Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN TEORI

ASFIKSIA NEONATORUM
A. Tinjauan Teori Medis
1. Definisi
Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak
Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013). Asfiksia neonatorm (apnea
neonatorm adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan tidak segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan (Triana, Ani dkk, 2017).
Asfiksia perinatal adalah kurangnya aliran darah atau pertukaran gas ke atau dari
janin pada periode segera sebelum, selama, atau setelah proses kelahiran.
2. Klasifikasi Asfiksia Neonatorum
Menurut Vidia dan Pongki (2016), klasifikasi asfiksia terdiri dari :
1) Asfiksia Ringan
Skor APGAR 7-10. Bayi dianggap sehat, dan tidak memerlukan tindakan
istimewa, tidak memerlukan pemberian oksigen dan tindakan resusitasi.
2) Asfiksia Sedang
Skor APGAR 4-6. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung
lebih dari 100x/menit, tonus otot kurang atau baik, sianosis, refleks iritabilitas
tidak ada dan memerlukan tindakan resusitasi serta pemberian oksigen
sampai bayi dapat bernafas normal.
3) Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3. Memerlukan resusitasi segera secara aktif dan pemberian
oksigen terkendali, karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan
natrikus dikalbonas 7,5% dengan dosis 2,4 ml/kg berat badan, diberikan lewat
vena umbilikus. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang
dari 100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang
pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
Berikut ini adalah tabel APGAR score untuk menentukan Asfiksia (Ghai, 2010).
Tabel 2.1 Nilai APGAR
Nilai 0 1 2
Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur
Denyut jantung Tidak ada < 100 x/mnt > 100 x/mnt
Tubuh dan kaki
Merah
Warna kulit Biru/ pucat merah jambu,
jambu
tangan biru
Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi
Gerakan/ tonus
otot
Refleks
Tidak ada Lemah/ lambat Kuat
(menangis)
Sumber : (Ghai, 2010)
3. Etiologi Asfiksia Neonatorum
Menurut Dwienda R Octa, dkk (2014), etiologi asfiksia antara lain :
1) Gangguan sirkulasi pada janin
2) Gangguan pada tali pusat
a) Lilitan tali pusat
b) Gangguan pada tali pusat
1) Lilitan tali pusat
2) Simpul tali pusat
3) Tekanan pada tali pusat
4) Ketuban telah pecah
5) Kehamilan lewat waktu
c) Pengaruh obat
Karena narkosa saat persalinan
d) Faktor ibu
1) Gangguan his : tetania dan hipertoni
2) Turunnya tekanan darah dapat mendadak : plasenta previa dan solusio
plasenta
3) Hipertensi pada ibu hamil
4) Gangguan pertukaran nutrisi / O2 : solusio plasenta
Menurut penelitian oleh Roberto et al (2014), asfiksia dapat terjadi dalam
rahim dan selama persalinan serta kelahiran akibat gangguan pertukaran gas di
dalam plasenta. Faktor risiko prakonsepsi untuk asfiksia dalah usia ibu >35
tahun, faktor sodsial, riwayat kejang keluarga atau penyakit neurologis,
pengobatan infertilitas, kematian neonatal sebelumnya, dll. Faktor risiko
antepartum termasuk gangguan prothrombotik ibu dan keadaan proinflamasi,
penyakit tiorid ibu, preeklampsia berat, kehamilan multiple, kelainan
kromosom/genetic, kelainan bawaan, trauma, persentasi bokong,dan
perdarahan antepartum. Banyak faktor risiko intrapartum untuk asfiksia,
termasuk denyut jantung janin abnormal selama persalinan,
korioamnionitis/demam ibu, kelahiran per vaginam operatif dengan mekonium
yang tebal, anestesi umum, persalinan sesar darurat, solusio plasenta, prolaps
tali pusat, rupture uteri, henti jantung ibu. Asfiksia juga dapat terjadi segera
setelah kelahiran karena kelainan paru, neuorologis dan kardiovaskular.
4. Komplikasi Asfiksia Neonatorum
Menurut Anik dan Eka (2013), komplikasi asfiksia neonatorum antara lain :
1) Pada keadaan hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga
organ vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran
yang lebih banyak dibandingkan organ lain. Perubahan dan redistribusi aliran
terjadi karena penurunan resistensi vascular pembuluh darah otak dan jantung
serta meningkatnya asistensi vascular di perifer.
2) Timbulnya rangsagan vasodilatasi serebral akibat hipoksia yang disertai saraf
simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor yang diikuti pelepasan
vasopressin.
3) Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan
energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis
anaerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruverat)
menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH
darah sehingga terjadilah asidosis metabolik. Perubahan sirkulasi dan
metabolism ini secara bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik
sementara ataupun menetap.
5. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum
Menurut Anik dan Eka (2013), patofisiologi asfiksia neonatorum dapat dijelaskan
dalam dua tahap yaitu dengan mengetahui cara bayi memperoleh oksigen sebelum
dan setelah lahir, dan dengan mengetahui reaksi bayi terhadap kesulitan selama
masa transisi normal, yang dijelaskan sebagai berikut :
a. Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
1) Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida.
a) Pembuluh darah arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan
konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
b) Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru
karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan
melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu . duktus
arteriosus kemudian masuk ke aorta.
2) Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen.
a) Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan
alveoli akan berisi udara.
b) Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke
dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.
3) Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan
pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat
tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah
paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah
berkurang.
4) Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan
tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat dan aliran darah
pada duktus arteriosus menurun.
a) Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena
pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke
bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru
lahir.
b) Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk
menginisisasi relaksasi pembuluh darah paru.
c) Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh darah paru mengalami
relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit.
d) Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-
paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh
jaringan tubuh.
5) Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen.
a) Tangisan pertama dan tarikan nafas yang dalam akan mendorong cairan
dari jalan nafasnya.
b) Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang udara relaksasi
pembuluh darah paru.
c) Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit
bayi akan berubah dari abu-abu / biru menjadi kemerahan.
b. Reaksi terhadap kesulitan selama masa transisi normal
1) Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam
paru-parunya.
a) Hal ini mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan
interstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol
pulmonal dan menyebabkan arteriol berkontraksi.
b) Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi,
alveoli tetap berisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak
mendapat oksigen.
2) Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi kontriksi arteriol pada
organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke
jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan
pasokan oksigen.
a) Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan
fungsi organ-organ vital.
b) Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka
terjadi kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah,
yang mengakibatkan aliran darah ke seluruh organ berkurang.
3) Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan,
akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan
organ tubuh lain, atau kematian.
a) Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih
tanda-tanda klinis, seperti :
(1) Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan
organ lain, depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen.
(2) Bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan
oksigen pada otot jantung atau sel otak.
(3) Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan.
(4) Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbs cairan paru-
paru dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah.
6. Pengkajian Klinis
Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal (2009) pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk melakukan
resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu :
a. Pernafasan
Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat.Lakukan
auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan
dada asimetris, nafas tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah
pernafasannya adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat
dan tidak teratur), atau tidak sama sekali.
b. Denyut jantung
Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau
merasakan denyutan umbilicus.Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali
per menit.Angka ini merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau
tidaknya hipoksia yang signifikan.
c. Warna
Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis
perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam
pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia
berat.Tentukan apakah bayi berwarna merah muda, biru, atau pucat.
Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar.Dua
komponen lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan
menggambarkan depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia
kecuali jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak berhubungan.
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit
sesudah bayi lahir.Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah
bayi lahir.Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian
pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus
dilakukan segera.Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai terlambat
karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan akan
membahayakan terutama pada bayi yang mengalami depresi berat.
Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan
pada awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan
bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi.Jadi nilai Apgar perlu dinilai
pada 1 menit dan 5 menit. Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai
tambahan masih diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai
dua kali penilaian menunjukkan nilai 8 dan lebih (Saifuddin, 2009).
7. Penatalaksanaan
Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola pernapasan biasa,
walaupun mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif, tanpa intervensi
khusus. Bayi baru lahir dalam apnu sekunder tidak akan bernapas sendiri.
Pernapasan buatan atau tindakan ventilasi dengan tekanan positif (VTP) dan
oksigen diperlukan untuk membantu bayi memulai pernapasan pada bayi baru
lahir dengan apnu sekunder.
Menganggap bahwa seorang bayi menderita apnu primer dan memberikan
stimulasi yang kurang efektif hanya akan memperlambat pemberian oksigen
dan meningkatkan resiko kerusakan otak. Sangat penting untuk disadari bahwa
pada bayi yang mengalami apnu sekunder, semakin lama kita menunda upaya
pernapasan buatan, semakin lama bayi memulai pernapasan spontan.Penundaan
dalam melakukan upaya pernapasan buatan, walaupun singkat, dapat berakibat
keterlambatan pernapasan yang spontan dan teratur.Perhatikanlah bahwa
semakin lama bayi berada dalam apnu sekunder, semakin besar kemungkinan
terjadinya kerusakan otak.
Penyebab apa pun yang merupakan latar belakang depresi ini, segera
sesudah tali pusat dijepit, bayi yang mengalami depresi dan tidak mampu
melalui pernapasan spontan yang memadai akan mengalami hipoksia yang
semakin berat dan secara progresif menjadi asfiksia. Resusitasi yang efektif
dapat merangsang pernapasan awal dan mencegah asfiksia progresif. Resusitasi
bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah
jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat
– alat vital lainnya (Saifuddin,2009).
Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan sangatlah
penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus.Pada setiap kelahiran harus ada
setidaknya satu orang yang bertanggung jawab pada bayi baru lahir.Orang
tersebut harus mampu untuk memulai resusitasi, termasuk pemberian ventilasi
tekanan positif dan kompresi dada. Orang ini atau orang lain yang datang harus
memiliki kemampuan melakukan resusitasi neonatus secara komplit, termasuk
melakukan intubasi endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Bila dengan
mempertimbangkan faktor risiko, sebelum bayi lahir diidentifikasi bahwa akan
membutuhkan resusitasi maka diperlukan tenaga terampil tambahan dan
persiapan alat resusitasi. Bayi prematur (usia gestasi < 37 minggu)
membutuhkan persiapan khusus. Bayi prematur memiliki paru imatur yang
kemungkinan lebih sulit diventilasi dan mudah mengalami kerusakan karena
ventilasi tekanan positif serta memiliki pembuluh darah imatur dalam otak yang
mudah mengalami perdarahan Selain itu, bayi premature memiliki volume
darah sedikit yang meningkatkan risiko syok hipovolemik dan kulit tipis serta
area permukaan tubuh yang luas sehingga mempercepat kehilangan panas dan
rentan terhadap infeksi. Apabila diperkirakan bayi akan memerlukan tindakan
resusitasi, sebaiknya sebelumnya dimintakan informed consent. Definisi
informed consent adalah persetujuan tertulis dari penderita atau orangtua/wali
nya tentang suatu tindakan medis setelah mendapatkan penjelasan dari petugas
kesehatan yang berwenang. Tindakan resusitasi dasar pada bayi dengan depresi
pernapasan adalah tindakan gawat darurat. Dalam hal gawat darurat mungkin
informed consent dapat ditunda setelah tindakan. Setelah kondisi bayi stabil
namun memerlukan perawatan lanjutan, dokter perlu melakukan informed
consent. Lebih baik lagi apabila informed consent dimintakan sebelumnya
apabila diperkirakan akan memerlukan tindakan. Oleh karena itu untuk
menentukan butuh resusitasi atau tidak, semua bayi perlu penilaian awal dan
harus dipastikan bahwa setiap langkah dilakukan dengan benar dan efektif
sebelum ke langkah berikutnya.
Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma resusitasi
neonatal. Berikut ini akan ditampilkan diagram alur untuk menentukan apakah
terhadap bayi yang lahir diperlukan resusitasi atau tidak.
Sumber: Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan Pedoman Bagi TenagaKesehatan (Kementrian Kesehatan RI. 2013)
8. Pathway Asfiksia Neonatorum
DAFTAR PUSTAKA

