengenai luka sirkumsisi. Selain itu, harus dijaga agar daerah sekitar
penis tetap bersih dan kering.
c. Usahakan tidak bergerak terlalu aktif
Dalam beberapa hari, istirahat sangat diperlukan untuk menghindari
bengkak yang berlebihan. Jika harus berjalan, usahakan jalan
seperlunya. Jangan melakukan aktifitas yang berlebihan seperti
melompat-lompat atau berlari-lari.
d. Kontrol dan Melepas Perban
Perban dapat diganti setiap 2-3 hari tergantung perkembangan luka
khitan. Jika sudah mahir hal tersebut dapat dilakukan sendiri di rumah.
Jika merasa kesulitan sebaiknya dibawa ke dokter. Lakukan kontrol
rutin ke dokter yang mengkhitan pada hari ketiga dan pada hari kelima
12

sampai hari ketujuh. Apabila luka sirkumsisi sudah benar-benar


kering, maka perban bisa dilepaskan secara total.
7. Komplikasi sirkumsisi
Adapun komplikasi dari tindakan sirkumsisi, antara lain : (Krill, 2011).
a. Pendarahan
Perdarahan merupakan komplikasi sirkumsisi yang jarang terjadi.
Sebagian besar perdarahan dapat berhenti dengan sendirinya.
Perdarahan dapat dengan mudah dihentikan dengan mengikat sumber
perdarahan dengan benang bedah. Resiko perdarahan dapat meningkat
pada anak yang mempunyai gangguan pembekuan darah. Oleh karena
itu, sangat penting untuk menginformasikan ke dokter apabila anak
mempunyai gangguan pembekuan darah atau kelainan darah lainnya
b. Infeksi
Infeksi sangat jarang terjadi karena dokter melakukan sirkumsisi
dengan teknik dan alat yang steril. Apabila terjadi infeksi, infeksi
biasanya ringan dan dapat diatasi dengan pemberian antibiotik. Tanda-
tanda infeksi seperti demam, kemerahan yang semakin meluas, nyeri,
pembengkakan, dan nanah di sekitar bekas sirkumsisi perlu
diperhatikan dan apabila ada tantda-tanda tersebut sebaiknya
dianjurkan segera ke dokter.
c. Komplikasi dari obat anastesi
Anestesi atau pembiusan lokal merupakan prosedur yang aman.
Komplikasi anestesi sangat jarang terjadi, dan biasanya berkaitan
dengan adanya masalah medis pada anak. Komplikasi anestesi
diantaranya reaksi alergi dari obat bius atau bisa juga gangguan
pernapasan.
13

B. Nyeri
1. Pengertian nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat
sangat subjektif karena perasaan nyeri pada setiap orang dalam hal skala
atau tingkatannya, dan hanyaorang tersebutlah yang dapat menjelaskan
atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, 2010). Nyeri
dapat disebabkan olehtrauma (mekanik, thermis, khemis, dan elektrik),
neoplasma (jinak atau ganas), inflamasi, gangguan sirkulasi darah dan
kelainan pembuluh darah, trauma psikologis.

Nyeri merupakan mekanisme perlindungan yang timbul bila terjadi


kerusakan jaringan, dan hal ini akan membuat individu bereaksi dengan
cara memindahkan stimulus nyeri (Guyton, 2011).
2. Klasifikasi nyeri
Klasifikasi Smeltzer & Bare (2001), berdasarkan lokasi, durasi, kualita,
dan karakterny nyeri ada beberapa macam, yaitu :
a. Nyeri akut
Nyeri akut merupakansuatu reaksi sensoris dari nosiseptif yang
mendadak dan merupakan sinyal alarm untuk mekanisme proteksi
tubuh. Nyeri akut hampir selalu terjadi oleh adanya picu kerusakan
jaringan somatik maupun viseral, yang lama berlangsungnya hampir
bersamaan dengan lama sembuhnya perlukaan yang tidak disertai
penyulit. Rasa nyeri akan hilang pada saat perlukaan sembuh.
Berdasarkan sifatnya nyeri akut ada 2 macam :
1) Nyeri Fisiologis
Nyeri fisiologis terjadi apabila intensitas rangsang mencapai
ambang nosiseptor dan mengakibatkan timbulnya refleks
menghindar.Nyeri ini sifatnya sementara.
2) Nyeri Klinis
14

Nyeri klinis timbul karena terjadinya perubahan kepekaan sistem


syaraf terhadap rangsang nyeri sebagai akibat adanya kerusakan
jaringan yang disertai proses inflamasi. Nyeri ini sifatnya
terlokalisir dan baru hilang bila penyebabnya hilang/sembuh.
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung satu bulan di luar lamanya
perjalanan penyakit akut atau nyeri yang tetap berlangsung walaupun
perlukaan sudah sembuh.
3. Patofisiologi nyeri
Mekanisme dasar terjadi nyeri adalah proses nosisepsi. Nosisepsi adalah
proses penyampaian informasi adanya stimuli noksius, di perifer, ke sistim
saraf pusat. Rangsangan noksius adalah rangsangan yang berpotensi atau
merupakan akibat terjadinya cedera jaringan, yang dapat berupa
rangsangan mekanik, suhu dan kimia. Deskripsi mekanisme dasar
terjadinya nyeri secara klasik dijelaskan dengan empat proses yaitu
transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi. Transduksi adalah proses
konversi energi dari rangsangan noksius (suhu, mekanik, atau kimia)
menjadi energi listrik (impuls saraf) oleh reseptor sensorik untuk nyeri
(nosiseptor). Sedangkan transmisi yaitu proses penyampaian impuls saraf
yang terjadi akibat adanya rangsangan di perifer ke pusat. Persepsi
merupakan proses apresiasi atau pemahaman dari impuls saraf yang
sampai ke SSP sebagai nyeri. Modulasi adalah proses pengaturan impuls
yang dihantarkan, dapat terjadi di setiap tingkat, namun biasanya diartikan
sebagai pengaturan yang dilakukan oleh otak terhadap proses di kornu
dorsalis medulla spinalis (Urban, 2011).
4. Respon nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan perilaku yang
terjadi setelah mempersepsikan nyeri :
a. Respon fisiologis
15

Respon fisiologis dihasilkan oleh stimulasi pada cabang saraf simpatis


dan sistem saraf otonom. Hal ini terjadi karena pada saat impuls nyeri
naik ke medula spinalis menuju ke batang otak dan talamus, sistem
saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stress.
Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat atau dalam, dan secara
tipikal melibatkan organ-organ visceral 20 (misalnya, nyeri pada
infark miokard), sistem saraf parasimpatis akan menghasilkan suatu
aksi (Potter, 2009).
b. Respon perilaku
Pada saat nyeri dirasakan, saat itu juga dimulai suatu siklus, yang
apabila nyeri tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk
menghilangkannya, dapat mengubah kualitas kehidupan secara nyata.
Nyeri dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang mengganggu
kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan merawat diri
sendiri.
5. Nyeri pada anak
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun.Anak usia
sekolah adalah dimana anak telah memasuki usia sekolah. Anak usia
sekolah adalah akhir masa kanak-kanak yang berlangsung dari 6 tahun
sampai anak mencapai kematangan seksual, yaitu sekitar 13 tahun bagi
anak perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki. Anak usia sekolah
mampu mendeskripsikan nyeri mereka. Metode pelaporan sendiri dengan
menggunakan skala tingkatan intensitas nyeri secara numerik telah
terbukti bermanfaat untuk anak usia sekolah (Mathew, 2011).
6. Pengukuran Skala Nyeri Pada Anak
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat sabjektif dan
nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh dua orang yang
berbeda (Andarmoyo, 2013).Pengukuran nyeri dengan pendekatan
16

objektif yang paling mugkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh


terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan pendekatan objektif
juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri
(Andarmoyo, 2013). Beberapa skala intensitas nyeri:
a. Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhana

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri,


Jogjakarta: Ar-Ruzz)
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale, VDS) merupakan
alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objekti.
Pendeskripsian VDS diranking dari ” tidak nyeri” sampai ”nyeri yang
tidak tertahankan”(Andarmoyo, 2013). Perawat menunjukkan klien
skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri
terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan klien memilih sebuah
ketegori untuk mendeskripsikan nyeri (Andarmoyo, 2013).

b. Skala Intensitas Nyeri Numerik

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri,


Jogjakarta: Ar-Ruzz.)

