Anda di halaman 1dari 8

YESUS SANG GURU SEJATI

Sebagai Satu Spiritualitas Imam Diosesan


Oleh:

Silvester Elva Permadi

Pendahuluan

Penulis lahir, tumbuh dan berkembang dalam keluarga katekis. Kakek, paman, bude
dan ibu penulis adalah katekis atau guru agama. Sewaktu kecil penulis sering diajak ibu
ketika mengajar agama baik di Gereja maupun di sekolah-sekolah. Tiap malam sebelum tidur
ibu sering bercerita kisah-kisah kitab suci dengan kitab suci anak yang ada gambar-
gambarnya. Rupanya pengalaman itu sangat berkesan dan membekas dalam benak sanubari
penulis. Hal itu pembuat penulis begitu suka dengan cerita-cerita iman terutama kisah Tuhan
Yesus sendiri Sang Juru Selamat yang penulis sangat imani. Dari situ penulis memiliki cita-
cita untuk mengikuti jejak keluarga yaitu menjadi katekis. Untuk mewujudkan impian itu
penulis mengambil kuliah di Sekolah Tinggi Pastoral “IPI” Malang. Di kampus ini jugalah
ibu penulis dulu menempuh pendidikan menjadi sarjana agama katolik.

Setelah kurang lebih 4 tahun menempuh studi pendidikan agama katolik penulis
mendapat gelar sarjana agama. Penulis sangat bersyukur pada Tuhan karena cita-cita penulis
diwujudkan oleh Tuhan yaitu menjadi katekis atau guru agama. Selepas lulus kuliah penulis
diterima bekerja di SDK St. Maria Banyuwangi milik yayasan suster SPM. Kurang lebih
penulis mengajar di sana hampir 3 tahun sampai suatu kali penulis mendapat panggilan yang
menggubah jalan hidup penulis. Rasanya Tuhan masih belum puas penulis hanya menjadi
katekis. Tuhan menginginkan lebih, Tuhan ingin penulis memberikan hidup sepenuhnya
untuk Tuhan. Pada suatu hari ada telpon masuk dan ternyata itu telpon dari Bapa Uskup yang
ingin berjumpa. Perjumpaan dengan Bapa Uskup penulis maknai sebagai peristiwa iman,
melalui Bapa Uskup Tuhan memanggil penulis untuk menjadi imam-Nya secara khusus
menjadi imam diosesan Surabaya. Dengan penuh sukacita penulis menerima panggilan itu.

Dalam proses perjalanan formatio calon imam, penulis dituntut untuk memiliki visi
imamat. Ingin menjadi imam seperti apa kelak? Spiritualitas macam apa yang mau penulis
hidupi? Ketika merenungkan hal ini penulis memilih spritualitas Yesus Sang Guru Sejati.
Penulis ingin menjadi imam yang mengajar seperti Yesus Sang Guru. Latar belakang penulis

1
yang adalah guru membuat penulis lebih “in” dalam dunia pendidikan iman. Salah satu tugas
pokok imam juga mengajarkan iman. Selain itu penulis juga prihatin banyak imam diosesan
Surabaya yang enggan mengajar iman. Untuk itu dalam paper ini penulis ingin merefleksikan
spritualitas Yesus Sang Guru sejati.

Spritualitas Imam Diosesan

Istilah “spiritualitas” dalam arti “corak hidup rohani” berkaitan erat dengan pengertian
“pneumatikos” yaitu orang yang hidup oleh Roh (Rm 8:1-17). Spiritualitas dihayati sebagai
sikap dasar praktis atau eksistensial orang beriman. Merupakan suatu konsekuensi dan
ekspresi kesadaran religiusnya. Mencakup cara-cara ia bereaksi dan beraksi selama hidupnya
menurut pendirian hidup rohani beserta keputusan-keputusan obyektif terdalam.1Maka
spritualitas Imam Diosesan adalah Roh yang mengerakkan imam diosesan pada corak hidup
tertentu dengan mengikut dan meneladan Yesus Kristus (imitatio Christi). Memang tidak
mudah untuk memberikan pengertian yang baku dalam suatu rumusan yang paten.
Spiritualitas mengarah pada banyak hal apalagi ada banyak dimensi dari Yesus Kristus yang
bisa diikuti. Namun yang jelas berkat tahbisan imamatnya seorang imam menyatukan
hidupnya dengan hidup Kristus sendiri, menyerahkan hidupnya pada Roh Kristus sendiri.

Mediasi atau perantaraaan yakni relasi antara Allah dan manusia merupakan dimensi
baru imamat. Kemuliaan Kristus jauh mengungguli Musa (Ibr 3:3), sebab kewibawaan Musa
berlangsung “dalam” rumah Allah sebagai hamba sedangkan Yesus menguasai rumah Allah
sebagai Putera Bapa. Yesus perantara Allah dan manusia melalui sengsara dan wafat-Nya di
kayu salib. Maka kebaruan perjanjian baru terletak pada satu-satunya korban Yesus Kristus.
Kebaruan imamat-Nya ditinjau dari perspektif pengorban-Nya yang istimewa karena Yesus
sendiri yang mengorbankan Diri-Nya kepada Bapa yang mengutus-Nya karena penuh kasih
akan dunia (Yoh 3:16). Pengorbanan itu dihadapkan kepada Bapa demi keselamatan manusia
seluruhnya.2

Yesus Kristus memberikan kuasa imamat-Nya kepada para Rasul, kemudian mereka
menyerahkan kuasa yang sama kepada para uskup para imam dan diakon melalui sakramen
tahbisan melalui meterai untuk layak mengambil bagian dan menghadirkan pelayanan Kristus
itu di dalan Gereja-Nya. Sehubungan dengan itu imam menjadi persona Christi dalam arti ia
melanjutkan imamat Kristus yang diserahkan pada perjamuan perjamuan malam terakhir

1
Robert Hardawiryana, Spiritualitas Imam Diosesan melayani Gereja di Indonesia masa kini, Kanisius,
Yogyakarta 2000, 12.
2
Ibid

2
yang menjadi konstitusi pada korban ekaristi. Berkat karakter sakramen tahbisan ini Kristus
mendelegasikan kepada imam pelayanan unik yang sangat dibutuhkan Gereja.3

Gereja berusaha untuk menjadikan manusia murid-murid Kristus. Ia hendak


membantu mereka agar dapat percaya bahwa Yesus adalah Putera Allah supaya dengan
perantaraan iman itu mereka memperoleh kehidupan dalam nama-Nya. Melalui pengajaran,
Gereja berusaha mendidik manusia menuju kehidupan ini dan dengan demikian membangun
Tubuh Kristus. Semua ini sudah sejak dahulu disebut katekese(KGK 4).

Katekese adalah pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang dewasa dalam iman
yang pada khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen dan yang pada umumnya
diberikan secara organis dan sistematis dengan maksud mengantar para pendengar memasuki
kepenuhan kehidupan kristen(CT 18).

Yang diajarkan dalam katekese hanyalah Kristus, Sabda yang menjadi manusia,
Putera Allah, segala sesuatu yang lain diajarkan dengan mengacu kepada-nya. Dan hanya
Kristus yang mengajar setiap orang yang lain hanya sejauh ia melanjutkan kata-kata Kristus
dan dengan demikian memungkinkan Kristus mengajara melalui mulutnya. Setiap katekis
wajib berusaha, supaya melalui pengajaran serta tingkah lakunya menyampaikan ajaran
kehidupan Yesus: ‘ajaran-Ku tidak berasal dari Diri-Ku sendiri melainkan dari Dia yang telah
mengutus Aku’(Yoh7:16) (CT 6).

Semua imam baik diosesan maupun religius mengajarkan satu hal yang sama yakni
membangun tubuh Kristus yang memerlukan berbagai macam fungsi serta penyesuaian baru
khususnya dewasa ini, lagi pula dari abad ke abad diperkaya dengan karisma-karisma baru
(PDV 17).

Tugas khas dari imam-imam yang adalah rekan kerja para Uskup ialah mengajarkan
Injil Allah; terutama para pastor paroki dan mereka yang diserahi tugas reksa jiwa-jiwa,
mempunyai kewajiban ini terhadap umat yang dipercayakan kepada mereka; juga para
diakon, dalam persatuan dengan Uskup dan presbiteriumnya, harus mengabdi umat Allah
dalam pelayanan sabda (KHK Kan. 757)

Dalam kutipan di atas nampak bahwa berkat rahmat tahbisan seorang imam memiliki
kewajiban untuk mengajar, mengajar tentang iman akan Yesus Kristus (katekese). Yesus

3
Edison Tinambunan, Spiritualitas Imamat, Dioma, Malang 2004, 42.

3
sendiri adalah pengajar, Dia adalah guru yang sejati. Maka seorang imam diosesan juga perlu
memiliki spiritualitas Yesus Sang Guru dari situ seorang imam akan tahu bagaimana
mengajar yang sesuai dengan kehendak Yesus.

Yesus Sang Guru

Yesus dipanggil sebagai Rabi oleh para rasul para pengikut juga oleh orang Farisi.
Kata rabi secara etimologis berasal dari bahasa Ibrani “rab” yang artinya besar atau
terhormat. Pada akhir abad 2 sebelum Masehi “rab” dibakai untuk menyebut guru, dan kata
rabi artinya guru saya. Selanjutnya kata rabi menjadi gelar resmi untuk guru Torah Yahudi.

“Lalu mereka datang kepada Yohanes dan berkata kepadanya: Rabi, orang yang
bersama dengan engkau di seberang sungai Yordan dan yang tentang Dia engkau telah
memberi kesaksian, Dia membaptis juga dan semua orang pergi kepada-Nya" (Yoh 3:26).
Gelar rabi bagi Yohanes pembabtis menunjukkan bahwa ia telah diberikan penghormatan
sepadan dengan seorang guru agama saat itu oleh para muridnya. Hal ini berarti murid-murid
Yohanes pembabtis telah memahami hubungan mereka dengan dia sebagai hubungan guru
dan murid. Hal yang sama juga harus ditujukan kepada hubungan antara Yesus sebagai guru
dan para pengikut-Nya. Dalam perjanjian baru muncul 12 kali pada Yesus. 4 kali dalam
sinoptik (Mat 26:25, 49; Mrk 9:5;11:21) dan delapan kali muncul dalam injil Yohanes (Yoh
1:38; 49, 3 :2; 4:31;6:25; 8:4; 9:2; 11:8), satu kali memakai rabuni (20 : 16), kata guru
muncul empat kali (3:2; 11:28; 13:13,14), dan dua kali merupakan terjemahan dari kata rabi
(1:38) dan rabuni (20:16).
Dalam injil Matius, hanya Yudas memanggil Yesus sebagai Rabi (Mat 26:25,49)
dalam konteks penangkapan Yesus, sedangkan dalam Markus menyebut rabi hanya dalam
dua peristiwa yaitu Yesus dimuliakan di gunung (Mrk 9:5) dan kedua peristiwa Yesus
mengutuk pohon ara (Mrk 11:21). Injil Lukas tidak pernah menggunakan gelar rabi untuk
Yesus.Yesus dipanggil rabi bukan hanya oleh murid-murid-Nya tetapi juga oleh Nikodemus
seorang Farisi (Yoh 3:2). Maka dapat dikatakan Nikodemus mewakili pandangan orang
banyak tentang Yesus (Yoh 6:25).
Yesus sebagai rabi berbeda dengan rabi yang lain. Pengajaran Yesus penuh kuasa
(Mat 7: 28-29). Dalam Yoh 13:13-14 Yesus menegaskan diri sebagai seorang guru saat
memberi teladan membasuh kaki. Jadi disebut guru bukan hanya oleh orang lain tetapi ia
sendiri mengakui diri sebagai guru.

4
Spiritualitas Yesus Sang Guru

Spiritualitas Yesus Sang guru dapat menjawabi pertanyaan tentang bagaimana


seharusnya seorang imam diosesan mengajarkan tentang iman kepada umat. Berangkat dari
Yesus sendiri ada beberapa keutamaan yang mesti dimiliki oleh para imam antara lain:

a. Aktif mencari jiwa-jiwa

“Dan ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat dua orang
bersaudara, yaitu Simon yang disebut Petrus, dan Andreas, saudaranya. Mereka sedang
menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan.Yesus berkata kepada mereka: "Mari,
ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia."Lalu mereka pun segera
meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula
dua orang bersaudara, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah
mereka, Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil mereka dan
mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia“(Mat 418-22).
Yesus aktif mencari jiwa-jiwa untuk menjadikan mereka sebagai murid-nya. Ia tidak
diam saja dan hanya menunggu orang datang berguru pada-Nya. Ia mencari dan memanggil
mereka di tengah-tengah kesibukan mereka sehari-hari (Yoh 1:35-51). Yesus mencari murid
dengan mempunyai tujuan yang jelas yaitu menjadikan mereka menjadi penjala manusia.

b. Memahami Kebutuhan murid

Yesus sebagai guru memahami kondisi para pendengarnya yang berbeda-beda, ia


memahami kebutuhan mereka. Ia mengajar dengan penuh kasih dan hal itu tampak saat Ia
menolong setiap orang yang mengalami kesusahan seperti menyembuhkan mertua
Petrus(Mrk 1: 29-31), menyembuhkan orang kusta (Mrk 1:40-45), menyembuhkan orang
lumpuh (Mrk 2:1-12) dsb.

c. Menggunakan bahasa yang kontekstual

Yesus mengajarkan Kerajaan Allah dengan menggunakan perumpamaan yang dekat


dengan lingkungan para murid seperti pohon ara,penabur, ragi, garam, gembala dsb. Dari situ
pengajaran Yesus menarik banyak orang dan lebih mudah mengerti isi pengajarannya.

d. Memiliki Integritas dan penuh kuasa

5
“Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-
dombanya;sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-
domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari,
sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu.Ia lari karena ia
seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. Akulah gembala yang baik dan
Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku”(Yoh 10 :11-14).
Berintegritas berarti bertindak sesuai dengan apa yang diajarkan. Konsisten antara
kata dan tindakan. Yesus sebagai guru selalu konsisten antara sabda dan tindakan-Nya. Maka
Yesus layak disebut Guru Sejati. Selain itu integritas nampak dalam tanggung jawab. Perikop
di atas menunjukkan bahwa Yesus sebagai guru bertanggung jawab atas murid-murid-Nya.
Yesus sebagai guru bersedia kehilangan hidup-Nya demi kesejahteraan murid-murid-Nya.
Biasanya para rabi Yahudi mengajar dengan motivasi mencari kehormatan sehingga
cenderung bersikap angkuh. Sedangkan Yesus mau merendahkan diri menjadi sosok guru
yang melayani, “ngemong” (membimbing) dan dan merawat.

e. Berpegang erat pada Roh Kudus

Yesus tidak pernah belajar pada rabi lain seperti lazimnya rabi-rabi zaman itu (Yoh
:7-15). Keterikatan erat Yesus pada Roh Kudus nampak dalam beberapa injil sinoptik yaitu
Matius dan Lukas. Matius menyetakan bahwa Yesus dikandung oleh Roh Kudus (Mat1:18),
dibabtis Roh Kudus (Luk 3:21-22), Roh Kudus membawa-Nya di padang gurun untuk
dicobai (Mat 4:1-11).

