Anda di halaman 1dari 40

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN Ny.

“ S “ DENGAN MASALAH
UTAMA INKONTINENSIA URINE DI WISMA BEBERU PANTI SOSIAL
TRESNA WERDHA PUSPA KARMA MATARAM

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelompok lansia dipandang sebagai kelompok masyarakat yang beresiko mengalami

gangguan kesehatan. Hal ini dikarenakan pada lansia mengalami perubahan-perubahan fisiologis

meliputi perubahan pada sistem persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem

Cardiovascular, sistem pengaturan tubuh, sistem Respirasi, sistem Gastrointestinal,sistem

urinaria, sistem integumen, dan sistem Muskuluskeletal. Perubahan fisiologis pada sistem

urinaria dapat menyebabkan dan mempermudah lansia mengalami gangguan urinari seperti,

disuriya, poliuria dan salah satunya adalah inkontinensia urine.

Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam

merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinenensia urine adalah

pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga

mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial. (Waston,1991) Fariasi dari

inkontinensia urine meliputi dari kadang-kadang keluar hanya berupa tetes urine saja, sampai

benar- benar banyak, bahkan disertai inkontinensial alvi.

Inkontinensia urine merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi pada laki-laki

maupun perempuan, baik anak-anak, dewasa, maupun orang tua.


Pada wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki, terutama pada wanita yang sudah tua,

banyak anak, pernah mengalami operasi di daerah panggul, yang menderita penyakit kencing

manis atau penyakit saraf. (http://Soetejo.Blog. Unair.ac.id/2

Di Panti Sosial Tresna Werdha “Puspakarma” Mataram. berdasarkan hasil pencatatan

medical reccorde jumlah penderita inkontinensia urine yang dirawat tiga tahun terakhir ini, Yaitu

pada tahun 2009 dari bulan januari sampai bulan desember dengan jumlah penderita 10 orang

dengan perincian jenis kelamin laki – laki berjumlah 3 orang ( 30%) dan perempuan berjumlah 7

orang (70 %). Tahun 2010 dari bulan januari sampai bulan desember berjumlah 10 orang dengan

perincian jenis kelamin laki – laki berjumlah 3 orang(30%) dan perempuan berjumlah 7 orang

(70 %). Tahun 2011 dari bulan januari sampai bulan juni berjumlah 8 orang perincian jenis

kelamin laki – laki berjumlah 3 orang (37%) dan perempuan berjumlah 5 orang (65%).

Dari hasil uraian data diatas dapat kita lihat bahwa terjadi penurunan angka pada kelayan

lanjut usia yang mengalami gaangguan pada eliminasi urine yaitu inkontinensia urine.

Berbagai komplikasi dapat menyertai Inkontinensia Urine seperti infeksi saluran kencing,

gangguan tidur, masalah sosial higiene yang pada akhirnya mengakibatkan isolasi sosial, stress,

luka, lecet, dan tak kalah pentingnya biaya perawatan yang tinggi. Secara tidak langsung masalah

tersebut dapat menyebabkan dehidrasi, karena umumnya pasien mengurangi minum, karena

kawatir terjadi Inkontinensia Urine, pada pasien yang kurang aktifitas hanya berbaring di tempat

tidur dapat menyebabkan ulkus dekubitus dan dapat meningkatkan resiko infeksi lokal termasuk

osteomyelitis dan sepsis. (http://Soetejo.Blog. Unair.ac.id/2011)

Dampak negatif dari Inkontinensia Urine adalah dijahui orang lain karena berbau pesing,

minder, tidak percaya diri, timbul infeksi didaerah kemaluan, pemborosan uang untuk

pemeliharaan kesehatan, tidak bisa beraktifitas dengan baik sehingga pendapatan menurun, tidak
nyaman dalam hubungan seksual akhirnya dapat menurunkan kualitas hidupnya.(Potter & Perry,

2005)

Berbagai cara untuk mengurangi masalah Inkonotinensia urine adalah : megajarkan cara

Latihan Bledder Training tujuannya adalah untuk memperpanjang jarak berkemih yang terkedali

dengan tehnik relaksasi atau distraksi (mengalihkan pikiran dari keinginan berkemih) sehingga

kelayan dapat menahan atau menghambat keinginan berkemih, megajarkan Latihan Kandung

Kemih tujuannya adalah untuk menghidari terjadinya distensi berlebih. dan selain itu kita juga

bisa mengajarkan Latihan Kegel tujuannya adalah untuk mengkontraksikan otot dasar panggul

dengan cara seolah-olah sedang menahan keluarnya flatus atau feses. (Roger Waston,2003)

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengambil Proposal Laporan Akhir

dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Kelayan Dengan Diagnosa Medis Inkontinensia Urine

Di Ruang Intensif Panti Sosial Tresna Werdha “Puspa Karma” Mataram.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan Laporan Akhir ini adalah sebagai berikut:

1.2.1 Tujuan Umum :

Penulis dapat menerapkan Asuhan Keperawatan pada klien Lansia Ny ”S” dengan

diagnosa medis Inkontinensia Urine dengan meggunakan proses keperawatan.

