Anda di halaman 1dari 9

A.

DEFINISI
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).

B. ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO

Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada sumber
yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan
pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3
bulan.
4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar
panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak
memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen
autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui
apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang
tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari
bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan
kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).

Atresia ani dapat disebabkan karena:


1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
3. Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi
meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1
dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000
kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani
dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat
menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat
multigenik (Levitt M, 2007).

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses
tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.

Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu:
1. Anomali rendah / infralevator
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat
sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan
tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal dan
sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini
biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius – retrouretral (pria) atau
rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit
perineum lebih dari 1 cm.

Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani


dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.Pada laki – laki
golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum,
perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit.
Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,
membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm
dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu
kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada
dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan dibagi 4
kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada
invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).

D. EPIDEMIOLOGI
Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada
perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui
pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan,
jenis atresia ani yang paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula
rektovestibular dan fistula perineal (Oldham K, 2005).

E. PATOFISIOLOGI
Terlampir

F. MANIFESTASI KLINIS
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar
dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang pada bayi
laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra
dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul:
1.) Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
2.) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3.) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4.) Perut kembung.
5.) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
(Ngastiyah, 2005)

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pada
anamnesis dapat ditemukan :
a. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
b. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
c. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan cara:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti
atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti
(PSARP) tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih
dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila
pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum <
1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut
letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan
rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa
kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih
dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari
kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit
dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium
didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan
adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak
tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir
agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang
posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud)
dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat
fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala
obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan
klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan
memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama
beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui
fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum
pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap
kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi
tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-
24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah
akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai
dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien
memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan
atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak
rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag yang
terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya
mekonium) (Levitt M, 2007).
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen .
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang
atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan
dengan traktus urinarius.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
a. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada
dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya
sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali
tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir.
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan.
Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan
pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk
menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi,
anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu
setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.
Asuhan keperawatan

1. Pengkajian

a. Biodata klien.

b. Riwayat keperawatan.

1) Riwayat keperawatan/ kesehatan sekarang.

2) Riwayat kesehatan masa lalu.

c. Riwayat psikologis.

Koping keluarga dalam menghadapi masalah.

d. Riwayat tumbuh kembang anak.

1) BB lahir abnormal.

2) Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang


pernah mengalami trauma saat sakit.

3) Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.

4) Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.

e. Riwayat sosial.

f. Pemeriksaan fisik.

g. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.

2) Sinar X terhadap abdomen

Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk


mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.

3) Ultrasound terhadap abdomen

Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem


pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.

4) CT Scan

Digunakan untuk menentukan lesi.

5) Pyelografi intra vena

Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.

6) Pemeriksaan fisik rectum

Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan


selang atau jari.

7) Rontgenogram abdomen dan pelvis

Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang


berhubungan dengan traktus urinarius.

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa preoperasi:

a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.

b. Resiko infeksi berhubungan dengan proses peradangan

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan


diet yang kurang

d. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit


dan prosedur perawatan.

Diagnosa postoperasi:

a. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.


b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.

c. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder


terhadap luka kolostomi.

d. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

DAFTAR PUSTAKA

Faradilla dkk, 2009.Anestesi Pada Tindakan Posterosagital Anorektoplasti Pada Kasus


Malformasi Anorektal.Riau: Universitas Riau

Purwanto, Fitri (2001). Buku Pedoman Rencana Asuhan Keperawatan Bedah Anak.Jakarta :
Amarta Jakarta.

Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:33.
http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 1 April 2010]

Hamami A.H, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2004. Buku-ajar ilmu bedah.
editor, Peter J,.-Ed.2.Jakarta : EGC

Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of Pediatric Surgery


Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005.

Ngastiyah. 2005.Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. EGC:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai