EKTIMA
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
Diajukan Kepada :
dr. Dwi Rini Marganingsih, M. Kes, Sp. KK
Disusun oleh:
Qanita Khairunnisa
20174011088
Disusun oleh :
Qanita Khairunnisa
20174011088
A. Latar Belakang
I. Identitas Pasien
Nama : An. Zahira Fatahillah
Nomor RM : 64-23-xx
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 6 tahun
Alamat : Imogiri, Bantul
II. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Luka di jari ke 4 tangan kanan.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Panembahan Senopati Bantul
dengan keluhan terdapat luka pada jari ke empat tangan kanan. Keluhan tersebut
muncul sejak 3 hari sebelum periksa ke rumah sakit. Pada awalnya keluhan
tersebut timbul berupa luka berwarna kemerahan akibat terkena panas pada 5 hari
sebelum periksa. Setelah itu pasien mengaku sering menggaruk bagian yang luka
karena merasa tidak nyaman dan sehingga terbentuk luka yang melebar dan terasa
gatal dengan warna sekitar luka kemerahan. Keluhan demam disangkal. Pasien
belum melakukan pengobatan apapun untuk keluhannya tersebut.
F. Anamnesis Sistem
Sistem saraf pusat : demam (-), penurunan kesadaran (-)
Sistem kardiovaskuler : sesak napas (-), pucat (-), kaki bengkak (-)
Sistem respiratori : batuk (-), pilek (-), bersin (-)
Sistem urinaria : BAK dbn
Sistem gastrointestinal : BAB dbn
Sistem anogenital : anus dan genitalia tidak ada kelainan
Sistem muskuloskeletal : gerakan bebas aktif
Sistem sensori : mata merah (-), mata gatal (-)
G. Pemeriksaan Fisik
Kesan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign
Tekanan darah : tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 82x/menit
Napas : 23x/ menit
Suhu : afebris
Berat Badan : 21 kg
H. Diagnosis Banding
Impetigo Krustosa
Folikulitis
I. Diagnosis Kerja
Impetigo Ulseratif/Ektima
J. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
K. Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa
a) Edukasi kepada pasien untuk menghindari garukan pada luka
b) Menjaga hygiene perorangan dan keluarga dengan baik; mandi 2x sehari,
mencuci tangan setelah kontaminasi dengan bahan kotor
c) Menghindari penggunaan handuk dan kain yang digunakan bersamaan
untuk menghindari penyebaran infeksi
d) Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit (tujuan
pengobatan, hasil pengobatan, yang diharapkan, lama terapi, cara
penggunaan obat, dan efek samping obat yang mungkin terjadi).
e) Edukasi mengenai perawatan kulit yang sakit dan menghindari
pengobatan diluar yang diresepkan.
2. Medikamentosa
Mupirocin ointment 2% tiap 8 jam sehari selama 5 hari dioleskan tipis-
tipis pada daerah lesi
Cefadroxil syrup 125 mg/5 ml sebanyak 2 cth tiap 12 jam sampai habis
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
C. Etiopatogenesis
Ektima adalah pioderma ulseratif kulit yang umumnya disebabkan oleh
Streptococcus β-hemolyticus. Penyebab lainnya bisa Staphylococcus aureus
atau kombinasi dari keduanya. Menyerang epidermis dan dermis membentuk
ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya terdapat pada
tungkai bawah.
Kulit berperan sebagai mekanisme pertahanan lini pertama antara
manusia dengan lingkungannya. Kondisi homeostasis yang tidak seimbang
antara mikrobioma kulit dan host akan mengakibatkan suatu mekanisme
penyakit. Secara alamiah, kulit dihuni oleh berbagai macam bakteri. Infeksi
bakteri hampir tidak mungkin terjadi karena kulit memiliki kemampuan
proteksi alami. Resistensi alami dari tubuh manusia terhadap infeksi
disebabkan karena kondisi kulit dengan kadar pH kulit yang rendah yaitu 5.6,
serta adanya cairan sebaseus yang terhidrolisis membentuk asam sehingga
mencegah kolonisasis dari bakteri (Ghazvini et al, 2017).