1.2.2 Tujuan Khusus :

Penulis mampu :

a. Menjelaskan konsep dasar proses menua mulai dari pengertian, batasan-batasan pada lanjut

usia, teori-teori proses menua, perubahan-peruhan yang terjadi pada lanjut usia.
b. Menjelaskan konsep dasar Inkontinensia Urine mulai dari pengertian, klasifikasi, etiologi,

pathofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, komplikasi.

c. Melakukan pengkajian pada klien Lansia Ny ”S” dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine.

d. Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien Lansia Ny ”S” dengan diagnosa medis

Inkontinensia Urine.

e. Menyusun rencana keperawatan pada klien Lansia Ny ”S” dengan dianosa medis Inkontinensia

Urine.

f. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien Lansia Ny ”S” dengan diagnosa medis

Inkontinensia Urine.

g. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien Lansia Ny ”S” dengan diagnosa medis

Inkontinensia Urine.

1.3 Waktu dan Tempat

1.3.1 Waktu

Waktu pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada kasus kelolaan Tanggal 07-11 Maret 2012

1.3.2 Tempat

Tempat pengambilan kasus kelolaan di Wisma Beberu Panti Sosial Tresna Werhda (PSTW)

Puspa Karma Mataram

1.4 Sistematika Penulisan

BAB 1 berisi Pendahuluan meliputi latar belakang, tujuan penelitian, tempat dan waktu

serta sistematika penulisan .


BAB 2 berisi Tinjauan Teori yang menguraikan tentang konsep dasar penyakit yang terdiri

dari pengertian, inkontinensia, anatomi fisiologi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi/pathways,

tanda dan gejala penatalaksanaan, komplikasi serta konsep asuhan keperawatan, mulai dari

pengkajian, diagnosa, perencanaan, penatalaksanaan, evaluasi

BAB 3 membahas tentang tinjauan kasus yang meliputi : pengkajian, diagnosa

keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi.

BAB 4 adalah kesimpulan dan saran diangkat berdasarkan kesenjangan antara landasan

teori dan tinjauan kasus.


BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Proses Menua

2.1.1 Pengertian

Proses menua adalah Konsekwensi yang tidak dapat di hindari (rojer waston, 2003). Suatu

proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/

mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap

infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (H. Handi Martono, 2004). Dan proses menua

merupakan proses yang terus-menerus (berlanjut) secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan

umumnya dialami pada semua makhluk hidup (Wahjudi, 2003).

2.1.2 Batasan-batasan Lanjut Usia

Menurut WHO, lanjut usia meliputi:

a. Usia pertengahan (middle age), adalah kelompok usia 45-59 tahun.

b. Lanjut usia (elderly) antara 60 sampai 74 tahun

c. Lanjut usia tua (old) antara 75 dan 90 tahun

d. Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

Menurut Depkes RI lanjut usia dibagi menjadi :


a. Kelompok menjelang lanjut usia (45-54) Masa Virilitas

b. Kelompok usia lanjut (55-64) Masa Presenium

c. Kelompok-kelompok usia lanjut (>65 tahun) Masa Senium

2.1.3 Teori-teori Proses Menua

a. Teori Biologi

1) Teori Genetik Clock

Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya program genetik didalam

nuklei.jam ini berputar dalam jangka waktu tertentu dan jika jam ini sudah habis putarannya

maka akan menyebabkan berhentinya proses mitosis. Hal ini ditunjukan oleh hasil penelitian

haiflik (1980), dari teori itu ditunjukkan dengan adanya teori membelah sel dalam kultur dengan

umur spesies mutasi somatik (teori errorcatastrophe). hal penting lainnya yang perlu diperhatikan

dalam menganalisis faktor penyebab terjadi proses menua adalah faktor lingkungan yang

menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur

menurut teori ini terjadi mutasi progresif pada DNA sel somatic akan menybabkan terjadinya

penurunan sel fungsional tersebut.

2) Teori Error

Menurut teori ini proses menua diakibatkan oleh penumpukan berbagai macam kesalahan

sepanjang kehidupan manusia akibat kesalahan tersebut akan berakibat kesalahan metabolisme

yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan.
3) Teori Autoimun

Proses menua dapat terjadi akibat peurbahan protein pasca translasi yang dapat

mengakibatkan berkurangnya kemampuan system imun tubuh mengenali dirinya sendiri (Self

Recognition). Jika mutasi somatic dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada permukaan sel

maka hal ini akan mengakibatkan menganggap sel mengalami perubahan tersebut sebagai sel

asing dan menghancurkannya. Hal ini dibuktikan dengan makin bertambahnya prevalensi

antibody pada lanjut usia.

Diprihal lain sistem imun tubuh sendiri daya bertahannya mengalami penurunan pada

proses menua, daya serangnya terhadap antigen menjadi menurun, sehingga sel-sel patologis

meningkat sesuai dengan meningkatnya umur.

4) Teori Free Radical

Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal bebas dalam tubuh manusia.

radikal bebas dapat berupa : superoksida (02), radikal hidroksil, dan H2O2. radikal bebas sangat

merusak karena sangat reaktif, sehingga dapat bereaksi degan DNA, protein dan asam lemak tak

jenuh. Makin tua umur maki banyak terbentuk radikal bebas sehingga proses perusakan terus

terjadi, kerusakan organel sel makin banyak akhirnya sel mati.

5) Teori kolagen

Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel tubuh rusak. Peningkatan jumlah kolagen

dalam jaringan menyebabkan kecepatan kerusakan jaringan dan melambatnya perbaikan sel

jaringan.

b. Teori Psikososial

1) Activity Theory

Penuaan mengakibatkan penurunan jumlah kegiatan secara langsung


2) Continitas Theory

Adanya suatu kepribadiaan berlanjut yang menyebabkan adanya suatu pola prilaku yang

meningkatkan stress

3) Dissaggement Theory

Putusnya hubungan dengan dunia luar seperti dengan masyarakat, hubungan dengan individu

lain

4) Theori Strafikasi Usia

Karena orang digolongkan dalam usia tua dan mempercepat proses penuaan

5) Teori Kebutuhan manusia

Orang yang bisa mencapai aktualisasi menurut penelitian 5% dan tidak semua orang mencapai

kebutuhan yang sempurna

6) Jung Theory

Terdapat tingkatan hidup yang mempunyai tugas dalam perkembangan kehidupan.

7) Course of Human life Theory

Seseorang dalam hubungan dengan lingkungan ada tingkat maksimumnya

8) Devlopment Task Theory

Tiap tingkat kehidupan mempunyai tugas perkembangan sesuai dengan usianya.

2.1.4 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia.

a. Sel

1) Lebih sedikit jumlahnya


2) Lebih besar ukurannya

3) Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan instraselluler

4) Menurunnya proporsi di otak, otot, ginjal,darah, dan hati.

5) Jumlah sel otak menurun.

b. Sistem kardiovaskuler

1) Elastisitas dinding aurta menurun

a) Katup jantung menebal dan menjadi kaku kemampuan jantung memompa darah menurun 1 %

setiap tahun setelah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan meurunnya kontraksi dan

volumenya.

b) Kehilangan elastisitas pembuluh darah kurangnya evektivitas pembuluh darah perifer untuk

oksigenasi perubahan posisi tidur, duduk menyebabkan tekanan darah menurun yaitu menjadi 65

mmhg, dapat mengakibatkan pusing mendadak.

c) Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensidari pembuluhdarah perifer :

sistolis normal +170 mmhg dan diastolnya normal +90 mmhg.

c. Sistem pernapasan

1) Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan untuk menjadi kaku

2) Menurunya aktifitas dari silia.

3) Paru-paru kehilangan elastisitaskapasitas residu meningkat, menarik napas lebih berat

kedalaman pernapasan menurun.

4) Alveoli ukuran melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang.

5) O2 pada arteri menuru menjadi 75 mmhg.

6) Co2 pada arteri tidak berganti.


7) Kemampuan pegas, dinding, dada dan kekuatan otot pernapasan akan menurun sering dengan

bertambahnya usia.

d. Sistem persyarafan

1) Berat otak menurun 10-20% (setaip orang berkurang sel syaraf otaknya dalam setiap harinya)

2) Cepatnya menurun hubungan persyarafan

3) Lambat dalam respond an waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stress.

4) Mengecilnya saraf panca indra berkurangnya penglihatan, hilangnya pedengaran mengecilnya

saraf penciuman dan perasa

5) Kurang sensitive terhadap sentuhan

e. Sistem gastrointestinal

1) kehilangan gigi : penyebab utama periodontal disease yang biasa terjdi setelah umur 30 tahun

2) Indra pengecap menurun : adanya iritasi kronis dan selaput lender,atropi indra pengecap(+

80%)sensifitas dari indra pengecap dilidah bersama rasa asin,asam, pahit.

3) Esofagus melebar

4) lambung :rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu mengosongkan menurun

5) Peristaltik lemah biasanya timbul konstipasi

6) Fungsi absorsi melemah

7) liver (hati) : makin mengecil dan menurunya tempat penyimpanan, berkurangnya aliran darah

f. Sistem Genitourinaria

1) Ginjal
Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urin darah yang

masuk ke ginjal, disaring oleh satuan unit terkecil dari ginjaldisebut nefron (tepatnya di

glurumerulus). Kemudian mengecil dan nefron menjadi atrofi aliran darah ke ginjal menurun

sampai 50%, fungsi tubulus berkurang akibatnya berkurangnya kemampuan mengkonsentrasi

urin, berat jenis urin menurun proteinuria (biasanya +1) BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat

sampai 21 mg% nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.

2) Vesika urinaria

Otot-otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200ml atau menyebabkan

frekuensi buang air seni meningkat, vesika urinaria susah dikosongkan pada pria lanjut usia

sehingga mengakibatkan meningkatnya retensi urine sedangkan pada wanita lansia, terjadi

penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan

mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar panggul dapat mengakibatkan terjadinya

Inkontinensia urine.

3) Vagina

Orang-orang yang makin menua sexsual intercourse masih juga membutuhkannya, tidak

ada batasan umur tertentu. Fungsi sexsual seseorang berhenti sexsual intercourse cendrung

menurun secara bertahap tiap tahun, pembesaran prostat +75% dialami oleh pria usia diatas 65

tahun.

g. Sistem endokrin

1) Produksi dari hampir semua hormone menurun

2) fungsi paratiroid dan sekresi tidak berubah

3) pituitari : pertumbuhan hormon ada tapi lebih rendah

4) menurunya aktifitas tiroid, menurunnya daya pertukaran zat


5) menurunya produksi hormon kelamin, misalnya :progesterone, esterogen

h. Sistem indra : Pendengaran, Penglihatan, perabaan

1) Sistem pendengaran

a) Presbiakuisis (gangguan pendengaran) hilangnya kemampuan/ daya pendengaran pada telinga

dalam, 50% terjadi pada usia diatas 65 tahun.

b) Membran timpani menjadi atropi menyebabkan otosklerosis.

c) Terjadi pengumpulan cerumen dapat mengeras karena meningkatnya keratin.

2) Sistem penglihatan

a) Spinger pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.

b) Karena lebih berbentuk sfesis (bola).

c) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa).

d) Susah melihat dalam cahaya gelap.

e) Hilangnya daya akomodasi.

f) Menurunnya daya membedakan warna.

3) Rabaan

Indra perabaan memberikan perasaan paling intim dan paling mudah untuk menerjemahkan. Bila

indra yang lain hilang, rabaan dapat mengurangi perasaan sejahtera.

4) Pengecap dan penghidu

Empat rasa yaitu manis, asem asin, dan pahit. Diantaranya rasa manis yang paling tumpul.

i. Sistem integumen

1) Kulit mengkerut/keriput akibat hilangnya jaringan lemak.

2) Permukaan kulit kasar dan bersisik (karena kehilangan proses kreatinisasi serta perubahan

bentuk-bentuk sel epidermis).


3) Menurunnya respon terhadap trauma.

4) Mekanisme proteksi kulit menurun :

a) Produksi serum menurun.

b) Penurunan serum menurun.

c) Gangguan pigmen kulit.

5) Rambut dalam hidung dan telinga menebal.

6) Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu.

7) Pertumbuhan kuku lebih lambat.

8) Kuku jari menjadi keras dan rapuh.

9) Kuku kaki tumbuh secara berlebihan seperti tanduk.

10) Kelenjar keringat berkurangnya jumlah dan fungsinya.

11) Kuku menjadi pudar dan kurang bercahaya.

j. Sistem muskuluskeletal

1) Penurunan progresif dan grandual masa tulang mulai terjadi sebelum 40 tahun.

2) Tulang kehilangan densiti (cairan) dan makin rapuh dan osteoporosis.

3) Kifosis

4) Pinggang lutut dan jari-jari pergelangan terbatas.

5) Persendian membesar dan menjadi kaku.

6) Tendon mengkerut dan mengalami sklorosis.

7) Serabut-serabut otot mengecil sehingga orang bergerak menjadi lamban otot-otot kram dan

menjadi tremor.

(Nugroho wahyudi, 2003)


2.2 Konsep Dasar Inkontinensia Urine

2.2.1 Pengertian

Inkontinensia urine (beser) adalah kondisi ketika dorongan berkemih tidak mampu

dikontrol oleh sfingter ekternal. (Mubarak wahit iqbal & chayatin Nurul, 2007)

Inkontinensia urine adalah ketidak mampuan otot sfingter ekternal sementara atau

menetap untuk mengontrol ekresi urine. (Wartonah Tarwoto, 2003)

Inkontinensia urine adalah keluarnya urin secara tidak terkendali atau tidak pada

tempatnya. (Soeparman &Waspadji Sarwono, 2001)

Inkontinensia urine adalah eliminasi urine dari kandung kemih tidak terkendali atau terjadi

diluar keinginan (Brunner & Sudarth, 2002

2.2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemiha76n

Sistem perkemihan terdiri dari :

a. dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin,

b. dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih),

c. satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan, dan

d. satu urethra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria


Gambar 2.1 Anatomi Sistem Perkemihan (C. Scanlon V&Sanders Tina, 200

1) Ginjal (Ren)
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum pada kedua sisi

vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Ginjal merupakan organ yang berbentuk

seperti kacang, terletak retroperitoneal, di kedua sisi kolumna vertebralis daerah lumbal.
Gambar 2.2 Anatomi Ginjal (C. Scanlon Valerie dan Sanders Tina, 2007)

Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri karena adanya hepar

pada sisi kanan. Sebuah grandula adrenalis terletak pada bagian atas setiap ginjal. Setiap ginjal

memiliki ujung atas dan bawah membulat (ujung superior dan inferior), margo lateral membulat

konvers, dan pada margo medialis terdapat cekungan yang disebut hilum.

Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh

darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin

yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua sampai tiga kalik mayor yang masing-masing akan

bercabang menjadi beberapa (8-18) kalik minor.

