Anda di halaman 1dari 68

Pangeran Kecil

Antoine de Saint Exupery


Pangeran Kecil
Oleh Antoine de Saint Exupery

Diterjemahkan oleh: Fatimah

1
Saat aku masih berumur enam tahun aku melihat sebuah gambar yang keren dalam sebuah
buku, judulnya Kisah Nyata dari Alam, tentang hutan purba. Gambar itu adalah seekor sanca
pembelit yang sedang menelan seekor hewan. Ini salinan gambarnya.

Dalam bukunya dikatakan: “Sanca pembelit menelan mangsanya bulat-bulat, tanpa


mengunyahnya. Setelah itu mereka tidak akan bergerak, dan mereka akan tidur sepanjang enam
bulan untuk mencerna makanannya.”
Kemudian aku merenung dengan serius tentang petualangan di dalam hutan. Dan setelah
bekerja dengan sebuah pensil warna aku berhasil menggambar gambar pertamaku. Gambar
Nomor Satu. Gambar itu terlihat seperti ini:

Aku menunjukkan mahakaryaku pada orang-orang dewasa, dan bertanya pada mereka
apakah gambarnya membuat mereka takut.
Tetapi mereka menjawab: “Takut? Kenapa orang harus takut pada sebuah topi?”
Gambarku itu bukan gambar topi. Itu adalah seekor sanca pembelit yang sedang
mencerna seekor gajah. Tetapi karena orang-orang dewasa tidak bisa memahaminya, aku
membuat gambar lainnya: aku menggambar bagian dalam dari sanca pembelit itu, agar orang-
orang dewasa dapat melihatnya dengan jelas. Mereka selalu harus diterangkan. Gambar Nomor
Dua terlihat seperti ini:
Kali ini respon orang-orang dewasa adalah menasihatiku untuk menjauhkan gambar-
gambarku tentang sanca pembelit, baik yang dari dalam maupun dari luar, dan mengabdikan
diriku pada geografi, sejarah, aritmatika, dan tata bahasa. Itu mengapa, pada usia enam, aku
menyerahkan apa yang dapat menjadi karir keren sebagai seorang pelukis. Aku telah dibuat kecil
hati oleh kesalahan Gambar Nomor Satu dan Gambar Nomor Dua. Orang-orang dewasa tidak
pernah bisa memahami apapun sendiri, dan itu melelahkan bagi anak-anak untuk harus selalu
dan terus menjelaskan hal-hal pada mereka. Kemudian aku memilih profesi lain, dan aku belajar
untuk mengendarai pesawat terbang. Aku telah terbang ke bagian kecil dari belahan dunia; dan
memang benar bahwa geografi sangat berguna bagiku. Dalam sepandangan aku bisa
membedakan China dari Arizona. Jika seseorang tersesat di malam hari, pengetahuan seperti itu
sangat berharga.
Dalam pelajaran hidup ini aku telah bertemu dengan banyak sekali orang yang selalu
memikirkan persoalan sebab-akibat. Aku telah banyak bergaul dengan orang-orang dewasa. Aku
telah memahami mereka dengan dekat, sedekat genggaman tangan. Dan itu tidak banyak
memperbaiki pendapatku tentang mereka.
Setiap kali aku bertemu dengan salah satu dari mereka yang bagiku terlihat memiliki
pikiran yang jernih, aku mencoba bereksperimen dengan menunjukkan padanya Gambar Nomor
Satu, yang selalu kusimpan. Aku akan mencoba untuk mencari tahu, karenanya, apakah orang ini
memiliki pemahaman yang benar. Tetapi, siapa pun itu, laki-laki atau perempuan, akan selalu
bilang: “Itu adalah sebuah topi.” Kemudian aku tidak akan pernah membicarakan dengan orang
itu tentang sanca pembelit, atau hutan purba, atau bintang-bintang. Aku akan membawa diriku
ke level ini. Aku akan membicarakan dengannya tentang jembatan, dan golf, dan politik, dan dasi.
Dan orang-orang dewasa akan menjadi sangat senang telah bertemu dengan seseorang yang
bijaksana.
2

Jadi aku menjalani hidup ini sendiri, tanpa siapa pun yang dapat benar-benar kuajak bicara,
sampai aku mengalami sebuah kecelakaan dengan pesawat terbangku di Gurun Sahara, enam
tahun lalu. Sesuatu di mesinku rusak. Dan karena aku tidak membawa bersamaku montir
ataupun penumpang, aku harus mencoba reparasi yang sulit itu sendirian. Itu adalah sebuah
pertanyaan hidup atau mati bagiku: aku telah cukup mengalami kekurangan air untuk
persediaan satu minggu. Malam pertama, kemudian, aku pergi tidur di atas tanah, bermil-mil
jauhnya dari pemukiman manusia. Aku lebih terisolasi dari seorang pelaut yang rusak kapalnya
yang kemudian harus berada di atas rakit di tengah samudera. Oleh karena itu kau bisa
membayangkan betapa kagetnya, saat matahari terbit, ketika aku dibangunkan oleh sebuah
suara kecil yang aneh. Suara kecil itu berkata:
“Tolong—buatkan aku gambar domba!”
“Apa!”
“Buatkan aku gambar domba!”
Aku terloncat berdiri, benar-benar seperti tersambar petir. Aku mengerjap-kerjapkan
mataku keras-keras. Aku melihat dengan teliti sekelilingku. Dan aku melihat seorang anak kecil
yang luar biasa, yang berdiri di sana mengamatiku dengan sangat serius. Di sini kau akan melihat
potret terbaik yang, kemudian, dapat aku buat dari dia. Tetapi gambarku tentu saja jauh lebih
tidak tampan dari model aslinya.
Itu, bagaimanapun, bukan salahku. Orang-orang dewasa mengecilkan hatiku terhadap
karir melukis ketika aku masih enam tahun, dan aku tidak pernah belajar untuk menggambar
apa pun, kecuali sanca dari luar dan sanca dari dalam.
Sekarang aku menatap penampakan tiba-tiba ini dengan mataku yang hampir membuat
kepalaku mulai keheranan. Ingat, aku telah terjatuh ke gurun bermil-mil jauhnya dari daerah
berpenduduk. Dan walau begitu orang kecil ini tidak terlihat baik tersesat tidak tentu di padang
pasir, maupun pingsan karena kelelahan atau kelaparan atau kehausan atau ketakutan. Tidak ada
dari dirinya yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang anak kecil yang hilang di tengah
gurun, bermil-mil jauhnya dari pemukiman manusia mana pun. Ketika pada akhirnya aku bisa
bicara, aku berkata padanya:
“Tapi—apa yang kau lakukan di sini?”
Dan dalam jawabannya dia mengulang, dengan sangat pelan, seakan dia sedang berbicara
tentang persoalan sebab-akibat yang besar:
“Tolong—buatkan aku gambar domba . . . ”
Ketika sebuah misteri terlalu berkuasa, tidak akan ada yang berani membantah.
Semustahil kelihatannya, bermil-mil jauhnya dari pemukimam manusia dan dalam bahaya
kematian, aku mengeluarkan dari sakuku secarik kertas dan pulpenku. Kemudian aku teringat
bagaimana pendidikanku telah terfokus pada geografi, sejarah, aritmatika, dan tata bahasa, dan
aku pun berkata pada orang kecil ini (dengan sedikit jengkel, juga) bahwa aku tidak bisa
menggambar. Dia menjawabku:
“Itu tidak masalah. Gambarkan aku seekor domba . . . ”
Tetapi aku belum pernah menggambar seekor domba. Jadi aku menggambarkannya satu
dari dua gambar yang telah sering kugambar. Gambar sanca pembelit dari luar. Dan aku terkejut
ketika mendengar sambutan teman kecil ini untuk gambar itu,
“Bukan, bukan, bukan! Aku tidak menginginkan seekor gajah di dalam seekor sanca
pembelit. Seekor sanca pembelit adalah seekor makhluk yang sangat berbahaya, dan seekor
gajah sangat tidak praktis. Di mana aku tinggal, semuanya sangat kecil. Yang aku butuhkan
adalah seekor domba. Gambarkan aku seekor domba.”
Jadi kemudian aku membuat sebuah gambar.

Dia memandangnya hati-hati, lalu berkata:


“Tidak. Domba ini sudah sangat sakit-sakitan. Buatkan aku yang lainnya.”
Jadi aku membuat gambar yang lainnya.

Temanku tersenyum dengan lembut dan ramah.


“Coba lihat,” katanya, “itu bukan seekor domba. Ini adalah seekor domba jantan. Dia punya
tanduk.”
Jadi kemudian aku membuat gambar lainnya lagi.

Tetapi ini ditolak juga, seperti yang lainnya.


“Yang ini terlalu tua. Aku ingin seekor domba yang hidup lama.”
Tetapi kali ini kesabaranku sudah habis. Karena aku sedang terburu-buru untuk membawa
mesinku pergi. Jadi aku mengarang gambar ini.

Dan aku memberikan sebuah penjelasan bersama gambar ini.


“Ini cuma kotaknya. Domba yang kau minta ada di dalam.”
Aku sangat terkejut melihat perubahan di wajahnya karena dugaan mentahku:
“Persis seperti ini apa yang kuinginkan! Apa menurutmu domba ini akan butuh banyak
rumput?”
“Kenapa memangnya?”
“Karena di mana aku tinggal semuanya sangat kecil . . . ”
“Akan ada cukup rumput untuknya,” kataku. “Ini domba yang sangat kecil yang kuberikan
padamu.”
Dia memiringkan kepalanya terhadap gambar itu:
“Tidak cukup kecil untuk—Lihat! Dia telah tertidur . . . “
Dan begitulah aku berkenalan dengan pangeran kecil itu.
3

Butuh waktu lama untuk tahu dari mana dia berasal. Pangeran kecil itu, yang memberiku banyak
sekali pertanyaan, sepertinya tidak pernah mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang
kuberikan padanya. Dari perkataan-perkataan yang tidak sengajalah, sedikit-demi sedikit,
semuanya terungkap.
Ketika pertama kali dia melihat pesawat terbangku, benar-benar melihat (aku tidak akan
menggambar pesawat terbangku; itu akan terlalu rumit untukku), dia bertanya:
“Benda apa itu?”
“Itu bukan sebuah benda. Dia terbang. Itu adalah sebuah pesawat terbang. Itu adalah
pesawat terbangku.”
Dan aku bangga memberitahunya bahwa aku bisa terbang.
Kemudian dia berteriak:
“Apa! Kau jatuh dari langit?”
“Ya,” Aku menjawab, dengan rendah hati.
“Oh! Itu lucu!”
Dan pangeran kecil itu tertawa terbahak-bahak, yang membuatku kesal sekali. Aku lebih
suka kesialanku dipandang serius.
Kemudian dia menambahkan:
“Jadi kau, juga, datang dari langit! Planetmu yang mana?”
Dan saat itu aku menangkap sebuah cahaya dalam misteri taktertembus dari
kehadirannya; dan aku mendesak, dengan kasar:
“Kau datang dari planet lain?”
Tetapi dia tidak menjawab. Dia menggerakkan kepalanya dengan pelan, tanpa
mengalihkan matanya dari pesawatku:
“Jadi benar kau tidak mungkin datang dari tempat yang sangat jauh . . . “
Dan dia tenggelam dalam lamunan, yang bertahan sangat lama. Kemudian, mengeluarkan
dombaku dari sakunya, dia mengubur dirinya dalam perenungan akan harta karunnya.
Kau tidak bisa membayangkan bagaimana rasa penasaranku muncul oleh setengah-
keyakinan tentang “planet lain” ini. Aku berusaha keras, karenanya, untuk mengetahui lebih
banyak tentang hal ini.
“Teman kecilku, dari mana kau datang? Apa itu ‘di mana aku tinggal,’ yang selalu kau
bicarakan? Ke mana kau akan membawa dombamu?”
Setelah hening penuh perenungan dia menjawab.
“Hal yang sangat bagus tentang kotak yang kau berikan padaku adalah bahwa di malam
hari dia bisa menggunakannya sebagai rumahnya.”
“Itu benar. Dan jika kau baik aku akan memberimu sebuah tali juga, sehingga kau bisa
mengikatnya di siang hari, dan sebuah tiang untuk mengikatkan domba itu.”
Tetapi pangeran kecil terlihat syok oleh penawaran ini:
“Mengikatnya! Ide yang aneh sekali!”
“Tetapi kalau kau tidak mengikatnya,” kataku, “dia akan berkelana ke mana-mana, dan
tersesat.”
“Tetapi ke mana menurutmu dia akan pergi?”
“Ke mana saja. Lurus ke depan.”
Lalu pangeran kecil berkata, dengan bersungguh-sungguh:
“Itu tidak masalah. Di mana aku tinggal, semuanya sangat kecil!”
Dan, dengan mungkin ekspresi sedih, dia menambahkan:
“Lurus ke depan, seseorang tidak akan pergi jauh . . .”
4

Kemudian kutemukan fakta kedua yang sangat penting: bahwa planet di mana pangeran kecil itu
berasal hanya sedikit lebih besar dari sebuah rumah!
Tetapi itu tidak begitu mengejutkanku. Aku sangat mengerti bahwa setelah planet-planet
besar—seperti Bumi, Jupiter, Mars, Venus—yang telah kita beri nama, masih ada ratusan lagi
lainnya, beberapa yang sangat kecil yang jarang terlihat ketika kita menggunakan teleskop.
Ketika seorang astronom menemukan satu dari planet-planet ini dia tidak memberinya sebuah
nama, hanya sebuah nomor. Dia akan menyebutnya, sebagai contoh, “Asteroid 325.”
Aku punya alasan serius untuk percaya bahwa planet di mana pangeran kecil ini berasal
adalah sebuah asteroid yang dikenal sebagai B-612.
Asteroid ini hanya pernah satu kali terlihat melalui teleskop. Oleh sebuah astronom dari
Turki, pada tahun 1909.

Dalam membuat penemuan barunya, sang astronom telah mempresentasikannya pada


Kongres Astronomik Internasional, dengan demonstrasi yang bagus. Tetapi dia memakai kostum
orang Turki, dan karenanya tidak ada yang percaya pada apa yang dia katakan.
Orang-orang dewasa memang seperti itu . . .
Untungnya, bagaimanapun, demi reputasi Asteroid B-612, seorang diktator Turki
membuat peraturan bahwa orang ini, dengan ancaman hukuman mati, harus berganti kostum
orang Eropa. Sehingga pada tahun 1920 sang astronom menyampaikan demonstrasinya sekali
lagi, berpakaian dengan gaya impresif dan keanggunan. Dan kali ini semua orang menerima
laporannya.
Jika aku bercerita padamu detail-detail ini tentang asteroid, dan membuat catatan tentang
nomornya untukmu, ini seperti catatan orang dewasa dan cara mereka. Ketika kau bercerita
pada mereka bahwa kau telah menemukan teman baru, mereka tidak pernah memberimu
pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang esensial. Mereka tidak pernah berkata padamu,
“Seperti apa suaranya? Permainan apa yang paling dia sukai? Apakah dia berburu kupu-kupu?”
Sebagai gantinya, mereka akan bertanya, “Berapa umurnya? Dia berapa bersaudara? Berapa
beratnya? Berapa penghasilan ayahnya?” Hanya dari gambaran-gambaran seperti itulah mereka
pikir mereka telah mengetahui segalanya tentang dia.
Jika kau mengatakan pada orang-orang dewasa: “Aku melihat sebuah rumah yang indah
terbuat dari bata merah, dengan geranium-geradium di jendela-jendelanya dan merpati-merpati
di atapnya,” mereka tidak akan bisa membayangkan rumah itu sama sekali. Kau harus berkata
pada mereka: “Aku melihat rumah seharga 20.000 dolar.” Baru mereka akan berteriak: “Oh,
bagus sekali rumahnya!”
Seperti itu juga, kau mungkin akan berkata pada mereka: “Bukti bahwa pangeran kecil itu
ada adalah bahwa dia tampan, bahwa dia tertawa, dan bahwa dia mencari seekor domba. Jika
seseorang menginginkan seekor domba, itu adalah sebuah bukti bahwa dia ada.” Dan apa
gunanya kau mengatakan itu pada mereka? Mereka akan mengangkat bahunya, dan
memperlakukanmu seperti anak kecil. Tetapi jika kau berkata pada mereka: “Planet dari mana
dia berasal adalah Asteroid B-612.” maka mereka akan diyakinkan, dan akan meninggalkanmu
dalam damai dari pertanyaan-pertanyaan mereka.
Mereka memang seperti itu. Kita tidak perlu melawan karena kebiasaan mereka. Anak-
anak harus bersabar terhadap orang yang sudah dewasa.
Tetapi tentu saja, untuk kita yang memahami hidup, angka adalah ketidakacuhan. Aku bisa
saja memulai cerita ini dengan gaya dongeng peri. Aku bisa saja berkata: “Pada suatu hari
hiduplah seorang pangeran kecil yang tinggal di sebuah planet yang hanya sedikit lebih besar
dari dirinya, dan yang membutuhkan seekor domba . . . ”
Untuk orang-orang yang memahami hidup, itu akan memberikan sedikit kesan kebenaran
pada ceritaku.
Karena aku tidak mau bukuku dibaca serampangan. Aku telah berusaha keras dalam
menggali ingatan ini. Enam tahun telah berlalu sejak temanku pergi dariku, dengan dombanya.
Jika aku mencoba mendeskripsikan dia di sini, itu adalah untuk memastikan bahwa aku tidak
akan melupakannya. Melupakan teman itu sedih. Tidak semua orang punya teman, dan jika aku
melupakannya, aku akan menjadi seperti orang dewasa yang tidak lagi tertarik pada apa pun
kecuali angka-angka . . .
Untuk tujuan itulah, sekali lagi, mengapa aku membeli sekotak cat dan beberapa pensil.
Sangat sulit untuk menggambar lagi di usiaku sekarang, di saat aku tidak pernah membuat
gambar apa pun kecuali sanca pembelit dari bagian luar dan sanca pembelit dari bagian dalam,
sejak aku berumur enam tahun. Aku akan mencoba untuk membuat gambar-gambarku senyata
mungkin. Tetapi aku tidak yakin aku berhasil. Satu gambar berhasil, dan yang lainnya tidak mirip
sama sekali dengan yang digambar. Aku membuat kesalahan juga di tinggi badan pangeran kecil:
di satu gambar dia terlalu tinggi dan di gambar lainnya terlalu pendek. Dan aku ragu tentang
warna kostumnya. Sehingga aku meraba-raba sebisaku, sekarang bagus, sekarang jelek, dan aku
berharap secara umum lumayan.
Dalam beberapa detail penting tertentu aku akan melakukan kesalahan, juga. Tetapi itu
sesuatu yang tidak akan menjadi kesalahanku. Temanku tidak pernah menjelaskan apa pun
kepadaku. Dia pikir, mungkin, bahwa aku seperti dirinya. Tetapi aku tidak tahu cara melihat
domba di balik dinding kotak. Mungkin aku sedikit seperti orang-orang dewasa. Aku pasti telah
menua.
5

Seiring hari berlalu aku akan mengetahui, dari percakapan kami, beberapa hal tentang planet
pangeran kecil, keberangkatannya dari planet itu, perjalanannya. Informasinya datang dengan
sangat lambat, sebagaimana itu datang berjatuhan secara kebetulan dari pikirannya. Dalam cara
inilah aku mendengar, di hari ketiga, tentang bencana pohon baobab. Kali ini, sekali lagi, aku
punya si domba untuk berterimakasih. Karena pangeran kecil bertanya padaku tiba-tiba—
seakan dicengkeram keraguan mendalam—“Benar, bukan, bahwa domba makan semak kecil?”
“Ya, itu benar.”
“Ah! Aku senang.”
Aku tidak mengerti mengapa sangat penting bahwa domba harus memakan semak kecil.
Tetapi pangeran kecil menambahkan:
“Berarti benar juga bahwa domba juga makan pohon baobab?”
Aku memberi tahu pangeran kecil bahwa pohon baobab bukan semak kecil, tetapi,
sebaliknya, pohon sebesar kastil; dan bahwa meskipun dia membawa sekawanan gajah
bersamanya, kawanan itu tidak akan menghabiskan satu pohon baobab.
Ide tentang kawanan gajah membuat pangeran kecil tertawa.
“Kita akan harus menaruh satu gajah di atas gajah lainnya,” katanya.

Tetapi dia membuat komentar bijak:


“Sebelum mereka tumbuh besar, pohon baobab pernah menjadi kecil terlebih dahulu.”
“Itu sangat benar,” kataku. “Tetapi kenapa kau ingin dombanya memakan baobab kecil?”
Dia menjawabku seketika, “Oh, ayolah!”, seakan dia sedang membicarakan sesuatu yang
jelas dengan sendirinya. Dan aku terpaksa membuat usaha mental untuk menyelesaikan masalah
ini, tanpa bantuan.
Benar saja, setelah kupelajari, terdapat di planet di mana pangeran kecil tinggal—
sebagaimana di semua planet—tanaman baik dan tanaman buruk. Sebagai akibatnya, terdapat
benih baik dari tanaman baik, dan benih buruk dari tanaman buruk. Tetapi benih tidak terlihat.
Mereka tidur nyeyak di dalam jantung kegelapan bumi, sampai beberapa di antara mereka diraih
oleh keinginan untuk bangun. Kemudian benih kecil ini akan meluaskan dirinya dan mulai—
awalnya malu-malu—mendorong ranting kecil yang cantik dengan sopan ke atas menuju
matahari. Jika itu hanyalah sebuah kecambah dari akar atau tangkai dari sebuah semak-mawar,
kita harus membiarkannya tumbuh ke mana pun ia mau. Ketika itu adalah sebuah tanaman yang
buruk, kita harus menghancurkannya sesegera mungkin, sejak pertama kali kita mengenalinya.

Sekarang terdapat benih mengerikan di atas planet yang merupakan rumah pangeran
kecil; dan ini adalah benih-benih pohon baobab. Tanah planet tersebut diserbu oleh mereka.
Sebuah baobab adalah sesuatu yang kau tidak akan pernah, sekali pun, bisa menyingkirkannya
jika kau terlambat memulainya. Tanaman itu mengebor ke dalam tanah dengan akarnya. Dan jika
planetnya terlalu kecil, dan pohon baobabnya terlalu banyak, mereka terbelah menjadi kecil-
kecil . . .
“Ini adalah pertanyaan tentang disiplin,” pangeran kecil berkata padaku kemudian. “Ketika
kau selesai dengan urusanmu sendiri di pagi hari, maka itu waktunya kau mulai dengan urusan
planetmu, dengan sama, dengan kepedulian terbaik. Kau harus melihat padanya bahwa kau
harus mencabut dengan teratur semua pohon baobab, sejak pertama mereka dapat dibedakan
dari semak mawar di mana mereka sangat mirip di usia awal mereka. Ini merupakan pekerjaan
yang sangat membosankan,” pangeran kecil itu menambahkan, “tetapi sangat mudah.”
Dan suatu hari dia berkata padaku: “Kau harus membuat gambar yang cantik, agar anak-
anak di mana kau tinggal dapat melihat dengan tepat bagaimana semua ini. Itu akan sangat
berguna bagi mereka jika mereka akan berkelana suatu hari. Kadang kala,” dia menambahkan,
“tidak ada bahayanya menunda suatu pekerjaan sampai hari berikutnya. Tetapi jika menyangkut
tentang baobab, itu selalu berarti bencana. Aku tahu sebuah planet yang dihuni oleh seorang
pemalas. Dia mengabaikan tiga semak kecil . . . “
Jadi, sebagaimana pangeran menggambarkannya padaku, aku telah membuat sebuah
gambar dari planet itu. Aku tidak terlalu suka gaya seorang moralis. Tetapi bahaya dari baobab
sungguh sangat sedikit dimengerti, dan resiko yang patut dipertimbangkan seperti itu akan
diikuti oleh siapa pun yang dapat tersesat di sebuah asteroid, sehingga aku akan melanggar
kehati-hatianku. “Anak-anak,” aku berkata datar, “hati-hati baobab!”
Teman-temanku, seperti diriku, telah melewati bahaya ini selama waktu yang lama, tanpa
pernah mengetahuinya; dan untuk merekalah aku bekerja keras dalam gambar ini. Pelajaran
yang kuteruskan dengan cara ini akan membayar semua kesulitan yang kulalui.
Mungkin kau akan bertanya padaku, “Mengapa tidak ada gambar lain di buku ini yang
sebagus dan semengesankan gambar baobab ini?”
Jawabannya sederhana. Aku telah mencoba. Tetapi dengan yang lain aku tidak berhasil.
Ketika aku membuat gambar baobab aku terbawa melampaui diriku sendiri oleh kekuatan yang
menginspirasi dari kebutuhan mendesak.
6

Oh, pangeran kecil! Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti rahasia hidup kecilmu . . . Untuk
waktu yang lama kau hanya punya satu penghiburan dari kesenangan hening memandang
matahari terbenam. Aku belajar detail baru itu pada pagi hari di hari keempat, ketika kau
berkata padaku:
“Aku sangat menyukai matahari terbenam. Ayo, kita melihat matahari terbenam.”
“Tetapi kita harus menunggu,” kataku.
”Menunggu? Menunggu apa?”
“Menunggu matahari terbenam. Kita harus menunggu sampai waktunya.”
Awalnya kau terlihat sangat terkejut. Dan kemudian kau tertawa pada dirimu sendiri. Kau
berkata padaku:
“Aku selalu berpikir bahwa aku ada di rumah!”
Begitulah. Semua orang tahu bahwa saat di Amerika Serikat sedang siang hari di Perancis
matahari sedang terbenam.
Jika kau bisa terbang ke Perancis dalam satu menit, kau akan langsung menemui matahari
terbenam, langsung dari siang hari. Sayangnya, Perancis terlalu jauh untuk itu. Tetapi di planet
kecilmu, pangeran kecilku, yang kau butuhkan hanya menggeser kursimu beberapa langkah. Kau
bisa melihat hari berakhir dan sore hari menjelang kapan pun kau mau . . .
“Suatu hari,” kau berkata padaku, “Aku memandang matahari terbenam empat-puluh-
empat kali!”
Dan beberapa saat kemudian kau menambahkan:
“Kau tahu—seseorang menyukai matahari terbenam, ketika dia sedang sangat sedih . . . “
“Apakah kau sedang sangat sedih, kalau begitu?” aku bertanya, “pada hari matahari
terbenam empat-puluh-empat kali?”
Tetapi pangeran kecil tidak menjawab.
7

Pada hari kelima—lagi, seperti biasanya, berkat si domba—rahasia dari kehidupan pangeran
kecil itu terungkap untukku. Tiba-tiba, tanpa apa pun yang mengarahkan ke sana, dan seakan
pertanyaannya telah lahir dari meditasi panjang dan hening tentang masalahnya, dia bertanya:
“Seekor domba—jika dia memakan semak kecil, apakah dia juga memakan bunga?”
“Seekor domba,” aku menjawab, “memakan apa pun yang dapat dijangkaunya.”
“Bahkan bunga yang berduri?”
“Ya, bahkan bunga yang berduri.”
“Jadi durinya—apa gunanya mereka?”
Aku tidak tahu. Waktu itu aku sangat sibuk berusaha melepaskan sekrup yang macet di
mesinku. Aku sangat khawatir, karena semakin jelas saja bahwa kerusakan pesawatku sangatlah
serius. Dan aku hanya punya air-minum yang tersisa sangat sedikit yang membuatku paling
takut.
“Durinya—apa gunanya mereka?”
Pangeran kecil tidak pernah menyerah pada pertanyaannya, sekali dia menanyakannya.
Sedangkan untukku, aku sedang kesal tentang sekrup itu. Dan aku menjawabnya dengan hal
pertama yang muncul di kepalaku:
“Durinya tidak ada gunanya sama sekali. Bunga punya duri hanya karena ia dengki!”
“Oh!”
Ada satu waktu yang sangat hening. Kemudian pangeran kecil menyorotkan pandangan
marah padaku:
“Aku tidak percaya padamu! Bunga adalah makhluk lemah. Mereka naif. Mereka cuma
berusaha keras menenteramkan diri mereka sendiri. Mereka percaya bahwa duri mereka adalah
senjata yang mengerikan.”
Aku tidak menjawab. Pada saat itu aku berkata pada diriku sendiri: “Jika sekrup ini masih
tidak mau memutar, aku akan memukulnya dengan palu.” Lagi pangeran kecil itu mengganggu
pikiranku.
“Dan kau benar-benar percaya bahwa bunga—“
“Oh, tidak!” aku berteriak. “Tidak, tidak, tidak! Aku tidak percaya apa pun. Aku
menjawabmu dengan hal pertama yang muncul di kepalaku. Tidakkah kau lihat—aku sekarang
sedang sangat sibuk dengan persoalan sebab-akibat!”
Dia memandangku, terheran-heran.
“Persoalan sebab-akibat!”
Dia melihat padaku di sana, dengan palu di tanganku, jari-jariku hitam dengan oli,
membungkukkan badan di sekitar sebuah benda yang baginya terlihat sangat jelek . . .
“Kau bicara persis seperti orang-orang dewasa!”
Itu membuatku sedikit malu. Tetapi dia meneruskan, tanpa ampun:
“Kau mencampur semua hal bersama-sama . . . Kau membingungkan semua hal . . . “ Dia
benar-benar sangat marah. Dia menggerakan rambut keriting keemasannya di sepoi angin.
“Aku tahu sebuah planet di mana terdapat seorang laki-laki berwajah merah. Dia tidak
pernah mencium bunga. Dia tidak pernah menatap bintang. Dia tidak pernah mencintai siapa
pun. Dia tidak pernah melakukan apa pun dalam hidupnya selain menambah dan menambahkan
angka-angka. Dan seharian dia berkata lagi dan lagi, seperti dirimu: ‘Aku sibuk dengan persoalan
sebab-akibat!’ dan itu membuat dia bengkak dengan rasa bangga. Tetapi dia bukan orang—dia
sebuah jamur!”
“Sebuah apa?”
“Sebuah jamur!”
Pangeran kecil itu sekarang pucat karena kemarahan.
“Bunga telah menumbuhkan duri selama jutaan tahun. Selama jutaan tahun domba-domba
telah memakan mereka. Dan itu bukan persoalan sebab-akibat untuk mencoba memahami
mengapa bunga repot-repot menumbuhkan duri yang tidak pernah berguna untuk mereka?
Apakah peperangan antara domba dan bunga tidak penting? Apakah ini tidak lebih penting
daripada penjumlahan yang dilakukan laki-laki berwajah merah? Dan jika aku tahu—aku, diriku
sendiri—satu bunga yang unik di dunia ini, yang tumbuh tidak di mana pun melainkan di
planetku, tetapi yang seekor domba kecil dapat menghancurkannya dalam satu gigitan, tanpa
bahkan menyadari apa yang dia lakukan—Oh! Kau pikir itu tidak penting!”
Wajahnya berubah dari pucat menjadi kemerahan saat dia melanjutkan:
“Jika seseorang mencintai sebuah bunga, yang hanya merupakan salah satu kembang yang
tumbuh di seluruh, berjuta dan berjuta bintang, cukup baginya untuk membuatnya bahagia
hanya dengan menatap pada bintang-bintang. Dia bisa berkata pada dirinya sendiri, “Di suatu
tempat, bungaku ada di sana . . . ’ Tetapi jika domba memakan bunga itu, dalam satu detik semua
bintangnya akan meredup . . . Dan menurutmu itu tidak penting!” Dia tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Kata-katanya tersedak isak.
Malam telah datang. Aku telah meletakkan alat-alatku dari tanganku. Untuk waktu yang
mana sekarang paluku, sekrupku, atau rasa haus, atau kematian? Pada satu bintang, satu planet,
planetku, Bumi, ada seorang pangeran kecil yang harus dihibur. Aku memeluknya,
menggoyangkan badannya. Aku berkata padanya:
“Bunga yang kau cintai tidak berada dalam bahaya. Aku akan menggambarkanmu sebuah
moncong untuk dombamu. Aku akan menggambarkanmu sebuah pagar untuk mengelilingi
bungamu. Aku akan—“
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Aku merasa canggung dan tolol. Aku
tidak tahu bagaimana aku bisa mencapainya, di mana aku bisa mengejar dan berjalan
berdampingan dengannya sekali lagi.
Itu adalah sebuah tempat rahasia, tanah air mata.
8