Permukaan kulit memiliki sifat konstitutif seperti suhu rendah dan pH
rendah, komensal dan peptida antimikroba kulit yang melawan kolonisasi S.
aureus. Pada epidermis terdapat banyak sel imun residensial di kulit yang
berpartisipasi dalam respon imun, seperti sel Langerhans di epidermis dan sel
dendritik dermal, makrofag, sel mast, sel T dan B, sel plasma dan sel NK di
lapisan dermis. (B) Kolonisasi S. aureus membutuhkan pertautan terhadap
permukaan kulit (dan mukosa hidung), yang dimediasi oleh komponen
permukaan (surface component) S. aureus seperti fibronectin-binding protein
A (Fnbp A) and Fnbp B, fibrinogen-binding proteins (ClfA and ClfB), iron
regulated surface determinant A (IsdA) dan wall teichoic acid (WTA).
Penghindaran dari sistem imun juga dimediasi oleh IsdA dengan mekanisme
menghindari respon antimikroba host (Karna, 2017).
Perkembangan impetigo tergantung dari beberapa faktor di antaranya:
Adherensi bakteri terhadap sel host, mekanisme pertahanan host, serta
persebaran toksin. Invasi bakteri awalnya terjadi pada jumlah yang rendah,
kemudian asam teikoit akan berperan menjadi mediator pada proses terjadinya
impetigo. Fibronectin, sebuah molekul adhesi sel akan menyebabkan sel
bakteri seperti Streptococcus pyogenes (GABHS), menempel pada kolagen dan
menginvasi permukaan kulit untuk melakukan kolonisasi. Sebaliknya,
Staphylococcus aureus harus berkolonisasi pada epitelium nasal terlebih
dahulu sebelum terjadi kolonisasi pada kulit. Kondisi meningkatnya jumlah
bakteri pada barier kulit yang rusak, maka invasi dari bakteri yang
berkolonisasi akan menyebabkan terjadinya impetigo (Ghazvini et al, 2017).
E. Faktor Predisposisi
Ektima dapat dilihat pada daerah kulit yang mengalami kerusakan
atau telah ada infeksi sebelumnya. Misalnya ekskoriasi, gigitan
serangga, dermatitis atau skabies. Ektima juga dapat ditemukan pada
penderita dengan gangguan imunitas (misalnya penderita diabetes
mellitus, HIV). Faktor-faktor penting yang berperan dalam timbulnya
ektima antara lain:
a. Temperatur dan kelembaban yang tinggi dan daerah tropis
b. Kondisi lingkungan yang kotor
c. Higiene yang buruk
d. Malnutrisi
e. Gigitan serangga
f. Ulkus
g. Trauma/luka: Luka operasi, abrasi, laserasi, jahitan, gigitan
(manusia, binatang, seragga), luka bakar.
Impetigo yang tidak diobati dengan baik akan berkembang menjadi ektima
biasanya sering pada penderita dengan higiene buruk (Djuanda, 2010).
F. Diagnosis
Diagnosis ektima umumnya tidak terlalu sulit dilakukan. Diagnosis
ektima dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang. Ektima terjadi paling banyak pada ekstremitas bawah
pada anak-anak, atau daerah yang biasanya digantungkan kalung pada orang
dewasa atau individu dengan penyakit diabetes. Higien yang buruk dan kalung
(perhiasan yang dipakai di leher) adalah elemen kunci dalam patogenesis
penyakit ini. Ulkus eritem pada engkel dan bagian dorsum kaki adalah bentuk
pioderma yang paling umum terlihat pada iklim tropis.
Ulkus memiliki gambaran “punched out” ketika krusta berwarna
kuning keabu-abuan yang tidak bersih dan material purulen ditekan. Pinggiran
dari ulkus indurasi, meninggi, berwarna violet. Dasar granulasi mencapai
bagian dalam dermis. Lesi eritem yang tidak diobati akan membesar selama
beberapa minggu sampai beberapa bulan menjadi diameter 2-3 cm atau lebih
(Craft, 2012).
Menurut PERDOSKI (2017) ektima merupakan bentuk pioderma
ulseratif yang disebabkan oleh S. Aureus dan atau Streptococcus grup A yang
memiliki kriteria diagnosis:
Predileksi: ekstremitas bawah atau daerah terbuka.
Ulkus dangkal tertutup krusta tebal dan lekat, berwarna kuning keabuan.
Apabila krusta diangkat, tampak ulkus bentuk punched out, tepi
ulkusmeninggi, indurasi, berwarna keunguan.
Biopsi kulit dengan pewarnaan gram dari jaringan kulit dalam dan kultur
bakteri. Pewarnaan gram dari cairan vesikular dan terlihat di bawah mikroskop
biasanya dipastikan terdapat kokus gram positif yang menggambarkan grup A
streptokokus. Stafilokokus aureus bisa juga terlihat. Tes kultur dan sensitivitas
dari cairan atau kulit yang terlepas bisa digunakan untuk mengidentifikasi jenis
antibiotik yang paling sesuai. Hitung sel darah putih bisa saja meningkat (Arta,
2015).
G. Diagnosis Banding
a. Impetigo Krustosa: didiagnosa banding dengan ektima karena
memberikan gambaran efloresensi yang hampir sama berupa lesi yang
ditutupi krusta. Bedanya, pada impetigo krustosa lesi biasanya lebih
dangkal, krustanya lebih mudah diangkat, dan tempat predileksinya
biasanya pada wajah dan punggung serta terdapat pada anak-anak
sedangkan pada ektima lesi biasanya lebih dalam berupa ulkus, krustanya
lebih sulit diangkat dan tempat predileksinya biasanya pada tungkai
bawah serta bisa terdapat pada usia dewasa muda.
b. Folikulitis: didiagnosis banding dengan ektima sebab predileksi biasanya
di tungkai bawah dengan kelainan berupa papul atau pustul yang
eritematosa. Perbedaannya, pada folikulitis, di tengah papul atau pustul
terdapat rambut dan biasanya multiple.
c. Ektima Gangrenosum: Secara klinis nyeri pada lesi makula eritema. Di
tengahnya dapat ditemukan vesikel atau pustul yang cepat berubah
menjadi ulkus. Ulkus biasanya berwarna hitam dan berkrusta dengan tepi
yang lebih tinggi. Biasanya disebabkan oleh Pseudomonas sp.
H. Penatalaksanaan
Tujuan dari pemberian terapi termasuk mengurangi
ketidaknyamanan dan meningkatkan penampilan kosmetik lesi, mencegah
penularan infeksi lebih jauh antara pasien dengan yang lain, serta mencegah
kekambuhan. Terapi yang ideal harus efektif, terjangkau, dan memiliki efek
samping minimal. Antibiotik topikal memiliki keuntungan dapat diaplikasikan
di tempat yang diinginkan, dan memiliki efek samping minimal. Namun,
penggunaan beberapa antibiotik topikal dapat menyebabkan sensitisasi pada
beberapa orang (Cole & Gazewood, 2007).
Menurut PERDOSKI (2017) terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih
sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
1. Topikal
Bila banyak pus atau krusta: kompres terbuka dengan permanganas
kalikus 1/5000, asam salisilat 0,1%, rivanol 1‰, larutan povidon iodine
1%; dilakukan 3 kali sehari masing-masing ½-1 jam selama keadaan
akut.
Bila tidak tertutup pus atau krusta: salep/krim asam fusidat 2%,
mupirosin 2%. Dioleskan 2-3 kali sehari, selama 7-10 hari.
2. Sistemik: minimal selama 7 hari
Lini pertama:
Kloksasilin/dikloksasilin: dewasa 4x250-500 mg/hari per oral; anak-
anak 25-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis.
Amoksisilin dan asam klavulanat: dewasa 3x250-500 mg/hari; anak-
anak 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis.
Sefaleksin: 25-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis.
Lini kedua:
Azitromisin 1x500 mg/hari (hari 1), dilanjutkan 1x250 mg (hari 2-5)
Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis.
Eritromisin: dewasa 4x250-500 mg/hari; anak-anak 20-50
mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis.
I. Prognosis
Lesi akan membaik, membutuhkan beberapa minggu terapi
antibiotik untuk beresolusi dengan sempurna. Manajemen ektima biasanya
diberikan secara sistemik dan diberikan agen yang sama seperti impetigo
staphylococcal (Craft, 2012).