Struktur nefron : ginjal mengandung 1-4 juta nefron yang merupakan unit pembentuk

urine.

Tahap pembentukan urin :

a) Proses Filtrasi di glomerulus

Terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang

tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat,

bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus ginjal. cairan yang di saring disebut filtrate gromerulus.
b) Proses Reabsorbsi

Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glikosa, sodium, klorida, fospat

dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus

proximal. sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat

bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan

pada papilla renalis.

c) Proses sekresi.

Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke papilla renalis

selanjutnya diteruskan ke luar.

Ginjal merupakan organ terpenting dari tubuh manusia maka dari itu ginjal mempunyai beberapa

fungsi antara lain :

(1) Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun,

(2) Mempertahankan suasana keseimbangan cairan,

(3) Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan

(4) Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.

Setiap Nefron terdiri dari Tubulus renalis, Glomerulus dan pembuluh darah yang menyertainya.

Tubulus renalis adalah tabung panjang yang bengkok, dilapisi oleh sel kuboid.

Suplai darah : Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan

arteria renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri renalis bercabang menjadi arteria

interlobularis kemudian menjadi arteri aorta.Arteri interlobularis yang berada di tepi ginjal

bercabang menjadi arteriolae aferen glomerulus yang masuk ke Glomerulus adalah pusaran

kapiler yang tertutup dalam kapsula bowmen. Kapiler darah yang meninggalkan gromerulus
disebut arteriolae eferen gromerulus yang kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena cava

inferior.

2) Ureter

Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria. Panjangnya

± 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga abdomen dan

sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.

Lapisan dinding ureter terdiri dari:

a) Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)

b) Lapisan tengah lapisan otot polos, lapisan sebelah dalam lapisan mukosa

c) Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang mendorong urin masuk

ke dalam kandung kemih.

3) Vesika Urinaria (Kandung Kemih)

Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir (kendi).

letaknya d belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang

dan mengempis seperti balon karet.

Dinding kandung kemih terdiri dari :

a) Lapisan sebelah luar (peritoneum)

b) Tunika muskularis (lapisan berotot).

c) Tunika submukosa dan lapisan mukosa (lapisan bagian dalam)

4) Urethra
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi menyalurkan air

kemih ke luar.Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari:

a) Urethra pars Prostatica

b) Urethra pars membranosa (terdapat spinchter urethra externa)

c) Urethra pars spongiosa.

d) Urethra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm (Lewis). Sphincter urethra

terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan urethra disini hanya sebagai

saluran ekskresi.

Dinding urethra terdiri dari 3 lapisan:

(a) Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari Vesika urinaria. mengandung jaringan

elastis dan otot polos.

(b) Sphincter urethra menjaga agar urethra tetap tertutup.

(c) Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan saraf.

(d) Lapisan mukosa.

2.2.3 Klasifikasi

Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)

a. Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia Dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengluaran urin

tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat untuk berkemih.

b. Inkontinensia Total

Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin

terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.

c. Inkontinensia Stres

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin kurang dari 50 ml,

terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.

d. Inkontinensia refleks

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin yang tidak dirasakan,

terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bilala volume kandung kemih mencapai jumlah

tertentu.

e. Inkontinensia fungsional

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa disadari dan tidk

dapat diperkirakan.

2.2.4 Etiologi

Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001)

a. Poliuria, nokturia

b. Gagal jantung

c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.

d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :
1) penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan

dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.

2) Perokok, Minum alkohol.

3) Obesitas

4) Infeksi saluran kemih (ISK)

2.2.5 Tanda dan Gejala

a. Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)

1) Inkontinensia Dorongan

a) Sering miksi

b) Spasme kandung kemih

2) Inkontinensia total

a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.

b) Tidak ada distensi kandung kemih.

c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.

3) Inkontinensia stres

a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.

b) Adanya dorongan berkemih.

c) Sering miksi.

d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.

4) Inkontinensia refleks

a) Tidak dorongan untuk berkemih.

b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.


c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.

5) Inkontinensia fungsional

a) Adanya dorongan berkemih.

b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

b. Gejala Inkontinensia Urine menurut (Potter & Perry, 2005)

1) Inkontinensia dorongan gejalanya adalah berkemih sering disertai oleh tingginya frekuensi

berkemih (lebih sering dari 2 jam sekali). Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih

dalam jumlah kecil (kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml).

2) Inkontinensia total gejalanya adalah urine tetap mengalir pada waktu-waktu yang tidak dapat

diperkirakan nokturia, tidak menyadari bahwa kandung kemihnya berisi.

3) Inkontinensia stres gejalanya adalah keluarnya urine pada saat tekanan intra abdomen meningkat

dan seringnya berkemih.

4) Inkontinensia refleks gejalanya adalah Tidak menyadari bahwa kandung kemihnya sudah terisi,

kurangnya untuk berkemih, kontraksi spasme kandung kemih yang tidak dicegah.

5) Inkontinensia fungsional gejalanya adalah mendesaknya keinginan untuk berkemih

menyebabkan urin keluar sebelum mencapai tempat yang sesuai.