Aku segera mengenal bunga ini lebih baik. Di planet pangeran kecil bunga selalu sederhana.
Mereka cuma punya satu lingkar mahkota; mereka tidak mengambil ruang sama sekali; mereka
bukan masalah untuk siapa pun. Suatu pagi mereka akan muncul di rerumputan, dan di malam
hari mereka akan menghilang dengan damai. Tetapi suatu hari, dari sebuah benih yang tidak ada
yang tahu asalnya, sebuah bunga telah muncul; dan pangeran kecil telah memandang lekat-lekat
pada kecambah yang tidak seperti kecambah mana pun di planetnya itu. Itu mungkin, kau tahu,
merupakan baobab jenis baru.
Semak ini kemudian berhenti tumbuh, dan mulai siap untuk menghasilkan sebuah bunga.
Pangeran kecil, yang telah hadir sejak kemunculan pertama sebuah tunas besar, merasakan
begitu saja bahwa suatu penampakan ajaib pasti akan muncul dari semak itu. Tetapi bunga itu
belum puas untuk mengakhiri persiapan untuk kecantikannya di dalam kamar hijau
pelindungnya. Dia memilih warna-warnanya dengan sangat hati-hati. Dia menentukan
mahkotanya satu per satu. Dia tidak sudi keluar ke dunia dalam keadaan kumal, seperti kembang
sawah. Hanya di sinarnya yang paling terang dari kecantikannya dia mau muncul. Oh ya! Dia
memang makhluk yang genit! Dan dandanan misteriusnya bertahan dari hari ke hari.
Lalu suatu pagi, tepat saat matahari terbit, dia akhirnya menampakkan diri.

Dan, setelah bekerja dengan semua ketelitian berat ini, dia menguap dan berkata:
“Ah! Aku belum benar-benar bangun. Maafkan aku. Mahkotaku belum benar-benar rapi . . .

Tetapi pangeran kecil tidak dapat menyembunyikan kekagumannya:
“Oh! Betapa cantiknya dirimu!”
“Benarkah?” bunga itu merespon, dengan manis. “Dan aku terlahir di waktu yang sama
dengan matahari . . . “
Pangeran kecil dapat menebak dengan cukup mudah bahwa bunga itu tidak terlalu rendah
hati—tetapi betapa menggerakkan hati—dan menyenangkan—nya bunga itu!
“Aku rasa ini waktunya sarapan,” bunga itu menambahkan. “Jika kau berkenan
memperhatikan kebutuhanku—“
Dan pangeran kecil, benar-benar kebingungan, pergi mencari penyiram bunga. Jadi, dia
merawat bunga itu.

Jadi, juga, bunga itu dengan cepat mulai menyiksa sang pangeran dengan kesombongannya
—yang jika boleh jujur, sedikit sulit untuk dihadapi. Suatu hari, sebagai contoh, ketika dia sedang
berbicara tentang empat durinya, dia berkata pada pangeran kecil:
“Biarkan harimau datang dengan cakarnya!”
“Tidak ada harimau di planetku,” pangeran kecil menyangkal. “Dan, bagaimanapun juga,
harimau tidak makan rumput.”
“Aku bukan rumput,” bunga itu menjawab, dengan manis.
“Maafkan aku . . . ”
“Aku tidak takut pada harimau,” dia meneruskan, “tetapi aku takut pada draft. Aku rasa
kau tidak punya tabir untukku?”
“Takut pada draft—itu ketidakberuntungan, untuk sebuah tanaman,” kata pangeran kecil,
dan menambahkan pada dirinya sendiri, “Bunga ini makhluk yang sangat rumit . . . “
“Di malam hari aku mau kau meletakkanku di sebuah bola kaca. Sangat dingin di
tempatmu tinggal ini. Di tempat dari mana aku berasal—“
Tetapi dia berhenti saat itu. Dia telah datang dari sebuah wujud benih. Dia pastilah tidak
tahu apa pun dari dunia lain mana pun. Malu membiarkan dirinya tertangkap di ambang sebuah
ketidakbenaran yang naif, dia terbatuk dua atau tiga kali, untuk membuat pangeran kecil berada
dalam posisi salah.
“Tabirnya?”
“Aku sedang mulai mencari ketika kau bicara padaku . . . “
Kemudian bunga itu memaksakan batuknya sedikit lebih banyak sehingga sang pangeran
harus menderita penyesalan yang sama.
Sehingga pangeran kecil, di samping semua niat baiknya yang tidak terpisahkan dari
cintanya, mulai meragukan si bunga. Dia telah mengambil kata-kata yang tidak penting dengan
serius, dan itu membuatnya sangat tidak bahagia.
“Aku seharusnya tidak mendengarkan dia,” dia mempercayakan rahasianya padaku suatu
hari. “Seseorang tidak seharusnya mendengarkan bunga. Dia hanya harus memandang mereka
dan mencium wanginya. Cerita tentang cakar, yang sangat menggangguku, hanya harus
memenuhi hatiku dengan kelembutan dan rasa kasihan.
Dan dia melajutkan kepercayaan dirinya:
“Faktanya adalah aku tidak tahu cara memahami apa pun! Aku seharusnya menilai dari
perbuatan dan bukan dari perkataan. Dia memberikan keharuman dan cahayanya kepadaku. Aku
seharusnya tidak pernah lari darinya . . . Aku seharusnya bisa menebak kasih sayang yang
tersimpan di balik muslihat kecilnya yang menyedihkan. Bunga sangatlah tidak konsisten! Tetapi
waktu itu aku masih terlalu muda untuk tahu bagaimana mencintainya . . . “
9

Aku percaya bahwa karena kepergiannya dia mendapat manfaat dari migrasi sekelompok
burung liar. Pada pagi hari keberangkatannya dia telah merapikan planetnya dengan sempurna.
Dia telah membersihkan gunung berapi aktifnya. Dia memiliki dua gunung berapi aktif; dan
gunung-gunung itu sangat nyaman untuk menghangatkan sarapannya di pagi hari. Dia juga
punya satu gunung yang telah mati. Tetapi, sebagaimana yang dia katakan, “Kita tidak pernah
tahu!” Jadi dia membersihkan gunung mati itu juga. Jika mereka telah dibersihkan, gunung
berapi terbakar dengan pelan dan pasti, tanpa ada erupsi. Erupsi gunung berapi itu seperti api
dalam perapian.
Di bumi kita, kita jelas terlalu kecil untuk membersihkan gunung-gunung berapi. Itu
mengapa gunung-gunung itu tidak henti-hentinya memberi kita masalah.
Pangeran kecil juga mencabut, pastinya dengan kekesalan, pohon-pohon baobab yang
terakhir tumbuh. Dia yakin dia tidak akan pernah kembali. Tetapi di pagi hari terakhir semua
tugas yang lazim ini terasa sangat berharga baginya. Dan dia pun menyirami bunga itu untuk
terakhir kalinya, dan bersiap untuk meletakannya di bawah perlindungan bola kacanya, dia
sadar dia telah sangat dekat dengan air mata.
“Selamat tinggal,” dia berkata pada bunga itu.
Tetapi bunga tidak menjawab.
“Selamat tinggal,” dia berkata lagi.
Bunga itu batuk. Tetapi itu bukan karena dia masuk angin.
“Aku telah bertindak bodoh,” bunga berkata pada pangeran kecil, akhirnya. “Aku minta
maaf. Cobalah untuk bahagia . . . “
Pangeran kecil terkejut dengan tidak hadirnya makian. Dia berdiri di sana, kagum, bola
kacanya ada di udara. Pangeran tidak memahami keindahan hening ini.
“Tentu saja aku cinta padamu,” bunga itu berkata padanya. “Salahku kau tidak
mengetahuinya selama ini. Itu bukan hal penting. Tapi kau—kau telah bertindak bodoh
sepertiku. Cobalah untuk bahagia . . . Biarkan bola kacanya. Aku tidak menginginkannya lagi.”
“Tetapi anginnya—“
“Aku tidak masuk angin parah . . . Udara malam hari yang dingin akan membuatku
nyaman. Aku adalah sebuah bunga.”
“Tetapi hewannya—“
“Ya, tapi aku harus bertahan akan kehadiran dua atau tiga ulat jika aku ingin mengenal
kupu-kupu. Sepertinya mereka sangat cantik. Dan jika bukan kupu-kupu—dan ulat—siapa lagi
yang akan membutuhkanku? Kau akan pergi jauh . . . dan untuk hewan-hewan besarnya—aku
sama sekali tidak takut pada mereka. Aku punya cakar-cakarku.”
Dan dia menunjukkan keempat durinya. Lalu dia menambahkan:
“Jangan diam seperti ini. Kau telah memutuskan untuk pergi. Sekarang pergilah!”
Karena bunga itu tidak mau pangeran kecil melihatnya menangis. Dia adalah sekuntum
bunga yang angkuh . . .
10

Dia menemukan dirinya di asteroid tentangga 325, 326, 327, 328, 329, dan 330. Dia mulai,
karenanya, dengan mengunjungi mereka, untuk menambah pengetahuannya.
Asteroid pertama dihuni oleh seorang raja. Jubah dalam ungu kerajaan, dia duduk di
singgasana yang di saat bersamaan sederhana dan megah.

