Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah lansia secara umum adalah seseorang yang telah memasuki usia 60
tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah
memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan
lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau proses
penuaan (Azizah, 2011).
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional sebagai bagian
integral pelayanan kesehatan berbentuk pelayanan biologi, psikologi, sosial dan
spritual secara komprehensif, ditujukan kepada individu keluarga dan masyarakat
baik sehat maupun sakit mencakup siklus hidup manusia (Harnilawati, 2013).
Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesehatan yang optimal bagi setiap individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat
merupakan tujuan dari keperawatan, khususnya keperawatan komunitas
(Makhfudli, 2009).
Penyakit hipertensi adalah peningkatan abnormal tekanan darah, baik
tekanan darah sistolik maupun tekanan darah diastolik, secara umum seseorang
dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastolik lebih dari
140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg) (Herwati, 2014).
Hipertensi atau lebih dikenal dengan sebutan darah tinggi dapat
menimbulkan angka kesakitan dan kematian. Lebih kurang 90 % penderita
hipertensi tergolong hipertensi essensial atau primer yang belum diketahui
penyebabnya, sedangkan sisanya adalah hipertensi sekunder yang sudah jelas
penyebabnya (Situmorang, 2015).
Hipertensi telah mempengaruhi orang diseluruh dunia, sekitar 970 juta
orang di dunia memiliki tekanan darah tinggi (Bell, 2015). Prognosis menunjukan
bahwa sekitar pada tahun 2025 jumlah penderita hipertensi di dunia akan
meningkat hingga 29% (Salles, 2014). Di Amerika sekitar 77.9 juta orang dewasa

1
menderita hipertensi dengan perbandingan setiap tiga orang ada satu yang
menderita hipertensi (Bell, 2015). Prevalensi hipertensi di wilayah Asia terus
meningkat (Park, 2015) dan di Asia Tenggara, sekitar 35% dari populasi orang
dewasa memiliki hipertensi, yang menyumbang hampir 1,5 juta kematian per
tahunnya (WHO, 2013). Menurut data awal dari Sampel Registration Survey
tahun 2014, hipertensi adalah penyebab kematian nomor lima tertinggi di
Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan RI., 2017).
Prevalensi kejadian hipertensi di daerah D.I Yogyakarta yaitu sebesar 26%
dan menempati peringkat nomor tiga penyakit hipertensi di Indonesia (Dinas
Kesehatan Provinsi DIY., 2015) Berdasarkan Surveilans Terpadu Penyakit
Puskesmas pada tahun 2015 penyakit hipertensi menempati peringkat kedua
dalam sepuluh besar penyakit yang sering muncul di D.I Yogyakarta (Dinas
Kesehatan Provinsi DIY., 2015). Kabupaten Sleman merupakan Kabupaten yang
berada di Provinsi D.I. Yogyakarta. Kasus hipertensi menjadi kasus penyakit tidak
menular tertinggi di Kabupaten Sleman pada tahun 2017 dengan prevalensi
sebesar 12.204 per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.,
2017).
Komplikasi dari hipertensi menyebabkan sekitar 9.4% kematian di dunia,
hipertensi menyebabkan kematian karena serangan jantung sekitar 45% dan
kematian karena penyakit stroke sekitar 51%. Kematian karena penyakit
kardiovaskuler seperti penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan akan
terus meningkat hingga mencapai 23.3 juta kematian pada tahun 2030 (WHO,
2013).
Resiko lain yang dapat terjadi yang diakibatkan oleh penyakit hipertensi
adalah terjadinya kerusakan ginjal dan retinopati (Tjay, 2010). Terdapat beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi dan faktorfaktor tersebut
ada yang dapat diubah seperti konsumsi garam berlebih, konsumsi alkohol,
merokok, obesitas, dan lain sebagainya. Faktor yang tidak dapat diubah atau
dimodifikasi, seperti usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan hipertensi dan
etnis. Pada faktor usia, usia 30-50 tahun biasanya akan muncul hipertensi idiopatik
dan akan meningkat seiring dengan pertambahan usia (Kishore, 2016). Pada
faktor jenis kelamin, wanita lebih mudah untuk terserang hipertensi dibanding pria