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Panembahan
Senopati Bantul dengan keluhan terdapat luka pada jari ke empat tangan kanan.
Pada anamnesis, didapatkan bahwa keluhan tersebut muncul sejak 3 hari sebelum
periksa ke rumah sakit. Pada awalnya keluhan tersebut timbul berupa luka berwarna
kemerahan akibat terkena panas pada 5 hari sebelum periksa. Setelah itu luka mulai
menebal dan membentuk koreng yang terasa gatal dengan warna sekitar luka
kemerahan. Pasien belum melakukan pengobatan apapun untuk keluhannya
tersebut. Riwayat pasien berupa trauma pada awal lesi dapat meningkatkan risiko
terjadinya infeksi karena bakteri akan lebih mudah masuk ke dalam kulit yang
rusak. Pasien juga memiliki riwayat menggaruk pada lesi yang juga berisiko
terjadinya infeksi.
Pasien didiagnosis dengan Impetigo Ulseratif atau Ektima dan diberikan
terapi berupa antibiotik oral dan topikal. Ektima adalah pioderma ulseratif kulit
yang umumnya disebabkan oleh Streptococcus β-hemolyticus. Penyebab lainnya
bisa Staphylococcus aureus atau kombinasi dari keduanya. Ektima menyerang
epidermis dan dermis membentuk ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis.
Pada kasus infeksi kulit, pemeriksaan tanda-tanda vital penting dilakukan untuk
menyingkirkan adanya penyebaran infeksi sistemik. Pada kasus ini, tidak
didapatkan peningkatan suhu tubuh atau afebris.
Dari status dermatologisnya didapatkan bahwa terdapat lesi di regio
interphalang digiti IV manus dekstra dengan effloresensi ulkus dangkal multipel
tertutup krusta coklat kehitaman, bentuk bulat, ukuran 0,5 x 0,8 x 0,1 cm, batas
tegas, tepi meninggi, disertai krusta tebal warna coklat kehitaman diatasnya serta
kulit yang eritema disekelilingnya. Dari gamnbaran di atas dapat disimpulkan
bahwa lesi tersebut sesuai dengan gambaran dermatologis ektima berupa gambaran
“punched out” dengan krusta. Pinggiran dari ulkus indurasi, meninggi, berwarna
violet. Dasar granulasi mencapai bagian dalam dermis.
Saat menegakkan diagnosis lesi seperti tersebut di atas, terdapat beberapa
diagnosis banding yang harus ditegakkan. Pada kasus ini, ektima dapat didiagnosis
banding dengan impetigo krustosa dan folikulitis. Pada impetigo krustosa, karena
memberikan gambaran efloresensi yang hampir sama berupa lesi yang ditutupi
krusta. Perbedaannya pada impetigo krustosa lesi biasanya lebih dangkal, krustanya
lebih mudah diangkat, dan tempat predileksinya biasanya pada wajah dan punggung
serta terdapat pada anak-anak sedangkan pada ektima lesi biasanya lebih dalam
berupa ulkus, krustanya lebih sulit diangkat. Sedangkan pada folikulitis kelainan
berupa papul atau pustul yang eritematosa. Perbedaannya dengan ektima pada
folikulitis, di tengah papul atau pustul terdapat rambut dan biasanya multipel.
Penanganan pada ektima terdiri dari dua macam terapi yaitu terapi oral dan
terapi topikal. Menurut PERDOSKI (2017), kasus pioderma seperti ektima dapat
diberikan terapi berupa salep/krim asam fusidat 2%, mupirosin 2% yang dioleskan
2-3 kali sehari, selama 7-10 hari. Untuk terapi sistemik/oral dapat diberikan
antibiotik seperti Kloksasilin/dikloksasilin. Pasien ini diberikan terapi berupa
Mupirocin cream 2% yang dioleskan setiap 8 jam pada lesi serta pemberian
antibiotik topikal berupa Cefadroxil Syrup 125 mg/5 ml tiap 12 jam sebanyak 2 cth
hingga habis.
DAFTAR PUSTAKA
PERDOSKI. (2017). Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit di Indonesia.
Jakarta.