2.2.6 Patofisiologi

Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:

a. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria (Kandung Kemih)

Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi keinginan

untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak keinginan

berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor
kontrasi dan sfingter internal dan sfingter ekternal relaksasi,yang membuka uretra. pada orang

dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini.

Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap

adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi urine.

Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi kandung

kemih tanpa disadari. wanita lansia, terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi

jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-otot

dasar (Stanley M & Beare G Patricia, 2006).

b. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Terjadi

hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung

kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung

kemih bocor bila batuk atau bersin. (http://blogspot.com/2011)

2.2.7 Pathway
Prubahan struktur kandung kemih

Prubanan neurologik

Prubahan otot urinari

Tekanan dalam kandung kemih

Gangguan control berkemih

Defisiensi tahanan uretra

Inkontinensia urgensi
Inkontinensia luapan

Inkontinensia urine

Inkontinensia fungsional

Inkontinensia

Gambar 2.3 : Skema Patway Inkontenensia Urine

2.2.8 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman&Waspadji S, 2001).

Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal.

Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran

yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada
saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika

kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika

sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat.

Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak

adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.

a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal

dan kondisi yang menyebabkan poliuria.

Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin,

kalsiumglukosasitologi.

b. Catatan berkemih

Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan

untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urine dan tidak

inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga inkontinensia urine. Pencatatan pola berkemih

tersebut dilakukan selam 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respons

terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapiutik karena dapat menyadarkan pasien

faktor pemicu.

2.2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko,

mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi,

latihan otot pelvis dan pembedahan.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :


a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih

dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak

tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.

b. Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin,

seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.

Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih

(memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga

frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila

belum waktunya.

Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,

selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3

jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan

lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih

mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini

dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar

panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.

Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :

Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul

digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-

olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar

otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.

c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti

Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress

diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis

seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

d. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi

non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya

memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan

terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

e. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia

urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,

diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan

bedepan.

(http://fikristikep.blogspot.com/2009)

2.3 Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urine

Perawatan adalah pelayanan esensial yang diberikan oleh perawat terhadap individu,

keluarga dan masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan (Nasrul Efendi, 1995).

Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan

yang diberikan secara langsung kepada klien di berbagai tatanan pelayanan kesehatan
berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan sebagai profesi yang berdasarkan pada kebutuhan

objektif klien untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien (Ali Zaidin, 2001).

Proses keperawatan adalah suatu metode yang sistematis untuk mengkaji respon manusia

terhadap masalah–masalah kesehatan dan membuat rencana keperawatan yang bertujuan

mengatasi masalah-masalah tersebut. Masalah- masalah kesehatan dapat berhubungan

dengan klien, keluarga, orang terdekat, dan masyarakat (Carol Vestal Allen, 1998).

Langkah–langkah dalam penerapan asuhan keperawatan meliputi : pengkajian, diagnosa

keperawatan, rencana tindakan keperawatan, tindakan keperawatan, dan evaluasi keperawatan.

2.3.1 Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses

yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan

mengidentifikasi status kesehatan klien (Lyer et al, 1996).

Pada tahap pertama (pengkajian) ini kegiatan yang harus dilakukan adalah mengumpulkan

data.

a. Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi sistematik tentang klien termasuk kekuatan

dan kelemahan klien. (Carol Vestal Allen, 1998)

Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan kelayan dengan

diagnosa medis Inkontinensia Urine

1) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan, pendidikan,

pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.

2) Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia, urgence,

disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.

3) Riwakat Penyakit Sekarang

Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha yang telah

dilakukan untuk mengatasi keluhan.

4) Riwakat Penyakit Dahulu

Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih) yang berulang.

penyakit kronis yang pernah diderita.

5) Riwakat Penyakit keluarga

Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit

Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM, Hipertensi.

6) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah :

B1-B6

a) B1 (breathing)

Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji

ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.

b) B2 (blood)

Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah

c) B3 (brain)

Kesadaran biasanya sadar penuh

d) B4 (bladder)

Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas

mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi
pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri

saat berkemih menandakan disuria akibat dari

infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah

supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu

kencing.

e) B5 (bowel)

Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya

ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.

f) B6 (bone)

Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri

pada persendian.

b. Pengelompokan Data

Pengelompokan data adalah data yang telah dikelompokan, selanjutnya dikelompokan

menurut data subyektif adalah menunjukan persepsi dan sensasi kelayan tentang masalah

kesehatan dan data obyektif adalah informasi dimana perawat dapat melihat, merasakan,

mendengar atau menghidu. (Carol Vestal Allen, 1998) .

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia (status

kesehatan atau risiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara

akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga

status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah (Carpenito, 2000 ) .

Diagnosa keperawatan ada dua yaitu :


a. Aktual yaitu masalah yang ditemukan pada saat pengkajian

b. Potensial yaitu kemungkinan masalah akan timbul bila tindakan keperawatan tidak dilakukan.