Skala penilaian numerik (Numerical rating scale, NRS) lebih


digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini,
17

klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling


efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi (Andarmoyo, 2013).

c. Skala Intensitas Nyeri Visual Analog Scale

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri,


Jogjakarta: Ar-Ruzz.)

Skala analog visual ( Visual Analog Scale) merupakan suatu garis


lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki
alat pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya (Andarmoyo, 2013).
d. Skala Intensitas Nyeri dari FLACC
Skala FLACC merupakan alat pengkajian nyeri yang dapat digunakan
pada pasien yang secra non verbal yang tidak dapat melaporkan
nyerinya (Judha, 2012).

KRITERIA SKORING
OBSERVASI
0 1 2
Face Tidak ada Kadang kala meringis Sering mengerutkan dahi
(Ekspresi ekspresi yang atau mengerutkan secara terus menerus,
muka) khusus, wajah dahi, memalingkan mengatupkan rahang
terlihat rileks, wajah menghindari dengan kuat, dagu
atau tersenyum stimulus bergetar
Legs Posisi kaki Tidak tenang, gelisah, Menendang
18

(Gerakan normal atau tegang, sering


kaki) rileks menggerakkan kaki
Activity Berbaring dengan Mengeliat-geliat, Badan melengkung,
(aktivitas) tenang, posisi sering berpindah atau kaku, atau menghentak-
normal, bergerak berganti posisi, hentakkan badan
dengan leluasa tegang
Cry Tidak menangis Merintih atau Menangis terus menerus,
(Menangis) (baik terjaga atau merengek, berteriak atau terisak-
tidur) kadangkala mengeluh isak, sering mengeluh
Consolabity Senang, rileks Dapat ditenangkan Sulit untuk
(Kemampuan dengan sentuhan, dihibur/ditenangkan atau
rileks dihibur) pelukan atau tidak merasa nyaman
berbicara / bercerita meskipun diberikan
tindakan kenyamanan
Total skor

Intensitas nyeri dibedakan menjadi lima dengan menggunakan skala


numerik yaitu:
0 : Tidak Nyeri
1-2 : Nyeri Ringan
3-5 : Nyeri Sedang
6-7 : Nyeri Berat
8-10 Nyeri Yang Tidak Tertahankan (Judha, 2012).
7. Penatalaksanaan Nyeri
Menghilangkan nyeri merupakan tujuan dari penatalaksanaan nyeri yang
dapat dicapai dengan dua pendekatan yaitu: pendekatan farmakologi dan
non farmakologi. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan
dan tujuan klien secara individu.
19

a. Pendekatan farmakologis
Pendekatan farmakologi merupakan suatu pendekatan yang digunakan
untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan obat-obatan.
Terdapat 4 kelompok obat nyeri yaitu:
1) Analgetik Nonopioid (Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ OAISN)
Efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai dengan sedang
terutama asetaminofen (Tylenol) dan OAISN dengan efek anti
piretik, analgetik dan anti inflamasi. Asam asetilsalisilat (Aspirin)
dan ibuprofin (Morfin, Advil) merupakan OIANS yang sering
digunakan untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan.
2) Analgetik Opioid
Merupakan analgetik yang kuat yang tersedia dan digunakan
dalam penatalaksanaan nyeri dengan skala sedang sampai dengan
berat. Obatobat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri
pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin merupakan salah
satu jenis obat ini yang digunakan untuk mengobati nyeri berat.
3) Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid
Merupakan obat yang melawan obat opioid dan menghambat
pengaktifannya. Nalakson merupakan salah satu contoh obat jenis
ini yang efektif jika diberikan tersendiri dan lebih kecil
kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan dibandingkan dengan opioid murni.
4) Adjuvan atau Koanalgetik
Merupakan obat yang memiliki efek analgetik atau efek
komplementer dalam penatalaksanaan nyeri yang semula
dikembangkan untuk kepentingan lain. Contoh obat ini adalah
Karbamazopin (Tegretol) atau Fenitoin (Dilantin).
b. Penatalaksanaan Non Farmakologis
20