“Ah! Ini dia seorang warga negara,” seru sang raja, ketika dia melihat pangeran kecil
datang.
Dan pangeran kecil bertanya pada dirinya sendiri:
“Bagaimana dia bisa mengenaliku saat dia belum pernah melihatku sebelumnya?”
Dia tidak tahu bagaimana dunia disederhanakan untuk para raja. Bagi mereka, semua
orang adalah warga negara.
“Mendekatlah, agar aku bisa melihatmu lebih jelas,” kata sang raja, yang merasa sangat
bangga akhirnya menjadi seorang raja atas seseorang.
Pangeran kecil melihat sekeliling mencari tempat untuk duduk; tetapi seluruh planet
dipenuhi jubah sang raja yang megah. Jadi dia tetap berdiri, dan karena dia lelah, dia menguap.
“Itu melanggar etiket untuk menguap di depan seorang raja,” penguasa itu berkata
padanya. “Aku melarangmu untuk melakukannya.”
“Aku tidak bisa mengendalikanya. Aku tidak bisa menghentikan diriku,” jawab pangeran
kecil, merasa malu. “Aku telah memulai sebuah perjalanan panjang, dan aku belum tidur . . . “
“Ah, kalau begitu,” kata sang raja. “Aku memerintahkanmu untuk untuk menguap. Sudah
bertahun-tahun aku tidak melihat seseorang menguap. Menguap, bagiku, adalah objek
keingintahuan. Ayo, sekarang! Menguap lagi! Itu adalah sebuah perintah.”
“Itu membuatku takut . . . Aku tida bisa, lagi . . . ” gumam pangeran kecil itu, sekarang
benar-benar kebingungan.
“Hm! Hm!” jawab sang raja. “Kalau begitu aku—aku memerintahkanmu untuk kadang
menguap dan kadang—“ dia sedikit menggerutu, dan terlihat dongkol. Tentang apa sang raja
telah bersikeras adalah bahwa kekuasaannya harus dihormati. Dia tidak mentoleransi
ketidakpatuhan. Dia adalah seorang penguasa absolut. Tetapi, karena dia adalah orang yang
sangat baik, dia membuat perintah-perintahnya masuk akal.
“Jika aku memerintahkan seorang jenderal,” dia akan berkata, sebagai contoh, “jika aku
memerintahkan seorang jenderal untuk berubah menjadi seekor burung laut, dan jika jenderal
itu tidak mematuhiku, itu bukan kesalahan si jenderal. Itu akan menjadi kesalahanku.”
“Bolehkah saya duduk?” datanglah sekarang permintaan malu-malu dari pangeran kecil.
“Aku memerintahkanmu untuk melakukanya,” sang raja menjawabnya, dan dengan megah
melipat jubahnya.
Tetapi pangeran kecil bertanya-tanya . . . Planetnya sangat kecil. Siapa yang dapat
diperintah oleh raja ini?
“Tuan,” dia berkata padanya, “Saya mohon Anda mengizinkan saya menanyakan sesuatu
pada Anda—“
“Aku memerintahkan padamu untuk bertanya,” sang raja cepat-cepat meyakinkannya.
“Tuan—siapakah yang Anda perintah?”
“Segalanya,” kata sang raja, dengan penyederhanaan yang sangat bagus.
“Segalanya?”
Sang raja membuat sebuah gestur, yang menunjuk pada planetnya, planet-planet lainnya,
dan semua bintang.
“Anda memerintah semua itu?” tanya pangeran kecil.
“Semua itu,” sang raja menjawab.
Karena kekuasaannya tidak hanya absolut: tetapi juga universal.
“Dan bintang-bintang patuh pada Anda?”
“Tentu saja mereka patuh padaku,” kata sang raja. “Mereka serta merta patuh. Aku tidak
mengizinkan pembangkangan.”
Kekuasaan seperti itu merupakan sesuatu bagi pangeran kecil untuk dikagumi. Jika dia
adalah raja dengan kekuasaan penuh semacam itu, dia akan bisa melihat matahari terbenam,
tidak empat-puluh-empat kali sehari, tetapi tujuh-puluh-dua, atau bahkan seratus kali, atau
bahkan dua ratus kali, tanpa harus menggeser kursinya. Dan karena dia merasa sedih saat
teringat planet kecilnya yang telah ia tinggalkan, dia mengumpulkan keberanian untuk
memohon pada sang raja sebuah permintaan:
“Saya akan sangat senang untuk melihat matahari terbenam . . . lakukan kebaikan itu
untukku . . . perintahkan pada matahari untuk terbenam . . . “
“Jika aku memerintahkan seorang jenderal untuk terbang dari satu bunga ke bunga lainnya
seperti seekor kupu-kupu, atau untuk menulis sebuah drama tragis, atau untuk berubah menjadi
seekor burung laut, dan jika jenderal itu tidak melaksanakan perintah yang telah ia terima, siapa
di antara kami yang salah?” tanya sang raja. “Jenderal itu, atau aku sendiri?”
“Anda,” kata pangeran kecil tegas.
“Tepat sekali. Seseorang banyak meminta dari lainnya sebuah kewajiban yang setiap orang
bisa melaksanakannya,” lanjut sang raja. “Kekuasaan yang diterima terletak utamanya pada akal
sehat. Jika kau memerintahkan rakyatmu untuk pergi dan melemparkan dirinya sendiri ke laut,
mereka akan memberontak dengan revolusi. Aku mempunyai hak untuk meminta kepatuhan
karena perintahku masuk akal.”
“Kalau begitu keinginan saya akan matahari terbenam?” pangeran kecil mengingatkan
sang raja: karena dia tidak pernah melupakan sebuah pertanyaan sekali dia telah
menanyakannya.
“Kau akan mendapatkan matahari terbenammu. Aku akan memerintahkannya. Tetapi,
berdasarkan ilmu pengetahuanku tentang pemerintahan, aku harus menunggu sampai
kondisinya memungkinkan.”
“Kapan itu?” tanya pangeran kecil.
“Hm! Hm!” jawab sang raja; dan sebelum mengatakan apa pun dia membuka almanak
tebalnya. “Hm! Hm! Waktunya adalah sekitar—sekitar—waktunya adalah malam ini sekitar
pukul delapan kurang dua puluh menit. Dan kau akan melihat bagaimana aku dipatuhi dengan
baik.”
Pangeran kecil menguap. Dia menyesali matahari terbenamnya yang hilang. Dan
kemudian, juga, dia mulai menjadi sedikit bosan.
“Saya sudah selesai di sini,” katanya pada sang raja. “Jadi saya akan meneruskan perjalanan
saya lagi.”
“Jangan pergi,” kata sang raja, yang telah menjadi sangat bangga memiliki seorang subjek.
“Jangan pergi. Aku akan menjadikanmu seorang Menteri!”
“Menteri apa?”
“Menteri—Menteri Keadilan!”
“Tetapi tidak ada seorang pun di sini untuk diadili!”
“Kita tidak tahu tentang itu,” sang raja berkata padanya. “Aku belum pernah melakukan tur
lengkap di kerajaanku. Aku sangatlah tua. Tidak ada ruang di sini untuk kereta angkut. Dan
berjalan membuatku lelah.”
“Oh, tetapi aku telah melihatnya!” kata pangeran kecil, menengok kanan-kiri untuk melihat
sekilas lagi pada sisi lainnya dari planet itu, di sisi itu, seperti di sisi ini, tidak ada orang sama
sekali . . .
“Kalau begitu kau akan mengadili dirimu sendiri,” jawab sang raja. “itu adalah hal tersulit
dari segalanya. Itu lebih sulit untuk mengadili diri sendiri daripada untuk mengadili orang lain.
Jika kau berhasil mengadili dirimu sendiri dengan benar, maka kau baru benar-benar seorang
laki-laki yang bijaksana.”
“Ya,” kata pangeran kecil, “tetapi aku bisa mengadili diriku sendiri di mana saja. Aku tidak
perlu tinggal di planet ini.”
“Hm! Hm!” kata sang raja. “Aku punya alasan bagus untuk percaya bahwa di suatu tempat
di planetku terdapat seekor tikus tua. Aku mendengarnya di malam hari. Kau bisa mengadili
tikus tua ini. Dari waktu ke waktu kau akan memberinya hukuman mati. Oleh karenanya
hidupnya akan bergantung pada keadilanmu. Tetapi kau akan mengampuninya di setiap
kejadian; karena dia harus diperlakukan dengan hemat. Hanya tikus ini yang kita punya.”
“Aku,” jawab pangeran kecil, “tidak suka memberi siapa pun hukuman mati. Dan sekarang
kurasa aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Jangan,” kata sang raja.
Tetapi pangeran kecil, sekarang sudah selesai bersiap untuk keberangkatannya, tidak
ingin membuat penguasa tua itu berduka cita.
“Jika Yang Mulia ingin dipatuhi dengan cepat,” katanya, “dia harus bisa memberi perintah
yang masuk akal. Dia harus bisa, sebagai contoh, memberiku perintah untuk pergi dalam satu
menit. Sepertinya kondisinya memungkinkan bagiku . . . “
Karena sang raja tidak memberi jawaban, pangeran kecil ragu-ragu beberapa saat.
Kemudian, dengan hela napas, dia berangkat pergi.
“Aku menjadikanmu duta besarku,” panggil sang raja, cepat-cepat.
Dia punya hawa yang bagus soal kekuasaan.
“Orang-orang dewasa memang sangat aneh,” pangeran kecil berkata pada dirinya sendiri,
saat dia melanjutkan perjalanannya.
11

Planet kedua dihuni oleh seorang yang congkak.

“Ah! Ah! Aku akan menerima kunjungan dari seorang penggemar!” dia berteriak dari jauh,
ketika pertama kali dia melihat pangeran kecil datang.
Karena, bagi orang-orang congkak, semua orang adalah penggemarnya.
“Selamat pagi,” sapa pangeran kecil. “Topi yang kau pakai itu sangat aneh.”
“Ini adalah topi untuk penghormatan,” jawab orang congkak itu. “Ini untuk diangkat dalam
penghormatan ketika orang-orang bersorak menyambutku. Sayangnya, tidak pernah ada orang
yang lewat sini.”
“Ya?” kata pangeran kecil, yang tidak mengerti apa yang orang congkak itu bicarakan.
“Tepukkan tanganmu, satu dengan yang lainnya,” sekarang orang congkak itu
mengarahkannya.
Pangeran kecil menepuk tangannya. Orang congkak itu mengangkat topinya dalam sebuah
penghormatan yang sopan.
“Ini lebih menarik dari mengunjungi raja itu,” pangeran kecil berkata pada dirinya sendiri.
Dan dia mulai lagi menepuk tangannya, satu dengan yang lainnya. Orang congkak itu
mengangkat lagi topinya untuk penghormatan.
Setelah lima menit melakukan gerakan ini pangeran kecil mulai lelah dengan perulangan
monoton dari permainan itu.
“Dan mengapa seseorang harus menurunkan topi itu?” tanyanya.
Tetapi orang congkak itu tidak mendengarnya. Orang-orang congkak tidak mendengar apa
pun kecuali pujian.
“Apakah kau benar-benar begitu mengagumiku?” tanyanya pada pangeran kecil.
“Apa itu artinya—‘mengagumi’?”
“Mengagumi artinya kau menganggapku sebagai orang yang paling tampan, berbusana
paling baik, paling kaya, dan paling cerdas di planet ini.”
“Tetapi kau satu-satunya orang di planetmu!”
“Berbaik hatilah. Kagumi aku bagaimanapun juga.”
“Aku mengagumimu,” kata pangeran kecil, mengangkat bahunya sedikit, ”tetapi apa yang
membuatmu sangat tertarik soal itu?”
Dan pangeran kecil pun pergi.
“Orang-orang dewasa jelas sangatlah aneh,” katanya pada dirinya sendiri, saat dia
melanjutkan perjalanannya.
12

Planet selanjutnya dihuni oleh seorang pemabuk. Ini merupakan kunjungan yang sangat singkat,
tetapi ini membuat pangeran kecil sangat kesal.
“Apa yang sedang kau lakukan di sana?” dia berkata pada si pemabuk, yang ia temukan
duduk diam di balik sekumpulan botol kosong dan juga sekumpulan botol penuh.

“Aku sedang mabuk,” jawab si pemabuk, dengan suasana murung.


“Mengapa kau mabuk?” tanya pangeran kecil.
“Agar aku lupa,” jawab si pemabuk.
“Melupakan apa?” tanya pangeran kecil, yang kini mulai kasihan padanya.
“Lupa bahwa aku malu,” pemabuk itu mengakui, menundukkan kepalanya.
“Malu karena apa?” pangeran kecil bersikeras, ia ingin membantu pemabuk itu.
“Malu karena mabuk!” si pemabuk mengakhiri pembicaraannya, dan terdiam tidak mau
bicara lagi.
Dan pangeran kecil pun pergi, keheranan.
“Orang-orang dewasa jelaslah sangat, sangat aneh,” katanya pada dirinya sendiri, saat dia
melanjutkan perjalanannya.
Bab 13

Planet keempat dimiliki oleh seorang pengusaha. Orang ini sangat-sangat sibuk dia bahkan tidak
mengangkat kepalanya saat kedatangan pangeran kecil.

“Selamat pagi,” pangeran kecil menyapanya. “Rokok Anda sudah mati.”


“Tiga tambah dua sama dengan lima. Lima tambah tujuh sama dengan dua belas. Selamat
pagi. Limabelas tambah tujuh sama dengan dua puluh dua. Dua puluh dua tambah enam sama
dengan dua puluh delapan. Aku tak punya waktu untuk menyalakannya lagi. Dua puluh enam
ditambah lima sama dengan tiga puluh satu. Fiuh! Maka hasilnya lima ratus satu juta, enam ratus
dua puluh ribu, tujuh ratus tiga puluh satu.”
“Lima ratus juta dari apa?” tanya pangeran kecil.
“Eh? Apa kau masih di sana?” Lima ratus satu juta—aku tidak bisa berhenti . . . Aku punya
banyak sekali hal untuk dilakukan! Aku sedang bekerja dengan persoalan sebab-akibat. Aku
tidak sedang bersenang-senang dengan omong kosong. Dua tambah lima sama dengan tujuh . . . “
“Lima ratus satu juta dari apa?” ulang pangeran kecil, yang tidak pernah dalam hidupnya
menyerah pada sebuah pertanyaan sekali dia menanyakannya.
Pengusaha itu mengangkat kepalanya.
“Selama lima puluh empat tahun kuhuni planet ini, aku hanya pernah diganggu tiga kali.
Pertama kali dua puluh dua tahun yang lalu, ketika seekor angsa dungu jatuh—hanya Tuhan
yang tahu—dari mana, dan aku membuat kesalahan dalam penjumlahanku. Kedua kali, sebelas
tahun yang lalu, aku diganggu oleh serangan reumatik. Aku tidak banyak melakukan olahraga.
Aku tidak punya waktu untuk bermalas-malasan. Ketiga kali—yah, kali inilah! Jadi kukatakan,
kalau begitu, lima ratus satu juta—“
“Juta dari?”
Pengusaha itu tiba-tiba menyadari bahwa tidak ada harapan baginya untuk ditinggalkan
dalam kedamaian sampai ia menjawab pertanyaan ini.
“Juta dari objek-objek kecil itu,” katanya, “yang seseorang kadang lihat ada di langit.”
“Lalat?”
“Oh, bukan. Objek-objek kecil yang berkerlip.”
“Kunang-kunang?”
“Oh, bukan. Objek-objek keemasan kecil yang membuat para pemalas bermimpi.
Sedangkan untukku, aku bekerja dengan persoalan sebab-akibat. Tidak ada waktu untukku
bermimpi dalam hidupku.”
“Ah! Maksudmu bintang-bintang?”
“Ya, itu dia. Bintang-bintang.”
“Dan apa yang kau lakukan dengan lima ratus juta bintang-bintang?”
“Lima ratus dan satu juta, enam ratus dua puluh dua ribu, tujuh ratus tia puluh satu. Aku
bekerja dengan persoalan sebab-akibat: aku akurat.”
“Dan apa yang kau lakukan dengan bintang-bintang ini?”
“Apa yang kulakukan dengan semua itu?”
“Ya.”
“Tidak ada. Aku memilikinya.”
“Kau memilikinya?”
“Ya.”
“Tetapi aku telah bertemu dengan seorang raja yang—“
“Raja-raja tidak memilikinya, mereka memerintah. Itu soal yang berbeda.”
“Dan apa gunanya bintang-bintang itu?”
“Gunanya adalah untuk membuatku kaya.”
“Dan apa gunanya bagimu menjadi kaya?”
“Itu memungkinkanku untuk membeli lebih banyak lagi bintang-bintang, jika yang lainnya
ditemukan lagi.”
“Orang ini,” pangeran kecil berkata pada dirinya sendiri, “berpikir sedikit seperti pemabuk
itu . . . “
Bagaimanapun, dia masih punya beberapa pertanyaan lagi.
“Bagaimana mungkin seseorang memiliki bintang-bintang itu?”
“Jadi punya siapa mereka itu?” pengusaha itu menjawab dengan pedas, dan jengkel.
“Entahlah. Bukan punya siapa-siapa.”
“Kalau begitu mereka punyaku, karena aku orang pertama yang memikirkan hal itu.”
“Apakah semua itu perlu?”
“Tentu saja. Ketika kau menemukan sebuah berlian yang bukan punya siapa-siapa, maka
itu punyamu. Ketika kau menemukan sebuah pulau yang bukan punya siapa-siapa, pulau itu
punyamu. Ketika kau mendapatkan sebuah ide sebelum siapa pun, kau akan mengambil
patennya: itu milikmu. Jadi buatku: aku memiliki binatang-bintang, karena belum ada seorang
pun sebelumku yang pernah memikirkan untuk memilikinya.”
“Ya, itu benar,” kata pangeran kecil. “Dan apa yang kau lakukan dengan bintang-
bintangnya?”
“Aku mengelola mereka,” jawab pengusaha itu. “Aku menghitung mereka dan menghitung
ulang. Itu sulit. Tetapi aku adalah seorang laki-laki yang secara alamiah tertarik pada persoalan
sebab-akibat.”
Pangeran kecil masih belum puas.
“Jika aku memiliki sebuah syal sutera,” dia berkata, “aku bisa memakainya di leherku dan
melepasnya. Jika aku memiliki sebuah bunga, aku bisa memetiknya dan membawanya
bersamaku. Tetapi kau tidak bisa memetik bintang dari langit . . . “
“Tidak. Tetapi aku bisa menyimpannya di bank.”
“Jadi apa maksudnya itu?”
“Maksudnya adalah aku menuliskan jumlah bintangku di secarik kertas. Dan aku
meletakkan kertas itu dalam sebuah laci dan menguncinya dengan sebuah anak kunci.”
“Sudah begitu saja?”
“Itu cukup,” kata pengusaha.
“Itu menarik,” pikir pangeran kecil. “Agak puitis sebenarnya. Tetapi itu sepertinya tidak
memiliki sebab-akibat yang besar.”
Dalam persoalan sebab-akibat, pangeran kecil memiliki pikiran yang sangat berbeda dari
pikiran para orang dewasa.
“Aku sendiri memiliki sekuntum bunga,” dia melanjutkan percakapannya dengan
pengusaha itu, “yang kusirami setiap hari. Aku punya tiga gunung berapi, yang kubersihkan
setiap minggu (aku juga membersihkan satu gunung yang sudah tidak aktif lagi; karena apa pun
bisa terjadi). Aku mendapatkan beberapa manfaat dari gunung berapi, dan beberapa manfaat
dari bungaku, bahwa aku memilikinya. Tetapi kau tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari
bintang-bintangmu . . . “
Pengusaha itu membuka mulutnya, tetapi dia tidak tahu harus menjawab apa.
Dan pangeran kecil pun pergi.
“Orang-orang dewasa memang semuanya luar biasa,” dia berkata sekenanya, bicara pada
dirinya sendiri saat melanjutkan perjalanannya.
14

