Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terkait

Pada penelitian yang dilakukan oleh Maulina, W (2016) mengatakan bahwa morfologi
permukaan membran komposit nilon-arang yang dihasilkan memiliki ukuran pori 4,75 𝜇𝑚.
Nugroho, I, A, dkk (2015) mengatakan bahwa terdapat pengaruh penambahan volume HCl
pada saat melakukan sintesis membran nilon berpengaruh terhadap sifat fisis dan struktur
moroflogi pada membran nilon yang dihasilkan. Membran nilon yang dihasilkan termasuk
klasifikasi membran mikrofiltrasi karena memiiki ukuran pori 1,29 𝜇𝑚 – 2,23 𝜇𝑚. Fanani, A,
dkk, (2014) mengatakan bahwa pengaruh penambahan massa nilon terhadap kuat tekan
membran yaitu semakin besar penambahan massa nilon (semakin bertambah konsentrasi),
maka nilai kuat tekan yang dihasilkan semakin besar. Begitu pula hasil yang didapatkan dari
nilai kuat tarik. Dari penelitian ini diperoleh pada variabel massa nilon 30 gram dengan
konsentrasi 60% (b/v) yaitu 3,83 Kg/cm2 dan nilai kuat tarik pada variabel massa nilon yang
sama yaitu 9,22 Kg/cm2 serta berdasarkan analisa SEM, membran nilon yang dihasilkan
termasuk dalam golongan membran mikrofiltrasi. Apipah, E,R, dkk (2014) mengatakan
bahwa nilai kuat tekan dan kuat tarik yang paling tinggi terdapat pada sampel dengan variasi
bobot 3,5 dan 6 g. Pada membram nilon menunjukkan bahwa terdapat gugus PO4 yang
terkandung sehingga pada benang nilon tidak murni poliamida.

2.2. Nilon
Nilon adalah senyawa yang termasuk dalam golongan polimer yang memiliki susunan
gugus amida pada setiap unit pengulangannya, sehingga nilon disebut sebagai senyawa
poliamida (Fanani, 2014). Nilon ini memiliki sifat kuat, semikristalin, dan tahan terhadap
suhu tinggi. Karena sifatnya tersebut, nilon dipilih untuk dipakai sebagai serat atau bahan
termoplastik pada mesin, yang memiliki kemampuan setara atau lebih baik daripada logam
(Suhendi, 2007). Nilon merupakan serat yang kuat, memiliki kekuatan tarik yang tinggi, serta
elastis. Nilon juga tahan terhadap abrasi dan bahan kimia seperti asam dan basa. Beberapa
sifat fisik dan kimia Nilon-6 antara lain memiliki suhu transisi gelas 47°C, bobot molekul per
unit ulang 113.16 g/mol, densitas amorf pada 25°C sebesar 1084 g/cm3, dan densitas kristalin
pada 25°C sebesar 1.23 g/cm3. Sifat fisik lainnya dari nilon-6 ditunjukkan pada tabel 2.6.

5
Tabel 2.1. Sifat Fisik Nilon-6
Sifat Keterangan
Titik leleh (°C) 215
Densitas (g/cm3) 1,14
Kekuatan tarik (g/d) 4,1-5,8
Tensile elongation (%) 26-40
Modulus young (kg/mm2) 80-250
Moisture regain (%) 4-4,5
Temperatur maksimal (°C) 110
(sumber : Cheremisinoff, 1998)

Nilon-6 merupakan salah satu jenis senyawa polimer jenis poliamida yang paling
banyak dimanfaatkan. Nilon-6 pada setiap unit ulangnya tersusun atas 6 atom karbon seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.1. Nilon-6 berasal dari sintesis senyawa kaprolaktam dengan
katallis nitogen pada suhu 533 K selama 4-5 jam. Kondisi tersebut menyebabkan cincin
kaprolaktam akan terputus dan terjadi polimerisasi. Lelehan senyawa tersebut dialirkan
melewati spineret dan akan membentuk serat nilon.
Nilon dibedakan menjadi nilon linear dan nilon aromatik. Nilon linier adalah nilon yang
unit pengulangannya terdiri dari rantai lurus seperti nilon-6, sedangkan nilon aromatik adalah
nilon yang pada unit pengulangannya mempunyai gugus aromatik, contohnya nilon-6.

Gambar 2.1. Rumus Struktur Nilon-6.


(sumber : Suhendi, 2007)
Nilon juga dapat digolongkan berdasarkan jumlah atom karbon dalam unit pengulangannya
sehingga menyebabkan adanya sedikit perbedaan sifat fisik dan kimia pada nilon seperti
nilon-6: nilon-6,6; nilon-6,9; nilon-6,10; nilon-6,12; nilon-11; dan nilon-12 (Grupta 1989
dalam Suhendi 2007).

2.3. Teknologi Membran

Teknologi membran banyak berperan juga dalam industri kimia, yaitu pada proses
pemisahan campuran gas, karena beberapa keunggulan yang ditawarkan, antara lain:

6
penggunaan alat yang lebih ringan, intensitas pekerja yang rendah, desain modular sehingga
memudahkan ekspansi dan operasi dalam kapasitas parsial, maintenance yang rendah,
konsumsi energi yang rendah, dan biaya yang rendah. Membran yang terbuat dari polimer
dan kopolimer dalam bentuk flat film atau hollow fiber banyak digunakan untuk pemisahan
gas. Proses permeasi gas adalah proses yang relatif sederhana dan telah digunakan secara
komersial mulai tahun 1979. Sejak saat itu, setidaknya 20 perusahaan telah masuk ke pasar
pemrosesan gas dengan teknologi membran.
Aplikasi membran dalam pemisahan gas antara lain pada gas murni atau yang telah
diperkaya seperti H2, N2, dan O2 dari udara, pemisahan gas asam seperti CO2 dan H2S,
pemulihan H2 dan berbagai aplikasi lainnya (Scott 1999 dalam Wenten 2016). Hidrogen
adalah pilihan atraktif sebagai bahan bakar alternatif namun sebagian besar hadir di alam
sebagai senyawa sehingga harus diisolasi atau dibangkitkan sebelum digunakan. Proses ini
mengkonsumsi banyak energi sehingga produksi hidrogen sendiri merupakan tantangan besar
untuk keekonomian hidrogen. Saat ini, hidrogen diproduksi di industri dengan reformasi
kukus metana (SMR). Hidrogen biasanya diperoleh dari aliran gas di kilang minyak (dari
hydrocracker), pabrik petrokimia (pengaturan rasio syngas, dehidrogenasi), dan dari aliran
lain dimana hidrogen hadir, seperti di pabrik ammonia. Selain H2 dan CO, syngas juga
mengandung pengotor seperti N2, CO2, CH4, dan air.
Variasi rasio stoikiometri dari H2/CO dapat terjadi untuk jalur sintesis berbeda, dan
pengaturan rasio syngas harus dilakukan dengan proses pemisahan yang energi intensif
seperti pressure swing adsorption (PSA) dan sistem kriogenik, yang saat ini banyak
digunakan pada aplikasi perolehan hidrogen dalam kondisi operasi yang beragam. Namun
teknologi ini belum dapat memproduksi hidrogen yang memiliki kemurnian yang tinggi
untuk digunakan sebagai aplikasi lainnya seperti fuel cell.
Oleh karena itu, proses berbasis membran disadari menjadi teknologi yang paling
menjanjikan untuk memproduksi hidrogen berkadar tinggi (Zornoza dkk. 2013). Salah satu
plant membran untuk pemisahan gas terbesar adalah plant untuk pemisahan gas CO2 dari gas
alam yang berada di Pakistan dengan kapasitas 265 MMSCFD pada tahun 1995 dan
meningkat menjadi 600 MMSCFD pada tahun 2008 (Bernardo dan Clarizia 2013).
2.4. Pencirian Membran
Keseragaman struktur dan ukuran pori membran berbeda-beda. Begitu pun sifat fisik
dan kimia membran berbeda tergantung jenis polimer pembentuknya. Beberapa ciri tersebut
merupakan salah faktor penting yang mempengaruhi kinerja membran. Kinerja membran
yang baik pada umumnya ditentukan oleh besarnya permeabilitas dan selektivitas membran

7
terhadap materi yang dipisahkan. Nilai fluks dan rejeksi membran dapat digunakan untuk
mengukur besaran permeabilitas dan selektifitas membran. Fluks didefinisikan sebagai aliran
fluida yang melewati membran dan nilainya dipengaruhi oleh tekanan transmembran,
kecepatan cross-flow dan konsentrasi larutan. Sedangkan rejeksi adalah kemampuan
membran untuk menahan atau melewatkan materi tertentu (Mulder 1996 dalam Wenten
2016). Kisaran nilai fluks dari berbagai jenis membran disajikan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Kisaran Tekanan dan Ukuran Pori berbagai jenis membran
Jenis Membran Kisaran Tekanan (bar) Ukuran Pori (𝜇𝑚)
Mikrofitrasi 0.1-2.0 0,1-10
Ultrafiltrasi 1.0-5.0 0,01 – 0,1
Nanofiltrasi 5.0-20 <0.001
Osmosis Balik 10-100 0,0001 – 0,01
Sumber: (Mulder 1996 dalam Wenten 2016)

2.5. Teknik Pembuatan Membran


Inversi fasa merupakan metode yang paling sering digunakan untuk membuat
membran. Inversi fasa adalah proses tranformasi polimer dari fasa cair ke fasa padat. Proses
pemadatan (solidifikasi) ini diawali dengan perubahan satu fasa cair menjadi dua fasa cair
yang saling campur. Peristiwa ini disebut pemisahan cair-cair (liquid-liquid demixing). Salah
satu fasa cair tersebut adalah fasa yang kaya polimer. Fasa ini akan memadat selama proses
inversi fasa sehingga membentuk matriks padat (membran).
Teknik inversi fasa pertama kali diperkenalkan oleh Sidney Loeb dan Srinivasa
Sourirajan. Teknik ini kemudian disebut teknik Loeb-Sourirajan. Teknik ini menghasilkan
membran asimetrik dengan ukuran pori yang bervariasi. Pembentukan membran pada teknik
ini melalui beberapa tahap. Pertama, pembuatan larutan cetak hingga homogen, penguapan
pelarut secara parsial pada lapisan atas dan terakhir pengandapan polimer dalam bak
koagulan yang berisi non-pelarut.
Polimer yang digunakan harus memiliki kelarutan yang rendah dalam non-pelarut.
Kelarutan polimer dalam non-pelarut berpengaruh terhadap pori yang terbentuk. Semakin
tinggi kelarutan polimer dalam non-pelarut, semakin besar polimer yang terbentuk. Pori yang
terbentuk juga dipengaruhi oleh konsentrasi polimer dalam larutan cetak. Semakin tinggi
konsentrasi polimer, pori yang terbentuk semakin rapat. Metode inversi fasa ini dapat
dilakukan melalui beberapa teknik, diantaranya:

8
a. Pengendapan dengan Penguapan Pelarut
Polimer dilarutkan dalam pelarut dan kemudian larutan polimer dicetak membentuk
film di atas plat kaca. Setelah itu larutan dibiarkan agar pelarutnya menguap ke atmosfer.
Larutan polimer akan semakin pekat selama penguapan dan akhirnya memadat menjadi
membran. Membran yang dihasilkan melalui teknik ini adalah membran homogen yang padat
dan rapat.
b. Pengendapan dalam Fasa Uap
Film cair yang telah dicetak dari larutan cetak yang mengandung polimer dan pelarut
diletakkan di dalam atmosfer uap non-pelarut yang dijenuhi pelarut. Konsentrasi pelarut yang
tinggi dalam fasa uap akan menghalangi 4B15-4 penguapan pelarut dari film larutan cetak
dan konsentrasi larutan polimer pada permukaan polimer bertambah kecil. Membran
terbentuk karena difusi non-pelarut ke dalam larutan cetak. Jika konsentrasi pelarut sangat
tinggi dalam fasa uap maka membran yang terbentuk adalah membran berpori dengan
permukaan
terbuka (tanpa kulit membran).
c. Pengendapan dengan Penguapan Terkontrol
Teknik ini menggunakan campuran pelarut dan non-pelarut sebagai pelarut untuk
polimernya. Karena pelarut lebih mudah dari pada non-pelarut maka kecepatan penguapan
dapat dikontrol dengan mengatur komposisi campuran pelarut dan non-pelarut. Setelah
pelarut menguap semua maka akan menghasilkan fasa polimer padat (membran).
d. Pengendapan melalui Pencelupan
Teknik pengendapan melalui pencelupan (celup-endap) merupakan teknik yang sering
digunakan untuk membuat membran berstruktur asimetrik. Pada teknik ini, larutan cetak
(dope) dicetak di atas plat kaca, setelah itu dicelupkan ke dalam bak koagulan. Pengendapan
terjadi karena difusi koagulan (air) ke dalam larutan cetak dan difusi pelarut dari larutan cetak
(Mulder 1996 dalam Wenten 2016).

2.6. Pembentukan Macrovoid

Menurut Strathmann et al. (1985), Pada sublayer ultrafilltrasi sering ditemukan ruang
kosong yang besar yang dikenal dengan macrovoid. Pembentukan macrovoid dapat dicegah
dengan beberapa cara yaitu :

1. Pemilihan kombinasi antara pelarut dan non-pelarut yang tidak dapat bercampur.
2. Peningkatan konsentrasi polimer dalam larutan casting.

9
3. Penambahan pelarut ke dalam bak koagulasi.

Terdapat berbagai teori yang menggambarkan pembentukan macrovoid. Pembentukan


macrovoid dipicu oleh beberapa faktor diantaranya adalah :

1. Pembentukan sel konvektif yang mendekati lapisan membran.


2. Rusaknya lapisan atas membran karena tekanan mekanis.
3. Kehadiran weak point di lapisan atas membran.
4. Nukleasi droplet pada fase miskin polimer.

Mekanisme ke-4 merupakan mekanisme pembentukan macrovoid yang tidak selalu


terbentuk dilapisan atas membran. Pada mekanisme ini, pembentukan nucleus dari polymer
lean phase terjadi dibawah lapisan bawah membran selama proses demixing pelarut dan non-
pelarut. Berdasarkan atas mekanisme Reuvers dan Smoolder dalam Strathmann et al. (1985),
pembentukan macrovoid terkait erat dengan pertumbuhan nucleus. Pada nucleus fase miskin
polimer, akan terjadi pencampuran antara pelarut dan non-pelarut. Hal ini menyebabkan
peningkatan konsentrasi pelarut dalam nucleus pada fase miskin polimer. Peningkatan
konsentrasi pelarut dapat menyebabkan terjadinya delayed demixing dalam skala kecil. Hal
ini menimbulkan kestabilan larutan polimer disekitar nucleus, sehingga dalam fase miskin
polimer tidak terbentuk nucleus yang baru. Akibatnya, terjadi pengembangan nucleus lama
menjadi macrovoid. Apabila daya affinitas antara pelarut dan non-pelarut tinggi. Pelarut yang
terdapat di dalam membran akan mengalir cepat menuju nucleus di polymer lean Phase.

Peningkatan konsentrasi pelarut dalam nucleus akan memicu pembentukan


macrovoid. Sebaliknya, kombinasi pelarut dan nonpelarut berdaya affinitas yang rendah,
aliran pelarut menuju nucleus dalam polymer lean Phase akan lambat. Terjadinya propagasi
difusi non-pelarut akan menyebabkan terbentuknya nucleus baru dibagian dalam membran.
Pembentukan nucleus baru akan menghalangi pertumbuhan nucleus lama sehingga
macrovoid tidak terbentuk (Strathmann et al., 1985). Peningkatan konsentrasi polimer akan
menurunkan difusi non-pelarut ke membran sehingga akan menekan pertumbuhan macrovoid
selama proses delayed demixing lokal terjadi. Menurut Boom dalam Strathmann et al. (1985),
Penambahan pelarut ke dalam bak koagulasi akan menekan pembentukan macrovoid, apabila
terjadi proses delayed demixing berskala local. Penambahan polimer lain ke dalam larutan
juga dapat mencegah pembentukan macrovoid.

10
2.7. Parameter Dalam Pembuatan Membran

a. Jenis Sistem Pelarut nonpelarut


Pemilihan sistem pelarut–nonpelarut sangat mempengaruhi struktur membran yang
dihasilkan. Nonpelarut yang digunakan sebagai koagulan harus dapat larut dalam pelarut.
Air adalah nonpelarut yang umum digunakan dalam proses inversi fasa. Air adalah
nonpelarut yang umum digunakan dalm proses infersi fasa. Proses pencampuran dapat
berlangsung secara sempurna jika komposisi semua bahan penyusun membran mempunyai
daya larut yang sama. Di samping itu komposisi total sangat menentukan homogenitas dan
kinerja membran. Kelarutan polimer berkurang dengan bertambahnya massa molekul. Jika
suatu polimer dapat larut dalam pelarut yang cocok kemudian ditambahkan bukan pelarut
(jika larutan polimer dituangkan ke dalam bukan pelarut yang jumlahnya berlebihan) maka
polimer akan mengendap.
b. Pemilihan polimer (jenis polimer)
Merupakan salah satu faktor penting karena akan membatasi jenis pelarut dan
nonpelarut yang digunakan. Pemilihan material membran menjadi penting dengan
memperhatikan faktor fouling (efek adsorpsi, karakteristik hidrofilik/ hidrofobik), kestabilan
termal dan kimia.
c. Komposisi pelarut
Komposisi pelarut merupakan parameter lain yang sangat mempengaruhi jenis
struktur membran yang terbentuk. Pembuatan membran selulosa asetat dapat menggunakan
dua macam pelarut. Sistem selulosa asetat/aseton/air menghasilkan tipe membran yang
mempunyai tipe membran yang rapat (Wenten, 2000).
d. Komposisi larutan polimer
Komposisi larutan polimer harus tetap berada pada satu fasa sehingga tidak terjadi
demixing, sehingga penambahan bahan lain dalam larutan polimer akan mempengaruhi
struktur membran. Penambahan air sebagai non pelarut ke dalam larutan polimer
menyebabkan terjadinya peristiwa instantaneous demixing. Apabila larutan polimer tidak
mengandung air pembentukan membran terjadi melalui mekanisme pemisahan tertunda
(delayed demixing) sehingga diperoleh membran non porous (Mulder, 1996).
e. Waktu penguapan larutan dope
Waktu penguapan ini berkaitan dengan berapa kuantitas pelarut yang meninggalkan
film polimer ketika proses pembentukan pori-pori membran sedang berlangsung. Dalam hal

11
ini pelarut berfungsi sebagai pembentuk pori. Saat pori terbentuk, pelarut berada dalam pori-
pori tersebut kemudian disesak oleh nonpelarut dalam bak koagulasi hingga terjadi
solidifikasi. Sebelum solidifikasi, penguapan pelarut menyebabkan pori yang sudah terbentuk
menyatu kembali. Semakin lama waktu penguapan, semakin sedikit dan semakin kecil
diameter pori yang terbentuk (Kesting, 1971).
f. Penambahan aditif
Aditif memiliki fungsi yang spesifik. Fungsi tersebut meliputi perlindungan terhadap
pengaruh lingkungan seperti penolak nyala, penyerap radiasi ultrafiolet, antioksidan, antiozon
(stabilitas termal dan kimia), mempemudah pemrosesan, memperbaiki kekuatan mekaniknya
(Smallman dan Bhisop, 2000). Efek aditif pada larutan casting tergantung pada sejauh mana
pengaruh aditif pada tingkat pengendapan dalam hal ini aditif yang dimaksud ialah MSG.
Aditif dalam larutan casting meningkatkan tingkat pengendapan, tetapi jika aditif, misalnya
untuk benzene ada dalam larutan casting akan cenderung untuk mengurangi tingkat
pengendapan. Oleh karena itu mendukung struktur spons (Idris et al.,2008).

2.8. Membran Komposit

2.9. Temperatur Transisi Polimer

2.10. Karakterisasi awal membran

12

Anda mungkin juga menyukai