Bentuk-bentuk penatalaksanaan non farmakologi meliputi: (Price &


Wilson, 2009).
1) Massage adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada pinggang dan bahu. Massage menstimulasi
reseptor tidak nyeri. Massage juga membuat pasien lebih nyaman
karena membuat relaksasi otot.
2) Terapi Es dan Panas
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat
sensitifitas reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area
sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat meningkatkan aliran
darah yang dapat mempercepat penyembuhan dan penurunan
nyeri.
3) Stimulasi Syaraf Elektris Transkutan (TENS)
TENS menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan
elektrode yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi
kesemutan atau menggetar pada area nyeri. Mekanisme ini sesuai
dengan teori gate kontrol dimana mekanisme ini akan menutup
transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asenden sistem syaraf
pusat untuk menurunkan intensitas nyeri.
4) Distraksi
Dilakukan dengan memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu
selain pada nyeri. Keefektifan transmisi tergantung pada
kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input
sensori selain nyeri.
5) Teknik Relaksasi
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan
dan stress yang mampu memberikan individu kontrol ketika
terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri/stress fisik dan emosi pada
nyeri.
21

6) Imajinasi Terbimbing
Individu di instruksikan untuk membayangkan bahwa dengan
setiap napas yang diekhalasikan (dihembuskan) secara lambat
akan menurunkan ketegangan otot dan ketidak nyamanan
dikeluarkan.
7) Hipnosis
Efektif untuk menurunkan nyeri akut dan kronis. Teknik ini
mungkin membantu pereda nyeri terutama dalam periode sulit.
8) Slow Deep Breathing
Slow deep breathing ialah salah satu bagian dari latihan relaksasi
dengan teknik latihan pernapasan yang dilakukan secara sadar.
Slow deep breathing merupakan relaksasi yang dilakukan secara
sadar untuk mengatur pernapasan secara dalam dan lambat. Terapi
relaksasi banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk
dapat mengatasi berbagai masalah, misalnya stress, ketegangan
otot, nyeri, hipertensi, gangguan pernapasan, dan lain-lain
(Martini, 2006). Relaksasi secara umum merupakan keadaan
menurunnya kognitif, fisiologi, dan perilaku (Andarmoyo, 2013).

Slow deep breathing merupakan metode relaksasi yang dapat


memengaruhi respon nyeri tubuh. Tarwoto (2012) menyatakan
slow deep breathing menyebabkan penurunan aktivitas saraf
simpatis, peningkatan aktivitas saraf parasimpatis, peningkatan
relaksasi tubuh, dan menurunkan aktivitas metabolisme. Hal
tersebut menyebabkan kebutuhan otak dan konsumsi otak akan
oksigen berkurang sehingga menurunkan respon nyeri tubuh.

Slow deep breathing untuk anak berusia lebih dari 3 tahun dapat
mengurangi rasa sakit yaitu dengan meniup gelembung, dan
22

distraksi dengan meniup baling-baling. Orang tua atau peneliti


dapat memotivasi anak melakukan slow deep breathing selama
prosedur injeksi.

Saat anak bermain meniup baling-baling terjadi proses distraksi


yaitu anak terfokus atau konsentrasi pada permainan yang
dilakukan dan pada saat anak meniup memberikan efek relaksasi.
Melalui permainan meniup baling-baling dapat mengurangi nyeri
pada saat dilakukan penyuntikan anestesi sirkumsisi.

C. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengakajian
a. Auto anamnesa
b. Pengkajian fisik
1) Keadaan umum pasien.
2) Tanda – tanda infeksi
3) Pemeriksaan penunjang
2. Diagnosa keperawatan
a. Diagnosa keperawatan pre op
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kurangnya perawatan
penis
3) Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan infeksi pada
saluran perkemihan
b. Diagnosa keparawatan post op
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka insisi
23

