TINJAUAN PUSTAKA
Pada penelitian yang dilakukan oleh Maulina, W (2016) mengatakan bahwa morfologi
permukaan membran komposit nilon-arang yang dihasilkan memiliki ukuran pori 4,75 𝜇𝑚.
Nugroho, I, A, dkk (2015) mengatakan bahwa terdapat pengaruh penambahan volume HCl
pada saat melakukan sintesis membran nilon berpengaruh terhadap sifat fisis dan struktur
moroflogi pada membran nilon yang dihasilkan. Membran nilon yang dihasilkan termasuk
klasifikasi membran mikrofiltrasi karena memiiki ukuran pori 1,29 𝜇𝑚 – 2,23 𝜇𝑚. Fanani, A,
dkk, (2014) mengatakan bahwa pengaruh penambahan massa nilon terhadap kuat tekan
membran yaitu semakin besar penambahan massa nilon (semakin bertambah konsentrasi),
maka nilai kuat tekan yang dihasilkan semakin besar. Begitu pula hasil yang didapatkan dari
nilai kuat tarik. Dari penelitian ini diperoleh pada variabel massa nilon 30 gram dengan
konsentrasi 60% (b/v) yaitu 3,83 Kg/cm2 dan nilai kuat tarik pada variabel massa nilon yang
sama yaitu 9,22 Kg/cm2 serta berdasarkan analisa SEM, membran nilon yang dihasilkan
termasuk dalam golongan membran mikrofiltrasi. Apipah, E,R, dkk (2014) mengatakan
bahwa nilai kuat tekan dan kuat tarik yang paling tinggi terdapat pada sampel dengan variasi
bobot 3,5 dan 6 g. Pada membram nilon menunjukkan bahwa terdapat gugus PO4 yang
terkandung sehingga pada benang nilon tidak murni poliamida.
2.2. Nilon
Nilon adalah senyawa yang termasuk dalam golongan polimer yang memiliki susunan
gugus amida pada setiap unit pengulangannya, sehingga nilon disebut sebagai senyawa
poliamida (Fanani, 2014). Nilon ini memiliki sifat kuat, semikristalin, dan tahan terhadap
suhu tinggi. Karena sifatnya tersebut, nilon dipilih untuk dipakai sebagai serat atau bahan
termoplastik pada mesin, yang memiliki kemampuan setara atau lebih baik daripada logam
(Suhendi, 2007). Nilon merupakan serat yang kuat, memiliki kekuatan tarik yang tinggi, serta
elastis. Nilon juga tahan terhadap abrasi dan bahan kimia seperti asam dan basa. Beberapa
sifat fisik dan kimia Nilon-6 antara lain memiliki suhu transisi gelas 47°C, bobot molekul per
unit ulang 113.16 g/mol, densitas amorf pada 25°C sebesar 1084 g/cm3, dan densitas kristalin
pada 25°C sebesar 1.23 g/cm3. Sifat fisik lainnya dari nilon-6 ditunjukkan pada tabel 2.6.
5
Tabel 2.1. Sifat Fisik Nilon-6
Sifat Keterangan
Titik leleh (°C) 215
Densitas (g/cm3) 1,14
Kekuatan tarik (g/d) 4,1-5,8
Tensile elongation (%) 26-40
Modulus young (kg/mm2) 80-250
Moisture regain (%) 4-4,5
Temperatur maksimal (°C) 110
(sumber : Cheremisinoff, 1998)
Nilon-6 merupakan salah satu jenis senyawa polimer jenis poliamida yang paling
banyak dimanfaatkan. Nilon-6 pada setiap unit ulangnya tersusun atas 6 atom karbon seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.1. Nilon-6 berasal dari sintesis senyawa kaprolaktam dengan
katallis nitogen pada suhu 533 K selama 4-5 jam. Kondisi tersebut menyebabkan cincin
kaprolaktam akan terputus dan terjadi polimerisasi. Lelehan senyawa tersebut dialirkan
melewati spineret dan akan membentuk serat nilon.
Nilon dibedakan menjadi nilon linear dan nilon aromatik. Nilon linier adalah nilon yang
unit pengulangannya terdiri dari rantai lurus seperti nilon-6, sedangkan nilon aromatik adalah
nilon yang pada unit pengulangannya mempunyai gugus aromatik, contohnya nilon-6.