2
(Venkataraman, 2013). Pada faktor riwayat keluarga dengan hipertensi, seseorang
dengan orang tua yang menderita hipertensi maka lebih besar resikonya untuk
terjadi hipertensi. Pada faktor genetik berperan dalam terjadinya hipertensi
(Matar, 2015). faktor genetik berkaitan dengan peningkatan jumlah sodium di
intraseluler dan penurunan rasio potassium dan sodium. Pada faktor Etnis, insiden
terjadinya hipertensi lebih besar pada etnis kulit hitam dibanding kulit putih,
penyebab pastinya masih belum jelas tapi dapat dihubungkan dengan
rendahnya tingkat renin, sensitivitas yang lebih besar terhadap vasopressin, intake
garam yang lebih tinggi dan stress lingkungan yang lebih besar (Bell, 2015).
Banyaknya prevalensi hipertensi yang terjadi pada data di atas, maka dari
itu penulis menyusun asuhan keperawatan komunitas pada dewasa yang memiliki
masalah kesehatan dengan hipertensi.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran secara umum tentang Asuhan
Keperawatan Pada pasien dengan Diagnosa Hipertensi.
2. Tujuan Khusus
a Mampu memahami tentang Penyakit Hipertensi pada lansia.
b Mampu melakukan pengkajian pada penderita Hipertensi.
c Mampu merumuskan diagnosa keperawatan untuk pasien yang
menderita Hipertensi.
d Mampu menyusun rencana keperawatan untuk pasien yang menderita
Hipertensi.

BAB II

KONSEP DASAR

3
1. Pengertian Hipertensi
Penyakit hipertensi adalah peningkatan abnormal tekanan darah, baik
tekanan darah sistolik maupun tekanan darah diastolik, secara umum seseorang
dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastolik lebih dari
140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg) (Herwati & Sartika, 2014).
Hipertensi atau lebih dikenal dengan sebutan darah tinggi dapat
menimbulkan angka kesakitan dan kematian. Lebih kurang 90 % penderita
hipertensi tergolong hipertensi essensial atau primer yang belum diketahui
penyebabnya, sedangkan sisanya adalah hipertensi sekunder yang sudah jelas
penyebabnya (Situmorang, 2015).
Penyakit hipertensi adalah peningkatan abnormal tekanan darah, baik
tekanan darah sistolik maupun tekanan darah diastolik, secara umum seseorang
dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastolik lebih dari
140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg) (Herwati, 2014).

2. Etiologi Hipertensi
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.
Hipertensi terjadi sebagai respons peningkatan curah jantung atau peningkatan
tekanan perifer. Namun, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
hipertensi menurut Aspiani (2010):
a. Genetik. Respons neurologi terhadap stress atau kelainan ekskresi atau
transport Na.
b. Obesitas. Terkait dengan tingkat insulin yang tinggi yang mengakibatkan
tekanan darah meningkat.
c. Stress karena lingkungan.
d. Hilangnya elastisitas jaringan dan arterosklerosis pada orang tua serta
pelebaran pembuluh darah.
Pada orang lanjut usia, hipertensi biasanya disebabkan karena terjadinya
penurunan elastisitas dinding aorta, katup jantung mengalami penebalan dan
menjadi kaku, menurunnya kemampuan memompa darah karena faktor usia
dan menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume, serta hilangnya

4
elastisitas pembuluh darah dan meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer.
3. Tanda dan gejala Hipertensi
Menurut Aspiani (2010) gejala umum yang ditimbulkan akibat menderita
hipertensi tidak sama pada setiap orang, bahkan terkadang timbul tanpa gejala.
Secara umum gejala yang dikeluhkan oleh penderita hipertensi sebagai berikut:
a. Sakit kepala
b. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk
c. Perasaan seperti berputar-putar dan terasa ingin jatuh
d. Berdebar atau detak jantung terasa cepat
e. Telinga berdenging.