3. Fokus intervensi
a. Diagnosa keperawatan pre op
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24
jam diharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang dengan
K.H : Pasien terlihat tenang
Intervensi :
a) Kaji skala nyeri
b) Ajarkan teknik distrksi kepada orang tuanya
c) Atur posisi anak senyaman mungkin
d) Berikan lingkungan yang nyaman
e) Kaloborasi dengan pemberian analgesik
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kurangnya perawatan
penis
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24
jam diharapkan faktor resiko infeksi akan hilang dengan
K.H : tidak adanya tanda – tanda infeksi, menunjukan hygiene
pribadi yang adekuat
Intevensi :
a) kaji tanda – tanda infeksi
b) Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi
c) Anjurkan kepada ibu pasien untuk meningkatkan hygiene
pribadi pasien
d) Ajarkan teknik pencucian tangan yang benar kepada keluarga
e) Anjurkan keluarga untuk mencuci tangan sebelum ingin
kontak langsung dengan pasien
f) Kaloborasi dengan pemberian antibiotik
3) Gangguan pola eliminasi urin berhubungan dengan infeksi pada
saluran perkemihan
24

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24


jam diharapkan gangguan pola eliminasi urin dapat di atasi
K.H : pasien dapat berkemih > 50 – 100 cc setiap kali dan tidak
adanya hematuria
Intervensi :
a) Pantau eliminasi urine meliputi frekuensi, konsistensi, bau,
volume dan warna yang tepat
b) Anjurkan kepada keluarga untuk mencatat haluaran urine
c) Kaloborasi dengan dokter untuk segera disunat
b. Diagnosa keparawatan post op
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24
jam diharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang dengan
K.H : Pasien terlihat tenang
Intervensi :
a) Kaji skala nyeri
b) Ajarkan teknik distrksi kepada orang tuanya
c) Atur posisi anak senyaman mungkin
d) Berikan lingkungan yang nyaman
e) Kaloborasi dengan pemberian analgesik
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka insisi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24
jam diharapkan faktor resiko infeksi akan hilang dengan
K.H : Tidak adanya tanda – tanda infeksi dan menunjukan
hygiene pribadi yang adekuat
Intevensi :
a) Kaji tanda – tanda infeksi
b) Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi
25

c) Anjurkan kepada ibu pasien untuk meningkatkan hygiene


pribadi pasien
d) Ajarkan teknik pencucian tangan yang benar kepada keluarga
e) Anjurkan keluarga untuk mencuci tangan sebelum berkontak
dengan pasien
f) Kaloborasi dengan pemberian antibiotik

D. Konsep Dasar Penerapan Evidence Based Nursing Practice


1. Judul
Terapi slow deep breathing dengan bermain meniup baling-baling
terhadap intensitas nyeri pada anak yang dilakukan penyuntikan anestesi
sirkumsisi
2. Peneliti
Hesti Wahyuni, Setyawati, Iin Inayah
3. Tempat dan waktu penelitian
Klinik Khitan Kencana Medika, dilaksanakan mulai bulan Juli –
Desember 2015
4. Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan quasi eksperimental dengan control group
post test. Populasi penelitian ini adalah seluruh anak yang dilakukan
penyuntikan anestesi sirkumsisi di Klinik Khitan Kencana Medika.
Sampel yang digunakan berjumlah 36 anak, 18 anak kelompok intervensi
dan 18 anak kelompok kontrol. Respon nyeri diukur menggunakan Faces
Pain Rating Scale.
5. Hasil dan kesimpulan
penelitian dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan ada
perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi dan kontrol dengan
p-value < 0,001 dan nilai signifikansi alpha 0,05. Kesimpulan penelitian
ada pengaruh terapi slow deep breathing dengan bermain meniup baling-
26

baling terhadap intensitas nyeri pada anak yang dilakukan penyuntikan


anestesi sirkumsisi.
6. Landasan teori terkait
Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling berpengaruh dari siklus
kehidupan manusia, karena pengalaman yang terjadi pada masa ini akan
menjadi dasar pada tahap berikutnya yaitu proses tumbuh kembang.
Berbagai konsep dipelajari anak pada masa ini, salah satunya konsep
tentang sakit dan nyeri (Wong, 2009).

Penelitian Tarwoto (2011) bahwa terapi analgetik yang dikombinasi


dengan teknik latihan slow deep breathing dapat menurunkan nyeri.
Latihan slow deep breathing dapat dijadikan salah satu intervensi
keperawatan mandiri. Bagheriyan, Borhani, Abbaszadeh, et.al (2012 &
2013) menjelaskan metode pernapasan dan distraksi terbukti efektif dalam
mengurangi rasa sakit. Intervensi ini membutuhkan usaha dan waktu
minimal, hemat biaya, nyaman dapat digunakan dengan mudah dalam
keperawatan.