Teknologi membran banyak berperan juga dalam industri kimia, yaitu pada proses
pemisahan campuran gas, karena beberapa keunggulan yang ditawarkan, antara lain:
6
penggunaan alat yang lebih ringan, intensitas pekerja yang rendah, desain modular sehingga
memudahkan ekspansi dan operasi dalam kapasitas parsial, maintenance yang rendah,
konsumsi energi yang rendah, dan biaya yang rendah. Membran yang terbuat dari polimer
dan kopolimer dalam bentuk flat film atau hollow fiber banyak digunakan untuk pemisahan
gas. Proses permeasi gas adalah proses yang relatif sederhana dan telah digunakan secara
komersial mulai tahun 1979. Sejak saat itu, setidaknya 20 perusahaan telah masuk ke pasar
pemrosesan gas dengan teknologi membran.
Aplikasi membran dalam pemisahan gas antara lain pada gas murni atau yang telah
diperkaya seperti H2, N2, dan O2 dari udara, pemisahan gas asam seperti CO2 dan H2S,
pemulihan H2 dan berbagai aplikasi lainnya (Scott 1999 dalam Wenten 2016). Hidrogen
adalah pilihan atraktif sebagai bahan bakar alternatif namun sebagian besar hadir di alam
sebagai senyawa sehingga harus diisolasi atau dibangkitkan sebelum digunakan. Proses ini
mengkonsumsi banyak energi sehingga produksi hidrogen sendiri merupakan tantangan besar
untuk keekonomian hidrogen. Saat ini, hidrogen diproduksi di industri dengan reformasi
kukus metana (SMR). Hidrogen biasanya diperoleh dari aliran gas di kilang minyak (dari
hydrocracker), pabrik petrokimia (pengaturan rasio syngas, dehidrogenasi), dan dari aliran
lain dimana hidrogen hadir, seperti di pabrik ammonia. Selain H2 dan CO, syngas juga
mengandung pengotor seperti N2, CO2, CH4, dan air.
Variasi rasio stoikiometri dari H2/CO dapat terjadi untuk jalur sintesis berbeda, dan
pengaturan rasio syngas harus dilakukan dengan proses pemisahan yang energi intensif
seperti pressure swing adsorption (PSA) dan sistem kriogenik, yang saat ini banyak
digunakan pada aplikasi perolehan hidrogen dalam kondisi operasi yang beragam. Namun
teknologi ini belum dapat memproduksi hidrogen yang memiliki kemurnian yang tinggi
untuk digunakan sebagai aplikasi lainnya seperti fuel cell.
Oleh karena itu, proses berbasis membran disadari menjadi teknologi yang paling
menjanjikan untuk memproduksi hidrogen berkadar tinggi (Zornoza dkk. 2013). Salah satu
plant membran untuk pemisahan gas terbesar adalah plant untuk pemisahan gas CO2 dari gas
alam yang berada di Pakistan dengan kapasitas 265 MMSCFD pada tahun 1995 dan
meningkat menjadi 600 MMSCFD pada tahun 2008 (Bernardo dan Clarizia 2013).
2.4. Pencirian Membran
Keseragaman struktur dan ukuran pori membran berbeda-beda. Begitu pun sifat fisik
dan kimia membran berbeda tergantung jenis polimer pembentuknya. Beberapa ciri tersebut
merupakan salah faktor penting yang mempengaruhi kinerja membran. Kinerja membran
yang baik pada umumnya ditentukan oleh besarnya permeabilitas dan selektivitas membran
7
terhadap materi yang dipisahkan. Nilai fluks dan rejeksi membran dapat digunakan untuk
mengukur besaran permeabilitas dan selektifitas membran. Fluks didefinisikan sebagai aliran
fluida yang melewati membran dan nilainya dipengaruhi oleh tekanan transmembran,
kecepatan cross-flow dan konsentrasi larutan. Sedangkan rejeksi adalah kemampuan
membran untuk menahan atau melewatkan materi tertentu (Mulder 1996 dalam Wenten
2016). Kisaran nilai fluks dari berbagai jenis membran disajikan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Kisaran Tekanan dan Ukuran Pori berbagai jenis membran
Jenis Membran Kisaran Tekanan (bar) Ukuran Pori (𝜇𝑚)
Mikrofitrasi 0.1-2.0 0,1-10
Ultrafiltrasi 1.0-5.0 0,01 – 0,1
Nanofiltrasi 5.0-20 <0.001
Osmosis Balik 10-100 0,0001 – 0,01
Sumber: (Mulder 1996 dalam Wenten 2016)
8
a. Pengendapan dengan Penguapan Pelarut
Polimer dilarutkan dalam pelarut dan kemudian larutan polimer dicetak membentuk
film di atas plat kaca. Setelah itu larutan dibiarkan agar pelarutnya menguap ke atmosfer.