4. Patofisiologi Hipertensi
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah
secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk
mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek
kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi
segera. Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem
yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama
ginjal.
a. Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai
dengan penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis
merupakan proses multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh
darah dan terbentuk deposit substansi lemak, kolesterol, produk sampah
seluler, kalsium dan berbagai substansi lainnya dalam lapisan pembuluh
darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan plak di bawah lapisan
tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh darah, obstruksi luminal,
kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada organ atau bagian
tubuh tertentu.
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah

5
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium.
Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.
b. Sistem renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme
(ACE). Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam
menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
1) Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus.
Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke
luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler
akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler.
Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah.
2) Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur
volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl
(garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan
volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah.
c. Sistem saraf simpatis
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada
titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang
serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

5. Pathway Hipertensi

6
6. Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi dibagi menjadi dua menurut (Ardiansyah, 2012) yaitu :
a. Hipertensi Primer
Hipertensi primer adalah hipertensi esensial atau hipertensi yang 90%
tidak diketahui penyebabnya. Beberapa faktor yang diduga berkaitan
dengan hipertensi esensial diantaranya:
1) Genetik. Individu yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi,
berisiko lebih tinggi untuk mendapatkan penyakit ini daripada mereka
yang tidak.

7
2) Jenis kelamin dan usia. Laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita
pascamenopause berisiko tinggi mengalami hipertensi.
3) Diet. Konsumsi diet tinggi garam atau kandungan lemak secara
langsung dapat berkaitan dengan penyakit hipertensi.
4) Obesitas (>25% dari berat badan ideal).
5) Gaya hidup. Misalnya merokok dan konsumsi alkohol.
b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang penyebabnya
diketahui. Beberapa gejala atau penyakit yang menyebabkan hipertensi
diantaranya:
1) Coarctation aorta, yaitu penyempitan aorta congenital yang (mungkin)
terjadi pada beberapa tingkat aorta torasik atau aorta abdominal.
Penyempitan ini menghambat aliran darah melalui lengkung aorta dan
mengakibatkan peningkatan tekanan darah di atas area konstriksi.
2) Penyakit parenkim dan vasikular ginjal. Penyakit ini merupakan
penyebab utama hipertensi sekunder. Hipertensi renovasikular
berhubungan dengan penyempitan arteri besar, yang secara langsung
membawa darah ke ginjal.
3) Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen). Oral kontrasepsi yang
berisi estrogen dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme
renin-aldosteron-mediate volume expansion.
4) Gangguan endokrin. Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal
dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenal-mediate
hypertension disebabkan kelebihan primer aldosteron, kortisol, dan
katekolamin. Pada aldosteron primer, kelebihan aldosteron
menyebabkan hipertensi dan hipoklemis.
5) Obesitas dan gaya hidup yang kurang aktif (olahraga).
6) Stres.
7) Kehamilan.
8) Luka bakar.
9) Peningkatan volume intravascular

7. Pemeriksaan Penunjang

8
a. Hemoglobin/Hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan (viskositas)
dan dapat mengindikasikan faktor-faktor resiko seperti hiperkoagulabilitas,
anemia.
b. Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat
diakibatkan oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi)
c. Kalium serum
Hipokalemia dapat mengindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab)
atau menjadi efek samping terapi diuretik.
d. Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi
e. Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus adanya pembentukan
plak ateromatosa (efek kardiovaskuler)
f. Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokontriksi dan hipertensi
g. Kadar aldosteron urine/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer (penyebab).
h. Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya
diabetes..
i. Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi
j. Steroid urine
Kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
k. Foto dada
Menunjukkan obstruksi klasifikasi pada area katub, perbesaran jantung
l. CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati
m. EKG

9
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan
konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit
jantung hipertensi.

8. Komplikasi
a. Stroke dapat terjadi akibat hemoragi karena tekanan darah tinggi di otak,
atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan
tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri
yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga
aliran darah ke area otak yang diperdarahi berkurang. Arteri otak yang
mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan
kemungkinan terbentuknya aneurisma.
b. Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik
tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila
terbentuk thrombus yang menghambat aliran darah melewati pembuluh
darah. Pada hipertensi kronis dan hipertrofi ventrikel, kebutuhan oksigen
miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia
jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga, hipertrofi ventrikel
dapat menyebabkan perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel
sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan risiko
pembentukan bekuan.
c. Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi
pada kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah
ke nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan
kematian. Dengan rusaknya membran glomerulus, protein akan keluar
melalui urine sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang dan
menyebabkan edema, yang sering di jumpai pada hipertensi kronis.
d. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi, terutama pada hipertensi
maligna (hipertensi yang meningkat cepat dan berbahaya). Tekanan yang
sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler
dan mendorong cairan ke ruang interstisial di seluruh susunan saraf pusat.
Neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma serta kematian.

10
e. Kejang dapat terjadi pada wanita preeklamsia. Bayi yang lahir mungkin
memiliki berat lahir kecil akibat perfusi plasenta yang tidak adekuat,
kemudian dapat mengalami hipoksia dan asidosis jika ibu mengalami
kejang selama atau sebelum proses persalinan.

9. Penatalaksanaan
Apabila diagnosis hipertensi telah di tegakkan, maka pengobatan dapat
dimulai dengan terapi nonfarmakologi antara lain mengurangi asupan garam,
olahraga teratur, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan.
Pengobatan nonfarmakologi dapat mendahului atau bersama-sama sejak awal
dengan pengobatan farmakologi. Setiap individu tanpa memandang tingginya
tekanan darah perlu memodifikasi gaya hidup karena ternyata dapat
menurunkan morbilitas dan moralitas penyakit kardiovaskuler (Bandiara,
2008).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pentingnya terapi hipertensi pada
lanjut usia; dimana terjadi penurunan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Sebelum diberikan pengobatan,
pemeriksaan tekanan darah pada lanjut usia hendaknya dengan perhatian
khusus, mengingat beberapa orang lanjut usia menunjukkan pseudohipertensi
(pembacaan spigmomanometer tinggi palsu) akibat kekakuan pembuluh darah
yang berat. Khususnya pada perempuan sering ditemukan hipertensi jas putih
dan sangat bervariasinya TDS (Kuswardhani, 2006).
a. Sasaran tekanan darah
Pada hipertensi lanjut usia, penurunan TDD hendaknya
mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang
diajukan pada JNCVI dimana pengendalian tekanan darah (TDS<140
mmHg dan TDD<90mmHg) tampaknya terlalu ketat untuk penderita lanjut
usia. Sys-Eur trial merekomendasikan penurunan TDS < 160 mmHg
sebagai sasaran intermediet tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20
mmHg dari tekanan darah awal.
b. Modifikasi pola hidup
Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada penderita
hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua penderita, sangat

11
menguntungkan untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup
yang harus diperbaiki adalah menurunkan berat badan jika ada kegemukan,
mengurangi minum alkohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik,
mengurangi asupan garam, mempertahankan asupan kalium yang adekuat,
mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat,
menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol.
Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi nonfarmakologis ini
harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan.
c. Terapi farmakologis
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi
metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam
memberikan obat antihipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai
dengan dosis kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan. Menurut
JNC VI pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut
usia adalah diuretic atau penyekat beta. Pada HST, direkomendasikan
penggunaan diuretic dan antagonis kalsium. Antagonis kalsium nikardipin
dan diuretic tiazid sama dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskuler.
Adanya penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam
pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit jantung
koroner, penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun demikian
terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri tepi,
gagal jantung/ kelainan bronkus obstruktif. Pada penderita hipertensi
dengan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung kongestif, diuretik,
penghambat ACE (angiotensin convening enzyme) atau kombinasi
keduanya merupakan pilihan terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Arsiansyah, Muhamad. 2012. “Medikal Bedah Untuk Mahasiswa”. Yogyakarta: Diva


Press.

12
Aspiani, Reni Yuli. 2015. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskular
aplikasi NIC & NOC. Jakarta : EGC.

Azizah. Lilik, M. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Herwati, dan Wiwi Sartika. 2014. Terkontrolnya Tekanan Darah Penderita Hipertensi
Berdasarkan Pola Diet dan Kebiasaan Olah Raga di Padang Tahun 2011.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, (8), (1) : 8-14.

Kuswardhani, Tuty. 2006. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lanjut Usia. Jurnal


Penyakit Dalam, Vol. 7, No. 2. (Diakses 9 November 2016 pukul 18.10 WIB)
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/download/3757/2755.

Maryam, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.

Sigarlaki, Herke J.O. 2006. Karakteristik dan Faktor Berhubungan dengan Hipertensi
di Desa Bocor, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen, Jawa
Tengah, Tahun 2006. Akara, Kesehatan, (10), (2) : 78-88.

Situmorang, Paskah Rina. 2015. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Hipertensi pada Penderita Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara
Medan Tahun 2014. Jurnal Ilmiah Keperawatan, (1), (1) : 67-72.

13

Anda mungkin juga menyukai