Refleksi

Berdasarkan spritualitas Yesus Sang Guru, penulis mendapat gambaran bagaimana


menjadi imam kelak. Imam adalah “persona Christi”, ia ambil bagian dalam tugas Kristus
yang salah satunya adalah mengajar iman (katekese). Maka seorang imam diosesan adalah
guru iman khususnya bagi domba-domba di wilayah reksa pastoralnya. Imam yang memiliki
spiritualitas Yesus Sang Guru aktif mencari murid-murid. Ia tidak hanya bertopang dagu saja
dan membiarkan para katekis saja yang bekerja. Ia akan aktif mncari domba yang tidak
mendapat katekese. Ia akan mendata terutama di sekolah-sekolah negeri ataupun sekolah non
katolik yang tidak ada guru agamanya. Dari situ ia dapat mengambil langkah konkrit dengan
menawarkan diri menjadi pengajar lepas. Ia akan aktif bekerjasama dengan kementrian
agama dan kementrian pendidikan berkaitan dengan situasi pendidikan agama katolik di
sekolah-sekolah dalam wilayah reksa pastoralnya.

6
Seorang imam sebagai guru harus mengerti kebutuhan para muridnya terutama para
murid yang berasal dari ekonomi tidak mampu. Di sini dibutuhkan keutamaan mau
mendengarkan dengan hati sehingga imam sungguh mampu mengerti kebutuhan siswa. Dari
situ ia terdorong untuk mengupayakan langkah nyata demi mengatasi persoalan siswa seperti
mengupayakan adanya dana pendidikan bagi siswa yang kurang mampu semisal
menggunakan metode subsidi silang. Ia harus mendahulukan cinta kasih pastoral dalam
menghadapi siswa. Contoh : ada siswa yang tidak dapat mengikuti ujian karena tidak bisa
membayar. Seorang tidak bisa semena-mena menerapkan aturan. Ia harus bisa melihat kasus
per kasus dengan penuh kasih sehingga dapat memberi keputusan yang bijak.

Menjadi guru iman berarti mampu mewartakan kebenaran iman dengan bahasa yang
mudah dipahami oleh siswa. Seorang imam harus memiliki jiwa kreatif dan inovatif untuk
menemukan dan membuat sarana prasarana yang memudahkan pengajaran. Seorang imam
juga mesti belajar disiplin ilmu lain selain filsafat dan teologi seperti psikologi anak. Dari situ
imam mampu memilih bahasa yang tepat dan efektif sesuai usia murid. Seorang imam juga
mampu menciptakan suasana katekese yang menyenangkan sehingga kabar gembira yang
disampaikan dapat diterima dengan gembira pula.

Seorang imam tidak hanya menjadi guru iman di suatu tempat saja ia menjadi guru
sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari yang konkrit. Seperti Yesus Sang Guru, hidupnya
sendiri adalah suatu katekese. Seorang imam harus memberikan kesaksian lahiriah yang baik
dan pantas secara moral sehingga tidak menjadi batu sandungan bagi umat Allah dalam
proses internalisasi nilai injil. Kesaksian hidup sehari-hari dengan menampakkan hidup yang
sederhana, saleh dan penuh kasih memudahkan umat untuk melihat Yesus sendiri sebagai
kebenaran iman. Kesesuaian antara apa yang dikotbahkan dengan tindakan imam sehari-hari
membuat pengajaran imam menjadi penuh kuasa dan wibawa. Pada akhirnya Integritas
seorang imam dapat dirasakan oleh umat beriman.

Sumber pengetahuan Kristus berasal dari kesatuan-Nya dengan Roh Kudus. Seorang
imam sebagai guru iman mesti memiliki keterbukaan dengan Roh Kudus dan bersatu dengan-
Nya. Keterbukaan pada Roh Kudus berarti membiarkan Roh Kudus bekerja dalam dirinya,
menyinarinya dengan kebijaksanaan sehingga warta iman yang disampaikan sesuai dengan
Kebenaran Allah bukan sekedar penafsiran atau spekulasi pribadi. Keterbukaan pada Roh
Kudus nampak dalam semangat doa dan semangat belajar memperdalam pengetahuan iman.
Maka imam selalu berada dalam “on going formation”, ia tidak boleh jemu-jemu untuk

7
membentuk diri bersama Roh Kudus sendiri. Di sini diandaikan imam memiliki kerendahan
hati untuk selalu dibentuk. Punya sikap tidak cepat puas diri dan tidak sombong atas
pengetahuan yang telah dimiliki.

Anda mungkin juga menyukai