Planet kelima sangatlah aneh. Planet ini adalah yang terkecil dari semuanya. Hanya ada ruang
yang cukup untuk sebuah lampu jalan dan seorang petugas yang menyalakan lampunya.
Pangeran kecil itu tidak dapat mencapai penjelasan apa pun tentang guna lampu jalan dan
petugas itu, di suatu tempat di langit, di atas sebuah planet yang tidak ada penghuninya, dan
tidak ada satu pun rumah. Tetapi dia berkata pada dirinya sendiri, bagaimanapun:
“Mungkin orang ini memang mustahil. Tetapi dia tidak semustahil si raja, si congkak, si
pengusaha, dan si pemabuk. Karena setidaknya pekerjaannya memiliki satu arti. Ketika ia
menyalakan lampu jalannya, itu seakan dia membangunkan satu bintang, atau satu bunga. Ketika
dia mematikan lampunya, dia mengirim bunga, atau bintang, ke dalam tidur. Ini adalah sebuah
pekerjaan yang indah. Dan karena pekerjaan itu indah, itu sangat berguna.”
Ketika dia sampai di planet itu dia memberi penghormatan yang sopan kepada petugas
lampu jalan itu.
“Selamat pagi. Mengapa kau mematikan lampunya?”
“Karena peraturannya begitu,” jawab si petugas. “Selamat pagi.”
“Apa peraturannya?”
“Peraturannya adalah aku harus mematikan lampunya. Selamat malam.”
Dan ia pun menyalakan lampunya lagi.
“Tetapi kenapa kau menyalakannya lagi?”
“Karena peraturannya begitu,” jawab si petugas lampu jalan.
“Aku tidak mengerti,” kata pangeran kecil.
“Tidak ada yang harus dimengerti,” kata petugas lampu jalan. “Peraturan adalah peraturan.
Selamat pagi.” Dan dia mematikan lampunya. Kemudian dia mengelap dahinya dengan sebuah
saputangan yang bergambar kotak-kotak merah.
“Aku mengikuti sebuah pekerjaan yang mengerikan. Dulu pekerjaan ini sangat bagus. Aku
mematikan lampu di pagi hari, dan di malam hari aku menyalakannya lagi. Aku punya sisa siang
hari untuk relaksasi dan sisa malam hari untuk tidur.”
“Dan peraturannya telah berubah sejak saat itu?”
“Peraturannya tidak berubah,” kata petugas lampu. “Tragedi itulah yang menjadi soal! Dari
tahun ke tahun planet ini telah berubah lebih cepat dan peraturannya tidak berubah!”
“Lalu kenapa?” tanya pangeran kecil.
“Lalu—planetnya sekarang berubah setiap menit, dan aku tidak punya lagi sedikit pun
waktu untuk beristirahat. Sekali setiap menit aku harus menyalakan lampu ini dan
mematikannya!”
“Itu sangat lucu! Satu hari hanya selama satu menit, di sini di mana kau tinggal!”
“Itu tidak lucu sama sekali!” kata si petugas lampu. “Sementara kita bercakap-cakap ini,
sebulan telah berlalu.”
“Sebulan?”
“Ya, sebulan. Tiga puluh menit. Tiga puluh hari. Selamat malam.” Dan ia pun menyalakan
lampunya lagi.
Sementara pangeran kecil mengawasinya, dia merasa dia menyukai petugas lampu jalan
ini yang sangat patuh pada peraturannya. Dia ingat matahari terbenam yang ia cari, di hari-hari
sebelumnya, hanya dengan menggeser kursinya; dan dia ingin membantu temanya itu. “Kau
tahu,” katanya, “aku ahu cara agar kau bisa beristirahat kapan pun kau mau . . . “
“Aku selalu ingin beristirahat,” kata petugas lampu jalan.
Karena itu mungkin bagi seseorang untuk menjadi patuh dan malas di saat yang
bersamaan. Pangeran kecil melanjutkan penjelasannya: “Planetmu ini sangat kecil kau hanya
butuh tiga langkah untuk mengarunginya. Untuk bisa selalu berada di bawah cahaya matahari,
kau hanya perlu berjalan lambat. Ketika kau ingin beristirahat, kau akan berjalan—dan siang
hari akan berlangsung selama kau mau.”
“Itu tidak begitu berguna bagiku,” kata petugas lampu. “Satu-satunya hal yang kusukai
dalam hidup adalah tidur.”
“Kalau begitu kau tidak beruntung,” kata pangeran kecil.
“Aku tidak beruntung,” kata petugas lampu jalan. “Selamat pagi.” Dan ia mematikan
lampunya.
“Orang itu,” kata pangeran kecil pada dirinya sendiri, saat dia melanjutkan lebih jauh
perjalanannya, “orang itu akan dicemooh oleh semua yang lainnya: oleh raja, oleh orang congkak
itu, oleh si pemabuk itu, dan si pengusaha. Bagaimanapun dia adalah satu-satunya orang yang
tidak terlihat konyol. Itu mungkin karena dia memikirkan sesuatu yang lain selain dirinya
sendiri.” Dia menghela napas sesal, dan berkata pada dirinya sendiri, lagi: “Orang itu adalah satu-
satunya yang bisa menjadi temanku. Tetapi planetnya sungguh terlalu kecil. Tidak ada ruang di
sana untuk dua orang . . . “ Apa yang pangeran kecil itu tidak berani akui adalah bahwa dia paling
sedih meninggalkan planet ini, karena planet ini tiap harinya diberkati dengan 1440 matahari
terbenam!
15

Planet keenam sepuluh kali lebih besar dari yang terakhir. Planet itu dihuni oleh seorang laki-
laki tua yang menulis buku-buku tebal.

“Oh, lihatlah! Ada seorang penjelajah!” dia berseru pada dirinya sendiri ketika dia melihat
pangeran kecil datang.
Pangeran kecil duduk di atas meja dan terengah-engah sedikit. Dia telah bepergian terlalu
banyak dan terlalu jauh!
“Kau datang dari mana?” laki-laki tua itu berkata padanya.
“Buku besar itu tentang apa?” kata pangeran kecil. “Apa yang kau lakukan?”
“Aku seorang geografer,” kata laki-laki tua itu padanya.
“Apa itu seorang geografer?” tanya pangeran kecil.
“Seorang geografer adalah seorang ilmuwan yang tahu lokasi semua laut, sungai, kota,
gunung, dan gurun.”
“Itu sangat menarik,” kata pangeran kecil. “Akhirnya ada juga seseorang dengan satu
profesi nyata!” Dan dia pun melihat-lihat sekelilingnya di planet sang geografer. Planet itu adalah
planet yang paling bagus dan paling megah yang pernah ia lihat.
“Planetmu sangat indah,” katanya. “Apakah ada lautan di sini?”
“Aku tidak bisa memberitahumu,” kata sang geografer.
“Ah!” pangeran kecil kecewa. “Apakah ada gunung?”
“Aku tidak bisa memberitahumu,” kata sang geografer.
“Dan kota, dan sungai, dan gurun?”
“Aku juga tidak bisa memberitahumu hal itu.”
“Tapi kau seorang geografer!”
“Tepat sekali,” kata geografer itu. “Dan aku bukan seorang penjelajah. Aku belum pernah
sekali pun menjelajahi planetku. Bukan tugas geografer pergi keluar untuk menghitung kota,
sungai, gunung, laut, samudera, dan gurun. Geografer terlalu penting untuk melakukannya. Dia
tidak meninggalkan mejanya. Dia menerima para penjelajah di ruangannya. Dia menanyakan
mereka pertanyaan-pertanyaan, dan menuliskan apa yang mereka dapatkan dari
penjelajahannya. Dan jika ingatan satu orang dari para penjelajah itu menarik perhatiannya,
geografer akan melakukan penyelidikan tentang karakter moral penjelajah tersebut.”
“Mengapa begitu?”
“Karena seorang penjelajah yang berbohong akan membawa bencana bagi buku sang
geografer. Seorang penjelajah yang terlalu banyak mabuk juga akan membawa bencana.”
“Mengapa begitu?” tanya pangeran kecil.
“Karena orang-orang yang keracunan melihat dengan ganda. Geografer akan mencatat dua
gunung di suatu tempat di mana hanya terdapat satu gunung.”
“Aku tahu satu orang,” kata pangeran kecil, “yang akan menjadi penjelajah yang buruk.”
“Bisa jadi. Kemudian, ketika karakter moral si penjelajah telah jelas baik, penyelidikan
dilakukan terhadap penemuannya.”
“Kita pergi untuk melihatnya?”
“Tidak. Itu akan terlalu rumit. Tetapi kita akan meminta penjelajah untuk menyertakan
bukti-bukti. Sebagai contoh, jika penemuannya benar-benar sebuah gunung yang besar, kita akan
meminta batu-batu besar yang diambil darinya.”
Sang geografer tiba-tiba menjadi gembira.
“Tapi kau—kau datang dari jauh! Kau adalah seorang penjelajah! Kau harus
mendeskripsikan planetmu padaku!”
Dan, membuka buku daftarnya, geografer meruncingkan pensilnya. Cerita para penjelajah
awalnya ditulis dalam pensil. Kita menunggu sampai si penjelajah memberikan bukti-bukti,
sebelum dituliskan dengan tinta.
“Jadi?” kata sang geografer penuh harap.
“Oh, di mana aku tinggal,” kata pangeran kecil, “itu tidak terlalu menarik. Planetku sangat
kecil. Aku punya tiga gunung berapi. Dua gunung masih aktif dan yang satu sudah tidak aktif lagi.
Tetapi kita tidak pernah tahu.”
“Kita tidak pernah tahu,” kata si geografer.
“Aku juga punya bunga.”
“Kami tidak mencatat bunga,” kata sang geografer.
“Mengapa begitu? Bunga adalah hal terindah di planetku!”
“Kami tidak mencatat mereka,” kata sang geografer, “karena mereka efemeral.”
“Apa artinya itu—‘efemeral’?”
“Geografi,” kata sang geografer, “adalah buku-buku yang, dari semua buku, bekerja dengan
persoalan sebab-akibat. Mereka tidak pernah menjadi usang. Sangat jarang sebuah gunung
berganti posisi. Sangat jarang lautan mengering airnya. Kami menulis hal-hal yang tetap.”
“Tetapi gunung berapi bisa aktif lagi,” potong pangeran kecil, “Apa itu maksudnya
—‘efemeral’?”
“Apakah gunung berapi aktif atau tidak aktif, itu sama saja bagi kita,” kata geografer. “Hal
yang berarti bagi kita adalah gunung. Gunung tidak berubah.”
“Tetapi apa itu—‘efemeral’?” ulang pangeran kecil, yang tidak pernah dalam hidupnya
menyerah pada satu pertanyaan, sekali dia menanyakannya.
“Artinya, ‘dalam bahaya untuk segera menghilang.’”
“Apakah bungaku dalam bahaya untuk segera menghilang?”
“Dapat dipastikan begitu.”
“Bungaku efemeral,” pangeran kecil berkata pada dirinya sendiri, “dan dia hanya punya
empat duri untuk melindungi dirinya dari dunia. Dan aku telah meninggalkannya di planetku,
sendirian!”
Dan itu pertama kalinya dia menyesal. Tetapi dia memberanikan diri sekali lagi.
“Tempat apa yang kau sarankan untuk kukunjungi sekarang?” tanyanya.
“Planet Bumi,” jawab sang geografer. “Planet ini punya reputasi yang bagus.”
Dan pangeran kecil pun pergi, berpikir tentang bunganya.
16

Dan planet ketujuh adalah Bumi.


Bumi bukanlah planet biasa! Kita bisa menghitung, ada 111 raja (tidak melupakan, untuk
memastikan, di dalamnya termasuk raja-raja Negro), 7000 geografer, 900.000 pengusaha,
7.500.000 pemabuk, 311.000.000 orang congkak—dengan kata lain, sekitar 2.000.000.000 orang
dewasa.
Untuk menggambarkan padamu ukuran Bumi, aku akan bercerita padamu bahwa sebelum
ditemukannya listrik, diperlukan untuk mempertahakan, di keseluruhan dari enam benua,
462.511 tentara petugas penjaga lampu untuk lampu-lampu jalan.
Terlihat dari jarak yang dekat, itu akan menjadi sebuah pertunjukan hebat. Pergerakan
tentara ini akan diatur seperti balet di sebuah opera. Pertama akan tiba giliran untuk petugas
lampu jalan di Selandia Baru dan Australia. Setelah menyalakan lampu mereka, mereka akan
pergi tidur. Selanjutnya, petugas lampu jalan di Cina dan Siberia akan memasuki gerakan dalam
tarian ini. Setelah itu akan datang giliran penjaga lampu di Rusia dan India; kemudian yang di
Afrika dan Eropa, kemudian yang ada di Amerika Selatan; kemudian yang ada di Amerika Utara.
Dan mereka tidak akan melakukan kesalahan memasuki panggung. Itu akan bagus sekali.
Hanya orang yang bertanggung jawab terhadap satu lampu di Kutub Utara, dan koleganya
yang bertanggung jawab terhadap satu lampu di Kutub Selatan—hanya dua orang ini yang
terbebas dari kerja keras dan kesusahan: mereka akan sibuk dua kali setahun.
17

Ketika seseorang ingin berkelakar, dia kadang akan menjauh sejenak dari kebenaran. Aku juga
tidak begitu jujur padamu soal petugas lampu jalan. Dan aku sadar bahwa aku membawa resiko
dari memberikan ide palsu ini tentang planet kita untuk orang-orang yang tidak mengetahuinya.
Orang menempati ruang yang sangat kecil di atas Bumi. Jika dua milyar penduduk yang orang-
orangnya disuruh berdiri dan dikumpulkan bersama, seperti yang mereka lakukan di beberapa
perkumpulan publik yang besar, mereka dapat dengan mudah diletakkan di sebuah alun-alun
dengan panjang dua puluh mil dan lebar dua puluh mil. Seluruh manusia dapat ditumpuk-
tumpuk di sebuah pulau kecil di Pasifik.
Orang-orang dewasa, dapat dipastikan, tidak akan percaya padamu ketika kau mengatakan
ini pada mereka. Mereka membayangkan mereka menempati ruang yang besar. Mereka
berkhayal diri mereka penting seperti baobab. Kau sebaiknya menasihati mereka, kemudian,
untuk mulai berhitung soal ini. Mereka sangat menyukai angka-angka, dan itu akan membuat
mereka senang. Tetapi jangan buang waktumu untuk tugas ekstra ini. Itu tidak perlu. Kau bisa,
aku tahu, percaya padaku.
Ketika pangeran kecil sampai di Bumi, dia sangat terkejut dia tidak melihat satu orang pun.
Dia mulai khawatir dia telah datang ke planet yang salah, ketika gulungan emas, warna sinar
bulan, bersinar ke atas pasir.
“Selamat malam,” kata pangeran kecil dengan sopan.
“Selamat malam,” kata si ular.
“Planet apakah ini yang kudatangi?” tanya pangeran kecil.
“Ini planet Bumi; ini Afrika,” ular menjawab.
“Ah! Jadi tidak ada orang di Bumi?”
“Ini gurun. Tidak ada orang di gurun. Bumi itu semacam luas,” kata ular.
Pangeran kecil duduk di sebuah batu, dan menarik matanya ke langit.
“Aku bertanya-tanya,” katanya, “apakah bintang-bintang bersinar di angkasa sehingga
suatu hari seseorang bisa menemukan bintangnya lagi . . . Lihatlah planetku. Dia ada di sana di
atas kita. Tetapi betapa jauhnya ia!”
“Planetmu indah,” kata ular. “Apa yang membuatmu kemari?”
“Aku sedang ada masalah dengan sekuntum bunga,” kata sang pangeran.
“Ah!” kata ular.
Dan mereka pun terdiam.
“Di mana orang-orang?” pangeran kecil akhirnya memulai pembicaraan lagi. “Rasanya
sedikit sepi berada di gurun . . . “
“Berada di sekitar orang-orang rasanya juga sepi,”
Pangeran kecil menatap ular itu lama.
“Kau hewan yang lucu,” katanya akhirnya. “Kau tidak lebih tebal dari jari . . . “
“Tetapi aku lebih kuat dari jari seorang raja,” kata ular.
Pangeran kecil tersenyum.
“Kau tidak terlalu kuat. Kau bahkan tidak punya kaki. Kau bahkan tidak bisa berjalan . . . “
“Aku bisa membawamu lebih jauh dari kapal mana pun bisa membawamu,” kata ular.
Dia melilitkan dirinya ke pergelangan kaki pangeran kecil, seperti gelang emas. “Siapa pun
yang kusentuh, kukirim mereka kembali ke tempat asal mereka,” ular itu bicara lagi. “Tetapi kau
sangat polos dan jujur, dan kau datang dari sebuah bintang . . . ”
Pangeran kecil tidak menjawab.
“Kau membuatku merasa kasihan—kau sangat lemah di Bumi yang terbuat dari granit ini,”
kata ulat. “Aku bisa membantumu, suatu hari, jika kau sudah terlalu merindukan planetmu. Aku
bisa—“
“Oh! Aku sangat memahamimu,” kata pangeran. “Tetapi mengapa kau selalu bicara dalam
teka-teki?”
“Aku menyelesaikan semua teka-teki itu,” kata sang ular.
Dan mereka berdua terdiam.
18

Pangeran kecil melintasi gurun dan bertemu hanya dengan satu bunga. Bunga itu cuma punya
tiga mahkota, sebuah bunga yang tidak bisa dipertimbahkan.

“Selamat pagi,” sapa pangeran kecil.


“Selamat pagi,” kata bunga itu.
“Di mana orang-orang?” tanya pangeran, dengan sopan.
Bunga itu pernah melihat sekali sebuah karavan yang lewat.
“Orang-orang?” ulangnya. “Kurasa ada enam atau tujuh dari mereka. Aku melihat mereka,
beberapa tahun lalu. Tetapi tidak ada yang pernah tahu di mana bisa menemukan mereka. Angin
membawa mereka pergi. Mereka tidak punya akar, dan itu membuat hidup mereka jadi sulit.”
“Selamat tinggal,” kata pangeran kecil.
“Selamat tinggal,” kata bunga.
19

Setelah itu, pangeran kecil memanjat sebuah gunung yang tinggi. Gunung-gunung yang pernah ia
kenal hanyalah ketiga gunung berapi di planetnya, yang setinggi lututnya. Dan dia menggunakan
gunung berapi yang sudah tidak aktif sebagai kursi. “Dari sebuah gunung setinggi ini,” dia
berkata pada dirinya sendiri, “aku akan bisa melihat seluruh planet dalam sepandangan, dan
semua orang . . . “
Tetapi dia tidak melihat apa-apa, kecuali puncak-puncak bebatuan yang tajam seperti
jarum.
“Selamat pagi,” katanya sopan.
“Selamat pagi—Selamat pagi—Selamat pagi,” jawab gema.
“Siapa kau?” kata pangeran kecil.
“Siapa kau—Siapa kau—Siapa kau?” jawab gema.
“Jadilah temanku. Aku sendirian,” katanya.
“Aku sendirian—aku sendirian—aku sendirian,” jawab gema.
“Planet yang aneh!” pikirnya. “Planet ini sekaligus kering, sekaligus tajam, sekaligus kasar
dan menakutkan. Dan orang-orangnya tidak punya imajinasi. Mereka mengulang apa yang
dikatakan pada mereka . . . Di planetku aku memiliki sebuah bunga; dia selalu jadi yang pertama
bicara . . . “
20

Tetapi akhirnya setelah berjalan untuk waktu yang lama melewati pasir, dan bebatuan, dan salju,
pangeran kecil akhirnya mencapai sebuah jalan. Dan semua jalan membawamu ke tempat tinggal
manusia.
“Selamat pagi,” katanya.
Dia berdiri di balik sebuah kebun, di mana-mana penuh dengan mawar yang banyak.

“Selamat pagi,” kata para mawar.


Pangeran kecil memandang mereka. Mereka semua terlihat seperti bunganya.
“Siapa kalian?” tanyanya, terheran-heran.
“Kami adalah para mawar,” kata mereka.
Dan dia dilanda kesedihan. Bunganya telah berkata padanya bahwa dia adalah satu-
satunya dari jenisnya di seluruh jagad raya. Dan di sini terdapat lima ribu dari mereka, semua
sama, di dalam satu kebun!
“Dia akan sangat kesal,” katanya pada diri sendiri, “jika dia harus melihatnya . . . dia pasti
akan terbatuk parah, dan dia akan pura-pura sekarat, untuk menghindari ditertawai. Dan aku
harus berpura-pura merawatnya agar kembali hidup—karena jika aku tidak melakukannya,
untuk merendahkan diriku juga, dia akan benar-benar membiarkan dirinya mati . . . “
Dan dia melanjutkan perenungannya: “Kukira aku sangatlah kaya raya, dengan sebuah
bunga yang unik di seluruh dunia; dan yang kupunya hanyalah sebuah mawar yang biasa. Sebuah
mawar yang biasa, dan tiga gunung berapi setinggi lutut—dan salah satu dari mereka akan mati
selamanya . . . artinya aku bukanlah seorang pangeran yang begitu hebat . . . “
Dia kemudian terduduk di rerumputan dan menangis.
21

Di saat itulah muncul sang rubah.


“Selamat pagi,” kata rubah.
“Selamat pagi,” pangeran kecil menjawab dengan sopan, walaupun saat dia menengok
kanan kiri dia tidak melihat apa-apa.
“Aku ada di sini,” suara itu berkata, “di bawah pohon apel.”

“Siapa kau?” tanya pangeran kecil, dan menambahkan, “Kau terlihat sangat cantik.”
“Aku seekor rubah,” kata rubah itu.
“Ayo sini bermain bersamaku,” usul pangeran kecil. “Aku sangat tidak bahagia.”
“Aku tidak bisa bermain bersamamu,” kata rubah. “Aku belum dijinakkan.”
“Ah! Maafkan aku,” kata pangeran kecil.
Tetapi, setelah berpikir beberapa saat, dia menambahkan: “Apa itu artinya
—‘menjinakkan’?”
“Kau tidak tinggal di sini,” kata rubah. “Apa yang kau cari?”
“Aku mencari manusia,” kata pangeran kecil. “Apa itu artinya—‘menjinakkan’?”
“Manusia,” kata rubah. “Mereka punya senjata, dan mereka berburu. Itu sangat
mengganggu. Mereka juga memelihara ayam. Cuma itu kesukaan mereka. Apakah ayam yang kau
cari?”
“Bukan,” kata pangeran kecil. “Aku mencari teman. Apa itu artinya—‘menjinakkan’?”
“Itu adalah sebuah kegiatan yang sering diabaikan,” kata rubah. “Artinya adalah
memasangkan tali.”
“’Memasangkan tali’?”
“Cuma itu,” kata rubah. “Bagiku, kau masih tidak lebih dari seorang anak kecil yang seperti
seratus ribu anak kecil lainnya. Dan aku tidak membutuhkanmu. Dan kau, dari sisimu, kau tidak
membutuhkanku. Bagimu, aku tidak lebih dari seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya.
Tetapi jika kau menjinakkanku, maka baru kita akan membutuhkan satu sama lain. Bagiku, kau
akan menjadi istimewa di seluruh dunia. Bagimu, aku akan menjadi istimewa di seluruh dunia . . .

“Aku mulai mengerti,” kata pangeran kecil. “Ada sebuah bunga . . . Aku rasa dia telah
menjinakkanku . . . “
“Bisa jadi,” kata rubah. “Di Bumi orang melihat banyak hal.”
“Oh, tetapi bunga ini bukan di Bumi!” katan pangeran.
Rubah terlihat heran dan penasaran.
“Di planet lain?”
“Ya.”
“Apakah ada pemburu di planet itu?”
“Tidak.”
“Ah, itu menarik! Apakah ada ayam?”
“Tidak.”
“Tidak ada yang sempurna,” keluh rubah.
Tetapi dia kembali pada idenya.
“Hidupku sangat monoton,” rubah berkata. “Aku berburu ayam; manusia memburuku.
Semua ayam sama saja, dan semua manusia sama saja. Dan, sebagai akibatnya, aku sedikit bosan.
Tetapi jika kau menjinakkanku, itu akan menjadi seperti matahari datang untuk bersinar dalam
hidupku. Aku akan tahu suara langkah yang akan berbeda dari yang lainnya. Langkah-langkah
lainnya akan membuatku tergesa masuk ke dalam tanah. Kau akan memanggilku, seperti musik,
keluar dari sarangku. Dan lihatlah: kau melihat ladang di bawah sana? Aku tidak makan roti.
Gandum tidak ada gunanya bagiku. Ladang gandum tidak punya apa pun untuk dikatakan
padaku. Dan itu menyedihkan. Tetapi kau punya rambut yang warnanya emas. Pikirkan betapa
luar biasanya itu akan menjadi ketika kau menjinakkanku! Biji-bijian, yang juga keemasan, akan
membuatku kembali teringat padamu. Dan aku akan senang untuk mendengar angin di ladang
gandum . . . “
Rubah itu menatap pada pangeran kecil, untuk waktu yang lama.
“Kumohon—jinakkan aku!” katanya.

“Aku ingin melakukannya, sangat inigin,” jawab pangeran kecil. “Tetapi aku tidak punya
banyak waktu. Aku harus menemukan teman, dan aku harus memahami banyak hal.”
“Seseorang hanya memahami hal-hal yang sudah ia jinakkan,” kata rubah. “ Manusia tidak
lagi punya waktu untuk memahami apa pun. Mereka membeli hal-hal yang sudah dibuat di toko.
Tetapi tidak ada di toko mana pun di mana seseorang bisa membeli persahabatan, dan
karenanya manusia tidak lagi punya teman. Jika kau ingin seorang teman, jinakkan aku . . . “
“Apa yang harus kulakukan, untuk menjinakkanmu?” tanya pangeran kecil. “Kau harus
sangat sabar,” jawab rubah. “Pertama kau akan duduk sedikit jauh dariku—seperti itu—di
rumput. Aku akan melihat padamu dari sudut mataku, dan kau tidak akan mengatakan apa pun.
Kata-kata adalah sumber kesalahpahaman. Tetapi kau akan duduk sedikit lebih dekat padaku,
setiap hari . . . “
Hari berikutnya pangeran kecil datang lagi.
“Jika, misalnya, kau datang pada pukul empat siang, maka pukul tiga aku akan mulai
menjadi senang. Aku akan menjadi semakin dan semakin senang selama jamnya berlalu. Pada
pukul empat, aku akan mulai khawatir dan melompat-lompat. Sekarang aku akan menunjukkan
padamu betapa senangnya aku! Tetapi jika kau datang tanpa jadwal, aku tidak akan pernah tahu
jam berapa hatiku akan siap menyapamu . . . seseorang harus mengamati ritual pastinya . . . ”
“Apa itu ritual?” tanya pangeran.
“Itu juga kegiatan yang sering diabaikan,” kata rubah. “Itulah yang membedakan satu hari
dengan hari lainnya, satu jam dari jam lainnya. Ada ritual, sebagai contoh, di antara para
pemburuku. Setiap Kamis mereka berdansa dengan para gadis desa. Jadi Kamis adalah hari yang
luar biasa untukku! Aku bisa berjalan sejauh kebun anggur. Tetapi jika para pemburu berdansa
kapan pun, setiap hari akan menjadi seperti hari lainnya, dan aku tidak akan pernah punya hari
libur sama sekali.” Jadi pangeran kecil menjinakkan rubah itu, dan ketika waktu kedatangannya
mulai mendekat—
“Ah,” kata rubah, “aku akan menangis.”
“Itu salahmu sendiri,” kata pangeran kecil. “Aku tidak pernah ingin mengganggumu; tetapi
kau ingin aku menjinakkanmu . . . ”
“Ya, itu benar,” kata rubah.
“Tapi kau sekarang akan menangis!” kata pangeran kecil.
“Ya, itu benar,” kata rubah.
“Jadi ini tidak ada gunanya untukmu sama sekali!”
“Ini berguna untukku,” kata rubah, “Karena warna ladang gandumnya.” Dan dia
menambahkan:
“Pergi dan lihatlah lagi mawar-mawar itu. Kau akan mengerti sekarang bahwa mawarmu
istimewa di seluruh dunia. Dan kembalilah untuk mengucapkan selamat tinggal padaku, dan aku
akan memberimu hadiah rahasia.”
Pangeran kecil pergi, untuk melihat mawar-mawar lagi.
“Kalian sama sekali tidak seperti mawarku,” katanya. “Karena sekarang kalian bukan apa-
apa. Belum ada seseorang yang menjinakkan kalian, dan kalian belum menjinakkan siapa pun.
Kalian seperti rubahku ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Dia hanyalah seekor rubah
seperti seratus ribu rubah lainnya. Tetapi aku telah menjadikannya temanku, dan kini ia
istimewa di seluruh dunia.” Dan para mawar menjadi sangat malu.
“Kalian sangatlah cantik, tetapi kalian kosong,” dia melanjutkan. “Tidak ada yang akan mati
untuk kalian. Sudah pasti, orang biasa yang lewat akan mengira mawarku terlihat seperti kalian
—mawar yang menjadi milikku. Tetapi di dalam dirinya sendiri dia lebih penting dari semua
kalian ratusan mawar: karena dialah yang telah kusirami; karena dialah yang telah kuletakkan di
bawah bola kaca; karena dialah yang telah kulindungi dengan tabir; karena untuk dialah aku
telah membunuh ulat-ulat (kecuali dua atau tiga yang kami simpan untuk menjadi kupu-kupu);
karena dialah yang telah membuatku mendengarkannya, ketika dia mengomel, membual, atau
bahkan ketika dia tidak mengatakan apa-apa. Karena dialah mawarku.”
Dan dia pun kembali untuk menemui rubah.
“Selamat tinggal,” katanya.
“Selamat tinggal,” kata rubah. “dan sekarang inilah rahasiaku, sebuah rahasia yang sangat
sederhana: hanya dengan hatinyalah seseorang bisa melihat dengan benar; apa yang penting
tidaklah terlihat oleh mata.”
“Apa yang penting tidaklah terlihat oleh mata,” ulang pangeran kecil, sehingga dia yakin
dia akan mengingatnya.
“Adalah waktu yang telah kau habiskan untuk mawarmu yang membuat mawarmu
menjadi sangat penting.”
“Adalah waktu yang telah kuhabiskan untuk mawarku,” kata pangeran kecil, sehingga dia
yakin dia kan mengingatnya.
“Manusia telah melupakan kebenaran ini,” kata rubah. “Tetapi kau tidak boleh
melupakannya. Kau bertanggung jawab, selamanya, atas apa yang telah kau jinakkan. Kau
bertanggung jawab atas mawarmu . . . “
“Aku bertanggung jawab atas mawarku,” pangeran kecil mengulangi, sehingga dia yakin
dia akan mengingatnya.
22