Larutan polimer akan semakin pekat selama penguapan dan akhirnya memadat menjadi
membran. Membran yang dihasilkan melalui teknik ini adalah membran homogen yang padat
dan rapat.
b. Pengendapan dalam Fasa Uap
Film cair yang telah dicetak dari larutan cetak yang mengandung polimer dan pelarut
diletakkan di dalam atmosfer uap non-pelarut yang dijenuhi pelarut. Konsentrasi pelarut yang
tinggi dalam fasa uap akan menghalangi 4B15-4 penguapan pelarut dari film larutan cetak
dan konsentrasi larutan polimer pada permukaan polimer bertambah kecil. Membran
terbentuk karena difusi non-pelarut ke dalam larutan cetak. Jika konsentrasi pelarut sangat
tinggi dalam fasa uap maka membran yang terbentuk adalah membran berpori dengan
permukaan
terbuka (tanpa kulit membran).
c. Pengendapan dengan Penguapan Terkontrol
Teknik ini menggunakan campuran pelarut dan non-pelarut sebagai pelarut untuk
polimernya. Karena pelarut lebih mudah dari pada non-pelarut maka kecepatan penguapan
dapat dikontrol dengan mengatur komposisi campuran pelarut dan non-pelarut. Setelah
pelarut menguap semua maka akan menghasilkan fasa polimer padat (membran).
d. Pengendapan melalui Pencelupan
Teknik pengendapan melalui pencelupan (celup-endap) merupakan teknik yang sering
digunakan untuk membuat membran berstruktur asimetrik. Pada teknik ini, larutan cetak
(dope) dicetak di atas plat kaca, setelah itu dicelupkan ke dalam bak koagulan. Pengendapan
terjadi karena difusi koagulan (air) ke dalam larutan cetak dan difusi pelarut dari larutan cetak
(Mulder 1996 dalam Wenten 2016).
Menurut Strathmann et al. (1985), Pada sublayer ultrafilltrasi sering ditemukan ruang
kosong yang besar yang dikenal dengan macrovoid. Pembentukan macrovoid dapat dicegah
dengan beberapa cara yaitu :
1. Pemilihan kombinasi antara pelarut dan non-pelarut yang tidak dapat bercampur.
2. Peningkatan konsentrasi polimer dalam larutan casting.
9
3. Penambahan pelarut ke dalam bak koagulasi.
10
2.7. Parameter Dalam Pembuatan Membran
11
ini pelarut berfungsi sebagai pembentuk pori. Saat pori terbentuk, pelarut berada dalam pori-
pori tersebut kemudian disesak oleh nonpelarut dalam bak koagulasi hingga terjadi
solidifikasi. Sebelum solidifikasi, penguapan pelarut menyebabkan pori yang sudah terbentuk
menyatu kembali. Semakin lama waktu penguapan, semakin sedikit dan semakin kecil
diameter pori yang terbentuk (Kesting, 1971).
f. Penambahan aditif
Aditif memiliki fungsi yang spesifik. Fungsi tersebut meliputi perlindungan terhadap
pengaruh lingkungan seperti penolak nyala, penyerap radiasi ultrafiolet, antioksidan, antiozon
(stabilitas termal dan kimia), mempemudah pemrosesan, memperbaiki kekuatan mekaniknya
(Smallman dan Bhisop, 2000). Efek aditif pada larutan casting tergantung pada sejauh mana
pengaruh aditif pada tingkat pengendapan dalam hal ini aditif yang dimaksud ialah MSG.
Aditif dalam larutan casting meningkatkan tingkat pengendapan, tetapi jika aditif, misalnya
untuk benzene ada dalam larutan casting akan cenderung untuk mengurangi tingkat
pengendapan. Oleh karena itu mendukung struktur spons (Idris et al.,2008).
12