Terapi Slow Deep Breathing dapat diberikan dalam waktu 5-10 menit per
hari. Penelitian Tarwoto (2011) pemberian terapi relaksasi nafas dalam
selama 15 menit dapat menurunkan intensitas nyeri. Penelitian
Lalehghani, et.al (2013) menyatakan bahwa pemberian terapi slow deep
breathing dapat mengurangi intensitas nyeri selama luka bakar. Penelitian
Syamsudin (2009) pemberian terapi relaksasi nafas dalam selama 60
menit dapat menurunkan intensitas nyeri pada hari ketiga post perawatan
luka operasi pada anak. Penelitian Kirby (2010) menggunakan terapi
komplementer sebagai prosedur manejemen nyeri selama 30 menit dapat
mengurangi nyeri post operasi jantung, sedangkan Niles dalam
27

penelitiannya menjelaskan terapi komplementer yang diberikan selama 30


menit dan 60 menit efektif mengurangi nyeri setelah operasi.

Latihan pernapasan dengan memanfaatkan bahan yang murah dapat


diterapkan dengan mudah di klinik. Slow deep breathing melalui
penggunaan tiupan gelembung dapat diterapkan pada anak usia 3 sampai 7
tahun. Slow deep breathing dengan meniup difasilitasi dengan
mengalihkan mainan dan kegiatan. Instruksikan anak untuk mengambil
napas dalam dan meniup keluar perlahan-lahan. Untuk membantu
memudahkan slow deep breathing pada anak-anak dapat dilakukan dengan
menggunakan alat bantu misalnya gelembung, baling-baling dan balon
(Taddio.et.al, 2009).

Penelitian tentang manfaat slow deep breathing dengan bermain meniup


baling-baling untuk menurunkan nyeri pada anak belum banyak
dikembangkan oleh perawat di masyarakat. Berdasarkan hasil observasi
dilapangan yang penulis lakukan ditemukan bahwa perawat yang
melakukan asuhan keperawatan pada anak yang dilakukan penyuntikan
anestesi sirkumsisi yang mengalami nyeri umumnya memberikan terapi
farmakologik berupa analgesik dan tidak pernah melakukan terapi
komplementer seperti terapi slow deep breathing dengan bermain meniup
baling-baling yang dapat menurunkan nyeri yang dialami pasien.

Anda mungkin juga menyukai

  • Askep Asma
    Askep Asma
    Dokumen10 halaman
    Askep Asma
    Ari Soelistianto
    100% (1)
  • BAB 9 Mengenal Terapi Transendensi
    BAB 9 Mengenal Terapi Transendensi
    Dokumen13 halaman
    BAB 9 Mengenal Terapi Transendensi
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Askep Kelompok
    Askep Kelompok
    Dokumen58 halaman
    Askep Kelompok
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Ansin Infus Untuk Pasien Nyeri
    Ansin Infus Untuk Pasien Nyeri
    Dokumen6 halaman
    Ansin Infus Untuk Pasien Nyeri
    NanaIar
    Belum ada peringkat
  • Dibaca
    Dibaca
    Dokumen24 halaman
    Dibaca
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Bab I 2
    Bab I 2
    Dokumen27 halaman
    Bab I 2
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Ansin EKG
    Ansin EKG
    Dokumen4 halaman
    Ansin EKG
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen6 halaman
    Bab I
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen6 halaman
    Bab Iii
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA TN
    ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA TN
    Dokumen28 halaman
    ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA TN
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen33 halaman
    Bab Ii
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Asuhan Keperawatan Keluarga TN
    Asuhan Keperawatan Keluarga TN
    Dokumen5 halaman
    Asuhan Keperawatan Keluarga TN
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Rencana Keperaw
    Rencana Keperaw
    Dokumen6 halaman
    Rencana Keperaw
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat
  • Pertemuan V
    Pertemuan V
    Dokumen6 halaman
    Pertemuan V
    Muhammad Nur Kholis
    Belum ada peringkat