“Selamat pagi,” kata pangeran kecil.


“Selamat pagi,” kata petugas pengalih rel kereta.
“Apa yang kau lakukan di sini?” pangeran kecil bertanya.
“Aku menyortir orang yang berpergian, dalam ribuan kelompok,” kata petugas rel. “Aku
mengirim kereta yang membawa mereka; sekarang ke kanan, sekarang ke kiri.”
Dan sebuah kereta ekspres yang bercahaya menggetarkan kabin petugas rel seakan
didorong oleh auman seperti petir.
“Mereka sangat terburu-buru,” kata pangeran kecil. “Apa yang mereka cari?”
“Tidak bahkan masinisnya tahu apa yang mereka cari,” kata petugas rel.
Dan sebuah ekspres bercahaya kedua menyambar, dari arah berlawanan.
“Apakah mereka sudah kembali?” tanya pangeran kecil.
“Itu bukan kereta yang tadi,” kata petugas rel. “Ini kereta yang menjadi gantinya.”
“Apakah mereka tidak puas di mana mereka berada?” tanya pangeran kecil.
“Tidak ada yang puas di tempat mereka berada,” kata petugas rel.
Dan mereka mendengar auman petir dari ekspres bercahaya ketiga.
“Apakah mereka mengejar orang-orang di kereta yang pertama?” tanya pangeran kecil.
“Mereka tidak mengejar apa-apa,” kata petugas rel. “Mereka tertidur di dalam sana, atau
jika mereka tidak tertidur mereka menguap. Hanya anak-anak kecil yang menempelkan
hidungnya di jendela-jendela.”
“Hanya anak-anak kecil yang tahu apa yang mereka cari,” kata pangeran kecil. “Mereka
menghabiskan waktu dengan sebuah boneka perca dan itu menjadi sangat penting bagi mereka
dan jika seseorang mengambilnya dari mereka, mereka menangis . . . “
“Mereka beruntung,” kata petugas rel.
23

“Selamat pagi,” sapa pangeran kecil.


“Selamat pagi,” kata sang pedagang. Ini adalah seorang pedagang yang menjual pil-pil yang
telah ditemukan untuk menghilangkan dahaga. Kau hanya perlu menelan satu pil seminggu, dan
kau tidak akan merasa butuh minum apa pun.
“Mengapa kau menjual pil-pil itu?”
“Karena pil-pil ini menghemat sejumlah besar waktu,” kata sang pedagang.
“Perhitungan telah dibuat oleh para ahli. Dengan pil-pil ini, kau menghemat lima puluh tiga
menit setiap minggunya.”
“Dan apa yang akan kulakuan dengna lima puluh tiga menit itu?”
“Apa pun yang kau suka . . . “
“Kalau aku,” kata pangeran kecil pada dirinya sendiri, “jika aku punya lima puluh tiga menit
yang bisa kuhabiskan sesukaku, aku akan berjalan menuju sebuah mata air segar.”
24

Sudah delapan hari sejak kecelakaan terjadi di gurun, dan aku mendengarkan cerita tentang si
pedagang saat aku sedang meminum tetes terakhir persediaan airku.
“Ah,” kataku pada pangeran kecil, “cerita-ceritamu sangatlah bagus; tetapi aku belum
berhasil memperbaiki pesawatku; aku tidak punya apa-apa lagi untuk diminum; dan aku, juga,
akan menjadi sangat senang jika aku bisa berjalan menuju sebuah mata air segar!”
“Temanku si rubah—“ kata pangeran kecil padaku.
“Teman kecilku, sudah tidak penting lagi apa pun yang berkaitan dengan si rubah!”
“Mengapa?”
“Karena aku akan segera mati kehausan . . . ”
Dia tidak mengikuti jawabanku, dan dia berkata padaku:
“Itu adalah hal baik untuk punya teman, bahkan jika seseorang akan mati. Aku, sebagai
contoh, sangat senang untuk mempunyai si rubah sebagai teman . . . ”
“Dia tidak sama sekali tidak tahu bahayanya,” kataku pada diriku sendiri. “Dia bahkan tidak
pernah menjadi baik lapar maupun haus. Yang dia butuhkan cuma sedikit cahaya matahari . . . ”
Tetapi dia menatap padaku lekat, dan menjawab pikiranku:
“Aku haus, juga. Ayo kita mencari sumur . . . ”
Aku terhuyung. Sangat mustahil untuk mencari sumur, dengan acak, di luasnya gurun.
Tetapi bagaimanapun kami mulai berjalan.
Setelah kami berjalan selama beberapa jam, dalam hening, kegelapan menjelang, dan
bintang-bintang mulai bermunculan. Kekurangan air membuatku sedikit demam, dan aku
melihat bintang-bintang seperti aku sedang bermimpi. Kata-kata terakhir pangeran kecil
kembali ke ingatanku”
“Jadi kau haus, juga?” tanyaku.
Tetapi dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya berkata padaku:
“Air juga baik untuk hati . . . “
Aku tidak memahami jawaban ini, tetapi aku diam saja. Aku mengerti sekali bahwa
mustahil untuk mengujinya.
Dia kelelahan. Dia duduk. Aku duduk di sampingnya. Dan, setelah hening sejenak, dia
bicara lagi: “Bintang-bintang itu indah, karena sebuah bunga yang tidak bisa terlihat.”
Aku menjawab, “Ya, itu benar.” Dan, tanpa mengatakan apa-apa lagi, aku melihat ke padang
pasir yang meluas di belakang kami dalam cahaya bulan.
“Gurun ini indah,” pangeran kecil menambahkan.
Dan itu benar. Aku telah jatuh cinta pada gurun itu. Kau duduk di sebuah gurun, tidak
melihat apa pun, tidak mendengar apa pun. Dan dalam keheningan sesuatu berdebar dan
bersinar . . .
“Yang membuat gurun ini indah,” kata pangeran kecil, “adalah bahwa di suatu tempat dia
menyimpan sebuah sumur . . . ”
“Aku terkejut dengan sebuah pemahaman tiba-tiba dari radiasi misterius dari pasir itu.
Ketika aku masih kecil aku tinggal di sebuah rumah tua, dan legenda mengatakan bahwa sebuah
harta karun tersimpan di bawahya. Tetapi tidak ada yang pernah tahu bagaimana
menemukannya; mungkin tidak ada yang pernah bahkan mencarinya. Tetapi cerita tentang harta
karun itu membuat rumah itu menarik. Rumahku menyimpan sebuah harta karun di kedalaman
jantungnya . . .
“Ya,” kataku pada pangeran kecil. “Rumah, bintang, gurun—yang membuat mereka indah
adalah yang tidak terlihat!”
“Aku senang,” katanya, “bahwa kau setuju dengan rubahku.”
Setelah pangeran kecil tertidur, aku menggendongnya di lenganku dan mulai berjalan lagi.
Aku sangat tersentuh. Rasanya seperti membawa harta karun yang sangat rapuh. Rasanya
bagiku, bahkan, tidak ada lagi di Bumi yang lebih rapuh. Dalam cahaya bulan aku melihat
dahinya yang pucat, dai menutup matanya, rambutnya bergetar-getar tertiup angin, dan aku
berkata pada diriku sendiri:
“Yang aku lihat di sini tidak lain hanyalah cangkang. Yang lebih penting adalah yang tidak
terlihat . . . ”
Dan bibirnya membuka sedikit seperti sedang tersenyum, aku berkata pada diriku, lagi:
“Yang membuatku sangat tersentuh, tentang pangeran kecil yang sedang tertidur ini, adalah
kesetiaannya pada sebuah bunga—sebuah ingatan akan sebuah buanga yang menyinari
keseluruhan dirinya seperti percik api dalam lampu, bahkan saat dia sedang tertidur . . . ” Dan
aku semakin merasa dia rapuh. Aku merasakan keinginan untuk melindunginya, seakan dia
adalah sebuah percik api yang bisa padam oleh sebuah tiupan angin . . .
Dan, setelah berjalan dan berjalan terus, aku menemukan sumur itu, pada pagi hari.
25

“Manusia,” kata pangeran kecil, “berpergian dengan kereta ekspres, tetapi mereka tidak tahu apa
yang mereka cari. Lalu mereka terburu-buru, dan menjadi senang, dan seperti itu lagi dan lagi . . .

Dan dia menambahkan: “Itu tidak sepadan dengan masalah yang mereka dapat . . . ”
Sumur yang kami temukan tidak seperti sumur-sumur Sahara. Sumur-sumur sahara
biasanya hanya sebuah lubang yang digali di atas pasir. Yang satu ini seperti sumur di sebuah
desa. Tetapi tidak ada desa di sini, dan kurasa aku pasti sedang bermimpi . . .
“Ini aneh,” kataku pada pangeran kecil. “Semuanya siap dipakai: katrolnya, embernya,
talinya . . . ”
Dia tertawa, menyentuh talinya, dan membuat katrolnya memutar. Dan katrolnya berdecit,
seperti sebuah cuaca yang tua yang anginnya telah lama dilupakan.

“Tidakkah kau dengar?” kata pangeran kecil. “Kita telah membangunkan sumurnya, dan
dia mulai bernyayi . . . “
Aku tidak ingin dia kelelahan memegang talinya.
“Sini biar aku saja,” kataku. “Ini terlalu berat untukmu.”
Aku menarik embernya pelan ke bibir sumur dan meletakkannya di sana—bahagia,
kelelahan atas pencapaiannku. Nyanyian si katrol masih di telingaku dan aku bisa melihat cahaya
matahari di air yang bergelombang.
“Aku ingin meminum air ini,” kata pangeran kecil. “Beri aku sedikit untuk kuminum . . . ”
Dan aku mengerti apa yang dia cari.
Aku mengangkan embernya ke bibirnya. Dia minum, menutup matanya. Itu semanis
layanan pesta. Air ini sungguh berbeda dari air biasa. Manisnya terlahir dari berjalan-jalan di
bawah bintang-bintang, nyanyian sang katrol, dan usaha dari lenganku. Ini baik untuk hati,
seperti sebuah hadiah. Ketika aku masih kecil, cahaya di pohon Natal, musik Midnight Mass,
kelembutan wajah-wajah yang tersenyum, biasanya memperindah, juga, sinar-sinar dari kado-
kado yang kudapat.
“Orang-orang di mana kau tinggal,” kata pangeran kecil, “memelihara ribuan mawar di
kebun yang sama—dan mereka tidak menemukan apa yang mereka cari.”
“Mereka tidak menemukannya,” jawabku.
“Dan padahal yang mereka cari dapat ditemukan dalam satu mawar, atau dalam sedikit
air.”
“Ya, itu benar,” kataku.
Dan pangeran kecil menambahkan:
“Tetapi mata itu buta. Kita harus melihat dengan hati . . . ”
Aku telah meminum airnya. Aku bernapas dengan mudah. Saat matahari terbit warna
pasirnya seperti madu. Dan warna madu itu membuatku bahagia, juga. Apa yang membuatku,
kalau begitu, merasa bersedih?
“Kau harus menepati janjimu,” kata pangeran kecil, dengan lembut, setelah duduk di
sampingku sekali lagi.
“Janji apa?”
“Kau tahu—moncong untuk dombaku . . . Aku bertanggung jawab atas bunga ini . . . ”
Aku mengeluarkan gambar-gambarku. Pangeran kecil memandanginya, dan tertawa
setelah berkata:
“Baobabmu—mereka terlihat seperti kubis.”
“Oh!”
Aku selama ini sangat bangga akan baobabku!
“Rubahnya—telinganya terlihat seperti tanduk; dan terlalu panjang.”
Dan dia tertawa lagi.
“Kau tidak adil, pangeran kecil,” kataku. “Aku tidak tahu cara menggambar apa pun kecuali
sanca pembelit dari luar dan sanca pembelit dari dalam.”
“Oh, itu apa-apa,” katanya, “anak-anak mengerti.”
Jadi kemudiana ku membuat sketsa pensil sebuah moncong. Dan setelah aku
memberikannya padanya hatiku terbelah.
“Kau punya rencana yang tidak kuketahui,” kataku.
Tetapi dia tidak menjawabku. Dia berkata padaku, sebagai gatinya:
“Kau tahu—kedatanganku ke bumi . . . Besok akan menjadi hari peringatannya.”
Dan setelah sebuah keheningan, dia melanjutkan:
“Aku tiba di sekitar sini.”
Dan dia menjadi kemerahan.
Dan sekali lagi, entah mengapa, aku merasa sedikit aneh.
Satu pertanyaan, bagaimanapun, muncul di kepalaku:
“Maka ini bukan kebetulan ketika pagi itu aku pertama kali bertemu denganmu—
seminggu yang lalu—kau berjalan-jalan seperti itu, sendirian, bermil-mil dari daerah
berpenduduk?”
Dia menjadi kemerahan lagi.
Dan aku menambahkan, dengan sedikit keraguan:
“Mungkinkah itu karena hari peringatannya?”
Pangeran kecil menjadi kemerahan sekali lagi. Dia tidak pernah menjawab pertanyaan—
tetapi ketika seseorang menjadi kemerahan bukankah itu berarti “Iya”?
“Ah,” aku berkata padanya, “Aku sedikit takut—“
Tetapi ia menyelaku.
“Sekarang aku harus bekerja. Kau harus kembali ke mesinmu. Aku akan menunggumu di
sini. Kembalilah besok malam . . . ”
Tetapi aku tidak yakin. Aku mengingat rubahnya. Seseorang akan mulai menangis, ketika ia
membiarkan dirinya dijinakkan . . .
26