Komponen diagnosa keperawatan yaitu :

a. Sign/ symptom (tanda/ gejala) adalah ciri, tanda, gejala yang merupakan informasi yang

diperlukan untuk merumuskan diagnosa keperawatan

b. Etiologi (penyebab), keadaan ini menunjukkan penyebeb keadaan/ masalah kesehatan yang

memberikan keterangan terhadap terapi keperawatan.

c. Problem (masalah) adalah gambaran keadaan pasien dimana tindakan keperawatan dapat

diberikan (Carol Vestal Allen, 1998).

Diagnosa Keperawatan pada Inkontinensia Urine menurut (Roger Waston, 2003) sebagai berikut

a. Inkontinensia Stres berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang latihan dasar pelvis.

b. Inkontinensia refleks berhubungan dengan lesi medula spinalis diatas arkus refleks.

c. Inkontinensia fungsional berhubungan dengan penurunan tonus kandung kemih

d. Inkontinensia urgensi berhubungan dengan penurunan fungsi persarafan kandung kemih

e. Inkontinenia overflow berhubungan dengan obtruksi pada kandung kemh

2.3.3 Perencanaan Keperawatan

Rencana tindakan keperawatan adalah suatu prroses penyusunan berbagai intervensi

keperawatan yang di butuhkan untuk mencegah,atau mengurangi masalah-masalah kelayan

(Hidayat A. aziz, 2004)

Langkah-langkah dalam rencana tindakan


a. Menentukan prioritas masalah

Menentukan prioritas diagnosis pada tahap perencanaan setelah tahap diagnosis

keperawatan. Dengan menentukan diagnosis keperawatan maka dapat diketahuui diagnosis mana

yang dapt di lakukan atau yang dapat di atasi pertama kali atau yang segera di lakukan.dalam

menentukan prioritas terdapat pendapat urutan prioritas, diantaranya :

1) Berdasarkan tingkat kegawatan (memngancam jiwa)

Menentukan prioritas berdasarkan tingkat kegawatan (mengancam jiwa) yang di latar

belakangi dari prinsip perrtolongan pertama yaitu dengan membagi beberapa prioritas

diantaranya tertinggi,sedang dan rendah.

2) Berdasarkan kebutuhan Maslow.

Maslow menentukan prioritas diagnosis yang akan direncanakan berdasarkaan

kebutuhandiantaranya kebutuhan fisiologis,keselamatan dan keamanan ,mencintai dan

memiliki,harga diri dan aktualisasi diri .

b. Menentukan tujuan

Tujuan merupakan hasil yang ingin dicapai untuk mengatasi diagnosis keperwatan dengan

kata lain tujuan merupakan sinonim dari kriteria hasil.

c. Menentukan kriteria hasil

Kriteria hasil (hasil yang di harapkan) merupakan standar evaluasi yang merupakan

ganmbarantentang faktor-faktor yang dapat memberi petunjuk bahwa tujua telah tercapai dan

digunakan untuk membuat pertimbangan dengan cirri-ciri sebagai berikut : setiap kriteria hasil

berhubungan dengan tujuan yang telah di tetapkan ,hasil yang telah di tetapkan dalam kriteria

hasil memungkinkan untuk di capai,setiap kriteria hasil adalah pernyataan sesuatu yang

spesipik,harus yang sekongrit mungkin untukmemudahkan pengukuran ,criteria cukup besar


atau dapat di ukur ,hasilya dapat dilihat,dan kriteria menggunakankata-kata yang positif bukan

menggunakan kata yang negatif.

Pedoman penulisan kriteria hasil dapat menggunakan SMART :

S : Specific (tujuan harus specific dan tidak menimbulkan arti ganda)

M : Measurable (tujuan keperawan harus dapat di ukur, khususnya pada prilaku kelayan, dapat

dilihat, didengar diraba dan dirasakan dan dibau)

A : Achieble (tujuan harus dapat di capai)

R : Reasonable (dapat dipertanggugjawabkan secara ilmiah)

T : Times (tujuan keperawatan harus ada batasan waktu yang ditentukan )

d. Penentuan rencana tindakan

Langkah dalam penentuan tahap perencanaan ini di laksanakan setelah menentukan tujuan

kriteria hasil yang diharapkan dengan menentukan tindakan apa yang akan di laksanakan dalam

mengatasi masalah kelayan.


Tabel 2.1 Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan dengan Masalah Utama Inkontinensia Urine
Diagnosa Rencana tindakan
N keperawatan
o Tujuan Intervensi Rasional
(1 (2) (3) (4) (5)
)

1. 1.Inkontinensia Diharapkan setelah dilakukan tindakan 1.pantau dan catat 1.Deteksi masalah
Stres keperawatan klien dapat pegetahui masukan dan Untuk dapat
berhubungan tentang latihan dasar pelvis dengan haluaran mengetahui apa
dengan kurang kriteria : karakteristik penyebab
pengetahuan 1. melaporkan pengurangan urine kaji inkontinensia
tentang latihan inkontinensia kehilangan
dasar pelvis 2. mampu mengukapkan penyebab tonus otot
inkontinensia dan alasan untuk karena : 2.Melatih kekuatan
perawatan a. Melahirkan kandung kemih
b. Kegemukan
c. Proses penuaan 3.Latihan kegel
2. Minta perwat adalah untuk
atau bidan untuk menguatkan dan
latihan lebih mempertahankan
efektif tonus otot
3. ajarkan untuk pubokogsigeal
mengidentifikasi yang menyangga
otot – otot dasar organ-organ
pelvis dan pelvis
kekuatan saat
melakukan
latihan kegel

2. 2.Inkontinensia Diharapkan setelah dilakukan tindakan 1.Latih kelayan 1.Melatih kelayan


refleks keperawatan klien dapat mencapai mengoongkan untuk miksi
berhubungan penerapan seperti ditunjukan oleh hal- kandung kemih
dengan lesi hal berikut :
medula spinalis 1. mengekspresi kan keinginan untuk 2.Lakukan 2.Memberikan rasa
diatas arkus mencoba tehnik manual berkemih perawatan kulit nyaman pada
refleks 2. proses berkemih bisa terkontrol dan pakaian kelayan
pada kelayan
3.Infeksi saluran
3. awasi bila ada kemih dapat
(3) tanda gejala memperburuk
infeksi saluran keadaan klien
kemih

(2) (5)
(1
)
(4)

3. Inkontinensia Diharapkan setelah dilakukan tindakan1. Berikan 1. Memberikan


fungsional keperawatan klien dapat pegetahuan keempatan pada kenyamanan pada
berhubungan tentang faktor penyebab penurunan keleyan untuk kelayan.
dengan tonus kandung kemih dengan kriteria : miksi.
penurunan tonus1. meminimalkan atau mengura 2. Menjaga privasi
kandung kemih ngi episode inkontinensia 2. Modifikasi dan kenyamanan
2. mengambarkan faktor penyebab linkungan kelayan.
inkontinensia tempat berkemih
.
3. Untuk
Diharapkan setelah dilakukan tindakan
merelaksasi
keperawatan klien dapat pegetahui
cara mengoftimalkan kandung kemih kandung kemih.
dengan kriteria : 3. Kolaborasi
3. kelayan mampu mengungkapkan miksi pemberian obat
kalau mau berkemih dengan dokter
4. mengetahi faktor penyebab
inkontinensia urgensi
Inkontinensia
urgensi
berhubungan 1. Untuk merelakasi
Diharapkan setelah dilakukan tindakan
dengan kandung kemih
4. penurunan keperawatan klien dapat pegetahui
fungsi penyebab obstruksi kandung kemih, 2. Melatih kelayan
1. Kolaborai
persarafan dengan kriteria : mengembalikan
pemberian obat
kandung kemih 1. kelayan mau berkerja sama dalam kontrol miki
dengan dokter
proses pengobatan
3.
2. Ajarkan kelayan Agar dapat
bladder training menehan miksi
2. inkontinensia bisa di atasi
dalam waktu
yang lebih lama
3. Minta kelayan
untuk menunda
waktu ke toilet

Inkontinenia
overflow 1. Mengetahui
penyebab
berhubungan obstruksi
dengan obtruksi
pada kandung 2. Melancarkan
kemih proses berkemih
5. 1. Kaji obstruksi
pada kandung 3. Memberikan rasa
kemih
nyaman pada
klien

2. Lakukan
pembedahan
jika terjadi
pembesaran
prostad

3. Lakukan
kateterisasi,bila
perlu secara
intermiten,dan
kalau tidak
mungkin secara
menetap

(Roger Watson, 2003)

2.3.4 Pelaksanaan Keperawatan

Tahap pelaksanaan merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan dan merupakan

tahapan dimana perawat merealisasikan rencana keperawatan ke dalam tindakan

keperawatan nyata, langsung pada klien.Tindakan keperawatan itu sendiri merupakan

pelaksanaan dari rencana tindakan yang telah diktentukan dengan maksud agar kebutuhan klien

terpenuhi secara optimal (Nasrul Efendy, 1999).

2.3.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang

menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaan sudah

berhasil di capai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat memonitor “kealpaan“ yang terjadi

selama tahap pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan (Ignatavicus dan

Bayne, 1994).

Tolok ukur yang digunakan untuk menilai pencapaian tujuan pada tahap evaluasi adalah

kriteria-kriteria yang telah dibuat pada tahap perencanaan selanjutnya berpatokan pada kriteria

tersebut dinilai apakah masalah telah teratasi, teratasi sebagian, atau belum sama sekali atau

justru timbul masalah baru.

Selanjutnya perkembangan respon klien dituangkan dalam catatan perkembangan klien dan

diuraikan berdasarkan uraian SOAP:

S ( subyektif)

Keluhan- keluhan klien

O ( obyektif )

Apa yang dapat di lihat, di cium, di raba, dan di ukur perawat.

A ( analisa )

Kesimpulan perawat tentang kondisi klien.

P ( plan )

Rencana tindakan keperawatan untuk klien

Anda mungkin juga menyukai