Anik Maryunani dan Eka Puspita Sari. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal
dan Neonatal. Jakarta : Trans Info Media

Antonucci, Roberto, et al. 2014. Perinatal Asphyxia in The Term Newborn. Italia
: San Gavino Monreale

Atika, Vidia dan Pongki Jaya. 2016. Asuhan Kebidanan pada Neonatus, Bayi,
Balita dan Anak Pra Sekolah. Jakarta : Trans Info Media

Ghai, dkk. 2010. Pencegahan dan Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum. Jakarta


: Health Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Krakauer, Maria Gillam dan Gowen Jr, Clarence W. Birth Asphyxia. Treasure
Island : Vanderbilt University Medical Center

Prambudi, R. 2013. Neonatologi Praktis : Prosedur Tindakan Neonatus. Cetakan


pertama. Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja

Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Cetakan kelima. Jakarta : Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo

Triana, Ani, dkk. 2017. Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Yogyakarta :


Deepublish
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ilmiah dengan judul “Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Neonatal pada


Bayi Ny.H I Usia 0 Jam Neonatus Preterm dengan Asfiksia Ringan dan BBLR di
RSUP Dr.Kariadi Semarang” telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing.

Pembimbing Klinik Mahasiswa

Aziyah, S.Tr.Keb Elsie Novita Revianti

Mengetahui
Pembimbing Institusi

Ulfah Musdalifah, S.SiT, M.Kes

Anda mungkin juga menyukai

  • Leaflet Asi Eksklusif
    Leaflet Asi Eksklusif
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Asi Eksklusif
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Bismillah Ya Allah Semoga Lancar
    Bismillah Ya Allah Semoga Lancar
    Dokumen60 halaman
    Bismillah Ya Allah Semoga Lancar
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • NIFAS
    NIFAS
    Dokumen4 halaman
    NIFAS
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Bab V Nifas
    Bab V Nifas
    Dokumen2 halaman
    Bab V Nifas
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • NIFAS
    NIFAS
    Dokumen28 halaman
    NIFAS
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Kontrak Kehamilan Minggu 1
    Kontrak Kehamilan Minggu 1
    Dokumen3 halaman
    Kontrak Kehamilan Minggu 1
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan
    Laporan Pendahuluan
    Dokumen30 halaman
    Laporan Pendahuluan
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Leaflet
    Leaflet
    Dokumen1 halaman
    Leaflet
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Leaflet KB
    Leaflet KB
    Dokumen3 halaman
    Leaflet KB
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Tinjauan Teori
    Tinjauan Teori
    Dokumen48 halaman
    Tinjauan Teori
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Nifas Dengan Nyeri Perineum
    Nifas Dengan Nyeri Perineum
    Dokumen53 halaman
    Nifas Dengan Nyeri Perineum
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Cover Anemia
    Cover Anemia
    Dokumen1 halaman
    Cover Anemia
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • LEAFLET
    LEAFLET
    Dokumen2 halaman
    LEAFLET
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan
    Laporan Pendahuluan
    Dokumen24 halaman
    Laporan Pendahuluan
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan
    Laporan Pendahuluan
    Dokumen25 halaman
    Laporan Pendahuluan
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Pathway BBL
    Pathway BBL
    Dokumen1 halaman
    Pathway BBL
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Kehamilan Patologi
    Kehamilan Patologi
    Dokumen32 halaman
    Kehamilan Patologi
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • ASFIKSIA
    ASFIKSIA
    Dokumen12 halaman
    ASFIKSIA
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • ASFIKSIA
    ASFIKSIA
    Dokumen12 halaman
    ASFIKSIA
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Nifas
    Nifas
    Dokumen6 halaman
    Nifas
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan
    Laporan Pendahuluan
    Dokumen32 halaman
    Laporan Pendahuluan
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Bab II
    Bab II
    Dokumen7 halaman
    Bab II
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen34 halaman
    Cover
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Fix
    Bab 3 Fix
    Dokumen22 halaman
    Bab 3 Fix
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Lembar Bimbingan
    Lembar Bimbingan
    Dokumen1 halaman
    Lembar Bimbingan
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen15 halaman
    Bab Ii
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Bab III
    Bab III
    Dokumen6 halaman
    Bab III
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen5 halaman
    Bab 1
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Seminar
    Seminar
    Dokumen33 halaman
    Seminar
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat
  • Cover Anemia
    Cover Anemia
    Dokumen1 halaman
    Cover Anemia
    Diana Dynna
    Belum ada peringkat