Di samping sumur ada sebuah reruntuhan tembok batu. Ketika aku kembali dari pekerjaanku,
malam selanjutnya, aku melihat dari kejauhan pangeran kecil duduk di atas tembok, dengan
kakinya diayun-ayun. Dan aku mendengar dia berkata:
“Jadi kau tidak ingat. Ini bukan tempat kita janjian.”
Suara lainnya pasti telah menjawabnya, karena dia menjawabnya:
“Ya, ya! Harinya benar, tetapi bukan ini tempatnya.”
Aku kembali berjalan menuju ke tembok. Dan aku tidak melihat atau mendengar ada siapa
pun.
Pangeran kecil, bagaimanapun, menjawab sekali lagi:
“—tepat sekali. Kau akan melihat di mana jejakku di mulai, di atas pasir. Kau seharusnya
tidak melakukan apa-apa kecuali menungguku di sana. Aku akan ke sana malam ini.”
Aku hanya dua puluh meter dari tembok itu, dan masih tidak melihat apa-apa.
Setelah sebuah keheningan pangeran kecil bicara lagi:
“Kau punya racun yang bagus? Kau yakin itu tidak akan menyiksaku terlalu lama?”
Aku berhenti berjalan, hatiku remuk berkeping-keping: tetapi aku masih tidak mengerti.
“Sekarang pergilah.” kata pangeran kecil. “Aku akan lompat turun dari tembok.”
Mataku menuju, kemudian, ke bagian bawah tembok—dan aku meloncat ke udara. Di sana,
menatap pangeran kecil, adalah salah satu ular kuning yang hanya butuh tiga puluh detik untuk
mengakhiri hidupmu. Bahkan saat aku merogoh sakuku untuk mendapatkan revolverku aku
mundur beberapa langkah. Tetapi, saat aku membuat suara, ularnya membiarkan dirinya
mengalir di atas pasir seperti aliran air, dan dengan tidak begitu terburu-buru, menghilang,
denga suara metalik, di antara bebatuan.
Aku mencapai temboknya dan meraih teman kecilku di lenganku; wajahnya sepucat salju.
“Apa artinya ini?” tanyaku. “Mengapa kau bicara dengan ular?”
Aku melonggarkan syal keemasan yang selalu ia pakai. Aku membasahi pelipisnya, dan
memberinya air. Dan sekarang aku tidak berani memberinya pertanyaan lagi. Dia menatapku
dengan sangat sedih, dan memelukku. Aku merasakan jantungnya berdetak seperti burung yang
sedang sekarat, barusaja ditembak dengan senapan seseorang . . .
“Aku senang kau telah menemukan masalah dalam mesinmu,” katanya. “Sekarang kau bisa
pulang—“
“Bagaimana kau tahu tentang itu?”
Aku barusaja akan bercerita padanya aku telah berhasil, di luar apa pun yang aku berani
mengharapkannya.
Dia tidak menjawab pertanyaanku, tetapi dia menambahkan: “Aku, juga, akan pulang hari
ini . . . ”
Lalu, dengan sedih—“Ini lebih jauh . . . lebih sulit . . . ”
Aku menyadari bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Aku menggenggamnya erat
seakan dia adalah anak kecil; dan ini seakan dia sedang tergesa menuju ke jurang yang aku tidak
dapat melakukan apa-apa untuk mencegahnya . . .
Ekspresinya sangat serius, seperti seseorang yang hilang jauh sekali.
“Aku punya domba. Aku juga punya kotak domba. Dan aku punya moncong . . . ”
Aku menunggu lama. Aku bisa melihat dia bangun sedikit demi sedikit.
“Teman kecilku sayang,” kataku padanya, “kau ketakutan . . .”
Dia sedang ketakutan, tidak ada keraguan tentang itu. Tetapi dia tertawa kecil.
“Aku akan menjadi lebih ketakutan malam ini . . . ”
Sekali lagi aku merasa membeku akan sesuatu yang tidak bisa diperbaiki. Dan aku tahu
aku tidak bisa tahan dengan pikiran tentang tidak mendengar tawa itu lagi. Bagiku, itu seperti
sebuah mata air segar di padang pasir.
“Teman kecil,” kataku, “Aku ingin mendengar kau tertawa lagi.”
Tetapi dia berkata padaku:
“Malam ini, ini akan menjadi setahun . . . bintangku, kalau begitu, dapat ditemukan tepat di
atas tempat di mana aku datang ke bumi, setahun yang lalu . . . ”
“Teman kecil,” kataku, “katakan padaku bahwa ini hanya mimpi buruk—pertemuanmu
dengan ular, dan tempat janjian, dan bintang . . . ”
Tetapi dia tidak mengabulkan permintaanku. Dia berkata padaku, sebagai gantinya: “Hal
yang penting adalah yang tidak terlihat . . . ”
“Ya, aku tahu . . . ”
“Ini persis seperti dengan air. Karena katrolnya, talinya, yang kau beri untuk kuminum
seperti musik. Kau ingat—betapa bagusnya.”
“Ya, aku tahu . . . ”
“Dan di malam hari kau akan melihat bintang di atas. Di mana aku tinggal semuanya sangat
kecil aku tidak bisa menunjukkanmu di mana bintangku bisa ditemukan. Lebih baik begini.
Bintangku akan menjadi salah satu di antara bintang-bintang, untukmu. Dan karenanya kau akan
senang melihat bintang-bintang di langit . . . mereka semua akan menjadi temanmu. Dan, selain
itu, aku akan memberimu sebuah hadiah . . . ”
Dia tertawa lagi.
“Ah, pangeran kecil, pangeran kecilku sayang! Aku senang mendengar tawa itu!”
“Itu hadiahku. Cuma itu. Ini akan seperti ketika kita meminum air . . . ”
“Apa maksudmu?”
“Semua orang memiliki bintang-bintang,” jawabnya, “tetapi mereka tidak sama untuk
orang yang berbeda. Untuk beberapa orang, yang seorang pengelana, bintang adalah panduan.
Untuk orang lain mereka tidak lebih dari lampu-lampu kecil di langit. Untuk orang lain, yang
seorang ilmuwan, mereka adalah masalah. Untuk pengusaha mereka kekayaan. Tetapi semua
bintang ini mereka diam saja. Kau—kau sendiri—akan memiliki bintang-bintang tidak seperti
orang lain memilikinya—“
“Apa maksudmu?”
“Di salah satu bintang-bintang itu aku akan tinggal. Di salah satu dari mereka aku akan
sedang tertawa. Dan itu akan seperti semua bintang sedang tertawa, ketika kau memandang
langit di malam hari . . . kau—hanya kau—yang akan memiliki bintang yang bisa tertawa!” Dan
dia tertawa lagi.
“Dan ketika rasa sedihmu terhibur (waktu menghibur semua rasa sedih) kau akan senang
kau telah mengenalku. Kau akan selalu menjadi temanku. Kau akan selalu ingin tertawa
bersamaku. Dan kau kadag-kadang akan membuka jendelamu untuk kesenangan itu . . . dan
teman-temanmu akan terheran-heran melihatmu tertawa melihat ke atas langit! Dan kau pun
akan berkata pada mereka, ‘Ya, bintang-bintang memang selalu membuatku tertawa!’ Dan
mereka akan mengira kau sudah gila. Itu akan menjadi sangat licik bagiku untuk
mempermainkanmu seperti itu . . . ”
Dan dia tertawa lagi.
“Itu akan seperti, di tempat bintang-bintang, aku telah memberimu banyak lonceng yang
bisa tertawa . . . ”
Dan dia tertawa lagi. Lalu cepat-cepat menjadi serius:
“Malam ini—kau tahu . . . jangan datang,” kata pangeran kecil.
“Aku tidak akan meninggalkanmu,” kataku.
“Aku akan terlihat seperti tersiksa. Aku akan terlihat sedikit seperti sekarat. Seperti itu.
Jangan datang untuk melihatnya. Tidak sepadan dengan masalah yang akan kau temui . . . ”
“Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Tapi dia khawatir. “Aku beritahu kau—ini juga karena ularnya. Dia tidak boleh
menggigitmu. Ular—mereka adalah makhluk yang jahat. Yang satu ini akan menggigitmu hanya
untuk bersenang-senang . . . ”
“Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Tetapi satu pemikiran datang menenangkannya:
“Itu benar bahwa gigitan mereka yang kedua tidak beracun.”
Malam itu aku tidak melihat dia pergi. Dia pergi dariku tanpa suara. Ketika aku berhasil
mengejarnya dia senang berjalan cepat. Dia cuma berkata padaku:
“Ah! Kau di sana . . . ”
Dan dia menggenggam tanganku. Tetapi dia masih merasa khawatir.
“Kau salah untuk datang. Kau akan menderita. Aku akan terlihat seperti mati; dan itu tidak
benar . . . ”
Aku diam.
“Kau mengerti ini terlalu jauh. Aku tidak bisa membawa tubuh ini bersamaku. Terlalu
berat.”
Aku diam saja.
“Tetapi ini akan terlihat seperti cangkang tua yang ditinggalkan. Tidak ada yang
menyedihkan soal cangkang tua . . . ”
Aku tetap diam.
Dia sedikit takut. Tetapi dia mencoba sekali lagi:
“Kau tahu, itu akan sangat menyenangkan. Aku, juga, akan memandang bintang-bintang.
Semua bintang akan menjadi sumur-sumur dengan katrol berkarat. Semua bintang akan menjadi
air segar untuk kuminum . . . “
Aku masih diam.
“Itu akan sangat menyenangkan! Kau akan punya lima ratus juta bel, dan aku akan punya
lima ratus juga mata air . . . ”
Dan dia pun juga diam, karena dia menangis . . .
“Di sinilah. Biarkan aku pergi sendiri.”
Dan dia duduk, karena dia takut. Lalu dia berkata, lagi”
“Kau tahu—bungaku . . . aku bertanggung jawab atasnya. Dan dia sangatlah lemah! Dia
sangat naif! Dia punya empat duri, yang tidak ada gunanya sama sekali, untuk melindungi
dirinya dari dunia . . . ”

Aku juga duduk, karena aku tidak sanggup berdiri lagi.


“Di sinilah—sudah cukup . . . ”
Dia masih sedikit ragu; lalu berdiri. Dia mengambil satu langkah. Aku tidak bisa bergerak.
Tidak ada apa-apa kecuali sebuah kilat kunig dekat mata kakinya. Dia tetap tidak bergerak
untuk beberapa saat. Dia terjatuh sehalus pohon terjatuh.
Tidak ada bahkan suara, karena pasirnya.
27

Dan sekarang enam tahun telah berlalu . . .


Aku belum pernah menceritakan kisah ini. Teman-temanku yang melihatku kembali
senang melihatku masih hidup. Aku sedih, tetapi kukatakan pada mereka: “Aku lelah.”
Sekarang kesedihanku sudah sedikit terhibur. Artinya—tidak semuanya. Tetapi aku tahu
dia kembali ke planetnya, karena aku tidak menemukan tubuhnya di pagi hari. Bukan tubuh yang
berat juga . . . dan di malam hari aku senang mendengarkan bintang-bintang. Seperti lima ratus
juta lonceng kecil . . .
Tetapi ada satu hal luar biasa . . . ketika aku menggambar moncong untuk pangeran kecil
itu, aku lupa menambahkan talinya. Dia tidak akan bisa mengencangkan moncong itu di
dombanya. Sekarang aku terus berpikir: apa yang terjadi di planetnya? Mungkin dombanya telah
memakan bunganya . . .
Suatu ketika aku berkata pada diriku: “Tentu saja tidak! Pangeran kecil menutupi
bunganya dengan bola kaca setiap malam, dan dia mengawasi dombanya dengan sangat hati-hati
. . . ” Lalu aku bahagia. Dan selalu ada keindahan di setiap tawa para bintang.
Tetapi di waktu yang lain aku berkata pada diriku: ”Suatu waktu orang bisa lalai, dan itu
cukup! Pada suatu malam dia melupakan bola kacanya, atau dombanya pergi keluar, tanpa suara,
di malam hari . . . ” Dan kemudian lonceng-lonceng kecilnya berubah menjadi air mata . . .
Inilah yang, selanjutnya, akan menjadi misteri. Untukmu yang juga menyayangi pangeran
kecil, dan untukku, tidak ada di jagad raya yang akan sama lagi jika di suatu tempat, kita tidak
tahu di mana, seekor domba yang tidak pernah kita lihat telah—ya atau tidak?—memakan
sekuntum mawar . . .
Lihatlah ke langit di atas. Tanyakan pada dirimu: apakah ya atau tidak? Apakah dombanya
telah memakan bunganya? Dan kau akan mengerti bagaimana semuanya berubah . . .
Dan tidak ada orang dewasa yang akan pernah mengerti bahwa ini adalah persoalan yang
sangat penting!
Ini, bagiku, adalah pemandangan terindah dan tersedih di dunia. Ini sama saja seperti
halaman-halaman sebelumnya, tetapi aku telah menggambarnya lagi untuk menekankannya
pada ingatanmu. Di sinilah tempat pangeran kecil tiba di Bumi, dan menghilang.
Lihatlah dengan saksama sehingga kau yakin kau akan mengenalinya jika suatu hari kau
berjalan-jalan ke gurun Afrika. Dan, jika kau telah sampai di tempat ini, jangan terburu-buru.
Tunggulah beberapa saat, tepat di bawah bintang. Lalu, jika seorang anak kecil muncul dan
tertawa, yang memiliki rambut keemasan dan menolak untuk menjawab pertanyaan, kau akan
tahu siapa dia. Jika ini terjadi, hiburlah aku. Ceritakan padaku bahwa dia telah kembali.

Anda mungkin juga menyukai